Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan Makalah Psikologi Komunitas
mengenai "Komunitas dan Kesadaran Komunal”. Shalawat beriring salam kita
junjungkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dan penuh dengan ilmu
pengetahuan serta teknologi canggih seperti sekarang ini.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan bagi
para pembaca.Penulis menyadari kekurangan – kekurangan dalam pembuatan
makalah ini karena terbatasnya pengetahuan dan pemahaman penulis. Oleh karena
itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kelancaran proses
pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan saat ini. Serta tidak lupa pula peneliti
hanturkan permohonan maaf jika terdapat kekurangan dan kesalahan, baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Wassalam

Padang, September 2018

Penulis

i
Daftar Isi

Kata pengantar…………………………………………………………………….i

Daftar isi………………………………………………………………………...i

BAB I PENDAHULUAN…………………..……………….………………...1

1.1 LatarBelakang………………………………………..…………...………1

1.2 RumusanMasalah……………………………………….………….……..1

1.3 Tujuan…………………………………………………………………….2

1.4 Manfaat………..…………………………………..……………………..2

BAB II PEMBAHASAN………………………………..………………….…..3

2.1 Definisi Komunitas……………………………………..…………………3

2.2 Tipe- Tipe Komunitas…………………………………….………………..4

2.3 Level dari Komunitas…………………………………...………………....4

2.4 Sense of Community……………………………………………………......4

2.4.1 Elemen sense of community …………….………………..……...…5

2.4.2 Diskusi dan Isu Mengenai Sense of Community….…………….......6

2.5 Struktur Komunitas…………………………………………………….….7

2.6 Jenis- jenis Komunitas………………………………………………..……8

2.7 Pentingnya Komunitas dalam Konteks Sosial………………………………9

2.8 Kasus……………….………………………………………………………11

2.9 Analisa Kasus………………………………………………………………14

BAB III PENUTUPAN……………………………………………….…….…16

3.1 Kesimpulan………………………………………………………….…....16

Daftar Pustaka…………………………………………………………...….17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunitas merupakan hubungan individu dalam konteks sosial yang ditandai

dengan adanya sense of community antar anggotanya. Komunitas memiliki suatu

kesamaan dengan kelompok biasa pada umumnya. Hal ini menyebabkan

kebingungan dalam membedakan yang mana yang bisa disebut sebagai komunitas

dan yang mana yang disebut dengan kelompok.

Berdasarkan hal tersebut, kelompok tertarik membahas lebih dalam mengenai

hal yang didefinisikan sebagai komunitas. Berdasarkan syarat utama suatu kelompok

disebut sebagai komunitas, yaitu, sense of community, kelompok akan mencoba

menjabarkan apa itu komunitas. Hal ini bertujuan agar kelompok tidak lagi merasa

bingung apa bedanya komunitas dibanding kelompok biasa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan beberapa rumusan masalah,

yaitu:

1. Apa definisi dari komunitas?

2. Apa yang dimaksud dengan sense of community?

3. Apa saja elemen dari sense of community?

4. Bagaimana struktur dari komunitas?

5. Apa saja jenis komunitas?

6. Bagaimana pentingnya komunitas dalam konteks sosial?

1
1.3 Tujuan Makalah

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka, tujuan dari pembuatan makalah ini

ialah:

1. Untuk mengetahui definisi komunitas.

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan sense of community.

3. Untuk mengetahui elemen- elemen dari sense of community.

4. Untuk mengetahui struktur dari komunitas.

5. Untuk mengetahui jenis- jenis komunitas.

6. Untuk mengetahui pentingnya komunitas dalam konteks sosial.

1.4 Manfaat Makalah

Makalah ini diharapkan memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Sebagai tambahan referensi bagi mahasiswa mengenai apa itu komunitas dan

sense of community.

2. Sebagai bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa yang sedang mengambil

mata kuliah Psikologi Komunitas.

3. Untuk menambah pemahaman mengenai komunitas bagi kelompok dan

pembaca.

