PENYUNTING:
Mas Wishnuwardhana Indra Cakra
Tri Yanti Rahayuningsih Sofyan Cholid
Yenny Wiarni Abbas Triza Arif Santosa
Ely Yulian Charles Antoni Silalahi
Natalina Soesilawati Tomy Yuner Sirait
Laily Fatchiya Lukmansyas Muhammad Sjaifuroc hman
Riana Novy Hendra Hibrata
Tisa Rori Indarman Julia Klaartje Kadang
NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR
Aris Primadi
(a) Pada HIC, 5–10% bayi baru lahir (BBL) memerlukan stimulasi, 3–6% perlu
ventilasi tekanan positif (VTP) dan < 1% memerlukan langkah lebih lanjut.
(b) Data dari LMIC di daerah pedesaan Tanzania menunjukkan bahwa 85% BBL
hanya memerlukan perawatan rutin, 15% perlu stimulasi, setengahnya
dilanjutkan dengan VTP dan sebagian kecil masih memerlukan langkah lanjut.
Termoregulasi
Pada BBL tidak bugar dengan cairan amnion tercampur meconium, tidak rutin
dilakukan intubasi dan pengisapan trakea. Adanya cairan amnion tercampur
mekonium merupakan faktor risiko perinatal yang menunjukkan perlunya kehadiran
anggota tim resusitasi dengan kemampuan penuh termasuk intubasi endotrakea.
Bukti terkini menyarankan penjepitan tali pusat pada bayi cukup dan kurang
bulan bugar sebaiknya ditunda sekurangnya hingga 30-60 detik. Jika sirkulasi
plasenta tidak utuh, misalnya solusio plasenta, pasenta previa atau avulsi tali pusat,
penjepitan tali pusat harus dilakukan segera setelah lahir.
BBL dengan delayed cord campling memiliki volume dan tekanan darah lebih
tinggi, lebih jarang mengalami perdarahan intra ventrikular atau enterokolitis
nekrotikan tetapi mungkin mengalami peningkatan kadar bilirubin sedikit lebih tinggi.
Penilaian frekuensi jantung
Manajemen Oksigen
Konsentrasi oksigen saat VTP pada BBL dengan kehamilan > 35 minggu
dimulai dengan oksigen 21% (udara ruangan) dan pada kehamilan < 35 minggu
dimulai dengan oksigen 21-30%.
Pemberian oksigen aliran bebas dimulai dengan oksigen 30%, naik bertahap
jika perlu hingga tercapai target saturasi oksigen.
Jika dengan oksigen aliran bebas 100%, target saturasi oksigen tidak tercapai
atau terlihat tanda-tanda kesulitan napas, pertimbangkan CPAP.
Pengisapan saat lahir hanya dilakukan untuk bayi dengan sumbatan jelas
atau memerlukan VTP. Pengisapan saat persalinan tidak menunjukkan manfaat. Jika
VTP diperlukan saat resusitasi bayi prematur, sebaiknya digunakan alat yang
dilengkapi tekanan positif akhir ekspirasi (TPAE). Penggunaan TPAE (5 cm H2O)
akan membantu paru bayi tetap sedikit mengembang diantara dorongan napas.
• Apabila Asisten menyampaikan “frekuensi jantung tidak meningkat dan dada tidak
mengembang,” lakukan langkah koreksi ventilasi (MR SOPPA) hingga dada
mengembang dengan ventilasi. Setelah dada mengembang, VTP selama 30 detik,
kemudian nilai ulang frekuensi jantung.
MR SOPPA
O Open mouth
Jika frekuensi jantung < 100 X/menit: lanjutkan VTP 40-60 X/menit hingga timbul
upaya napas spontan
Jika frekuensi jantung 60-99 X/menit 60: nilai ulang ventilasi. Jika perlu lakukan
langkah koreksi ventilasi
Jika frekuensi jantung < 60 X/menit: nilai ulang ventilasi. Jika perlu lakukan
langkah koreksi ventilasi hingga insersi alternatif jalan napas (pipa ET atau
sungkup laring). Jika dengan VTP dada terlihat mengembang tetapi frekuensi
jantung tidak meningkat, naikkan konsentrasi oksigen hingga 100% dan mulai
kompresi dada.
Kompresi Dada
• Setelah pipa ET atau sungkup laring difiksasi, mulai kompresi dada dengan posisi
penolong di arah kepala bayi.
• Kombinasi VTP dengan kompresi dada dilakukan selama 60 detik kemudian nilai
frekuensi jantung.
Obat-obatan
Tim maternal dan neonatal bersama orang tua BBL harus menyepakati
bagaimana dan bilamana upaya resusitasi tidak dilakukan atau dihentikan. BBL
dengan usia kehamilan < 23 minggu, berat lahir < 400 g atau dengan anomali
kongenital fatal misalnya Trisomi 13 mungkin tidak perlu dilakukan resusitasi.
• Untuk mengedepankan klinis praktis dalam pelayanan yang aman dan berkualitas,
sangatlah penting Tim Penolong sesegera mungkin melakukan evaluasi
pelaksanaan resusitasi dan melengkapi catatan resusitasi.
o C Consider feelings
Daftar Pustaka
Erdsal HL, Mduma E, Svensen E, Perlman JM. Early initiation of basic resuscitation
interventions including face mask ventilation may reduce birth asphyxia related
mortality in low-income countries: a prospective descriptive observational study.
Resuscitation. 2012:83;869–73.
Kamath BD, Berkelhamer SK, Ashish KC, Ersdal HL, Niermeyer S. Neonatal
resuscitation in global health settings: an examination of the past to prepare for the
future. Pediatric Research. 2017;82(2):194-200.
Lamberg JJ. Neonatal advanced life support (NALS): Neonatal Resuscitation 2018
(cited 27 October 2018).
Sri Sudarwati
Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Hasan Sadikin Bandung
PENDAHULUAN
Asma akut (asma dalam serangan) merupakan bagian paling penting pada asma anak.
Sebagian besar asma serangan pada anak termasuk kedalam kelompok derajat ringan
sedang, dapat ditangani dirumah, sehingga tidak sampai mencari pertolongan ke rumah
sakit maupun dokter. Hanya sedikit asma serangan akut pada anak yang masuk serangan
derajat berat dan memerlukan perawatan di ruang gawat darurat atau ruang perawatan
intensif. Pasien-pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit umumnya adalah pasien
yang memerlukan pemberian pengobatan kontinyu dan yang perlu monitoring lanjutan dari
ruang rawat darurat.
Faktor pencetus utama dari eksaserbasi akut asma adalah infeksi respiratori akut
oleh virus, sekalipun pada atopik asma. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan
dengan terjadinya risiko kematian anak akibat asma antara lain riwayat pernah
menggunakan ventilator, adanya kunjungan ke ruang gawat darurat, pemakaian short-
acting β-agonis (SABA) yang berlebihan, alergi makanan, belum mendapat steroid inhalasi.
Selanjutnya akan dibicarakan mengenai definisi, manifestasi klinis dan diagnosis asma anak,
patofisiologi serangan asma akut, manifestasi klinis serangan asma, tatalaksana dirumah
dan di rumah sakit pada asma serangan akut.
DEFINISI
Asma serangan akut adalah suatu episode peningkatan progresif (perburukan) salah satu
atau lebih dari gejala klinis batuk, sesak napas, mengi (wheezing), rasa dada tertekan (chest
tightness) yang dipicu oleh adanya faktor pencetus atau pajanan terhadap alergen, dapat
pula karena ketidakpatuhan pemakaian obat pengendali (controller). Pada episode
serangan akut tersebut akan terjadi penurunan uji fungsi paru. Episode serangan akut berat
dapat terjadi pada asma yang terkontrol penuh atau sebagian.
Hiperresponsivitas Remodelling
saluran respiratori
Wheezing
Peningkatan waktu ekspirasi
Dispneu
Serangan asma akut adalah suatu perburukan gejala klinis dan fungsi paru dibanding
sebelumnya. Penurunan aliran udara ekspirasi pada serangan asma akut dapat dinilai melalui
pengukuran uji fungsi paru forced-expiratory volume in 1 second (FEV1) atau peak expiratory
flow-rate (PEFR). Beberapa pasien asma menunjukkan gejala klinis serangn akut yang
minimal, namun fungsi parunya sangat rendah. Hal ini sering terjadi pada pasien yang pernah
mengalami seranga asma akut yang mengancam jiwa.
TATA LAKSANA SERANGAN ASMA BERAT (YANG DIRAWAT ATAU MASUK PICU)
Pasien serangan asma yang tidak membaik dengan pengobatan intensif dalam 1-2 jam harus
dirawat di rumah sakit minimal 1 hari. Indikasi rawat pada serangan asma juga berlaku pada
asma yang memiliki faktor risiko terjadi serangan fatal (kematian). Bila ada gagal napas atau
distres napas yang berat dan tidak memberi respons terhadap bronkodilator maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif.
Tata laksana di Ruang Rawat Sehari
- O2 tetap diberikan
- Nebulisasi dilanjutkan dengan salbutamol + ipratropium bromida setiap 2 jam
- Berikan steroid sistemik per oral prednisolon atau prednison sampai 3-5 hari
- Bila dalam 12 jam klinis membaik, maka dipulangkan dengan dibekali salbutamol hirupan
atau oral 0,1 mg/kgBB/kali setiap 4-6 jam dan steroid oral berupa prednison atau
prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 3-5 hari.
- Bila dalam 12 jam klinis tidak membaik, maka masuk ruang rawat
Tata laksana di ruang rawat inap
- Pasang akses intravena, atasi dehidrasi bila ada
- Steroid intravena diberikan setiap 6-8 jam
- Nebulisasi salbutamol + ipratropium bromida dilanjutkan setiap 1-2 jam, bila klinis
mengalami perbaikan maka nebulisasi dijarangkan menjadi tiap 4-6 jam.
- Berikan Aminofilin intravena mula-mula bolus 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dextrosa 5%
atau NaCl fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 30 menit (drip). Dilanjutkan rumatan
0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Bila pasien sudah pernah mendapat aminofilin dalam 8 jam terakhir, maka dosis
aminofilin diatas dikurangi menjadi setengahnya.
- Pemantauan efek samping aminofilin berupa mual, muntah, takikardi dan agitasi. Bila
berat dapat berupa aritmia, hipotensi dan kejang.
- Bila pasien mengalami perbaikan klinis, nebulisasi dilanjutkan setiap 6 jam hingga
mencapai 24 jam, bila stabil pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti yang dilakukan
pada ruang rawat sehari atau UGD.
Tata laksana di ruang rawat intensif
Pasien serangan asma dengan distres napas sangat berat, tidak memberikan respons
terhadap tata laksana awal, dan ada potensi terjadi gagal napas harus dirawat di ruang
intensif. Pasien mungkin akan memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemasangan
ventilator pada gagal napas akibat serangan asma berat bertujuan untuk mengurangi
hiperinflasi paru akibat obstruksi saluran respiratori, tekanan ventilasi harus dibuat seimbang
agar tidak menimbulkan barotrauma yang dapat menyebabkan pneumotoraks atau
pneumomediastinum. Pasien dengan serangan asma berat dan ada ancaman henti napas
sebaiknya rawat di PICU karena intubasi dan pemasangan ventilator di PICU lenih aman
dibanding pada setting emergensi. Secara garis besar, tata laksana serangan asma di ruang
rawat intensif adalah:
- Oksigen suplemental, sedapat mungkin menghindari pemakaian ventilator.
- Salbutamol nebulisasi setiap 20 menit selama 1 jam pertama (nebulisasi yang ketiga
adalah salbutamol + ipratropium bromida) atau continous nebulization salbutamol 5-15
mg/jam disertai monitoring jantung (efek samping: takikardi, tremor, hipokalemi).
- Steroid sistemik diberikan intravena.
- Pemeriksaan penunjang darah rutin, analisis gas darah, elektrolit, foto toraks diperlukan
untuk mengetahui adanya komorbid, infeksi dan dehidrasi.
- Fisioterapi dada, pemeriksaan uji fungsi paru dan pemberian mukolitik tidak
direkomendasikan karena dapat memicu bronkonstriksi yang lebih berat.
- Pemberian aminofilin sesuai dengan pada serangan asma berat.
- Magnesium sulfat 25-75 mg/kgBB dengan dosis maksimum 2,5 gram diberikan secara
intravena pelan (dalam 20 menit).
- Pada pemberian aminofilin dan magnesium sulfat harus dilakukan monitoring kardiologi.
- Pada pasien yang tidak memberikan respons terhadap nebulisasi salbutamol, dapat
diberikan epinefrin subkutan 0,01 ml/kgBB, maksimal 0,5 ml.
Daftar Bacaan
1. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Sicherer SH. Childhood asthma. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi
ke-20. Philadhelpia: Elsevier; 2016. H 1095-1115.
2. Kercsmar CM, McDowell KM. Wheezing in Older Children: Asthma. Dalam: Wilmott RW,
DeterdingR, Li A, Ratjen F, Sly P, Zar HJ, Bush A, penyunting. Kendig’s Disorders of The
Respiratory Tract in Children. Edisi ke 9. Philadhelpia: Elsevier; 2018. H 684-735.
3. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
4. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for Asthma
2018. Diunduh dari: http://www.ginasthma.org.
5. Papi A, Caramori G, Adcock IA, barnes PJ. Rescue Treatment in Asthma*More than As-
Needed Bronchodilation. Chest. 2009; 135:1628-33.
PEMILIHAN TERAPI CAIRAN PADA ANAK SAKIT KRITIS
Dzulfikar DLH
Emergensi / Ruang Rawat Intensif Anak
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran /
Rumah Sakit Umum Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung
PENDAHULUAN
Pengetahuan mengenai terapi cairan merupakan salah satu komponen yang penting dan
memiliki peran utama dalam perawatan anak sakit kritis. Pengisian volume yang agresif
ditujukan untuk membantu penghantaran oksigen jaringan dan berkaitan dengan luaran yang baik.
Indikasi pemberian cairan intravena adalah untuk resusitasi cairan, koreksi elektrolit, transpor obat,
dan nutrisi parenteral. Paradigma saat ini antara lain strategi tatalaksana terapi cairan Early Goal
Directed Therapy (EGDT), late conservative fluid management, dan late goal‐directed fluid removal.1
Selain itu dikenal konsep terapi cairan "empat D", yaitu drug (obat), dosis, durasi, dan de-eskalasi.
Selama perawatan anak sakit kritis, empat fase terapi cairan harus dipertimbangkan untuk
memberikan jawaban atas empat pertanyaan dasar. Keempat fase ini adalah fase resusitasi, fase
optimisasi, fase stabilisasi, dan fase evakuasi. Keempat pertanyaan tersebut adalah “Kapan memulai
cairan intravena?”, “Kapan menghentikan cairan intravena?”, “Kapan memulai de-resusitasi?” dan
akhirnya “Kapan menghentikan de-resusitasi?” 2,3
Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa
resusitasi cairan yang agresif merupakan pendekatan awal paling baik dalam tatalaksana stabilisasi
kardiovaskular, namun hanya 50% pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang memiliki respons
baik terhadap pemberian cairan. 4, 5
Ketidakseimbangan cairan dapat berupa defisit atau cairan berlebih. Defisit cairan dapat
terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan (diare atau muntah),
perpindahan cairan ke rongga ketiga (luka bakar, pasca bedah abdomen), menurunnya
asupan cairan (mekanisme haus yang terganggu, disfagia, puasa lama). Kehilangan cairan
tubuh juga dapat disebabkan oleh perpindahan cairan ke rongga ketiga (third spacing),
contohnya asites, pankreatitis, luka bakar, peritonitis, sepsis, dan obstruksi intestinal.
Cairan berlebih (fluid overload) terjadi akibat retensi atau asupan air yang berlebihan,
menurunnya ekskresi air oleh ginjal, atau menurunnya mobilisasi cairan dalam ruang
1
intraseluler. Umumnya cairan berlebih disebabkan karena disfungsi kardiorespirasi, disfungsi
ginjal, dan syndrome of inappropriate of antidiuretic hormone (SIADH).
TERAPI CAIRAN
Jenis Cairan
Kristaloid, terdiri dari:
Isotonis : NaCl 0,9%, RL
Hipotonis : D5%, NaCl 0,45%, NaCl 0,33%, NaCl 0,225%, D5%+NaCl 0,225%
Hipertonis : NaCl 3%
Koloid, misalnya albumin, dekstran, gelatin, hydroxyethyl starch (HES)
Cairan Defisit
Cairan defisit diberikan bila terdapat dehidrasi akibat kehilangan cairan yang berlebihan,
misalnya pada penyakit gastrointestinal dengan muntah dan diare, jejas traumatik dengan
kehilangan darah yang banyak, atau asupan cairan yang tidak adekuat dalam periode waktu
tertentu. Derajat defisit cairan dapat dinilai berdasarkan penurunan berat badan, atau
berdasarkan tanda-tanda klinis.
Cairan rumatan
Cairan rumatan digunakan untuk mempertahankan status hidrasi anak untuk
mengkompensasi kehilangan cairan yang sedang terjadi (ongoing losses), baik kehilangan
cairan yang disadari (sensible losses) dalam bentuk urin dan feses, serta kehilangan cairan
yang tidak disadari (insensible losses) dalam bentuk air yang keluar melalui pernapasan dan
keringat. Kebutuhan cairan pada anak lebih besar dibandingkan dengan dewasa karena: (1)
laju metabolisme lebih besar pada anak sehingga pengeluaran kalori dan kebutuhan cairan
menjadi lebih besar, (2) anak memiliki rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan yang
lebih besar, sehingga lebih banyak cairan yang keluar melalui kulit, (3) anak memiliki laju
napas yang lebih cepat, sehingga lebih banyak air yang keluar melalui pernapasan.
Metode yang paling sering digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan rumatan
pada anak adalah Holliday-Segar. Perhitungan dilakukan berdasarkan berat badan kering.
Cara perhitungan berdasarkan metode Holliday-Segar adalah sebagai berikut:
Berat badan 10 kg pertama : 100 mL/kg/hari (1000 mL/hari) atau 4 mL/kg/jam (40 mL/jam).
Berat badan 10–20 kg : untuk tiap kilogram berat badan di atas 10 kg, ditambahkan
50 mL/kg/hari dengan 1000 mL/hari, atau ditambahkan
2
2 mL/kg/jam dengan 40 mL/jam.
Berat badan >20 kg : untuk tiap kilogram berat badan di atas 20 kg, ditambahkan
20mL/kg/hari dengan 1500 mL/hari, atau ditambahkan
1 mL/kg/jam dengan 60 mL/jam.
Kebutuhan cairan rumatan harus disesuaikan dengan kondisi penyakitnya. Pasien
yang mengalami panas, trauma luka bakar, hipermetabolisme, nyeri, asma, dan meningkatnya
kehilangan cairan melalui intestinal akan meningkatkan kebutuhan cairan rumatan. Anak
sakit dengan ventilasi mekanik menerima udara yang hangat dan telah dilembabkan sehingga
insensible loss lebih sedikit dan kebutuhan cairan rumatan dapat dikurangi sekitar 15%. Pada
pasien dengan trauma kepala, pemberian cairan harus direstriksi untuk mencegah edema
serebri. Umumnya diberikan 2/3 dari rumatan, namun tetap harus diperhatikan untuk
mempertahankan volume intravaskuler, tekanan pengisian, dan curah jantung. Panas
meningkatkan kebutuhan cairan 10% tiap kenaikan 1ºC di atas 38ºC. Pada trauma luka bakar,
digunakan formula Parkland untuk menghitung kebutuhan cairan. Kebutuhan cairan untuk
luka bakar derajat 2 dan 3 adalah cairan rumatan + (4 mL x persentase luas permukaan luka
bakar). Setengah cairan diberikan dalam 8 jam pertama, dan setengah sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Jenis cairan yang diberikan adalah RL. Pada pasien dengan anuria
atau oliguria, diberikan cairan sekitar 1/3 dari rumatan + jumlah urin (bila ada).
3
Untuk resusitasi pasien syok pada anak dapat menggunakan cairan isotonis, meliputi cairan NaCl
0,9%, Ringer laktat, Ringer asetat, atau cairan berimbang (balanced solution) yang komposisinya
mirip plasma. Koloid natural albumin 5% dapat dipakai untuk resusitasi syok sepsis anak bersama-
sama dengan kristaloid. Cairan koloid semisintetis (hydroxyethyl starch, gelatin, dekstran) pada syok
sepsis dewasa meningkatkan risiko gagal ginjal akut dan kematian dibandingkan dengan kristaloid.
Cairan kristaloid hipertonis dapat dipakai resusitasi dengan volume kecil, bolus 5mL/kgBB dalam
waktu 5-15 menit (misalnya NaCl 3% atau natrium laktat hipertonis), selain hemat cairan,
menghindari jejas reperfusi dan lebih cairan pada pasien syok sepsis. 7, 8
Untuk resusitasi cairan syok sepsis pada anak, terdapat 10 langkah implementasi Early Goal
Directed Therapy (EGDT), sebagai berikut6:
1. Pengenalan syok secara dini di ruang triase, ditandai dengan hipotensi dengan nadi kuat pada
syok hangat, perfusi perifer menurun, waktu pengisian kapiler memanjang >2 detik pada syok
dingin terkompensasi, serta kombinasi hipotensi dan menurunnya perfusi perifer pada syok
dingin dekompensasi
2. Transpor pasien secepat mungkin ke ruangan resusitasi dan aktifkan tim resusitasi
3. Pemberian oksigen segera dan pasang jalur intravena perifer dalam 90 detik
4. Bila tidak berhasil setelah 3 kali tusukan vena perifer, pertimbangkan akses intraoseus
5. Palpasi hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
6. Bila hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus garam isotonis (kristaloid)
dan/atau albumin 5% (koloid) sebanyak 20 mL/kgBB dalam 5–10 menit sampai total 60
mL/kgBB atau terjadi perbaikan perfusi atau pembesaran hati atau ronki. Pemberian packed
red cell 20 mL/kgBB pada syok hemoragis, bila terapi cairan tidak memberikan respons. Bila
hepar membesar, waspadai syok kardiogenik, bolus kristaloid hanya 10 mL/kgBB.
