Anda di halaman 1dari 22

BUDAYA POLITIK

Artikel Tentang Budaya Politik Di Era Orde Orde

DISUSUN OLEH :

Mohammad Faruq Nawawi HT

20080018025

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
KOSENTRASI ILMU POLITIK
PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019
Artikel Orde Lama Era Soekarno

Orde Lama Soekarno: Kelahiran Indonesia

Soekarno (1901-1970), yang lahir di Surabaya pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
adalah pemimpin nasionalis dan pahlawan nasional yang mendedikasikan hidupnya kepada
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun bertumbuh dalam lingkungan tradisional Jawa
(dan dikombinasikan dengan pengaruh Bali dari sisi keluarga ibunya), Soekarno
mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah modern kolonial Belanda. Sejak usia muda
minat utamanya adalah membaca buku-buku dengan topik filosofi, politik dan sosialisme.
Waktu masih sekolah di Surabaya, Soekarno tinggal di rumahnya Oemar Said
Tjokroaminoto, pemimpin pertama dari Sarekat Islam (yang kemudian menjadi gerakan
penting untuk kebangkitan nasional Indonesia). Tjokroaminoto menjadi mentor politik dan
inspirasi bagi Soekarno.

Pada tahun 1927 Soekarno mendirikan dan menjadi pemimpin sebuah organisasi politik yang
disebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan penuh
untuk Indonesia. Namun, aktivitas politik subversif ini menyebabkan penangkapan dan juga
pemenjaraannya oleh rezim Pemerintah Kolonial Belanda yang represif di tahun 1929. Bagi
orang-orang Indonesia pada saat itu, pembuangan Soekarno itu malah memperkuat saja
citranya sebagai pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan. Setelah pembebasannya,
Soekarno berada dalam konflik yang terus berkelanjutan dengan pemerintahan kolonial
selama tahun 1930an, menyebabkan Soekarno berkali-kali dipenjara.

Waktu Jepang menginvasi Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, Soekarno menganggap
kolaborasi dengan Jepang sebagai satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan secara
sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif.

Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sangat menghormati dan mengagumi Soekarno,
pencetus dari nasionalisme Indonesia, karena mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan
Indonesia dan membawa identitas politik baru kepada negara Indonesia.

Kelahiran yang Sulit Bangsa Indonesia

Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) bersama Mohammad Hatta (Wakil Presiden
pertama Indonesia), dua nasionalis paling terkemuka di Indonesia, memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bersama dengan publikasi konstitusi yang
pendek dan sementara (UUD 1945), tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir.
Nyatanya akan membutuhkan empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang -
setelah dibebaskan dari Jerman di Eropa - kembali untuk mengklaim kembali koloni mereka.

Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni mereka di Asia Tenggara yang sangat
menguntungkan namun kemudian harus menghadapi kenyataan juga. Di bawah tekanan
internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali
untuk wilayah barat pulau Papua). Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan
'Republik Indonesia Serikat' yang memiliki konstitusi federal yang dianggap terlalu banyak
dipengaruhi oleh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera diganti dengan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian menjadi dasar hukum sistem
pemerintahan parlementer, yang menjamin kebebasan individu dan mengharuskan tentara
untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi presiden, secara garis besar, hanya memiliki
fungsi seremonial dalam sistem ini.

Perdebatan antara beberapa pihak yang berpengaruh mengenai dasar ideologis Indonesia dan
hubungan organisasional antara sejumlah badan negara telah dimulai sebelum proklamasi
tahun 1945. Pihak-pihak ini adalah: (1) tentara, (2) kaum Islam, (3) para komunis, dan (4)
para nasionalis.

Pertama, tentara Indonesia, para pahlawan Revolusi, selalu memiliki aspirasi politik sendiri.
Namun, UUDS 1950, tidak menyediakan peran politik bagi para militer ini. Ini merupakan
sebuah kekecewaan untuk mereka dan sumber kecurigaan terhadap pihak-pihak lain yang
mendapatkan kekuatan melalui UUDS 1950.

Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam pembicaraan-pembicaraan konstitusi -


meskipun dalam topik-topik lain tidak mewakili kelompok yang homogen - ingin Indonesia
menjadi sebuah negara Islam yang diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-
kelompok lain menganggap bahwa pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan
persatuan Indonesia dan bisa memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme
karena terdapat jutaan orang non-Muslim serta banyak Muslim yang tidak terlalu strik di
Indonesia.

Hal lain yang menyebabkan kecemasan di pihak perwakilan partai-partai Islam maupun
militer adalah kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah dilarang oleh
pemerintahanan kolonial pada tahun 1927 karena mengorganisir pemberontakan-
pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dan menjadi salah satu partai paling populer dalam skala nasional maka
merupakan kekuatan politik.

Dan terakhir, ada juga para nasionalis yang menekankan kebutuhan akan jaminan hak-hak
individu versus negara. Para nasionalis berjuang dalam PNI (versi partai politik dari gerakan
PNI yang telah disebutkan sebelumnya, yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 dan
yang bertujuan meraih kemerdekaan). PNI meraih banyak dukungan di Indonesia.

Makanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk menyatukan sudut pandang yang
berbeda-beda ini. Pada bulan Juni 1945, Soekarno menyampaikan pandangannya mengenai
kebangsaan Indonesia dengan memproklamasikan filosofi Pancasila. Pancasila ini adalah
lima prinsip yang akan menjadi dasar Negara Indonesia:
Pancasila Indonesia Investments
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia

Namun, ada satu masalah berkelanjutan yang menjadi penghalang persatuan masyarakat
Indonesia yang sangat pluralistis melalui Pancasila yaitu adalah tuntutan pendirian negara
Islam oleh partai-partai Islam. Pada awalnya, Panitia Sembilan (komite yang terdiri dari
sembilan tokoh kemerdekaan yang merumuskan dasar negara Indonesia) setuju untuk
menambahkan tambahan pendek pada sila pertama: 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalani
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Namun, sebelum diumumkan ke publik, tambahan
pada dasar negara tahun 1945 versi pertama ini (dikenal sebagai "Piagam Jakarta")
dihapuskan karena kekuatiran bahwa hal ini bisa menimbulkan kemarahan dari kelompok
non-Muslim atau para Muslim yang tidak terlalu religius. Penghapusannya kemudian
menyebabkan ketidakpercayaan yang dalam pada kelompok nasionalis sekuler oleh
komunitas Muslim yang lebih ortodoks.

Demokrasi Parlementer

Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950an ditandai oleh ketidakstabilan. Alasan
utamanya adalah perbedaan sudut pandang mengenai dasar ideologis negara. Situasi ini
terlihat dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi
pada tahun 1955 dan dianggap jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40
tahun sebelum Indonesia bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua
partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama, atau NU (Nahdatul Ulama telah
memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952) mendapatkan masing-masing 20,9% dan
18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara PKI meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada
mayoritas satu partai yang bisa menguasai pemerintahan sehingga kabinet di masa
parlementer dibentuk dengan membangun koalisi-koalisi antara berbagai aliran ideologi. Dari
1950 sampai 1959, tujuh kabinet yang memerintah berganti-ganti secara cepat, dan setiap
kabinet gagal membuat perubahan yang signifikan untuk negara.

Pemilu Indonesia 1955:

Suara
Partai Politik Ideologi
(%)
Masyumi 20.9 Islam
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) 20.3 Nationalis
Nahdlatul Ulama (NU) 18.4 Islam
Partai Komunis Indonesia (PKI) 16.4 Komunis

Sumber: M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200

Selain perselisihan dalam elit politik Jakarta, ada masalah-masalah lain yang membahayakan
persatuan Indonesia pada era tahun 1950an. Gerakan militan Darul Islam, yang bertujuan
mendirikan negara Islam dan menggunakan teknik perang gerilya untuk mencapai tujuannya,
telah memenangkan wilayah-wilayah di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Gerakan ini
telah dimulai selama periode kolonial namun cepat merubah arahnya melawan pemerintahan
di bawah Soekarno hingga penyerahannya pada tahun 1962.

Gerakan subversif lain yang berdampak adalah Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di
Sulawesi Utara dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat.
Keduanya dimulai pada akhir tahun 1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan
tuntutan-tuntutan reformasi politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin
para perwira militer, didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central Intelligence
Agency (CIA) dari Amerika Serikat (AS) yang menganggap popularitas PKI sebagai sebuah
ancaman besar.

Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah pusat berhasil menghancurkan gerakan-


gerakan ini pada awal 1960an. Terakhir, para mantan anggota militer bentukan Pemerintah
Kolonial Belanda yang bernama Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)
memproklamasikan Republik Maluku Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil
dikalahkan oleh kekuatan militer Indonesia pada tahun yang sama, konflik bersenjata
berlanjut hingga tahun 1963.

Demokrasi Terpimpin Soekarno

Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia
karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno
adalah "Demokrasi Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur
sistem kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki lebih
banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer, yang tidak senang
dengan perannya yang kecil dalam soal-soal politik hingga saat itu, mendukung perubahan
orientasi ini. Pada tahun 1958, Soekarno telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah
'kelompok fungsional' yang berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada
periode Demokrasi Terpimpin, perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar.

Pada tahun 1959, Soekarno memulai periode Demokrasi Terpimpin. Ia membubarkan


parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru yang setengah dari anggotanya ditunjuk
sendiri oleh Soekarno. Soekarno juga sadar akan bahayanya bagi kedudukannya bila militer
menjadi terlalu kuat. Karena itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari PKI untuk
mengimbangi kekuatan militer. Baik militer maupun PKI merupakan bagian dari filosofinya
yang disebut 'Nasakom', sebuah akronim yang mencampurkan tiga buah ideologi yang paling
penting dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1950an dan awal 1960an yaitu nasionalisme,
agama, dan komunisme. Ketiga komponen ini hanya memiliki sedikit kesamaan, bahkan tiap
komponen bermasalah dengan komponen lainnya. Semuanya tergantung pada kemampuan
politik, kharisma dan status Soekarno untuk tetap menjaga kesatuan ketiga komponen ini.

Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat
dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih
bagian Barat pulau Papua dari Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda
menyerahkan wilayah ini ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian
menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun selanjutnya.

Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan Malaysia. Ia
menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah
Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari
pemerintah kolonial dan melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk
‘menghancurkan’ Malaysia. Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia
dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun 1965,
Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan mengeluarkan
Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berarti
bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk
situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.

Kudeta Misterius Gerakan 30 September

Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar. Pada 30 September 1965, menjadi
jelas betapa berbahayanya campuran politis yang telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu,
enam jenderal dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang
menamakan diri Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer
yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada
bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno.

Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang serangan untuk mencegah kudeta militer
ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
yang kemudian mengambil alih kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi
setelah pembunuhan atasannya, dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut
komunis dan orang-orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah,
Jawa Barat, Bali dan Sumatra Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara 400.000
sampai satu juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan pembantaian adalah unit-
unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang mendapatkan senjata dari militer) dan
Ansor (organisasi pemuda militan dari NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan
1966.
Namun, banyak isu mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-komunis selanjutnya
tetap tidak jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar tidak akan diketahui kebenarannya.
Setelah Orde Baru Suharto berakhir pada tahun 1998, masyarakat Indonesia mulai meragukan
penjelasan resmi dari Pemerintah yang menyalahkan komunis namun bab sejarah ini tidak
menerima perhatian besar dalam diskusi publik, kecuali sebuah laporan dari Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2012 yang menyatakan pembantaian ini
sebagai pelanggaran hak asasi manusia luar biasa.