2
BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Pengertian Komunitas

Menurut Ferdinand Tönnies, seorang sosiolog dari Jerman, mengatakan bahwa ada
beberapa tahapan dalam hubungan sosial. Yang paling terkenal ialah hubungan
Gemeinschaft dan Gesell schaf. Gemein schaft inilah yang sering diartikan sebagai
komunitas. Gemein schaft merupakan suatu hubungan dimana multidimensional dan
memiliki nilaitersendiri, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.Hubungan
ini tercipta semata- mata karena kita menghargai antar sesame dan hubungan yang
mengikat kita. Para anggota saling mengenal dalam banyak hal dan bekerja untuk
mempertahankan hubungan tersebut. Bukan karena suatu alasan khusus, tetapi karena
hubungan yang ada di anata rmereka.

Sedangkan Gesellschaf, sering diartikan sebagai masyarakat dan mengacu pada


hubungan yang tercipta berdasarkan transaksi tertentu. Hubungan ini bersifat
fundamental, sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan, bukan sebagai sesuatu
yang memiliki arti tersendiri. Merupakan hubungan yang terbentuk karena
mengharapkan manfaat dari interaksi. Contoh, hubungan kerjasama vendor dengan
suatu pabrik.

Berdasarkan kedua pengertian tersebut, Tönniespercaya, suatu komunitas dilandasi


oleh hubungan sosial yang disebut dengan Gemeinschaft. Jadi, komunitas adalah
hubungan multidimensional yang memiliki nilai tersendiri bagi anggotanya. Mereka
bersama bukan hanya untuk mencapai suatu tujuan, tetapi karena suatu nilai saling
menghargai dan untuk mempertahakan hubungan tersebut.

3
2.2 Tipe- Tipe Komunitas

Ada dua tipe komunitas, yaitu:

1. Locality-Based Community

Merupakan konsep tradisional dari komunitas. Tipe ini disatukan karena


keadaan geografis dan adanya hubungan interpersonal antara anggota
masyarakat.Contohnya, suatu blok di kota, lingkungan rumah, kota kecil, dan daerah
pedesaan. Ketika suatu penduduk di suatu daerah berbagai sense of community yang
kuat, individu akan sering mengidentifikasikan dirinya dengan wilayah tempat ia
berasal, dan teman- teman yang sering bertengtangga dengannya. Hal ini disebut
dengan locality.

2. Relational Community

Merupakan suatu komunitas yang tidak didasari oleh letak


geografis.Contohnya, kelompok belajar, kelompok agama, suatu forum diskusi
online, kelompok olahraga, danlain- lain. Hubungan mereka dilandasi oleh
pertemanan dan hiburan, namun juga memiliki tujuan dan misi tertentu.

2.3 Level dari Komunitas

Berdasarkanhal yang telahdipelajarisebelumnya, level darikomunitasialah:

1. Mikrosistem (ex: classroom)

2. Organisasi (ex: tempatkerja)

3. Lokalitas (ex: lingkunganrumah, suatublok di kota)

4. Makrosistem (ex: partaipolitik, negara)

2.4 Sense of Community

4
Sense of community merupakan hal terpenting dalam mendefinisikan diri kita sebagai
bagian dari suatu komunitas. Ada beberapa ahli yang mendefinisikan sense of
community.

Menurut Sarason (dalamKloos, Hill, dkk, 2012), sense of community adalah


persepsi kesamaan dengan orang lain, saling ketergantungan yang diakui dengan
orang lain, kesediaan untuk mempertahankan kesalingtergantungan tersebut dengan
memberi atau melakukan untuk orang lain apa yang diharapkan mereka, perasaan
menjadi satu dari suatu bagian struktur yang lebih besar yang dapat diandalkan dan
stabil. Menurut David McMillan and David Chavis (dalamKloos, Hill, dkk, 2012),
sense of community adalah perasaan memiliki, perasaan pentingnya satu sama lain
yang dimiliki antar anggota dan untuk kelompok, dan adanya kepercayaan yang
dibagikan di antara mereka, serta adanya kebutuhan yang membentuk komitmen
untuk bersama.

