A. DEGRADASI MORAL
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari Bahasa Latin
yaitu Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang
mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak
bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak
yang harus dimiliki oleh manusia.
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima
maupun mengenai perbuatan, sikap, kewajiban.
Immanuel Kant berpendapat, moralitas adalah hal keyakinan dan sikap bathin dan bukan hal sekedar
penyesuain aturan dari luar, entah itu aturan hukum Negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya
dikatakan bahwa, criteria mutu moral seseorang dalah hal kesetiaannya pada hatinya sendiri.
Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedang hukum itu sendiri
tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untukk mengikuti apa yang
dalam hati didasari sebagai kewajiban mutlak.
Menurut Robert J. Havighurst moral yang bersumber dari adanya suatu tata nilai yakni a value is an
obyect estate or affair wich is desired (suatu obyek rohani atas suatu keadaan yang di inginkan).
Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik,
sesuai dengan nilai-nilai value yang diinginkan itu (Sholeh, 2005:104).[2]
Jadi dapat disimpulkan degradasi moral adalah penurunan tingkah laku manusia akibat tidak
mengikuti hati nurani Karena kurangnya kesadaran diri terhadap kewajiban mutlak.
Dampak globalisasi teknologi memang dapat memberikan dampak positif tetapi tidak dapat di
pungkiri lagi bahwa hal ini juga dapat berdampak negative bagi kerusakan moral. Perkembangan
internet dan ponsel berteknologi tinggi terkadang dampaknya sangat berbahaya bila tidak di
gunakan oleh orang yang tepat. Misalnya : Video porno yang semakin mudah di akses di ponsel
dengan internet.
Hal yang patut kita acungi jempul terlihat dikalangan pakar-pakar internet yang peduli moral bangsa
semakin canggih pula membuat mesin untuk membantu usahanya dalam pemblokiran situs –situs
porno.
Sekuat apapun iman seseorang, terkadang mengalami naik turun. Ketika tingkat keimanan seseorang
menurun, potensi kesalahan terbuka. Hal ini sangat berbahaya bagi moral, Jika dibiarkan tentu
membuat kesalahan semakin kronis dan merusak citra individu dan institusi.
Tidak semua guru itu punya sifat yang buruk dan sebaliknya. Terkadang seorang guru melakukan
kesalahan karena ada pengaruh buruk dari linkungan sekitarnya. Kondisi lingkungan rumah dan
pengaruh kurang baik dari guru lain dapat mendorong seorang guru untuk berbuat kesalahan.
Menjadi seorang guru seharusnya memang tidak hanya dipandang dari segi kualitas “intelektual”
namun miskin iman. Tetapi moral yang baik itulah yang harus ditonjolkan.
Peran lembaga keagamaan bisa dimanfaatkan sebagai pengontrol. Adanya training keagamaan di
sekolah juga dapat mendukung terciptanya peningkatan iman.
Sebagai manusia kita memang tidak bisa selamanya bersikap benar, adakalanya khilaf pun
menghantui kita.Tetapi kita tak untuk pantas putus harapan. Harus berusaha dan berusaha untuk
mu Indonesiaku. [3]
"Tayangan televisi dan film kekerasan, penayangan media massa tentang tawuran dan demo yang
tidak disensor atau menunjukkan kebrutalan, juga menjadi contoh bagi perilaku remaja kita,"
kurikulum pendidikan cara belajar siswa aktif yang membuat banyak remaja tidak mampu
mengikutinya, sehingga menjadi frustasi dan mencari sensasi diri.
nilai-nilai kebenaran dan hakikat hidup terkait budi pekerti tidak lagi diajarkan secara aktif dan
efektif.
hilangnya pola panutan atau idola bagi remaja. Remaja hanya mengidola pada penyanyi dan grup
band, mereka kehilangan kepercayaan pada pemimpin, politisi, penegak hukum, tokoh, dosen, guru
maupun orang tuanya sendiri.[4]
Keluarga adalah sebuah unit sosial terkecil, walau dikatakan sebagai unit sosial terkecil, namun unit
ini memegang peran yang sangat vital dalam pembentukan karakter seorang mahasiswa.
Sekolah/perguruan tinggi merupakan kawah candradimuka bagi setiap mahasiswa yang nantinya
akan membuat mahasiswa mampu mengkontribusikan diri ke dalam kehidupan sosial diluar kampus
yang lebih kompleks dibanding kehidupan perkuliahan itu sendiri. Lingkungan merupakan faktor lain
yang senantiasa mengiringi kehidupan setiap manusia, di mana lingkungan dapat menciptakan
manusia bermanfaat atau justru manusia sia-sia. Pembentukan karakter yang baik/buruk dalam
keluarga, sekolah maupun lingkungan akan berimplikasi pada kehidupan moral seseorang. Maka
sudah seharusnya setiap pranata sosial tersebut mampu mengembangkan konsep-konsep positif
dalam ideologi mahasiswa yang nantinya akan diaktualisasikannya.
Gaya hidup
Gaya hidup sebagian besar mahasiswa yang kian hari kian jauh dari nilai-nilai agama dan sosial, kini
menjerumuskan diri mereka ke dalam lubang sekulerisme, hedonisme, pragmatisme dan
konsumerisme yang kemudian melahirkan sikap-sikap dan konsep-konsep hidup yang tak agamis
dan sosialis lagi. Dimana implikasi ini menjadi salah satu tonggak makin maraknya kebobrokan moral
mahasiswa.
kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumahtangga, sekolah maupun masyarakat.
8. masyarakat tidak peduli terhadap tingkah laku anak-anak contoh : anak bertingkah tidak hormat
kepada orang lain dibiarkan
9. budaya masyarakat yang tidak mendidik contoh : pada saat ada pertunjukan di masyarakat (dalam
acara hajatan)dengan tidak segan-segannya masyarakat (para orang tua)minum-minuman keras,
bermain judi dll di depan anak-anak
10. aparat penegak hukum tidak menindak setiap kejahatan, apalagi didesa/daerahnya sendiri
12. perkembangan teknologi (HP, Media televisi, Internet, media massa dll)
13.contoh tingkah laku pejabat (anggota DPR, DPRD atau pemimpin) yangarogan dan perkelahian-
perkelahian di antara mereka di tempat sidangmaupun di luar siding
18. pengelola (kepala sekolah, guru, karyawan, komite sekolah) tidak memberikan tauladan baik di
dalam sekolah maupun di luar sekolah. [6]
3) Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
Solusi
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia di mana ia belajar dan
menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Di dalam
keluarga, manusia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan orang lain, belajar bekerja sama,
bantu membantu, hingga penanaman etika dan moral. Dengan kata lain pengalaman interaksi sosial
di dalam keluarga, turut menentukan pula cara-cara tingkah laku seseorang terhadap orang lain.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perguruan tinggi adalah tempat bagi para mahasiswa untuk
meningkatkan taraf intelegensinya. Namun demikan, seharusnya dalam hal ini sebuah perguruan
tinggi tidak hanya berperan sebagi peningkat taraf intelegensi mahasiswa semata, melainkan sebagai
tempat pengoptimalan dan pemaksimalan sikap-sikap dan kebiasaan yang wajar yang telah di
bentuk ketika berada di taman kanak-kanak hingga sekolah menengah.
