Anda di halaman 1dari 40

LBM 2 MODUL PERILAKU DAN JIWA

STEP 1

Sindroma depresi : kumpulan gejala dan sudah jadi penyakit

 suatu gangguan mood dimana keadaan emosional pd diri seseorang menjadi tidak stabil
serta hilang kendali.
 gang. mood dimana terjadi penurunan dan terjadi penurunan aktivitas.

depresi :

gangguan mood yang menempatkan emosinya sebagai mood utamanya. gejala klinis : depresi
mayor, distimik, bipolar, unipolar

STEP 2

1. macam-macam gangguan mood !


2. etiologi gangguan mood
3. faktor-faktor yang mempengaruhi dari gangguan mood
4. gejala klinis dari gangguan mood
5. apa saja yang menyebabkan seseorang dapat menjadi depresi?
6. gejala-gejala dalam sindroma depresi ?
7. perbedaan gangguan mood dengan afek?
8. mengapa pasien merasa sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kurang semangat
serta tidur terganggu?
9. bagaimana penatalaksanaan pasien depresi?
10. bagaimana proses pertahanan jiwa seseorang?
11. apa perbedaan bipolar dan unipolar?
12. apa yang dimaksud dengan mania?
13. cara mendiagnosis gangguan mood?

STEP 3

1. macam-macam gangguan mood !


Menurut DSM-IV
A. Depresi berat ( depresi unipolar)
B. Ggn bipolar :
 Episode mani-depresi atau mani-mani (mani unipolar atau mani
murni)
 Episode hipomani-depresi
C. Ggn mood tambahan:
 Ggn siklotimik ( siklotimia )
 Ggn distimik ( distimia )
 Ggn berhubungan dg sindrom depresi:
 Ggn depresi ringan – sedang
 Ggn depresi singkat rekuren ( berat-ringan)
 Ggn disforik pra menstrual
 Ggn mood krn kondisi medis umum
 Ggn mood akibat zat
 Ggn mood yg tdk ditentukan
Sinopsis Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid satu

Kelainan fundamental dari kelompok gangguan ini adalah perubahan


suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan
atau tanpa anxietas yang menyertai), atau ke arah elasi (suasana
perasaan yang meningkat). Perubahab afek ini biasanya disertai dengan
suatu perubahab pada keseluruhan tingkat aktifitas, dan kebanyakan
gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah
dipahami hubungan perubahan tersebut.
PPDGJ III

F30 EPISODE MANIK

F30.1 Hipomania

F30.2 Mania Tanpa Gejala Psikotik

F30.3 Mania Dengan Gejala Psikotik

F30.8 Episode Manik Lainnya

F30.9 Episode Manik YTT

F31 Gangguan Afektif Bipolar

F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik

F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik

F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala


psikotik

F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala
psikotik

F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan


gejala psikotik

F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran

F31.7 Gangguan afektif bipolar, kini dalam remisi

F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya

F31.9 Gangguan afektif bipolar yang tidak tergolongkan

F32 EPISODE DEPRESIF

F32.0 Episode Depresif Ringan

.00 Tanpa Gejala Somatik

.01 Dengan Gejala Somatik

F32.1 Episode Depresif Sedang

.00 Tanpa Gejala Somatik

.01 Dengan Gejala Somatik

F32.2 Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik

F32.3 Episode Depresif Berat Dengan Gejala Psikotik

F32.8 Episode Depresif Lainnya

F32.9 Episode Depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan

F33.1 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang


F33.2 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa Gejala
Psikotik

F33.3 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat dengan gejala


psikotik

F33.4 Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi

F33.5 Gangguan Depresif Berulang lainnya

F33.6 Gangguan Depresif Berulang YTT

F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood / Afektif) Menetap

F34.0 Siklotimia

F34.1 Distimia

F34.8 Gangguan afektif Menetap lainnya

F34.9 Gangguan afektif Menetap lainnya

F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya.

F38.0 Gangguan Afektif Tunggal lainnya

F38.1 Gangguan Afektif Berulang Lainnya

F38.8 Gangguan afektif Lainnya YDT

F38.9 Gangguan Afektif YTT

Dr. Rusdi Maslim, PPDGJ III


Gangguan Mood
 Mood adalah pengalaman emosional individual yang bersifat menyebar.
 Gangguan mood merupakan suatu tipe gangguan yang ditandai dengan
gangguan pada mood.

Tipe-tipe Gangguan Mood


Gangguan Depresi (Gangguan Unipolar)
• Gangguan Depresi Mayor
• Gangguan Distimik
Gangguan Perubahan Mood (Gangguan Bipolar)
• Gangguan Bipolar
• Gangguan Siklotimik

Gangguan Depresi Mayor


 Terjadinya satu atau lebih periode atau episode depresi (disebut depresi
mayor) tanpa ada riwayat terjadinya episode manik atau hipomanik.
(manik dan hipomanik dijelaskan tersendiri dalam gangguan bipolar).
 Seseorang dapat mengalami satu episode depresi mayor, yang diikuti
dengan kembalinya mereka pada keadaan fungsional yang biasa.
 Umumnya seseorang yang pernah mengalami episode depresi mayor
dapat kambuh lagi di antara periode normal atau kemungkinan
mengalami hendaya pada fungsi-fungsi tertentu.
 Merupakan tipe yang paling umum dari gangguan mood. Perkiraan
prevalensi semasa hidup berbeda pada laki-laki dan perempuan.
 Perempuan = 10% - 25%
 Laki-laki = 5% - 12%
 Pada episode depresi parah, dapat disertai ciri psikosis seperti delusi
bahwa tubuhnya digerogoti penyakit atau halusinasi seperti mendengar
suara yang mengutuk mereka atas kesalahan yang dipersepsikan
Gangguan Distimik
 Merupakan bentuk depresi yang lebih ringan dari depresi mayor.
 Biasanya berawal dari masa kanak-kanak atau remaja.
 Si penderita merasakan spirit yang buruk atau keterpurukan sepanjang
waktu, namun mereka tidak mengalami depresi yang sangat parah.
 Jika depresi mayor cenderung parah dan terbatas waktunya, gangguan
distimik terjadi relatif ringan dan kronis, biasanya berlangsung selama
beberapa tahun.
 Perasaan depresi dan kesulitan sosial terus ada bahkan setelah orang
tersebut menampakkan kesembuhan.
 Memiliki resiko tinggi untuk kambuh lagi.
 Keluhan mengenai depresi seolah-olah menjadi semacam pelengkap dari
kehidupan orang tersebut sehingga sepertinya menjadi bagian tak
terpisahkan dari struktur kepribadian mereka.
 Biasa disebut “Si Pengeluh” atau “Si Perengek”

 Orang dengan gangguan bipolar mengendarai roller coaster emosional,


berayun dari satu ketinggian rasa girang ke kedalaman depresi tanpa
adanya penyebab eksternal.
 Episode pertama dapat berupa manik, bisa juga depresi.