2.4.1 Elemen- Elemen Sense of Community

McMillan and Chavis (dalamKloos, Hill, dkk, 2012), mengidentifikasikan ada empat
elemen dari sense of community, yaitu:

1. Membership (Keanggotaan)

Elemen Ini adalah rasa diantara anggota komunitas tentang investasi pribadi di dalam
komunitas dan perasaan memiliki. Memiliki lima atribut, yaitu: (1) batasan,
merupakan hal yang membedakan antara yang mana yang merupakan anggota dan
yang bukan anggota; (2) symbol umum, hal yang mengidentifikasi anggota
danwilayah; (3) keamanan emosional, berarti hubungan yang aman untuk berbagi
perasaan dan kekhawatiran, ditandai dengan adanya keterbukaan dan penerimaan
kelompok; (4) investasi pribadi, investasi menunjukkan komitmen jangka panjang
untuk komunitas; (5) perasaan memiliki dan identifikasi, individu diterima oleh

5
anggota komunitas lain dan mendefinisikan identitas pribadi dalam hal keanggotaan
komunitas.

2. Influence (Mempengaruhi)

Elemen ini mengacu pada hubungan timbal balik yang dinamis dari kelompok
keanggotanya atau anggota ke kelompoknya.Anggota lebih tertarik pada kelompok di
mana mereka merasa berpengaruh. Anggota yang paling berpengaruh dalam
kelompok seringkali adalah mereka yang membutuhkannya dan memiliki nilai
tersendiri atau menghargai kelompoknya.Kelompok dalam hal ini ialah komunitas.

3. Integration and Fulfillment of Needs (Integrasi dan Pemenuhan Kebutuhan)

Integrasi berfokus pada hubungan horizontal antar anggota. Yang memiliki dua
aspek, yaitu: berbagai nilai yang sama, dan pertukaran sumber daya.

4. Shared Emotional Connection (Koneksi Emosional)

Merupakan elemen yang menunjukkan komunitas yang sesungguhnya. Anggota


komunitas dapat mengenali yang dibagikan ikatan melalui perilaku, ucapan, atau
isyarat lainnya.Namun, ikatan itu sendiri lebih dalam, bukan hanya masalah
perilaku.Koneksi emosional bersama diperkuat melalui pengalaman-pengalaman
komunitas yang penting, seperti perayaan, ritual bersama, menghormati anggota,
danberbagicerita.

2.4.2 Diskusi dan Isu Mengenai Sense of Community

1. Elemen- elemensense of community

Terdapat banyak penelitian yang telah megkaji ulang kestabilan dan validitas dari
kontruk yang menyusun sense of community yang disampaikan oleh McMillan-
Chavis.Hasilnya menunjukkan bahwa, sense of community merupakan suatu hal yang
kontekstual.Yaitu bisa saja memiliki perbedaan tergantung pada budaya dan
komunitas itu sendiri.

6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khusairi, Nurhamida, &Masturah (2017),
pada warga Kampung Wisata Jodipan, menunjukkan bahwa, sense of community juga
bergantung terhadap lamanya warga tinggal disuatu daerah. Penelitia nmenunjukkan
usia subjek yang semakin tua akan membentuk sense of community dan partisipasi
warga yang tinggi. Hal ini mendukung fakta bahwa sense of community merupakan
suatu hal yang kontekstual.

2.5 Struktur dari Komunitas

Bourdieu mendefenisikan kapital sosial adalah kumpulan sejumlah


sumberdaya, baik aktual maupun potensial yang terhubung dengan kepemilikan
jaringan atau relasi, yang sedikit banyak telah terinstitusionalisasi dalam pemahaman
dan pengakuan bersama. Secara lebih sederhana, Turner mendefenisikan kapital
sosial sebagai suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan
sosial (Turner, 1997:512). Sedangkan Coleman (1988) mendefinisikan kapital sosial
sebagai sesuatu yang memiliki dua ciri yaitu merupakan aspek dari struktur sosial
serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut. Dalam pengertian
ini, bentuk-bentuk kapital sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi,
norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa
digunakan secara tepat.
Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari susunan atau
komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas yaitu
keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan interaksi fungsional (Schowalter,1996)