Kudeta ini dan peristiwa-peristiwa selanjutnya menyebabkan konsekuensi-konsekuensi


politis dramatis untuk Soekarno. Indonesia berada di bawah hukum darurat militer yang
membuat kekuasaan nyata berada di tangan Jenderal Suharto. Selama dua tahun selanjutnya,
Suharto dengan pelan namun pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan Soekarno ke
pinggir. Hal ini menandai dimulainya Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah
tahanan rumah di Bogor (Jawa Barat) dan kesehatannya menurun hingga kematiannya pada
tahun tahun 1970.
Artikel Orde Baru Era Soeharto

Orde Baru Suharto: Pembangunan Indonesia di Bawah Pemerintahan Otoriter

Suharto (1921-2008), Presiden kedua Indonesia, meraih kekuasaan di tengah periode krisis
darurat dan pertumpahan darah. Pendahulunya, Soekarno, telah menciptakan komposisi
pemerintahan antagonistik yang sangat berbahaya dan terdiri dari fraksi-fraksi nasionalis,
komunis, dan agama yang saling mencurigakan. Pihak lain yang bersemangat untuk
memegang kekuatan politik adalah pihak tentara, yang berhasil menjadi lebih berpengaruh
dalam politik Indonesia pada tahun 1950an waktu perlu menghancurkan sejumlah
pemberontakan yang mengancam kesatuan Indonesia.

Keempat kelompok ini sangat saling mencurigai satu sama lainnya. Ketidakpercayaan ini
kemudian memuncak pada tragedi di pertengahan 1960an ketika sekelompok perwira aliran
kiri, karena pengaruh Partai Komunis Indonesia (menurut versi tentara), melakukan kudeta
dengan menculik dan membunuh tujuh pimpinan utama militer yang mereka tuduh ingin
menjatuhkan Presiden Soekarno. Suharto, seorang perwira tinggi yang mengambil alih
kekuasaan militer selama masa kekacauan ini, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia
(PKI) adalah dalang segala kekacauan ini. Selama beberapa bulan kemudian, ratusan ribu
pengikut aliran komunis maupun orang yang diduga pengikut aliran komunis dibantai di
Sumatra, Jawa and Bali. Walaupun banyak fakta tetap tidak diketahui kebenarannya, jelas
bahwa Jenderal Suharto muncul sebagai pemilik kekuasaan yang besar di tengah kekacauan
di tahun 1960an.

Peralihan Kekuasaan: Orde Lama menjadi Orde Baru

Pada 11 Maret 1966, Indonesia masih dalam keadaan terguncang dan terjebak dalam
kekacauan. Tepat pada hari itu, Presiden Soekarno dipaksa menandatangani sebuah dekrit
yang memberikan kekuasaan kepada Jenderal Suharto untuk melakukan tindakan-tindakan
demi menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas negara. Dekrit ini dikenal sebagai
dokumen Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan menjadi alat pemindahan
kekuasaan eksekutif dari Soekarno ke Suharto. Suharto dengan cepat melarang segala
aktivitas PKI, mulai membersihkan militer dari elemen-elemen aliran kiri, dan mulai
memperkuat peran politik militer di masyarakat Indonesia.

Meski masih tetap presiden, kekuatan Soekarno makin lama makin berkurang sehingga
Suharto secara formal dinyatakan sebagai pejabat sementara presiden pada tahun 1967 dan
dilantik menjadi Presiden Indonesia kedua pada tahun 1968. Ini menandai munculnya era
baru yang disebut 'Orde Baru' dan berarti bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah diubah
dengan drastis. Pemerintah Suharto ini berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan
dengan dunia Barat, yang telah dihancurkan Soekarno, dipulihkan sehingga memungkinkan
mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan masuk ke Indonesia. Manajemen
fiskal yang penuh kehati-hatian mulai dilaksanakan oleh para teknokrat dan konfrontasi yang
berbahaya dan mahal melawan Malaysia dihentikan.

Langkah selanjutnya yang dilakukan Suharto adalah depolitisasi Indonesia. Para menteri
tidak diizinkan membuat kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh atasannya (Presiden).
Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan
sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar ini mencakup beberapa ratus
kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan
pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh
partai-partai politik.

Golkar dikembangkan menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam
pemilihan umum akan mendukung pemerintah. Golkar memiliki jaringan sampai ke desa-
desa dan didanai untuk mempromosikan Pemerintah Pusat. Para pegawai negeri sipil
diwajibkan mendukung Golkar sementara kepala-kepala desa menerima kuota suara untuk
Golkar yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan ini menghasilkan kemenangan besar untuk
Golkar pada pemilihan umum 1971.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Suharto 'mendorong' sembilan partai


politik yang ada untuk bergabung sehingga tinggal dua partai. Partai pertama adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai kedua adalah
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen. Kendati
begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga hanya menjadi
masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum.

Pemerintahan yang Semakin Otoriter

Dari permulaan Orde Baru, angka-angka pertumbuhan makroekonomi sangat mengesankan


(penjelasan lebih mendetail ada di bagian 'Keajaiban Orde Baru'). Namun, kebijkan-
kebijakan ini juga menyebabkan ketidakpuasan di masyarakat Indonesia karena pemerintah
dianggap terlalu terfokus pada menarik investor asing. Sementara kesempatan-kesempatan
investasi yang besar hanya diberikan kepada orang Indonesia yang biasanya merupakan
perwira militer atau sekelompok kecil warga keturunan Tionghoa (yang merupakan
kelompok minoritas di Indonesia tapi sempat mendominasi perekonomian).

