Jurding Prevalensi Seropositif HCV, HBV, Dan Hiv Di Antara Jenazah Yang Dirujuk Ke Ruang Otopsi Kedokteran Forensik Tehe 1
Jurding Prevalensi Seropositif HCV, HBV, Dan Hiv Di Antara Jenazah Yang Dirujuk Ke Ruang Otopsi Kedokteran Forensik Tehe 1
JURNAL
Sejumlah besar jenazah dirujuk ke aula otopsi forensik untuk pemeriksaan medikolegal.
Jenazah tersebut bisa menjadi sumber penularan penyakit menular melalui kontak
langsung atau alat otopsi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan
tingkat infeksi virus pada tubuh jenazah. Seribu jenazah yang datang secara berurutan ke
aula otopsi di Kedokteran Forensik Teheran, Iran, selama 2016, menjadi sampel
penelitian. Sampel darah dianalisis di laboratorium untuk mendeteksi HbsAg, HBsAb,
HIV Ab, dan HCV Ab, setelah memberikan persetujuan dari keluarga terdekat diantara
keluarga korban. Karakteristik umum jenazah juga dikumpulkan berdasarkan syarat
sampel. 47 kasus seropositif HIV, 80 kasus seropositif HBsAg, dan 97 kasus seropositif
HCVAb ditemukan. Di antara mereka, 27 kasus HIV, 40 kasus anti-HBC positif, dan 94
kasus pengujian RIBA positif untuk HCV dibuktikan melalui tes konfirmasi. Dengan
kata lain, 2,6% dari jenazah yang terinfeksi dengan HIV, 3,8% dengan HBV, dan 9%
dengan HCV. Tingkat infeksi total adalah 15,5%. Ini menjadi risiko yang
mengkhawatirkan bagi ahli patologi dan petugas otopsi.
1. Pendahuluan
Ruang otopsi selalu berpotensi menjadi sumber infeksi. Ahli bedah otopsi, ahli patologi
forensik, dan semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam melakukan
pemeriksaan pasca kematian memiliki risiko lebih besar untuk terpajan virus yang
menular melalui darah seperti, Human Immunodeficiency Virus (HIV), Virus Hepatitis B
(HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus Herpes, Hantavirus Pulmonary Syndrome
(HPS), cacar, dan Human T-cell lymphotropic virus tipe 1, serta infeksi bakteri seperti
tuberkulosis dan infeksi dari organisme patogen lainnya. Banyak penelitian telah
1
2
Infeksi yang didapat dari pekerjaan memberikan dampak buruk terhadap pekerja
kesehatan2. Pengetahuan tentang risiko infeksi sangat penting. Paparan yang tidak
disengaja terhadap patogen risiko tinggi tidak jarang. Sebuah prosedur klinis yang tepat
dapat mencegah infeksi3. Salah satu masalah utama yang muncul di berbagai negara,
terutama di negara berkembang, adalah masalah prevalensi dan penyebaran penyakit
menular, termasuk AIDS dan hepatitis B, dan hepatitis C. Transfusi darah yang
terkontaminasi, penggunaan jarum yang terkontaminasi, atau kontak dengan darah orang
yang terinfeksi orang dapat menularkan penyakit.4
Di sisi lain, pasti tetap ada keraguan seperti, apakah ada sekelompok besar individu
yang tidak terdiagnosis dalam populasi umum. Nekropsi medikolegal dapat menjadi
kelompok yang tepat untuk mempelajari tingkat infeksi. Meskipun mereka adalah
kelompok yang dipilih sebelumnya, telah disarankan bahwa mereka bertindak sebagai
wakil untuk populasi umum dan mungkin sangat sensitif terhadap perubahan awal
dalam epidemiologi5. Kamar jenazah dapat menjadi tempat yang berbahaya bagi
individu yang tidak tahu, atau yang mengabaikan potensi bahaya jenazah. Dia
menempatkan dirinya dalam bahaya, rekan kerja yang bekerja di kamar jenazah, ahli
patologi, dan ahli patologi anatomi (yang memiliki tingkat morbiditas terkait nekropsi
tertinggi), pengunjung ke kamar jenazah (staf klinis dan siswa), dan mereka yang
terlibat dalam penanganan tubuh (kerabat, direktur pemakaman, pembalsem, dan staf
krematorium), atau materi yang berasal darinya (pekerja laboratorium) setelah
nekropsi.6 Penurunan infeksi yang diakibatkan oleh kamar jenazah seperti tuberkulosis
dan hepatitis yang ditularkan melalui darah dalam 25 tahun terakhir sebagian besar
dapat dikaitkan dengan peningkatan kesadaran dan adopsi praktik kerja yang aman.
Prevalensi sebenarnya penyakit ini di antara jenazah Iran masih harus ditentukan.
Penelitian ini dilakukan untuk menilai prevalensi di antara jenazah yang dirujuk ke
ruang otopsi dari ibu kota Tehran, Iran, untuk menentukan penyebab kematian mereka.
3
Studi belah lintang ini dilakukan di ruang otopsi Legal Medicine Bureau Tehran, Iran,
selama tahun 2016. Total 1125 kadaver dimasukkan dalam penelitian. Kadaver yang
diteliti adalah semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian. Kriteria
inklusi adalah informed consent legal dari keluarga terdekat jenazah untuk berpartisipasi
dalam penelitian, perlu untuk melakukan otopsi di bawah otorisasi pemeriksaan hakim,
dan riwayat negatif penyakit hati mayor.
Tiga puluh mililiter darah vena diambil dari vena femoralis kadaver setelah
mendapatkan informed consent legal dari keluarga terdekat jenazah. Sampel darah
dianalisis di laboratorium untuk mendeteksi HBs Ag, HBs Ab, HIV Ab, dan HCV Ab.