7
2.6 Jenis- Jenis Komunitas

Individu memiliki banyak komunitas (Hunter & Riger, 1986). Ini beberapa
keanggotaan dapat memainkan peran dalam memperkuat identitas. Kita membentuk
banyak identitas sebagai anggota dari berbagai komunitas, seperti siswa, karyawan,
keluarga anggota, dan tetangga. Terkadang, beberapa komitmen ini bersaing waktu
dan energi atau konflik kita dengan cara yang penting. Kehidupan individu dewasa
sering diisi dengan banyak identitas di banyak komunitas dan penyeimbangan
komitmen diantara mereka. Di sisi lain, beberapa komunitas dalam kehidupan kita
merevitalisasi kita, menyediakan sumber daya dan energi untuk keterlibatan di
komunitas lain. Rohani dan komunitas gotong royong dapat memiliki efek ini tetapi
juga dapat kelas latihan atau grup musik. Kunci untuk memahami banyak
keanggotaan komunitas adalah peran setiap komunitas dalam kehidupan seseorang.
Individu memilih seberapa berkomitmen mereka ke berbagai komunitas dalam
kehidupan mereka (Hunter & Riger, 1986). Masyarakat psikologi baru mulai
mempelajari bagaimana berbagai komunitas ini berinteraksi (Brodsky et al., 2002).

Keanggotaan di komunitas terus berubah sepanjang hidup, seperti halnya


kepentingan relatif masyarakat di mana kita berasal. Saat kita tumbuh lebih tua, kita
mungkin melihat diri kita membuat pilihan yang lebih sadar tentang koneksi
komunitas kita. Sebagai contoh, kita dapat secara aktif memutuskan untuk
menjauhkan diri dari komunitas yang penting bagi kita tetapi tidak lagi mendukung.
Orang dewasa muda yang lesbian atau gay dapat memilih sendiri menjauhkan diri
dari komunitas lingkungan masa kecil mereka jika masyarakat tidak mendukung
orientasi seksual mereka. Bahkan mungkin ada saatnya selama hidup kita ketika kita
tidak merasakan kebutuhan untuk rasa komunitas dan lakukan tidak merasa terlibat
secara khusus dengan komunitas apa pun dalam kehidupan kita alih-alih berfokus
tentang hubungan keluarga. Perubahan-perubahan dalam hubungan masyarakat dan
Kebutuhan akan rasa komunitas adalah belum menerima perhatian yang signifikan
dalam penelitian hingga saat ini.

8
2.7 Pentingnya Komunitas dalam Konteks Sosial

Menurut Kloss, dkk (2012) dalam Spritualitas melayani lima fungsi penting
komunitas. Pertama, membantu memenuhi kebutuhan utama manusia untuk
menemukan makna dalam kehidupan sehari-hari (Frankl, 1959/1984; Pargament,
1997). Spiritualitas menyediakan pelipur lara dalam menghadapi keadaan tak
terkendali dan memiliki panduan aktif dalam mengatasi keadaan yang dapat
dikontrol. Rasa transendensi menyediakan cara untuk memahami hidup seseorang,
sementara nilai-nilai spiritual memberikan panduan untuk hidup.

Kedua, komunitas spiritual memberikan rasa komunitas dan memenuhi


kebutuhan utama manusia untuk memiliki. Banyak yang bisa dijelaskan dalam empat
hal Elemen dari McMillan-Chavis. Mereka memberikan rasa keanggotaan melalui
ritual dan simbol umum, termasuk ritus peralihan untuk keanggotaan. Ritual ini juga
membantu identifikasi dengan komunitas. Keamanan emosional disediakan melalui
berbagi kelompok kecil dan satu per satu untuk berbagi. Menurut Kress & Elias
dalam Kloss, dkk (2012) pembentukan identitas agama dapat menjadi identitas sosial
yang penting dan dibina oleh berbagai konteks agama.

Komunitas spiritual juga mendorong pengaruh timbal balik dan integrasi serta
pemenuhan kebutuhan. Praktik spiritual bersama memengaruhi keputusan individu.
Menurut Maton & Salem dalam Kloss, dkk (2012) banyak pengaturan spiritual
memberikan peluang untuk partisipasi anggota di kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Anggota komunitas spritual membantu untuk saling bertemu antarpribadi,
ekonomi, psikologis, dan kebutuhan spiritual. Akhirnya, komunitas spiritual
menumbuhkan ikatan emosional dan spiritual berdasarkan pada pengertian
transendensi spiritual yang sangat berbeda. Kelompok kecil, religius kelas
pendidikan, dan komunitas asuh ibadah bersama (Wuthnow, 1994).

