Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan Makalah Psikologi Komunitas
mengenai "Komunitas dan Kesadaran Komunal”. Shalawat beriring salam kita
junjungkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dan penuh dengan ilmu
pengetahuan serta teknologi canggih seperti sekarang ini.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan bagi
para pembaca.Penulis menyadari kekurangan – kekurangan dalam pembuatan
makalah ini karena terbatasnya pengetahuan dan pemahaman penulis. Oleh karena
itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kelancaran proses
pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan saat ini. Serta tidak lupa pula peneliti
hanturkan permohonan maaf jika terdapat kekurangan dan kesalahan, baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Wassalam
Penulis
i
Daftar Isi
Kata pengantar…………………………………………………………………….i
Daftar isi………………………………………………………………………...i
BAB I PENDAHULUAN…………………..……………….………………...1
1.1 LatarBelakang………………………………………..…………...………1
1.2 RumusanMasalah……………………………………….………….……..1
1.3 Tujuan…………………………………………………………………….2
1.4 Manfaat………..…………………………………..……………………..2
BAB II PEMBAHASAN………………………………..………………….…..3
2.8 Kasus……………….………………………………………………………11
3.1 Kesimpulan………………………………………………………….…....16
Daftar Pustaka…………………………………………………………...….17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
kebingungan dalam membedakan yang mana yang bisa disebut sebagai komunitas
hal yang didefinisikan sebagai komunitas. Berdasarkan syarat utama suatu kelompok
menjabarkan apa itu komunitas. Hal ini bertujuan agar kelompok tidak lagi merasa
yaitu:
1
1.3 Tujuan Makalah
Untuk menjawab rumusan masalah di atas, maka, tujuan dari pembuatan makalah ini
ialah:
1. Sebagai tambahan referensi bagi mahasiswa mengenai apa itu komunitas dan
sense of community.
pembaca.
2
BAB II
PENDAHULUAN
Menurut Ferdinand Tönnies, seorang sosiolog dari Jerman, mengatakan bahwa ada
beberapa tahapan dalam hubungan sosial. Yang paling terkenal ialah hubungan
Gemeinschaft dan Gesell schaf. Gemein schaft inilah yang sering diartikan sebagai
komunitas. Gemein schaft merupakan suatu hubungan dimana multidimensional dan
memiliki nilaitersendiri, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.Hubungan
ini tercipta semata- mata karena kita menghargai antar sesame dan hubungan yang
mengikat kita. Para anggota saling mengenal dalam banyak hal dan bekerja untuk
mempertahankan hubungan tersebut. Bukan karena suatu alasan khusus, tetapi karena
hubungan yang ada di anata rmereka.
3
2.2 Tipe- Tipe Komunitas
1. Locality-Based Community
2. Relational Community
4
Sense of community merupakan hal terpenting dalam mendefinisikan diri kita sebagai
bagian dari suatu komunitas. Ada beberapa ahli yang mendefinisikan sense of
community.
McMillan and Chavis (dalamKloos, Hill, dkk, 2012), mengidentifikasikan ada empat
elemen dari sense of community, yaitu:
1. Membership (Keanggotaan)
Elemen Ini adalah rasa diantara anggota komunitas tentang investasi pribadi di dalam
komunitas dan perasaan memiliki. Memiliki lima atribut, yaitu: (1) batasan,
merupakan hal yang membedakan antara yang mana yang merupakan anggota dan
yang bukan anggota; (2) symbol umum, hal yang mengidentifikasi anggota
danwilayah; (3) keamanan emosional, berarti hubungan yang aman untuk berbagi
perasaan dan kekhawatiran, ditandai dengan adanya keterbukaan dan penerimaan
kelompok; (4) investasi pribadi, investasi menunjukkan komitmen jangka panjang
untuk komunitas; (5) perasaan memiliki dan identifikasi, individu diterima oleh
5
anggota komunitas lain dan mendefinisikan identitas pribadi dalam hal keanggotaan
komunitas.
2. Influence (Mempengaruhi)
Elemen ini mengacu pada hubungan timbal balik yang dinamis dari kelompok
keanggotanya atau anggota ke kelompoknya.Anggota lebih tertarik pada kelompok di
mana mereka merasa berpengaruh. Anggota yang paling berpengaruh dalam
kelompok seringkali adalah mereka yang membutuhkannya dan memiliki nilai
tersendiri atau menghargai kelompoknya.Kelompok dalam hal ini ialah komunitas.
Integrasi berfokus pada hubungan horizontal antar anggota. Yang memiliki dua
aspek, yaitu: berbagai nilai yang sama, dan pertukaran sumber daya.
Terdapat banyak penelitian yang telah megkaji ulang kestabilan dan validitas dari
kontruk yang menyusun sense of community yang disampaikan oleh McMillan-
Chavis.Hasilnya menunjukkan bahwa, sense of community merupakan suatu hal yang
kontekstual.Yaitu bisa saja memiliki perbedaan tergantung pada budaya dan
komunitas itu sendiri.