EPISODE MANIK
 Episode manik yaitu merupakan suatu periode peningkatan euforia yang tidak
realistis, sangat gelisah dan aktivitas yang berlebihan, yang ditandai dengan
perilaku yang tidak terorganisasi dan hendaya dalam penilaian.
 Episode manik biasanya bertahan beberapa minggu hingga beberapa bulan,
umumnya lebih singkat durasinya dan berakhir secara lebih tiba-tiba daripada
episode depresi mayor.
 Selama episode manik, mereka mengalami elevasi atau ekspansi mood yang
tiba-tiba dan merasakan kegembiraan, euforia atau optimisme yang tidak biasa.
 Mereka tampak memiliki energi yang tidak terbatas dan menjadi sangat suka
bergaul, dan bisa sampai pada tahap menuntut dan memaksa terhadap orang
lain.
 Perubahan moodnya terlalu berlebihan, misalnya menjadi sangat bergembira
hanya karena “Ini adalah hari Rabu!”.
 Pada episode manik, seseorang menjadi sangat bersemangat sampai akan
memperolok orang lain dengan lelucon yang kadang keterlaluan.
 Cara bicaranya menjadi sangat cepat, pikiran-pikiran dan pembicaraannya seering
melompat-lompat dari satu ide ke ide yang lain (rapid flight of ideas), sampai orang
lain kesulitan untuk menyelanya.
 Mereka juga dapat menjadi sangat dermawan.
 Tidak dapat duduk tenang atau tidur nyenyak. Jam tidurnya sangat sedikit. Tidur larut
malam dan bangun lebih pagi, tapi dengan energi yang tetap penuh dan tetap merasa
cukup istirahat. Bahkan bisa tidak tidur berhari-hari tanpa kelelahan.
 Walau energinya berlebih, mereka tampak tidak dapat mengorganisasi tindakan
mereka secara konstruktif. Rasa girang mereka mengganggu kemampuannya untuk
bekerja dan untuk mempertahankan hubungan yang normal.
 Memiliki perasaan self esteem yang tinggi berkisar dari over confidence hingga
kecenderungan waham kebesaran.
 Mereka memiliki keyakinan yang tidak sejalan dengan kemampuannya, misalnya
mereka merasa sangat mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dunia,
sementara latar belakang dan kemampuannya tidak mendukungnya.
 Perhatian mereka mudahh dialihkan oleh stimulus-stimulus yang tidak relevan seperti
detak jam atau langkah sepatu orang.
 Mereka cenderung mengambil banyak tugas, lebih dari yang mampu mereka tangani.
 Memiliki resiko permasalahan yang tinggi, sebagai akibat dari misalnya kecerobohan
menyetir, petualangan seksual, atau menghambur-hamburkan uang.

Macam-macam Gangguan Bipolar

Gangguan Bipolar I
 Paling tidak mengalami satu episode manik secara penuh.
 Di banyak kasus, individu mengalami perubahan mood
antara rasa girang dan depresi diselingi dengan periode
antara berupa mood normal.

Gangguan Bipolar II
 Diasosiasikan dengan bentuk maniak yang lebih ringan.
 Seseorang mengalami satu atau lebih episode-episode
depresi mayor dan paling tidak satu episode hipomanik
(episode yang lebih ringan dari manik).
 Tidak pernah mengalami satu episode manik penuh.