9
Ketiga, komunitas spiritual memberikan layanan komunitas yang penting.
Keterlibatan keagamaan di kalangan remaja dan orang dewasa telah ditunjukkan
dalam penelitian untuk melindungi terhadap perilaku berisiko dan meningkatkan
kesejahteraan (Kloos & Moore, 2000a; Kress & Elias, 2000; Steinman &
Zimmerman, 2004). Komunitas spiritual menawarkan dukungan untuk keluarga,
orang tua, dan pasangan perkawinan, termasuk lokakarya, pertemuan kelompok kecil,
dan konseling. Banyak layanan komunitas lain yang memiliki basis spiritual spiritual
- dari dapur umum hingga Habitat for Humanity. The Caroline Centre, dioperasikan
oleh para suster dari ordo Katolik Roma, memberikan pelatihan kerja dan komunitas
penting untuk perempuan Baltimore berpenghasilan rendah (Brodsky & Marx, 2001).
Dua belas langkah kelompok saling membantu adalah bentuk penyembuhan yang
umum dan efektif (Humphrey, 2000). Program untuk mempromosikan ketenangan di
Masyarakat Alaska asli melibatkan konsep spiritual asli pribumi (Hazel & Mohatt,
2001). Keempat, komunitas spiritual sangat berharga bagi anggota yang tertindas,
populasi yang kehilangan haknya, kekurangan sumber daya dan kekuasaan dalam
masyarakat. Kelima, beberapa komunitas spiritual menantang kekuatan dalam budaya
mainstream. Di budaya Barat, komunitas ini membantu mengimbangi nilai-nilai
mainstream individualisme dan materialisme melalui kepedulian terhadap kebaikan
publik, untuk kehilangan haknya dan untuk keadilan sosial, dan untuk nilai-nilai belas
kasih dan layanan. Advokasi sosial, salah satu cara yang perspektif spiritual
menantang arus utama, termasuk posisi publik yang diambil oleh lembaga agama
nasional dan upaya tingkat komunitas oleh kelompok berbasis agama lokal (Maton,
2000; 2001). Untuk Misalnya, gerakan hak-hak sipil A.S. melibatkan hal yang
berbasis agama untuk mengubah inisiatif. Pengorganisasian masyarakat untuk
keadilan sosial, yang didasarkan pada komunitas iman, telah mencapai perubahan
komunitas substantif (Putnam & Feldstein, 2003; Speer, Hughey, Gensheimer, &
Adams-Leavitt, 1995). Dasar komunitas gerejawi adalah kelompok spiritual kecil
yang bertemu untuk ibadah, dukungan antarpribadi, refleksi pada cita-cita spiritual,
dan mengambil tindakan kolektif untuk keadilan sosial dan pengembangan
masyarakat (Dokecki et al., 2001; Trout, Dokecki, Newbrough, & O’Gorman, 2003).

10
Tidak mengherankan, banyak contoh advokasi berbasis agama muncul di antara
anggota populasi yang tertindas.

Tentu saja, beberapa komunitas spiritual berfokus pada keselamatan individu


atau pembangunan spiritual maupun pembangunan komunitas di dalam jemaat yang
sedikit berdampak pada kehidupan komunitas yang lebih luas. Tetapi ketika
seseorang menganggap semua komunitas spiritual, lima fungsi ini adalah kontribusi
penting bagi komunitas dan masyarakat.

2.8 Kasus

Tionghoa, Antara Sasaran Kebencian dan Ketimpangan Sosial

Saat ini, orang-orang Tionghoa di Indonesia seolah menjadi sasaran


kebencian. Narasi kebencian sedemikian dahsyat menjadi gelombang yang
mengepung kehidupan mereka. Gelombang kebencian ini, semakin dahsyat pada
proses Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika Ahok—nama sapaan dari Basuki Tjahaja
Purnama—beradu kekuatan dengan Anies Baswedan dalam kontestasi politik.

