Anda di halaman 1dari 42

BAB I

JURNAL

PREVALENSI SEROPOSITIF HCV, HBV, DAN HIV DI ANTARA


JENAZAH YANG DIRUJUK KE RUANG OTOPSI KEDOKTERAN
FORENSIK TEHERAN, IRAN
Jaber Gharehdaghi, Mohammad Hassan Abedi Khorasgani, Mohammad Hassan
Ghadiani, Amir Mohammad Kazemifar, Hassan Solhi, and Sadra Solhi

Sejumlah besar jenazah dirujuk ke aula otopsi forensik untuk pemeriksaan medikolegal.
Jenazah tersebut bisa menjadi sumber penularan penyakit menular melalui kontak
langsung atau alat otopsi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan
tingkat infeksi virus pada tubuh jenazah. Seribu jenazah yang datang secara berurutan ke
aula otopsi di Kedokteran Forensik Teheran, Iran, selama 2016, menjadi sampel
penelitian. Sampel darah dianalisis di laboratorium untuk mendeteksi HbsAg, HBsAb,
HIV Ab, dan HCV Ab, setelah memberikan persetujuan dari keluarga terdekat diantara
keluarga korban. Karakteristik umum jenazah juga dikumpulkan berdasarkan syarat
sampel. 47 kasus seropositif HIV, 80 kasus seropositif HBsAg, dan 97 kasus seropositif
HCVAb ditemukan. Di antara mereka, 27 kasus HIV, 40 kasus anti-HBC positif, dan 94
kasus pengujian RIBA positif untuk HCV dibuktikan melalui tes konfirmasi. Dengan
kata lain, 2,6% dari jenazah yang terinfeksi dengan HIV, 3,8% dengan HBV, dan 9%
dengan HCV. Tingkat infeksi total adalah 15,5%. Ini menjadi risiko yang
mengkhawatirkan bagi ahli patologi dan petugas otopsi.

1. Pendahuluan

Ruang otopsi selalu berpotensi menjadi sumber infeksi. Ahli bedah otopsi, ahli patologi
forensik, dan semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam melakukan
pemeriksaan pasca kematian memiliki risiko lebih besar untuk terpajan virus yang
menular melalui darah seperti, Human Immunodeficiency Virus (HIV), Virus Hepatitis B
(HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus Herpes, Hantavirus Pulmonary Syndrome
(HPS), cacar, dan Human T-cell lymphotropic virus tipe 1, serta infeksi bakteri seperti
tuberkulosis dan infeksi dari organisme patogen lainnya. Banyak penelitian telah

1
2

menegaskan bahwa, dengan berhentinya kehidupan, bakteri patogen tertentu dilepaskan,


yang jika dibiarkan tidak diperiksa dapat membahayakan petugas.1

Infeksi yang didapat dari pekerjaan memberikan dampak buruk terhadap pekerja
kesehatan2. Pengetahuan tentang risiko infeksi sangat penting. Paparan yang tidak
disengaja terhadap patogen risiko tinggi tidak jarang. Sebuah prosedur klinis yang tepat
dapat mencegah infeksi3. Salah satu masalah utama yang muncul di berbagai negara,
terutama di negara berkembang, adalah masalah prevalensi dan penyebaran penyakit
menular, termasuk AIDS dan hepatitis B, dan hepatitis C. Transfusi darah yang
terkontaminasi, penggunaan jarum yang terkontaminasi, atau kontak dengan darah orang
yang terinfeksi orang dapat menularkan penyakit.4

Di sisi lain, pasti tetap ada keraguan seperti, apakah ada sekelompok besar individu
yang tidak terdiagnosis dalam populasi umum. Nekropsi medikolegal dapat menjadi
kelompok yang tepat untuk mempelajari tingkat infeksi. Meskipun mereka adalah
kelompok yang dipilih sebelumnya, telah disarankan bahwa mereka bertindak sebagai
wakil untuk populasi umum dan mungkin sangat sensitif terhadap perubahan awal
dalam epidemiologi5. Kamar jenazah dapat menjadi tempat yang berbahaya bagi
individu yang tidak tahu, atau yang mengabaikan potensi bahaya jenazah. Dia
menempatkan dirinya dalam bahaya, rekan kerja yang bekerja di kamar jenazah, ahli
patologi, dan ahli patologi anatomi (yang memiliki tingkat morbiditas terkait nekropsi
tertinggi), pengunjung ke kamar jenazah (staf klinis dan siswa), dan mereka yang
terlibat dalam penanganan tubuh (kerabat, direktur pemakaman, pembalsem, dan staf
krematorium), atau materi yang berasal darinya (pekerja laboratorium) setelah
nekropsi.6 Penurunan infeksi yang diakibatkan oleh kamar jenazah seperti tuberkulosis
dan hepatitis yang ditularkan melalui darah dalam 25 tahun terakhir sebagian besar
dapat dikaitkan dengan peningkatan kesadaran dan adopsi praktik kerja yang aman.

Prevalensi sebenarnya penyakit ini di antara jenazah Iran masih harus ditentukan.
Penelitian ini dilakukan untuk menilai prevalensi di antara jenazah yang dirujuk ke
ruang otopsi dari ibu kota Tehran, Iran, untuk menentukan penyebab kematian mereka.
3

2. Material dan Metode

Studi belah lintang ini dilakukan di ruang otopsi Legal Medicine Bureau Tehran, Iran,
selama tahun 2016. Total 1125 kadaver dimasukkan dalam penelitian. Kadaver yang
diteliti adalah semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian. Kriteria
inklusi adalah informed consent legal dari keluarga terdekat jenazah untuk berpartisipasi
dalam penelitian, perlu untuk melakukan otopsi di bawah otorisasi pemeriksaan hakim,
dan riwayat negatif penyakit hati mayor.

Di negara kami, otopsi medikolegal dilakukan dibawah otorisasi pemeriksaan hakim


biasanya hari berikutnya setelah kematian oleh ahli patologi forensik dari Legal
Medicine Organization/Organisasi Medis Resmi.

Tiga puluh mililiter darah vena diambil dari vena femoralis kadaver setelah
mendapatkan informed consent legal dari keluarga terdekat jenazah. Sampel darah
dianalisis di laboratorium untuk mendeteksi HBs Ag, HBs Ab, HIV Ab, dan HCV Ab.
Sampel darah yang mengalami hemolisis (86 sampel) dieksklusikan dari penelitian.

HBs Ab dianalisis menggunakan tes ELISA (Abnova Co., Taiwan). HCV Ab diukur
dengan menggunakan tes ELISA (Diagnostic Automation/Cortez Diagnostics, Inc.,
USA). HIV Ab dideteksi menggunakan enzyme immunosorbent (EIA) assay
(SigmaAldrich Co., Jerman). Untuk mengonfirmasi diagnosis, uji Western blot dan
recombinant immunoblot assay (RIBA) masing-masing dilakukan pada sampel positif
untuk HIV Ab dan HCV Ab. Seluruh tes dilakukan sesuai dengan instruksi produsen
dan metode standar yang dijelaskan dalam studi sebelumnya6. Karakteristik umum
jenazah juga dikumpulkan menggunakan checklist.

Tingkat infeksi dihitung sebagai jumlah orang dengan tes positif dibagi dengan jumlah
total tubuh yang diperiksa ∗ 100.

Data yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS melalui
uji statistik yang sesuai termasuk chi-square test dan Fisher’s exact test.
4

Tabel 1. Frekuensi distribusi kelompok usia pada subjek penelitian

Kelompok usia Frekuensi Persentasi Persentasi Keseluruhan


Kurang dari 20 59 5.7 5.7
20 – 30 233 22.4 28.1
31 – 40 166 16 44.1
41 – 50 152 14.6 58.7
51 – 60 149 14.3 73.1
Lebih dari 60 258 24.9 97.9
Tidak diketahui 22 2.1 100

Tabel 2. Frekuensi distribusi lama waktu setelah kematian pada subjek penelitian

Lama waktu setelah Frekuensi Persentasi Persentasi Keseluruhan


kematian (jam)
Kurang dari 18 1.7 1.7
6 – 12 173 16.7 18.4
12 – 24 581 55.9 74.3
21 – 48 191 18.4 92.7
Lebih dari 48 62 6 98.7
Tidak diketahui 14 1.3 100

3. Hasil

Dari data yang terkumpul, terdapat 1039 jenazah yang menjadi sampel. Sekitar 80%
jenazah adalah laki-laki. Kelompok terbanyak untuk umur adalah pada rentang 20-30
tahun dan diatas 60 tahun, secara berururan (Tabel 1). Distribusi frekuensi untuk waktu
Lamanya kematian pada subjek penelitian terlhat pada Tabel 2. Biasanya, otopsi
dilakukan dalan rentang 12-24 jam setelah kematian. Penyebab kematian dari subjek
yang diteliti terlihat pada Tabel 3.

Sekitar 23% sampel yang diteliti berstatus lajang, dan 61.8% berstatus menikah.
Mayoritas subjek penelitian (41.3%) tidak mengecam pendidikan hingga sekolah dasar
dan 33.1&% mengecam pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas. Untuk pekerjaan,
31.4% adalah seorang wirausaha, 118 (11.4%) merupakan karyawan dan 43 (4.1%)
tidak bekerja.
5

Terdapat 6 kasus yang memiliki riwayat positif untuk hepatitis atau AIDS. 328 subjek
(31.6%) positif untuk riwayat merokok. 18i subjek (18.1%) positif untuk
penyalahgunaan obat. Pada 70 subkel (7.6%) memiliki riwayat dipenjara.

Tanda bekas suntikan nonmedis terlihat pada 90 subjek (8.7%) pada saat melakukan
pemeriksaan postmortem. 117 subjek (12.7%) memliki tato pada tubuhnya.

Pada 67.8% sebjek, hati memiliki ukuran dan berat yang normal saat dilakukan otopsi
berdasarkan data ukuran normal sesuai pada buku teks. Pada 17.2% subjek, memiliki
hati yang lebih besar darj normal dan 2.1% subjek memiliki hati lebih kecil dari normal.
Pada 5.4% subjek terlihat memiliki sirosis hati dan 5.4% terdapat perlemakan hati.