Muak dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), ribuan orang melakukan demonstrasi di
tahun 1974 waktu Perdana Menteri Jepang melakukan kunjungan ke Jakarta. Demonstrasi ini
berubah menjadi kerusuhan yang besar yang disebut 'Kerusuhan Malari'. Itu adalah
pengalaman yang mengerikan bagi pemerintahan yang baru karena hal ini menunjukkan
bahwa Pemerintah tidak bisa menguasai massa. Kuatir bahwa suatu hari mungkin akan ada
perlawanan dari jutaan penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, kebijakan-kebijakan
baru (yang lebih menekan) dilaksanakan oleh Pemerintah. Dua belas surat kabar ditutup dan
para jurnalis ditahan tanpa persidangan. Hal ini mendorong media melakukan sensor sendiri.
Semua ketidakpuasan yang diekspresikan di publik (seperti demonstrasi) segera ditekan. Sisi
ekonomi dari perubahan kebijakan ini - dan yang mendapat banyak dukungan dari
masyarakat Indonesia - adalah dimulainya usaha-usaha membatasi investasi asing dan
kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakuan khusus bagi para pengusaha pribumi.

Dalam politik nasional, Suharto berhasil semakin memperkuat posisinya pada tahun 1970an.
Produksi minyak domestik yang memuncak memastikan bahwa pendapatan negara
berlimpah. Pendapatan ini digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan
program-program pengentasan kemiskinan. Namun, di dunia internasional, citra Indonesia
memburuk karena invasi Timor Timur. Setelah berhentinya masa penjajahan Portugal - dan
deklarasi kemerdekaan Timor Timur pada 1975 - militer Indonesia dengan cepat menginvasi
negara ini; sebuah invasi yang diiringi kekerasan.
Pada tahun 1984, semua organisasi sosial politik harus menyatakan Pancasila (lima prinsip
pendirian Negara Indonesia yang diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1940an) sebagai
satu-satunya ideologi mereka. Suharto kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat
penekanan karena semua organisasi berada di bawah ancaman tuduhan melakukan tidakan-
tindakan anti-Pancasila.

Bisa dikatakan bahwa di tahun 1980an, Suharto berada di puncak kekuasaanya. Setiap pemilu
dimenang secara mudah. Terlebih lagi, dia berhasil membuat pihak militer menjadi tidak
berkuasa. Sama dengan partai-partai politik dan pegawai negeri sipil, militer hanya bekerja
untuk mengimplementasikan kebijakan Suharto. Namun depolitisasi masyarakat Indonesia ini
memiliki satu efek samping yang penting yaitu kebangkitan kesadaran Islam, terutama di
kalangan kaum muda Indonesia. Karena arena politik adalah area tertutup, umat Muslim
melihat Islam sebagai alternatif yang aman. Keberatan dan keluhan tentang pemerintah
didiskusikan di mesjid-mesjid dan khotbah-khotbah karena terlalu berbahaya untuk berbicara
dalam demonstrasi (yang akan segera dihentikan juga bila terjadi). Kebangkitan Islam itu
menyebabkan perubahan kebijakan baru pada awal 1990an.

Perubahan Fokus ke Islam

Karena kekuatan-kekuatan Islam selalu kuat sepanjang sejarah Indonesia, para pemimpin
umum Muslim dari organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)
memiliki lebih banyak ruang untuk mengkritik (kebijakan) Suharto. Suharto (seorang muslim
tradisionalis yang tidak terlalu religius) mulai melakukan pendekatan baru pada Islam pada
awal 1990an. Ini termasuk jiarah naik haji Suharto ke Mekkah pada tahun 1991, penempatan
para perwira yang lebih 'ramah Islam' di pucuk pimpinan militer, dan pendirian Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). ICMI didirikan lebih sebagai sebuah tempat
menyuarakan masukan-masukan dari umat Muslim untuk kebijakan publik daripada sebuah
organisasi politik berbasis massa. Keanggotaannya mencakup para pemimpin Islam yang
kritis dan tidak terlibat dalam pemerintahan, dan juga menteri-menteri kabinet. Semua upaya
yang dikombinasikan ini memang berhasil untuk sedikit mengurangi kritikan dari komunitas
Muslim.
Oposisi yang Semakin Menguat

Selama era 1990an, Pemerintah Orde Baru Suharto mulai kehilangan kontrol ketika
masyarakat Indonesia menjadi semakin asertif. Hal ini sebagian disebabkan karena
kesuksesannya sendiri: perkembangan ekonomi yang mengesankan membuat lebih banyak
orang Indonesia mendapat pendidikan dan mereka yang terdidik ini merasa frustasi karena
tidak memiliki pengaruh apa pun dalam merubah keadaan politik di negara ini. Sementara itu,
para pengusaha pribumi frustasi karena tidak dapat kesempatan bisnis karena kesempatan-
kesempatan bisnis yang besar hanya diberikan kepada keluarga dan teman-teman dekat
Suharto (kroni-kroninya). Dari tahun 1993, demonstrasi-demonstrasi di jalan menjadi lebih
sering terjadi dan bukan tanpa kesuksesan, misalnya sebuah lotere yang disponsori
pemerintah terpaksa dihentikan karena demonstrasi oleh para mahasiswa maupun kelompok-
kelompok Muslim. Terlebih lagi, beberapa pejabat yang didukung pemerintah pusat
dikalahkan saat pemilihan umum di provinsi-provinsi. Ini menunjukkan kepada masyarakat
bahwa rejim Suharto bukannya tanpa kelemahan.