Pihak civitas akademika seharusnya bersinergi dalam upaya membentuk lingkungan perguruan tinggi
yang positif bagi seluruh civitas akademika perguruan tinggi itu sendiri.
Media massa dalam hal ini seharusnya memberi asupan-asupan positif bagi mahasiswa, khususnya
media yang menjadi konsumsi sehari-hari seperti televisi, surat kabar, dan semacamnya. Dan bagi
mahasiswa itu sendiri seharusnya mampu cerdas dalam bermedia.
Pendidikan moral sebagai suatu istilah muncul secara resmi dalam Ketetapan MPR No IV/MPR/1973
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam kalimat berikut:
Untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral
Pancasila dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi
muda.
Atas dasar ketetapan tersebut dalam melaksanakan GBHN dalam bidang pendidikan, maka dirasakan
perlunya menanamkan Moral Pancasila. Seluruh program pengajaran untuk semua bidang pelajaran
dan mata pelajaran direncanakan sedemikian rupa untuk mendukung tujuan pendidikan nasional.
Pembinaan mental Pancasila tidak hanya dalam satu bidang melainkan dalam seluruh bidang
pelajaran.
b. Menciptakan aliansi strategis mahasiswa dan akademisi dalam menciptakan Indonesia yang lebih
baik dan maju di masa depan.
c. Mensosialisasikan pendidikan politik yang beretika melalui pendidikan formal, pelatihan, dialog,
dan informasi.
d. Mewaspadai dan mengantisipasi fenomena delegitimasi gerakan mahasiswa melalui:
konseptuliasasi gerakan, keniscayaan etika gerakan, memupuk kepekaan terhadap nilai-nilai
kebenaran yang lebih hakiki.
Bagian 2
Indonesia yang notabenenya dianggap oleh bangsa lain sebagai bangsa yang sopan santun dan
ramah, nyatanya sekarang ini malah tanpa kita sadari sedang mengalami degradasi moral yang
cukup memprihatinkan. Mengapa saya kok bisa mengatakan seperti itu?
Kita lihat dari kehidupan sisi pemerintahannya. Indonesia menjadi Negara yang menduduki peringkat
ke-64 sebagai Negara Terkorup di dunia versi TI (Transparensi Internasional). Apalagi kalau bukan
korupsi. Ya! korupsi yang merajalela disetiap lini kehidupan menunjukkan negeri ini sudah
mengalami kemunduran moral yang serius. Dan ini jelas-jelas telah mempengaruhi stabilitas
kenegaraan kita.
Yang kedua yaitu dilihat dari para remajanya. Kehidupan remaja yang sangat kompleks pun
menimbulkan berbagai persoalan disana. Sebut saja narkoba, tawuran, sampai free sex yang kini
tengah merajalela ditengah masyarakat. Padahal, suatu negeri pun ditentukan oleh generasi
mudanya, yaitu para remaja. Karena remaja memiliki kekuatan fisik yang mendukung, dan semangat
muda yang besar. Maka bagaimana jadinya jika hal itu tidak digunakan dijalan yang benar?
Teks 3
Secara umum degradasi moral selalu dikaitkan dengan kenakalan remaja dan arus globalisasi.
Hal tersebut memang benar. Secara logika, perkembangan teknologi yang semakin maju di
zaman ini menyebabkan pertukaran informasi dapat dilakukan oleh masyarakat dari berbagai
negara dan budaya yang berbeda dengan mudah dan cepat. Arus informasi yang mudah
tersebut sebenarnya dapat mendorong hal positif, seperti menambah pengetahuan, ataupun
adopsi budaya-budaya positif negara lain yang dapat mengembangkan kemajuan bangsa.
Namun adanya arus globalisasi ini juga dapat mendorong perkembangan kerusakan moral di
tanah air, terutama pada kaum remaja. Mengapa demikian? Budaya-budaya barat yang
muncul dengan segala kemodernisasinya ternyata lebih menarik minat dan kekaguman kaum
remaja, terlebih pada ide kebebasannya. Hal ini menyebabkan pergeseran nilai luhur, karena
nyatanya liberalisme tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia,
terutama pada ideologi pancasila. Perlu diketahui terdapat empat hal yang menjadi konstruksi
sosial pada masyarakat akibat adanya penanaman nilai liberal tersebut : food, fun, fashion,
dan film. Keempat hal ini menciptakan masyarakat yang tak hanya liberal, tetapi juga
hedonis. Dampak yang dapat kita lihat adalah maraknya kejadian-kejadian kenakalan remaja,
seperti penggunaan narkoba dan pergaulan bebas. Data dari Badan Narkotika Nasional
menunjukkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapai sekitar 5,1 juta individu, dan
diperkirakan akan terus berkembang. Angka kematian akibat narkoba mencapai 104.000 pada
usia 15 tahun akibat overdosis. Sementara survei oleh Komisi Perlindungan Anak pada tahun
2012 menunjukkan bahwa 62,7% remaja SMP dan SMA mengaku telah melakukan seks
bebas, dan sekitar 21,2% telah melakukan aborsi ilegal. Hal-hal yang lebih sepele seperti
penggunaan busana yang tidak sopan sebenarnya sudah menunjukkan negara kita sedang
mengalami degradasi moral. Namun yang menjadi pertanyaan apakah degradasi moral hanya
berbicara seputar kenakalan remaja saja? Inilah yang sering dilupakan oleh masyarakat pada
umumnya, bahwa terdapat masalah yang justru lebih sederhana. Untuk mengetahui masalah
degradasi moral tersebut, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan moral. Menurut
Franz Magnis-Suseno dalam bukunya yang berjudul Etika Dasar, kata moral selalu mengacu
pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikannya. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk
menentukan betul-salahnya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan
terbatas. Sementara kita sebagai manusia, dihadapkan pada berbagai bentuk realitas : manusia
dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan. Realitas manusia
dengan manusia mempunyai ruang lingkup lebih luas dari sekedar kenakalan remaja. Contoh
sederhananya adalah mengenai ketertiban lalu lintas. Memang orientasi dibentuknya
pertaturan ini untuk menciptakan ketertiban. Tetapi jika kita melihat dari sudut pandang
moral, patuh-tidaknya kita pada peraturan tersebut berpengaruh pada bagaimana moral kita
terhadap manusia lainnya. Dengan mematuhi aturan, kita menghormati hak orang lain
sebagai sesama pengguna fasilitas umum. Tetapi nyatanya, masyarakat Indonesia masih lalai
dalam mematuhi peraturan lalu lintas. Contohnya pada hari pertama Operasi Zebra Jaya
tanggal 22 Oktober 2015, sebanyak 5.622 kendaraan mendapat surat tilang, sedangkan 769
kendaraan mendapatkan teguran. Akibat dari pelanggaran lalu lintas dapat menyebabkan
adanya kecelakaan. Jika hal itu sudah terjadi, bagaimana moral kita sebagai manusia akan
dinilai? Buruk. Setelah itu terdapat realitas manusia dengan lingkungan. Asisten Deputi
Komunikasi Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Siti Aini mengatakan bahwa
Indeks Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan di Indonesia masih rendah. Pernyataan itu
didasari oleh hasil penelitian KLH tentang kajian Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan di
12 provinsi yang secara nasional menunjukkan rata-rata pada angka 0,57 persen. Contoh
masalah akibat dari rendahnya kepedulian lingkungan adalah banjir di Jakarta yang
disebabkan oleh pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dan kabut asap di Sumatera
dan Kalimantan yang disebabkan dari pembakaran hutan yang berlebihan. Berdasarkan hasil
penelitian yang sama, perilaku membuang sampah berada pada angka 0,64 dan penyumbang
emisi karbon sebesar 0,59. Sementara angka pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan
tidak berbanding lurus dengan angka perilaku mereka, yaitu sebesar 60,2 persen. Apa yang
akan dinilai oleh masyarakat yang sadar terhadap hal-hal tersebut pada masyarakat lainnya
yang tidak sadar sebagai manusia? Tentu saja buruk, penilaian secara objektif pun juga
merupakan perilaku yang salah. Dari contoh ini menunjukkan bahwa sebenarnya arus
globalisasi bukan akar permasalahan dari degradasi moral. Jika arus globalisasi merupakan
akarnya, mengapa masyarakat Indonesia tidak mengadopsi budaya disiplin dan tertib?