Tabel 3. Frekuensi distribusi penyebab kematian pada subjek penelitian

Penyebab Kematian Frekuensi Persentasi Persentasi Keseluruhan


Penyakit jantung 277 26.7 26.7
Trauma 319 30.7 57.4
Penyakit organ 118 11.4 68.7
Keracunan 64 6.2 74.9
Intoksikasi obat 81 7.8 82.7
Penyakit menular 34 3.3 85.9
Kebakaran 29 2.8 88.7
Gangguan sistem 64 6.2 94.9
pernapasan dan
asfiksia
Lainnya 53 5.1 100

Seratus enam puluh satu sampel (15,49%) yang diambil dari subyek yang diteliti positif
untuk setidaknya satu dari infeksi (HBV, HCV, dan HIV), termasuk 94 kasus (9,05%)
positif untuk HCV, 40 kasus (3,84%) positif untuk HBV, 27 kasus (2,60%) positif untuk
HIV, 22 kasus positif untuk HIV dan HCV, 4 kasus positif untuk HBV dan HCV, 2
kasus positif untuk ketiga tes, dan satu kasus positif untuk HIV dan HBV.

Sekitar 18% dari subyek yang diteliti adalah perempuan. Di antara subyek, ditemukan
satu kasus HCV positif dan 6 kasus HBV positif. Tidak ada HIV positif di dalamnya.
6

Prevalensi seropositif HCV adalah 20,4 kali lipat lebih tinggi pada pria dibandingkan
wanita. Rasio pria / wanita adalah 1,18 untuk HBV.

Analisis statistik dari data yang dihasilkan dengan uji chi-square dan uji eksak Fisher
menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara status perkawinan dan
seropositif HCV (nilai P <0,01). Tingkat kontaminasi lebih tinggi pada orang lajang.
Korelasi yang sama juga ditemukan untuk seropositif HIV (nilai p<0,02). Angka itu
juga lebih tinggi pada para lajang. Ada hubungan yang signifikan antara seropositif HIV
dan hepatitis C dan riwayat pemenjaraan (nilai p<0,01). Juga, ada hubungan yang
signifikan antara adanya tanda injeksi selama pemeriksaan postmortem dengan HIV dan
seropositif hepatitis C (nilai p<0,01). Ada hubungan yang signifikan antara riwayat
penyalahgunaan narkoba dengan HIV dan seropositif hepatitis C (nilai p<0,01). Ada
juga korelasi yang signifikan antara tato tubuh dan HIV dan seropositif hepatitis C (nilai
p<0,01). Tidak ada hubungan antara ukuran dan tampakan hati dengan seroprevalensi
HIV, hepatitis B, dan hepatitis C.

4. Diskusi

Necropsy adalah tindakan pemeriksaan yang penting pada pasien yang meninggal
karena AIDS karena memungkinkan kita untuk melakukan follow up klinikopatologi,
penjelasan deskriptif patologi klinis dan epidemiologi penyakit HIV, validasi titik akhir
dalam uji klinis, penilaian efikasi obat dan toksisitas, akumulasi jaringan untuk
penelitian lebih lanjut, dan pendidikan kedokteran.6,7 Serophobia HIV telah ditemukan
diantara petugas yang bekerja di kamar jenazha yang menangani kasus-kasus berisiko
tinggi sejak tahun 1980-an, meskipun tidak ada bukti bahwa HIV bisa diperoleh di
kamar jenazah. Sehingga, hal itu membuat pekerja sulit untuk menolak tindakan
nekropsi pada pasien dengan infeksi tersebut.6 Risiko serokonversi setelah pajanan
akibat kerja akan tergantung pada viral load dalam tubuh pasien, volume cairan yang
7

diinokulasi/tertelan, dan kerentanan petugas kesehatan (termasuk apakah mereka


menerima profilaksis pascaeksposur dengan zidovudine).6

HBV sangat menular, dan penularan dapat terjadi setelah terpapar dengan darah yang
terinfeksi walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Namun, risiko perolehan HBV
dari pekerjaan sangat rendah, sebagian besar sebagai konsekuensi dari paparan vaksinasi
rutin di antara petugas kesehatan. Sebaliknya, HCV kurang infeksius bila dibandingkan
dengan HBV, dan tidak ada vaksin yang tersedia untuk HCV. Perolehan HCV dari
pekerjaan telah dilaporkan pada petugas medis dan tingkat penularan setelah paparan
perkutan adalah 2,7-10,79 persen.6 Infeksi ini menimbulkan risiko bagi ahli forensik dan
pekerja di ruang jenazah.8,9

Prevalensi HIV dan HCV positif jelas bervariasi dengan penyebab kematian; kelompok
overdosis obat memiliki hasil yang jauh lebih positif (81 dari 107, atau 76% kasus)
dibandingkan dengan kategori lain, misalnya, kecelakaan mobil dan jenis kecelakaan
lainnya, di mana hanya 13 dari 109 kasus (13%) yang merupakan tes positif. Ini tidak
terduga dan mungkin mencerminkan hubungan yang diketahui antara perilaku berisiko
tinggi (misalnya, kecanduan obat atau prostitusi) dan infeksi HIV dan HCV. Orang-
orang dalam kelompok dengan risiko tinggi infeksi jauh lebih mungkin meninggal pada
usia yang lebih muda dan dalam keadaan yang memerlukan penyelidikan medikolegal.5

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan prevalensi HIV, HBV,
dan HCV dalam tubuh yang dirujuk ke Tehran Forensic Dissection Hall. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi keseluruhan dengan virus yang
disebutkan di atas adalah 15,49%. Angka yang dihitung untuk infeksi lebih rendah
daripada studi Cattaneo et al. Studi selanjutnya telah dilakukan di Iran di antara sampel
otopsi. Sebuah penelitian yang dilakukan pada sampel otopsi di Yordania telah
melaporkan tingkat infeksi HBV dan HCV sebesar 2,5% yang bahkan lebih rendah dari
penelitian ini.11 Dalam penelitian ini, infeksi dengan virus berkorelasi dengan riwayat
penyalahgunaan narkoba, pemenjaraan, jenis kelamin laki-laki, adanya tanda injeksi,
dan tato. Namun, kontaminasi tidak terbatas pada subjek dengan faktor-faktor risiko ini.
8

Jadi, seseorang tidak dapat bergantung pada riwayat medis masa lalu semata-mata untuk
menilai faktor risiko infeksi. Semua jenazah harus dianggap berpotensi terkontaminasi
dan metode pencegahan dan pelindung yang sesuai dipatuhi selama otopsi.12-15
9

REFERENSI
1. Yadav, D. Pathak, F. Alam, and N. Vyas, “Seroprevalence of HIV, HBV and
HCV among the cadaver population - A Jaipur based study,” Medico Legal
Update, vol. 14, no. 1, pp. 75–79, 2014
2. J. L. Burton, “Health and safety at necropsy,” Journal of Clinical Pathology, vol.
56, no. 4, pp. 254–260, 2003.
3. M. Kiani, A. Barzegar, and S. Bazmi, “autopsy infections and ways to prevent its
transmission,” Journal of LegalMedicine, vol. 36, no. 10, pp. 45–48, 2005.
4. M. Alavian, “Investigate the factors associated with hepatitis B vaccination in
Tehran physicians,” Journal of Medical Systems, vol. 21, no. 1, pp. 13–18, 2003.
5. Y. Rasoolinejad, “Infection in injection drug users,” Journal of Medical Systems,
vol. 20, no. 2, pp. 34–36, 2002.
6. C. Cattaneo, P. A. Nuttall, L. O. Molendini, M. Pellegrinelli, M. Grandi, and R.
J. Sokol, “Prevalence of HIV and hepatitis C markers among a cadaver
population in Milan,” Journal of Clinical Pathology, vol. 52, no. 4, pp. 267–270,
1999.
7. M. Saleh, A. M. Kazemifar, A. E. Saleh, A. H. Nobari, and R. A. Samimi,
“Prevalence of HIV, hepatitis B and C seropositivity in expired iv drug abusers
in Hamadan,” Scientific Journal of Forensic Medicine, vol. 16, no. 4, pp. 253–
257, 2011.
8. S. Khambatta, N. Sinha, P. Sabale, J. Shastri, S.Mohite, andM. V Ambiye,
“Seroprevalence of HBV and HCV in forensic autopsy cases,” Medico Legal
Update, vol. 14, no. 2, pp. 22–26, 2014.
9. M. K. Bansal, S. K. Naik, P. Gupta, Y. Rani, and B. L. Sherwal, “Post mortem
and the risk of HIV infection,” Indian Journal of Forensic Medicine and
Toxicology, vol. 8, no. 2, pp. 63–67, 2014.
10. M. B. Eriksen, M. A. Jakobsen, B. Kringsholm et al., “Postmortem detection of
hepatitis B, C, and human immunodeficiency virus genomes in blood samples
from drug-related deaths in Denmark,” Journal of Forensic Sciences, vol. 54, no.
5, pp. 1085–1088, 2009.
11. F. G. Bakri, I. M. Al-Abdallat,N.Ababneh,R. Al Ali, A. K. Idhair, and A.
Mahafzah, “Prevalence of blood-borne viral infections among autopsy cases in
Jordan,” Qatar Medical Journal, vol. 2016, no. 2, p. 14, 2016.
12. F. L.Delmonico, “Cadaver donor screening for infectious agents In solid organ
transplantation,” Clinical Infectious Diseases, vol. 31, no. 3, pp. 781–786, 2000.
13. S. S. Kadam, S. Akhade, and K. Desouza, “Autopsy practice, potential sources
of occupational hazards: A review for safety and prevention,” Journal of Indian
Academy of Forensic Medicine, vol. 37, no. 2, pp. 196–201, 2015.
14. D. S. Bhullar, “Safety measures in dealing with dead,” Journal of Punjab
Academy of ForensicMedicine and Toxicology, vol. 12, no. 2, pp. 69–75, 2012.
15. S. Hostiuc, G. C. Curca, M. Ceausu, M. C. Rusu, E. Niculescu, and D.
Dermengiu, “Infectious risks in autopsy practice,” Romanian Journal of Legal
10

Medicine, vol. 19, no. 3, pp. 183–188, 2011.