7. Bila waktu pengisian kapiler >2 detik dan/atau hipotensi menetap selama resusitasi cairan,
berikan epinefrin intravena perifer/intraoseus, dosis 0,05 microgram/kg/menit
4
8. Bila ada risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid sebelumnya, sindrom Waterhouse
Friederichsen, atau anomali hipofisis), berikan hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan
dengan titrasi 2–50 mg/kgBB/hari (bila tidak ada, berikan steroid dengan dosis setara
hidrokortison, seperti metilprednisolon dan deksametason)
9. Bila syok berlanjut, untuk sedasi pada pemasangan akses vena sentral, berikan atropin (0,02
mg/kgBB) dan ketamin (1–2mg/kgBB). Bila diperlukan ventilasi mekanis, untuk induksi
intubasi gunakan atropin dan ketamin serta penghambat neuromuskuler
10. Target EGDT adalah waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik, tekanan darah normal
sesuai usia, dan membaiknya indeks syok (denyut jantung/tekanan darah sistolik)
Resusitasi cairan berlebih dapat menyebabkan edema, sindrom polikompartemen, gagal multi organ,
dan luaran yang buruk. Pedoman EGDT untuk tata laksana syok sepsis terutama menekankan
resusitasi awal. Malbrain mengembangkan model Three Hit pada syok pasien dewasa untuk
menghindari lebih cairan pasca resusitasi yang mengakibatkan Global Increased Permeability
Syndrome (GIPS). Model ini tampaknya bisa diterapkan pada anak. 3, 5
Banyak penelitian mengacu pada tata laksana EGDT (EAFM) untuk mencapai target resusitasi cairan
sebanyak 25−50 mL/kgBB dalam 6−8 jam pertama resusitasi pada kasus syok hipovolemia dan syok
sepsis. Ada pula yang berpendapat bahwa cairan sebanyak itu dapat berdampak buruk menyebabkan
lebih cairan dan mengajukan strategi yang lebih konservatif.
Menurut penelitian terbaru, tata laksana cairan konservatif kasip (LCFM) yang didefinisikan sebagai
balans cairan nol atau negatif dua hari berturut-turut dalam minggu pertama perawatan di ruang
intensif, merupakan prediktor kelangsungan hidup yang kuat dan independen. Sebaliknya, pasien
yang mengalami inflamasi sistemik persisten akan tetap mengalami kebocoran albumin transkapiler,
tidak bisa mencapai fase Flow, dan terus mengalami balans cairan positif.
5
Late Goal Directed Fluid Removal (LGFR)
Pada beberapa pasien perlu pembuangan cairan lebih agresif dan aktif dengan pemberian diuretik dan
terapi sulih ginjal dengan ultrafiltrasi neto. Keadaan ini disebut deresusitasi.
Untuk membedakan resusitasi fase awal dan fase lanjut, syok dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
Ebb (fase surut) dan fase Flow (fase alir). Fase Ebb (surut) ditandai dengan “nadi lemah dan
ekstremitas dingin serta lembab”. Selama fase Ebb, terjadi curah jantung rendah (low cardiac output)
dan perfusi jaringan buruk. Pada fase ini terjadi peningkatan kebutuhan natrium dan air sebagai
respons terhadap penurunan volume intravaskular serta disfungsi vasoregulator dan miokardium,
kebutuhan metabolisme meningkat, dan gangguan hantaran oksigen. Gangguan hemodinamis
menyebabkan hipoksia jaringan global, inflamasi, dan gagal napas. Pada fase Ebb, cairan resusitasi
agresif sering diberikan. Fase Ebb terjadi pada 48 jam pertama. 8, 10-12
Fase Flow (fase alir) adalah saat untuk mengakhiri fase Ebb. Untuk menghindari balans cairan
positif, edema jaringan serta disfungsi dan gagal organ, maka pasien harus melewati masa transisi fase
Ebb ke fase Flow yang dapat berlangsung sampai tiga hari. Pada fase ini terjadi peningkatan curah
jantung, perfusi jaringan kembali normal, diuresis, dan penurunan berat badan bertahap. Pada fase
Flow terjadi keseimbangan antara mediator proinflamasi dan antiinflamasi, tidak diperlukan lagi
tunjangan hemodinamis agresif dan terapi cairan, tetapi pasien yang mengalami inflamasi sistemik
persisten akan tetap berada pada fase bocor kapiler, tidak mengalami fase Flow. Fase flow biasanya
terjadi selama 2-7 hari.12
Kebocoran endotel tersebut menyebabkan cairan terakumulasi sehingga terjadi balans cairan
positif, disebut Global Increased Permeability Syndrome (GIPS), yaitu kondisi pasien yang tidak
6
memberi respons terhadap resusitasi cairan, terjadi peningkatan capillary leak index (CLI), tidak
membaik dengan tata laksana CLFM, dan terus berlanjut menjadi gagal multi organ. Capillary leak
index = rasio C-reactive protein (CRP, mg/dL) terhadap albumin (g/liter) x 100. GIPS terjadi pada
fase Third hit, setelah First hit dan Second hit. First hit menggambarkan jejas akut pada berbagai
organ, yang berlanjut pada fase Second hit ketika tubuh mengalami disfungsi multi organ, sedangkan
fase Third hit gambaran utamanya adalah kebocoran endotel global (GIPS).8
Hemodinamik GIPS dapat dipantau dengan melihat indeks bocor kapiler yang tinggi (CLI), cairan
interstisial berlebih dan indeks cairan ekstravaskular paru menetap tinggi (extravascular lung water
index [EVLWI]), late conservative fluid management (LCFM) tidak tercapai, dan berlanjut menjadi
gagal organ. Status GIPS mencerminkan model Third hit setelah jejas akut (First hit) yang berlanjut
menjadi sindrom disfungsi multi-organ (multi-organ dysfunction syndrome−MODS [Second hit]).
Third hit mungkin terjadi pada pasien yang tidak masuk ke fase Flow secara spontan. Bila pasien
berhasil pulih dari respons inflamasi akut maka mikrosirkulasi dan bocor kapiler akan pulih pada hari
ke-3.8
Saat memberikan cairan pada pasien dengan syok sepsis, kita harus memperhitungkan komposisi serta
farmakokinetik dan farmakodinamik dari cairan tersebut. Dalam praktik sehari-hari, kita harus
memperhatikan 4 D dari terapi cairan, meliputi drug (obat), dosis, durasi, dan deekskalasi.2
Drug (obat)
Kita harus mempertimbangkan komponen cairan yang berbeda seperti kristaloid dengan koloid, darah,
serta cairan seimbang. Faktor klinis seperti adanya gagal ginjal, kadar albumin, keseimbangan cairan
juga harus diperhatikan dalam memilih jenis dan jumlah cairan yang akan diberikan. Ada 4 indikasi
pemberian cairan, yaitu resusitasi, rumatan, penggantian, dan nutrisi, atau kombinasi di antaranya.
Pasien syok sepsis sebaiknya diberikan cairan kristaloid ataupun koloid. Pasien dengan tekanan
kapiler rendah atau hipotensi, sebaiknya diberikan cairan kristaloid dibandingkan dengan albumin
atau plasma. Pasien yang memiliki risiko gagal ginjal akut, syok sepsis, maupun luka bakar,
sebaiknya tidak diberikan cairan hipertonis atau hidroksietil starch, pemberian cairan seimbang dapat
mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Pasien dengan hipoalbuminemia dapat diberikan cairan
albumin 5% untuk pilihan cairan resusitasi. Cairan yang mengandung glukosa tidak boleh diberikan
untuk resusitasi.
Cairan rumatan diberikan untuk memenuhi kebutuhan harian pasien atas air, glukosa, dan
elektrolit. Kebutuhan rumatan harian pasien meliputi 25-30ml/kg air, 1 mmol/kg kalium, 1-1,5
mmol/kg natrium, dan 1,4-1,6 g/kg glukosa atau dekstrosa 5 atau 10%. Jenis cairan isotonis ataupun
7
hipertonis yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumatan ini masih terus diperdebatkan. Pada
anak, cairan hipotonis terbukti meningkatkan risiko hiponatremia dan komplikasi neurologis.
Durasi
Semakin cepat diberikan resusitasi cairan, semakin rendah risiko terjadinya kerusakan organ akibat
ischaemia-reperfusion injury. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa late conservative fluid
management adalah yang paling baik.
Dosis
Farmakokinetik dan farmakodinamik juga harus diperhatikan dalam memberikan cairan resusitasi.
Setelah memberikan cairan, kita harus memperhatikan respons tubuh terhadap cairan yang diberikan.
Deekskalasi
Langkah terakhir dari terapi cairan adalah mempertimbangkan untuk mengurangi atau menghentikan
pemberian carian jika target resusitasi telah tercapai. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko
terjadinya lebih cairan > 10%.
KONSEP R.O.S.E.
Model Three-hit syok dapat diperluas menjadi model Four-hit dan bisa ditemukan lima fase dinamis
atau stadium pemberian cairan yang berbeda: Resusitasi, Optimisasi, Stabilisasi, dan Evakuasi
(R.O.S.E.), diikuti oleh risiko terjadinya Hipoperfusi. 5, 8, 13, 14 :
8
Target: MAP > 65 mmHg , CI > 2.5 L/min/m2, PPV < 14%, LVEDAI 8−12 cm/m2, IAP (< 15
mm Hg ) dipantau dan APP (> 55 mmHg ) dihitung. Optimalisasi Preload dengan GEDVI 640—
800 mL/m2
Pasien yang tidak mengalami pergeseran dari fase Ebb ke fase Flow syok setelah Second hit akan
mengalami global increased permeability syndrome (GIPS)
Lebih cairan akan menyebabkan disfungsi end-organ
Keadaan ini memerlukan pembuangan cairan: late goal directed fluid therapy (LGDT)
(deresusitasi) untuk mencapai balans cairan negatif
Hindari membuang cairan berlebih yang dapat menyebabkan hipovolemia
DERESUSITASI
Tata laksana resusitasi cairan EGDT menekankan resusitasi awal. Setelah resusitasi cairan awal
memadai mengatasi syok, kemudian kita harus melakukan restriksi cairan dan menghindari edema
interstitial pada organ vital. Bila lebih cairan, selain restriksi cairan, dapat dilakukan ekskresi lebih
cairan melalui deresusitasi seperti PAL treatment meliputi bantuan ventilasi non invasif (Positive end
expiratory pressure [PEEP]), Albumin, dan Lasix (furosemid). Bantuan ventilasi non invasif dapat
berupa pemberian PEEP tinggi selama 30 menit dapat mengeluarkan cairan dari alveolus paru menuju
rongga abdomen. Pemberian albumin dapat menarik cairan dari interstisial hingga sirkulasi darah
serta pemberian lasix atau furosemid dapat menjaga agar luaran urin tetap > 1 ml/kg/jam.
Keseimbangan cairan positif di rongga ketiga berhubungan dengan gangguan fungsi organ dan luaran
yang buruk. Sebaliknya keseimbangan cairan negatif berhubungan dengan perbaikan harapan hidup
dan peningkatan fungsi paru. Targetnya balans cairan nol atau negatif serendah-rendahnya pada hari
ke-3 dan memertahankan balans cairan kumulatif pada hari ke-7. Diuretik atau terapi sulih ginjal
9
(kombinasi dengan albumin) dipakai untuk mobilisasi cairan pada pasien yang hemodinamisnya stabil
dengan hipertensi intraabdomen dan balans cairan kumulatif positif sesudah melakukan resusitasi
cairan dan telah mengatasi sumber infeksi.14, 15
Anak syok sepsis yang mendapat resusitasi cairan berlebih akan memperburuk kondisi anak dan
mungkin terjadi edema, hipertensi, gagal napas, luka dan paresis saluran cerna lambat pulih.
Persentase lebih cairan (fluid overload percentage/FO%) dihitung dengan rumus berikut ini:
FO% = (jumlah cairan masuk – jumlah cairan keluar [mL])/Berat Badan saat masuk x100%.
Lebih cairan >15% memengaruhi fungsi paru yang dapat diukur dari derajat hipoksemia dan sering
terjadi pada pasien gagal napas akut. Keseimbangan cairan bergeser menjadi positif secara cepat pada
pasien sakit kritis akibat resusitasi cairan dan bocor kapiler. Pasien syok dekompensata memerlukan
cairan resusitasi lebih banyak untuk stabilisasi hemodinamis. 13
Resusitasi cairan terlalu agresif dapat menyebabkan lebih cairan serta gangguan fungsi jantung dan
perfusi jaringan. Beberapa parameter yang digunakan untuk pemantauan hemodinamis dan mampu
respons cairan (fluid responsiveness) yaitu 16-19:
a. Penilaian parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan:
- Tekanan darah arteri rata-rata (Mean arterial pressure/MAP)
- Status mental/ tingkat kesadaran
- Perfusi kulit (pucat, mottling, sianosis)
- Ekstremitas dingin
- Waktu pengisian kapiler
- Luaran urin
- Laktat plasma
- Gas darah: pH, BE, HCO3, pCO2
- Saturasi oksigen
b. Parameter statis
- Central venous pressure (CVP)
- Pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
- RV end-diastolic volume dan LV end-diastolic area (RVEDV dan LVEDV)
- Global end-diastolic volume dan intrathoracic blood volume (GEDV dan ITBV)
c. Parameter dinamis
- Variasi volume sekuncup
- Variasi tekanan nadi
- Variasi tekanan sistole dan diastole
10
- Aortic blood velocity (DVpeak)
- Superior vena cava collapsibility index dan inferior vena cava distensibilty index
- Indeks cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water index/EVLWI)
- Tekanan intraabdomen (intra-abdominal pressure/IAP)
- Ultrasound cardiac output monitor device (USCOM)
d. Modified fluid challenge
- Passive leg raise (PLR) diharapkan dapat mengembalikan hemodinamik cairan sebesar
10%
- Bolus cairan mini (100−200 mL, anak sesuaikan dengan berat badan 5 mL/kgBB)
Meskipun tanda klinis, seperti hipotensi, takikardia, tekanan nadi sempit, perfusi kulit yang buruk,
dan pengisian kapiler yang lambat, dapat membantu untuk mengidentifikasi perfusi yang tidak
memadai, tanda-tanda ini tidak dapat menentukan status volume atau respons cairan. CVP atau
perubahan dalam CVP setelah pemberian cairan tidak lebih akurat dalam memprediksi respons cairan
daripada membalik koin dan harus ditinggalkan untuk tujuan ini. Harus diakui bahwa perubahan
tekanan arteri rata-rata (MAP) setelah bolus cairan kurang dapat memprediksi respons cairan.
Echocardiography memiliki utilitas terbatas untuk menilai status volume dan respons cairan.
Pengukuran transthoracic VTI untuk estimasi SV membutuhkan keahlian yang cukup dan tidak
mudah didapat pada pasien PICU. Selain itu, VTI tidak ideal untuk mendeteksi perubahan cepat pada
SV setelah manuver PLR atau fluid challenge. Saat ini, hanya ada dua teknik yang tersedia secara
luas, praktis, serta mudah dilakukan, yang dapat digunakan untuk menentukan respon cairan dengan
tingkat akurasi yang tinggi, yaitu, manuver PLR dan fluid challenge. Teknik-teknik ini paling baik
digabungkan dengan monitor luaran jantung invasif minimal atau noninvasif, yang dapat melacak
perubahan pada SV secara dinamis dan secara real time. Standar emas untuk menentukan respons
cairan adalah perubahan SV mengikuti fluid challenge. 18
11
RISIKO KELEBIHAN CAIRAN
Tatalaksana pasien dengan syok sepsis dapat menimbulkan kelebihan cairan yang merupakan akibat
dari resusitasi cairan awal dengan tujuan mengembalikan volume intravaskular, meningkatkan
cardiac output, melancarkan aliran oksigen, dan meningkatkan oksigenasi jaringan. Kelebihan air dan
garam juga merupakan akibat dari pemberian cairan yang besar seperti obat-obatan, nutrisi, dan cairan
rumatan. Kebocoran kapiler yang berhubungan dengan sepsis menimbulkan ekstravasasi cairan yang
mengakibatkan hipovolemia sentral yang sering membutuhkan pemberian cairan selanjutnya, yang
disebabkan oleh edema interstisial. Adanya kebocoran kapiler ini menimbulkan edema organ yang
menyebabkan disfungsi organ. Kelebihan cairan harus dihindari pada keadaan ini. 8, 10
SIMPULAN
Pemilihan cairan pada anak sakit kritis harus dilakukan secara cepat, tepat, dan adekuat sesuai dengan
kebutuhan. Selain itu, perlu dilakukan pemantauan hemodinamik untuk menghindari kelebihan cairan
dan komplikasi lainnya. Jenis cairan, lama pemberian, dan deekskalasi cairan harus diperhatikan
untuk menghindari kelebihan cairan. Pemberian cairan dan pemantauan hemodinamik yang baik dapat
memberikan luaran yang lebih baik kepada pasien anak sakit kritis.
12
DAFTAR PUSTAKA
13
17. Cordemans C II, Regenmortel NV, Schoonheydt K, Dits H, Huber W. Fluid
management in critically ill patients: the role of extravascular lung water, abdominal
hypertension, capillary leak, and fluid balance. Annals of Intensive Care. 2012;2:1-12.
18. Marik PE. Fluid Responsiveness and the Six Guiding Principles of Fluid
Resuscitation. Crit Care Med. 2016:1-3.
19. Marik PE, Jean-Louis Teboul. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy.
Annals of Intensive Care. 2011;1(1):1-9.
20. Malbrain M. Why should I bother about the ebb and flow phases of shock? Medical
Fluids. 2013;2(1):15-24.
14
Tata Laksana Syok pada anak
Agnes Praptiwi
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak (ERIA) RSAB Harapan Kita
Objektif
1. Memahami sistem hemodinamik dan penyebab syok pada anak
2. Mengetahui jenis dan tanda klinis syok
3. Mengetahui langkah awal tata laksana syok
4. Mengetahui langkah lanjut tatalaksana syok
Pendahuluan
Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan sistem sirkulasi dan pembuluh darah untuk mencukupi
1
kebutuhan oksigen dan nutrisi di tingkat sel. Oksigen diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme aerob seluler. Kegagalan sirkulasi menyebabkan penurunan hantaran oksigen (DO2) dan
tekanan parsial oksigen di tingkat sel (PO2).2 Kondisi tersebut menyebabkan terbatasnya fosforilasi
oksidatif, sehingga metabolisme bergeser menjadi anaerob. Metabolisme anaerob menyebabkan
penurunan pembentukan adenosine triphosphate (ATP) yang sangat esensial untuk metabolisme
energi.3
Kasus syok pada anak sakit sering dijumpai di unit gawat darurat dan ruang rawat intensif anak.
Angka kematian tertinggi pada anak usia kurang dari 5 tahun. 4 Di negara maju, insiden terbanyak
penyebab syok adalah sepsis, diikuti hipovolemia, distributif, dan kardiogenik. Prognosis syok
bergantung pada pengenalan dan penanganan syok yang cepat dan tepat. 1 Prinsip penanganan syok
didahului dengan triase pediatri. Keterlambatan mengenali syok mengakibatkan syok menjadi
ireversibel. Syok ireversibel ditandai kegagalan multi organ (gagal ginjal, kerusakan otak, iskemia
saluran cerna, gagal hati, gangguan metabolik, koagulasi intravaskular diseminata, acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan gagal jantung.
Sistem Hemodinamik
Secara umum, sistem hemodinamik jantung dipengaruhi oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Preload adalah jumlah darah yang masuk ke ventrikel saat akhir diastolik. Kontraktilitas adalah status
inotropik atau kemampuan pompa jantung yang dikaitkan dengan kecepatan dan peregangan otot
miokardium. Sementara itu, afterload adalah beban/tahanan yang dihadapi ventrikel saat berkontraksi
untuk mengirimkan darah ke sirkulasi arteri. Afterload dipengaruhi oleh resistensi aorta dan pembuluh
darah. Gangguan pada salah satu atau ketiga komponen hemodinamik tersebut menyebabkan
penurunan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung (cardiac output).2
Jumlah darah yang dipompakan keluar jantung setiap kali fase sistolik disebut isi sekuncup
(stroke volume/SV). Curah jantung (cardiac output/CO) adalah jumlah darah yang dipompa jantung
dalam semenit, yang secara matematis sama dengan perkalian antara frekuensi denyut jantung (heart
rate/HR) dan isi sekuncup. Curah jantung dan tahanan vaskular sistemik (systemic vascular
resistance/SVR) menentukan tekanan darah yang memungkinkan darah mengalir ke jaringan dan
perpindahan substrat ke jaringan yang memiliki tekanan lebih rendah.
Pasokan oksigen (delivery oxygen/DO2) adalah kecukupan perfusi jaringan yang ditentukan
oleh kemampuan fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan. DO2 ditentukan oleh 2 variabel
yaitu kandungan oksigen darah arteri/oksigen yang terikat atau terlarut dengan hemoglobin (CaO2) dan
serta curah jantung. CaO2 dipengaruhi oleh kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen arterial (SaO2)
dan kelarutan oksigen dalam plasma (CaO2= {1,34x HbxSaO2 }+ {0,003xPaO2}). Parameter
hemodinamik seperti dijelaskan di atas saling berhubungan (gambar 1).2
DO2
Panah putus – putus = intervensi klinik. Panah tidak putus pengaruh langsung
HR = heart rate; SV = stroke volume, Hb = hemoglobin, SaO2 = arterial oxygen saturation
Tipe Syok
Berdasarkan kegagalan komponen hemodinamik atau organ yang terganggu maka syok dibagi menjadi
4 jenis,1, 5,6 yaitu:
1. Syok hipovolemik: penurunan preload atau volume intravaskular secara absolut misalnya pada
gastroenteritis, diabetes insipidus, heat stroke, perdarahan pada trauma, bedah, dan saluran
cerna, luka bakar, sindrom nefrotik, obstruksi intestinal dan ascites.