2. etiologi gangguan mood


- Gngguan mood adalah
Suatu kelompok kondisi klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan
kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat.
Dua gangguan mood utama adalah gangguan depresif berat dan
gangguan bipolar I
Sinopsis Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid satu
 Factor biologis
o Amin Biogenik
 NE dan Serotonin merupakan neurotransmitter yang berperan
dalam patofisiologi gangguan mood
o Norepinefrin
 Melibatkan reseptor adrenergic-alfa2, karena aktivasi reseptor
tersebut menyebabkan penurunan jumlah NE yang dilepaskan
 Adanya noradrenergic yang hampir murni, obat antidepresan
yang efektif secara klinis, sebagai contohnya Desipramine
(Norpramine), mendukung lebih lanjut peranan NE di dalam
patofisiologi sekurangnya gejala depresi
o Serotonin
 Penurunan serotonin mencetuskan depresi
 Beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi
metabolit serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah
dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di
trombosit
o Dopamine
 Aktivitas dopamine menurun pada depresi dan meningkat
pada mania
 Jalur dopamine mesolimbik mungkin mengalami disfungsi
pada depresi dan bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1)
mungkin hipoaktif pada depresi
o Factor neurokimiawi lain
 Neurotransmitter asam amino, khususnya gamma-
aminobutyric acid (GABA) dan peptide neuroaktif (khususnya
vasopressin dan opiate endogen), juga telah dilibatkan dalam
patofisiologi gangguan mood
 System second-messenger, seperti adenylate cyclase,
phosphotidylinositol dan regulasi kalsium, mungkin juga
memiliki relevansi penyebab
o Regulasi neuroendokrin
 Sumbu neuroendokrin utama yang menarik perhatian di dalam
gangguan mood adalah sumbu adrenal, tiroid dan hormone
pertumbuhan
 Yang lainnya adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian
tryptophan, penurunan kadar dasar FSH dan LH dan
penurunan kadar testosterone pada laki-laki
 Sumbu adrenal  pelepasan kortisol adalah diatur pada orang
normal ataupun yang mengalami depresi.
Neuron di nucleus paraventrikuler (PVN)  corticotrophin-
releasing hormone (CRH)  ACTH (dilepaskan bersama
dengan endorphin beta dan lipoprotein-beta)  menstimulasi
kortisol dari korteks adrenal  kortisol memberikan feedback
melalui dua mekanisme :
 Mekanisme cepat, yang peka terhadap kecepatan
peningkatan konsentrasi kortisol, beroperasi melalui
reseptor kortisol di hipokampus dan menyebabkan
penurunan ACTH
 Mekanisme lambat, yang sensitive terhadap konsentrasi
kortisol dalam keadaan mantap, diperkirakan bekerja
melalui reseptor hipofisis dan adrenal
o Dexamethasone-suppression test (DST)
 Deksametason adalah suatu analog sintetik dari kortisol.
bahwa 50 % pasien depresi gagal ber-respon supresi kortisol
yang normal terhadap dosis tunggal deksametason yang
menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya.
 Stres episode pertama  perubahan biologi otak  perubahan
neurotransmiter dan sistem pemberi signal intraneuronal
 Factor genetika
o Penelitian keluarga
 Saudara derajat pertama penderita ggn bipolar I => 8 - 18 kali >
saudara derajat pertama subjek kontrol untuk menderita
gangguan bipolar I & 2-10 kali lebih menderita ggn depresif
berat.
 Saudara derajat pertama penderita ggn depresif berat => 1,5-
2,5 kali > saudara derajat pertama subjek kontrol untuk
menderita gangguan bipolar I dan 2-3 kali lebih mungkin
menderita gangguan depresif berat.
o Penelitian adopsi
Anak biologis dari orang tua yg menderita, berada dlm risiko
menderita ggn mood, bahkan jika dibesarkan oleh keluarga
angkat yg tidak menderita gangguan
o Penelitian kembar
 Anak kembar menunjukkan bahwa angka kesesuaian untuk
gangguan bipolar I pada kembar monozigotik adalah 33-90 %,
untuk ggn depresif berat angka adalah 50 %.
 Sebaliknya, angka kesesuaian pada kembar dizigotik adalah 5-
25 % untuk ggn bipolar I dan 10-25 % untuk ggn depresif berat
o Penelitian yang berhubungan
 Factor psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan.
o Peristiwa kehidupan (clefts) melepaskan corticotropin-releasing
hormone (CRH), menstimulasi pelepasan hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH =>
pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Kortisol memberikan
umpan batik (feed back) pada jaringan kerja melalui sekurangnya
dua mekanisme:
 mekanisme umpan balik cepat, peka terhadap kecepatan
peningkatan konsentrasi kortisol, beroperasi melalui
reseptor kortisol di hipokampus dan menyebabkan ↓
pelepasan ACTH;
 mekanisme umpan batik lambat, sensitif terhadap konsen-
trasi kortisol, bekerja melalui reseptor hipofisis dan adrenal.
 Faktor Pramorbid
o Tipe kepribadian: dependen, obsesif-kompulsif, histeriakal
risiko > ggn depresi daripada tipe kepribadian antisocial,
paranoid, dan lainnya yang menggunakan proyeksi dan
mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan lainnya.

Sinopsis Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid satu

3. gejala klinis dari gangguan mood


Manifestasi klinis gangguan mood
 Mania: mood meluap-luap, peningkatan harga diri, gagasan
meloncat-loncat (flight of ideas), gagasan kebesaran, hiperaktif,
kurang tidur
 Depresi: kurang/hilang energi dan minat, nafsu makan, perasaan
bersalah, sulit konsentrasi, pikiran kematian/bunuh diri
Pd ggn mood dpt tjd perubahan :
 aktivitas, kognisi dan pembicaraan.
 fungsi vegetatif (nafsu makan, tidur)
 aktivitas seksual & irama biologis lainnya)
 fungsi interpersonal, sosial dan pekerjaan
Sinopsis Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid satu

MOOD AFEK

Emosi yang meresap dan terus Respon emosional pasien yang


menerus yang mewarnai persepsi tampak. Afek disimpulkan dari
seseorang akan dunia ekspresi wajah pasien
Depresi, kecewa, mudah marah, Rentang normal : variasi dlm ekspresi
cemas, marah meluap2, euforik, wajah, irama suara, penggunaan
kosong, bersalah, terpesona, sia-sia, tangan, dan peragaan tubuh.
merendahkan diri sndiri, ketakutan Terbatas : penurunan jls dlm rentang
dan membingungkan. dan intensitas ekspresi.
Tumpul : ekspresi emosional menurun
lebih jauh.
Datar : tdk terdpt ekspresi afektif
(pasien monoton, wjah imobil)
Tumpul datar dan terbaas yg
digunakan untuk menggambarkan
kedalaman emosi.
Petunjuk ketrampilan klinis modul perilaku dan jiwa

4. apa saja yang menyebabkan seseorang dapat menjadi depresi?

Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal
pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi
adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi,
dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada
terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi
depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun.
Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin
seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti
parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi
dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi
(Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin.

Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input


neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi
ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan
fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan
perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering
terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA
merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi
CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien
depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan
balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik
dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi
oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan
Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin
dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang
menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia
terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine
oxidase (Unutzer dkk, 2002).

Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami


kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua. Walaupun ada
kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup,
degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam
lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001).
Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan
aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak.
Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun
dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)
diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka
keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot
(Davies, 1999).
Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara
khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.

c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan
objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi
sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya
berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya
peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan
kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi
kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi
penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan
jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan
stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti
kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial
yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan
dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu,
seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
(kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai
resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa
kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam
upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010)
mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia
menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara
internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa
introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu
objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa
pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan
dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang
berkabung tidak demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik
yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak
melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka
tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan
ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan
distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang
negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut
menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)
5. perbedaan gangguan mood dengan afek?
Gngguan mood adalah
Suatu kelompok kondisi klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan
kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat.
Dua gangguan mood utama adalah gangguan depresif berat dan
gangguan bipolar I
Sinopsis Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid satu
Afek
 Definisi:
 ekspresi eksternal dari isi emosional saat itu
 ekspresi emosi yang terlihat, mungkin tidak konsisten dengan
emosi yang dikatakan pasien.
Kaplan & Saddock, Harlock 1, Kaplan MD, Benjamin D, Saddock.” Sinopsis
Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis”.Gangguan Mood, bab 15.
Jilid I .Ed. VII, Jakarta. Binarupa Aksara, 1997.