11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


Secara definisi disebutkan bahwa ilmu kedokteran forensik adalah salah satu
cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran
untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Dalam istilah lain, ilmu kedokteraan
forensik juga dikenal dengan nama legal medicine.1 Seiring dengan perkembangan zaman
dan perjalanan waktu, ilmu kedokteran forensik terus berkembang menjadi suatu ilmu
yang universal karena meliputi berbagai aspek ilmu pengetahuan. Salah satu bidang
penting dalam ilmu kedokteran forensik adalah identifikasi.2
Untuk kepentingan visum et repertum (VeR), ketika dokter memeriksa jenazah
maka identifikasi pada jenazah tetap dilakukan sekalipun jenazah tersebut dikenal.
Dokter haruslah mencatat jenis kelamin, umur, suku bangsa, panjang dan berat badan,
kebangsaan, warna kulit, perawakkan, keadaan otot, keadaan gizi, rambut, mata, gigi,
bekas-bekas luka, tahi lalat, tato (rajah), pakaian, perhiasaan, barang-barang yang ada
jenazah, ada tidaknya kumis/jenggot (pada laki-laki), cacat tubuh (bawaan atau didapat)
dan sebagianya.2,3,4
Dalam bidang kedokteran forensik peranan pemeriksaan identifikasi sangatlah
penting pada korban yang telah meninggal, hal ini oleh karena setelah dilakukan
identifikasi terhadap jenazah untuk kepastian identitas, barulah kemudian pemeriksaan
dapat dilakukan ketahap berikutnya. Pada jenazah yang tak dikenal atau biasa di sebut
dengan istilah Mr.X, tentunya identifikasi menjadi sulit dan pemeriksaan jenazah untuk
identifikasi menjadi lebih sulit lagi bila jenazah dikirim ke rumah sakit atau puskesmas
telah mengalami pembusukan atau kerusakan berat baik akibat kebakaraan, ledakan,
kecelakaan pesawat ataupun tinggal beberapa jaringan tubuh misalnya kasus mutilasi
(tubuh terpotong- potong). Pada kondisi ini juga tidak jarang pihak kepolisian hanya
menyerahkan kepala saja, sebagian lengan atau kaki yang terpotong-potong atau kadang
kala tinggal tulang belulang saja.1,3

11
12

2.2 INFEKSI

2.2.1 Pengertian Infeksi

Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat
sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara bertahan hidup
dengan berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari
reservoir lainnya yang baru dengan cara menyebar atau berpindah. Penyebaran
mikroba patogen ini tentunya sangat merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi
sehat, lebih-lebih bagi orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Orang yang
sehat akan menjadi sakit dan orang yang sedang sakit serta sedang dalam proses
asuhan keperawatan di rumah sakit akan memperoleh “tambahan beban penderita”
dari penyebaran mikroba patogen ini.6

Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu yang


rentan (suspectable host) dapat terjadi melalui dua cara.6

1. Transmisi langsung (direct transmission)

Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk (port d’entrée)


yang sesuai dari pejamu. Sebagai contoh adalah adanya sentuhan, gigitan, ciuman,
atau adanya droplet nuclei saat bersin, batuk, berbicara, atau saat transfusi darah
dengan darah yang terkontaminasi mikroba patogen.

2. Transmisi tidak langsung (indirect transmission)

Penularan mikroba pathogen melalui cara ini memerlukan adanya “media


perantara” baik berupa barang / bahan, udara, air, makanan / minuman, maupun
vektor.

a. Vehicle-borne
13

Dalam kategori ini, yang menjadi media perantara penularan adalah barang
/ bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, instrumen bedah
/ kebidanan, peralatan laboratorium, peralatan infus / transfusi.

b. Vector-borne

Sebagai media perantara penularan adalah vektor (serangga), yang


memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut.

i. Cara mekanis

Pada kaki serangga yang menjadi vektor melekat kotoran / sputum


yang mengandung mikroba patogen, lalu hinggap pada makanan / minuman,
dimana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu.

ii. Cara biologis

Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami siklus


perkembangbiakan dalam tubuh vektor / serangga, selanjutnya mikroba
berpindah tempat ke tubuh pejamu melalui gigitan.

c. Food-borne

Makanan dan minuman adalah media perantara yang terbukti cukup efektif
untuk menjadi saran penyebaran mikroba patogen ke pejamu, yaitu melalui pintu
masuk (port d’entrée) saluran cerna.7

d. Water-borne

Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif, terutama


untuk kebutuhan rumah sakit, adalah suatu hal yang mutlak. Kualitas air yang
meliputi aspek fisik, kimiawi, dan bakteriologis, diharapkan telah bebas dari
mikroba patogen sehingga aman untuk dikonsumsi manusia. Jika tidak, sebagai
salah satu media perantara, air sangat mudah menyebarkan mikroba patogen ke
14

pejamu, melalui pintu masuk (port d’entrée) saluran cerna maupun pintu masuk
lainnya.

e. Air-borne

Udara bersifat mutlak diperlukan bagi setiap orang, namun sayangnya


udara yang telah terkontaminasi oleh mikroba patogen sangat sulit untuk dapat
dideteksi. Mikroba patogen dalam udara masuk ke saluran napas pejamu dalam
bentuk droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita (reservoir) saat batuk atau
bersin, bicara atau bernapas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust
merupakan partikel yang dapat terbang bersama debu lantai / tanah. Penularan
melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti
di dalam gedung, ruangan / bangsal / kamar perawatan, atau pada laboratorium
klinik.

2.3 INFEKSI DAPATAN DARI KAMAR JENAZAH

2.3.1 Pengertian Infeksi Dapatan dari Kamar Jenazah

Kamar jenazah dapat menjadi suatu tempat yang berbahaya bagi kesehatan.
Namun akan lebih berbahaya lagi bila orang yang bekerja dalam lingkungan tersebut
tidak mempedulikan atau bahkan tidak mengetahui potensi bahaya yang bisa didapat
dari kamar jenazah.

Infeksi dapatan dari kamar jenazah adalah infeksi yang didapat dari jenazah,
dimana didalam tubuh jenazah masih terdapat kuman patogen yang berpotensi
menimbulkan sakit bila dapat berpindah atau menginfeksi manusia yang masih hidup.
8

2.3.2 Klasifikasi Agen Infeksius pada Jenazah


15

'Hazard' adalah kapasitas intrinsik agen, kondisi atau situasi untuk


menghasilkan efek buruk pada kesehatan atau lingkungan. ‘Risiko’ adalah
kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginksn akibat suatu kondisi.
Suatu agen dapat berbahaya tetapi tidak selalu menghasilkan risiko sampai paparan
terjadi dan dosis dikirimkan ke organ target.10

Penularan infeksi membutuhkan kehadiran agen infeksi, paparan agen itu dan
host rentan, yang tak terbantahkan dipenuhi oleh ruang otopsi.

2.3.3 Rute Infeksi:11

Infeksi di ruang otopsi dapat diperoleh dengan salah satu dari rute berikut:

1. Luka akibat cedera jarum suntik (misalnya benda tajam) yang


terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh.
2. Percikan darah atau cairan tubuh lainnya ke luka terbuka atau area
dermatitis.
3. Kontak darah atau cairan tubuh lainnya dengan selaput lendir mata,
hidung atau mulut.
4. Menghirup dan menelan partikel aerosol.

2.3.4 Faktor yang Memengaruhi Infeksi

Beberapa faktor dapat berperan dalam terjadinya infeksi yang mana kemudian
dibagi menjadi 4 faktor, yaitu :9
1. Faktor intrinsik, yaitu umur, jenis kelamin, kondisi umum, risiko terapi,
adanya penyakit lain, tingkat pendidikan dan lama pengalaman kerja.
2. Faktor ekstrinsik, yaitu dokter, perawat, penderita lain, bangsal atau
lingkungan, peralatan, material medis, pengunjung atau keluarga, makanan
dan minuman.
3. Faktor keperawatan, yaitu durasi hari perawatan, menurunnya standart
perawatan, dan padatnya pasien.
16

4. Faktor mikroba patogen, yaitu kemampuan invasi atau merusak jaringan dan
lamanya paparan.

2.3.5 Patogen Yang Didapat Secara Umum Saat Otopsi:

Agen infeksius dikategorikan ke dalam 4 kelompok bahaya12, berdasarkan


pada:Virulensi menyebabkan infeksi, kemampuan untuk menyebabkan epidemi.,
kemampuan pencegahan (oleh vaksin atau prophylactic chemotherapy), dan
kemampuan penatalaksanaan, yaitu sebagai berikut :12
1. Kelompok bahaya (Hazard Group) 1: Organisme yang paling tidak
menyebabkan penyakit manusia.
2. Kelompok bahaya (Hazard Group) 2: Organisme yang dapat menyebabkan
penyakit manusia, yang mungkin berbahaya bagi pekerja laboratorium tetapi
tidak mungkin menyebar ke masyarakat, paparan jarang menghasilkan infeksi
dengan ketersediaan profilaksis dan pengobatan yang efektif.
3. Kelompok Bahaya (Hazard Group) 3: Organisme yang dapat menyebabkan
penyakit berat pada manusia & menimbulkan bahaya serius bagi pekerja
laboratorium. Ini mungkin menimbulkan risiko penyebaran ke masyarakat
tetapi biasanya ada profilaksis dan pengobatan yang efektif tersedia.
4. Kelompok Bahaya (Hazard Group) 4: Organisme yang menyebabkan
penyakit berat pada manusia & merupakan bahaya serius bagi pekerja
laboratorium. Ini mungkin menimbulkan risiko tinggi penyebaran ke
masyarakat & biasanya tidak ada profilaksis dan pengobatan yang efektif.

Dengan deminikan, Hazard Group 1 in kelompok yang tidak menimbulkan


penyakit pada manusia. Hazard Group 2 merupakan agen infeksius seperti:
Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-resistent
Enterococci (VRE), Salmonella spp dan bakteri enterik patogen lainnya. Rute
transmisi agen biologi ini melalui tangan ke mulut “hand to mouth”. Prosedur
hygiene yang baik termasuk cara mencuci tangan yang benar dapat mengurangi angka
17

transmisi dari kelompok ini. Meskupun inokulasi dari Saphylococcus,


Meningococcus, dan Streptococcus masih mungkin terjadi dengan standart
pencegahan unoversal modern hal ini bisa diminimalisir.8

Kelompok yang signifikan untuk pekerja kamar jenazah adalah Kelompok


Bahaya (Hazard Group) 3 (HG3), yang disebabkan oleh agen biologis tuberkulosis
(TB), human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B & C virus (HBV, HCV)
yang dapat menyebabkan penyakit manusia yang serius & hadir risiko serius bagi
karyawan. Pada Hazard Group (HG4) biasanya tidak ada profilaksis atau pengobatan
yang efektif. Kelompok ini termasuk virus haemorrhagic fevers (VHF): Marburg,
Ebola, demam Lassa, Congo Krimea demam berdarah & cacar kecil.13

2.3.5.1 Mycobacterium Tuberculosis

 Epidemiologi

Sudah lama diketahui bahwa staf yang bekerja di kamar jenazah berisiko
terkena infeksi okupasi dengan Mycobacterium tuberculosis, yang ditularkan melalui
udara, percikan dahak atau ludah yang terinfeksi oleh kuman tuberkulosis.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan selama 32 tahun tentang prevalensi
tuberkulosis pada 220 petugas kesehatan seperti dokter/perawat ditemukan 60 kasus
tuberkulosis pada perawat dan 6 kasus tuberkulosis pada dokter, dimana rata-rata
pertahun adalah 1363/100.000 yaitu sepuluh kali lipat lebih tinggi dibanding populasi
umum.20

Selain infeksi saluran napas, dapat terjadi infeksi kulit (prosectorchia


paronychia, prosector's kutil, verruca necrogenica) menyumbang 5–10% kasus,
bacillus masuk ke dalam kulit yang sebelumnya mengalami trauma atau melalui
tusukan kulit.