Sampel darah yang mengalami hemolisis (86 sampel) dieksklusikan dari penelitian.
HBs Ab dianalisis menggunakan tes ELISA (Abnova Co., Taiwan). HCV Ab diukur
dengan menggunakan tes ELISA (Diagnostic Automation/Cortez Diagnostics, Inc.,
USA). HIV Ab dideteksi menggunakan enzyme immunosorbent (EIA) assay
(SigmaAldrich Co., Jerman). Untuk mengonfirmasi diagnosis, uji Western blot dan
recombinant immunoblot assay (RIBA) masing-masing dilakukan pada sampel positif
untuk HIV Ab dan HCV Ab. Seluruh tes dilakukan sesuai dengan instruksi produsen
dan metode standar yang dijelaskan dalam studi sebelumnya6. Karakteristik umum
jenazah juga dikumpulkan menggunakan checklist.
Tingkat infeksi dihitung sebagai jumlah orang dengan tes positif dibagi dengan jumlah
total tubuh yang diperiksa ∗ 100.
Data yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS melalui
uji statistik yang sesuai termasuk chi-square test dan Fisher’s exact test.
4
Tabel 2. Frekuensi distribusi lama waktu setelah kematian pada subjek penelitian
3. Hasil
Dari data yang terkumpul, terdapat 1039 jenazah yang menjadi sampel. Sekitar 80%
jenazah adalah laki-laki. Kelompok terbanyak untuk umur adalah pada rentang 20-30
tahun dan diatas 60 tahun, secara berururan (Tabel 1). Distribusi frekuensi untuk waktu
Lamanya kematian pada subjek penelitian terlhat pada Tabel 2. Biasanya, otopsi
dilakukan dalan rentang 12-24 jam setelah kematian. Penyebab kematian dari subjek
yang diteliti terlihat pada Tabel 3.
Sekitar 23% sampel yang diteliti berstatus lajang, dan 61.8% berstatus menikah.
Mayoritas subjek penelitian (41.3%) tidak mengecam pendidikan hingga sekolah dasar
dan 33.1&% mengecam pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas. Untuk pekerjaan,
31.4% adalah seorang wirausaha, 118 (11.4%) merupakan karyawan dan 43 (4.1%)
tidak bekerja.
5
Terdapat 6 kasus yang memiliki riwayat positif untuk hepatitis atau AIDS. 328 subjek
(31.6%) positif untuk riwayat merokok. 18i subjek (18.1%) positif untuk
penyalahgunaan obat. Pada 70 subkel (7.6%) memiliki riwayat dipenjara.
Tanda bekas suntikan nonmedis terlihat pada 90 subjek (8.7%) pada saat melakukan
pemeriksaan postmortem. 117 subjek (12.7%) memliki tato pada tubuhnya.
Pada 67.8% sebjek, hati memiliki ukuran dan berat yang normal saat dilakukan otopsi
berdasarkan data ukuran normal sesuai pada buku teks. Pada 17.2% subjek, memiliki
hati yang lebih besar darj normal dan 2.1% subjek memiliki hati lebih kecil dari normal.
Pada 5.4% subjek terlihat memiliki sirosis hati dan 5.4% terdapat perlemakan hati.
Seratus enam puluh satu sampel (15,49%) yang diambil dari subyek yang diteliti positif
untuk setidaknya satu dari infeksi (HBV, HCV, dan HIV), termasuk 94 kasus (9,05%)
positif untuk HCV, 40 kasus (3,84%) positif untuk HBV, 27 kasus (2,60%) positif untuk
HIV, 22 kasus positif untuk HIV dan HCV, 4 kasus positif untuk HBV dan HCV, 2
kasus positif untuk ketiga tes, dan satu kasus positif untuk HIV dan HBV.
Sekitar 18% dari subyek yang diteliti adalah perempuan. Di antara subyek, ditemukan
satu kasus HCV positif dan 6 kasus HBV positif. Tidak ada HIV positif di dalamnya.
6
Prevalensi seropositif HCV adalah 20,4 kali lipat lebih tinggi pada pria dibandingkan
wanita. Rasio pria / wanita adalah 1,18 untuk HBV.
Analisis statistik dari data yang dihasilkan dengan uji chi-square dan uji eksak Fisher
menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara status perkawinan dan
seropositif HCV (nilai P <0,01). Tingkat kontaminasi lebih tinggi pada orang lajang.
Korelasi yang sama juga ditemukan untuk seropositif HIV (nilai p<0,02). Angka itu
juga lebih tinggi pada para lajang. Ada hubungan yang signifikan antara seropositif HIV
dan hepatitis C dan riwayat pemenjaraan (nilai p<0,01). Juga, ada hubungan yang
signifikan antara adanya tanda injeksi selama pemeriksaan postmortem dengan HIV dan
seropositif hepatitis C (nilai p<0,01). Ada hubungan yang signifikan antara riwayat
penyalahgunaan narkoba dengan HIV dan seropositif hepatitis C (nilai p<0,01). Ada
juga korelasi yang signifikan antara tato tubuh dan HIV dan seropositif hepatitis C (nilai
p<0,01). Tidak ada hubungan antara ukuran dan tampakan hati dengan seroprevalensi
HIV, hepatitis B, dan hepatitis C.