6. mengapa pasien merasa sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kurang semangat
serta tidur terganggu?
Depresi itu sendiri bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

FAKTOR BIOLOGIS

Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memiliki peranan yang penting

dalam mengendalikan emosi kita. Dalam otak terdapat substansi biokimiawi yaitu

neurotransmitter yang berfungsi sebagai pembawa pesan komunikasi antar neuron

di otak. Jika neurotransmiter ini berada pada tingkat yang normal, otak akan bekerja

secara harmonis. Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter serotonin,

norepinefrin dan dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika

neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi penyebab gangguan manik. Selain itu

antidepresan trisiklik dapat memicu mania.4

Serotonin adalah neurotransmiter aminergic yang paling sering dihubungkan

dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi. Pada beberapa

pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di

cairan serebrospinalnya. Pada penggunaan antidepresan jangka panjang terjadi

penurunan jumlah tempat ambilan kembali serotonin.2


Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam menyebabkan depresi. Data

menunjukkan aktivitas dopamin yang menurun pada depresi dan meningkat pada

mania. Obat yang menurunkan kadar dopamin seperti reserpine dan pada penyakit

yang mengalami penurunan dopamin seperti parkinson disertai juga dengan gejala

depresi. Obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin seperti tyrosine,

amphetamine dan bupropion menurunkan gejala depresi. Disfungsi jalur dopamin

mesolimbik dan hipoaktivitas reseptor dopamin tipe 1 (D1) terjadi pada depresi.2

Obat-obatan yang mempengaruhi sistem neurotransmiter seperti kokain akan

memperparah mania. Agen lain yang dapat memperburuk mania termasuk L-dopa,

yang berpengaruh pada reuptake dopamin dan serotonin. Calsium channel blocker

yang digunakan untuk mengobati mania dapat mengganggu regulasi kalsium di

neuron. Gangguan regulasi kalsium ini dapat menyebabkan transmisi glutaminergik

yang berlebihan dan iskemia pembuluh darah.5

Neurotransmiter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif seperti vasopresin dan

opiat endogen juga berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa

penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second messenger) seperti

adenylate cyclase, phosphatidylinositol dan regulasi kalsium mungkin memiliki

relevansi dengan penyebab gangguan mood.2

Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin dikarenakan fungsi

abnormal neuron yang mengandung amine biogenik. Secara teoritis, disregulasi pada

sumbu neuroendokrin seperti sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam gangguan

mood. Pasien dengan gangguan mood mengalami penurunan sekresi melatonin

nokturnal, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH serta

penurunan kadar testosteron pada laki-laki.2


Dexamethasone adalah analog sintetik dari kortisol. Pada Dexamethasone

Suppression Test, 50% dari pasien yang menderita depresi memiliki respon yang

abnormal terhadap dexamethasone dosis tunggal. Banyak penelitian menemukan

bahwa hiperkortisolemia dapat merusak neuron pada hipokampus.2

Gangguan tiroid seringkali disertai dengan gejala afektif. Penelitian telah

mengambarkan adanya regulasi tiroid yang abnormal pada pasien dengan gangguan

mood. Sepertiga dari pasien dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan

tirotropin yang tumpul. Penelitian terakhir melaporkan kira-kira 10% pasien dengan

gangguan mood khususnya gangguan bipolar I memiliki antibodi antitiroid yang

dapat dideteksi.2

Beberapa penelitian menemukan terdapat perbedaan pengaturan pelepasan

hormon pertumbuhan antara pasien depresi dengan orang normal. Penelitian juga

telah menemukan bahwa pasien dengan depresi memiliki penumpulan respon

terhadap peningkatan sekresi hormon pertumbuhan yang diinduksi clonidine.2

Gangguan tidur adalah gejala yang sering ditemukan pada pasien depresi.

Menurunnya kebutuhan tidur adalah gejala klasik dari mania. Penelitian telah

mengungkapkan bahwa elektroensefalogram (EEG) saat tidur pada orang yang

menderita depresi menunjukkan kelainan. Kelainan tersebut antara lain perlambatan

onset tidur, pemendekan latensi rapid eye movement (REM), peningkatan panjang

periode REM pertama dan tidur delta yang abnormal. Pada depresi terjadi regulasi

abnormal dari irama sirkadian. Beberapa penelitian pada binatang menyatakan

bahwa terapi antidepresan efektif untuk mengubah jam biologis.2

Penelitian melaporkan adanya kelainan imunologis pada pasien depresi dan pada

orang yang berdukacita karena kehilangan sanak saudara, pasangan atau teman
dekat. Kemungkinan proses patofisiologi yang melibatkan sistem imun menyebabkan

gejala psikiatrik dan gangguan mood pada beberapa pasien.2

Pada pencitraan otak pasien dengan gangguan mood terdapat sekumpulan pasien

dengan gangguan bipolar I terutama pasien laki-laki memiliki ventrikel serebral yang

membesar. Pembesaran ventrikel lebih jarang pada pasien dengan gangguan

depresif berat. Pencitraan dengan MRI juga menyatakan bahwa pasien dengan

gangguan depresif berat memiliki nukleus kaudatus yang lebih kecil dan lobus

frontalis yang lebih kecil. Banyak literatur menjelaskan penurunan aliran darah pada

korteks serebral dan area korteks frontalis pada pasien depresi berat.2

Hipotesis menyatakan gangguan mood melibatkan patologis pada sistem limbik,

ganglia basalis dan hipotalamus. Gangguan pada ganglia basalis dan sistem limbik

terutama pada hemisfer yang dominan dapat ditemukan bersamaan dengan gejala

depresif. Disfungsi pada hipotalamus dihubungkan dengan perubahan pola tidur,

nafsu makan dan perilaku seksual pada pasien dengan depresi. Postur yang

membungkuk, terbatasnya aktivitas motorik dan gangguan kognitif minor adalah

beberapa gejala depresi yang juga ditemukan pada penderita dengan gangguan

ganglia basalis seperti penyakit Parkinson dan demensia subkortikal lainnya.2

FAKTOR GENETIK

Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood memiliki resiko lebih

besar menderita gangguan mood daripada masyarakat pada umumnya. Tidak semua

orang yang dalam keluarganya terdapat anggota keluarga yang menderita depresi

secara otomatis akan terkena depresi, namun diperlukan suatu kejadian atau

peristiwa yang dapat memicu terjadinya depresi. Pengaruh gen lebih besar pada
depresi berat dibandingkan depresi ringan dan lebih berpengaruh pada individu