 Masa Penularan dari Jenazah


18

Munculnya resistensi multi-obat strain tuberkulosis memperkuat pentingnya


penyakit. Tuberkulosis adalah salah satu dari pembunuh terbesar di antara penyakit
infeksi pada masa lalu. Jumlah tahunan kasus tuberkulosis terus menerus meningkat
karena kemunculannya dalam infeksi HIV. Dilaporkan bahwa kejadian tuberkulosis
di antara ahli patologi terlibat dalam praktik post mortem (10%) lebih besar dari pada
dokter umum (1%) dan dokter spesialis (4%) dalam pengobatan pernapasan.16 Bahkan
paparan yang sangat singkat selama autopsi membawa resiko infeksi yang sangat
tinggi. Pasien dari tuberkulosis mungkin lebih menular pada otopsi dibandingkan
selama hidup. Transmisi tuberkulosis adalah diduga terjadi terutama oleh paparan
aerosol yang mengandung basil. Sebuah peneliatian menghasilkan bahwa terdapat
basil tetap hidup dan menular setidaknya 24-48 jam setelah jenazah yang terinfeksi
dilakukan embalming.17 Dalam penelitian lain juga dikatakan bahwa jenazah yang
sudah dilakukan embalming masih dapat menularkan bakteri hingga 60 jam.19

2.3.5.2 Hepatitis B

 Epidemiologi

Hepatitis B memiliki angka transmisi paling tinggi diantara virus parenteral


dengan rata-rata sekitar 100 kali lebih besar daripada HIV. Risiko infeksi lebih tinggi
pada petugas kesehatan dibandingkan dengan pada populasi umum. Risiko paling
tinggi terdapat pada orang yang kontak dengan darah atau orang yang melakukan
tindakan invasif. CDC menemukan risiko infeksi umum perorangan pada otopsi
sekitar 5% sedangkan jika darahnya terkontaminasi dengan antigen HbeAg terjadi
peningkatan menjadi 30%. HBV terdapat dalam semua cairan tubuh termasuk saliva,
darah, cairan semen, dan cairan serebrospinal.17

Virus hepatitis B adalah virus yang paling banyak ditularkan dari darah.
Hepatitis B sangat menular, ditularkan melalui darah atau produk darah, transmisi
seksual dan penetrasi kulit melalui kontak dengan yang terinfeksi virus. Namun,
risiko infeksi HBV pada petugas kesehatan sangat rendah, karena vaksinasi pra-
19

paparan rutin di antara petugas kesehatan. Infeksi hepatitis B dapat menghasilkan


infeksi kronis yang menempatkan individu pada risiko kematian akibat penyakit hati
kronis atau karsinoma hepatoselular primer. Masa inkubasi yang panjang dari 6
sampai 24 minggu sering menutupi hubungan antara kejadian infeksi dan timbulnya
gejala. Di antara dokter, ahli patologi telah diakui sebagai kelompok berisiko tinggi
untuk hepatitis B yang didapat di tempat kerja, karena paparan mereka terhadap
darah.17

 Masa Penularan dari Jenazah

Infeksi biasanya terjadi secara parenteral (lewat jarum suntik) tetapi dapat juga terjadi
lewat paparan jaringan mukosa dengan cairan terinfeksi (partikel dari cairan tindakan
selama pembukaan rongga kepala yang dapat dengan mudah mencapai konjungtiva
atau rongga mulut). Tidak seperti HIV, HBV dapat hidup diluar tubuh selama 7 hari
pada darah kering atau pada cairan tubuh yang telah mengering.22 Penelitian yang
dilakukan oleh Edler et all, bahwa pada HBV, 9 korban meninggal dimasukkan dalam
sampel, terdapat 5 sampel terbukti positif untuk HbsAg, dan terus menunjukan hasil
positif sampai 48 jam, dan 8 dari sampel didapat hasil reaktif untuk Anti HBC sampai
48 jam dan 1 sampel bertahan sampai 36 jam post mortem.22

2.3.5.3 Hepatitis C

 Masa Penularan pada Jenazah

Hepatitis C kurang menular dan ditularkan melalui rute yang sama seperti HBV,
tetapi tidak ada vaksin. Penelitian yang dilakukan oleh Edler et all, bahwa pada HCV
dari total 20 orang meninggal (14 laki – laki, 6 perempuan) berusia 32 – 81 tahun,
yang dilakukan penelitian. 3 kasus harus dikeluarkan dar studi karena keluarga tidak
memberikan persetujuan. 17 subjek sisanya terbukti Anti HCV positif pada saat
pemeriksaan pertama kali(sesaat datang, 12 atau 24 jam post mortem, dan 1 kasus 36
jam post mortem.) Ke 16 subjek ini tetap menunjukan hasil positif sampai 48 jam
20

post mortem. 1 subjek hanya dapat diukur 36 jam post mortem karena
ketidaktersediaannya sampel untuk pengecekan 48 jam. Hasil pada 36 jam post
mortem pun memberikan hasil positif.22

2.3.5.4 HIV

 Epidemiologi

Human Immuno-deficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab AIDS


adalah salah satu virus yang paling banyak diteliti. Efek sitopatik HIV pada limfosit
T4 helper menyebabkan kegagalan sistem kekebalan dan akan menyebabkan AIDS.
HIV adalah virus RNA dengan struktur retrovirus khas dan ditularkan oleh rute yang
sama seperti HBV. Orang yang meninggal dengan AIDS akan sangat menular.

HIV telah menginfeksi 50 – 60 juta orang dan menyebabkan kematian pada


orang dewasa dan anak – anak lebih dari 22 juta orang. Lebih dari 42 juta orang hidup
dengan infeksi HIV dan AIDS, yang kira – kira 70% berada di ASIA dan hampir 3
juta orang meninggal setiap tahun. Telah dipalorkan sebanyak 13.449 orang telat
menginggal akibat HIV (tidak termasuk DKI Jakarta dan Sumatra Barat). Pola
penularan HIV berdasarkan kelompok umur didapatakn infeksi HIV paling banyak
terjadi pada kelompok usia produktif 25 – 49 tahun, diikuti kelompok usia 20 – 24
tahun.17

 Masa Penularan dari Jenazah

Sebagian besar pekerja perawatan kesehatan yang diketahui sebagai HIV


seropositif memiliki riwayat paparan perilaku (homoseksual, berganti – ganti
pasangan, dan penggunaan jarum suntik bersamaan) atau transfusi sebelumnya.
Penyebab tersering dari infeksi HIV dapatan dari jenazah yaitu akibat kecelakaan
kerja dengan jarum suntik. Risiko sero-konversi setelah paparan akan tergantung pada
viral load, jumlah cairan yang diinokulasi dan kerentanan petugas kesehatan. Namun
kekhawatiran terbesar adalah jenazah dengan penyakit yang tidak terdiagnosis.17
21

Ada beberapa penelitian yang telah melihat seberapa lama HIV bertahan
dalam tubuh jenazah. Dalam tubuh yang tidak didinginkan HIV umumnya bertahan
hingga 24 – 36 jam setelah kematian. HIV aktif telah dilaporkan ditemukan dalam
cairan pleura, cairan perikardial dan darah pasien yang meninggal setelah
penyimpanan pada 20C hingga 16,5 hari setelah kematian. HIV aktif juga diisolasi
dari fragmen tulang, limpa, otak, sumsum tulang dan kelenjar getah bening dari
pasien dengan AIDS dari otopsi jenazah sampai hari ke-6 jika disimpan dalam
pendingin dengan suhu 60C. Di sisi lain, jenazah yang terinfeksi HIV sering terinfeksi
dengan infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, yang mungkin lebih menular
daripada infeksi HIV itu sendiri. HIV sero-fobia telah didokumentasikan, meskipun
tidak ada bukti bahwa HIV mudah diperoleh di kamar jenazah. Risiko serokonversi
setelah pajanan akibat kerja akan tergantung pada viral load pada pasien, volume
cairan yang diinokulasi dan kerentanan petugas kesehatan.26

Para ahli patologi anatomi secara etika wajib mendiagnosis pasien dengan
HIV dan AIDS untuk membatasi mortalitas dan morbiditas terhadap AIDS. Peran
otopsi memungkinkan untuk melihat berbagai macam lesi yang disebabkan oleh
respon host yang lemah. HIV yang menular ditemukan pada 5% dari sampel darah
yang diperoleh dari pasien AIDS pada 24 jam setelah kematian. Dilakukannya otopsi
menyebabkan risiko terinfeksi HIV dan aerosolisasi penyebaran infeksi oportunistik
lebih tinggi, sehingga tidak wajib dilakukan jika diagnosis ante mortem HIV sudah
ditegakkan. 26

Rata – rata penularan HIV setelah paparan perkutan sebesar 0,3%, untuk
paparan mukosa dan kulit yang sudah tidak utuh risiko terinfeksi sebesar 0,9%.
Angak ini meningkat jika pada petugas kesehatan mengalami kulit yang pecah –
pecah, terkelupas, atau menderita dermatitis. Weston dan Locker menunjukan
prevalensi 8% dari tusukan sarung tangan pada petugas kesehatan di kamar jenazah.
26
22

2.4 PENCEGAHAN / TINDAKAN PENCEGAHAN

Setiap jenazah harus dianggap berpotensi infeksius dan perlu ditangani sesuai
dengan tindakan pencegahan yang disarankan, teknik prosedural dan mengetahui
prinsip profilaksis sebelum terpapar. Seluruh area otopsi dan isinya harus ditetapkan
sebagai tanda peringatan Biohazard dan tepat ditempatkan di tempat jenazah. Oleh
karena itu kesadaran akan keselamatan di kamar jenazah adalah langkah pencegahan
yang efektif.

Enam kategori risiko potensial ditemukan oleh staf otopsi selama melakukan
otopsi dan ini adalah:15

1. Cedera mekanis seperti mengalami jatuh atau tergelincir di lantai.


2. Cedera akibat pemotongan tajam.
3. Electrocution.
4. Paparan bahan kimia beracun (Formalin, sianida)
5. Infeksi.
6. Paparan radiasi.