2. Syok kardiogenik: penurunan inotropik atau kontraktilitas jantung misalnya pada
kardiomiopati, miokarditis, dan aritmia.
3. Syok distributif: penurunan afterload misalnya pada blok saraf otonom pada anestesia/syok
neurogenik/spinal shock, trauma kepala, anafilaksis oleh antibiotik, vaksin, obat, gigitan
binatang dan syok sepsis awal.
4. Syok obstruktif: hambatan atau obstruksi aliran darah keluar dari jantung, misalnya pada
emboli paru, hemopneumotoraks, kardiomiopati hipertropi, tamponade jantung, tension
pneumotorak.
Syok hipovolemik
Syok hipovolemik adalah tipe syok yang paling sering terjadi pada anak. Syok terjadi akibat kehilangan
cairan yang menyebabkan penurunan preload. Sesuai dengan hukum Starling, penurunan preload
mengakibatkan penurunan isi sekuncup dan selanjutnya terjadi penurunan curah jantung. Baroreseptor
akan merangsang saraf simpatis untuk meningkatkan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk
mempertahankan curah jantung dan tekanan darah.
Kehilangan 5-10% berat badan umumnya masih dapat dikompensasi tubuh. Bila lebih dari 15%
akan terjadi syok. Terdapat 3 stadium syok 1,3 yaitu:
1. Syok Stadium dini atau kompensata
Pada stadium ini kompensasi tubuh masih berfungsi dengan mengaktifkan sistem refleks
simpatis melalui pelepasan katekolamin dan hormon adrenal sehingga terjadi peningkatan
frekuensi denyut jantung dan resistensi vaskuler sistemik. Aliran darah terdistribusi lebih utama
pada organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan
tekanan diastolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik. Aktivasi peningkatan
sekresi vasopresin dan sistem renin angiotensin aldosteron mengakibatkan vasokonstriksi,
resistensi cairan dan pemekatan urin. Gejala klinis stadium dini ditandai oleh takikardi, denyut
nadi perifer lebih lemah dibanding nadi sentral, kulit pucat, mottled, akral dingin, CRT >2
detik, tekanan nadi menyempit, takipnea, dan penurunan kesadaran.
2. Syok stadium dekompensasi
Mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung yang adekuat. Jaringan
tidak lagi mendapatkan oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobik. Metabolisme anaerob menimbulkan penumpukan laktat dan asidosis. Kondisi
tersebut menyebabkan gangguan kontraktilitas otot jantung dan respon terhadap obat
katekolamin. Terjadi juga kerusakan reaksi rantai kinin sehingga timbul agregasi trombosit dan
pembentukan trombus disertai tendensi perdarahan. Pada keadaan lanjut akan terjadi
vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga volume intravaskuler yang
kembali ke jantung (venous return) semakin berkurang disertai timbulnya depresi miokard.
Secara klinis ditandai takikardi bertambah, tekanan darah mulai turun, capillary refill time
memburuk (kulit dingin, mottled, CRT >2 detik), oligouria, asidosis dan depresi susunan saraf
pusat (penurunan kesadaran).
3. Stadium ireversibel
Syok terus berlanjut, sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ
lainnya. Cadangan ATP akan habis, kematian akan terjadi walaupun sirkulasi dapat dipulihkan
kembali. Terjadinya paralisis vasomotor atau hipotensi karena gagalnya kompensasi
vasokonstriksi untuk mempertahankan tekanan darah. Secara klinis ditandai dengan perubahan
status mental, takipneu, dan anuria. Syok ireversibel mempunyai angka kematian yang tinggi.
Syok kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan penurunan curah jantung yang bersifat sekunder terhadap kerusakan
dan/atau disfungsi miokard. Kondisi ini menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium atau
denyut jantung yang abnormal (misalnya profound bradycardia pada pasien dengan complete heart
block atau takikardia pada ventricular tachyarrhytmias atau supraventrikular tachycardia). Penyebab
tersering syok kardiogenik adalah kardiomiopati, infeksi miokarditis, sepsis, penyakit autoimun,
asidosis, prolonged shock dan prolonged takiaritmia. Gangguan perfusi pada syok kardiogenik
menyebabkan gejala yang serupa dengan syok hipovolemik.
Gejala klinis dapat dijumpai adanya tanda bendungan, seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dan pembesaran hati pada kegagalan ventrikel kanan, sedangkan ronki basah halus tidak
nyaring, takipnea, sampai pink frothy sputum dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel kiri. Irama derap
dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel kanan atau kiri. Gejala klinis lainnya adalah nadi perifer lebih
lemah dibandingkan nadi sentral, kulit pucat, mottled, akral dingin, CRT >2 detik, tekanan nadi
menyempit, gangguan jantung yaitu gangguan irama jantung (takikardi supraventrikuler, takikardi
ventrikular, fibrilasi ventrikular, AV blok), hipotensi, diuresis berkurang, serta penurunan kesadaran.
Syok distributif
Pada syok distributif terjadi maldistribusi aliran darah jaringan karena vasodilatasi dan penurunan
resistensi pembuluh darah perifer sistemik.5 Vasodilatasi akan meningkatkan venous capacitance, yang
mengakibatkan hipovolemia relatif dan penurunan preload, walaupun pasien tidak kehilangan cairan
intravaskular. Mekanisme yang terjadi adalah bukan hanya kehilangan cairan intravaskular secara
absolut, tetapi juga melibatkan kerusakan sel endotel, akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler, kebocoran kapiler, dan kehilangan tonus kapiler sehingga cairan masuk kedalam ruang
intersisial. Vasodilatasi menyebabkan kapasitas intravaskular meningkat sehingga terjadi keadaan
hipovolemia relatif (preload berkurang). Penurunan resistensi vaskular sistemik secara mendadak akan
berakibat penumpukan darah dalam pembuluh darah perifer dan penurunan tekanan vena sentral.
Pada syok sepsis, terdapat 2 gambaran klinis 1,7:
1. Gambaran hiperdinamik (warm shock), terjadi saat awal kompensasi tubuh berupa
peningkatan curah jantung dan penurunan SVR. Kondisi ini ditandai hiperpireksia,
hiperventilasi, takikardi, tekanan darah normal atau turun, denyut nadi perifer kuat (pulsus
seler), kulit merah, akral hangat, CRT >2 detik, tekanan nadi menyempit dan penurunan
kesadaran.
2. Gambaran hipodinamik (cold shock), bila berlanjut terjadi penurunan SVR sehingga terjadi
hipotensi dan hipoksia. Cairan intravaskuler berkurang karena peningkatan permeabilitas
kapiler. Secara klinis ditandai denyut nadi perifer lebih lemah dibanding nadi sentral, kulit
pucat, mottled , akral dingin, CRT >2 detik, tekanan nadi menyempit dan penurunan kesadaran.
Syok obstruktif
Syok obstruktif jarang terjadi pada anak. Secara klinis ditandai oleh takikardia, denyut nadi perifer
lebih lemah dibandingkan nadi sentral, kulit pucat, mottled, akaral dingin, CRT >2 detik, tekanan nadi
menyempit, suara napas asimetris dan penurunan kesadaran. Tanda lain adalah peningkatan tekanan
vena jugularis, penurunan suara napas, dan takipnea (pneumotoraks) atau penurunan suara jantung
(tamponade jantung).
Tabel 3. Tanda dan gejala syok hipovolemik, distributif, septik dan kardiogenik
Tingkat kesadaran Dini – normal atau Dini – normal atau Dini – normal atau gelisah
gelisah gelisah Lanjut – gelisah, bingung,
Lanjut – gelisah, Lanjut – gelisah, letargis
bingung, letargis bingung, letargis
Frekuensi napas Takipnea tanpa Takipnea tanpa Takipnea dengan
dan usaha napas peningkatan usaha peningkatan usaha peningkatan usaha napas
napas napas
Suara napas Vesikuler Vesikuler Ronki basah halus tidak
Ronki, kalau disertai nyaring di kedua lapang
pneumonia paru dan/atau mengi
Merintih
Frekuensi nadi Meningkat Meningkat Meningkat
Kualitas nadi Lemah, halus, sulit Dini –bounding pulses Lemah, halus, sulit diraba
diraba Lanjut – lemah, halus,
sulit diraba
Perfusi perifer Dingin, waktu Dini – hangat, waktu Dingin, mottled, waktu
pengisian kapiler pengisian kapiler cepat pengisian kapiler
memanjang Lanjut – dingin, waktu memanjang
pengisian kapiler
memanjang
Temuan klinis lain Tekanan vena jugular
meningkat
Pembesaran hati
Gallop pada auskultasi
jantung
Penyebab syok Volume Vasodilatasi : Penurunan curah jantung:
intravaskular kurang Reaksi anafilaktik Gagal jantung
: Sepsis berat Disfungsi miokard
Perdarahan, trauma, Aritmia
prosedur Sepsis berat
pembedahan, luka
bakar, muntah-
diare, sepsis berat
Berat badan
<10 kg 10-20 kg >20 kg
Sehari 100 ml/kgBB 1000 ml + 50ml/kgBB 1500 mL + 20
setiap >10 kg mL/kgBB setiap >20 kg
Setiap jam 4 ml/kgBB 40 mL/jam + 2mL/kgBB 60mL/jam + 1mL/kgBB
setiap >10 kg setiap >20 kg
Target resusitasi anak syok adalah nadi teraba teratur dan lebih kuat, kualitas nadi sentral
dan perifer sama, CRT <2 detik, tidak ada mottled, tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, akral
hangat, tidak pucat maupun sianosis, dan tekanan darah terukur. Kesadaran anak mulai
membaik. Napas anak mulai teratur (tidak takipnea atau bradipnea), tidak kussmaull.dewi
Pemantauan ketat harus dilakukan selama resusitasi berlangsung. Pemberian cairan resusitasi
yang berlebihan akan menyebabkan meningkatnya cairan interstitial. Kondisi ini akan
mengurangi efektivitas pertukaran gas di tingkat alveolar dan jaringan sehingga terjadi
kerusakan reperfusi. Kelebihan cairan dapat ditandai oleh kongesti paru (ronki yang sebelumnya
tidak ada menjadi ada) dan pembesaran hepar, selain itu juga dapat disertai gangguan koagulasi,
pelepasan mediator inflamasi dan edem jaringan. Pemberian cairan resusitasi dihentikan bila
penambahan volume tidak lagi mengakibatkan perbaikan hemodinamik.
Bila resusitasi awal tidak berhasil, pertimbangkan pemberian obat inotropik yaitu
dopamin 2-10 mcg/kg/menit dan atau dobutamin 5-20 mcg/kg/menit. Dobutamin dosis rendah
dapat memperbaiki perfusi ginjal. Bila hipotensi berlanjut dapat diberikan vasopresor (epinefrin
atau norepinefrin). Epinefrin diberikan bila akral dingin, sedangkan norepinephrine bila akral
hangat (dosis keduanya berkisar 0,05-2 mcg/kg/menit). Pada syok kardiogenik dengan resistensi
vaskular tinggi, dapat dipertimbangkan milrinon yang mempunya efek inotropik dan
vasodilator. Dosis milrinon adalah 50 mcg/kg/bolus dalam 10 menit, kemudian dilanjutkan
dengan 0,25-0,75 mcg/kg/menit (maksimum 1,13mcg/kg/hari). Penggunaan digitalis terbatas
pada syok kardiogenik sebab rasio terapeutik rendah dan risiko lebih tinggi menimbulkan
gangguan asam basa dan kerusakan miokardial. Steroid diberikan pada syok sepsis resisten
katekolamin. 6
Pada syok sepsis segera berikan antibiotik empiris spektrum luas (sefalosporin generasi
tiga) secepatnya dalam 1 jam pertama disertai pengambilan kultur darah. Anak harus
dipuasakan dan dipasang selang nasogastrik . Selang nasogastrik bertujuan mengalirkan cairan
dan mengurangi distensi perut. Penambahan obat proteksi lambung seperti penghambat reseptor
H2 dan proton pump inhibitor perlu dipertimbangkan. Syok yang disertai perdarahan yang aktif,
dapat diberikan transfusi fresh frozen plasma atau kriopresipitat dan trombosit.7 Pertahankan
kadar hemoglobin ≥ 10 gr/dL sehingga cukup untuk mengoptimalkan kapasitas oksigen.
Vitamin dapat diberikan pada anak malnutrisi. Intervensi agresif perlu segera dilakukan pada
syok obstruktif seperti perikardiosentesis pada efusi perikardial, pleurosentesis pada
pneumotoraks, dan trombolisis pada emboli paru
Periksa dan atasi gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi dan asidosis.
Kegagalan tata laksana hipoglikemi dapat menyebabkan gangguan neurologi yang bersifat
permanen. Pemberian sodium bikarbonat diberikan bila ada indikasi hiperkalemia atau pH<7,
namun perlu diawasi karena dapat meningkatkan asidosis intraseluler. Target kadar laktat <2
mmol/L. Pemeriksaan ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal.
Pantau jalan napas, respirasi dan sirkulasi dengan menggunakan monitor EKG kontinu,
pulse oxymetri, dan pastikan tekanan darah terukur setiap 3-5 menit. Bila tersedia, dapat
dilakukan ekokardiografi atau USCOM untuk melihat monitoring disfungsi sistolik dan
diastolik serta curah jantung.2 Pasang kateter urin untuk menilai sirkulasi dengan memantau
produksi urin. Produksi urin lebih dari >1 ml/kgBB/jam dapat dipakai sebagai indikator perfusi
organ yang cukup adekuat. Intervensi agresif perlu segera dilakukan pada syok obstruktif
seperti perikardiosentesis pada efusi perikardial, pleurosentesis pada pneumotoraks, dan
trombolisis pada emboli paru Target kadar laktat <2 mmol/L.
Bila target resusitasi syok tercapai, stop pemberian cairan resusitasi dan lanjutkan ke
cairan rumatan. Dosis vasopresor dapat di pertahankan atau diturunkan. Tatalaksana
selanjutnya adalah membuang cairan yang berlebihan dengan furosemid atau Continuos renal
replacement therapy (CRRT).
Simpulan
Syok terjadi karena tidak tercapainya suplai oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme aerob
jaringan dan sel tubuh. Syok perlu dikenali sejak dini dan ditata laksana dengan tepat. Resusitasi cairan
diberikan secara optimal untuk memastikan perfusi jaringan yang adekuat selain membatasi
peningkatan terjadinya filling pressure untuk mencegah terjadinya edem. Syok yang berlanjut ke
stadium ireversibel mempunyai angka kematian tinggi.
Kepustakaan
1. Komisi Resusitasi pediatrik UKK ERIA IDAI. Kumpulan Materi Pelatihan resusitasi Pediatrik
tahap lanjut. APRC. Jakarta
2. Pudjiadi H.A. Dasar hemodinamik dan tatalaksana syok secara rasional. Dalam: Buku
Pemantauan hemodinamik non invasif pada anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
3. Nadel S, Nisson NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols
DG, penyunting. Roger’s Textbook of Pediatric Intensive Care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins; 2008. h. 372-83
4. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of pediatric shock in the
emergency department. Clin Ped Emerg Med. 2007;8:165-75.
5. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in the pediatric
emergency departmen. Pediatr Emer Care. 2010; 26:622-5.
6. Society of critical care medicine. Pediatric Fundamental Critical Care Support - Diagnosis and
management of shock. 2008.
7. Gupta S, Roback M. Shock. Dalam: Bajaj L, Hambidge SJ, Kerby G, penyunting. Berman’s
Pediatric Decision Making. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders. 2011. h.32-5.
8. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO, dkk. Mortality after
fluid bolus in African children with severe infection. NEJM. 2011;364:2483-95.
9. Sinitsky L, Walls D, Nadel S, Inwald DP. Fluid overload at 48 hours is associated with
respiratory morbidity in a general PICU; retrospective cohort study. Pediatr Crit Care Med.
2015:16:2005-9
10. Pudjiadi A. Tatalaksana renjatan: Berselancar Meniti Buih. A new concept in Pediatric Clinical
Practise. IDAI cabang DKI Jakarta, 2016.
11. Dewi R, Tartila. Tatalaksana cairan dan elektrolit pada anak sakit kritis. Integrated management
of sick children. Simposium Nasional IDAI. 2017
12. Pudjiadi A. Terapi cairan di ruang gawat darurat. Current Evidence in Pediatric Practises. PKB
LXVII. Departemen Kesehatan Anak. FKUI-RSCM, jakarta, 2014
ETIKA MEDIKOLEGAL PATIENT SAFETY
DI ERA BPJS
Pelayanan kedokteran merupakan suatu system yang kompleks dengan sifat hubungan
antara komponen yang ketat (complex and tightly coupled). Sistem yang kompleks
umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi yang membutuhkan
pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan ketajaman penilaian kondisi pasien. Dalam
satu sistem dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak
terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah
terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah
dilakukan dengan tingkat kehati-hatian dan kepedulian yang tinggi.
Setiap layanan kedokteran selalu mengandung risiko buruk terhadap pasien, dokter maupun
rumah sakit itu sendiri yang salah satunya adalah kerugian finansial, apalagi system
pembiayaan pelayanan kesehatan dibiayai oleh asuransi BPJS kesehatan, sehingga harus
dilakukan upaya pencegahan kerugian sebagaimana tersebut di atas dengan membuat
system tata kelola klinis, tata kelola etika untuk efsiensi dan efektifitas dana BPJS.
Pelayanan kedokteran yang profesional tercermin dari sikap, tindak, perilaku dokter yang
memiliki empati dan kepedulian yang tinggi terhadap pasien (duty of care) serta memiliki
kompetensi kognitif dan fisik yang prima yang dapat memberikan jaminan keselamatan
pasien.
Oleh karena itu Dokter dan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan harus
tetap berorientasi pada patient safety. Dokter harus selalu melakukan pengambilan
keputusan profesional secara independent dan mempertahankan prilaku profesional dalam
ukuran yang tertinggi, dokter dan Rumah Sakit tidak boleh menurunkan kualitas pelayanan
karena alasan plafon biaya.
Keselamatan pasien, adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Permenkes No.1691
tahun 2011).
Mengingat masalah keselamatan pasien, khususnya dalam praktek dokter di rumah sakit
merupakan masalah yang harus disikapi segera, maka diperlukan standard keselamatan
pasien yang merupakan acuan bagi setiap dokter dan rumah sakit untuk melaksanakan
kegiatannya.
Pasal 43 (1) Undang undang nomor 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit
“Rumah Sakit wajib menerapkan standard keselamatan pasien”
Pasal 7 (1) Permenkes No. 1691 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
“Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien”.
Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat yang harus diterapkan di semua sarana
layanan kesehatan / rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit, baik
nasional maupun internasional. Maksud sasaran keselamatan pasien adalah untuk
mendorong upaya perbaikan spesifik dalam menangani pasien dan mengantisipasi setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera dari kejadian tidak diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak
cedera dan kejadian potensial cedera
1. Ketepatan identifikasi pasien.
Mengingat semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi
kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu mengidentifikasi pasien merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya
dalam menangani pasien.
2. Komunikasi yang efektif dokter-pasien.
Komunikasi yang efektif, tepat, akurat, lengkap dan jelas harus disampaikan oleh
dokter kepada pasien sampai pasien memahami maksud dan tujuan rencana
tindakan dan atau pengobatan yang ditawarkan kepada dirinya, sehingga pasien baik
dan benar dalam mengambil keputusan. Disisi lain dokterpun memahami betul
harapan pasien dalam memperoleh layanan kesehatan
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high allert medication).
Pengelolaan obat merupakan salah satu yang harus dimanage secara kritis karena
berkaitan secara langsung terhadap rencana pengobatan pasien.
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi.
Komunikasi yang tidak efektif dan yang tidak adekuat antara tim bedah, kurang
/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi dan tidak adanya prosedur
untuk verifikasi lokasi operasi dapat berakibat resiko pada pasien, bahkan bisa
mendatangkan bahaya maut bagi pasien.
5. Pengurangan resiko infeksi.
Pencegahan dan pengandalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan
pelayanan yang memerlukan biaya yang besar untuk mengatasi masalah tersebut.
6. Pengurangan resiko pasien jatuh.
Rumah sakit harus mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi resiko cedera bila pasien jatuh melalui evaluasi riwayat pasien terjatuh,
obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol atau alat bantu berjalan yang digunakan
oleh pasien.
Rumusan norma dan penerapan nyata etika kedokteran kepada seorang pasien atau klien
atau komunitas / masyarakat dalam segala bentuk fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan
akan menjadi penuntun prilaku sehari-hari setiap dokter sebagai pembawa nilai-nilai luhur
profesi, pengalaman etika kedokteran yang dilandaskan pada moralitas kemanusiaan akan
menjadi tempat kebenaran serba baik dari penyandangnya. Oleh karena itu para dokter
sudah selayaknya harus menjadi model panutan bagi masyarakatnya. Dokter seyogyanya
harus memiliki sifat dasariah kemanusiaan, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran
budi, kerendahan hati, kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial serta
kesejawatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan sikap tindak prilaku dokter harus
bersandar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang diimplementasikan menurut
kaedah dasar moral
1. Medical indication
Semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan
pasien dan mengobatinya berdasarkan pertimbangan benefiet dan non maleficence
2. Patient preferences
Memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya, yang berarti erminan kaedah otonomi meliputi kompetensi pasien,
siikap folunter dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak mkompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut
pasien.
3. Quality of life
Yaitu memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani
4. Contextual feature, yaitu aspek non medis yang mempengaruhi keputusan seperti
factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, kemudian alokasi sumber
daya.