muda dibanding individu yang lebih tua. Penelitian oleh Kendler (1992) dari

Departemen Psikiatri Virginia Commonwealth University menunjukkan bahwa resiko

depresi sebesar 70% karena faktor genetik, 20% karena faktor lingkungan dan 10%

karena akibat langsung dari depresi berat.4

Pada penelitian keluarga ditemukan bahwa keluarga derajat pertama dari penderita

gangguan bipolar I kemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar untuk menderita

gangguan bipolar I dan 2 sampai 10 kali lebih besar untuk menderita gangguan

depresi berat dibanding kelompok kontrol. Keluarga derajat pertama pasien dengan

gangguan depresif berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar untuk

menderita gangguan bipolar I dan 2 sampai 3 kali lebih besar untuk menderita

gangguan depresif berat dibanding kelompok kontrol.2

Kemungkinan untuk menderita gangguan mood menurun jika derajat hubungan

keluarga melebar. Contohnya, keluarga derajat kedua seperti sepupu lebih kecil

kemungkinannya daripada keluarga derajat pertama seperti kakak misalnya untuk

menderita gangguan mood. Sekitar 50% pasien dengan gangguan bipolar I memiliki

orang tua dengan gangguan mood terutama depresi. Jika orang tua menderita

gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya menderita gangguan mood sebesar

25%. Jika kedua orang tua menderita gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya

menderita gangguan mood adalah 50-75%.2

Pada penelitian adopsi, anak biologis dari orang tua dengan gangguan mood tetap

beresiko terkena gangguan mood walaupun mereka telah dibesarkan oleh keluarga

angkat yang tidak menderita gangguan mood. Orang tua biologis dari anak adopsi

dengan gangguan mood mempunyai prevalensi gangguan mood yang sama dengan
orang tua dari anak dengan gangguan mood yang tidak diadopsi. Prevalensi

gangguan mood pada orang tua angkat sama dengan prevalensi pada populasi

umumnya.2

Pada penelitian saudara kembar, angka kejadian gangguan bipolar I pada kedua

saudara kembar monozigot adalah 33-90% dan untuk gangguan depresif berat,

angka kejadian pada kedua saudara kembar monozigot adalah 50%. Pada kembar

dizigot angkanya berkisar 5-25% untuk menderita gangguan bipolar I dan 10-25%

untuk menderita gangguan depresif berat.2

Hubungan antara gangguan mood khususnya gangguan bipolar I dengan petanda

genetik telah dilaporkan pada kromosom 5, 11 dan X. Gen reseptor D 1 terletak pada

kromosom 5 dan gen untuk tiroksin hidroksilase yaitu enzim yang membatasi

kecepatan sintesis katekolamin berlokasi di kromosom 11.2

Sekitar 25% dari kasus penyakit bipolar dalam keluarga terkait lokus dekat sentromer

pada kromosom 18 dan sekitar 20% terkait lokus pada kromosom 21q22.3. Tidak ada

penyebab tunggal untuk gangguan bipolar namun gangguan ini biasanya merupakan

hasil dari kombinasi faktor keluarga, biologis, psikologis dan faktor sosial.7

FAKTOR PSIKOSOSIAL

Telah lama diamati bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress sering

mendahului episode pertama pada gangguan mood. Beberapa klinisi mempercayai

bahwa peristiwa kehidupan memainkan peranan penting dalam depresi.2

Beberapa artikel menjelaskan hubungan antara fungsi keluarga dengan onset serta

perjalanan gangguan mood khususnya gangguan depresif berat. Ada bukti bahwa

individu yang kehilangan ibu saat masih muda memiliki resiko lebih besar terkena
depresi. Pada pola pengasuhan, orang tua yang menuntut dan kritis, menghargai

kesuksesan dan menolak semua kegagalan membuat anak mudah terserang depresi

di masa depan. Anak yang menderita penyiksaan fisik atau seksual membuat

seseorang mudah terkena depresi sewaktu dewasa.4

Aspek-aspek kepribadian juga mempengaruhi kerentanan terhadap depresi dan

tinggi rendahnya depresi yang dialami seseorang. Tipe kepribadian tertentu seperti

dependen, obsesif kompulsif, histerikal, antisosial dan paranoid beresiko mengalami

depresi.2 Menurut Gordon Parker, seseorang yang mengalami kecemasan tingkat

tinggi, mudah terpengaruh, pemalu, suka mengkritik diri sendiri, memiliki harga diri

yang rendah, hipersensitif, perfeksionis dan memusatkan perhatian pada diri sendiri

(self focused) memiliki resiko terkena depresi.4

Sigmund Freud menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dengan

melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi

diarahkan secara internal karena identifikasi terhadap objek yang hilang. Menurut

Melanie Klein, siklus manik depresif merupakan pencerminan kegagalan pada masa

kanak-kanak untuk mendapat introjeksi mencintai. Pasien depresi menderita karena

mereka memiliki objek cinta yang dihancurkan oleh mereka sendiri. Klein

memandang mania sebagai tindakan defensif yang disusun untuk mengidealisasi

orang lain, menyangkal adanya agresi atau destruktivitas terhadap orang lain dan

mengembalikan objek cinta yang hilang.2

E Bibring memandang depresi sebagai suatu afek yang berasal dari ketegangan

dalam ego antara aspirasi seseorang dengan kenyataan yang ada. Pasien yang

terdepresi menyadari bahwa mereka tidak hidup dengan ideal sehingga mereka

merasa putus asa dan tidak berdaya. Menurut Heinz Kohut, orang yang terdepresi
merasakan suatu ketidaklengkapan dan putus asa kerena tidak menerima respon

yang diinginkan.2

Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru dalam menilai pengalaman hidup,

penilaian diri yang negatif, pesimis dan keputusasaan yang terus-menerus

berhubungan dengan depresi. Pandangan negatif yang terus dipelajari selanjutnya

akan menimbulkan perasaan depresi.2

 Teori neurobiologik

Teori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-

HT). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya

kadar NE otak, dan peningkatan NE menyebabkan mania. Pada beberapa pasien

kadar MHPG (metabolit utama NE rendah). Hipotesis indolamin menyatakan bahwa

rendahnya neurotransmiter serotonin (5-HT) otak menyebabkan depresi dan

peningkatan serotonin (5-HT) dapat menyebabkan mania. Hipotesis lain menyatakan

bahwa penurunan NE menimbulkan depresi dan peningkatan NE menyebabkan

mania, hanya bila kadar serotonin 5-HT rendah.