Kesimpulan diatas membawa kita pada pertanyaan mengenai subtansi yang sebenarnya pada
masalah degradasi moral. Subtansi masalah degradasi moral sebenarnya sangat sederhana,
tingkat kesadaran moral masyarakat masih rendah sehingga tidak bisa menimbulkan
pemikiran yang kritis dan tanggung jawab atas suatu tindakan yang akan dilakukannya. Franz
Magnis-Suseno pernah membahas mengenai suara hati. Suara hati adalah kesadaran akan
kewajiban dan tanggung jawab individu sebagai manusia dalam situasi konkret. Namun
beliau hanya menggunakan superego sebagai dasar suara hati. Teori ini dapat dilengkapi
dengan teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa suara hati berasal dari id, ego, dan
superego. Menurut Sigmund Freud id merupakan komponen kepribadian yang muncul sejak
lahir dan didorong oleh prinsip kesenangan yang berusaha untuk mencari kepuasan atas
keinginan dan kebutuhan. Jika hal ini tidak dipenuhi timbul rasa kecemasan atau
kesengsaraan. Contohnya adalah rasa lapar yang mengharuskan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, dimana jika kebutuhan ini tidak dipenuhi akan timbul rasa tidak nyaman.
Selain itu terdapat ego sebagai eksekutor, yaitu akal dan perasaan yang digunakan atas
pencarian upaya pemenuhan kebutuhan id. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas yang
mencari cara untuk memenuhi kebutuhan id dengan cara yang realistis dan sesuai. Sementara
superego merupakan aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral
yang kita peroleh dari orang tua dan masyarakat, atau biasa yang disebut dengan penamaman
nilai dan norma. Keseimbangan id, ego, dan superego menimbulkan kesadaran moral yang
dapat dipertanggung jawabkan atau dengan kata lain terdapat kesadaran kritis atas realitas
moral yang ada. Tetapi terdapat kelemahan pada teori Sigmund Freud ini yang ingin saya
koreksi. Keseimbangan suara hati yang menimbulkan kesadaran moral tidak akan tercipta
jika penanaman superego salah atau tidak baik. Karena itu, saya ingin menambahkan bahwa
secara logika, ego tidak hanya menjadi eksekutor id, tetapi juga superego yang menimbulkan
pemikiran kritis terhadap baik buruknya superego yang tertanam pada individu. Kesimpulan
berdasarkan teori tersebut, kesadaran moral masyarakat yang rendah terjadi akibat adanya
ketidakseimbangan antara id, ego, dan superego. Keseimbangan suara hati ini dapat dilatih
sejak kecil pada proses sosialisasi . Orang tua sebagai penanam pertama nilai dan moral dapat
melakukan proses tersebut dengan disertai penjelasan objektif agar anak terlatih untuk
berpikir secara kritis yang diikuti oleh perilaku tanggung jawab. Agen sosialisasi seperti
sekolah juga dapat membawa peran yang sama untuk melatih generasi baru menjadi pribadi
yang kritis terhadap situasi moral, agar kelak di masa mendatang ketika dihadapkan dengan
situasi moral yang baru, generasi kita sudah siap menerima dan dapat menilai secara objektif
baik buruknya situasi moral tersebut. Nyatanya masyarakat Indonesia terpengaruh arus
globalisasi juga dikarenakan belum siapnya masyarakat untuk berpikir kritis ketika
dihadapkan pada situasi moral yang baru. Realitas yang ada pada masyarakat di Indonesia
saat ini menunjukkan bahwa meski saat ini pendidikan di Indonesia semakin berkembang dan
dapat melahirkan pribadi-pribadi yang kritis dalam hal akademik, pendidikan di Indonesia
masih belum bisa membentuk pribadi yang kritis pada kesadaran moral. Sementara agar
negara kita dapat semakin berkembang, masyarakat diwajibkan untuk menyeimbangi antara
kecerdasan akademik dengan kecerdasan moral. Agar kelak di masa depan, akan tercipta
kemajuan Indonesia yang tidak hanya dalam hal akademis, tetapi juga pada moral sehingga
tercipta ketertiban, kesejahteraan, dan keseimbangan universal pada kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka belajarpsikologi.com/struktur-kepribadian-id-ego-dan-supe
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/alifacandini/degradasi-moral-salah-
siapa_56a590ac2623bd7f0e9ab53f
Teks 4
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kompleks. Sebuah bangsa heterogen yang
terdiri atas berbagai macam suku dan bangsa yang tertampung dalam satu wadah, Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berbaur menjadi satu dengan membawa budaya dan
ideologinya nya masing-masing. Akibatnya timbullah budaya-budaya dan pemikiran baru
yang merupakan hasil dari proses pembauran berbagai macam budaya dan ideologi mereka
yang kian hari kian menggerus nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dari dalam hati dan jiwa
bangsa asli Indonesia. Apabila masalah ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi-
generasi muda di masa mendatang akan kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang terkenal
ramah dan sopan. Untuk mencegah semakin buruknya degradasi moral bangsa Indonesia,
terutam a pemudanya, maka diperlukan adanya pendidikan moral dan karakter yang
berbasiskan nilai-nilai luhur pancasila.