JKN merupakan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial ) kesehatan berdasarkan sistem jaminan sosial yang diatur di
dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004 yang bertujuan agar semua penduduk Indonesia
terlindungi dalam sistem asuransi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu dan terjangkau sehingga upaya pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang dasar dapat terealisasi.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan jaminan penanggulangan resiko dalam
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS merupakan program
pemerintah yang positif, di sisi lain program pemerintah ini sedikitnya akan berpengaruh
pada sistem pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter, yaitu :
1. Akan terjadi lonjakan jumlah kunjungan pasien yang berobat ke sarana kesehatan baik
pemerintah maupun swasta.
2. Kondisi fisik dokter akan berpengaruh pada kinerja, misalnya seorang dokter yang
biasanya dalam satu hari menangani 20 pasien, dengan lonjakan jumlah kunjungan bisa
menangani sampai 100 pasien dalam satu hari. Hal ini akan sangat berpengaruh pada
kompetensif fisk dan kognitif dokter. Dokter akan mengalami kelelahan fisik yang akan
mengganggu alur berfikir dan bekerja, luang waktu dokter untuk berkomunikasi secara
efektif dengan pasien sangat terbatas sehingga ketepatan dokter dalam membuat
hipotesis, diagnosa kerja, diagnosa dapat menjadi kurang optimal. Hal ini tentu
berakibat menimbulkan resiko bagi pasien.
3. Dapat terjadi over plafon biaya pada kasus-kasus tertentu.
4. Pemahaman masyarakat yang masih kurang terhadap program BPJS, misalnya biaya
pengobatan di sarana kesehatan adalah gratis sehingga dokter dan rumah sakit dituntut
memberikan pelayanan kesehatan sesuai kehendak pasien.
Di sisi lain, rumah sakit harus membuat suatu system tata kelola klinik dan tata kelola etik
yang baik yang menjamin asuhan pasien lebih aman (patient safety), menerapkan system
INA-CBGs sebagai solusi pembiayaan Program JKN, pengelolaan data klaim rumah sakit
untuk penetapan Clinical Pathwa, membentuk tim Kendali Mutu & Kendali Biaya melalui
pengelolaan dana BPJS secara efisien dan efektif serta membentuk tim pertimbangan klinis,
sehingga kasus-kasus tertentu, dilema etik yang diprediksi over plafon dapat diselesaikan
dengan tanpa mengurangi kualitas pelayanan dan juga tidak mengurangi hak-hak pasien.
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang
hati-hati memberikan hak kepada korban untuk selain penggantian biaya-biaya
penyembuhannya, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat
tersebut
1. Budi Sampurna, Tjetjep DS, Zulhasmar Syamsu: Bioetik Dan Hukum Kedokteran.
2. Alexandra Ide, SH, M.Hum, Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan
3. RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Panduan Pelaksanaan Etik dan Hukum,
Edisi III tahun 2014
4. Qomariyah Sachrowardi, Ferryal Babeth, Bio Etik Issue dan Dilema, Pensil 324
Jakarta 2011
5. Prof. Dr. dr. Daldiyono, Menuju Seni Ilmu Kedokteran. Bagaimana Dokter Berpikir
dan Berkerja, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2006
6. Robert M. Veatch, Medical Ethics Second Edition
7. Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktek
Kedokteran
8. Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit
9. Permenkes RI, Nomor 1691 Tahun 2011, Tentang Keselamatan Pasien
10. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran – Pusat Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik
Kedokteran Indonesia Tahun 2012
1 PENDAHULUAN
2 REGULASI
3 20.708
MEKANISME RUJUKAN
19.969
18.437
4 TANTANGAN & HARAPAN
2
2
Agenda
1 20.708
PENDAHULUAN
19.969
18.437
3
3
PERMASALAHAN RUJUKAN
Antrian yang menumpuk pada Rumah Sakit akibat menjadi tumpuan rujukan pada
sebuah daerah
Belum ada sistem informasi yang dapat mengatur pelaksanaan rujukan secara
online dan real time
4
TUJUAN
PESERTA
Membantu peserta mendapatkan pelayanan dengan kompetensi
yang dibutuhkan dengan jarak yang terjangkau
5
KEMUDAHAN DAN KEPASTIAN
(BAGI PESERTA)
Mudah Pasti
• Peserta mendapatkan rujukan ke • Peserta mendapatkan pelayanan
FKRTL yang terdekat jaraknya. pada FKRTL penerima rujukan
• Peserta mengantri pendaftaran yang sesuai dengan kompetensi
di FKRTL lebih cepat karena data dan sarpras yang dibutuhkan
sudah terkoneksi secara online • Peserta mendapatkan pelayanan
• Peserta tetap dapat dilayani di pada FKRTL penerima rujukan
FKRTL meskipun surat rujukan sesuai dengan hari dan jam
hilang praktek yang telah ditetapkan.
• Peserta terhindar dari potensi
penumpukan antrian.
TUJUAN
FASILITAS KESEHATAN
Memberikan rujukan secara real time dan online dengan data pada
faskes perujuk yang langsung terkoneksi ke faskes penerima
rujukan (Digital Documentation)
7
KEMUDAHAN DAN KEPASTIAN
(BAGI FASKES)
Mudah Pasti
• FKTP memiliki informasi • FKTP mendapat kepastian
yang lengkap dan update ketersediaan tujuan rujukan
saat akan memilih tujuan sesuai kebutuhan medis
rujukan. peserta.
• FKRTL mudah melakukan • FKRTL mendapat kepastian
entry data pendaftaran. atas status keaslian rujukan.
• FKRTL mudah mengelola • FKRTL mendapat kepastian
jadwal praktek dokter. kapasitas maksimal peserta
dilayani.
MENGAPA SISTEM RUJUKAN?
20.708
19.969
18.437
11
11
LANDASAN HUKUM:
12
12
BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
MELALUI INTEGRASI SISTEM INFOMASI
(RUJUKAN ONLINE)
Regulasi Rujukan dalam Permenkes 01/2012
1. Pasal 2 ayat 4 dan 5 : Pelayanan kesehatan tingkat kedua
merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang
Dibutuhkan
dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis Harmonisasi
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga UU Nomor 44 Tahun 2009 dan
merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang Permenkes 56 Tahun 2014
dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub belum jelas mengatur jenjang
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi RS Primer, Sekunder dan
kesehatan sub spesialistik Tersier sehingga tidak ada
2. Pasal 4 ayat 1 – 3 : kejelasan kewenangan dari
1) Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, masing2 kelas RS.
sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
pertama.
Ujicoba
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat Implementasi
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
kedua atau tingkat pertama.
Rujukan Online
13
13
PERPRES 72/2012 BAB V
14
14
3 • MEKANISME RUJUKAN
15
15
Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan (Permenkes No
1 Th 2012)
RUJUKAN
16
MAPPING
17
17
RUJUKAN BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
DENGAN INTEGRASI SISTEM INFORMASI
18
RUJUKAN BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
DENGAN INTEGRASI SISTEM INFORMASI
19
RUJUKAN BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
DENGAN INTEGRASI SISTEM INFORMASI
FASKES TK.I
Input dalam aplikasi
Terdapat daftar Faskes Tk II yang dapat dipilih sesuai
eligibilitas di Faskes Tk I
dengan kriteria yang ditentukan
sesuai kriteria
kebutuhan kompetensi
SDM dan
SDsarana/prasarana
Dokter umum melakukan
pemeriksaan dan
memberikan penilaian
kebutuhan rujukan
pasien
Informasi tampilan:
1. Nama faskes penerima rujukan dengan kelas
ketetapan Kemenkes
Kasus yang 2. Jumlah rujukan yang ditujukan pada faskes tsb
dikecualikan: (dalam pengembangan)
(dalam pengembangan) 3. Kapasitas pelayanan di faskes (dengan
• Thalassemia pertimbangan jumlah ketersediaan dokter per
• Hemofilia poli) (dalam pengembangan)
• Kanker 4. Jadwal praktek poli
Pemetaan Fasilitas 5. Keterangan jarak faskes tujuan rujukan
• HD
Kesehatan
mempertimbangkan
• Jantung
*dengan kriteria
kebutuhan faskes tertentu FASKES TK.III
pada daerah FASKES TK.II
perbatasan Pada aplikasi
eligibilitas di
Faskes Tk II dapat
dilakukan rujukan
Horizontal/Vertikal
SISTEM RUJUKAN ONLINE
Rujuk Balik
Surat Rujuk balik
Kartu JKN-KIS / Kartu Digital Mobile JKN
Resep Obat PRB
Rujukan Antar RS
Aplikasi Vclaim
Kontak Pertama
Aplikasi P-Care
Surat Rujukan / Kartu JKN-KIS /
Data Peserta diinput ke dalam Aplikasi Pcare Kartu Digital Mobile JKN
Surat Rujukan dapat dicetak Bukti Identitas Tambahan
Key : Edukasi Peserta JKN-KIS
terhadap tindak lanjut perawatan Masuk rawat inap
Pulang dan butuh kontrol ulang
20.708
4 19.969
TANTANGAN DAN HARAPAN
18.437
22
22
Tantangan dalam sistem
rujukan menuju UHC
Masih terdapat multi tafsir terhadap regulasi terkait sistem rujukan
23
DUKUNGAN DALAM SISTEM RUJUKAN
MENUJU UHC
24
24
DISKUSI
20.708
19.969
25
25
Terima Kasih
www.bpjs-kesehatan.go.id
26
PITFALL DEMAM PADA ANAK
Djatnika Setiabudi
KSM/Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Dr.Hasan Sadikin – FK Unpad Bandung
Pendahuluan
Demam merupakan salah satu keluhan yang paling sering menyebabkan anak dibawa
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, baik di poliklinik dan unit gawat darurat suatu rumah
sakit, maupun di tempat praktek swasta. Hampir sekitar sepertiga atau 19 – 30% penderita anak
yang berobat ke rumah sakit datang dengan keluhan demam1,2, sedangkan keluhan yang sama
ke unit gawat darurat sekitar 20%.3 Jumlah kunjungan yang besar ini disebabkan karena pada
umumnya orangtua merasa takut bila anaknya menderita demam dengan segala kemungkinan
akibatnya (Fever phobia), terutama kejang dan kerusakan otak bila demam berkepanjangan. 4
Menurut beberapa laporan, anak yang sering dibawa dengan keluhan demam adalah anak usia
di bawah 5 tahun, paling sering di bawah 3 tahun.
Demam sesungguhnya adalah merupakan reaksi fisiologis tubuh terhadap suatu rangsang
tertentu berupa infeksi (paling sering), maupun non infeksi (penyakit auto-imun, keganasan
atau trauma) yang dengan mekanisme tertentu menyebabkan peningkatan set point pengaturan
suhu tubuh di hipotalamus.5,6 Peningkatan suhu tubuh ini dapat memberikan beberapa
keuntungan untuk pejamu, khususnya dalam melawan infeksi. Demam dapat menghambat
pertumbuhan dan reproduksi bakteri atau replikasi virus, meningkatkan reaksi atau respons
imun berupa peningkatan produksi neutrofil dan proliferasi limfosit T, serta membantu dalam
reaksi fase akut.7
Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanya merupakan gejala dari penyakit
atau kondisi tertentu, sehingga pengobatan terbaik adalah ditujukan terhadap penyebab demam
itu sendiri. Penetapan diagnosis sebagai penyebab demam menjadi sesuatu yang sangat
penting. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik
yang sistimatis dan lengkap, serta pemeriksaan penunjang yang tepat. Sekitar 5 – 20% dari
anak yang mengalami demam tidak memiliki sumber infeksi yang jelas (fever wthout source /
FWS) meskipun sudah melalui penelusuran anamnesis dan dilakukan pemeriksaan fisik. 2,8
Penyebab FWS ini sangat bervariasi mulai dari infeksi virus yang akan sembuh sendiri sampai
kepada keadaan yang berat dapat mengancam jiwa berupa serious bacterial infection (SBI).9
1
Pemberian obat penurun demam (antipiretik), seyogyanya ditujukan untuk memberi rasa
nyaman pada anak, dan tidak semata-mata untuk mengembalikan suhu tubuh menjadi normal.
Dalam pemberian antipiretk ini ada beberapa hal yang dianggap kurang tepat, baik dilakukan
oleh orangtua maupun oleh tenaga kesehatan yang mengobati pasien anak.4,10
Pitfall atau jebakan adalah suatu tindakan yang dianggap kurang tepat, dan bila dilakukan
akan menimbulkan kerugian atau suatu keadaan yang lebih buruk. Pada makalah ini akan
dibahas mengenai beberapa tindakan yang dianggap kurang tepat dalam tatalaksana demam
pada anak, yaitu cara pengukuran suhu tubuh, pendekatan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksan penunjang laboratoris), dan pengobatan simtomatik demam.
Definisi Demam
Definisi demam yang dikemukakan sangat beragam. Seperti diketahui bahwa
pengukuran suhu tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia, aktivitas fisik, variasi
diurnal (suhu nadir paling rendah pada pagi hari saat bangun tidur dan puncak paling tinggi
pada sore hari), juga bergantung pada cara dan tempat pengukuran suhu itu sendiri.
Pada umumnya dikatakan demam bila suhu tubuh lebih dari suhu normal sesuai suhu
siklus harian. Untuk kepentingan praktik klinis dan penelitian sering digunakan definisi demam
adalah bila suhu tubuh inti (core temperature) bila Suhu > 38°C.11 Sebagai panduan definisi
demam yang sering dipakai sebagai berikut:
Tabel 1. Definisi demam berdasarkan tempat pengukuran
Tempat pengukuran Definisi demam
- rektal Suhu > 38°C ( 100,4°F)
- membran timpani Suhu > 38°C ( 100,4°F)
- oral Suhu > 37,8°C (100°F)
- aksilar Suhu > 37,5°C (99,5°F)
2
Pengukuran suhu aksila lebih mudah dibandingkan dengan pengukuran suhu rektal atau oral,
tetapi hasilnya kurang akurat untuk menggambarkan suhu tubuh inti. Pada neonatus
pengukuran suhu aksila relatif tidak jauh berbeda dengan suhu rektal yaitu lebih rendah 0.25
°C–0.5 °C,12,13 sementara pada anak yang lebih besar perbedaannya mencapai 0.5 °C–0.92
°C.14 Untuk kepentingan praktik klinis suhu aksila dikatakan abnormal bila > 37.5 °C.15
Pedoman atau rekomendasi mengenai tempat pengukuran dan termometer yang
digunakan sangat beragam. Pada umumnya pemilihan tersebut berdasar kepada usia, keamanan
dan kenyamanan bagi anak. Cara pengukuran juga bergantung pada sifat kooperatif dari anak.
Pedoman yang dikeuarkan oleh The National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
merekomendasikan pengukuran suhu tubuh pada aksila, pada bayi usia < 4 minggu
menggunanakan electronic thermometer elektronik (digital) dan pada anak yang lebih besar
menggunakan chemical dot thermometers atau thermometer elektronik.16. American Academy
of Pediatrics (AAP) menganjurkan pemakaian termometer rektal untuk anak usia < 4 tahun
dan termometer oral pada anak usia lebih besar. 17
Pendekatan diagnosis
a. Berdasarkan usia anak
Spektrum penyebab FWS sangat luas, mulai dari infeksi virus yang dapat sembuh
sendiri sampai kepada keadaan yang berat dapat mengancam jiwa (SBI). Penyakit berat ini
dapat berupa meningitis, pneumonia (occult pneumonia), bakteremia (occult bacteriemia)
dan sepsis, infeksi saluran kemih /ISK (dan urosepsis). Penyebab demam dan frekwensi
kejadian SBI pada anak dengan FWS bergantung kepada usia, sehingga pada pendekatan
diagnosis biasanya dibagi menjadi:
1. Usia neonatus yaitu 0 – 28 hari
2. Usia 1 – 3 bulan (28 – 90 hari)
3. Usia 3 bulan – 3 tahun
4. Usia di atas 3 tahun
Angka kejadian SBI pada FWS lebih tinggi pada usia bayi atau anak yang lebih muda,
khususnya pada usia 0 – 3 bulan, sehingga untuk kelompok usia ini dibuat panduan
tatalaksana khusus. Dasar dari tatalaksana tersebut selain memperhatikan usia juga dengan
menetapkan apakah anak tampak toksik atau tidak. Pada anak dengan FWS yang tampak
baik-baik saja kemungkinan mendapat SBI sebesar 3%, anak yang tampak sakit (un well)
sekitar 26%, sedangkan anak yang toksik memiliki kemungkinan SBI sebesar 92%. Dengan
demikian apabila bayi neonatus dengan FWS tidak segera dirawat merupakan salah satu
3
pitfall dalam tatalaksana demam pada anak. Demikian pula bila tidak segera merawat bayi
usia 1 – 3 bulan dengan FWS risiko tinggi untuk SBI. Untuk lebih jelas tatalaksana FWS
pada anak usia bayi < 3 bulan dan tatalaksana anak demam lebih dari 3 bulan dapat dilihat
pada tabel 2 dan 3.
4
Pada awalnya batasan waktu lebih dari 3 minggu (21 hari), kemudian menjadi 2 minggu dan
sekarang yang dipakai adalah > 1 minggu.19,20
Anak tampak kurang baik tetapi Boleh rawat jalan, tetapi Periksa urinalisis:
kesadarannya masih baik pemeriksaan penunjang Bila anak laki-laki usia
(interaktif dan resposif) selain urinalisis perlu < 12 bulan dan
diprtimbangkan (konsultasi perempuan < 2 tahun
dengan ahli)
Seringkali ada perbedaan penentuan lama demam (menghitung hari) antara orangtua
atau pengasuh anak dan pemeriksa, sedangkan hal ini penting untuk memperkirakan fase
perjalanan penyakit. Sebagai contoh pada penyakit infeksi virus dengue, apakah masuk fase
demam (febrile phase), fase kritis atau fase pemulihan yang berhubungan dengan
manifestasi klinis dan perubahan hematologis, termasuk pemeriksaan penunjang diagnostik.
Untuk menjembatani perbedaan menghitung lama demam tersebut sebaiknya dipakai
5
patokan waktu dalam jam, sudah berapa jam lama demam tersebut apakah 24 jam, 48 jam
dan seterusnya. Begitu pula lama demam ini penting untuk menentukan pola demam seperti
pada penyakit malaria, apakah demam timbul setiap hari ke-3 atau setiap 3 hari (hari ke-4)
6
c. Pemeriksaan fisik
Hal penting pada pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum/derajat beratnya penyakit: apakah anak tampak “toksik” atau tidak.
Keadaan yang disebut toksik apabila anak memperlihatkan tanda-tanda seperti letargis
(anak tidak dapat berinteraksi dengan orang atau keadaan di sekelilingnya dan kontak
mata yang menurun), gelisah atau tidak dapat ditenangkan,tampak pucat atau kebiruan,
takikardia, takipnoea, perfusi jaringan perifer yang buruk (menurun).
2. Tanda-tanda infeksi (kelainan) lokal pada telinga, hidung dan tenggorokan, tanda
rangsang meningeal, tanda-tanda kerja nafas tambahan (work of breathing), kelainan
pada jantung, kelainan pada abdomen, kelainan pada sendi tertentu.
3. Pemeriksaan fisik lain yang ditemukan: hepatomegali, splenomegali, limfadenopati,
dan ruam pada kulit
7
minggu kemudian untuk melihat kenaikan titer antibodi. Beberapa pemeriksaan yang sering
menjadi pitfall antara lain:
1. Pemeriksaan antigen NS1 dengue yang dilakukan setelah hari ke-5, sebaliknya
pemeriksaan serologis IgM dan IgG dengue dilakukan pada awal penyakit sebelum hari
ke-5 (lihat gambar 3)
2. Pemeriksaan uji serologis Widal dilakukan pada demam sebelum hari ke-5 atau 7.
Apabila dilakukan pada awal penyakit harus diulang kembali 7 hari kemudian untuk
melihat kenaikan titer antibodi aglutinin. Begitu pula pemeriksaan IgM anti Salmonella
typhi dilakukan pada awal penyakit (lihat gambar 4)
3. Pemeriksaan miroskopis pada penyakit malaria untuk melihat plasmodium (apus darah
tebal dan tipis) harus dilakukan pada saat demam sedang tinggi. Pemeriksaan ini
sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selama periode demam, yang penting bila
hasilnya negatif harus diulang setelah 4 – 6 jam kemudian.
8
Tabel 4. Rekomendasi Dosis Parasetamol dalam Berbagai Sediaan serta Keuntungan dan
Kerugiannya
Oral Rectal Intravena
Kekurangan Bisa merangsang ter-jadinya Absorbsi lebih lambat, dan Indikasi terbatas, ter-
muntah, nyeri perut. Makanan lebih bervariasi di- utama untuk anagetik
yang mengandung karbohidrat bandingkan per oral intraoperatif atau post-
tinggi dapat mengurangi absorbsi operatif (bukan untuk
dan tentu saja efeknya berkurang antipretik)
Sumber: El-Radhy, dkk.22
9
Pemberian kombinasi antara parasetamol dan ibuprofen atau pemberian selang seling
(alternating) antara kedua obat tersebut banyak dipakai pada praktek sehari-hari. Meskipun
hasil beberapa penelitian menunjukkan ada kelebihan cara tersebut dalam menurunkan suhu
tubuh (baik kecepatan penurunan suhu tubuh maupun besarnya penurunan suhu tubuh),
namun demi keamanan pasien sebaiknya diberikan monoterapi saja. Hal ini karena mungkin
terjadi kebingungan orang tua atau pemberi obat terhadap jadwal pemberian sehingga terjadi
kesalahan yang menimbulkan kelebihan dosis dengan segala akibatnya. 31
Upaya untuk menurunkan suhu tubuh secara fisik telah dilakukan sejak dahulu kala
sampai sekarang, meskipun seringkali tidak didukung oleh bukti ilmiah yang memadai.