Citra diri Ahok—representasi Tionghoa dan non-muslim—beradu melawan


Anies Baswedan, dengan citra pemimpin muslim dan keturunan Arab. Isu pribumi-
non pribumi yang berembus pada masa kampanye seolah menjadi isu yang salah
sasaran. Isu tersebut mempengaruhi persepsi publik dengan menggiring kinerja
kepemimpinan dan kredibilitas personal kepada kontestasi isu etnisitas dan agama.

Isu etnis menjadi perdebatan panjang di media sosial serta menjadi vibrasi isu
di kedai-kedai kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya tidak hanya di Ibu
Kota tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri ini. Seusai Pilkada
DKI Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak menyurut. Dari perbicangan
dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa ketionghoaan dan label non-muslim

11
menjadi penghalang untuk membangun jembatan komunikasi. Mereka yang
Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang interaksi lintas kelompok.

Kebencian terhadap kelompok Tionghoa merentang panjang dalam sejarah


negeri ini. Narasi kebencian ini berenteng dari masa Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) hingga Orde Baru. Pada 1740, misalnya, sekitar sepuluh ribu
orang Tionghoa dibantai di Batavia. Secara kejam, Jenderal Adriaan Valckenier
membantai orang-orang Tionghoa dari kulminasi beberapa kasus.

Salah satunya, pada 9 Oktober 1740 terjadi huru-hara di dalam tembok


Batavia. Beberapa ratus orang China yang menjadi tahanan di Stadhuis—Balai Kota
Batavia yang sekarang adalah Museum Sejarah Jakarta—dihabisi di halaman gedung
itu. Peristiwa tersebut meluas ke beberapa kawasan di Jawa, antara lain di Cirebon,
Semarang, dan Lasem. Drama gelap ini kemudian dikenal sebagai "Geger Pacinan",
yang diulas secara mendalam dalam riset Daradjadi (2013).

Kebencian terhadap Tionghoa berlanjut pada masa Perang Jawa (1825-1830),


ketika orang Tionghoa difitnah sebagai "pembawa sial" dalam barisan prajurit
Diponegoro. Warga keturunan Tionghoa berdoa di Vihara Hian Thian Siang Tee
Bio, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (15/2/2018). Warga keturunan Tionghoa
melakukan doa untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2569.

KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO

Warga keturunan Tionghoa berdoa di Vihara Hian Thian Siang Tee Bio,
Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (15/2/2018). Warga keturunan Tionghoa melakukan
doa untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2569. Lalu, di tengah tragedi 1965, orang-
orang Tionghoa dikaitkan dengan komunisme dan dianggap mendukung PKI.
Framing ini menjadi senjata politik untuk mendiskriminasi orang Tionghoa di ruang
publik. Pada masa Orde Baru berkuasa, kebencian terhadap Tionghoa tidak kalah
kejamnya. Soeharto menjadikan orang Tionghoa sebagai sapi perah ekonomi, untuk
menarik sebanyak mungkin keuntungan dalam bisnis. Barulah ketika KH

12
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, kebijakan diskriminatif terhadap
komunitas Tionghoa dicabut. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus
Dur mencabut Instruksi Presiden terbitan Soeharto pada 1967, yang membatasi ruang
gerak dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa.