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan bangsa ini,
pemuda negeri ini, untuk berpikir cerdas sehingga mampu mengatasi berbagai macam
masalah baru yang ada, meningkatkan kemampuan untuk berbaur dengan bangsa lain dengan
tetap mempertahankan identitas dan budaya bangsanya. Dijadikannya pancasila sebagai
pandangan hidup dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila
harus selalu dijadikan landasan pokok dalam berpikir dan berbuat, dan hal ini mengaharuskan
bangsa Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila itu kedalam sikap dan perilaku
nyata baik dalam perilaku hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan
karakter berbasis nilai-nilai luhur Pancasila adalah media yang tepat untuk merealisasikan hal
tersebut, dengan tindakan yang tepat maka akan dihasilkan pula output atau keluaran yang
tepat yaitu bangsa Indonesia yang berjiwa Pancasila. Tanpa adanya realisasi atau perwujudan
nyata nilai-nilai luhur tersebut, maka Pancasila hanya tinggal ucapan-ucapan tanpa makna.
Moral atau dalam kata lain disebut kesusilaan adalah keseluruhan norma yang
mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang
baik dan benar. Jadi pendidikan moral ditujukan untuk memagari manusia dari melakukan
perbuatan yang buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada baik itu dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kurun satu dekade ini, bangsa Indonesia
mengalami kemunduran moral yang sangat hebat, ditandai dengan tingginya angka freesex
atau seks bebas di kalangan remaja, maraknya penggunaan obat-obatan terlarang, seringnya
terjadi bentrokan antar warga, antar pelajar, mahasiswa dengan aparat, dan lainnya yang
biasanya didasari hal-hal sepele, semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap ke
permukaan juga menunjukan degradasi moral tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat
biasa, tetapi juga terjadi pada para pejabat yang seharusnya menjadi pengayom dan teladan
bagi warganya.
Perpaduan atau kombinasi antara pendidikan moral dan pendidikan karakter yang
berbasiskan nilai-nilai luhur Pancasila akan berdampak sangat positif terhadap pembentukan
karakter dan moral generasi muda bangsa Indonesia. Negara Indonesia dengan berbagai
macam masalah yang mendera di dalamnya ibarat sebuah “piring yang sudah kotor”, yang
apabila piring itu digunakan tanpa dibersihkan terlebih dahulu maka akan mengotori tangan
pengguna berikutnya. Jadi diperlukan adanya treatment atau perlakuan khusus pada generasi
muda sebagai calon penerus pemerintahan, pemegang tongkat estafet kekuasaan dan
pengelola negara agar mereka tidak turut melakukan hal-hal negatif yang justru akan
menimbulkan derita dan krisis berkepanjangan bagi rakyat Indonesia. Perlakuan khusus
tersebut berupa penanaman dan peingkatan pemahaman mereka terhadap Pancasila dan nilai-
nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Pembinaan generasi muda sejak dini dengan cara memperkenalkan mereka terhadap
ideologi Pancasila dan pengaplikasiannya secara nyata merupakan hal mendesak yang harus
segera dilaksanakan. Diperlukan andil pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam proses
pelaksanaanya.
Tercatat pernah terjadi beberapa konflik antar penganut agama yang berbeda di
Indonesia, maupun antar pemeluk agama yang sama tetapi mempunyai sudut pandang dan
pemikiran yang berbeda antar penganutnya dalam menafsirkan ajaran yang terkandung dalam
agama tersebut atau bisa kita sebut “konflik antar penganut aliran yang berbeda dalam satu
agama”. Konflik dengan motif agama yang pernah terjadi tersebut di antaranya adalah
konflik Poso dan konflik antara pemeluk Ahmadiyah dan Islam. Konflik-konflik tersebut
menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia yang seharusnya tidak terjadi apabila nilai luhur
pada Pancasila sila pertama benar-benar dihayati dan diamalkan dengan baik. Dimana saat
dalam perumusannya pun sempat terjadi perbedaan pendapat antar para petinggi di negeri ini
yang beragama islam dan non-muslim. Saat itu mereka yang non-muslim menuntut agar
kalimat yang bermakna kewajiban menjalankan syariat-syariatNya bagi pemeluk muslim
dihapus. Karena toleransi yang tinggi dan pemahaman yang baik akan perbedaan mereka
sepakat untuk menghapus kalimat tersebut.
Nilai Ketuhanan Yang Maha memberikan kebebasan kepada pemeluk agama sesuai
dengan keyakinanya, tak ada paksaan, dan antar penganut agama yang berbeda harus saling
hormat menghormati dan bekerjasama demi terciptanya kehidupan yang harmonis dan
Indonesia yang sejahtera. Negara ini juga menjamin kemerdekaan atau kebebasan beragama
dalam pasal 29 UUD 1945 ayat (2) yang bunyinya: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Kata kemerdekaan di atas mangandung pengertian keterbebasan dari
penjajahan; terbebas dari paksaan; terbebas dari dikte orang lain; bebas untuk melakukan
segala hal tetapi masih dalam norma-norma kewajaran; termasuk kebebasan dalam menganut
suatu agama tertentu yang sesuai dengan hati nurani.
Kesadaran akan toleransi antar pemeluk agama dan kebebasan memeluk suatu agama
inilah yang harusnya diberikan atau dipahamkan oleh pemerintah terhadap warganya sejak
dini, agar bisa segera diimplementasikan oleh mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Karena belum semua warga paham tentang hal tersebut, dan bukti nyata adalah
konflik-konflik bermotifkan agama di beberapa daerah di Indonesia. Perbuatan buruk yang
terjadi karena kurangnya toleransi dan rendahnya pemahaman mereka tentang kebebasan
beragama.
Pelanggaran-pelanggaran akan hak asasi manusia sering kali terjadi di Indonesia, di
antaranya adalah dalam kasus Timor-Timur atau sekarang disebut Timor Leste, pembunuhan,
penganiayaan, dan terorisme adalah bukti pengingkaran terhadap nilai luhur Pancasila sila
kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila ini mengandung makna kesadaran sikap
dan perilaku yang sesuai dengan nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan mutlak
hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Apabila nilai-nilai
luhur dalam sila ini diamalkan maka yang timbul adalah sikap saling mencintai sesama
manusia, sikap tenggang rasa dan tepo seliro satu sama lain. Semua orang dengan latar
belakang apapun harus diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan harus dijunjung tinggi hak asasi nya.
Perbedaan yang timbul antar kelompok masyarakat acap kali menimbulkan gesekan-
gesekan yang akhirnya memicu keributan, kerusuhan, konflik atau kontak fisik, dan juga
tawuran, seperti yang terjadi di Poso, Sampit, ataupun kerusuhan yang kerap terjadi antar
kelompok warga di Ibukota Jakarta dan di daerah lainnya. Hal ini merupakan pengingkaran
terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia. Bagaimana
mungkin sebuah negara akan menjadi besar apabila rakyatnya tidak bersatu untuk
mewujudkan cita-cita nasionalnya secara bersama. Apabila konflik-konflik tersebut terus
terjadi, agaknya slogan kita pun ikut berubah menjadi “Bhinneka-itu sudah tidak lagi-
Tunggal Ika”. Diperlukan perbaikan dan upgrade pemahaman tentang pentingnya
menghargai perbedaan yang ada melalui pendidikan moral dan karakter, tidak semua yang
sama itu baik, terkadang perbedaan justru akan seseorang mengerti suatu hal dari sudut
pandang yang berbeda yang akan memperkaya wawasannya akan hal tersebut, dan dengan
perbedaan kita juga bisa saling melengkapi satu sama lain.