6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khusairi, Nurhamida, &Masturah (2017),
pada warga Kampung Wisata Jodipan, menunjukkan bahwa, sense of community juga
bergantung terhadap lamanya warga tinggal disuatu daerah. Penelitia nmenunjukkan
usia subjek yang semakin tua akan membentuk sense of community dan partisipasi
warga yang tinggi. Hal ini mendukung fakta bahwa sense of community merupakan
suatu hal yang kontekstual.
7
2.6 Jenis- Jenis Komunitas
Individu memiliki banyak komunitas (Hunter & Riger, 1986). Ini beberapa
keanggotaan dapat memainkan peran dalam memperkuat identitas. Kita membentuk
banyak identitas sebagai anggota dari berbagai komunitas, seperti siswa, karyawan,
keluarga anggota, dan tetangga. Terkadang, beberapa komitmen ini bersaing waktu
dan energi atau konflik kita dengan cara yang penting. Kehidupan individu dewasa
sering diisi dengan banyak identitas di banyak komunitas dan penyeimbangan
komitmen diantara mereka. Di sisi lain, beberapa komunitas dalam kehidupan kita
merevitalisasi kita, menyediakan sumber daya dan energi untuk keterlibatan di
komunitas lain. Rohani dan komunitas gotong royong dapat memiliki efek ini tetapi
juga dapat kelas latihan atau grup musik. Kunci untuk memahami banyak
keanggotaan komunitas adalah peran setiap komunitas dalam kehidupan seseorang.
Individu memilih seberapa berkomitmen mereka ke berbagai komunitas dalam
kehidupan mereka (Hunter & Riger, 1986). Masyarakat psikologi baru mulai
mempelajari bagaimana berbagai komunitas ini berinteraksi (Brodsky et al., 2002).
8
2.7 Pentingnya Komunitas dalam Konteks Sosial
Menurut Kloss, dkk (2012) dalam Spritualitas melayani lima fungsi penting
komunitas. Pertama, membantu memenuhi kebutuhan utama manusia untuk
menemukan makna dalam kehidupan sehari-hari (Frankl, 1959/1984; Pargament,
1997). Spiritualitas menyediakan pelipur lara dalam menghadapi keadaan tak
terkendali dan memiliki panduan aktif dalam mengatasi keadaan yang dapat
dikontrol. Rasa transendensi menyediakan cara untuk memahami hidup seseorang,
sementara nilai-nilai spiritual memberikan panduan untuk hidup.
Komunitas spiritual juga mendorong pengaruh timbal balik dan integrasi serta
pemenuhan kebutuhan. Praktik spiritual bersama memengaruhi keputusan individu.
Menurut Maton & Salem dalam Kloss, dkk (2012) banyak pengaturan spiritual
memberikan peluang untuk partisipasi anggota di kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Anggota komunitas spritual membantu untuk saling bertemu antarpribadi,
ekonomi, psikologis, dan kebutuhan spiritual. Akhirnya, komunitas spiritual
menumbuhkan ikatan emosional dan spiritual berdasarkan pada pengertian
transendensi spiritual yang sangat berbeda. Kelompok kecil, religius kelas
pendidikan, dan komunitas asuh ibadah bersama (Wuthnow, 1994).
9
Ketiga, komunitas spiritual memberikan layanan komunitas yang penting.
Keterlibatan keagamaan di kalangan remaja dan orang dewasa telah ditunjukkan
dalam penelitian untuk melindungi terhadap perilaku berisiko dan meningkatkan
kesejahteraan (Kloos & Moore, 2000a; Kress & Elias, 2000; Steinman &
Zimmerman, 2004). Komunitas spiritual menawarkan dukungan untuk keluarga,
orang tua, dan pasangan perkawinan, termasuk lokakarya, pertemuan kelompok kecil,
dan konseling. Banyak layanan komunitas lain yang memiliki basis spiritual spiritual
- dari dapur umum hingga Habitat for Humanity. The Caroline Centre, dioperasikan
oleh para suster dari ordo Katolik Roma, memberikan pelatihan kerja dan komunitas
penting untuk perempuan Baltimore berpenghasilan rendah (Brodsky & Marx, 2001).