Isu lain yang memiliki dampak negatif untuk posisi pemerintah adalah kegiatannya
mencampuri urusan internal PDI. Megawati Soekarnoputri (puteri dari Soekarno) dipilih
sebagai ketua umum PDI pada tahun 1993 menggantikan Suryadi. Namun, pemerintah tidak
mengakui keputusan ini dan memerintahkan dilaksanakannya pemilihan ulang. Megawati,
yang semakin kritis terhadap rejim Suharto, dilihat sebagai sebuah ancaman nyata karena
status ayahnya. Oleh karena itu, Pemerintah pusat mendukung Suryadi di sebuah konggres
lain tanpa mengundang partisipasi Megawati. Ini menghasilkan pemilihan ulang Suryadi
sebagai Ketua Umum namun Megawati jelas menolak mengakui hasil dari konggres buatan
ini. Hal ini kemudian menyebabkan perpecahan di dalam PDI dan juga bentrokan-bentrokan
kekerasan di markas umumnya di Jakarta. Masyarakat pada umumnya merasa frustasi karena
Suharto ikut campur dalam urusan internal PDI, terutama karena hal ini melibatkan puteri
Sukarno.

Hancurnya Orde Baru Suharto

Legitimasi pemerintahan otoriter Suharto terutama berasal dari pembangunan ekonomi yang
terjadi pada masa pemerintahannya. Dari keputusasaan di tahun 1960an, proses industrialisasi
merubah Indonesia menjadi negara yang ekonominya menjanjikan. Institusi-institusi
internasional berpengaruh (seperti Bank Dunia) menyatakan Indonesia sebagai 'Keajaiban
Asia Timur' pada tahun 1990an. Istilah-istilah lain yang digunakan institusi-institusi
internasional menggambarkan performa ekonomi Indonesia sebagai 'Macan Asia' dan 'High
Performing Asian Economy' (HPAE). Tentu saja, komunitas internasional juga menyadari
bahwa hak asasi manusia tidak selalu dihormati oleh pemerintah. Namun, ironisnya,
karakteristik Orde Baru yang supresif juga menjadi kuncinya dalam mengentaskan
kemiskinan untuk jutaan orang karena hanya ada sedikit ruang untuk menentang pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan. Pada pertengahan tahun 1960an, lebih dari 50% penduduk
diklasifikasikan sebagai kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan, sementara di 1993
angka ini berkurang menjadi 13,5% dari jumlah total penduduk. Indikator-indikator sosial
lain (seperti partisipasi di sekolah, angka kematian bayi, usia harapan hidup) menunjukkan
hasil-hasil positif yang serupa.

Gaya pemerintahan Suharto adalah sistem politik patronase. Sebagai ganti untuk dukungan di
bidang politik atau keuangan, ia membujuk para pengkritiknya dengan memberikan mereka
posisi yang bagus di pemerintahan maupun kesempatan bisnis yang lukratif. Namun,
perlakuan pilih kasih ini tidak hanya diberikan pada para pengkritiknya. Selama dekade
terakhir pemerintahan Suharto, anak-anak maupun teman-teman dekatnya bisa membentuk
sebuah kerajaan bisnis hanya karena kedekatan mereka dengan Suharto. Meskipun banyak
orang Indonesia yang frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme tingkat tinggi di
lingkaran pemerintahan ini, Pemerintah selalu bisa merujuk pada pembangunan ekonomi
yang mengesankan dan pada saat yang sama melakukan lip service kepada masyarakat
dengan mengklaim bahwa ada usaha-usaha memberantas korupsi di negara ini.

Namun, pilar ekonomi yang menjadi alat legitimasi ini menghilang ketika Krisis Finansial
Asia melanda pada tahun 1997-1998 (penjelasan lebih mendetail ada di bagian Krisis
Finansial Asia). Indonesia menjadi negara yang paling terpukul akibat krisis ini yang
kemudian menimbulkan efek bola salju. Dari sebuah krisis ekonomi, efeknya berlanjut
menyebabkan krisis sosial dan juga politik. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh
dan masyarakat Indonesia menjadi bertekad menuntut adanya pemerintahan yang baru (tanpa
kehadiran Suharto). Jakarta berubah menjadi medan pertempuran tempat kerusuhan-
kerusuhan menghancurkan ribuan gedung, sementara lebih dari seribu orang dibunuh. Pada
21 Mei 1998, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sekutu dekat Suharto, menjadi
presiden ketiga Indonesia. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tuntutan
masyarakat Indonesia untuk memulai era Reformasi.
Artikel Era Reformasi

Reformasi: Tantangan & Perubahan Baru untuk Indonesia

Waktu Presiden Suharto turun dari jabatannya pada Mei 1998, peristiwa ini menandai awal
dari sebuah era baru dalam sejarah Indonesia. Setelah dikuasai oleh rezim otoriter Orde Baru
Suharto selama lebih dari tiga dekade, Indonesia memulai fase baru yang dikenal sebagai
Reformasi. Era ini dipandang sebagai awal periode demokrasi dengan perpolitikan yang
terbuka dan liberal. Dalam era baru ini, otonomi yang luas kemudian diberikan kepada daerah
dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat (desentralisasi). Dasar dari transisi
ini dirumuskan dalam UU yang disetujui parlemen dan disahkan Presiden Indonesia di tahun
1999 yang menyerukan transfer kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke
pemerintah-pemerintah daerah.

Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal yang berhubungan dengan
pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan fiskal-moneter dan makroekonomi, peradilan
dan agama. Yang tidak kalah penting adalah bahwa Daerah menerima bagian pendapatan
yang lebih besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah selalu merasa
tidak nyaman melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam lokal mengalir kepada
para pemangku kepentingan di Ibukota Jakarta. Namun, karena tidak setiap daerah di
Indonesia diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah, kesenjangan di antara daerah
kaya dan miskin meningkat.

Seiring dengan kekuasaan, korupsi juga terdesentralisasikan ke tingkat daerah. Muncul


“negara-negara bayangan” tempat elit daerah memegang kendali kekuasaan, bisnis dan aliran
dana. Salah satu korban dari era baru ini adalah lingkungan hidup Indonesia. Izin-izin
penebangan dan pertambangan dalam skala besar diberikan oleh otoritas lokal (terutama di
pulau-pulau yang kaya sumber daya seperti Sumatera dan Kalimantan) sebagai ganti bayaran
uang yang besar. Pemberian izin ini biasanya dilakukan tanpa proses administratif maupun
pengawasan yang layak. Sekarang, hampir 20 tahun kemudian, konsekuensi dari tindakan-
tindakan ini masih tetap terasa karena sering ada ketidakjelasan tentang ukuran wilayah
konsesi karena pemerintahan yang lemah di era pasca-Suharto.

Proses desentralisasi juga disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan di daerah-daerah di


Indonesia. Kekerasan ini terkait kuat dengan aspek etnis atau agama karena munculnya
persaingan untuk posisi politik lokal dalam kaitannya dengan kebangkitan identitas daerah.
Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini, kunjungi bagian Kekerasan Etnis dan Agama.

Pemerintahan Bacharuddin Habibie (1998-1999)

Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah wakil presiden selama masa jabatan presiden sebelumnya,
Suharto. Dia menggantikan Suharto pada tahun 1998 ketika Suharto turun dari kursi
kepresidenan. Namun, hal ini tidak mengakhiri sistem politik yang telah diterapkan selama
Orde Baru. Banyak orang Indonesia sangat mencurigai Habibie karena kedekatannya dengan
Suharto (yang telah menjadi sosok ayah bagi Habibie) dan fakta bahwa dia adalah pemain
penting dalam sistem patronase politik Suharto. Penolakan Habibie untuk memerintahkan
penyelidikan menyeluruh terhadap harta kekayaan Suharto hanya memperkuat rasa
ketidakpercayaan ini.

Habibie tidak memiliki pilihan lain selain meluncurkan program-program reformasi. Dia
akan melakukan "bunuh diri politik" jika tidak mematuhi tuntutan masyarakat Indonesia itu.
Selama masa kepresidenan Habibie, 30 undang-undang (UU) baru disetujui oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), beberapa di antaranya ditandai dengan perbedaan-
perbedaan fundamental dengan perpolitikan di masa lampau.

Sejumlah tindakan reformasi penting adalah:

 Dimulainya kebebasan pers


 Pemberian izin pendirian partai-partai politik dan serikat-serikat buruh baru
 Pembebasan tahanan-tahanan politik
 Pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun
 Desentralisasi kekuasaan ke daerah

Keputusan penting lainnya adalah penjadwalan pemilihan umum baru, yang diselenggarakan
pada bulan Juni 1999. Kendati begitu, parlemen belum mempunyai niat untuk mengurangi
pengaruh politik militer dan memerintahkan penyelidikan terhadap kekayaan Suharto.

Indonesia memasuki masa peningkatan kekerasan di daerah. Jawa Timur dilanda


pembunuhan misterius (yang mungkin dilakukan oleh unit-unit tentara) sementara kekerasan
agama berkobar di Jakarta, Ambon (Maluku), Kupang (Nusa Tenggara Timur) beserta
Kalimantan Barat. Selain itu, ada tiga daerah yang memberontak terhadap Pemerintah Pusat:
Aceh (Sumatera), Irian Jaya (Papua) dan Timor Timur.

Ini semua menghasilkan kondisi yang membuat para investor asing sangat ragu-ragu untuk
berinvestasi, sehingga menghambat pemulihan ekonomi Indonesia. Tidak kalah penting
adalah pembersihan sektor keuangan Indonesia, yang telah menjadi jantung dari Krisis
Keuangan Asia di akhir tahun 1990-an. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),
didirikan pada Januari 1998, menjadi sebuah lembaga yang kuat yang melakukan serangkaian
kegiatan terpadu dan komprehensif mencakup masalah seperti program liabilitas bank,
pemulihan dana negara, restrukturisasi perbankan, restrukturisasi pinjaman bank, dan
penyelesaian sengketa kepemilikan saham.

Kasus Timor Timur adalah salah satu hal yang menyebabkan banyak konflik, baik di tingkat
nasional maupun internasional. Timor Timur telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada
tahun 1975 tetapi diinvasi oleh Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini tidak mengakhiri
keinginan Timor Timur untuk merdeka. Habibie memiliki sikap terbuka terhadap
kemerdekaan Timor Timur. Dia menyatakan bahwa jika Timor Timur menolak status
provinsi otonomi khusus di Indonesia, maka Timor Timur dapat merdeka.

Pernyataan Habibie ini tidak disetujui oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat
ingin mencegah pemisahan Timor Timur dari Indonesia. Menurut pihak TNI, pemisahan
Timor Timur itu berbahaya bagi persatuan Indonesia karena dapat menyebabkan efek domino
di provinsi-provinsi lain. Diputuskan bahwa rakyat Timor Timur boleh membuat keputusan
ini melalui referendum. Hasil referendum ini adalah bahwa 78% pemilih memilih untuk
merdeka. Tentara Indonesia kemudian bereaksi dengan menyerang banyak wilayah di Timor
Timur, menewaskan lebih dari seribu orang.