Mekanisme kerja obat antidepresan mendukung teori ini – antidepresan klasik

trisiklik memblok ambilan kembali (reuptake) NE dan 5-HT dan menghambat

momoamin oksidase inhibitor mengoksidasi NE. Penelitian terbaru menyatakan

bahwa mungkin terdapat hipometabolisme otak di lobus frontalis menyeluruh pada

depresi atau beberapa abnormalitas fundamental ritmik sirkadian pada pasien-

pasien depresi.
 Neurotransmiter dan sinapsis

Jaringan otak terdiri atas berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini terdiri atas

badan sel, ujung axon dan dendrit. Antara ujung sel neuron satu dengan yang lain

terdapat celah yang disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu neuron menerima

berbagai macam informasi yang datang, mengolah atau mengintegrasikan informasi

tersebut, lalu mengeluarkan responsnya yang dibawa suatu senyawa neurokimiawi

yang disebut neurotransmiter. Terjadi potensial aksi dalam membran sel neuron

yang memungkinkan dilepaskannya molekul neurotransmiter dari axon terminalnya

(prasinaptik) ke celah sinaptik lalu ditangkap reseptor di membran sel dendrit dari

neuron berikutnya. Terjadilah loncatan listrik dan komunikasi neurokimiawi antar

dua neuron. Pada reseptor bisa terjadi “supersensitivitas” dan “subsensitivitas”.

Supersensitivitas berarti respon reseptor lebih tinggi dari biasanya, yang

menyebabkan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik lebih banyak jumlahnya

yang berakibat naiknya kadar neurotransmiter di celah sinaptik tersebut.

Subsensitivitas reseptor adalah bila terjadi sebaliknya. Bila reseptor di blok oleh obat

tertentu maka kemampuannya menerima neurotransmiter akan hilang dan

neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik akan berkurang yang menyebabkan

menurunnya kadar (jumlah) neurotransmiter tertentu di celah sinaptik.

Suatu kelompok neurotransmiter adalah amin biogenik, yang terdiri atas

enam neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, asetilkholin

dan histamin. Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin disintesis dari asam amino yang

sama, tirosin, dan diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai katekolamin.

Serotonin disintesis dari asam amino triptofan dan merupakan satu-satunya


indolamin dalam kelompok itu. Serotonin juga dikenal sebagai 5-hidroksitriptamin

(5-HT).

Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino.

Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama

dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate. GABA

adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam amino

eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan melihat

keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut.

Bila oleh karena suatu hal, misalnya subsensitivitas reseptor-reseptor pada

membran sel paskasinaptik, neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin,

dopamin menurun kadarnya pada celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi.

Demikian pula bila terjadi disregulasi asetilkholin yang menyebabkan menurunnya

kadar neurotransmiter asetilkolin di celah sinaptik, terjadilah gejala depresi.

 Monoamin dan Depresi

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang

menyebabkan berkurangnya monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan

depresi.Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan

neurotransmiter monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan

depresi. Teori ini diperkuat dengan ditemukannya obat antidepresan trisiklik dan

monoamin oksidase inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamin di sinap.

Peningkatan monoamin dapat memperbaiki depresi.


 Serotonin

Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke

korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus.

Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan

psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang

berbeda di susunan syaraf pusat.

Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem

serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur

ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA).

Serotonin bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak

motorik yang terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada

mamalia dan reptilia.

Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan

alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-HT1A dan 5-

HT2A pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi

tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi.

Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah

prefrontal dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat

pengobatan. Kadar serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh

diri.

Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada

pasien depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood pada

pasien depresi yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat keluarga
menderita depresi. Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh

kekurangan triptofan. Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi tidak

melalui serotonin. Ia dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat

berkurangnya triptofan.

Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat

penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini

sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri.

Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan

HPA aksis. Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak

sesuai dengan penurunan serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan

penumpulan respon serotonin prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan

bahw adanya gangguan serotonin pada depresi.

 Noradrenergik

Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di locus

ceruleus(LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal

ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan

keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke hipokampus

terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan pemanjangan aktivasi locus

ceruleus dan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari.

Locus ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan

sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer.


Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi

LC, fungsi vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor

ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC,

selanjutnya ke komponen simpatoadrenalsebagai respon terhadap stressor akut tsb.

Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon simpatoadrenal

terhadap stressor akut tersebut.

Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak)

meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan.

Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial.

Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada

depresi.

Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol

(MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat berdasarkan

penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MHPG

mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang keluar di urin

meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi kejang listrik).

 Dopamin

Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal,

mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur

motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks, serta

tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan
dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan manifestasi

simptom depresi.

 Neurotransmiter lain

Neuron kolinergik mengandung setilkolin yang terdistribusi difus di korteks

serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem monoamin. Abnormal

kadar kolin (prekursor asetilkolin) terdapat di otak pasien depresi. Obat yang bersifat

agonis kolinergik dapat menyebabkan letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada

orang normal. Selain itu, ia juga dapat mengeksaserbasi simptom-simptom depresi

dan mengurangi simptom mania.

GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek inhibisi terhadap monoamin,

terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik. Pada penderita depresi

terdapat penurunan GABA. Stressor khronik dapat mengurangi kadar GABA dan

antidepresor dapat meningkatkan regulasi reseptor GABA.

Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP,

yang terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA,

kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa menyebabkan neurotoksik.

Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA mempunyai efek antidepresan.