Mulai melunturnya budaya musyawarah untuk mencapai mufakat atas suatu masalah
yang sedang muncul juga menunjukkan tergerusnya nilai-nilai sila keempat Pancasila.
Masyarakat kini cenderung untuk menyelesaikan suatu masalah dengan kekerasan. Kalaupun
antar masyarakat atau pihak yang bersengketa sudah melakukan musyawarah dan mencapai
suatu kesepakatan secara bersama, seringkali kesepakatan itu dilanggar dan akhirnya
berujung dengan adu fisik atau bentrokan. Rendahnya sikap saling menghargai dan saling
menghormati menambah pelik hal ini. Untuk meminimalisir hal buruk yang mungkin terjadi
setelah hasil musyawarah ini tercapai, hendaknya wakil-wakil pihak yang bersengketa yang
duduk bersama untuk bermusyawarah memiliki karakter yang kuat dan bijaksana, jujur,
mempunyai moral yang baik, agar hasil mufakat mempunyai isi, bobot, dan gagasan yang
kualitasnya baik.
Sila kelima Pancasila mempunyai makna suatu tata masyarakat yang adil dan makmur
sejahtera lahiriah batiniah, yang setiap warga negara mendapat segala sesuatu yang telah
menjadi haknya sesuai esensi adil dan beradab. Hal ini sangat berkebalikan dengan kenyataan
yang dialami masyarakat Indonesia sekarang dimana tingkat kesenjangan sosial antara si
kaya dan si miskin semakin tinggi; tingginya angka kemiskinan dan pengangguran; maraknya
aksi korupsi di kalangan pejabat; ada sebagian masyarakat yang tidak mampu untuk membeli
beras, hal-hal ini menunjukkan bahwa rakyat belum sejahtera lahir dan batin. Nilai “keadilan”
dalam sila ini pun dipertanyakan ketika hukum di Indonesia berlaku sangat tegas untuk para
pelaku kriminal tetapi sangat lembek terhadap para koruptor dan mafia-mafia kelas atas.
Padahal, dampak yang ditimbulkan oleh koruptor jauh lebih luas, lebih merusak, dan lebih
berbahaya daripada kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan oleh pelaku kriminal kelas “teri”
yang dampaknya sangat kecil.
Semua hal di atas menunjukkan bahwa lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila dari
dalam jiwa bangsa Indonesia menimbulkan dampak negatif yang kian menenggelamkan
bangsa ini dalam masalah-masalah berkepanjangan yang tidak kunjung usai. Kemiskinan,
Ketidak adilan, pelanggaran HAM, korupsi, konflik antar agama, antar suku, dan lainnya
telah memperburuk wajah Indonesia di mata dunia dan membuat goresan-goresan kelam di
sejarah bangsa ini. Padahal bangsa ini mempunyai Pancasila yang “sakti” yang tidak dapat
diubah oleh siapapun, karena luhurnya nilai-nilai yang ia simpan, karena istimewanya ia,
tetapi kini bangsa ini tidak mengenalnya lagi, tidak mengerti keluhuran dan kesaktiannya.
Bangsa Indonesia harus benar-benar menjadikan Pancasila sebagai pandangan
hidupnya, agar Pancasila ini tidak hanya menjadi sekedar nama tanpa rupa. Pancasila adalah
hasil karya, ide, dan pemikiran para pejuang kemerdekaan, oleh karena itu marilah kita gali
dan amalkan apa yang telah mengantar kita menjadi dasar negara kita, apa yang dihasilkan
oleh para pahlawan kita, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengamalkan
apa yang menjadi ide para pahlawannya, bangsa yang mau mewujudkan apa yang menjadi
cita-cita nasionalnya dan cita-cita para pendahulunya.
Dari diagram di atas dapat dijelaskan bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya menjadi basis atau bahan utama dari pendidikan moral dan
pendidikan karakter yang merupakan alat untuk membentuk keperibadian luhur, karakter, dan
moral bangsa Indonesia. Dua jenis metode pendidikan tersebut akan saling bekerja sama,
melebur menjadi satu, karena pada dasarnya keduanya dirancang untuk menanamkan nilai-
nilai luhur Pancasila kepada generasi muda. Pendidikan moral dan karakter selanjutnya harus
diintregasikan atau dimasukkan ke dalam Sistem Pendidikan Nasional karena akan lebih
mudah untuk diawasi kualitasnya oleh Pemerintah. Selanjutnya harus dibuat satu mata
pelajaran khusus yang materinya adalah tentang bagaimana meningkatakan pemahaman
siswa terhadap Pancasila dan makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk
kemudian dilatih bagaimana cara pengaplikasiaannya di kehidupan nyata; ini merupakan
kegiatan praktek yang harus dilakukan siswa atau peserta didik. Kegiatannya pun bisa
dimodifikasi sedemikian rupa oleh guru atau pendidik contohnya kerja bakti bersama
masyarakat desa, games atau permainan unik sehingga peserta didik dapat mengerti pesan-
pesan moral apa yang didapat dari kegiatan tersebut.
Mata pelajaran ini harus sudah ada mulai sejak SD hingga perguruan tinggi karena ini
akan sangat membantu dalam pembentukan moral dan karakter generasi muda. Ini akan lebih
efektif daripada seminar-seminar atau outbond bertemakan pembentukan karakter yang
biasanya berlangsung hanya beberapa jam saja. Padahal untuk mencapai suatu hasil yang
maksimal diperlukan usaha yang maksimal pula, tidak bisa didapatkan dengan cara-cara
instant atau praktis seperti tersebut.
Diperlukan guru atau pendidik yang profesional untuk bisa membentuk moral dan
karakter peserta didiknya. Karena ia tidak hanya mengajarkan nilai-nilai luhur Pancasila
dengan teori saja, tetapi memberikan contoh nyata dari apa yang telah ia katakannya. Guru
atau pendidik yang benar-benar menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila
tidak hanya bertugas untuk membentuk moral dan karakter siswanya; ia juga mempunyai
tanggung jawab dan mempunyai pengaruh positif di lingkungan tempat ia tinggal.
Masalah yang membelit bangsa dan negara ini sangatlah kompleks, setiap hari juga
akan muncul maslah-masalah yang baru yang menuntut untuk diselesaikan dengan cara,
gagasan, dan metode yang baru. Untuk itu diperlukan generasi-generasi muda yang cerdas,
tangguh, bermoral baik dan memiliki karakter yang tegas dan bijaksana untuk dapat
menyelesaikannya dengan cara-cara yang kreatif dan inofatif. Pendidikan moral dan karakter
adalah jawaban yang tepat untuk membentuk generasi-generasi muda dengan karakter seperti
tersebut.