4. Diskusi
Necropsy adalah tindakan pemeriksaan yang penting pada pasien yang meninggal
karena AIDS karena memungkinkan kita untuk melakukan follow up klinikopatologi,
penjelasan deskriptif patologi klinis dan epidemiologi penyakit HIV, validasi titik akhir
dalam uji klinis, penilaian efikasi obat dan toksisitas, akumulasi jaringan untuk
penelitian lebih lanjut, dan pendidikan kedokteran.6,7 Serophobia HIV telah ditemukan
diantara petugas yang bekerja di kamar jenazha yang menangani kasus-kasus berisiko
tinggi sejak tahun 1980-an, meskipun tidak ada bukti bahwa HIV bisa diperoleh di
kamar jenazah. Sehingga, hal itu membuat pekerja sulit untuk menolak tindakan
nekropsi pada pasien dengan infeksi tersebut.6 Risiko serokonversi setelah pajanan
akibat kerja akan tergantung pada viral load dalam tubuh pasien, volume cairan yang
7
HBV sangat menular, dan penularan dapat terjadi setelah terpapar dengan darah yang
terinfeksi walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Namun, risiko perolehan HBV
dari pekerjaan sangat rendah, sebagian besar sebagai konsekuensi dari paparan vaksinasi
rutin di antara petugas kesehatan. Sebaliknya, HCV kurang infeksius bila dibandingkan
dengan HBV, dan tidak ada vaksin yang tersedia untuk HCV. Perolehan HCV dari
pekerjaan telah dilaporkan pada petugas medis dan tingkat penularan setelah paparan
perkutan adalah 2,7-10,79 persen.6 Infeksi ini menimbulkan risiko bagi ahli forensik dan
pekerja di ruang jenazah.8,9
Prevalensi HIV dan HCV positif jelas bervariasi dengan penyebab kematian; kelompok
overdosis obat memiliki hasil yang jauh lebih positif (81 dari 107, atau 76% kasus)
dibandingkan dengan kategori lain, misalnya, kecelakaan mobil dan jenis kecelakaan
lainnya, di mana hanya 13 dari 109 kasus (13%) yang merupakan tes positif. Ini tidak
terduga dan mungkin mencerminkan hubungan yang diketahui antara perilaku berisiko
tinggi (misalnya, kecanduan obat atau prostitusi) dan infeksi HIV dan HCV. Orang-
orang dalam kelompok dengan risiko tinggi infeksi jauh lebih mungkin meninggal pada
usia yang lebih muda dan dalam keadaan yang memerlukan penyelidikan medikolegal.5
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan prevalensi HIV, HBV,
dan HCV dalam tubuh yang dirujuk ke Tehran Forensic Dissection Hall. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi keseluruhan dengan virus yang
disebutkan di atas adalah 15,49%. Angka yang dihitung untuk infeksi lebih rendah
daripada studi Cattaneo et al. Studi selanjutnya telah dilakukan di Iran di antara sampel
otopsi. Sebuah penelitian yang dilakukan pada sampel otopsi di Yordania telah
melaporkan tingkat infeksi HBV dan HCV sebesar 2,5% yang bahkan lebih rendah dari
penelitian ini.11 Dalam penelitian ini, infeksi dengan virus berkorelasi dengan riwayat
penyalahgunaan narkoba, pemenjaraan, jenis kelamin laki-laki, adanya tanda injeksi,
dan tato. Namun, kontaminasi tidak terbatas pada subjek dengan faktor-faktor risiko ini.
8
Jadi, seseorang tidak dapat bergantung pada riwayat medis masa lalu semata-mata untuk
menilai faktor risiko infeksi. Semua jenazah harus dianggap berpotensi terkontaminasi
dan metode pencegahan dan pelindung yang sesuai dipatuhi selama otopsi.12-15
9
REFERENSI
1. Yadav, D. Pathak, F. Alam, and N. Vyas, “Seroprevalence of HIV, HBV and
HCV among the cadaver population - A Jaipur based study,” Medico Legal
Update, vol. 14, no. 1, pp. 75–79, 2014
2. J. L. Burton, “Health and safety at necropsy,” Journal of Clinical Pathology, vol.
56, no. 4, pp. 254–260, 2003.
3. M. Kiani, A. Barzegar, and S. Bazmi, “autopsy infections and ways to prevent its
transmission,” Journal of LegalMedicine, vol. 36, no. 10, pp. 45–48, 2005.
4. M. Alavian, “Investigate the factors associated with hepatitis B vaccination in
Tehran physicians,” Journal of Medical Systems, vol. 21, no. 1, pp. 13–18, 2003.
5. Y. Rasoolinejad, “Infection in injection drug users,” Journal of Medical Systems,
vol. 20, no. 2, pp. 34–36, 2002.
6. C. Cattaneo, P. A. Nuttall, L. O. Molendini, M. Pellegrinelli, M. Grandi, and R.
J. Sokol, “Prevalence of HIV and hepatitis C markers among a cadaver
population in Milan,” Journal of Clinical Pathology, vol. 52, no. 4, pp. 267–270,
1999.
7. M. Saleh, A. M. Kazemifar, A. E. Saleh, A. H. Nobari, and R. A. Samimi,
“Prevalence of HIV, hepatitis B and C seropositivity in expired iv drug abusers
in Hamadan,” Scientific Journal of Forensic Medicine, vol. 16, no. 4, pp. 253–
257, 2011.
8. S. Khambatta, N. Sinha, P. Sabale, J. Shastri, S.Mohite, andM. V Ambiye,
“Seroprevalence of HBV and HCV in forensic autopsy cases,” Medico Legal
Update, vol. 14, no. 2, pp. 22–26, 2014.
9. M. K. Bansal, S. K. Naik, P. Gupta, Y. Rani, and B. L. Sherwal, “Post mortem
and the risk of HIV infection,” Indian Journal of Forensic Medicine and
Toxicology, vol. 8, no. 2, pp. 63–67, 2014.
10. M. B. Eriksen, M. A. Jakobsen, B. Kringsholm et al., “Postmortem detection of
hepatitis B, C, and human immunodeficiency virus genomes in blood samples
from drug-related deaths in Denmark,” Journal of Forensic Sciences, vol. 54, no.
5, pp. 1085–1088, 2009.