Warisan Kebencian

Sejarah panjang kebencian terhadap orang Tionghoa ternyata membekas


dalam. Kebencian ini mudah dibangkitkan, baik dengan narasi-narasi politik yang
dibungkus isu agama maupun kecemasan terhadap kelompok etnis. Dari Survei
Wahid Foundation (2017), muncul data betapa etnis Tionghoa menjadi kelompok
yang dibenci. Survei ini merilis bahwa Tinghoa menjadi kelompok yang dibenci
bersama non-muslim, komunis, LGBT, dan kelompok Yahudi. Melibatkan 1.520
responden, 59,9 persen responden survei tersebut memiliki kelompok yang dibenci.
Bahkan, dari 59,9 persen pihak yang menguatkan kebencian, 92,2 persen di antaranya
tidak setuju bila anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di
negeri ini. Lalu, 82,4 persen dari responden yang menyimpan kebencian itu
menyatakan tidak rela jika anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga.
Terlihat, kebencian telah merasuki urat nadi dan pemikiran personal serta lingkungan
keluarga, sehingga tidak membuka ruang bagi perbedaan di kehidupan sosial mereka.
Kebencian telah menutup pintu gerbang dialog untuk sama-sama saling memahami.
Kebencian ini tentu saja sangat berbahaya jika terus direproduksi dan diwariskan,
apalagi sebagai kepentingan politik. Padahal, pada awal kemerdekaan Indonesia, para
pejuang dan pendiri bangsa, telah sepakat membangun negeri ini bagi semua
golongan dan etnis.

13
2.9 Analisa Kasus

Saat ini, orang-orang Tionghoa di Indonesia seolah menjadi sasaran


kebencian. Narasi kebencian sedemikian dahsyat menjadi gelombang yang
mengepung kehidupan mereka. Gelombang kebencian ini, semakin dahsyat pada
proses Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika Ahok—nama sapaan dari Basuki Tjahaja
Purnama—beradu kekuatan dengan Anies Baswedan dalam kontestasi politik. Citra
diri Ahok—representasi Tionghoa dan non-muslim—beradu melawan Anies
Baswedan, dengan citra pemimpin muslim dan keturunan Arab.

Isu pribumi-non pribumi yang berembus pada masa kampanye seolah menjadi
isu yang salah sasaran. Isu tersebut mempengaruhi persepsi publik dengan
menggiring kinerja kepemimpinan dan kredibilitas personal kepada kontestasi isu
etnisitas dan agama. Isu etnis menjadi perdebatan panjang di media sosial serta
menjadi vibrasi isu di kedai-kedai kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya
tidak hanya di Ibu Kota tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri
ini. Seusai Pilkada DKI Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak
menyurut. Dari perbicangan dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa
ketionghoaan dan label non-muslim menjadi penghalang untuk membangun jembatan
komunikasi. Mereka yang Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang
interaksi lintas kelompok.

Kebencian terhadap kelompok Tionghoa merentang panjang dalam sejarah


negeri ini. Narasi kebencian ini berenteng dari masa Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) hingga Orde Baru. Pada 1740, misalnya, sekitar sepuluh ribu
orang Tionghoa dibantai di Batavia. Secara kejam, Jenderal Adriaan Valckenier
membantai orang-orang Tionghoa dari kulminasi beberapa kasus. Dari Survei Wahid
Foundation (2017), muncul data betapa etnis Tionghoa menjadi kelompok yang
dibenci. Survei ini merilis bahwa Tinghoa menjadi kelompok yang dibenci bersama
non-muslim, komunis, LGBT, dan kelompok Yahudi. Melibatkan 1.520 responden,
59,9 persen responden survei tersebut memiliki kelompok yang dibenci. Bahkan, dari
59,9 persen pihak yang menguatkan kebencian, 92,2 persen di antaranya tidak setuju
bila anggota kelompok yang dibenci menjadi pejabat pemerintah di negeri ini. Lalu,
82,4 persen dari responden yang menyimpan kebencian itu menyatakan tidak rela jika
anggota kelompok yang dibenci menjadi tetangga.

Terlihat, kebencian telah merasuki urat nadi dan pemikiran personal serta
lingkungan keluarga, sehingga tidak membuka ruang bagi perbedaan di kehidupan
sosial mereka. Kebencian telah menutup pintu gerbang dialog untuk sama-sama
saling memahami. Kebencian ini tentu saja sangat berbahaya jika terus direproduksi

14
dan diwariskan, apalagi sebagai kepentingan politik. Padahal, pada awal
kemerdekaan Indonesia, para pejuang dan pendiri bangsa, telah sepakat membangun
negeri ini bagi semua golongan dan etnis.