Dua belas langkah kelompok saling membantu adalah bentuk penyembuhan yang
umum dan efektif (Humphrey, 2000). Program untuk mempromosikan ketenangan di
Masyarakat Alaska asli melibatkan konsep spiritual asli pribumi (Hazel & Mohatt,
2001). Keempat, komunitas spiritual sangat berharga bagi anggota yang tertindas,
populasi yang kehilangan haknya, kekurangan sumber daya dan kekuasaan dalam
masyarakat. Kelima, beberapa komunitas spiritual menantang kekuatan dalam budaya
mainstream. Di budaya Barat, komunitas ini membantu mengimbangi nilai-nilai
mainstream individualisme dan materialisme melalui kepedulian terhadap kebaikan
publik, untuk kehilangan haknya dan untuk keadilan sosial, dan untuk nilai-nilai belas
kasih dan layanan. Advokasi sosial, salah satu cara yang perspektif spiritual
menantang arus utama, termasuk posisi publik yang diambil oleh lembaga agama
nasional dan upaya tingkat komunitas oleh kelompok berbasis agama lokal (Maton,
2000; 2001). Untuk Misalnya, gerakan hak-hak sipil A.S. melibatkan hal yang
berbasis agama untuk mengubah inisiatif. Pengorganisasian masyarakat untuk
keadilan sosial, yang didasarkan pada komunitas iman, telah mencapai perubahan
komunitas substantif (Putnam & Feldstein, 2003; Speer, Hughey, Gensheimer, &
Adams-Leavitt, 1995). Dasar komunitas gerejawi adalah kelompok spiritual kecil
yang bertemu untuk ibadah, dukungan antarpribadi, refleksi pada cita-cita spiritual,
dan mengambil tindakan kolektif untuk keadilan sosial dan pengembangan
masyarakat (Dokecki et al., 2001; Trout, Dokecki, Newbrough, & O’Gorman, 2003).
10
Tidak mengherankan, banyak contoh advokasi berbasis agama muncul di antara
anggota populasi yang tertindas.
2.8 Kasus
Isu etnis menjadi perdebatan panjang di media sosial serta menjadi vibrasi isu
di kedai-kedai kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya tidak hanya di Ibu
Kota tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri ini. Seusai Pilkada
DKI Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak menyurut. Dari perbicangan
dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa ketionghoaan dan label non-muslim
11
menjadi penghalang untuk membangun jembatan komunikasi. Mereka yang
Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang interaksi lintas kelompok.
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Warga keturunan Tionghoa berdoa di Vihara Hian Thian Siang Tee Bio,
Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (15/2/2018). Warga keturunan Tionghoa melakukan
doa untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2569. Lalu, di tengah tragedi 1965, orang-
orang Tionghoa dikaitkan dengan komunisme dan dianggap mendukung PKI.
Framing ini menjadi senjata politik untuk mendiskriminasi orang Tionghoa di ruang
publik. Pada masa Orde Baru berkuasa, kebencian terhadap Tionghoa tidak kalah
kejamnya. Soeharto menjadikan orang Tionghoa sebagai sapi perah ekonomi, untuk
menarik sebanyak mungkin keuntungan dalam bisnis. Barulah ketika KH
12
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, kebijakan diskriminatif terhadap
komunitas Tionghoa dicabut. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus
Dur mencabut Instruksi Presiden terbitan Soeharto pada 1967, yang membatasi ruang
gerak dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa.
Warisan Kebencian
13
2.9 Analisa Kasus
Isu pribumi-non pribumi yang berembus pada masa kampanye seolah menjadi
isu yang salah sasaran. Isu tersebut mempengaruhi persepsi publik dengan
menggiring kinerja kepemimpinan dan kredibilitas personal kepada kontestasi isu
etnisitas dan agama. Isu etnis menjadi perdebatan panjang di media sosial serta
menjadi vibrasi isu di kedai-kedai kopi, masjid, dan sekolah. Bahkan, vibrasi isunya
tidak hanya di Ibu Kota tetapi juga melampaui ruang menuju lintas kawasan di negeri
ini. Seusai Pilkada DKI Jakarta, ternyata kebencian terhadap Tionghoa tidak
menyurut. Dari perbicangan dengan teman-teman di beberapa daerah, betapa
ketionghoaan dan label non-muslim menjadi penghalang untuk membangun jembatan
komunikasi. Mereka yang Tionghoa sering dicap kafir dan diekslusi dari ruang
interaksi lintas kelompok.
Terlihat, kebencian telah merasuki urat nadi dan pemikiran personal serta
lingkungan keluarga, sehingga tidak membuka ruang bagi perbedaan di kehidupan
sosial mereka. Kebencian telah menutup pintu gerbang dialog untuk sama-sama
saling memahami. Kebencian ini tentu saja sangat berbahaya jika terus direproduksi
14
dan diwariskan, apalagi sebagai kepentingan politik. Padahal, pada awal
kemerdekaan Indonesia, para pejuang dan pendiri bangsa, telah sepakat membangun
negeri ini bagi semua golongan dan etnis.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
16
Daftar Pustaka
Dalton, J.H., Elias, M.J., & Wandersman, A. (2001). Community psychology: linking
individuals and communities. Stanford, CT: Wadsworth.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/22/14163721/tionghoa-antara-sasaran-
kebencian-dan-ketimpangan-sosial diakses pada Senin tanggal 23 September
2018 pukul 18.42 WIB.
(http://insanazzamit.blogspot.co.id/2012/11/peranan-capital-social-dalam.html?m=1
diakses 20/09/18).
17
18