11. F. G. Bakri, I. M. Al-Abdallat,N.Ababneh,R. Al Ali, A. K. Idhair, and A.
Mahafzah, “Prevalence of blood-borne viral infections among autopsy cases in
Jordan,” Qatar Medical Journal, vol. 2016, no. 2, p. 14, 2016.
12. F. L.Delmonico, “Cadaver donor screening for infectious agents In solid organ
transplantation,” Clinical Infectious Diseases, vol. 31, no. 3, pp. 781–786, 2000.
13. S. S. Kadam, S. Akhade, and K. Desouza, “Autopsy practice, potential sources
of occupational hazards: A review for safety and prevention,” Journal of Indian
Academy of Forensic Medicine, vol. 37, no. 2, pp. 196–201, 2015.
14. D. S. Bhullar, “Safety measures in dealing with dead,” Journal of Punjab
Academy of ForensicMedicine and Toxicology, vol. 12, no. 2, pp. 69–75, 2012.
15. S. Hostiuc, G. C. Curca, M. Ceausu, M. C. Rusu, E. Niculescu, and D.
Dermengiu, “Infectious risks in autopsy practice,” Romanian Journal of Legal
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
12
2.2 INFEKSI
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat
sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara bertahan hidup
dengan berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari
reservoir lainnya yang baru dengan cara menyebar atau berpindah. Penyebaran
mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi
sehat, lebih-lebih bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Orang yang
sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedang sakit serta sedang dalam proses
asuhan keperawatan di rumah sakit akan memperoleh “tambahan beban penderita”
dari penyebaran mikroba patogen ini.6
a. Vehicle-borne
13
Dalam kategori ini, yang menjadi media perantara penularan adalah barang
/ bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, instrumen bedah
/ kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infus / transfusi.
b. Vector-borne
i. Cara mekanis
c. Food-borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang terbukti cukup efektif
untuk menjadi saran penyebaran mikroba patogen ke pejamu, yaitu melalui pintu
masuk (port d’entrée) saluran cerna.7
d. Water-borne
pejamu, melalui pintu masuk (port d’entrée) saluran cerna maupun pintu masuk
lainnya.
e. Air-borne
Kamar jenazah dapat menjadi suatu tempat yang berbahaya bagi kesehatan.
Namun akan lebih berbahaya lagi bila orang yang bekerja dalam lingkungan tersebut
tidak mempedulikan atau bahkan tidak mengetahui potensi bahaya yang bisa didapat
dari kamar jenazah.
Infeksi dapatan dari kamar jenazah adalah infeksi yang didapat dari jenazah,
dimana didalam tubuh jenazah masih terdapat kuman patogen yang berpotensi
menimbulkan sakit bila dapat berpindah atau menginfeksi manusia yang masih hidup.
8
Penularan infeksi membutuhkan kehadiran agen infeksi, paparan agen itu dan
host rentan, yang tak terbantahkan dipenuhi oleh ruang otopsi.
Infeksi di ruang otopsi dapat diperoleh dengan salah satu dari rute berikut:
Beberapa faktor dapat berperan dalam terjadinya infeksi yang mana kemudian
dibagi menjadi 4 faktor, yaitu :9
1. Faktor intrinsik, yaitu umur, jenis kelamin, kondisi umum, risiko terapi,
adanya penyakit lain, tingkat pendidikan dan lama pengalaman kerja.
2. Faktor ekstrinsik, yaitu dokter, perawat, penderita lain, bangsal atau
lingkungan, peralatan, material medis, pengunjung atau keluarga, makanan
dan minuman.
3. Faktor keperawatan, yaitu durasi hari perawatan, menurunnya standart
perawatan, dan padatnya pasien.
16
4. Faktor mikroba patogen, yaitu kemampuan invasi atau merusak jaringan dan
lamanya paparan.
Epidemiologi
Sudah lama diketahui bahwa staf yang bekerja di kamar jenazah berisiko
terkena infeksi okupasi dengan Mycobacterium tuberculosis, yang ditularkan melalui
udara, percikan dahak atau ludah yang terinfeksi oleh kuman tuberkulosis.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan selama 32 tahun tentang prevalensi
tuberkulosis pada 220 petugas kesehatan seperti dokter/perawat ditemukan 60 kasus
tuberkulosis pada perawat dan 6 kasus tuberkulosis pada dokter, dimana rata-rata
pertahun adalah 1363/100.000 yaitu sepuluh kali lipat lebih tinggi dibanding populasi
umum.20
2.3.5.2 Hepatitis B
Epidemiologi
Virus hepatitis B adalah virus yang paling banyak ditularkan dari darah.