Pada umumnya pengobatan secara fisik meliputi melakukan kompres (sponging) dengan
menggunakan alkohol, air dingin atau es, atau air hangat kuku (tepid sponging), serta
mengharuskan istirahat di tempat tidur (bed rest). Saat ini banyak pedoman yang sudah tidak
menganjurkan atau bahkan melarang penggunaan kompres karena justeru akan menggangu
kenyamanan dan menimbulkan efek yang merugikan.10
1. Kompres alkohol: menggunakan baik ethyl alcohol 70% atau isopropyl alcohol 70%
sudah tidak dianjurkan lagi. Alkohol yang digunakan dapat terinhalasi oleh penderita
(terutama anak) dan dapat mengakibatkan hipoglikemia bahkan penurunan kesadaran
(koma).
2. Kompres air dingin atau es: tindakan ini dapat mengakibatkan efek yang sebenarnya
bertentangan dengan proses fisiologis dalam pengaturan set point di hipotalamus,
sehingga menyebabkan keadaan menggigil yang justeru akan meningkatkan suhu
tubuh. Kompres dingin juga menyebabkan vasokonstriksi, sehingga terjadi peningkatan
suhu tubuh. Tindakan ini kadang-kadang juga menyebabkan atau menambah rasa tidak
nyaman bagi anak. Oleh karena berbagai alasan tersebut, tindakan ini juga tidak
dianjurkan.
3. Kompres air hangat: menggunakan air dengan temperatur tertentu (hangat kuku) yang
dianggap lebih baik untuk menurunkan suhu tubuh secara fisiologis. Menurut penelitian
Thomas dkk. bahwa tindakan kompres hangat ini tidak mempunyai efek yang lebih
menguntungkan dibandingkan dengan hanya pemberian antipiretik saja, bahkan
mengakibatkan anak menjadi lebih tidak nyaman.32
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Crocetti M, Moghbeli N, Serwint J. Fever phobia revisited: have parental misconceptions
about fever changed in 20 years. Pediatrics. 2001;107:1241–6.
2. Finkeistein JA. Christiansen CL, Platt R. Fever in pediatric primary care: occurrence,
management, and outcomes. Pediatrics. 2000;105(1):260–6.
3. Alpern ER, Henretig FM. Fever. Dalam : Fleisher GR, Ludwig S, Henretig FM (editor).
Textbook of Pediatric Emergency Medicine. Edisi ke-5, Philadelphia PA: Lippincott
Williams & Wilkins. 2006; hlm 295–306.
4. Barbi E, Marzuillo P, Neri E, Naviglio S , Baruch S. Krauss BS. Fever in Children: Pearls
and Pitfalls. Children 2017, 4, 81; doi:10.3390
5. Adam HM. Fever and host responses. Pediatr Rev. 1996;17(9):330–1.
6. Kluger MJ. Fever: role of pyrogens and cryogens. Physiol Rev. 1991;71(1):93–127
7. Roberts NJ. Impact of temperature elevation on immunologic defenses. Rev Infect Dis.
1991;13(3):462–72.
8. Baraff LJ. Management of fever without source in infants and children. Ann Emerg Med.
2000;36(6):602–14.
9. Brook I. Unexplained fever in young children: how to manage severe bacterial infection.
BMJ. 2003;327:1094–7.
10. Green R, Jeena P, Wells M. Management of acute fever in children: Guideline for
community healthcare providers and pharmacists. S Afr Med J. 2013;103(12):948–54.
11. Nield, LS, Kamat, DF. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics; Kliegman, RM., Stanton,
BF, St Geme JWI, Schor, NF., Eds.; Elsevier: Philadelphia, PA, USA, 2015; hlm. 1277–
9.
12. Charafeddine L, Tamim H, Hassouna H, Akel R, Nabulsi,M. Axillary and rectal
thermometry in the newborn: Do they agree? BMC Res. Notes 2014, 7, 584.
13. Smith J, Alcock G, Usher K. Temperature measurement in the preterm and term neonate:
A review of the literature. Neonatal Netw. 2013; 32:16–25.
14. Craig JV, Lancaster GA, Williamson, PR, Smyth RL. Temperature measured at the axilla
compared with rectum in children and young people: Systematic review. BMJ 2000, 320,
1174–8.
15. Batra P, Goyal S. Comparison of rectal, axillary, tympanic, and temporal artery
thermometry in the pediatric emergency room. Pediatr. Emerg. Care. 2013; 29: 63–6.
11
16. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Feverish Illness in
Children: Assessment and Initial Management in Children Younger than 5 Years; National
Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health: London, UK, 2013.
17. American Academy of Pediatrics. Fever and Your Child; American Academy of
Pediatrics: Elk Grove Village, IL, USA, 2012.
18. Elhassanien AF, Abdel-Aziz H, Alghaiaty, Alrefaee F. Fever without source in infants and
young children: dilemma in diagnosis and management. Risk Management and Healthcare
Policy. 2013;6:7–12.
19. Antoon JW, Potisek NM, Lohr JA. Pediatric fever of unknown origin. Ped
rev.2015;36:380–90.
20. Antoon JW, Peritz DC, Parsons MR, Skinner AC, Lohr JA. Etiology and resource use of
fever of unknown origin in hospitalized children. Hosp Ped.2018;8(3):135–40.
21. World Health Organization.Dengue:guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control.New wdition.Geneva: WHO.2009.
22. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Walsh A. Management of Fever (Antipyretics). Dalam:
El-Radhi AS, Carroll J, Klein N (editor). Edisi-1. Verlag Berlin Heidelberg:Springer.
2009;hlm 223–50.
23. Goldman RD, Ko K, Linett LJ, Scolnik D. Antipyretic efficacy and safety of ibuprofen
and acetaminophen in children. Ann Pharmacother. 2004;38:146–50.
24. Perrott DA, Piira T, Goodenough B, Cham-pion D. Efficacy and safety of acetamino-phen
vs ibuprofen for treating children’s pain or fever: a meta-analysis. Arch Pediatr Adolesc
Med. 2004;158(6):521–6.
25. Kanabar DA practical approach to the Treatment of low-risk childhood fever. Drugs R D
2014;14:45–55.
26. Berezin SH, Bostwick HE, Halata MS, Feerick J, Newman LJ, Medow MS.
Gastrointestinal bleeding in children following ingestion of low dose ibuprofen. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2007;44(4):506–8.
27. Lesko SM, Mitchell AA. Renal function after short-term ibuprofen use in infants and
children. Pediatrics. 1997;100(6):954–7.
28. Moghal NE, Hegde S, Eastham KM. Ibuprofen and acute renal failure in a toddler. Arch
Dis Child. 2004;89(3):276–7.
29. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue hemorrhagic fever. Revised and expanded edition.New Delhi: WHO
Regional Office of South-East Asia.2011.
12
30. Sullivan JE, Farrar HC, the section on clinical pharmacology and therapeutics, and
committee on drugs. Clinical Report—Fever and antipyretic use in children. Pediatrics.
2011;127:580–7.
31. Wong T, Stang AS, Ganshorn H, Hartling L, Maconochie IK, Thomsen AM, et al.
Combined and alternating paracetamol and ibuprofen therapy for febrile children. Evid
Based Child Health.2014;9(3):675–729.
32. Thomas S, Vijaykumar C, Naik R, Moses P, Antonisamy B. Comparative effectiveness of
tepid sponging and antipyretic drug versus only antipyretic drug in the management of
fever among children: a randomized controlled trial. Indian Pediatr. 2009;46:133–6.
13
DENGUE UPDATE
Dewi Murniati
Pendahuluan
Infeksi dengue merupakan a mosquito-borne viral infection, ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus, yaitu nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia1 dan menimbulkan
gejala mirip flu serta dapat berkembang dengan komplikasi lethal dengue berat. Terdapat 4 serotipe
virus dengue (DENV) yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Dalam dekade terakhir insiden global
dengue tumbuh secara dramatis, sekitar setengah populasi dunia berisiko terinfeksi terutama di daerah
Asia tenggara.2 Dengue berat menjadi penyebab utama penyakit berat dan kematian diantara anak-
anak di Negara Asia dan Amerika Latin.1 Mengapa beberapa individu berkembang menjadi bentuk
dengue berat sedangkan yang lain hanya ringan atau asimtomatik masih sulit dipahami, kerentanan
menjadi dengue berat adalah suatu fenomena poligenik dan dipengaruhi oleh interaksi antara gen dan
gen lingkungan ( serotipe virus, status imunitas dan faktor lainnya).3
Tidak ada pengobatan spesifik untuk dengue tetapi deteksi dini dan akses untuk perawatan memadai
dapat menurunkan angka kematian dibawah 1%. Pengendalian dan pencegahan dengue tergantung
pada pengendalian vektor yang efektif. Vaksin dengue telah mendapat persetujuan oleh institusi Negara
berwenang di berbagai Negara endemis untuk digunakan pada usia 9 – 45 tahun.1
Dalam masa 50 tahun terakhir, insiden dengue di seluruh dunia telah meningkat 30 kali. Diperkirakan
3.9 milyar penduduk di 128 negara berisiko terinfeksi virus dengue. Dilaporkan 500 000 kasus dengan
dengue berat memerlukan rawat inap setiap tahunnya dan sekitar 2.5% diantaranya meninggal,
terutama anak-anak.1 Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara mengalami epidemi dengue berat . Saat ini
telah menjadi endemis di lebih 100 negara dalam regional WHO di Afrika, America, Timur tengah, Asia
tenggara dan Pasifik barat. Regional Amerika, Asia tenggara dan Pasifik barat merupakan daerah yang
paling banyak terserang. Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue di dunia antara tahun
2004 dan 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan kasus DBD terbesar
diantara 30 negara wilayah endemis.1,4 Case Fatality Rate (CFR) cenderung menurun dari tahun ke
tahun, sebagai semakin baiknya pengenalan dini dan penanganan kasus yang memadai. Penurunan
angka kematian dari 10%-15% (40% dibeberapa negara) pada awal tahun 1950, saat ini menjadi kurang
dari 0,5% di rumah sakit rujukan di Asia Tenggara didukung oleh pelatihan pada petugas medis yang
lebih baik.5
Di Indonesia
CFR yang tinggi 41.3% (tahun 1968) telah menurun menjadi 0.89% (tahun 2009), dan 0,75% (tahun
2017) hal ini disebabkan penerapan protokol dan panduan lokal tata laksana dengue di Indonesia cukup
baik, penatalaksanaan kasus disarana kesehatan memadai, dan meningkatnya pemahaman masyarakat
tentang demam berdarah dengue (DBD), sehingga segera membawa penderita berobat.5,6,7 Jumlah
kasus DBD (tahun 2016) paling banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan
Timur. Terdapat tujuh provinsi (Bali, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimatan Utara,
Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Selatan) tergolong rawan dengan Incidence Rate (IR) DBD yang tinggi
yaitu IR di atas seratus atau rawan terjadi kasus DBD. Keseluruhan Indonesia dengan IR(78.0) yang
terbilang tinggi.8 Rerata umur kasus DBD di Jakarta pada periode 1979-1984 adalah 4-11 tahun.9 Data
Departemen Kesehatan setelah tahun 1984 menunjukkan insidens kelompok umur lebih dari 15 tahun
meningkat dari tahun ke tahun. Kelompok umur yang terserang dengue berubah menjadi kelompok
remaja dan dewasa.10 Di beberapa Negara Asia insidens kasus DBD juga mengalami pergeseran ke
kelompok umur remaja.5
Urutan dominasi serotipe dengue yang beredar juga mengalami perubahan, hal ini terlihat dari survei
isolasi virus dengue di Indonesia sejak tahun 1972 sampai 1992 menunjukkan keempat serotipe dengue
ditemukan, DENV-3 dan DENV-2 merupakan serotipe yang dominan, diikuti DENV-1 dan DENV-4.
Kemudian isolasi virus dengue dengan RT-PCR pada tahun 2004, DENV-3 masih merupakan serotipe
yang paling dominan (57%), diikuti DENV-4 (20,7%), DENV-2(13%) dan DENV-1(5,6%), sedangkan infeksi
virus dengue ganda DENV-3 dan DENV-1 ditemukan sejumlah 3,7%.11 Tingginya endemisitas di indonesia
dapat terlihat dari pengamatan hasil tes serologi infeksi dengue di Departemen Ilmu kesehatan Anak
RSCM-FKUI Jakarta pada tahun 2007 sampai 2009 yang menunjukkan mayoritas kasus DD (43.75%-
85.29%) dan DBD (80%-92.62%) mengalami infeksi dengue sekunder.11 Demikian pula penelitian
seroprevalen dengue tahun 2014 pada anak Indonesia di 30 daerah urban menunjukkan lebih dari 80%
anak usia 10 tahun atau lebih pernah mengalami sedikitnya satu kali terinfeksi dengue,12 hal tersebut
menunjukkan transmisi intensif yang berhubungan dengan episode klinis lebih berat. Proporsi tertinggi
seroprevalen dengue yaitu terhadap DENV-2, disusul oleh DENV-1, DENV-3, dan terendah DENV-4.13
Patogenesis
Infeksi dengue pada manusia akan menstimuli respon imun yang menyebabkan berbagai variasi
ekspresi klinis dari asimtomatik sampai dengue berat. Respon imun dipengaruhi oleh keragaman faktor
pada virus dengue dan manusia (inang). Saat infeksi invasi mikroorganisme (fase aferen) akan diikuti
oleh respon inang (fase eferen). Infeksi dengue adalah unik karena kejadian pra-infeksi dapat
mengontrol fenomena aferen.14
Faktor pada virus dengue antara lain perbedaan sifat virulensinya, karakter serotipe virus dengue yang
bisa berbeda, stimulasi respon imun berbeda dan fenomena viral toxicosis pada infeksi sekunder
heterolog .1,14,15
Perjalanan penyakit infeksi dengue dapat melalui 3 fase yaitu fase demam, kritis dan pemulihan.
Fase demam (2-7 hari) Fase kritis (24-48 jam) Fase pemulihan (2-4 hari)
Demam mendadak, tinggi Suhu normal atau subnormal Resolusi kebocoran plasma dan
perdarahan
sakit kepala, anoreksia, mual dan Warning signs Stabilisasi tanda vital
muntah, nyeri diseluruh tubuh,
mialgia, artralgia
nyeri mata retro-orbital, fotofobia, Variasi tingkat kebocoran plasma ke Reabsorbsi akumulasi cairan,
sakit menelan, injeksi faring, dan rongga pleura dan rongga termasuk kebocoran plasma dan
injeksi konjungtiva abdominal pemberian cairan intra vascular
facial flushing, eritema kulit, Variasi tingkat perdarahan diuresis kembali normal
eksantema rubeliform
Perdarahan ringan, hepatomegali Risiko terjadinya syok dan kematian Nafsu makan meningkat dan sense
of wellbeing
Tes tourniquet (TT) positif, lekopeni, Lekopeni progresif diikuti oleh Lekosit, Ht dan trombosit kembali
tes antigen NS1 positif trombositopenia biasanya normal, tes serologi IgM dan IgG
mendahului kebocoran plasma dengue positif
peningkatan Ht 10 sampai >20%
Warning signs:
Tidak ada perbaikan klinis saat suhu reda, menolak makan minum, muntah berulang, letargi,
perubahan perilaku, postural hipotensi, pucat, ekstremitas dingin, nyeri perut hebat, akumulasi cairan,
perdarahan mukosa (epitaksis, bab hitam, hematemesis, menoragia, urin coklat), diuresis menurun
dalam 4-6 jam, hepatomegali >2 cm, peningkatan progresif Ht bersamaan dengan penurunan cepat
trombosit.2,22
2 Fase kritis Kebocoran plasma, perdarahan atau syok yang tidak diketahui, perdarahan
intrakranial, gangguan metabolik (hipoglikemi, hiponatremi, hipokalsemi, asidosis
metabolik), koagulopati , perdarahan berat, gangguan fungsi organ, prolonged
shock
3 Fase pemulihan Hipervolemia ( jika terapi resusitasi cairan intravena berlebihan dan atau
diperpanjang pada fase ini ), edema paru akut
Klasifikasi diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2009 dapat dipergunakan terutama dalam
mewaspadai kasus dengue dengan warning signs dan kasus dengue berat. Adapun klasifikasi diagnosis
infeksi dengue menurut WHO SEARO 2011 yang merupakan revisi dan perluasan klasifikasi WHO 1997
lebih cocok dengan keadaan di Indonesia. Jadi kedua klasifikasi tersebut dapat dipergunakan dengan
tujuan saling melengkapi kekurangan masing-masing.23
Undifferentiated fever, umumnya terjadi pada infeksi dengue primer berupa: demam, sulit dibedakan
dari infeksi lainnya, ruam makulopapular, menyertai demam atau saat demam menghilang, gejala
pernapasan dan gastrointestinal
DD, umumnya pada anak lebih besar, remaja dan dewasa, ditandai: demam akut, mendadak tinggi ( 39-
40o C) , menggigil, sering kali bifasik, sakit kepala, flushed face, kelemahan umum, sakit tenggorok,
anoreksia, nyeri belakang mata, fotofobia, mialgia, arthralgia, nyeri tulang (break-bone fever), kolik,
nyeri perut, konstipasi, depresi, ruam kulit kemerahan merata atau bercak setempat di muka, leher dan
dada ( sakit hari 2-3) atau makulopapular/ rubelliformis (sakit hari 3-4), petekie, tourniquet test (TT)
positif, jarang disertai perdarahan berat. Fase penyembuhan dapat disertai bradikardi, munculnya ruam
konvalesen didaerah kaki dan tangan yang disertai rasa gatal. Leukopenia, neutropenia,
trombositopenia (100.000-150.000 sel/mm3), peningkatan ringan hematokrit (10%), peningkatan AST (
konsumsi analgesik, antipiretik, antiemetik). Antibiotik dapat mempengaruhi fungsi hati dan pembekuan
darah.
DBD/ SSD, umumnya terjadi pada infeksi dengue sekunder, jarang terjadi pada infeksi primer, ditandai
dengan kebocoran plasma, berkurangnya volume plasma dan syok. Fase demam menyerupai DD,
diakhir fase demam dapat berkembang syok hipovolemik karena kebocoran plasma, hepatomegali, nyeri
epigastrium, gangguan sirkulasi darah, diatesa hemoragik: TT positif, petekie dan perdarahan lain.
Hemostasis abnormal dan kebocoran plasma yang selektif pada rongga pleura dan abdomen, menjadi
penanda patofisiologi utama dan untuk membedakannya dengan DD atau demam hemoragik virus lain.
Pada akhir fase demam terjadi lekopeni (≤5000 sel/mm3) dan netropeni, rasio neutrofil terhadap
limfosit (neutrofil < limfosit) berguna untuk memprediksi fase kritis kebocoran plasma, disusul
trombositopenia (<100.000 sel/mm3) dan peningkatan hematokrit (Ht) atau hemokonsentrasi akibat
kebocoran plasma. Dapat terlihat limfositosis relatif serta peningkatan limfosit atipikal (terlihat sampai
fase konvalesen, juga pada DD), LED normal membantu membedakan dengue dari infeksi bakteri dan
syok septik, selama periode syok LED <10 mm / jam. Perjalanan penyakit dapat berlangsung :
-ringan : gejala klinis mereda setelah demam menghilang. Gangguan sirkulasi ringan dan sementara
sebagai akibat kebocoran plasma yang ringan. Penyembuhan terjadi spontan atau setelah terapi cairan
dan elektrolit.
-sedang sampai berat: kondisi memburuk (warning sign) saat akhir fase demam, saat suhu turun
ditemukan kegagalan sirkulasi. Pada syok kompensasi tekanan darah sistolik normal, diastolik
meningkat sehingga tekanan nadi menyempit, tahikardi, tahipnu ringan, ekstremitas dingin, capillary
refill time (CRT) > 2 detik dan volume nadi melemah. Bila syok kompensasi tidak mendapat terapi, maka
tahikardi dan takipnu semakin meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik dapat menghilang tiba-
tiba, kondisi ini disebut syok dekompensasi atau syok hipotensif. Pada syok dalam (profound shock) nadi
dan tekanan darah sudah tak terukur . Sebagian besar kasus masih tetap sadar walaupun mendekati
stadium terminal. Syok bersifat reversible jika terapi volume replacement (cairan) diberikan secara
adekuat, tanpa terapi kasus dapat meninggal dalam 12-24 jam. Syok lama (prolonged shock) dan tidak
terkoreksi menyebabkan komplikasi asidosis metabolik, gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalemi,
hipokalsemia), kegagalan multi organ dan perdarahan berat dari berbagai organ sehingga memiliki
prognosis buruk dan risiko kematian meningkat. Juga ditemukan gangguan metabolik dan hematologis
lain seperti hipoalbumin, hipoglikemi, nitrogen urea darah meningkat, peningkatan kadar aspartat
aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) serum yang berhubungan dengan spektrum
klinis semakin tinggi kadar AST dan ALT serum, semakin berat derajat sakitnya.. Demikian pula terjadi
penurunan kadar fibrinogen, prothrombin, faktor VIII, faktor XII, antitrombin III, serta prothrombin yang
tergantung pada vitamin K menurun, seperti faktor V, VII, IX dan X, pemanjangan waktu tromboplastin
parsial, waktu protrombin dan waktu trombin serta albuminuria ringan. 2,24
Manifestasi yang tidak biasa dari keterlibatan organ yang berat terkait dengan infeksi dengue telah
semakin banyak dilaporkan, yang berhubungan dengan koinfeksi, komorbiditas atau komplikasi syok
berkepanjangan. 2nd Edition of Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever
Gastrointestinal/ Hepatitis/fulminant hepatic failure, Aculculous cholecystitis, cholangitis, Pankreatitis akut, Hiperplasia
hepatik plaque Payeri, Parotitis akut
Ginjal Gagal ginjal akut, Hemolytic uremic syndrome, acute tubular necrosis.