Dari kasus dianalisi bahwa komunitas/kelompok Tionghoa merupakan


relational community yaitu suatu komunitas yang tidak didasari oleh letak geografis.
Contohnya, kelompok kelompok agama seperti kelompok Tionghoa tersebut. Pada
kelompok pembenci Tionghoa terdapat sense of community yaitu perasaan memiliki,
perasaan pentingnya satu sama lain yang dimiliki antar anggota dan untuk kelompok,
adanya kepercayaan yang dibagikan di antara mereka, serta adanya kebutuhan yang
membentuk komitmen untuk bersama. Mereka merasa kelompok Tionghoa bukan
anggota mereka sebagai warga Indonesia oleh karena itulah mereka tidak merasakan
saling memiliki dan tidak adanya kepercayaan.

Pada kelompok pembenci Tionghoa mereka memiliki elemen- elemen dari


Sense of Community salah satunya yaitu saling mempengaruhi. Dimana mereka bisa
terpengaruhi untuk membenci kelompok Tionghoa padahal mereka tidak terlibat
masalah yang tampak. Hal tersebut dikarenakan mereka terpengaruhi oleh
kebanyakan pemikiran dan tingkah laku anggota kelompok mereka.

Kelompok Tionghoa telah mendapatkan ancaman dan kecaman semenjak dari


dulu. Namun mereka tidak terlihat getir dengan hal tersebut. Hal semacam itu bisa
terjadi dikarenakan kelompok spritual memiliki rasa keanggotaan melalui ritual dan
simbol umum, termasuk ritus peralihan untuk keanggotaan. Ritual ini juga
membantu identifikasi dengan komunitas. Keamanan emosional disediakan melalui
berbagi kelompok kecil dan satu per satu untuk berbagi.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunitas adalah hubungan multidimensional yang memiliki nilai tersendiri


bagi anggotanya. Mereka bersama bukan hanya untuk mencapai suatu tujuan, tetapi
karena suatu nilai saling menghargai dan untuk mempertahakan hubungan tersebut.
Ada dua tipe komunitas, yaitu Locality-Based Community (konsep tradisional dari
komunitas) dan Relational Community (komunitas yang tidak didasari oleh letak
geografis).

Sense of community adalah perasaan memiliki, perasaan pentingnya satu sama


lain yang dimiliki antar anggota dan untuk kelompok, dan adanya kepercayaan yang
dibagikan di antara mereka, serta adanya kebutuhan yang membentuk komitmen
untuk bersama. Elemen-elemen Sense of Community, yaitu Membership
(Keanggotaan), Influence (Mempengaruhi), Integration and Fulfillment of Needs
(Integrasi dan Pemenuhan Kebutuhan), Shared Emotional Connection (Koneksi
Emosional).

Lima fungsi penting komunitas. Pertama, membantu memenuhi kebutuhan


utama manusia untuk menemukan makna dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,
komunitas spiritual memberikan rasa komunitas dan memenuhi kebutuhan utama
manusia untuk memiliki. Ketiga, komunitas spiritual memberikan layanan komunitas
yang penting. Keempat, komunitas spiritual sangat berharga bagi anggota yang
tertindas, populasi yang kehilangan haknya, kekurangan sumber daya dan kekuasaan
dalam masyarakat. Kelima, beberapa komunitas spiritual menantang kekuatan dalam
budaya mainstream.

16
Daftar Pustaka

Bret, Kloos., Jean, Hill.,Elizabeth, Thomas., Abraham, Wendersman., Maurice,


J.Eloas., & James, H.Dalton. (2012). Community Psychology Linking
Individals and Communities 3rd Edition, 184 – 185. Wadsworth Cengage
Learning.

Dalton, J.H., Elias, M.J., & Wandersman, A. (2001). Community psychology: linking
individuals and communities. Stanford, CT: Wadsworth.

Khusairi, Ahmad., Yuni Nurhamida., Alifah Nabilah Masturah. 2017. Sense of


community dan partisipasi warga kampung wisata Jodipan. Jurnal RAP UNP,
Vol. 8, No.1.

https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/14163721/tionghoa-antara-sasaran-
kebencian-dan-ketimpangan-sosial diakses pada Senin tanggal 23 September
2018 pukul 18.42 WIB.

(http://insanazzamit.blogspot.co.id/2012/11/peranan-capital-social-dalam.html?m=1
diakses 20/09/18).

17
18

Anda mungkin juga menyukai