Reputasi Habibie rusak parah akibat hilangnya kendali atas situasi politik di Timor Timur.
Meskipun unit tentara dan milisi sipil yang melakukan tindak kekerasan ekstrim, Habibie
secara pribadi dianggap bertanggung jawab sebagai presiden yang menjabat. Selain itu,
Habibie sendiri dikaitkan dengan skandal korupsi besar yang melibatkan Bank Bali. Bank ini
menerima dana dari BPPN untuk rekapitalisasi tetapi - diduga - hampir setengah dari dana
tersebut digunakan oleh tim kampanye Habibie.

Pemilihan Tahun 1999


Setelah tahun 1955, masyarakat Indonesia harus menunggu selama 44 tahun untuk
menyaksikan contoh lain dari pemilihan parlemen yang bebas dan adil. Dalam Pemilihan
Umum (Pemilu) 1999 masyarakat memilih partai politik, bukan individu. Karena tidak ada
batasan untuk pembentukan partai-partai politik (sebagai bagian dari program reformasi),
Indonesia menyaksikan menjamurnya partai-partai baru. Tidak kurang dari 48 partai
diizinkan untuk berpartisipasi dalam Pemilu tahun 1999, meskipun sebagian besar partai-
partai ini memainkan peran yang tidak signifikan.

Kebanyakan partai politik itu hanya bisa mengandalkan sedikit dukungan saja dari
masyarakat. Dalam perpolitikan modern Indonesia, sebuah partai politik pada dasarnya
adalah kendaraan politik untuk individu tertentu dan bukan lembaga yang mengekspresikan
ideologi atau visi bersama. Karena hanya beberapa orang bisa mengandalkan dukungan
publik selama Pemilu 1999, kebanyakan partai politik ditakdirkan untuk menerima sedikit
suara.

Salah satu dari tokoh-tokoh tersebut adalah Megawati Soekarnoputri, puteri Presiden pertama
Indonesia Soekarno. Dia telah mendirikan sebuah partai baru PDI-P (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan) pada tahun 1998 setelah dikeluarkan dari PDI (Partai Demokrasi
Indonesia) pada tahun 1996. Karena warisan ayahnya dan perlawanannya terhadap Orde Baru
menjelang akhir pemerintahan Suharto, ia menikmati popularitas yang tinggi (terutama di
Jawa dan Bali). Mirip dengan ayahnya, dia menekankan persatuan nasional dan
mengkampanyekan nasionalisme sekuler.

Tokoh nasional populer lainnya yaitu Abdurrahman Wahid yang telah mendirikan PKB
(Partai Kebangkitan Bangsa) pada tahun 1998. Sebelumnya, dia menjabat sebagai ketua
organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), tapi kemudian mengarahkan
tujuannya untuk menjadi presiden. Wahid mengkampanyekan sejenis nasionalisme toleran
dan mengandalkan dukungan populer dari masyarakat Muslim tradisional (sebagian besar di
Jawa).

Habibie, presiden Indonesia yang menjabat, memiliki ambisi untuk mempertahankan


posisinya. Meskipun tidak begitu populer, dia bisa mengklaim bahwa dia yang telah
meluncurkan program reformasi dan bisa mendapatkan keuntungan dari mesin politik Golkar
(Golongan Karya) yang kuat dan yang membentang sampai ke tingkat desa.
Terakhir, Amien Rais, tokoh oposisi terhadap Orde Baru Suharto, bergabung dalam
perlombaan dengan Partai Amanat Nasional-nya (PAN) dan seorang outsider yang patut
diperhitungkan.

Satu hal yang penting selama Pemilu ini adalah bahwa kursi di parlemen akan dibagi dua.
Pulau Jawa menerima setengah dari kursi sementara separuh lainnya dibagi ke pulau-pulau
lain. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk mengurangi posisi dominan Jawa dalam
perpolitikan nasional. Namun, karena Jawa memiliki kepadatan penduduk yang jauh lebih
tinggi dari luar Jawa, pada dasarnya tersirat bahwa suara non-Jawa lebih kuat dibanding suara
Jawa. Situasi ini akan menyebabkan konsekuensi yang luar biasa untuk pemilu ini.

Pemilu Legislatif Indonesia 1999:

1999
PDI-P 34%

Golkar 22%
PKB 13%

PPP 11%
PAN 7%

Sekitar 90 persen dari pemilih Indonesia datang untuk memberikan suara mereka pada
tanggal 7 Juni 1999. Seperti dugaan sebelumnya, PDI-P menerima sebagian besar suara (34
persen) dengan Golkar pada posisi kedua (22 persen). Namun, kedua partai tersebut
mendapat alokasi jumlah kursi yang hampir sama dalam parlemen karena PDI-P menerima
sebagian besar suara dari pulau Jawa, sementara Golkar menikmati suara terbanyak dari luar
Jawa.

Pada bulan Oktober, Habibie harus menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan


MPR. Pidato ini adalah laporan tentang kinerjanya sebagai presiden dan kinerja kebijakan
selama masa kepresidenannya. Pidatonya ditolak oleh mayoritas anggota MPR. Setelah
penolakan ini, Habibie memutuskan untuk menghentikan ambisinya menjadi presiden pada
tahun 1999. Ini berarti bahwa sekarang hanya ada dua orang yang menikmati dukungan
politik yang signifikan untuk menjadi presiden berikutnya dari Indonesia yaitu Megawati dan
Wahid. Di sesi lain, MPR Indonesia akhirnya memilih Wahid sebagai presiden baru.
Megawati menjadi wakil presiden baru dan Rais terpilih sebagai ketua MPR.