Teks 5
Dewasa ini segala hal menjadi serba bebas dan tanpa arah. Aturan ada tapi layaknya tidak
ada. Istilah arab menyebutkanya “Wujudu ka Adamihi” , ada tapi seolah-olah tiada. Aturan
hanya dijadikan pemanis dalam kehidupan ini. Bukan maksud aturan itu tak penting lagi,
melainkan karakter manusianya sendiri yang menganggap tak penting. Aturan kerap
dianggap menghalangi keinginan dan nafsu. Aturan hanya menyebabkan terkekangnya jiwa
sehingga tidak bisa menikmati dunia yang gemerlap ini.
Indonesia, dahulu dikenal dengan bangsa yang berkarakter. Karakter bangsa Indonesia itu
ramah, sopan, murah senyum dan yang paling terkenal adalah memiliki karakter suka
bergotong royong. Apakah karakter ini masih ada di saat sekarang ? Perlu kita renungkan,
kalau perlu kita duduk diam di tengah malam dan berfikir mendalam, apakah karakter-
karakter khas ini masih melekat dalam kepribadian bangsa Indonesia. Jika jawabnya masih,
patut kita bersyukur, namun jika jawabnya tidak, patut kita berintrospeksi diri. Karakter-
karakter tersebut sejatinya merupakan pembeda antara kita dengan bangsa lain. Apabila hal
yang membedakan kita dengan yang lain sudah tak ada, lalu apa bedanya kita dengan mereka
(baca : bangsa-bangsa lain di dunia) ? Kita adalah bangsa Indonesia, sejatinya sigap
menyadari lalu tak berdiam diri melainkan beraksi dan mengambil kembali karakter yang
menjadi ciri pribadi.
Media informasi mulai media cetak sampai elektronik tiap harinya tak pernah kehabisan
bahan untuk pemberitaan. Kriminal dan kejahatan tak ubahnya air, terus mengalir tanpa henti.
Belum usai satu kasus kriminal, datang lagi kasus lain. Karena seringnya, rasa-rasanya kita
muak mendengar pemberitaan semacam itu.
Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan
BKPM
Hal ini sangat miris sekali mengingat Indonesia dahulu seperti diceritakan sebelumnya adalah
bangsa dengan segudang karakter yang baik, namun sekarang kenyataannya terbalik. Ada
yang salah tentunya disini. Entah apa dan siapa yang patut dipersilahkan. Akan tetapi,
siapapun tentu tak ingin dijadikan tersangka atas semua hal ini. Tak ada jalan terbaik kecuali
kita semua bersama-sama mulai dari hal yang kerap dianggap remeh untuk melakukan
perbaikan terhadap karakter bangsa ini. Bila dibiarkan lebih jauh bukan tidak mungkin kita
akan kehilangan jati diri kita sebagai bangsa yang berkarakter.
Salah satu solusi atas kekhawatiran kita terhadap kondisi bangsa ini adalah menggalakan
pendidikan karakter. Sebuah upaya yang bisa kita lakukan untuk mengurangi degradasi moral
yang kini tengah melanda.
Dari awal kita berbicara tentang karakter bangsa yang mulai terkikis. Namun, sudahkan kita
memahami apa karakter itu ? jangan-jangan kita berkoar-koar tentang karakter bangsa ini
padahal tidak mengerti sama sekali batasan-batasannya.
Berdasarkan pengertian karakter ini dapat dipahami secara gamblang bahwa karakter itu
sama halnya dengan akhlak di dalam Islam. Karakter dapat dikatakan sebagai tindakan
refleks yang dilakukan seseorang tanpa butuh perenungan dan pemikiran terlebih dahulu
yang merupakan buah dari kebiasaan-kebiasaan terdahulu, baik itu kebiasaan baik maupun
buruk. Kebiasaan tersebut berakumulasi hingga menjadi karakter. Dengan memahami batasan
karakter tentu kita akan mudah memahami pengertian pendidikan karakter.
Penerapan pendidikan karakter dalam rangka mewujudkan moral bangsa yang baik perlu
dukungan dari berbagai pihak. Pihak yang paling central tentu pemerintah terkait. Namun,
kita semua dengan latar belakang profesi yang berbeda pun bisa ikut berkontribusi dalam hal
ini. Guru memang menempati posisi paling strategis sebagai aktor yang bisa menularkan
virus-virus pendidikan karakter ini kepada para siswanya. Dalam penyampaian bahan
pembelajaran apabila guru sadar dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi bisa diselipkan
pendidikan karakter. Mengajak siswa berlaku jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain
ini tanpa disadari merupakan upaya nyata menerapkan pendidikan karakter.
Akhirnya, semoga makin banyak orang yang menyadari pentingnya pendidikan karakter
diterapkan di semua bidang terutama pendidikan. Dan kita berharap Indonesia bisa menjadi
negara unggul dengan tetap memiliki karakter-karakter terpuji yang merupakan pembeda
dengan negara-negara lainnya.
Teks 6
Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu
negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut
adalah:
Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing dari kesepuluh tanda tersebut
tampaknya sedang menghinggapi negeri ini. Dari kesepuluh tanda-tanda tersebut, saya
melihat aspek yang kesembilan yakni membudayanya ketidakjujuran tampaknya menjadi
persoalan serius di negeri ini. Kejujuran seolah-olah telah manjadi barang langka.
Atas dasar itulah maka pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter
menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran
yang lebih dalam.
Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang
efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat dari Character
Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan
karakter yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:
Berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan nilai-nilai inti etika di sekolah, tentu saya
gembira jika sekolah-sekolah kita dapat menempatkan kejujuran sebagai prioritas utama
dalam pengembangan program pendidikan karakter di sekolah. Gordon Allport menyebutkan
bahwa ‘”kejujuran adalah mahkota tertinggi dari sistem kepribadian individu”. Jadi. sehebat
apapun kepribadian seseorang jika di dalamnya tidak ada kejujuran, maka tetap saja dia
hidup tanpa mahkota, bahkan mungkin justru dia bisa menjadi manusia yang berbahaya dan
membahayakan.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem baru yang diterapkan oleh pemerintah untuk
memperbaiki moral atau karakter bangsa ini. Dalam pendidikan karakter tersebut, fokus atau
tujuan utamanya adalah tentang how to be a good citizen and how to be a good personal.
Pendidikan karakter merupakan suatu penanaman nilai – nilai moral terhadap pribadi seorang
anak untuk dapat menghadapi problem – problem di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu,
pendidikan karakter sangat penting dalam membentuk karakter suatu bangsa. Bisa dikatakan
saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis moral. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
permasalahan yang ada di negara ini baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik.
Krisis moral yang terjadi tidak hanya di dalam kalangan rakyat biasa melainkan juga dari
para pejabat pemerintah. Banyak pejabat pemerintah yang melakukan tindakan yang tidak
patut dilakukan oleh mereka, salah satunya tindakan yang sedang terjadi saat ini adalah
maraknya kasus korupsi. Selain pejabat pemerintah yang mengalami degradasi moral, tidak
dapat dipungkiri bahwa rakyat negara ini pun juga mengalami degradasi moral yang sama.