 HPA aksis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)

Bila pengalaman yang berbentuk stressor dalam kehidupan sehari-hari kita

tercatat dalam korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi yang
mengganggu, bagian dari otak ini akan mengirim pesan ke tubuh. Tubuh

meningkatkan kewaspadaan untuk mengatasi stressor tersebut. Target adalah

kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormon kortisol untuk

mempertahankan kehidupan. Kortisol memegang peranan penting dalam mengatur

tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting kehidupan.

Peningkatan aktivitas glukokortikoid (kortizol) merupakan respon utama terhadap

stressor. Kadar kortisol yang meningkat menyebabkan “umpan balik”, yaitu

hipotalamus menekan sekresi cortikotropik-releasing hormone (CRH) , kemudian

mengirimkan pesan ini ke hipofisis sehingga hipofisi juga menurunkan produksi

adrenocortictropin hormon (ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan kembali ke

adrenal untuk mengurangi produksi kortisol.

Pengalaman buruk seperti penganiayaan pada masa anak atau penelantaran

pada awal perkembangan merupakan faktor yang bermakna untuk terjadinya

gangguan mood pada masa dewasa.

Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stressor yang

dialami seseorang pada awal kehidupannya. Stressor yang berulang menyebabkan

peningkatan sekresi CRH, dan penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis.

Stressor pada awal masa perkembangan ini dapat menyebabkan perubahan yang

menetap pada sistem neurobiologik atau dapat membuat jejak pada sistem syaraf

yang berfungsi merespon respon tersebut. Akibatnya, seseorang menjadi rentan

terhadap stressor dan resiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan

stressor meningkat, seperti terjadinya depresi setelah dewasa.

Stressor pada awal kehidupan seperti perpisahan dengan ibu, pola

pengasuhan buruk, menyebabkan hiperaktivitas sistem neuron CRH sepanjang


kehidupannya. Selain itu , setelah dewasa, reaktivitas aksis HPA sangat berlebihan

terhadap stressor.

Adanya faktor genetik yang disertai dengan stressor di awal kehidupan,

mengakibatkan hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem syaraf.

Keadaan ini menjadi dasar kerentanan seseorang terhadap depresi setelah dewasa.

Depresi dapat dicetuskan hanya oleh stressor yang derajatnya sangat ringan.

Peneliti lain melaporkan bahwa respons sistem otonom dan hipofisis-adrenal

terhadap stressor psikososial pada wanita dengan depresi yang mempunyai riwayat

penyiksaan fisik dan seksual ketika masa anak lebih tinggi dibanding kontrol.

Stressor berat di awal kehidupan menyebabkan kerentanan biologik

seseorang terhadap stressor. Kerentanan ini menyebabkan sekresi CRH sangat tinngi

bila orang tersebut menghadapi stressor. Sekresi tinggi CRH ini akan berpengaruh

pula pada tempat di luar hipotalamus, misalnya di hipokampus. Akibatnya,

mekanisme “umpan balik” semakin terganggu. Ini menyebabkan ketidakmampuan

kortisol menekan sekresi CRH sehingga pelepasan CRH semakin tinggi. Hal ini

mempermudah seseorang mengalami depresi mayor, bila berhadapan dengan

stressor.

Peningkatan aktivitas aksis HPA meningkatkan kadar kortisol. Bila peningkatan

kadar kortisol berlangsung lama, kerusakan hipokampus dapat terjadi. Kerusakan ini

menjadi prediposisi depresi. Simptom gangguan kognitif pada depresi dikaitkan

dengan gangguan hipokampus.

Hiperaktivitas aksis HPA merupakan penemuan yang hampir selalu konsisten

pada gangguan depresi mayor. Gangguan aksis HPA pada depresi dapat ditunjukkan

dengan adanya hiperkolesterolemia, resistennya sekresi kortisol terhadap supresi


deksametason, tidak adanya respon ACTH terhadap pemberian CRH, dan

peningkatan konsentrasi CRH di cairan serebrospinal. Gangguan aksis HPA, pada

keadaan depresi, terjadi akibat tidak berfungsinya sistem otoregulasi atau fungsi

inhibisi umpan balik. Hal ini dapat diketahui dengan test DST (dexamethasone

supression test).

 Neurotransmiter pada Mania (Gangguan Bipolar)

Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan

untuk komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi

ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai

pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk

menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf (neuron) berakhir, di dekatnya

ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan mengeluarkan

neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik,

ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut.

Neurotransmiter yang berpengaruh pada terjadinya gangguan bipolar adalah

dopamin, norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. Selain itu,

penelitian-penelitian juga menunjukksan adanya kelompok neurotransmiter lain

yang berperan penting pada timbulnya mania, yaitu golongan neuropeptida,

termasuk endorfin, somatostatin, vasopresin dan oksitosin. Diketahui bahwa

neurotransmiter-neurotransmiter ini, dalam beberapa cara, tidak seimbang

(unbalanced) pada otak individu mania dibanding otak individu normal.


Misalnya, GABA diketahui menurun kadarnya dalam darah dan cairan spinal

pada pasien mania. Norepinefrin meningkat kadarnya pada celah sinaptik, tapi

dengan serotonin normal. Dopamin juga meningkat kadarnya pada celah sinaptik,

menimbulkan hiperaktivitas dan nsgresivitas mania, seperti juga pada skizofrenia.

Antidepresan trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan epinefrin bisa

merangsang timbulnya mania, dan antipsikotik yang mem-blok reseptor dopamin

yang menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada

skizofrenia.

Sumber :

Rusdi M. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.Jakarta: Bagian

Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2001. p. 58-69.2.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan dan Sadock Sinopsis PsikiatriIlmu

Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis edisi 7. Jakarta: BinarupaAksara. 1997. p. 777-

858

Lubis NL. Depre si Tinjauan Psikologis. Jak arta: Kencan a Prenada

M e d i a Group. 2009. p. 61-85

7. bagaimana penatalaksanaan pasien depresi?


farmako terapi
antidepresi
mekanisme kerja : menghambat reuptake aminergik dan menghambat enzim monoamin
oksidase
fungsi obat : untuk memperbaiki mood, menghilangkan depresi
ada 7 golongan :
- TCA : Trisiklik antidepresan ex : imipramin
- SNRI : serotonin nor epinefrin inhibior ex : venlafaksin
- SSRI : serotonin selektif inhibitor ex : fluoksetin
- MAOI : monoamin oksidase inhibitor ex : fenelzin
- aminoketon : ex : bupropion
- triazolopyridin : ex : menghambat reseptor 5HT ex : nefazodon
- tetrasiklik : ex : mirtazapin
tambahkan dosisnya !!!

non farmakologi ?