Masa Kepresidenan Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Dalam rangka mendirikan koalisi yang luas, Wahid menunjuk anggota dari berbagai partai
politik serta perwira TNI sebagai menteri untuk kabinetnya. Tapi komposisi yang beragam ini
juga mengimplikasikan kurangnya kohesi dalam kabinet dan, terlebih lagi, hanya berisi
beberapa tokoh reformis saja. Wahid melakukan upaya untuk mengurangi peran politik TNI
namun hal ini menyebabkan konflik dan kemudian hilangnya dukungan dari TNI.

Tanpa dukungan dari TNI, hanya ada sedikit cara untuk bertahan sebagai presiden Indonesia
yang saat itu dilanda konflik dan kekerasan di banyak daerah. Kerusuhan-kerusuhan di
daerah ini membutuhkan intervensi TNI namun karena konflik dengan Wahid, TNI
tampaknya tidak tertarik menyelesaikan atau mengintervensinya yang mengakibatkan
merosotnya kekuasaan Presiden Wahid.

Kasus-kasus korupsi tampaknya masih sangat sering terjadi. Pada tahun pertamanya sebagai
presiden, Wahid memecat tujuh menteri yang semua - diduga - terlibat dalam kasus korupsi.
Empat dari menteri-menteri tersebut berasal dari empat mitra koalisi yang paling penting:
PDI-P, Golkar, PPP dan PAN. Ini membuat Wahid menjadi semakin terisolasi. Dan - lebih
parah lagi - Wahid sendiri juga dikaitkan dengan dua skandal korupsi yang akhirnya
menyebabkan pemakzulannya. Kedua skandal itu dikenal sebagai 'Buloggate' dan
'Bruneigate', masing-masing melibatkan ketidakjelasan penggunaan dana publik. MPR
Indonesia melihat ini sebagai kesempatan besar untuk memakzulkan Wahid dan Megawati
kemudian ditunjuk menjadi presiden, sementara Hamzah Haz (pemimpin PPP) menjadi wakil
presiden yang baru.

Masa Kepresidenan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru Suharto, almarhum Ir Soekarno (Presiden


Indonesia yang pertama) menjadi simbol oposisi terhadap pemerintah. Soekarno adalah
pahlawan nasional yang telah mengabdikan hidupnya untuk - dan berhasil - mencapai
kemerdekaan. Sebagian besar pengunjuk rasa anti-Suharto lahir selama rezim Orde Baru
yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade dan karena itu mereka mungkin hanya
memiliki sedikit pengetahuan mengenai era pra-Suharto. Tetapi bagi mereka Soekarno
mewakili kebebasan, kemerdekaan dari Suharto. Oleh karena itu menjadi logis bahwa
puterinya, Megawati, bisa mengandalkan dukungan besar dari masyarakat.

Namun, dukungan ini hanya didasarkan pada statusnya sebagai puteri Soekarno dan tidak
didasarkan pada visi politiknya maupun keterampilannya. Kabinetnya tidak banyak berbeda
dari kabinet awal Wahid: berisi basis partai-partai yang beragam dan perwira TNI juga
terwakili dengan baik. Megawati sendiri tidak melakukan banyak pengambilan keputusan, dia
menyerahkannya pada para menterinya. Tidak ada tanda-tanda bahwa masalah korupsi
ditangani sementara status quo dalam pemerintahan berlanjut.

Namun, meskipun Megawati sendiri tidak tampak sangat mendukung reformasi politik,
proses reformasi sebenarnya telah dirintis pada tahun 1999 ketika parlemen mulai merancang
banyak UU baru (termasuk amandemen-amandemen konstitusi) yang akan berlaku efektif
selama kepresidenan Megawati. Langkah-langkah reformasi ini menyiratkan peningkatan
signifikan dalam checks and balances demokratis yang mengakhiri kemungkinan kembalinya
rezim otoriter. Kebijakan-kebijakan reformasi ini menempatkan kekuasaan di tangan rakyat,
bukan Pemerintah Pusat. Selain itu, cabang-cabang eksekutif dan legislatif dipisahkan dengan
lebih ketat.

Pendahulu Megawati (Wahid) melakukan upaya kuat untuk mengurangi pengaruh TNI (yang
benar-benar melemahkan posisinya), tetapi Megawati tidak berniat untuk ikut campur dengan
urusan TNI. Akibatnya, TNI kembali mendapatkan sejumlah pengaruh dalam politik.
Apalagi, perkembangan internasional juga meningkatkan peran TNI. Setelah serangan 11
September 2001 terhadap Menara Kembar di New York, pemerintah Amerika Serikat
melanjutkan kerjasama dengan militer Indonesia (yang sempat terhenti sejak partisipasi TNI
dalam kekerasan di Timor Timur di tahun 1999) untuk memerangi terorisme internasional.

Meskipun MPR telah berhati-hati dalam mengurangi peran politik tentara, Panglima Besar
TNI lah yang menyatakan pada tahun 2004 bahwa fraksi TNI harus dihapuskan dari MPR.
Seorang perwira TNI yang ingin aktif dalam dunia politik harus mengundurkan diri terlebih
dulu dari posisinya di TNI. Reformasi ini direalisasikan tetapi tidak berarti mengakhiri
pengaruh politik TNI dalam masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, TNI adalah kekuatan
yang besar karena para mantan jenderal yang ingin aktif dalam politik masih bisa
mengandalkan jaringan di dalam TNI, apalagi, tentara masih terlibat dalam kegiatan-kegiatan
usaha di daerah.

Anda mungkin juga menyukai