Tabel 4: Risiko dan Bahaya dalam Kamar Jenazah15


Kategori Risiko Aktivitas Risiko
Risiko Fisik 1. Penggunaan alat berat. 1. Cedera tak disengaja
2.Mengangkat dan 2. Cedera muskuloskeletal
menyeret jenazah di atas terutama regangan
lantai licin punggung. Tergelincir dan
jatuh
Cedera benda tajam Selama otopsi, kesalahan Memotong atau luka
penanganan : tusukan. Jempol distal,
a. Scalpel / jarum, peluru telunjuk dan jari tengah,
yang terfragmentasi dengan adalah luka yang paling
jaket sering diderita oleh ahli
b. ujung runcing dari tulang patologi.
panjang yang
terfragmentasi c. Alat-alat
medis seperti staples bedah
d. Fragmen jarum di
23

pecandu narkoba.
Electrical Injury 1. Instrumen listrik Shock and Electrocution
(gergaji) secara rutin
ditangani dengan wet
gloves
2. peralatan dan koneksi
listrik yang buruk, kurang
terawatt.
3. Sering ditanamkan
cardioverter-defibrillator
pada jenazah
Paparan Kimia 1. Formaldehida Efek iritasi pada selaput
2. Digunakan sebagai lendir mata, saluran
fiksatif untuk pernafasan, dan kulit.
mempertahankan jaringan Gangguan reproduksi
pemeriksaan histopatologi. menstruasi, disfungsi
3. Menangani organ-organ / seksual.
spesimen yang berformalin Paparan jangka panjang
yang belum dicuci bersih terhadap zat terkait dengan
a. Bekerja di area dengan peningkatan risiko untuk
ventilasi yang buruk semua kanker terutama
b. Paparan aerosol yang kanker paru-paru.
sangat beracun, gas atau zat
volatie misalnya. Organo-
fosfat malathion, parathion)
kematian keracunan,
hidrogen sulfida, sianida
yang merembes saat
membuka perut / rongga
tubuh lainnya.
Paparan Radiasi 1.Bahan radioaktif yang Potensi risiko untuk cedera
ditanamkan untuk radiasi.
pengobatan kanker. Malfomation dan anomali
2. Paparan sinar X sebelum kongenital pada wanita
dan selama otopsi diambil hamil dan pekerja di kamar
secara rutin dan sering. jenazah.

Penyakit Menular Terkena cipratan / Aerosol: Agen


kontak dekat. mikobakteri. Darah /
Permukaan kulit yang cairan tubuh: HIV,
rusak. Hepaitis B, Hepatitis C &
Permukaan mukosa. infeksi parasit.
24

Darah, cairan tubuh dan Penyalahgunaan narkoba


jaringan dari jenazah intravena: merupakan
dengan penyakit infeksi risiko terbesar penularan
dan pecandu narkoba. virus, agen bakteri
seperti staphylococcus
streptococcus dan
salmonella

Tabel 5: Tindakan Pencegahan dari Kontaminan Penyakit Infeksi pada Kamar


jenazah15
Pathogen yang terdapat di darah 1. Vaksinasi hepatitis B
2.Pencegahan akses imunosupresi atau individu
dengan defisiensi imun dan individu yang
memiliki luka terbuka, dan lesi kulit.
3. 10% harus dimasukkan ke paru-paru setelah
spesimen mikrobiologi yang sesuai telah diambil
dan sebelum pemeriksaan paru.
4. Standar tindakan pencegahan universal tidak
berlaku untuk feses, sekresi hidung, dahak,
keringat, air mata, air kencing dan vomitus
kecuali mereka mengandung darah yang terlihat.
Agen yang disebarkan oleh 1.Ventilasi yang memadai di kamar post-mortem.
aerosol misalnya Mycobacterium 2.Masuk tanpa izin & pergerakan bebas dalam
tuberculosis kamar jenazah harus dibatasi
3. Permukaan tulang harus dibasahi sebelum
digergaji untuk mengurangi dispersi debu tulang.
4. Plastik penutup atau pengumpul debu tulang
vakum yang melekat pada vibrating saw.
5. Imunisasi BCG
6. Dalam kasus infeksi tuberkulosis, masker
bedah telah terbukti tidak cukup, dalam kasus
seperti itu, pemakaian masker respirator N-95
harus dibuat wajib (Efisiensi Tinggi Udara
Partikulat (HEPA).
Exotic agents (Aercsol 1. Menghindari luka dan tusukan
transmitted and blood borne) 2. Perlindungan terhadap tetanus
yang tidak ada profilaksis atau 3. Semua orang di ruang otopsi harus
perawatan pasca paparan. mengenakan baju bedah dengan lengan
panjang, topi bedah, kacamata sepatu
tertutup sebagai perangkat keselamatan
25

yang direkomendasikan untuk melindungi


mata, kulit, dan selaput lendir.
4. Semua personil yang terpapar harus
memiliki akses ke fasilitas kesehatan yang
tepat secepatnya. Informasi harus
diberikan kepada para ahli dan meminta
saran medis yang sesuai.
5. Personil otopsi harus memiliki
pemeriksaan darah dasar / status serologi
dari HBV dan HIV dan tuberkulin skin
test pada saat bekerja dan pemeriksaan
ulang secara berkala.
6. Pelatihan dan edukasi staf di lingkungan
kerja yang aman dan sesuai praktik kerja
7. Penggunaan label seperti "Bahaya infeksi"
pada jenazah dianggap tepat
BLUE label- Tindakan pencegahan standar
direkomendasikan.
Yellow label- Tindakan pencegahan tambahan
direkomendasikan
RED label- Tindakan pencegahan infeksi yang
ketat direkomendasikan

Rekomendasi: 15

1) Mengidentifikasi Bahaya:
a. Melakukan pemeriksaan fisik
b. Menganalisis catatan kecelakaan.
c. Berinteraksi dengan karyawan.
d. Mengamati dan menganalisis tugas dan proses.
e. Menggunakan konsultan.
2) Penilaian Risiko: Penting untuk mengevaluasi risiko setiap kasus yang masuk ke
kamar jenazah. Dianjurkan untuk memiliki alat penilaian risiko otopsi di semua
kamar jenazah di mana otopsi dilakukan.
3) Kontrol Bahaya:
26

a. Perencanaan prioritas dan persiapan untuk pengendalian: Persiapan rencana


tertulis dari tindakan pengendalian, berkonsultasi dengan karyawan. Jika
kontrol dari setiap bahaya tidak mungkin dilaksanakan dengan segera, daftar
prioritas harus dibuat dan bahaya yang paling mengkhawatirkan ditangani
terlebih dahulu.
i. Penghapusan risiko yang ditimbulkan oleh otopsi, baik standar maupun
berisiko tinggi, tidak memungkinkan.
ii. Isolasi kasus berisiko tinggi yang teridentifikasi ke fasilitas dengan kontrol
praktik kerja yang sesuai atau isolasi prosedur tertentu dalam otopsi ke
area pengendalian lingkungan yang efektif.
iii. Meminimalkan risiko dengan membentuk kebijakan prosedur kerja dan
perlindungan diri mereka sendiri bersama dengan pelatihan staf,
pengunjung dan kontraktor yang sesuai.
b. Kontrol Teknis:
i. Desain fasilitas - Kamar jenazah harus dirancang sedemikian rupa
sehingga memisahkan area bersih dari kotor oleh zona transisional.
ii. Konstruksi Fasilitas - Sesuai desain, tiga area dengan minimum standar
harus dibangun.
 'Area Bersih' meliputi kantor, area ganti, ruang menonton, dan
penerimaan.
 'Area peralihan' merupakan area penilaian risiko, tempat kendaraan dan
penyimpanan tubuh. Penting bahwa semua pekerja dan pengunjung ke
area kotor bergerak melalui area transisi, dan diberikan informasi yang
memadai tentang perlindungan diri, masalah keamanan dan prosedur
evakuasi darurat sebelum masuk. Area transisi ini perlu menyediakan
fasilitas pembersihan, mandi, mencuci tangan dan toilet yang memadai.
 'Area kotor' - Ruang jenazah, tempat penyimpanan kotor untuk
menyortir dan membuang bahan yang bisa dibuang (limbah medis,
27

peralatan dan peralatan sekali pakai) dan pembersihan dan persiapan


peralatan yang dapat digunakan kembali (alat diseksi yang tidak dapat
dibuang, sepatu bot karet, pelindung wajah). Standar internasional
menyarankan minimal 2 tabel pembedahan untuk memungkinkan
praktik kerja yang efisien. Kamar-kamar pasca kematian harus
memiliki lantai yang cukup, pencahayaan, peralatan listrik, permukaan
akhir, pasokan air, kontrol drainase, ventilasi, kamar mandi darurat,
permukaan kerja, dan peralatan komunikasi.
4) Alat Pelindung Diri (APD) - Konsep perlindungan universal sudah dikenal di
fasilitas kesehatan. APD adalah penghalang terakhir untuk mencegah bahaya.
5) Semua karyawan fasilitas kamar jenazah harus dididik untuk mengidentifikasi
bahaya yang mungkin akan dihadapi, langkah-langkah untuk meminimalkan
bahaya dan pelatihan yang diawasi dalam penggunaan peralatan yang aman.
Fasilitas kamar jenazah harus memiliki program yang memastikan bahwa staf
diberi vaksinasi yang sesuai.
6) Meskipun tidak memadai mengingat banyaknya otopsi yang dilakukan dan bahan
bio-berbahaya yang diawetkan & dibuang setiap hari, fasilitas kamar jenazah
tetap harus dijaga sesuai pedoman laboratorium.
7) Semua karyawan kamar jenazah harus dicakup oleh susunan kesehatan
komprehensif yang sesuai, manfaat kompensasi dan biaya yang timbul karena
penyakit yang didapat di tempat kerja.
8) Kebanyakan lembaga pemulasaraan di seluruh negara berada dalam keadaan
terabaikan dan kekurangan dana secara terus menerus untuk mendapatkan bahan
minimum yang ditentukan, yang mengarah ke kondisi kerja yang tidak higienis
sehingga mempengaruhi baik manajemen dan staf untuk sejumlah penyakit
menular. Pemerintah harus benar-benar memperhatikan hal ini dan
mengalokasikan lebih banyak dana untuk memperbaiki lingkungan kerja dari
semua pemulasaraan.
28

2.5 PANDUAN PENGONTROLAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT


Jenazah dapat menimbulkan bahaya bagi yang menanganinya. Baru - baru ini
kematian terjadi akibat infeksi oleh berbagai patogen, yang menyajikan risiko tertentu
termasuk, tuberkulosis, infeksi streptokokus, patogen gastrointestinal, agen
menyebabkan ensefalopati spongiform menular (misalnya Creutzfeldt-Jakob disease),
hepatitis B dan C, HIV infeksi, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), demam
berdarah yang disebabkan virus seperti Ebola, dan mungkin meningitis dan
septikemia (terutama meningokokal). Tak satu pun dari organisme yang
menyebabkan kematian massal di masa lalu (misalnya wabah, kolera, tifus,
tuberkulosis, cacar) kemungkinan akan bertahan lama di pemakaman. Berikut adalah
fakta – fakta yang kita ketahui :15

 Sebagian besar mikroorganisme yang menyebabkan kematian tidak bertahan


lama setelah induknya meninggal atau tidak mudah menular.
 Jaringan lunak yang tersisa di jenazah bisa menimbulkan risiko infeksi.
 Tubuh yang sudah lama terkubur yang direduksi menjadi kerangka tidak
berbahaya.
 Bahaya yang mungkin terjadi di pemakaman tua adalah anthrax, yang dapat
membentuk spora resisten, namun jarang terjadi.