Hepatitis B sangat menular, ditularkan melalui darah atau produk darah, transmisi
seksual dan penetrasi kulit melalui kontak dengan yang terinfeksi virus. Namun,
risiko infeksi HBV pada petugas kesehatan sangat rendah, karena vaksinasi pra-
19
Infeksi biasanya terjadi secara parenteral (lewat jarum suntik) tetapi dapat juga terjadi
lewat paparan jaringan mukosa dengan cairan terinfeksi (partikel dari cairan tindakan
selama pembukaan rongga kepala yang dapat dengan mudah mencapai konjungtiva
atau rongga mulut). Tidak seperti HIV, HBV dapat hidup diluar tubuh selama 7 hari
pada darah kering atau pada cairan tubuh yang telah mengering.22 Penelitian yang
dilakukan oleh Edler et all, bahwa pada HBV, 9 korban meninggal dimasukkan dalam
sampel, terdapat 5 sampel terbukti positif untuk HbsAg, dan terus menunjukan hasil
positif sampai 48 jam, dan 8 dari sampel didapat hasil reaktif untuk Anti HBC sampai
48 jam dan 1 sampel bertahan sampai 36 jam post mortem.22
2.3.5.3 Hepatitis C
Hepatitis C kurang menular dan ditularkan melalui rute yang sama seperti HBV,
tetapi tidak ada vaksin. Penelitian yang dilakukan oleh Edler et all, bahwa pada HCV
dari total 20 orang meninggal (14 laki – laki, 6 perempuan) berusia 32 – 81 tahun,
yang dilakukan penelitian. 3 kasus harus dikeluarkan dar studi karena keluarga tidak
memberikan persetujuan. 17 subjek sisanya terbukti Anti HCV positif pada saat
pemeriksaan pertama kali(sesaat datang, 12 atau 24 jam post mortem, dan 1 kasus 36
jam post mortem.) Ke 16 subjek ini tetap menunjukan hasil positif sampai 48 jam
20
post mortem. 1 subjek hanya dapat diukur 36 jam post mortem karena
ketidaktersediaannya sampel untuk pengecekan 48 jam. Hasil pada 36 jam post
mortem pun memberikan hasil positif.22
2.3.5.4 HIV
Epidemiologi
Ada beberapa penelitian yang telah melihat seberapa lama HIV bertahan
dalam tubuh jenazah. Dalam tubuh yang tidak didinginkan HIV umumnya bertahan
hingga 24 – 36 jam setelah kematian. HIV aktif telah dilaporkan ditemukan dalam
cairan pleura, cairan perikardial dan darah pasien yang meninggal setelah
penyimpanan pada 20C hingga 16,5 hari setelah kematian. HIV aktif juga diisolasi
dari fragmen tulang, limpa, otak, sumsum tulang dan kelenjar getah bening dari
pasien dengan AIDS dari otopsi jenazah sampai hari ke-6 jika disimpan dalam
pendingin dengan suhu 60C. Di sisi lain, jenazah yang terinfeksi HIV sering terinfeksi
dengan infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, yang mungkin lebih menular
daripada infeksi HIV itu sendiri. HIV sero-fobia telah didokumentasikan, meskipun
tidak ada bukti bahwa HIV mudah diperoleh di kamar jenazah. Risiko serokonversi
setelah pajanan akibat kerja akan tergantung pada viral load pada pasien, volume
cairan yang diinokulasi dan kerentanan petugas kesehatan.26
Para ahli patologi anatomi secara etika wajib mendiagnosis pasien dengan
HIV dan AIDS untuk membatasi mortalitas dan morbiditas terhadap AIDS. Peran
otopsi memungkinkan untuk melihat berbagai macam lesi yang disebabkan oleh
respon host yang lemah. HIV yang menular ditemukan pada 5% dari sampel darah
yang diperoleh dari pasien AIDS pada 24 jam setelah kematian. Dilakukannya otopsi
menyebabkan risiko terinfeksi HIV dan aerosolisasi penyebaran infeksi oportunistik
lebih tinggi, sehingga tidak wajib dilakukan jika diagnosis ante mortem HIV sudah
ditegakkan. 26
Rata – rata penularan HIV setelah paparan perkutan sebesar 0,3%, untuk
paparan mukosa dan kulit yang sudah tidak utuh risiko terinfeksi sebesar 0,9%.
Angak ini meningkat jika pada petugas kesehatan mengalami kulit yang pecah –
pecah, terkelupas, atau menderita dermatitis. Weston dan Locker menunjukan
prevalensi 8% dari tusukan sarung tangan pada petugas kesehatan di kamar jenazah.
26
22
Setiap jenazah harus dianggap berpotensi infeksius dan perlu ditangani sesuai
dengan tindakan pencegahan yang disarankan, teknik prosedural dan mengetahui
prinsip profilaksis sebelum terpapar. Seluruh area otopsi dan isinya harus ditetapkan
sebagai tanda peringatan Biohazard dan tepat ditempatkan di tempat jenazah. Oleh
karena itu kesadaran akan keselamatan di kamar jenazah adalah langkah pencegahan
yang efektif.
Enam kategori risiko potensial ditemukan oleh staf otopsi selama melakukan
otopsi dan ini adalah:15
pecandu narkoba.
Electrical Injury 1. Instrumen listrik Shock and Electrocution
(gergaji) secara rutin
ditangani dengan wet
gloves
2. peralatan dan koneksi
listrik yang buruk, kurang
terawatt.
3. Sering ditanamkan
cardioverter-defibrillator
pada jenazah
Paparan Kimia 1. Formaldehida Efek iritasi pada selaput
2. Digunakan sebagai lendir mata, saluran
fiksatif untuk pernafasan, dan kulit.
mempertahankan jaringan Gangguan reproduksi
pemeriksaan histopatologi. menstruasi, disfungsi
3. Menangani organ-organ / seksual.
spesimen yang berformalin Paparan jangka panjang
yang belum dicuci bersih terhadap zat terkait dengan
a. Bekerja di area dengan peningkatan risiko untuk
ventilasi yang buruk semua kanker terutama
b. Paparan aerosol yang kanker paru-paru.
sangat beracun, gas atau zat
volatie misalnya. Organo-
fosfat malathion, parathion)
kematian keracunan,
hidrogen sulfida, sianida
yang merembes saat
membuka perut / rongga
tubuh lainnya.
Paparan Radiasi 1.Bahan radioaktif yang Potensi risiko untuk cedera
ditanamkan untuk radiasi.
pengobatan kanker. Malfomation dan anomali
2. Paparan sinar X sebelum kongenital pada wanita
dan selama otopsi diambil hamil dan pekerja di kamar
secara rutin dan sering. jenazah.
Rekomendasi: 15
1) Mengidentifikasi Bahaya:
a. Melakukan pemeriksaan fisik
b. Menganalisis catatan kecelakaan.
c. Berinteraksi dengan karyawan.
d. Mengamati dan menganalisis tugas dan proses.
e. Menggunakan konsultan.