Respirasi Sindrom distres respirasi akut, Perdarahan paru, Edema paru, Efusi pleura
Mata Macular haemorrhage, Gangguan visual acuity, Neuritis optikus, perdarahan konyungtiva
Lain-lain Sub acute thyroiditis, Hemophagocytic syndrome, Thyrotoxicosis, Vasculitic skin lesions, Pancreatitis with
hemothorax, Thromboembolic events, Post-infectious fatique syndrome, Depresi, Halusinasi, Psikosis,
Alopesia
Beberapa kondisi ko-morbid yang berhubungan dengan dengue berat antara lain usia bayi, obesitas,
lansia, kehamilan, ulkus peptikum, menstruasi, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan, penyakit
kronis seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan steroid, atau NSAID.23
Pemeriksaan penunjang
Parameter hematologi seperti pemeriksaan hemoglobin (Hb), Ht, lekosit, trombosit dapat menjadi
panduan untuk mendiagnosis infeksi dengue maupun menilai perubahan fase, keparahan penyakit serta
keberhasilan terapi . Selain itu diperlukan pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, Ca, gula darah atau
fungsi organ ( ginjal dan hati) dalam memantau adanya komplikasi yang memperburuk kondisi klinis.
Untuk menegakkan diagnosis konfirmasi diperlukan 1). deteksi antigen virus dengue yaitu isolasi virus,
reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) yang dapat memberikan hasil positif sampai
hari sakit keenam dan tes antigen NS-1 dengue banyak digunakan dalam pelayanan pasien, sensitivitas
tinggi pada demam hari pertama dan kedua. 2). Uji serologis : haemaglutination inhibition test ( uji HI),
complemen fixation test (CFT), neutralization test, pemeriksaan serologi IgM dan IgG antibodi dengue
(menilai infeksi primer atau sekunder). Pemeriksaan radiologi dada kadang diperlukan untuk menilai
adanya efusi pleura, sebaiknya dengan posisi lateral dekubitus kanan sedangkan pemeriksaan
ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai adanya asites dan penebalan atau edema dinding
kandung empedu.26
Diagnosis
Demam akut dengan dua atau lebih berikut ini: sakit kepala, nyeri retro-orbital, myalgia, arthralgia /
nyeri tulang, ruam, manifestasi hemoragik, lekopeni (≤5000 sel/mm3), trombositopeni (<150.000
sel/mm3). Meningkatnya Ht (5-10%) dan sekurang-kurangnya satu dari berikut: uji HI pada sampel serum
tunggal dengan titer ≥1280, titer IgG sebanding dengan enzyme-linked immunosorbent assay, atau tes
antibodi IgM positif.
Dengue konfirmasi:
Apabila tersangka infeksi dengue disertai hasil positif salah satu berikut ini: Isolasi virus dengue, RT-PCR,
deteksi virus atau antigen dengue secara immunohistochemistry, atau immunofluorescence atau
enzyme-linked immunosorbent assay, tes antigen NS-1 dengue, peningkatan empat kali lipat atau lebih
besar dalam serum IgG (uji HI), peningkatan antibodi IgM spesifik untuk virus dengue.
Differential diagnosis : chikungunya virus, zika virus, campak, rubella, Epstein-Barr virus (EBV),
enteroviruses; influenza, hepatitis A, hantavirus, meningokokus, leptospirosis, demam tifoid,
melioidosis, rickettsia, scarlet fever, malaria.2
Tatalaksana
Langkah pertama: a) menilai riwayat sakit seperti kapan awitan sakit/demam, jumlah masukan makan
dan minum per oral, buang air kemih (frekuensi, jumlah, kapan terakhir), diare, adanya warning signs,
perubahan status mental, kejang, riwayat keluarga/tetangga sakit dengue, faktor risiko (bayi, kehamilan,
obesitas, diabetes mellitus, hipertensi), wisata jungle trekking dan swimming in waterfalls (leptospirosis,
typhus, malaria). b) menilai pemeriksaan fisik : status mental, hidrasi, hemodinamik, takipnu, nafas
Kussmaul, efusi pleura, asites, hepatomegaly, ruam kulit, manifestasi perdarahan. c) pemeriksaan
penunjang: darah tepi, tes konfirmasi dengue, pemeriksaan lainnya untuk dugaan adanya komplikasi
atau gangguan fungsi organ.
Langkah ketiga: notifikasi penyakit dan penetapan tatalaksana, apakah tersangka infeksi dengue atau
dengue konfirmasi, apakah berobat jalan, dirawat inap, memerlukan rawat intensif, dirujuk ke rumah
sakit lain. 22
Tersangka infeksi dengue: adanya warning signs memerlukan rawat inap untuk pemantauan klinis dan
laboratorium apakah klinis DBD, DSS atau EDS (keterlibatan organ, komplikasi, ko-morbiditas, ko-
infeksi). Bila tidak ditemukan warning signs tetapi terdapat ko-morbiditas atau indikasi sosial, maka
memerlukan rawat inap, sedangkan bila tidak terdapat ko-morbiditas atau indikasi sosial dapat berobat
jalan dengan pemantauan warning signs ( keluarga diinformasikan tentang warning signs), bila ada
untuk segera kembali dan dinilai perlu rawat inap atau tidak.
DBD tanpa syok: istirahat, penggantian cairan, monitor ketat tanda syok hipovolemik. Pilihan cairan
intravena yaitu kristaloid isotonik ringer laktat atau ringer asetat, bayi <6 bulan menggunakan cairan
NaCl 0,45%. Lama pemberian cairan diberikan terutama saat fase kritis 24-48 jam.
SSD : perlu penilaian apakah syok kompensasi atau syok dekompensasi/hipotensi. Pada syok
kompensasi segera resusitasi dengan cairan kristaloid bolus intravena 10-20 ml/kgBB dalam waktu 10-20
menit bersama O2 2-4 l/menit. Bila syok teratasi lanjutkan terapi cairan 1-2 jam sampai tanda vital
stabil, kemudian cairan intravena diturunkan secara bertahap dan dihentikan dalam waktu maksimal
48 jam. Sedangkan bila syok tidak teratasi segera lakukan pemeriksaan analisis gas darah, Ht, kadar Cad
an gula darah untuk menilai asidosis, bleeding, calcium, blood sugar (A-B-C-S), dan segera dikoreksi
bersamaan resusitasi cairan. Jika Ht masih tinggi lakukan bolus kedua cairan kristaloid atau koloid
(dextran 40, gelatin atau hydroxyl ethyl starch (HES)) 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit, bila masih
belum teratasi berikan koloid 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit, jika masih menetap dianjurkan
transfusi darah. Bila mana Ht turun tetapi masih syok kemungkinan adanya perdarahan , segera berikan
transfusi darah atau koloid 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit. Umumnya syok hipovolemik dengue
dapat teratasi dalam waktu 40-60 menit, bila syok lebih dari 60 menit perlu penilaian kemungkinan
terjadi KID dan perdarahan saluran cerna yang sulit diatasi. Syok berkepanjangan, profound shock,
perdarahan saluran cerna dan ensefalopati dengue memerlukan perawatan di ruang intensif.
EDS: pada edema paru bila tanda vital stabil dan fungsi ginjal baik dapat diberikan furosemide 0,5 mg
intravena 2 x sehari. Bila terjadi ensefalopati dengue maka bebaskan jalan nafas, pertahankan
oksigenisasi, mencegah tekanan intrakranial meninggi (pemberian diamox atau kortikosteroid),
mencegah hipoglikemia (gula darah >60 mg%), menurunkan produksi ammonia (neomisin 50
mg/kgBB/hari, maksimal 1 g/hari dan laktulosa 5-10 ml, 3-4 kali/hari), pemberian vitamin K (3-10 mg, 3
kali/hari, koreksi asidosis dan gangguan elektrolit, cairan menjadi 4/5 kebutuhan dan mencegah infeksi
sekunder.Perlunya mengatasi adanya ko-infeksi yang dapat memperparah EDS.26
Upaya pencegahan
Pencegahan infeksi dengue saat ini paling efektif dengan pengendalian vektor (nyamuk) dan imunisasi.
Vaksin dengue pertama Dengvaxia® (CYD-TDV) yang dikembangkan oleh Sanofi Pasteur dan telah
mendapat lisensi pada Desember 2015, yaitu vaksin tetravalen, rekombinan, hidup dan dilemahkan.
Saat ini telah disetujui oleh pihak berwenang di 20 negara untuk digunakan di daerah endemik pada
orang yang berusia antara 9-45 tahun. Pada April 2016, WHO mengeluarkan rekomendasi bersyarat
yaitu negara harus mempertimbangkan pengenalan vaksin dengue CYD-TDV hanya pada daerah dengan
data epidemiologi yang menunjukkan beban penyakit dengue tinggi atau sangat endemik sebagaimana
didefinisikan dengan seroprevalensi 70% atau lebih tinggi. Pada bulan November 2017, hasil analisis
tambahan menunjukkan bahwa peserta penelitian yang seronegatif pada saat vaksinasi pertama
memiliki risiko lebih tinggi mengalami dengue berat dan memerlukan rawat inap karena dengue
dibandingkan dengan peserta yang tidak divaksinasi.1
Di Indonesia, Dengvaxia telah mendapatkan izin edar dari BPOM per 31 Agustus 2016. Penggunaannya
ditujukan untuk pencegahan demam berdarah di daerah endemik akibat infeksi DENV-1, DENV-2,DENV-
3, DENV-4 pada usia 9-16 tahun. Pada Juni 2018 Badan POM RI memutuskan bahwa vaksin Dengvaxia
dapat digunakan untuk mengurangi risiko kejadian dan keparahan demam berdarah dengue pada anak
usia 9 – 16 tahun yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi virus dengue (seropositif) tetapi tidak boleh
digunakan pada individu yang belum pernah terinfeksi virus dengue (seronegatif). Sampai saat ini belum
ada laporan efek samping vaksin Dengvaxia yang diterima Badan POM.28 Jadwal imunisasi vaksin
Dengue dapat diberikan pada anak usia 9-16 tahun sebanyak 3 kali dengan jarak pemberian 6 bulan. 29
Simpulan
Memahami fase perjalanan penyakit infeksi dengue sangat penting dalam menetapkan tatalaksana yang
sesuai dan memadai. Demikian pula perhatian pada warning signs dapat membantu deteksi dini adanya
kebocoran plasma, perdarahan maupun gangguan fungsi organ sehingga tatalaksana yang diberikan
sesuai dan mencegah perburukan penyakit lebih lanjut. Terapi cairan pengganti volume plasma yang
dini, adekuat dan tepat dapat menyelamatkan penderita dari kondisi yang lebih berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO 2018. Dengue and severe dengue. Dapat diakses di: http://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/dengue-and-severe-dengue.
2. WHO SEARO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic
Fever. Revised and expended. 2nd ed. Geneva WHO, 2011.
3. Alagarasu K. Genetics of susceptibility to severe dengue virus infections: an update and implications for
prophylaxis, prognosis and therapeutics. Dengue Bulletin 2016;39: p 1-18.
4. Khoiri A, CNN Indonesia. Indonesia Peringkat Dua Negara Endemis Demam Berdarah . Dapat di akses
di:https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160616170332-255-138672/indonesia-peringkat-dua-
negara-endemis-demam-berdarah.
5. Sapir DG, Schimmer B. Dengue fever: new paradigms for changing epidemiology. Emerging themes in
Epidemiology 2005;2:1-10.
6. Soedarto. Demam Berdarah Dengue-Dengue Hemorrhagic Fever , Sagung Seto , Jakarta 2012. Dapat
diakses di:https://www.researchgate.net/publication/235327950_Demam_Berdarah_ Dengue-
Dengue_Haemorrhagic_Fever.
7. Kementerian Kesehatan RI 2018. Data dan informasi DAN INFORMASI. Profil Kesehatan Indonesia 2017.
Dapat diakses di: http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/ download /pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/ Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2017.pdf.
8. Labola Y.A. Daerah Rawan Kasus Demam Berdarah di Indonesia. Dapat diunduh di:
https://www.researchgate.net/publication/322714675.
9. Sumarmo. Dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health
1987;18:269-74.
10. Suwandono A, Kosasih H, Nurhayati,Kusriastuti R, Harun S, Ma’roef C, dkk. Four dengue virus serotypes
found circulating during an outbreak of dengue fever and dengue haemorrhagic fever in Jakarta,
Indonesia, during 2004. Trans R Soc Trop Med Hyg 2006;100:855-62.
11. Karyanti M.R, Hadinegoro S.R. Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Sari
Pediatri 2009;10(6):424-32.
12. Prayitno A, Taurel A.F, Nealon J, Satari H.I, Karyanti M.R, Sekartini S, Soedjatmiko S, Gunardi H, Medise
B.E, Sasmono R.T, Simmerman J.M, Bouckenooghe A, Hadinegoro S.R. Dengue seroprevalence and force
of primary infection in a representative population of urban dwelling Indonesian children. PLOS Neglected
Tropical Diseases June 15, 2017:1-16.
13. Sasmono R.T, Taurel A.F, Prayitno A, Sitompul H, Yohan B, Hayati R.F, Bouckenooghe A, Sri Rezeki
Hadinegoro S.R., Nealon J. Dengue virus serotype distribution based on serological evidence in pediatric
urban population in Indonesia. PLOS Neglected Tropical Diseases June 28, 2018;12(6): 1-11.
14. Halstead S.B. Pathogenesis of Dengue: Dawn of a New Era [version 1; referees: 3 approved].
F1000Research 2015, 4(F1000 Faculty Rev):1353.p 1-8 Last updated: 15 Feb 2016.
15. Marbawati D. Virus Dengue. Balaba,ed.003;2006:21-22.
16. Jayathilaka D, Gomes L, Jeewandara C, Jayarathna G.S.B, Herath D, Perera P.A, Fernando S, Wijewickrama
A, Hardman C.S, Ogg G.S, Malavige G.N. Role of NS1 antibodies in the pathogenesis of acute dengue
infection . Dapat diakses di: http://dx.doi.org/10.1101/348342.
17. Suharti C. Dengue hemorrhagic fever in Indonesia: The role of cytokines in plasma leakage, coagulation
and fibrinolysis. Dapat di akses di: https://repository.ubn.ru.nl/handle/2066/146791.
18. Suharti C, van Gorp EC, Setiati TE, Dolmans WM, Djokomoeljanto RJ, Hack CE, ten CH, van der Meer JW.
The role of cytokines in activation of coagulation and fibrinolysis in dengue shock syndrome. Thromb
Haemost. 2002 Jan;87(1):42-6.
19. Van Gorp EC1, Setiati TE, Mairuhu AT, Suharti C, Cate Ht Ht, Dolmans WM, Van Der Meer JW, Hack CE,
Brandjes DP. Impaired fibrinolysis in the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. J Med Virol.
2002;67(4):549-54.
20. Suharti C, van Gorp EC, Dolmans WM, Setiati TE, Hack CE, Djokomoeljanto R, van der Meer JW. Cytokine
patterns during dengue shock syndrome. Eur Cytokine Netw. 2003;14(3):172-7.
21. Tadkalkara N, Gantia K, Ghoshb K, Basu A. Pathogenesis of dengue associated haematological dysfunction.
Dengue Bulletin 2016;39:32-40.
22. WHO/TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva. WHO 2012.
23. Hadinegoro S.R.S. New Dengue Case Classification. Dalam Update Management of Infectious Diseases and
Gastrointestinal Disorders. Buku Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM . ed.1. Jakarta 2012:16-26.
24. Darajat A, Sekarwana N, Setiabudi D. Hubungan Kadar Aspartat Aminotransferase (AST) dan Alanin
Aminotransferase (ALT) Serum dengan Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue pada Anak. Sari Pediatri 2008;
9(5):359-62.
25. Gulati S, Maheswari A. Atypical manifestations of dengue. Trop Med Int Health 2007;12:1087-95.;
Agarwal1 A, Singh P , Agarwal A and Tiwari G. Expanded Dengue Syndrome - A Lesson Learnt.
International Journal of TROPICAL DISEASE & Health 2017;28(4): 1-8.
26. Hadinegoro S.R.S. Dengue virus. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis. edisi keempat. Badan penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta 2018:189-205.
27. Clinical practice guidelines of dengue/dengue hemorrhagic fever management for Asian economic
community. 2nd edition. WHO Collaborating Center for case management of dengue /DHF/DSS, Queen
Sirikit National Institute of Child Health (Children’s Hospital) Bangkok 2014.
28. Badan POM RI. Penjelasan Badan POM RI terkait isu keamanan vaksin Dengue (Demam berdarah). Buletin
Berita Meso Badan POM RI 2018;36(1):4.
29. Fadhila S.R. Sekilas tentang Vaksin Dengue. Dapat di akses di: http://www.idai.or.id/artikel/klinik
/imunisasi/sekilas-tentang-vaksin-dengue.
PENATALAKSANAAN DIARE TERKINI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses tidak berbentuk (unformed stools)
atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2
minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan
pada diare kronik. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas,
tenesmus, demam, dan tanda-tanda dehidrasi. Diare masih menjadi penyebab kematian utama
pada anak-anak di dunia yang ditunjukkan sekitar lebih dari 1.400 anak-anak meninggal setiap
harinya dan sekitar dua juta anak meninggal setiap tahunnya, yang mana dari 9% presentase
kejadian diare pada tahun 2015, semua kematian dialami pada anak di bawah usia 5 tahun di
seluruh dunia.
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit
potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Studi Mortalitas dan
Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama
kematian balita di Indonesia. Kejadian diare dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
dengan sabun merupakan cara efektif untuk ²³ˡmencegah penyakit diare dan ISPA (Kemenkes RI.
2014). Faktor lingkungan seperti kepemilikan jamban sehat terbukti efektif untuk memutus mata
8
rantai penularan penyakit .
3
Pada tahun 2016 terjadi 3 kali KLB diare yang tersebar di 3 provinsi, 3 kabupaten, dengan
jumlah penderita 198 orang dan kematian 6 orang (CFR 3,04%). Insidensi diare nasional hasil
Survei Morbiditas Diare tahun 2014 yaitu sebesar 270/1.000 penduduk. Insiden diare pada balita
di Indonesia 6,7% Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua
(9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%), sedangkan di
Kalimantan barat (4,4%). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare dengan prevalence diare 9,2% dan 12,2% pada
kelompok umur 1-4 tahun (Riskesdas, 2013). Data lain menunjukkan berdasarkan WHO tahun
2015 diare merupakan penyakit yang menjadi perhatian khusus dari target Sustainable
7
Development Goals (SDGs) .
Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah
maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang
cepat dan tepat. Komplikasi utama dari diare adalah dehidrasi dan gangguan fungsi
kardiovaskuler akibat hipovolemia berat. Kejang dapat terjadi dengan adanya demam tinggi,
teutama pada infeksi Shigella. Abses intestin dapat terjadi pada infeksi Shigella dan Salmonella,
terutama pada demam tifoid, yang dapat memicu terjadinya perforasi usus, suatu komplikasi
yang dapat mengancam jiwa. Muntah hebat akibat diare dapat menyebabkan ruptur esofagus atau
aspirasi. Kematian akibat diare mencerminkan adanya masalah gangguan homeostatis cairan dan
vaskular, serta syok. Diperkirakan 10% pasien yang menderita akan menjadi penyebar bakteri
Salmonella typhi. Selama 3 bulan, dan 4% akan menjadi karier kronik. Risiko menjadi karier
kronik pada anak cukup rendah. Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang
4
mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik
9
dengan morbiditas dan mortalitas minimal .
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
biasanya lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan atau tanpa demam, atau muntah. Namun,
perubahan konsistensi tinja dengan konsistensi tinja sebelumnya lebih menunjukkan jumlah diare
3
dibanding tinja khususnya pada awal terindikasi .
Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare
2.2. EPIDEMIOLOGI
Diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan tidak saja di negara sedang
berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Walaupun di negara maju sudah mendapatkan
pelayanan kesehatan yang tinggi dan sosial ekonomi yang baik tetapi penyakit diare tetap sesuatu
penyakit yang mempunyai angka kesakitan yang tinggi yang biasanya disebabkan oleh
foodborne infection dan waterborn infection yang disebabkan karena bakteri Shigella sp,
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit
potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Studi Mortalitas dan
Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama
kematian balita di Indonesia. Kejadian diare dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
pendidikan dan keadaan sosial ekonomi (Widoyono. 2008). Faktor perilaku masyarakat seperti
6
mencuci tangan dengan sabun merupakan cara efektif untuk mencegah penyakit diare dan ISPA
(Kemenkes RI. 2014). Faktor lingkungan seperti kepemilikan jamban sehat terbukti efektif untuk
Pada tahun 2016 terjadi 3 kali KLB diare yang tersebar di 3 provinsi, 3 kabupaten, dengan
jumlah penderita 198 orang dan kematian 6 orang (CFR 3,04%). Insidensi diare nasional hasil
Survei Morbiditas Diare tahun 2014 yaitu sebesar 270/1.000 penduduk. Insiden diare pada balita
di Indonesia 6,7% Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua
(9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%), sedangkan di
Kalimantan barat (4,4%). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare dengan prevalence diare 9,2% dan 12,2% pada
kelompok umur 1-4 tahun (Riskesdas, 2013). Data lain menunjukkan berdasarkan WHO (2015)
diare merupakan penyakit yang menjadi perhatian khusus dari target Sustainable Development
Goals.
7
5
2.3. ETIOLOGI
Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme atau toksin melalui
mulut. Kuman tersebut dapat melalui air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran
manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan penderita yang telah
terkontaminasi.