Salah satunya yaitu banyak terjadinya tawuran antarwarga maupun antarsiswa yang berujung
pada maut. Hal tersebut menandakan bahwa karakter dari bangsa Indonesia saat ini baik
rakyat biasa maupun para pejabat pemerintah mengalami degradasi moral sangat drastis.
Salah satu penyebab terjadinya degradasi moral dalam bangsa ini adalah adanya dampak
globalisasi. Dampak globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia
melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal pendidikan karakter merupakan suatu
pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak – anak.
Selain itu. globalisasi juga telah membawa kita pada “penuhanan” materi sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.
Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi
daerah yang saat ini sudah dimulai dan era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun
2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan
oleh seluruh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak
pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh
karena itu, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus
dipikirkan secara sungguh – sungguh. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas
SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang
berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi
pembentukan karakter seseorang. Pembentukan karakter dapat dibina melalui pendidikan
formal maupun informal. Pendidikan formal dapat dilakukan di lingkungan sekolah dan
pendidikan informal dapat terjadi di lingkungan keluarga . Di lingkungan keluarga, keluarga
sebagai wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak, apabila keluarga gagal
melakukan pendidikan karakter pada anak – anaknya, maka akan sulit bagi institusi – institusi
lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam
membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak
berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter
bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. Pendidikan formal
memiliki peran penting dalam membangun karakter bangsa. Peran ini dilakukan dengan
membekali para peserta didik dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan untuk bisa
hidup layak dan terhormat di tengah – tengah masyarakat. Di samping itu, pendidikan juga
mengembangkan pada diri peserta didik rasa cinta kepada bangsa dan tanah air, yang
diekspresikan dalam perilaku mencintai hidup bersama dan bekerja sama guna kemajuan
bangsanya. Cinta tanah air inilah yang merupakan fondasi lahirnya jiwa patriotisme, yaitu
senantiasa siap sedia untuk bekerja demi kebaikan bangsa. Namun, tidak dapat diungkiri
bahwa saat ini implementasi pendidikan formal belum dilaksanakan secara optimal.
Pendidikan formal hanya mentransfer pengetahuan – pengetahuan pada peserta didiknya saja,
bukan untuk menyiapkan peserta didik dalam menghadapi problem – problem di kehidupan
nyata. Pendidikan formal cenderung hanya menyiapkan peserta didiknya untuk menghadapi
ujian nasional, tetapi hal ini pun juga belum dilaksanakan dengan baik sesuai dengan apa
yang diharapkan tujuan pendidikan nasional. Sebenarnya realitas ini pun sudah terbudaya
sejak dulu, bahwa peran pendidikan formal belum terimplementasi dengan baik. Hal tersebut
harus menjadi koreksi bagi pemerintah agar memunculkan suatu terobosan baru di dalam
dunia pendidikan formal, agar sekolah maupun perguruan tinggi dapat melaksanakan
perannya dengan baik dalam rangka membangun karakter bangsa.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ikafebriyanti/urgensi-pendidikan-karakter-
membina-moral-bangsa_54f74980a3331181288b45a6
Teks 8
Degradasi moral merupakan turunnya kesadaran akibat berbagai macam hal yang biasa
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi suatu bangsa dicerminkan keadaan moral
para pemudanya. Moral para pemuda yang hancur tidak mungkin dapat membangun
bangsanya. Untuk itu, moral para pemuda sekarang sangatlah perlu untuk dibenahi dan
diperbaiki. Terlalu sibuknya pemerintah dengan berbagai masalah ekonomi, politik dan
sosial, seperti kenaikan sembako, maraknya kasus korupsi, kecelakaan lalu lintas, serta
bencana alam membuat pemerintah mengesampingkan masalah mengenai degradasi moral
remaja ini, sehingga moral para remaja mengalami tingkat degradasi yang tinggi. Era
globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi
degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang.
Tahun demi tahun lanjut terus bergilir dan berubah, otak dan watak serta pikiran
manusia kian terus berkembang, menggali potensi, memudahkan sesuatu hal yang sulit,
menginstankan suatu pekerja’an. Itulah kenyata’an yang kian terus kita hadapi. Oleh sebab
itu cepat atau lambat, benar atau tidak ini merupakan kenyataan yang harus kita terima.
Bahwaa dunia akan berubah bagaikan sebuah bumi perkemahan global. Setiap kemah terbuat
dari kaca-kaca bening yang dapat menerobos pengelihatan tanpa ada halangan dan para
penghuninya pun tak mampu bersembunyi dari pandangan penghuni yang lain. Dengan
teknologi dimanapun kita berada, dinegara manapun kita berada , kita dapat mengetahui
informasi-informasi, seluk beluk atau kejadian – kejadian ditempat lain seakan – akan ada
ditemapt sekeliling kita. Itulah kemajuan ilmu pengetahuan terutamanya teknologi dibidang
informasi, yang telah mengiring umat manusia menjadi suatu kesatuan, diantaranya yang
sudah tidak asing lagi bagi kita yakni ; TV, Head Phone dan Internet. Inilah yang menyajikan
kepada kita kekuatan daya imajinasi da teknologi kom,unikasi yang memungkinkan
tersebarnya informasi dalam kualitas yang hampir sempurna dalam waktu yang sangat cepat .
Ini merupakan suatu kebutuhan kita yang tidak dapat kita pungkiri. Siklus kehidupan
semakin cepat dan membuat kita seakan-akan tidak berdaya kecuali harus memiliki,
menerima dan mengikuti arus informasi sesuai dengan perkembangan zaman. Dan kita akan
terus menerus di bombardir oleh p[ercepatan informasi. Peranan ilmu pengetahuan teknologi
informasi atau media elektronik utamanya internet ini telah membuat dunia semakin menjadi
sangat sempit seakan – akan tanpa batas, serta mampu membentuk opini dunia . karna dengan
kemampuannya dapat menginformasikan berbagai peristiwa dunia secara terus menerus
selam 24 jam. Mulai dari pengesuha, pembisnis, pegawai sampai pada pelajar pun sangat
membutuhkannya.
Dengan internet akan mempermudah akses informasi bagi par apembisnis. Pengusaha
akan lebih mudah berinteraksi antara produsen dan konsumen. Pelajar juga akan lebi mudah
mengakses ilmu-ilmu pengetahuan di dumia pendidikan sejagat raya. Pemerintah dapat
berkominikasi dan mencari jaringan – jaringan setiap saat untuk menjalin hubungan antar
negara di belahan dunia. Bahkan masyarakat pun akan lebih mudah menyampaikan
keritikannya atas inspirasinya terhadap pemerintahan.
Internet sa’at ini bukanlah barang mewah lagi, atau barang antik. Internet sa’at ini
sudah menjadi menu budaya manusia sehari-hari. Bila kita dapat mengejar dan mampu
menguasainya, bahkan buta dan tak mampu menangkap ara zaman, niscaya kita akan menjadi
sassaran Gombalisasi mereka yang menguasai teknologi, dan kita akan dianggap mereka
dengan sebutan ”Gaptek”.