2) Penilaian Risiko: Penting untuk mengevaluasi risiko setiap kasus yang masuk ke
kamar jenazah. Dianjurkan untuk memiliki alat penilaian risiko otopsi di semua
kamar jenazah di mana otopsi dilakukan.
3) Kontrol Bahaya:
26
Ada kekhawatiran teoritis bahwa cacar dapat bertahan hidup di tubuh yang telah
dikubur, tetapi risiko dari residual minimal virus dalam scabs kering tidak dianggap
menghadirkan ancaman infeksi yang valid. Orang tidak boleh divaksinasi secara
khusus untuk menangani bahaya ini karena risiko vaksinasi cacar sangat melebihi
risiko infeksi.
PENGURANGAN RISIKO15
Ruang pasca kematian.
29
Bahaya utama yang dihadapi personil layanan darurat adalah darah dan
risiko tersebut dapat sangat berkurang dengan mencegah kontak dengan darah
(penggunaan sarung tangan, pelindung mata dan wajah, dan pakaian pelindung
jika diperlukan)
1. Tubuh yang telah membusuk selama beberapa waktu, termasuk yang telah
berada di dalam air untuk waktu yang lama, memiliki risiko yang sedikit.
Organisme yang mungkin hadir adalah flora tubuh mereka sendiri dan air atau
organisme lingkungan lainnya. Penggunaan pakaian pelindung yang baik dan
kebersihan pribadi yang baik akan melindungi personil yang menangani
material tersebut.
2. Badan-badan harus selalu diangkut ke fasilitas kamar jenazah di kantong
tahan air atau cairan yang dapat dibersihkan, cairan penahan (misalnya
fiberglass), peti mati sementara.
Pembuangan jenazah
1. Setiap masyarakat memiliki metode pembuangan sendiri dari jenazah. Ini
harus dihormati sejauh mungkin meskipun dalam beberapa kasus (seperti
kematian karena kremasi yang sangat menular seperti Ebola) atau penguburan
yang mendalam dengan jenazah di kantong plastik anti bocor mungkin
merupakan satu-satunya prosedur yang aman.
2. Segera setelah bencana di mana ada banyak korban jiwa, ada tradisi untuk
mengubur atau mengkremasi orang mati secepat mungkin dengan tujuan
"untuk mencegah penyebaran penyakit." Namun kenyataannya, jenazah
korban bencana memiliki resiko penularan yang minimal bagi mereka yang
selamat. Spektrum penyakit di antara orang yang meninggal dalam bencana
onset cepat akan sama dengan yang ada di antara yang selamat. Dari mereka
yang meninggal yang memiliki penyakit menular pada saat kematian mereka,
33
risiko yang akan mereka sebarkan akan lebih rendah dibandingkan resiko
selama hidup mereka dan mereka yang tidak memiliki penyakit menular
menawarkan risiko yang dapat diabaikan. Keharusan pembuangan segera
orang mati mengalihkan sumber daya dari mencari dan merawat para korban
pada saat yang kritis dalam operasi penyelamatan apa pun. Ini juga
menghambat atau mencegah identifikasi orang mati, menghilangkan bagian
dari proses berduka dari sanak keluarga mereka, serta memperpanjang
ketidakpastian mereka mengenai kemungkinan kelangsungan hidup para
korban. Konsekuensi yang legal dari kurangnya identifikasi (misalnya
ketidakpastian pasangan
tentang kematian pasangannya, warisan, atau masalah tunjangan
kesejahteraan) bisa menyebabkan kesulitan jangka panjang bagi kerabat
almarhum
3. Jika tubuh tidak dapat segera diidentifikasi dan ruang pemakaman sementara
yang cukup dengan pendingin tidak tersedia, mereka harus dimakamkan di
kuburan yang ditandai dengan setidaknya satu meter (3 kaki) tanah di atas
jenazah (untuk mencegah akses oleh binatang pemakan bangkai dan hama)
untuk biarkan penggalian berikutnya jika diizinkan. Catatan rinci tentang
interan tersebut harus disimpan. Setelah diidentifikasi, mereka harus ditangani
sesuai dengan nilai agama dan sosial yang normal dari daerah yang terkena
bencan. Lokasi pemakaman harus dipilih sehingga untuk menghindari risiko
bahwa sumber air mungkin terkontaminasi.
4. Mereka yang menangani tubuh harus mengambil tindakan pencegahan
pengendalian infeksi dasar: sarung tangan tahan api, sekali pakai atau
didesinfeksi setelah digunakan), celemek tahan api atau coverall, alas kaki
tahan api, dan pelindung wajah jika percikan mungkin terjadi. Masker
pelindung pernapasan tidak diperlukan. Penggunaan klorida kapur untuk
mencegah penyebaran infeksi dalam keadaan ini harus dihindari. Ini memiliki
efek yang kecil dan berbahaya bagi mereka yang menerapkannya. Ini berlaku
34
sama untuk situasi darurat dan non-darurat, seperti penggalian kuburan dan
ruang bawah tanah.
Risiko infeksi dari jenazah manusia memiliki tingkat yang lebih rendah
daripada yang berasal dari individu yang hidup yang memiliki penyakit aktif atau
yang merupakan pembawa agen infeksi. Mencegah infeksi dari orang-orang yang
bersentuhan dengan mereka yang meninggal karena penyakit menular terutama
berkaitan dengan mencegah kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya,
terutama pada selaput lendir atau kulit yang rusak. Kontak tersebut harus dicegah
dengan menggunakan prosedur yang aman atau, jika hal ini tidak memungkinkan,
penggunaan alat pelindung diri yang sesuai. Ini harus dilakukan tanpa mengorbankan
martabat almarhum dan, jika mungkin, tidak mengganggu secara berlebihan dengan
proses berduka dari keluarga mereka. Dalam bencana alam berskala besar (dan juga
dalam keadaan darurat yang kompleks), pola penyakit umumnya sama pada orang
yang meninggal seperti pada korban yang selamat dan orang yang meninggal
memiliki risiko minimal. Pembuangan massal sisa-sisa mereka yang telah meninggal
dalam bencana semacam itu harus dilakukan sedemikian rupa untuk memungkinkan
penggalian yang mudah untuk tujuan identifikasi di masa depan.