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah bakteri non invasif
dan bakteri invasif. Termasuk dalam golongan bakteri noninfasif adalah: Vibrio cholerae, E.colli
Virus merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-80%). Virus yang
menyebabkan adalah Norovirus, Rotavirus, Astrovirus, Sapovirus, dan Adenovirus. Diare karena
virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya beberapa hari (3- 4 hari) dapat sembuh tanpa
pengobatan (selft limiting disease). Penderita akan sembuh kembali setelah enetrosit usus yang
rusak diganti oleh enterosit yang baru dan normal serta sudah matang, sehingga dapat menyerap
Parasit yang menyebabkam adalah Ientamoeba Hystolica, Gardia Lamblia, dan protozoa
pembentuk spora di usus. Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena
(inteloransi laktosa, maltosa, dan sukrosa) monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan
galaktosa), Karena faktor makanan basi, beracun, alergi karena makanan, dan diare karena faktor
1,2
2.4. KLASIFIKASI DIARE
Jenis penyakit diare sebenarnya terbagi atas diare akut dan kronis. Diare akut biasanya
berlangsung selama beberapa hari dan biasanya disebabkan oleh infeksi yang disebabkan oleh
bakteri, virus atau parasit. Sedangkan Diare kronis berlangsung lebih lama daripada diare akut,
umumnya lebih dari empat minggu. diare kronis dapat mengindikasikan adanya gangguan yang
serius, seperti kolitis ulserativa atau penyakit crohn, atau sindrom iritasi usus besar
Diare infeksi akut diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
noninflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di
kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan darah. Gejala klinis
berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda
dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan/ atau darah,
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri setidaknya ada
dua mekanisme, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri
menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi
bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya,
mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel
dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin.
Satu jenis bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
4
2.6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari diare yaitu mula– mula anak balita menjadi cengeng, gelisah,
demam, dan tidak nafsu makan. Tinja akan menjadi cair dandapat disertai dengan lendir ataupun
darah. Warna tinja dapat berubah menjadi kehijau–hijauan karena tercampur dengan empedu.
Frekeuensi defekasi yang meningkat menyebabkan anus dan daerah sekitarnya menjadi
lecet.Tinja semakin lama semakin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang berasal dari
laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat ditemukan
sebelum atau sesudah diare. Muntah dapat disebabkan oleh lambung yang meradang atau
gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.Anak– anak adalah kelompok usia rentan
terhadap diare. Insiden tertinggi pada kelompok usia dibawah dua tahun dan menurun dengan
1. ANAMESIS
a) Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsentrasi tinja, lendir dan/darah
dalam tinja
b) Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil terakhir, demam,
d) Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengonsumsi makanan yang tidak
biasa
2. PEMERIKSAAN FISIS
b) Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus. turgor
c) Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, mata, mukosa bibir, mulut, dan lidah
d) Berat badan
e) Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan dalam
- Ubun ubun besar tidak cekung.mata tidak cekung, air mata ada mukosa mulut dan
bibir basah
- Akral hangat
2) Dehidrasi ringan sedang / tidak berat ( kehilanagn cairan 5-10 % berat badan )
- Ubun ubun besar sedikut cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa
- Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih tanda tambahan
- Ubun-ubun sangat cekung,mata sangat cekung.air mata tidak ada, mukosa mulut dan
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada tanda
c) Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya gangguan
4
2.8. TATA LAKSANA
1) Lintas diare:
- Cairan
- Seng
- Nutrisi
- Edukasi
2) Tanpa dehidrasi
- Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan 5-10 mL/kg
BB setiap diare cair atau berdasarkan usia yaitu umur 1 tahun sebanyak 50-100 mL
umur 1-5 tahun sebanyak 100-200 mL dan umur di atas 5 tahun semaunya. Dapat
diberikan cairan rumah tangga sesuai kemauan anak ASI harus terus diberikan.
- Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain (tidak mau
3) Dehidrasi ringan-sedang
jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5-10 mL
- Rehidrasi parenteral (intravena) diberikan bila anak muntah setiap diberi minum
walaupun telah diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau melalui pipa
nasogastrik. Cairan intravena yang diberikan adalah ringer laktat atau KaEN 3B atau
NaCl dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan. Status hidrasi
4) Dehidrasi berat
- Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat 100
c) Masukan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat minum, dimulai
dekstrose 5 % salin . Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq per hari
Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apabila masih dijumpai
Kadar Na koreksi (mEq/L) 125 - kadar Na serum x 0.6 x berat badan; diberikan
dalam 24 jam
BB secara perlahan-lahan dalam 5-10 menit; sambil dimonitor irama jantung dengan
EKG.
- Kadar K 2.5-3.5 mEq/L, berikan KCI 75 mEq/kg BB per oral per hari dibagi 3
a. Kadar K < 2.5 mEq/L, berikan KCI melalui drip intravena dengan dosis:
o dosis 3.5 - kadar K terukur x BB (kg) x04+ 2 mEqkgB8/24 jam dalam 4 jam
pertama
berikutnya
6) Seng
Seng terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang air
besar dan volume tinja sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak
SengZink elemental diberikan selama 10-14 hari meskipun anak telah tidak mengalami
7) Nutrisi
ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap
diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang
hilang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh
8) Medikamentosa
- Antibiotik
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah) atau
flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile akan
tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik
yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik. Untuk
disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan data sensitivitas setempat, bila
tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang dipakai saat ini
yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian sebagai lini kedua. Bila kedua
- Antiparasit
amuba vegetatif
16
9) Edukasi
Kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut: demam,tinja berdarah, makan atau minum
sedikit sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari. Orangtua dan
Langkah promotif/preventif:
6
2.9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi utama dari diare adalah dehidrasi dan gangguan fungsi kardiovaskuler akibat
hipovolemia berat. Kejang dapat terjadi dengan adanya demam tinggi, teutama pada infeksi
Shigella. Abses intestin dapat terjadi pada infeksi Shigella dan Salmonella, terutama pada
demam tifoid, yang dapat memicu terjadinya perforasi usus, suatu komplikasi yang dapat
mengancam jiwa. Muntah hebat akibat diare dapat menyebabkan ruptur esofagus atau
aspirasi.
Kematian akibat diare mencerminkan adanya masalah gangguan homeostatis cairan dan
vaskular, serta syok. Diperkirakan 10% pasien yang menderita akan menjadi penyebar
bakteri Salmonella typhi. Selama 3 bulan, dan 4% akan menjadi karier kronik. Risiko
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik dengan morbiditas dan
mortalitas minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas terutama pada
DAFTAR PUSTAKA
1
Amin, Lukman Zulkifli.2015.Tatalaksana Diare Akut.Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_230CME-Tatalaksana%20Diare%20Akut.pdf
2
Grenado, Deise.2015.Acute Gastroenteritis.Pediatric in Review Volume 33 Nomor 1
3
Guarino, Alfredo. 2014. European Society for Pediatry Gastroenterology , Hepatology and
Nutrition/ European Society for Pediatry Infectious Diseas Evidence Based Guidlines for the
Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe. JPGN.Volume 59, Nomor 1.
4
IDAI.2009.Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
5
Lai, Chao.2016.Etiology and Risk Factor of Acute Gastroenteritis in a Taipei Emergency
Department: Clinical Features for Bacterial Gastroenteritis.J Epidemiol 2016: pg 216-223
6
Nelson.2011.Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Edisi Bahasa Indonesia ,
Diterjemahkan, Diadaptasi dan Diedit oleh IDAI.Elsevier Saunders
7
Kementerian Kesehatan RI.2017.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. Page 169-170
8
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Nomor 3 Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat. Jakarta.
9
Utami, Nurul.2016.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Anak.Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.Majority Volume 5 Nomor 4
10
Widoyono. 2013. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
TRANSFUSI DARAH PADA ANAK
Nur Suryawan
Pendahuluan
Transfusi darah merupakan rangkaian proses pemindahan darah atau komponen darah, seperti
eritrosit, trombosit atau plasma, dari seorang donor kepada resipien, untuk menggantikan
kehilangan darah akibat kecelakaan, pembedahan atau penyakit.1,2
Pada saat ini telah banyak kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu kedokteran transfusi.
Semua upaya ini dilakukan untuk mewujudkan proses transfusi darah dengan menggunakan
komponen darah atau produk turunannya secara aman, berkualitas dan memberikan efek
terapeutik.1-5
Seperti kita ketahui, rangkaian proses transfusi darah merupakan suatu prosedur medis yang
disatu pihak dapat memberikan manfaat dan efek terapeutik, namun di satu pihak bila dilakukan
secara tidak rasional, akan berpotensi membahayakan dan mengancam jiwa pasien. Untuk itu
maka perlu diketahui dan difahami secara rasional prosedur transfusi darah.1-5
Tindakan transfusi darah pada anak di beberapa kondisi tertentu merupakan prosedur yang
bersifat life saving, oleh karena itu diperlukan perhatian terhadap keamanan prosedur ini
menjadikan indikasi transfusi sangat ketat. Penggunaan transfusi darah sebaiknya dihindarkan
bila ada terapi alternatif lain, seperti obat-obat hematinik, eritropoietin, colony stimulating
factors, asam traneksamat, agar dapat menghindari risiko yang mungkin akan timbul akibat dari
prosedur transfusi darah. Setiap dokter harus mempertimbangkan secara cermat manfaat dan
risiko dari prosedur transfusi darah. World Health Organization menyebutkan bahwa “ any
transfusion which is not indicated is contra indicated” artinya bahwa transfusi darah tidak boleh
diberikan bila tidak ada indikasi yang kuat. Jadi setiap dokter harus menjalankan prosedur
transfusi darah secara rasional dan harus berdasarkan evidence based medicine (EBM).1,2
Transfusi darah rasional adalah suatu prosedur transfusi darah yang dilakukan oleh
seorang dokter atas indikasi yang kuat, mempunyai manfaat yang lebih besar dibandingkan
risikonya, menggunakan pilihan darah atau komponen darah yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan resipien, memakai dosis yang tepat dan mengetahui reaksi simpang yang mungkin
dapat ditimbulkan akibat prosedur ini. Kini sudah zamannya rasionalitas transfusi darah menjadi
pedoman bagi semua dokter yang akan melakukan prosedur transfusi darah sebagai dari
pelayanan kedokteran sehari-hari.5,6
1
Pada anak terdapat proses tumbuh kembang yang merupakan suatu proses utama dalam
kehidupan anak, dan proses ini memerlukan asupan nutrisi yang cukup, termasuk diantaranya
proses suplai oksigen di dalam darah. Apabila terdapat gangguan pada darah baik berupa
gangguan sirkulasi atau gangguan komponen darahnya, maka tentu akan mengganggu proses
tumbuh kembang anak. Pada beberapa keadaan penyakit tertentu, untuk menjaga anak tetap
dalam keadaan optimal untuk mencapai tumbuh kembang diperlukan proses transfusi darah.5,6
Transfusi darah pada bayi dan anak memerlukan perhatian khusus karena terdapat
beberapa faktor, antara lain :7
Bayi dan anak merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit infeksi
yang ditularkan melalui transfusi darah dan reaksi simpang transfusi lainnya
sehubungan dengan keadaan organ maupun sistem imunitasnya yang masih belum
matang, khususnya pada neonatus
Neonatus, khususnya BBLR merupakan kelompok penerima transfusi dengan
frekuensi yang tinggi
Reaksi simpang tranfusi yang didapatkan akan berdampak pada periode
kehidupan selanjutnya.
Apabila anak yang ditransfusi dapat tertolong, maka akan meningkatkan harapan
hidupnya.
Untuk itu transfusi darah rasional pada anak harus selalu memperhatikan aspek indikasi yang
tepat serta pemilihan darah/komponen darah yang baik dan benar.
Sebagai bagian dari terapi, transfusi darah dapat diberikan baik pada pasien dengan
kelainan/penyakit hematologis maupun kelainan non hematologis berdasar atas indikasi.
Secara garis besar, kelainan hematologis yang sering memerlukan transfusi darah adalah
anemia, trombositopenia, gangguan faktor koagulasi dan granulositopenia. Transfusi darah yang
diberikan berupa komponen sesuai dengan kebutuhan pasien.
Secara garis besar tujuan transfusi darah adalah:1-7
2
Jenis transfusi darah
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemberian transfusi darah harus dengan pertimbangan
indikasi yang kuat dan atas dasar latar belakang etiologi dan patofisiologi. Diupayakan agar
transfusi hanya berupa komponen darah yang diperlukan saja.
Ditinjau dari sisi resipien maupun donasi, transfusi darah komponen mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu:2,4,5
1. Resipien akan menerima komponen darah yang diperlukan saja.
2. Mengurangi volume transfusi karena komponen darah disediakan dalam bentuk
konsentrat.
3. Menurunkan risiko reaksi imunologis, dengan mengurangi masuknya antigen antigen
yang tidak perlu.
4. Menurunkan risiko penularan penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah.
5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan darah donor.
6. Pengawasan mutu produk lebih sederhana.
Komponen darah dibuat dari darah lengkap donor yang telah dikumpulkan dalam kantung yang sudah
diberi antikoagulan. Dengan teknik sentrifugasi darah lengkap kemudian dipisahkan menjadi berbagai
komponen selular dan plasma untuk menjaga agar viabilitas dan fungsi masing-masing sel darah selama
penyimpanan tetap optimal.2,4
3
Indikasi pemberian transfusi darah:
Indikasi pemberian darah lengkap/Whole Blood (WB)
Transfusi darah lengkap yang merupakan unit darah seutuhnya yang mengandung
komponen selular maupun non selular yang diperoleh dari donor yang telah dicampur dengan
antikoagulansia dan pengawet sel darah merah, diperlukan pada:3-6
1. Perdarahan akut atau masif yang disertai dengan hipovolemia
Pada sebagian besar anak, transfusi harus dipertimbangkan setelah kehilangan darah akut
mencapai 20-25% dari volume darah totalnya. Pada kehilangan darah akut, seperti yang terjadi
akibat trauma dan selama pembedahan, kadar hemoglobin dan hematokrit mungkin tidak
sepenuhnya menggambarkan banyaknya darah yang hilang, oleh karena itu adanya tanda-
tanda hipoperfusi harus digunakan sebagai dasar untuk menentukan terapi pengganti yang
tepat.
2. Transfusi tukar (pada hiperbilirubinemia indirek karena penyakit hemolitik neonatus)
3. Sebagai alternatif pada keadaan yang membutuhkan sel darah merah tapi pada saat itu tidak
tersedia komponen darah, misalkan tidak ada konsentrat sel darah merah (PRC).
Indikasi pemberian suspensi sel darah merah /Packed Red Cells (PRC)
Dalam prakteknya yang dimaksud dengan transfusi sel darah merah adalah tranfusi konsentrat
sel darah merah (PRC). Penggunaan jenis produk sel darah merah lainnya diberikan atas dasar
indikasi. PRC banyak dipakai untuk terapi yang memerlukan pengganti sel darah merah seperti
talasemia mayor, anemia aplastik, penyakit keganasan dan gagal ginjal kronis. 2,5,7
Pemberian transfusi sel darah merah dipertimbangkan hanya diberikan pada keadaan
anemia yang kemungkinan besar akan atau telah menyebabkan penurunan suplai oksigen.
Dengan demikian keputusan untuk memberikan transfusi sel darah merah tidak boleh ditentukan
atas dasar kadar hemoglobin saja, tetapi juga berdasarkan pertimbangan kondisi klinis pasien.
Faktor- faktor yang perlu dipertimbangkan pada pemberian transfusi sel darah merah, selain
kadar hemoglobin, antara lain tanda dan gejala serta kapasitas fungsional pasien, ada tidaknya
penyakit kardiorespiratorik dan SSP, penyebab serta antisipasi anemia dan terapi alternatif
seperti EPO (recombinant human erythropoietin).2,3,7
4
Pada kasus anemia yang berlangsung perlahan-lahan, keputusan transfusi sel darah merah
tidak hanya berdasarkan kadar hemoglobin saja. Anak dengan anemia kronis dapat tetap
asimtomatis walaupun kadar hemoglobinnya rendah, contohnya pada anemia defisiensi besi,
meskipun kadar Hb <7g/dL dapat diatasi dengan pemberian besi peroral saja. 2,3
Berdasarkan panduan dari Health Technology Assesment (HTA) Departemen Kesehatan RI
merekomendasikan transfusi sel darah merah sebagai berikut:9
1.Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pd kadar Hb < 7g/dL, terutama pada
anemia akut. Transfusi darah dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan atau penyakitnya
mempunyai terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yg lebih kecil dapat diterima.
2.Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10g/dL bila ada hipoksia atau
hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.
3. Transfusi darah tidak dilakukan bila kadar Hb ≥ 10 g/dL, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor O2 lebih tinggi (misalnya
PPOK berat dan penyakit jantung iskemik berat).
4. Transfusi darah pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤ 11 g/dL;
bila tak ada gejala batas bisa sampai 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Bila terdapat
penyakit jantung atau paru atau pada keadaan yang sedang membutuhkan suplementasi O 2 batas
transfusi darah adalah Hb ≤ 13 g/dL.
___________________________________________________________________
Keterangan: * dosis untuk 24 jam; ** dosis sama dapat diulang dgn selang waktu 6-12 jam
Indikasi pemberian suspensi sel darah merah rendah leukosit/ Leucodepleted PRC
Sel darah merah rendah leukosit didefinisikan sebagai komponen darah PRC yang memiliki
jumlah leukosit < 5 x106 per kantong unit darah. Teknologi yang digunakan untuk menghasilkan
PRC rendah leukosit melalui proses sentrifugasi dan pembekuan, filtrasi dan aferesis.10
Indikasi penggunaan PRC rendah leukosit pada pasien dengan trasnfusi darah rutin seperti pada
penyandang talasemia mayor dan anemia aplastik, pasien pre dan paska transplantasi organ. Pada
keadaan tertentu PRC rendah leukosit dapat mencegah febrile non hemolytic transfusion
reactions (FNHTR) pada pasien yang menderita demam setelah transfusi pada episode
sebelumnya. Dosis dan cara pemberian PRC rendah leukosit sama dengan PRC secara umum. 10
Indikasi pemberian suspensi sel darah merah cuci / Washed Red Cells (WRC)
Sel darah merah cuci adalah PRC yang dicuci dengan larutan NaCl 0,9% steril menggunakan alat
tertentu. Pencucian dapat menghilangkan plasma sekitar 90%, menurunkan konsentrasi leukosit,
trombosit dan debris seluler. Indikasi pemakaian transfusi WRC untuk pasien dengan Anemia
Hemolitik Auto Imun, pasien dengan riwayat reaksi alergi atau demam pada transfusi
5
sebelumnya, memiliki alergi terhadap protein plasma. Keuntungan penggunaan WRC adalah
berkurangnya komponen plasma/supernatant yang umumnya merupakan salah satu penyebab
terjadinya reaksi transfusi, namun kerugiannya adalah membutuhkan tenaga pelaksana yang
intensif dan waktu yang lama, yang berakibat penundaan waktu transfusi. 11
6
2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau
yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.
Tiap kantong kriopresipitat dengan volume 30-40 ml, mengandung 70-80 unit faktor
VIII, 100-250 mg fibrinogen, 40-60 mg fibronectin, 40-70% faktor von Willebrand dan 30%
faktor XIII. Dosis yang diberikan tergantung indikasi pemakaian, misalnya untuk defisiensi
fibrinogen dosisnya 1 unit/5-10 kgbb pasien. Untuk pasien hemofilia dosis tergantung dari
derajat hemofilia, klinis pasien dan ada tidaknya tindakan/prosedur invasif yang akan dijalani
pasien. Pemakaian kriopresipitat. untuk terapi penggantian pada pasen hemofilia A dan penyakit
von Willebrand ini hanya dianjurkan apabila produk alternatif yang lebih aman tidak tersedia
atau tidak terjangkau.2,14
7
8. Prosedur di bangsal:
- Perawat dan dokter bangsal sudah mengetahui rencana transfusi.
- Darah yang datang dicek ulang dan lakukan uji kebocoran kantung darah.
- Catat waktu mulai dan selesai transfusi dikerjakan.
9. Persiapan transfusi darah :
- Siapkan peralatan infus: tiang penyangga, set transfusi, lokasi jalur infus, filter 170-260
mikrometer. Kantung darah sebaiknya memakai pediatric blood pack.
- Bekerja secara aseptik.
- Tidak diperkenankan menambah obat apapun kedalam kantung darah.
- Volume dan kecepatan infus tergantung kasus yang dihadapi (tabel 1,2 dan3).
10. Pemantauan:
Pemantauan pasien dilakukan sebelum, selama dan sesudah selesai transfusi.
- Pantau kecepatan tetesan dan reaksi transfusi pada 15-30 menit pertama transfusi.
- Pantauan rutin adalah tanda vital, diuresis, lokasi jalur infus (reaksi inflamasi dan
ekstravasasi), terjadinya reaksi transfusi.
- Bila ada risiko overload dapat diberikan diuretik kuat (furosemid) intavena, pantauan
dilanjutkan sampai 12-24 jam pasca transfusi.
11.Evaluasi akhir :
- Lepas jarum infus, cek sekitar lokasi, bila ada tanda radang segera tekan dan tutup
dengan kassa steril.
- Bila ditemukan tanda radang, kirim ujung kateter ke laboratorium mikrobiologi.
- Pantau kembali akan kemungkinan terjadinya reaksi transfusi.