Ada kekhawatiran teoritis bahwa cacar dapat bertahan hidup di tubuh yang telah
dikubur, tetapi risiko dari residual minimal virus dalam scabs kering tidak dianggap
menghadirkan ancaman infeksi yang valid. Orang tidak boleh divaksinasi secara
khusus untuk menangani bahaya ini karena risiko vaksinasi cacar sangat melebihi
risiko infeksi.

PENGURANGAN RISIKO15
 Ruang pasca kematian.
29

1) Ruang-ruang pasca kematian harus terstruktur sedemikian rupa sehingga


berisiko bagi mereka bekerja di dalamnya diminimalkan. Penyediaan
ventilasi yang memadai, pencahayaan, air mengalir, dan drainase yang
baik sangat penting.
2) Pekerja harus menggunakan sarung tangan sekali pakai untuk setiap
prosedur dan, setelah dihapus, cuci tangan mereka segera.
3) Lingkungan harus dibersihkan dengan spektrum luas disinfektan setiap
hari.
4) Instrumen harus dicuci dalam disinfector dan diautoklaf, atau mereka
harus dibersihkan dan kemudian direbus (di daerah dengan sumber daya
terbatas), atau tenggelam dalam jangkauan luas, non-korosif disinfektan
setelah pembersihan awal. Setiap pembersihan manual harus dilakukan
dilakukan dengan sangat hati-hati; tahap ini adalah tempat tusukan
operator kulit dengan instrumen yang terkontaminasi tajam mungkin.
5) Hipoklorit (misalnya pemutih klorin) tidak boleh digunakan karena:
o Hipoklorit bersifat korosif dan dapat merusak permukaan atau
instrumen.
o Formaldehid kemungkinan ada di kamar postmortem.
o Dan reaksi antara hipoklorit dan formaldehida bisa menghasilkan
karsinogen yang kuat (bis-chloromethyl ether).
6) Beberapa departemen post-mortem rumah sakit mengangkut semua
badan untuk dipindahkan kepada direktur pemakaman. Ini bisa menjadi
kontra-produktif dalam hal keamanan sebagai mengantongi tubuh dapat
menjadi sarana utama yang dapat digunakan oleh rumah sakit
berkomunikasi dengan direktur pemakaman yang mungkin diberikan
oleh tubuh risiko khusus. Di negara-negara di mana kerahasiaan
menghalangi referensi untuk infeksi tertentu, jenis risiko yang terlibat
dapat diidentifikasi oleh melampirkan label yang menasihati jenis
tindakan pencegahan generik misalnya, enterik, ditularkan ke kantong.
30

 Persiapan orang mati untuk pemakaman.


1. Seringkali hanya "persiapan higienis" sederhana yang dapat dilakukan,
sering oleh kerabat atau pejabat agama. Ini biasanya melibatkan
mencuci tubuh, mendandani jenazah, merapikan rambut dan mungkin
memotong kuku dan mencukur. Di beberapa masyarakat, ini adalah
sebuah bagian penting dari ritual berurusan dengan orang mati
(misalnya penguburan tradisional di negara-negara Afrika Barat) dan
mungkin melibatkan sangat kontak dekat dengan jenazah (merangkul,
berciuman, dll.). Cepat seperti itu prosedur sering diikuti di banyak
negara, khususnya yang lebih panas, di mana penguburan atau
pembuangan jenazah lainnya mengikuti kematian dalam 24 jam (baik
untuk alasan praktis atau agama). Dibawah keadaan ini banyak patogen
yang mungkin masih bisa hidup tetapi, disediakan di sana dianggap
hanya tingkat rendah risiko, maka penggunaan sarung tangan dan
pakaian pelindung yang sederhana dan / atau pribadi yang baik
kebersihan oleh siapa pun yang menangani tubuh adalah hal yang dapat
diterima dan efektif ukuran keamanan.
2. Dalam beberapa contoh, misalnya di mana orang tersebut telah
meninggal sangat penyakit menular seperti Ebola atau hepatitis B,
bahkan higienis persiapan tidak aman (lihat daftar infeksi seperti pada
Tabel 41.2). Dalam keadaan seperti ini, risiko bagi mereka yang
menangani jenazah mungkin sangat tinggi. Diperkirakan selama ini
baru-baru ini wabah Ebola di Afrika Barat (2014-16) sebanyak 65% dari
mereka yang terlibat dalam praktik penguburan yang tidak aman
menjadi terinfeksi dan penguburan yang tidak aman itu memainkan
peran penting dalam ukuran dan luasnya epidemi.
31

3. Pembalseman dapat dilakukan sebagai sarana sementara pengawetan


dengan mengurangi aktivitas mikroba dan memperlambat dekomposisi
dan biasanya merupakan proses yang mudah, tetapi pembalseman
jenazah yang pernah mengalami kecelakaan atau yang pernah
mengalami kecelakaan menjadi subjek pemeriksaan post-mortem lebih
sulit. Mereka mungkin rusak parah dan menimbulkan bahaya khusus
karena tulang yang rusak, serpihan tulang, dan (kadang-kadang) karena
tajam item, seperti kanula intravena, tertinggal di tubuh. Pekerjaan
kosmetik pada bangkai juga dapat menghadirkan bahaya jika tubuh telah
rusak. Terkadang ada kontaminasi yang cukup besar tubuh dengan
darah, feses, dan cairan tubuh lainnya jika dikantongi, menyajikan risiko
ekstra kepada pembalsem dan orang lain yang terlibat di dalamnya
persiapan tubuh. Ini adalah alasan lain untuk menghindari universal
mengantongi jenazah oleh rumah sakit. Praktik pembalseman seperti
drainase terbuka dari sistem vaskular menyebabkan berlebihan
pencemaran lingkungan dan harus dihindari.
4. Semua instrumen yang digunakan untuk pembalseman atau untuk
mempersiapkan tubuh untuk pemakaman harus dibersihkan dengan hati-
hati dalam deterjen dan disterilisasi dalam autoklaf, direbus, atau
direndam dalam desinfektan. Desinfektan harus digunakan untuk
membersihkan tumpahan darah atau cairan tubuh, penggunaan tunggal
sarung tangan yang digunakan untuk melindungi tangan dari kontak
dengan tumpahan. Tangan harus selalu dicuci setelah menyelesaikan
suatu sesi.
5. Seperti halnya kamar pasca kematian, hipoklorit (misalnya pemutih
klorin) tidak boleh digunakan (lihat di atas).
32

 Petugas Pelayanan Darurat

Bahaya utama yang dihadapi personil layanan darurat adalah darah dan
risiko tersebut dapat sangat berkurang dengan mencegah kontak dengan darah
(penggunaan sarung tangan, pelindung mata dan wajah, dan pakaian pelindung
jika diperlukan)

1. Tubuh yang telah membusuk selama beberapa waktu, termasuk yang telah
berada di dalam air untuk waktu yang lama, memiliki risiko yang sedikit.
Organisme yang mungkin hadir adalah flora tubuh mereka sendiri dan air atau
organisme lingkungan lainnya. Penggunaan pakaian pelindung yang baik dan
kebersihan pribadi yang baik akan melindungi personil yang menangani
material tersebut.
2. Badan-badan harus selalu diangkut ke fasilitas kamar jenazah di kantong
tahan air atau cairan yang dapat dibersihkan, cairan penahan (misalnya
fiberglass), peti mati sementara.

 Pembuangan jenazah
1. Setiap masyarakat memiliki metode pembuangan sendiri dari jenazah. Ini
harus dihormati sejauh mungkin meskipun dalam beberapa kasus (seperti
kematian karena kremasi yang sangat menular seperti Ebola) atau penguburan
yang mendalam dengan jenazah di kantong plastik anti bocor mungkin
merupakan satu-satunya prosedur yang aman.
2. Segera setelah bencana di mana ada banyak korban jiwa, ada tradisi untuk
mengubur atau mengkremasi orang mati secepat mungkin dengan tujuan
"untuk mencegah penyebaran penyakit." Namun kenyataannya, jenazah
korban bencana memiliki resiko penularan yang minimal bagi mereka yang
selamat. Spektrum penyakit di antara orang yang meninggal dalam bencana
onset cepat akan sama dengan yang ada di antara yang selamat. Dari mereka
yang meninggal yang memiliki penyakit menular pada saat kematian mereka,
33

risiko yang akan mereka sebarkan akan lebih rendah dibandingkan resiko
selama hidup mereka dan mereka yang tidak memiliki penyakit menular
menawarkan risiko yang dapat diabaikan. Keharusan pembuangan segera
orang mati mengalihkan sumber daya dari mencari dan merawat para korban
pada saat yang kritis dalam operasi penyelamatan apa pun. Ini juga
menghambat atau mencegah identifikasi orang mati, menghilangkan bagian
dari proses berduka dari sanak keluarga mereka, serta memperpanjang
ketidakpastian mereka mengenai kemungkinan kelangsungan hidup para
korban. Konsekuensi yang legal dari kurangnya identifikasi (misalnya
ketidakpastian pasangan
tentang kematian pasangannya, warisan, atau masalah tunjangan
kesejahteraan) bisa menyebabkan kesulitan jangka panjang bagi kerabat
almarhum
3. Jika tubuh tidak dapat segera diidentifikasi dan ruang pemakaman sementara
yang cukup dengan pendingin tidak tersedia, mereka harus dimakamkan di
kuburan yang ditandai dengan setidaknya satu meter (3 kaki) tanah di atas
jenazah (untuk mencegah akses oleh binatang pemakan bangkai dan hama)
untuk biarkan penggalian berikutnya jika diizinkan. Catatan rinci tentang
interan tersebut harus disimpan. Setelah diidentifikasi, mereka harus ditangani
sesuai dengan nilai agama dan sosial yang normal dari daerah yang terkena
bencan. Lokasi pemakaman harus dipilih sehingga untuk menghindari risiko
bahwa sumber air mungkin terkontaminasi.
4. Mereka yang menangani tubuh harus mengambil tindakan pencegahan
pengendalian infeksi dasar: sarung tangan tahan api, sekali pakai atau
didesinfeksi setelah digunakan), celemek tahan api atau coverall, alas kaki
tahan api, dan pelindung wajah jika percikan mungkin terjadi. Masker
pelindung pernapasan tidak diperlukan. Penggunaan klorida kapur untuk
mencegah penyebaran infeksi dalam keadaan ini harus dihindari. Ini memiliki
efek yang kecil dan berbahaya bagi mereka yang menerapkannya. Ini berlaku
34

sama untuk situasi darurat dan non-darurat, seperti penggalian kuburan dan
ruang bawah tanah.