Masker bedah kain: masker ini memberikan perlindungan minimal dan mungkin tidak
aman digunakan, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Pelindung terhadap percikan
Wajah: Visor. Perlindungan terhadap percikan berbahaya ke mata, hidung dan mulut
(juga perlindungan mekanis). Masker pelindung pernapasan dan masker bedah kain
atau kertas biasanya memberikan perlindungan percikan ke mulut dan hidung saja.
Beberapa masker bedah menggunakan pelindung mata transparan.
Tubuh: Apron. Melindungi percikan ke badan disaat persiapan higienis,
pembalseman, pengumpulan jenazah yang mengalami trauma, pemeriksaan post-
mortem. Paling baik dikenakan di bawah gaun atau mantel jika percikan cenderung
menjadi berlimpah.
Kaki: Sepatu bot karet. Dalam situasi basah (kamar jenazah, kamar pembalseman,
pengumpulan beberapa kasus trauma yang parah).
Perlindungan Seluruh Tubuh
Gaun/mantel: Untuk melindungi pakaian dari cipratan.
Pakaian pelindung dengan tudung kepala: Untuk melindungi pakaian dan rambut dari
impregnasi debu, spora, dll.
Pakaian pelindung lainnya (helm pengaman, sepatu bot, kacamata pengaman, sarung
tangan kerja) harus dipakai sesuai kebutuhan untuk melindungi cedera mekanis.
Tabel 7. Infeksi yang didapat saat prosedur bagging, Viewing, embalming, dan
prosedur higienitas tubuh tidak dilakukan15
Infeksi
Anthrax
Wabah
Rabies
Smallpox
Demam hemoragik virus
Yellow fever
Transmissible spongiform encephalopathies (mis: Creutzfeldt-Jakob Disease)
Streptococcal disease (group A)
Hepatitis virus (B, C, non-A non-B)
Bagging: proses penempatan tubuh dalam kantong plastik antibocor
Viewing: memberikan waktu kepada kerabat yang ingin berkabung untuk melihat,
menyentuh dan menghabiskan waktu dengan jenazah sebelum membusuk
Embalming : menyuntikkan pengawet kimia ke dalam tubuh untuk memperlambat
proses pembusukan.
Perbaikan secara kosmetik penampilan tubuh mungkin dilakukan untuk
meningkatkan penampilan untuk dilihat.
Persiapan higienis: membersihkan dan merapikan tubuh sehingga lebih layak untuk
dilihat (alternatif untuk pembalseman).
36
BAB III
KESIMPULAN
Ahli forensik dan semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung
dalam melakukan pemeriksaan pasca kematian memiliki risiko lebih besar untuk
terpajan virus dan bakteri yang menular melalui darah. Beberapa penyakit yang
sering menular dari jenazah yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), Virus
Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus Herpes, Hantavirus Pulmonary
Syndrome (HPS), cacar, dan Human T-cell lymphotropic virus tipe 1, serta infeksi
bakteri seperti tuberkulosis dan infeksi dari organisme patogen lainnya. Banyak
penelitian telah menegaskan bahwa, dengan berhentinya kehidupan, bakteri patogen
tertentu dilepaskan, yang jika dibiarkan tidak diperiksa dapat membahayakan petugas.
Potensi bahaya infeksi selama otopsi adalah salah satu risiko yang terdapat di
kamar jenazah. Harus ada perhatian khusus untuk meminimalisisr risiko. Kondisi
kerja yang aman dapat diberikan melalui edukasi yang memadai, penggunaan pakaian
pelindung dan praktik tindakan higienis. Semua staf kamar jenazah harus divaksinasi
terhadap HBV dan Tuberkulosis. Otopsi pada pasien dengan kelompok berbahaya
patogen grup 4 hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan. Akan sangat
membantu dan mengurangi angka kejadian infeksi jika semua staf di kamar jenazah
menganggap setiap otopsi sebagai sumber potensial dari penyebaran patogen
berbahaya, terlepas dari apakah suatu infeksi telah ditegakkan dalam catatan medis,
dan terlepas apakah pasien diketahui merupakan kelompok risiko tinggi. Hal ini
sangat bijaksana untuk diterapkan dalam kasus medikolegal, dimana ahli patologi
sering harus bergantung pada catatan singkat non medis dari catatan polisi.
36
37
BAB IV
JURNAL PEMBANDING
Jurnal Utama : Prevalensi Seropositivitas HCV, HBV, dan HIV pada Jenazah yang
Dirujuk ke Aula Otopsi Biro Kedokteran Legal Tehran, Iran.
Jurnal pembanding 1: Seroprevalensi HIV, HBV dan HCV dalam otopsi forensik
yang diperkirakan Jenazah dengan risiko rendah di Teheran, Iran.24
Prevalensi Seropositivitas HCV, HBV, Seroprevalensi HIV, HBV dan HCV
dan HIV pada Jenazah yang Dirujuk dalam otopsi forensik yang
ke Aula Otopsi Biro Kedokteran Legal diperkirakan Jenazah dengan risiko
Tehran, Iran rendah di Teheran, Iran.