8. bagaimana proses pertahanan jiwa seseorang?


Tujuan :
a. keamanan pasien.
b. pemeriksaan diagnostik.
c. rencana pengobatan dan juga kesehatan pasien
Perawatan Rumah Sakit
Indikasi :
 prosedur diagnostik,
 risiko bunuh diri atau membunuh,
 penurunan jelas kemampuan makanan atau berlindung.
 gejala berkembang cepat dan hancurnya sistem pendukung
Pasien seringkali tidak mau memasuki rumah sakit secara
sukarela perlu dibawa secara involunter.
Pasien depresif berat seringkali tidak mampu mengambil
keputusan karena pikiran mereka yang melambat, negatif, dan putus
asa.
Pasien manik seringkali tidak memiliki tilikan lengkap tentang
gangguan mereka sehingga perawatan di rumah sakit tampaknya
sangat menggelikan bagi mereka
Terapi Psikososial
 Tiga jenis psikoterapi jangka pendek :
 terapi kognitif
 terapi interpersonal
 terapi perilaku.
bermanfaat: gangguan depresif berat.
 Psikoterapi berorientasi psikoanalitik
 Terapi kognitif, pada distorsi kognitif pada depresif berat.
Tujuan terapi kognitif adalah menghilangkan episode depresif dan
mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikas
dan uji kognitif negatif; mengembangkan cara berpikir altematif,
fleksibel, dan positif; dan melatih kembali respon kognitif dan
perilaku yang baru
 Terapi interpersonal.
Memusatkan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien
yang sedang dialami sekarang,
Pertama, masalah interpersonal sekarang kemungkinan memiliki
hubungan awal yang disfungsional.
Kedua, masalah interpersonal sekarang adalah efektif di dalam
pengobatan gangguan depresif berat dan mungkin, secara
spesifik membantu menjawab masalah.
Terapi berorientasi psikoanalitik.
Pendekatan psikoanalitik pada teori psikoanalitik tentang depresi
dan mania.
Tujuan umum
 perubahan struktur atau karakter, bukan semata-mata
menghilangkan gejala.
 perbaikan kepercayaan diri, keakraban, mekanisme mengatasi,
kapasitas berdukacita, dan kemampuan untuk mengalami
berbagai macam emosi
Terapi keluarga, indikasi
 jika gangguan membahayakan perkawinan atau fungsi keluarga
 jika gangguan mood adalah diperkembangkan atau dipertahankan
oleh situasi keluarga
Farmakoterapi
Indikasi
 Gangguan depresif berat.
 obat trisiklik. masalah pasien tidak respon terhadap
pengobatan pertama;
semua antidepresan memerlukan waktu 3-4 minggu efek
terapetik, semua antidepresan memiliki efek merugikan.
Tetapi,
 bupropion (Wellbutrin)
 serotoninspecific reuptake inhibitors (SSRIs): fluoxetine,
paroxetin, dan setraline (Zoloft)—klinis lebih aman dan
lebih baik ditoleransi daripada obat yang sebelunnya, sama
efektifnya.
 gejala pertama yang membaik adalah pola tidur dan makan yang
terganggu.agitasi, kecemasan, episode depresif.
 gejala selanjutnya yang membaik: energi yang rendah,
konsentrasi yang buruk, ketidakberdayaan, dan penurunan libido
PENDIDIKAN PASIEN.
 tentang penggunaan antidepresan adalah sama pentingnya bagi
keberhasilan pengobatan.
 bahwa pasien tidak akan mengalami ketagihan terhadap
antidepresan,
 diperlukan waktu 3-4 minggu untuk dapat dirasakannya efek
antidepresan dar:,
 menjelaskan efek samping secara terinci;
 mempertimbangkan risiko hunuh diri
ALTERNATIF TERHADAP TERAPI OBAT.
 elektrokonvulsif terapi dan fototerapi.
 elektrokonvulsif terapi (ECT) digunakan jika
(1) pasien tidak responsif terhadap farmakoterapi,
(2) pasien tidak dapat mentoleransi farmakoterapi, atau
(3) situasi klinis adalah sangat parah sehingga diperlukan
perbaikan cepat.
Fototerapi adalah suatu pengobatan baru pada pasien ggn mood
dgn pola musiman, dapat digunakan sendiri dan kombinasi
 Obat trisiklik, dan tetrasiklik
 monoamine oxidase inhibitors (MAOIs).
 serotonin specific reuptake inhibitors (SSRIs) dan
 Antidepresan atipikal lain: bupropion, trazodone (Desyrel) dan
alprazolam (Xanax)
Sinopsis Psikiatri, Kaplan & Sadock ed. 7 jilid satu

9. apa perbedaan bipolar dan unipolar?

10. apa yang dimaksud dengan mania?


11. cara mendiagnosis gangguan mood?
anamnesis
DEPRESI
- penampilan
depresif : lebih cenderung untuk tidak memperhatikan, tidak ada kontak mata dan
mengalihkan perhatian
- mood
depresif : depresi, frustasi, sedih
- afek
sempit, kuat.
- isi pikiran
cenderung ada gagasan bunuh diri
- sensorium
mudah dialihkan, terjadi gangguan konsentrasi dan daya ingat
- tilikan
sadar kalau dirinya punya penyakit, namun suka menyangkal

mania
- penampilan : lebih berwarna dari cara berpakaian, lebih ceria dari yang lain
- kontak mata : lebih kuat (menarik perhatian dari pemeriksa dan menggoda)
- bicara ; logorrhea
- mood : hipermania, euforia, elasi
- afek :kuat dan cenderung labil dan ada pergeseran. ( mudah senang, mudah tersinggung
yang berlebihan)
- isi pikiran : harga diri kuat (masih bisa disangkal)
- proses pikiran : flight of ideas
- sensorium : mudah terpecah konsentrasinya
- pemikiran abstrak : lebih bagus dibanding yang depresif
- tilikan : sangat terganggu, tidak menyadari kala dirinya sakit

Anda mungkin juga menyukai