Risiko infeksi dari jenazah manusia memiliki tingkat yang lebih rendah
daripada yang berasal dari individu yang hidup yang memiliki penyakit aktif atau
yang merupakan pembawa agen infeksi. Mencegah infeksi dari orang-orang yang
bersentuhan dengan mereka yang meninggal karena penyakit menular terutama
berkaitan dengan mencegah kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya,
terutama pada selaput lendir atau kulit yang rusak. Kontak tersebut harus dicegah
dengan menggunakan prosedur yang aman atau, jika hal ini tidak memungkinkan,
penggunaan alat pelindung diri yang sesuai. Ini harus dilakukan tanpa mengorbankan
martabat almarhum dan, jika mungkin, tidak mengganggu secara berlebihan dengan
proses berduka dari keluarga mereka. Dalam bencana alam berskala besar (dan juga
dalam keadaan darurat yang kompleks), pola penyakit umumnya sama pada orang
yang meninggal seperti pada korban yang selamat dan orang yang meninggal
memiliki risiko minimal. Pembuangan massal sisa-sisa mereka yang telah meninggal
dalam bencana semacam itu harus dilakukan sedemikian rupa untuk memungkinkan
penggalian yang mudah untuk tujuan identifikasi di masa depan.

Tabel 6. Penggunaan Pakaian Pelindung15


Tangan
Sarung tangan pemeriksaan (latex atau nitril): untuk menangani bahan-bahan
berbahaya. Pakailah setiap kali memeriksa tubuh. Hanya untuk sekali pemakaian dan
kemudian dibuang. Selalu cuci tangan setelah menggunakannya. Sarung tangan
berbahan latex dapat memberikan perlindungan jangka pendek (10 menit) terhadap
formaldehid sedangkan sarung tangan berbahan nitril bisa memberikan perlindungan
lebih lama.
Pelindung saluran nafas
Masker pelindung: tipe EN 149 FFP2 (atau sejenisnya, seperti N95) untuk bahan
berbahaya spesifik seperti debu timbal, spora jamur, dan aerosol lainnya
Masker bedah yang diproduksi secara khusus: Masker dapat memberikan
perlindungan terhadap cipratan, terutama jika anti air, tetapi tidak seefektif masker
filter dalam melindungi tehadap partikel halus karena ukurannya tidak di desain
seperti masker filter
35

Masker bedah kain: masker ini memberikan perlindungan minimal dan mungkin tidak
aman digunakan, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Pelindung terhadap percikan
Wajah: Visor. Perlindungan terhadap percikan berbahaya ke mata, hidung dan mulut
(juga perlindungan mekanis). Masker pelindung pernapasan dan masker bedah kain
atau kertas biasanya memberikan perlindungan percikan ke mulut dan hidung saja.
Beberapa masker bedah menggunakan pelindung mata transparan.
Tubuh: Apron. Melindungi percikan ke badan disaat persiapan higienis,
pembalseman, pengumpulan jenazah yang mengalami trauma, pemeriksaan post-
mortem. Paling baik dikenakan di bawah gaun atau mantel jika percikan cenderung
menjadi berlimpah.
Kaki: Sepatu bot karet. Dalam situasi basah (kamar jenazah, kamar pembalseman,
pengumpulan beberapa kasus trauma yang parah).
Perlindungan Seluruh Tubuh
Gaun/mantel: Untuk melindungi pakaian dari cipratan.
Pakaian pelindung dengan tudung kepala: Untuk melindungi pakaian dan rambut dari
impregnasi debu, spora, dll.
Pakaian pelindung lainnya (helm pengaman, sepatu bot, kacamata pengaman, sarung
tangan kerja) harus dipakai sesuai kebutuhan untuk melindungi cedera mekanis.

Tabel 7. Infeksi yang didapat saat prosedur bagging, Viewing, embalming, dan
prosedur higienitas tubuh tidak dilakukan15
Infeksi
Anthrax
Wabah
Rabies
Smallpox
Demam hemoragik virus
Yellow fever
Transmissible spongiform encephalopathies (mis: Creutzfeldt-Jakob Disease)
Streptococcal disease (group A)
Hepatitis virus (B, C, non-A non-B)
Bagging: proses penempatan tubuh dalam kantong plastik antibocor
Viewing: memberikan waktu kepada kerabat yang ingin berkabung untuk melihat,
menyentuh dan menghabiskan waktu dengan jenazah sebelum membusuk
Embalming : menyuntikkan pengawet kimia ke dalam tubuh untuk memperlambat
proses pembusukan.
Perbaikan secara kosmetik penampilan tubuh mungkin dilakukan untuk
meningkatkan penampilan untuk dilihat.
Persiapan higienis: membersihkan dan merapikan tubuh sehingga lebih layak untuk
dilihat (alternatif untuk pembalseman).
36

BAB III
KESIMPULAN

Ahli forensik dan semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung
dalam melakukan pemeriksaan pasca kematian memiliki risiko lebih besar untuk
terpajan virus dan bakteri yang menular melalui darah. Beberapa penyakit yang
sering menular dari jenazah yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), Virus
Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus Herpes, Hantavirus Pulmonary
Syndrome (HPS), cacar, dan Human T-cell lymphotropic virus tipe 1, serta infeksi
bakteri seperti tuberkulosis dan infeksi dari organisme patogen lainnya. Banyak
penelitian telah menegaskan bahwa, dengan berhentinya kehidupan, bakteri patogen
tertentu dilepaskan, yang jika dibiarkan tidak diperiksa dapat membahayakan petugas.

Potensi bahaya infeksi selama otopsi adalah salah satu risiko yang terdapat di
kamar jenazah. Harus ada perhatian khusus untuk meminimalisisr risiko. Kondisi
kerja yang aman dapat diberikan melalui edukasi yang memadai, penggunaan pakaian
pelindung dan praktik tindakan higienis. Semua staf kamar jenazah harus divaksinasi
terhadap HBV dan Tuberkulosis. Otopsi pada pasien dengan kelompok berbahaya
patogen grup 4 hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan. Akan sangat
membantu dan mengurangi angka kejadian infeksi jika semua staf di kamar jenazah
menganggap setiap otopsi sebagai sumber potensial dari penyebaran patogen
berbahaya, terlepas dari apakah suatu infeksi telah ditegakkan dalam catatan medis,
dan terlepas apakah pasien diketahui merupakan kelompok risiko tinggi. Hal ini
sangat bijaksana untuk diterapkan dalam kasus medikolegal, dimana ahli patologi
sering harus bergantung pada catatan singkat non medis dari catatan polisi.

36
37

BAB IV
JURNAL PEMBANDING

Jurnal Utama : Prevalensi Seropositivitas HCV, HBV, dan HIV pada Jenazah yang
Dirujuk ke Aula Otopsi Biro Kedokteran Legal Tehran, Iran.
Jurnal pembanding 1: Seroprevalensi HIV, HBV dan HCV dalam otopsi forensik
yang diperkirakan Jenazah dengan risiko rendah di Teheran, Iran.24
Prevalensi Seropositivitas HCV, HBV, Seroprevalensi HIV, HBV dan HCV
dan HIV pada Jenazah yang Dirujuk dalam otopsi forensik yang
ke Aula Otopsi Biro Kedokteran Legal diperkirakan Jenazah dengan risiko
Tehran, Iran rendah di Teheran, Iran.
Jaber Gharehdaghi, Mohammad Hassan Sanaei-Zadeh H, Amoei
Abedi Khorasgani, Mohammad Hassan M, Taghaddosinejad F
Ghadiani, Amir Mohammad Kazemifar,
Hassan Solhi, and Sadra Solhi
TUJUAN TUJUAN
1. Menghitung prevalensi kadaver Mengidentifikasi seroprevalensi HIV,
yang reaktif terhadap pemeriksaan HBV dan HCV pada populasi otopsi
HCV, HBV, HIV forensik berisiko rendah di Teheran, ibu
2. Memperkirakan tingkat infeksi kota Iran.
virus dari kadaver.
METODE METODE
- Studi belah lintang di ruang otopsi Legal - Sebuah studi penelitian. Sampel darah
Medicine Bureau Tehran, Iran, selama sejumlah 173 dari kasus yang diotopsi
tahun 2016. di Organisasi Kedokteran Legal
- 1125 subjek yang dilakukan penelitian Teheran antara September 2000 dan
memenuhi kriteria inklusi yaitu Oktober 2001.
informed consent legal dari keluarga - Pengkategorian risiko rendah
terdekat jenazah untuk berpartisipasi ditetapkan sebelum pengumpulan
dalam penelitian, perlu untuk sampel, dengan meninjau faktor risiko
melakukan otopsi di bawah otorisasi yang dipertimbangkan, yaitu: penyakit
pemeriksaan hakim, dan riwayat negatif hati, riwayat hepatitis dan penyakit
penyakit hati mayor. menular, penyalahguna obat secara
- 30 ml darah vena diambil dari vena intravena, overdosis obat, bertato dan
femoralis kadaver setelah mendapatkan self-cutting, serta riwayat transfusi
38

informed consent. darah. Dan pada kasus dengan


- Sampel darah dianalisis di laboratorium penyebab kematian yang belum
untuk mendeteksi HBs Ag, HBs Ab, ditentukan.
HIV Ab, dan HCV Ab. Sampel darah - 173 sampel diambil dari pembuluh
yang mengalami hemolisis (86 sampel) jantung atau femoral pada saat otopsi.
dieksklusikan dari penelitian, Analisis Kasus-kasus ini dianggap berisiko
sampel: rendah..
 HBs Ab dianalisis menggunakan tes - Sampel serum diujikan untuk
ELISA (Abnova Co., Taiwan). keberadaan:
 HCV Ab diukur dengan  Antibodi terhadap HBsAg, HCV dan
menggunakan tes ELISA (Diagnostic HIV-1, 2 oleh ELISA .
Automation/Cortez Diagnostics, Inc.,  HbsAg dideteksi menggunakan
USA). Hepanostika HbsAg Uni-Form II
 HIV Ab dideteksi menggunakan  Antibodi terhadap HCV dideteksi
enzyme immunosorbent (EIA) assay menggunakan UBI HCV EIA 4.0
(SigmaAldrich Co., Jerman).  Antibodi terhadap HIV-1,2 dideteksi
 Untuk mengonfirmasi diagnosis, uji menggunakan Vironostika HIV Uni-
Western blot dan recombinant Form II Ag / Ab.
immunoblot assay (RIBA) masing- Semua pengujian dilakukan sesuai
masing dilakukan pada sampel positif dengan protokol yang disediakan oleh
untuk HIV Ab dan HCV Ab. Seluruh produsen.
tes dilakukan sesuai dengan instruksi
produsen dan metode standar.
Data dianalisis menggunakan SPSS
melalui uji statistik chi-square test dan
Fisher’s exact test.
HASIL HASIL
Ditemukan 47 kasus seropositif HIV, 80 8 sampel serum positif untuk HbsAg; 7
kasus seropositif HBs Ag, dan 97 kasus positif untuk anti-HCV; Tidak ada yang
seropositif HCV Ab. Di antara mereka, 27 positif untuk anti-HIV-1, 2. Penulis
kasus HIV, 40 kasus positif anti-HBC, menyarankan bahwa semua subjek
dan 94 kasus tes RIBA positif untuk HCV forensik bahkan yang berasal dari tubuh
dibuktikan melalui tes konfirmasi. yang dianggap berisiko rendah, harus
Dengan kata lain, 2,6% dari mayat yang diperlakukan sebagai tindakan
terinfeksi HIV, 3,8% dengan HBV, dan pencegahan yang berpotensi menular
9% dengan HCV. Tingkat infeksi total dan harus dicegah ketika melakukan
adalah 15,5%. Ini adalah risiko yang otopsi.
39

mengkhawatirkan bagi ahli patologi dan


teknisi otopsi.