Jaber Gharehdaghi, Mohammad Hassan Sanaei-Zadeh H, Amoei
Abedi Khorasgani, Mohammad Hassan M, Taghaddosinejad F
Ghadiani, Amir Mohammad Kazemifar,
Hassan Solhi, and Sadra Solhi
TUJUAN TUJUAN
1. Menghitung prevalensi kadaver Mengidentifikasi seroprevalensi HIV,
yang reaktif terhadap pemeriksaan HBV dan HCV pada populasi otopsi
HCV, HBV, HIV forensik berisiko rendah di Teheran, ibu
2. Memperkirakan tingkat infeksi kota Iran.
virus dari kadaver.
METODE METODE
- Studi belah lintang di ruang otopsi Legal - Sebuah studi penelitian. Sampel darah
Medicine Bureau Tehran, Iran, selama sejumlah 173 dari kasus yang diotopsi
tahun 2016. di Organisasi Kedokteran Legal
- 1125 subjek yang dilakukan penelitian Teheran antara September 2000 dan
memenuhi kriteria inklusi yaitu Oktober 2001.
informed consent legal dari keluarga - Pengkategorian risiko rendah
terdekat jenazah untuk berpartisipasi ditetapkan sebelum pengumpulan
dalam penelitian, perlu untuk sampel, dengan meninjau faktor risiko
melakukan otopsi di bawah otorisasi yang dipertimbangkan, yaitu: penyakit
pemeriksaan hakim, dan riwayat negatif hati, riwayat hepatitis dan penyakit
penyakit hati mayor. menular, penyalahguna obat secara
- 30 ml darah vena diambil dari vena intravena, overdosis obat, bertato dan
femoralis kadaver setelah mendapatkan self-cutting, serta riwayat transfusi
38
(RIBA-2) digunakan.
HASIL HASIL
Dari 414 kasus, 32,6% (135/414) Data dikumpulka dari 344 otopsi, 242
terinfeksi setidaknya satu dari empat masuk kriteria inklusi dan 102
virus. 5,6% seropositif untuk HIV-1, dieksklusikan karena penggumpalan
23,2% untuk HBV, 19,1% untuk HCV, sampel darah.
dan 1,0% untuk HTLV-I / II. Pengguna Usia berkisar antara 3 hari hingga 94
narkoba intravena (IVDU) menunjukkan tahun.
peningkatan prevalensi HIV-1, HBV, 172 (71%) laki –laki dan 70 (29%)
dan HCV yang signifikan. 83,6% dari perempuan.
IVDU terinfeksi setidaknya satu dari 219 (90,5%) adalah warga Jordaia.
tiga virus, 25,5% dengan HIV-1, dan Kematian alami 137 (56,6%), kecelakaan
47,3% dengan HBV dan HCV. Data 89(36,8%), homisida 9 (3,7%), bunuh diri
menunjukkan bahwa keseluruhan 4 (1,7%), dan tidak diketahui 3 (1,2%).
prevalensi HIV, HBV, dan seropositif PCR HbsAg dan HCV keduanya
HCV pada populasi otopsi kantor ditemukan dalam 5 (2,1%), antibodi HCV
pemeriksa medis di pusat kota jauh lebih 5 (2,1%), dengan PCR HCV positif 2
tinggi daripada populasi umum. Tes (0,8%).
rutin hanya untuk HIV-1 akan Antibodi HIV tidak terdeteksi dalam kasus
kehilangan 86% infeksi dengan HCV apapun.
atau HBV. Kewaspadaan universal Dari 242 kasus yang diuji 10(4,1%)
harus diterapkan secara ketat oleh semua terinfeksi paling tidak satu virus (dianggap
personel yang bekerja di lingkungan ini. jika antibodi HCV positif sebagai penanda
infeksi HCV).
Kelima kasus infeksi HBV mati karena
penyebab alami.
5 kasus infeksi HCV mati karena
penyebab kecelakaan.
Kasus infeksi tidak signifikan berkaitan
dengan jenis kelamin, usia, penyebab
kematian, dan kewarganegaraan.
41
DAFTAR PUSTAKA
18. Bakri et al. Prevalence of blood-borne viral infections among autopsy cases in
Jordan. QATAR MEDICAL JOURNAL. VOL. 2016 / ART. 14
19. Sunil S. Kadam, Swapnil Akhade, Keith Desouza. J Indian Acad Forensic Med.
April-June 2015, Vol. 37, No. 2.
20. Sotgiu G, Arbore AS, Cojocariu V, Piana A, Ferrara G, Cirillo DM, Matteelli A.
High Risk of Tuberculosis in Health Care Workers in Romania. Int J Tuberculosis
Lung Dis 2008;122:600-11.
21. CDC. Biosafety in Microbiological and Biomedical Laboratories. 5th edition. U.S.
Departement of Health and Human Service Public Health Service. Centers for
Disease Control and Prevention.
22. Edler C, Wulff B, Sophie A. A Prospective Time Course Study on Serological
Testing for Human Immunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus, Hepatitis C Virus
with Blood Samples Taken Up To 48 H After Death. Germany : Journal of Medical
Microbiology 2011:920-926.
23. Bakri FG, Al-Abdallat IM, Ababneh N, Al Ali R, Idhair AKF, Mahafzah A.
Prevalence of Blood-borne Viral Infections Among Autopsy Cases in Jordan.
Qatar Medical Journal 2016:14.
24. Sanaei Zadeh H, Amoei M, Taghaddosinejad F. Seroprevalnce of HIV, HBV, and
HCV in Forensic Autopsies, of Presumed Low Risk, in Tehran, the Capital of Iran.
J Clin Forensic Med. 2002 Dec:9(4):197-61.
25. Li L, Zhang X, Constantine NT, Smialek JE. Seroprevalence of Parentally
Transmitted Viruses (HIV-1, HBV, HCV, dan HTLV I/II) in Forensic Autopsy
Cases. J Forensic Science. 1993 Sep: 38(5):1075-83.
26. JL Burton. Health and Safety at Necropsy. J Clin Pathol 23;56:254-260.