Disanping memberi manfa’at yang luar biasa pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi , globalisasi informasi juga menimbulakn berbagai ketidak pastian, ketidak
setabilan dan berbagai macam penyakit masyarakat yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya, kekuatan dan pengaruh internet telah merasuk jiwa dan raga kita, merasuk pada
budaya – budaya kita, watak dan pikiran kita.
Mereka menyalah gunakan fungsi teknologi yang berkembang sa’at ini. Dengan internet
seorang dapat melakukan apa saja, kejahatan dalam bedog teknologi makin merajalela,
budaya – budaya asing yang tidak normatif mudah kita dapat, sehingga sangat mudah untuk
mempengaruhi budaya – budaya lokal. Dan akhirnya akan mengeliminasi budaya lokal dan
lebih mengunggulkan budaya – budaya baru yang tidak normatif. Dengan adanya internet
sa’at ini generasi bangsa kita khususnya pemuda mengalami degradasi moral.
Mengapa saya katakan begitu, karena para pemudah/ peajar pengguna jaringan teknologi
informasi (Internet) tida mengakses suatu hal yang sewajarnya. Mereka telah memanfa’atkan
dengan menyalahgunakan kecangihan teknologi dengan mengakses galery – galery yang
bernuansa porno, yang semuanya itu tidaklah wajar bagi para pengguna khususnya para muda
untuk memanfa’atkan dengan menyaksikan tayangan-tayangan budaya asing yang tidak
normatif. Dan itu telah merusak generasi kita, kalau boleh dikatakan hampir 50 % setiap
pengguna kecangihan teknologi meanfatkannya dengan mengakses suatau yang tidak
sewajarnya.
Degredasi moral yang ancap kali akan mengiringi langkah pada era globalisasi. Virus
– virus inilah yang menyelinap pada pikiran dan otak setiap orang sa’at ini. Sehingga tidaklah
heran bila sekarang banyak sekali terjadi kejahatan kejahatan seksualitas yang meningkat
pesat, portitusi merajalela, dua sejoli saling bermesuman di hotel – hotel, dan itu menjadi
suatu kebanggaan.
Perkembangan Moral para generasi bangsa terutama para pemuda Indonesia semakin
lama semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap hari kita disuguhkan berita yang melibatkan
para generasi muda Indonesia yang membuat hati kita miris bila mendengarnya, seperti
adanya tawuran antar pelajar, narkoba bahkan hingga video mesum dari berbagai pelajar di
tanah air. Problematika tersebut di atas sudah terlalu parah dan merupakan sudatu bentuk
tantangan kedepan yang harus diperbaiki, namun bila kita Flashback lagi ke belakang, faktor
apakah yang membuat para generasi muda kita menjadi seperti sekarang ini? Pendidikan
menjadi kunci dari semua persoalan tersebut. lalu apa yang salah dengan pendidikan kita.!!
bukankah standar pendidikan kita sudah terus berkembang ke arah yang lebih baik..?? RSBI
(Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang diagung-agungkan bukanlah solusi tepat
menciptakan generasi pemuda yang bermoral tinggi. faktanya apakah dengan RSBI generasi
muda menjadi lebih bermoral? apakah RSBI membuat generasi muda menjadi lebih mengerti
adat-istiadat? apakah RSBI membuat generasi muda tahu sopan-santun? apakah RSBI
membuat generasi muda berbudaya Indonesia? apakah RSBI membuat generasi muda bangga
akan bangsanya sendiri? Semua pertanyaan tersebut tidak akan pernah mampu dijawab. hal
ini deperparah bahwa dengan adanya standar kelulusan UNAS membuat sekolah semakin
mengesampingkan pelajaran yang berhubungan dengan moral dan lebih mementingkan
pelajarn yang diprogramkan pada UNAS. Pendidikan di Indonesia sekarang bukanlah
pendidikan dengan pendekatan budaya dan tradisi Indonesia, melainkan pendidikan dengan
pendekatan model barat atau lebih kerennya Westernisasi. Kalau sudah seperti ini tidak ada
gunanya memakai slogan pendidikan "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani". Slogan pendidikan ini adalah cerminan bagaimana para founding
Father Pendidikan Indonesia sangat mengutamakan pentingnya Etika dan Moral bagi para
generasi muda sebagai pilar utama Pendidikan dan membangun Jati diri Bangsa.
Ancaman rusaknya satu generasi akibat globalisasi bisa saja terjadi ketika banyak
anak muda kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia, hal ini ditunjukkan dari
gejala yang muncul dari kehidupan sehari-hari anak muda. Mulai dari model pakaian yang
dari waktu ke waktu semakin minim serta perubahan gaya hidup yang berkiblat ke dunia
barat dan menyisihkan budaya luhur bangsa. Kemajuan teknologi selain memberikan manfaat
ternyata juga dampak negatif, seperti internet dan handphone. Kedua barang hasil kemajuan
teknologi ketika tidak dibarengi dengan kematangan wawasan berpikir penggunanya akan
menjadikan bumerang bagi penggunanya, lantaran mereka tidak menggunakan untuk
kegiatan yang bermanfaat namun cenderung digunakan untuk kegiatan yang merusak mental,
seperti menonton film biru/BF. Keberadaan internet dan HP ( Handphone) ini secara tidak
langsung melemahkan rasa sosial penggunanya kepada masyarakat sekitar, namun juga
membuat lemah kontrol sosial (Social Control ) di sekelilingnya, lantaran penggunaan yang
tanpa batas. Kelompok anak dan remaja menjadi obyek sasaran yang paling rentan menjadi
korban era globalisasi. Berkurangnya perhatian, pengawasan orang tua kepada anak semakin
memperparah keadaan. Karena alasan ekonomi, orang tua secara tidak sengaja atau pun
sengaja memposisikan anaknya menjadi korban globalisasi. Berbagai kasus asusila dan
kriminalitas terjadi karena anak dan remaja terhimpit teknologi yang tanpa batas dan ekonomi
keluarga yang kurang. Satu demi satu peristiwa kriminalitas yang berbau asusila hingga
perdagangan manusia terjadi lantaran ketidakmampuan kita membendung masuknya budaya
luar yang sangat kontradiktif dengan kearifan budaya lokal.
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Degradasi Moral Bangsa adalah merosotnya moral bangsa yang disebabkan oleh beberapa
faktor.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan Degradasi Moral Bangsa antara lain karena adanya
sosialisasi tidak sempurna, carut marutnya pendidikan, ketidakpastian hukum yang ada di
Indonesia dan karena perkembangan teknologi.
3. Upaya serta cara penanggulangan yang dapat dilakukan terhadap Degradasi Moral yang
terjadi di Indonesia yaitu dengan :
Penekanan Individual
Peningkatan Pancasila
Peningkatan Kesatuan
Penegasan UUD 1945
B. Saran
Kami sebagai pihak penulis berharap agar para pembaca bisa ikut berpartisipasi untuk
meminimalisir degradasi moral yg terjadi, dimulai dari hal-hal kecil yang biasa kita lakukan.