Jurnal pembanding 2: Seroprevalensi virus yang ditularkan secara parenteral (HIV-


1, HBV, HCV, dan HTLV-I / II) dalam kasus otopsi forensik.25

Jurnal pembanding 3: Prevalensi infeksi viral yang ditularkan melalui darah


diantara kasus otopsi di Jordan23

Seroprevalensi virus yang ditularkan Prevalensi infeksi viral yang ditularkan


secara parenteral (HIV-1, HBV, melalui darah diantara kasus otopsi di
HCV, dan HTLV-I / II) dalam kasus Jordan
otopsi forensik. Faris G. Bakri, Imad M. Al-Adbdallat,
Li L, Zhang X, Constantine Nidaa Ababneh, Rayyan Al-Ali, Ahmed
NT, Smialek JE K.F. Idhair, Azmi Mahafzah
TUJUAN TUJUAN
Mengidentifikasi cara penularan HIV, Mengetahui prevalensi infeksi virus pada
HBV, HCV, dan HTLV dalam kasus otopsi yang penting untuk menilai risiko
otopsi forensik. transmisi dan untuk menilai keselamatan
Hubungan antara seroprevalensi dari kerja
agen infeksi dengan populasi otopsi
forensic.
METODE METODE
Sebanyak 414 sampel serum - Desain penelitian merupakan studi
dikumpulkan secara berurutan dari deskriptif seluruh otopsi dilakukan
kasus otopsi di Kantor Kepala Penguji di Departemen Kedokteran
Medis untuk Negara Bagian Maryland. Forensik Rumah Sakit Universitas
Semua sampel diuji untuk keberadaan Jordan.
antibodi terhadap antigen inti HIV-1, - Mengidentifikasi : serologi HIV,
HCV, HTLV-I / II, dan hepatitis B, HepB, dan HepC.
menggunakan Enzyme-linked - Antibodi HIV, HCV, HBV diuji
Immunosorbent Assays (ELISA). dengan enzim imunoassay.
Sampel yang menghasilkan hasil reaktif - Semua hasil positif dikonfirmasi
berulang dikonfirmasi oleh Western dengan PCR
Blots (WB) untuk HIV-1 dan HTLV-I /
II, sedangkan untuk konfirmasi HCV,
rekombinan generasi kedua immunoblot
40

(RIBA-2) digunakan.
HASIL HASIL
Dari 414 kasus, 32,6% (135/414) Data dikumpulka dari 344 otopsi, 242
terinfeksi setidaknya satu dari empat masuk kriteria inklusi dan 102
virus. 5,6% seropositif untuk HIV-1, dieksklusikan karena penggumpalan
23,2% untuk HBV, 19,1% untuk HCV, sampel darah.
dan 1,0% untuk HTLV-I / II. Pengguna Usia berkisar antara 3 hari hingga 94
narkoba intravena (IVDU) menunjukkan tahun.
peningkatan prevalensi HIV-1, HBV, 172 (71%) laki –laki dan 70 (29%)
dan HCV yang signifikan. 83,6% dari perempuan.
IVDU terinfeksi setidaknya satu dari 219 (90,5%) adalah warga Jordaia.
tiga virus, 25,5% dengan HIV-1, dan Kematian alami 137 (56,6%), kecelakaan
47,3% dengan HBV dan HCV. Data 89(36,8%), homisida 9 (3,7%), bunuh diri
menunjukkan bahwa keseluruhan 4 (1,7%), dan tidak diketahui 3 (1,2%).
prevalensi HIV, HBV, dan seropositif PCR HbsAg dan HCV keduanya
HCV pada populasi otopsi kantor ditemukan dalam 5 (2,1%), antibodi HCV
pemeriksa medis di pusat kota jauh lebih 5 (2,1%), dengan PCR HCV positif 2
tinggi daripada populasi umum. Tes (0,8%).
rutin hanya untuk HIV-1 akan Antibodi HIV tidak terdeteksi dalam kasus
kehilangan 86% infeksi dengan HCV apapun.
atau HBV. Kewaspadaan universal Dari 242 kasus yang diuji 10(4,1%)
harus diterapkan secara ketat oleh semua terinfeksi paling tidak satu virus (dianggap
personel yang bekerja di lingkungan ini. jika antibodi HCV positif sebagai penanda
infeksi HCV).
Kelima kasus infeksi HBV mati karena
penyebab alami.
5 kasus infeksi HCV mati karena
penyebab kecelakaan.
Kasus infeksi tidak signifikan berkaitan
dengan jenis kelamin, usia, penyebab
kematian, dan kewarganegaraan.
41

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Atmaja D.S., dkk. Identifikasi Forensik.Dalam


Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik FK-UI. Jakarta. 1999:
197-202.
2. Amir A. Identifikasi. Dalam: Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua.
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FK-USU. Meda. 2005: 178-203.
3. Hamdani N. Identifikasi Jenazah. Dalam: Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi
Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1992: 83-88.
4. William D.J., Ansford A.J., Friday D.D., et all. Identification. In: Dcolour Guide
Forensic Phatology. Churchill Livingstone. 2002: 13-20.
5. Roscoe Taylor, Charles guest, Nick steel. Oxford Textbook of Public Health
Practice. Oxford university press, Indian edition 2007; P. 219-220, 548.
6. Darmadi. Infeksi Nosokomial, Problematika, dan Pengendaliannya. Jakarta:
Salemba Medika. 2008.
7. Beuchat, L. R. Control of Foodborne Pathogens and Spoilage Microorganisms by
Naturally Occuring Antimicrobials. In C.L.Wilson & S. Droby (Eds) Microbials
Food Contaminatios. Boca Raton, FL:CRC, 2000: 149-169.
8. Al-Wali A. biological safety. In: Burton JL, Rutti GN, Eds. The Hospital Autopsy.
London: Arnold, 2001:25-36.
9. Creely KS. Infection risk and Embalming. Reaserch Report. Institutes
Occupational Medicine 2004.
10. Gautam Biswas. Review of Forensic Medicine & Toxicology. 2nd ed. Jaypee New
Delhi. 2012; Pg.104
11. The Royal College of Pathologist. Guidelines on autopsy practice main
document.pdf [internet]. September 2002; Chapter 6 (6.5, 6.7, 6.8), Health &
safety – infection. [cited may 5 2013]. Available from:
www.rcpath.org/publications-media/publications/guidelines-on- autopsy-practice
12. J. L. Burton. Health and safety at necropsy. J Clin Pathol. 2003 April; 56(4): 254–
260.
13. Green, FHY, K. Yoshida. Characteristics of aerosols generated during autopsy
procedures and their potential role as carriers of infectious agents. Appl. Occup.
Environ. Hyg. 1990, 5:853-8
14. Sterling TR, DS Pope et al. Transmission of M. tuberculosis from a cadaver to an
embalmer. N. Engl.J.Med., 2000, 342:246-8.
15. Robinson, WS. Hepatitis B virus: general features (human). In Webster RG and
Granoff A (eds). Encyclopedia of virology.
16. Kusa Kumar Saha et al. Awareness of Risks, Hazards and Preventions in autopsy
practice: A review. JEMDS, June 2013.
17. Chhillar D,Dhattarwal SK, Kataria U. Health hazards at autopsy - A review article.
IAIM, 2015; 2(8): 130-133.
42

18. Bakri et al. Prevalence of blood-borne viral infections among autopsy cases in
Jordan. QATAR MEDICAL JOURNAL. VOL. 2016 / ART. 14
19. Sunil S. Kadam, Swapnil Akhade, Keith Desouza. J Indian Acad Forensic Med.
April-June 2015, Vol. 37, No. 2.
20. Sotgiu G, Arbore AS, Cojocariu V, Piana A, Ferrara G, Cirillo DM, Matteelli A.
High Risk of Tuberculosis in Health Care Workers in Romania. Int J Tuberculosis
Lung Dis 2008;122:600-11.
21. CDC. Biosafety in Microbiological and Biomedical Laboratories. 5th edition. U.S.
Departement of Health and Human Service Public Health Service. Centers for
Disease Control and Prevention.
22. Edler C, Wulff B, Sophie A. A Prospective Time Course Study on Serological
Testing for Human Immunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus, Hepatitis C Virus
with Blood Samples Taken Up To 48 H After Death. Germany : Journal of Medical
Microbiology 2011:920-926.
23. Bakri FG, Al-Abdallat IM, Ababneh N, Al Ali R, Idhair AKF, Mahafzah A.
Prevalence of Blood-borne Viral Infections Among Autopsy Cases in Jordan.
Qatar Medical Journal 2016:14.
24. Sanaei Zadeh H, Amoei M, Taghaddosinejad F. Seroprevalnce of HIV, HBV, and
HCV in Forensic Autopsies, of Presumed Low Risk, in Tehran, the Capital of Iran.
J Clin Forensic Med. 2002 Dec:9(4):197-61.
25. Li L, Zhang X, Constantine NT, Smialek JE. Seroprevalence of Parentally
Transmitted Viruses (HIV-1, HBV, HCV, dan HTLV I/II) in Forensic Autopsy
Cases. J Forensic Science. 1993 Sep: 38(5):1075-83.
26. JL Burton. Health and Safety at Necropsy. J Clin Pathol 23;56:254-260.

Anda mungkin juga menyukai