Reaksi transfusi juga dapat dibedakan berdasarkan mekanisme imun atau non imun 2
8
Tabel 4. Reaksi transfusi akut atau segera 2,15
______________________________________________________________
Reaksi imunologis
Reaksi transfusi hemolitik akut dengan gejala
Demam, bukan reaksi transfusi hemolitik
Urtikaria
Anafilaksis
Transfusion-related acute lung injury
Reaksi non-imunologis
Kontaminasi bakteri
Payah jantung kongesif
Hipotermia
Hemolisis tanpa gejala
Embolism
Hiperkalemia
Hipokalsemia
____________________________________________________________________
Tabel 5. Komplikasi lambat transfusi darah (terjadi dalam hitungan hari, minggu atau
bulan setelah transfusi) 2,15
Imunologis
Reaksi transfusi hemolitik lambat
Purpura pasca transfusi
Graft-versus-host disease
Reaksi lambat tipe serum sickness
Non-imunologis, terutama infeksi
Hepatitis : B, C, non-A non-B yang lain
Infeksi HIV, CMV, malaria, sifilis, babesiosis, bruselosis, triponosomiasis,
(penyakit Chagas, parvovirus)
Secara umum langkah awal yang harus dilakukan bila terjadi reaksi transfusi:2,7,15
1. Segera hentikan transfusi.
2. Pasien tetap diinfus NaCl fisiologis.
3. Pastikan bahwa pasien menerima produk darah yang sesuai untuknya.
4. Laporkan kepada dokter dan bank darah.
5. Kirim contoh darah yang ditransfusikan dan pemeriksaan lain yang dianggap perlu
seperti urin ke laboratorium.
6. Kirim unit darah yang ditransfusikan beserta administrasinya ke bank darah.
9
Tabel 6. Pedoman pengenalan dan manajemen reaksi transfusi akut2
10
Tabel 7. Komplikasi lambat dan penatalaksanaannya2
Reaksi hemolitik lambat 5-10 hari pasca transfusi: - Umumnya tak perlu terapi
- Demam - Jika ada hipotensi & oliguria
- Anemia terapi sebagai hemolisis
- Kuning intravaskular akut
Purpura pasca transfusi 5-10 hari pasca transfusi: - Steroid dosis tinggi
- Kecenderungan perdarahan - Imunoglobulin dosis tinggi
- Trombositopenia - Plasma exchange
Kelebihan besi - Gagal jantung dan hati - Cegah dengan obat kelasi
besi
______________________________________________________________________________
_
Simpulan
Transfusi darah merupakan suatu tindakan medis yang sering kita lakukan dalam praktek sehari-
hari. Tindakan transfusi darah tetap merupakan tindakan yang mempunyai risiko untuk
terjadinya reaksi transfusi serta komplikasi lainnya. Untuk itu maka keputusan pemberian
transfusi darah harus rasional, berdasarkan penilaian yang cermat dengan mempertimbangkan
indikasi klinis dan perbandingan antara manfaat dan risiko yang akan dialami resipien.
Diperlukan persiapan yang cermat dan teliti sebelum pelaksanaan proses transfusi darah serta
pengetahuan tentang tatalaksana bila terjadi efek simpang dari proses transfusi darah ini.
11
Daftar pustaka
12
13
Tata laksana Kejang Neonatal
Dr Thomas Harry Adoe SpA (K)
NICU RSUD dr Chasbullah Abd Madjid
Kota Bekasi, November 2018
Pendahuluan.
Definisi kejang neonatal adalah depolarisasi berlebihan sel neuron otak yang
menyebabkan perubahan bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku, fungsi
motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang
neonatal berbeda dalam penampilan klinis, karakteristik elektrografik, etiologi,
dan tata laksana dibandingkan kejang pada anak. Insiden kejang pada
neonatus berkorelasi dengan usia gestasi dan berat badan lahir, dan lebih
sering terjadi pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu 5,8 per 1000
lebin besar daripada bayi cukup bulan 0.1 - 0,35 per 1000 kelahiran hidup.1.2
Kejang pada neonates di periode neonatal merupakan tanda akut dan gejala
spesifik gangguan neurologik. Neonatus dengan imaturitas otak lebih
cenderung kejang, sehingga pemantauan klinis kejang penting terkait tata
laksana kejang yang adekuat, cegah kerusakan otak, mengobati etiologi yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas neonatus. 1.2.
Di kalangan klinisi, kejang klinis pada neonatus dapat saja sulit didiagnosis
dan sulit dibedakan dengan gerakan normal atau gerakan abnormal bukan
kejang. Beberapa penelitian klinis mendapatkan 85% kejang elektrografik
sebagai 'kejang elektrik saja tanpa manifestasi klinis. 3.4
Etiologi
Umumnya kejang pada neonatus bersifat akut dan disebabkan oleh penyakit
tertentu (metabolik, infeksi atau lainnya). Kejang idiopatik dan sindrom epilepsi
relatif jarang, Tabel 1 dan 2. Pada bayi cukup bulan sering akibat ensefalopati
iskemik hipoksia setelah 4-6 jam kemudian pada 24 jam pertama kehidupan
dan pada bayi prematur terjadi karena gangguan serebro vaskular. Dan
lainnya seperti meningitis, infark serebral, gangguan metabolisme dan
kelainan kongenital otak dapat ditemukan pada berbagai usia gestasi.3.
3
Dikutip dari
Manifestasi Klinik.
Kejang neonatal diklasifikasikan dalam 4 kategori, antara lain; .2.3.4
Kejang subtle : kejang halus dan dapat terjadi bersama jenis kejang lain.
Bermanifestasi seperti:
• Deviasi atau gerakan kejutan pada mata dan mengedip berulang kali.
1
Dikutip dari
Kejang Tonik ; Kejang tonik umum atau fokal.
Kejang tonik umum, terutama bermanifestasi pada bayi kurang bulan.
Biasanya terlihat sebagai fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian
atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonik pada
ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan
dengan perubahan sistem otonom apapun seperti meningkatnya denyut
jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.
Kejang Tonik Fokal. Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas
atau batang tubuh atau kepala atau deviasi mata. Sebagian besar kejang
tonik terjadi bersama dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat (SSP) dan
perdarahan intraventrikular.
Kejang Klonik; Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan
dan berirama (1-3 kali/menit). Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik
atau multi-fokal. Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan
diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan posisi atau memegang ekstremitas
yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut. Umumnya terjadi
pada neonatus cukup bulan >2500 gram. Tidak terjadi hilang kesadaran.
Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau gangguan metabolik.
Kejang Mioklonik, dapat bersifat kejang mioklonik terfokus di satu area,
multi-fokal atau umum.
Kejang mioklonik fokal, biasanya melibatkan otot flexor pada ekstremitas.
Kejang mioklonik multi-fokal, terlihat sebagai gerakan kejutan yang tidak
sinkron pada beberapa bagian tubuh.
Kejang mioklonik umum, terlihat sangat jelas berupa fleksi kepala dan
batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan difusi patologis pada sistem saraf pusat.
Subtle +
Klonik
Fokal +
Multifokal +
Tonik
Fokal +
Umum +
Myoklonik
Fokal, multifokal + +
Umum
Tabel 3. Klasifikasi Kejang Neonatal
4
Dikutip dari
Gerakan tremor; jitteriness dan tremor umum terjadi dan dilaporkan pada
sekitar setengah bayi baru lahir yang sehat. Tremor dihipotesiskan sebagai
ketidakmatangan penghambatan neuron atau peningkatan kadar katekolamin.
Tremor patologis dapat terjadi pada gangguan sistemik (hipoglikemia,
hipokalsemia, infeksi, gejala putus obat narkotik, atau penyakit tiroid) dan
gangguan neurologis primer seperti ensefalopati hipoksik-iskemik atau
perdarahan intraventrikular. Bayi dengan riwayat tremor menunjukkan
pemeriksaan neurologis normal pada saat masa anak. Karena alasan ini anti
kejang tidak diperlukan. Tremor halus lebih cenderung ringan atau akibat
gangguan elektrolit. Pada tremor dengan amplitudo tinggi lebih mungkin
sekunder akibat disfungsi atau cedera otak.
Gerakan mioklonus neonatus tidur, gerakan ini biasa terjadi saat neonatus
tidur terutama bayi kurang bulan. Mungkin fokal, multi-fokal, atau umum. Tidak
akan berhenti jika ditahan sekalipun. Gerakan tersebut menghilang dengan
sendirinya dalam waktu beberapa bulan dan tidak memerlukan pengobatan.
Mioklonus ringan (benign myoclonic) dibedakan dari mioklonus patologis yaitu
pada mioklonus ringan (benign) dapat dihentikan bila bayi dibangunkan atau
dipicu oleh bunyi atau gerakan dan tidak berkaitan dengan perubahan sistem
otonom.
Aktivitas motorik normal lain seperti gerakan mengisap tidak beraturan dan
apnea saat neonatus tidur dapat disalah artikan sebagai kejang. Permasalahan
ini penting disadari untuk menghindari pemeriksaan diagnostik dan pemberian
OAE yang tidak perlu.
Pemeriksaan.
Diagnosis etiologi kejang neonatal dilakukan dengan anamnesis riwayat ibu dan
obstetri, pemeriksaan fisik neonatus dan beberapa pemeriksaan laboratorium
sangat penting pada penghentian kejang neonatal, yaitu:
Anamnesis riwayat ibu dengan Infeks TORCH, paparan obat dan riwayat
kehamilan dan persalinan (diabetes, hipertensi, korioamnionitis, demam,
perdarahan antepartum, persalinan yang sulit atau gawat janin) dan pada bayi
nilai Apgar rendah.1.2.3.4
Tata Laksana
Tata laksana kejang neonatal, yaitu; menghentikan kejang dengan obat anti
kejang, antara lain; phenobarbital, phenytoin, midazolam. Jika durasi kejang > 3
menit atau frekuensi > 3 kali per jam siégera dilakukan tata laksana kejang. Obat-
obatan harus diberikan secara intravena untuk mencapai onset yang cepat.1.3.4.6
Evaluasi diagnostik kejang antara lain, pemeriksaan darah dan glukosa darah
serum, elektorlit, analisis gas darah, analisis dan kultur cairan otak. Pemeriksaan
TORCH dan kadar amonia, asam amino dalam urin. Pemeriksaan EEG, USG-
CT Scan-MRI kepala..2.3.4.5.6
ALGORITMA TATALAKSANA KEJANG NEONATAL6
Dikutip dari 6
Kejang yang tidak dikelola dengan baik dapat berlanjut lama dan mengganggu
ventilasi dan kardiovaskular dan berdampak pada autoregulasi vaskular serebral
yang menyebabkan cedera otak sekunder.
Tata laksana etiologi 1,6:
• Hipomagnesemia: berikan MgSO4 (0,4-0,8 mEq / kg) melalui jalur intra vena
setiap 12 jam sampai kadar Mg darah normal. ( Lihat panduan klinis)
Prognosis
Kejang neonatal pada bayi berat lahir sangat rendah memiliki insiden gangguan
perkembangan neurologik lebih tinggi daripada bayi prematur tanpa kejang.
Umumnya prognosis ditentukan penyebab utama. Kejang pada neonatus
dengan hipokalsemia dan kejang neonatal familiar memiliki prognosis baik.
Hipoglikemia symtomatik dan meningitis memiliki kemungkinan gejala sisa
sebesar 50%. Prognosis neonatus dengan ensefalopati iskemik hipoksik
berkorelasi dengan beratnya kelainan (30-50% normal). Prognosis buruk pada
neonatus dengan malformasi SSP.1.2.3.4
Kesimpulan
Kejang neonatal memiliki efek buruk pada perkembangan otak (predisposisi
gangguan kognitif, perilaku, dan epilepsi) di kemudian hari. Kejang yang tidak
terdeteksi dan tidak mendapat tata laksana adekuat memperberat cedera otak
pada neonatus.
Daftar Pustaka
1. Abend NS. Jensen FE. .Inder TE. Volpe JJ. Neonatal Seizures in Volpe;s
Neurology of the Newborn. Sixth edition. | Philadelphia, PA : Elsevier. 2018
2. Setyo H. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata
laksana. Agustus 2007.112-20. Vol. 9, No. 2.
3. Pressler RM. Neonatal seizures. Department of Clinical Neurophysiology,
Great Ormond Street Hospital, London. 2015
Diunduh dari : www.epilepsysociety.org.uk/sites/default/files/attachments
Chapter06Pressler
4. Hill A, MD, PhD. Neonatal Seizures Pediatrics in Review. April 2000. Vol. 21
No. 4 .
5. Okumura A,. The Diagnosis and Treatment of Neonatal Seizures. Chang
Gung Med J. September-October 2012. Vol. 35 No. 5.
6. UKK Neonatologi dan UKK neurologi IDAI. Hasil pembahasan Algoritme tata
laksana kejang pada neonates. 2018.
.
KESULITAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
KEJANG DAN STATUS EPILEPTIKUS
Dina Siti Daliyanti
RSUD dr. Chasbullah Abdul Madjid Kota Bekasi
PENDAHULUAN
Kedaruratan neurologis pada anak yang sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari
adalah kejang. Hampir 2-5% anak pernah mengalami kejang seumur hidupnya. Makin lama
kejang berlangsung akan makin sulit diatasi dan sering mengakibatkan berlanjut menjadi Status
Epileptikus. Penentuan etiologi dan tatalaksana status epiletikus sangat menentukan prognosis
pasien selanjutnya. Telisik tatalaksana kejang dimulai dari bila kejang terjadi di rumah, dalam
perjalanan ke RS, di IGD, di poliklinik maupun saat terjadi di ruang rawat inap dan ruang PICU.
Antisipasi kejadian kejang di masing-masing lokasi perlu kita pahami agar kejang dapat kita
hentikan sesegera mungkin. Penelusuran data Rekan Medik selama 1 tahun di RSUD Kota
Bekasi (September 2017-September 2018) didapatkan angka kejadian kejang sebanyak 56% dari
data pasien anak yang masuk melalui IGD, ditemukan 45% dari keseluruhan pasien rawat inap
dan 38% dari pasien baru rawat jalan. Total yang berlanjut menjadi status epileptikus dari
keseluruhan pasien kejang, apapun penyebabnya selama 1 tahun di RSUD Kota Bekasi adalah
22%. Angka kejadian status epileptikus pertahun 10-58/100.000 penduduk pertahun dan angka
kejadian pada pasien epilepsi adalah 9.5-27%1. Berbagai permasalahan yang sering kita jumpai
dirangkum dalam makalah ini agar bisa didiskusikan bersama. Tatalaksana kejang akut pada
makalah ini berdasarkan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus yang dikeluarkan
Unit Kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak Indonesia pada tahun 2016.
DEFINISI
Status epileptikus adalah kejang terus-menerus atau kejang berulang tanpa pulihnya
kesadaran yang berlangsung 30 menit
1
Definisi Operasional
Kejang umum yang berlangsung lebih dari 5 menit atau kejang fokal yang berlangsung
lebih dari 15 menit. Kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran. 1-3
PATOFISIOLOGI4-5
Aktivitas listrik yang abnormal di otak dapat menyebabkan kejang dan bila kejang terjadi
berulang-ulang akan berdampak terhadap saluran pernapasannya salah satunya adalah
hipoventilasi. Hipoventilasi ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan PO2 (menurun) dan
PCO2 (meningkat) sehingga dapat menimbulkan kolapsnya kardiovaskular. Kolapsnya
kardiovaskular ini dapat menurunkan aliran darah ke otak yang akhirnya dapat menyebabkan
cedera otak.
Kejang yang berulang juga dapat menyebabkan tekanan darah yang meningkat. Tekanan
darah yang meningkat dapat menurunkan aliran darah ke otak, lalu terjadi perdarahan dan pada
akhirnya juga dapat menyebabkan cedera otak. Kejang berulang dapat menyebabkan penurunan
ATP dan peningkatan ADP yang menimbulkan terjadinya glikolisis dan re-uptake EAA
menurun. Glukosa yang diperlukan oleh otak menjadi menurun sehingga juga dapat
menyebabkan cedera pada otak.
2
Pada patofisiologi Status Epileptikus fase awal (0-30 menit), mekanisme kompensasi
yang terjadi mencakup meningkatnya ekskresi adrenalin dan noradrenalin, peningkatan aliran
darah ke otak dan metabolisme, hipertensi dan hiperpereksi, hiperventilasi dan takikardi serta
asidosis laktat.
Perubahan fisiologis pada fase kompensasi mencakup perubahan serebral dalam bentuk
peningkatan aliran darah, kebutuhan energi meningkat sejalan dengan peningkatan laktat dan
glukosa. Perubahan metabolik berupa hiperglikemia dan asidosis laktat disertai terjadinya
perubahan otonom berupa hipertensi, meningkatnya curah jantung, tekanan vena sentral, eksresi
katekolamin, takikardi, aritmia, hiperpireksia dan muntah.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada fase dekompensasi adalah perubahan serebral
berupa telah terjadinya kegagalan autoregulasi, hipoksia,hipoglikemia, meningkatnya tekanan
intrakranial, penurunan laktat dan terjadinya edema serebri. Perubahan metabolik pada fase
dekompensasi yang bisa kta temukan adalah hiponatremia, hipo-/hiperkalemia, asidosis,
gangguan fungsi hati dan ginjal, DIC, rhabdomiolisis, leukositosis pada serum dan LCS.
sedangkan pada fungsi otonom sudah terjadi hipoksia, hipotensi, curah jantung menurun, edema
paru, aritmia, gagal jantung, dan hiperpireksia.
TATALAKSANA KEJANG7-9
Pedoman tatalaksana mengehentikan kejang pada anak di Indonesia berpatokan pada
Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus yang dikeluarkan Unit Kerja Koordinasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia pada tahun 2016 (Gambar 2).
3
Gambar 2. Tatalaksana Status Epileptikus(6)
4
Jangan memberikan diazepam IV. Bila kejang sudah berhenti, yang perlu kita lakukan adalah
pencegahan berulangnya kejang dengan fenitoin dan fenobarbital.
Fenitoin
Obat ini bekerja memblok pintu kanal natrium. Waktu paruh obat ini adalah 24 jam.
Onset terapi fenitoin adalah 10-30 menit dan efek terapinya adalah 12-24 jam. Dosis awalnya
adalah 20 mg/kgBB/IV, maksimal pemberian 1000 mg, diberikan dengan pengenceran dalam 10
mg/1 ml NaCl 0,9 % dengan kecepatan 50 mg/menit. Efek samping fenitoin adalah hipotensi.
Sediaan obat ini adalah IV 100 mg/2 ml.
Fenobarbital
Obat ini bekerja pada reseptor GABA. Waktu paruh obat ini adalah 3-7 hari. Onset terapi
fenobarbital adalah 10-20 menit dan efek terapinya adalah 1-3 hari. Dosis awalnya adalah 20
ng/kgBB/IV bolus, maksimal 1000 mg dengan kecepatan pemberian 1 mg/kgBB/menit, selama
lebih dari 5-10 menit. Efek samping fenobarbital adalah depresi pernapasan. Sediaan obat ini
adalah IV 200 mg/2 ml.
Midazolam
Onset terapi obat ini adalah 2-5 menit. Efek terapi obat ini adalah 30-60 menit. Waktu
paruh midazolam adalah 1,8-6,4 jam. Dosis awalnya 0,2 mg/kgBB/IV bolus, dilanjutkan infus
5
0,02-0,4 mg/kgBB/jam. Efek samping midazolam adalah depresi pernapasan. Sediaan obat ini
adalah IV 5 mg/1 ml, 15 mg/3 ml.
Adalah suatu kondisi bila kejang masih tetap berlangsung sampai lebih dari 30 menit.
tatalaksana kejang menggunakan diazepam, fenobarbital, fenitoin, midazolam telah diberikan
dengan dosis adekuat. Diberikan tatalaksana dengan propofol dengan dosis 3-5mg/kgBB bolus
dilanjutkan dengan infus per drip 1-15mg/kgBB/jam atau fenobarbital 5-8mg/kgBB/jam.
Kesulitan yang sering dijumpai dalam tatalaksana kejang ini adalah saat:
a) Berupa kesalahan dalam cara pemberian diazepam rektal diatasi dengan memberikan
contoh langsung.
b) Berupa penanganan awal saat menjumpai kejang berulang 3 kali atau lebih, atau juga bila
kejang sudah berlangsung lebih dari 10 menit, segera observasi dan berikan cairan
parenteral serta dosis loading fenitoin atau fenobarbital untuk mencegah berulangnya
kejang.
c) Berupa pemberian diazepam rektal terlalu cepat sehingga terjadi efek samping depresi
nafas.
6
3. Setelah Terjadinya Kejang
Bila kejang sudah berhenti, yang perlu dilakukan adalah pencegahan berulangnya kejang dengan
fenitoin dan fenobarbital.
1. Fenitoin
Pemberian dosis inisial 20mg/kg berat badan dengan dosis maksimal 1 gram,
diberikan secara drip 1 mg/kg/menit dalam 50 ml NaCl. Kelemahan dari fenitoin adalah
harganya mahal dan sering sulit di dapat, tidak dapat di bolus kembali. Perlu dilakukan
monitor jantung terhadap kemungkinan efek samping bradikardi dan aritmia,
pemberiannya diberikan dalam waktu yang cukup lama (20 menit). Fenitoin rumutan
diberikan 12 jam setelah dosis inisial, dengan dosis 5-7 mg/kg berat badan dibagi dalam 2
dosis.
2. Fenobarbital
Pemberian dosis inisial 20 mg/kg berat badan dengan dosis maksimal 1 gram,
diberikan. Bisa diberikan lebih cepat dalam 10 – 15 menit. Keuntungan dari fenobarbital
adalah murah dan mudah didapat, dapat dibolus ulang. Sulit dipantau derajat kesadaran
karena efek samping sedasi. Perlu dimonitor efek samping hipotensi dan depresi nafas.
Fenobarbital rumatan diberikan 12 jam setelah dosis inisial, dengan dosis 4 – 5 mg/kg
berat badan dibagi dalam 2 dosis.
7
Bila sebelum 12 jam, saat pemberian dosis rumatan, pasien kejang kembali, segera
berikan Diazepam iv kemudian tambahkan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg berat
adan, sambil mencari kausa dan etiologi kejang, misalnya gangguan kadar gula darah dan
elektrolit, serta kemungkinan adanya komplikasi. Pada fasilitas ideal, boleh dilakukan
pemeriksaan kadar fenobarbital atau fenitoin. Untuk membedakan tindakan yang akan
dilakukan, tatalaksana penghentian kejang dibagi dalam 4 tahapan:
1. Di rumah = 0 – 5 menit
Berikan Diazepam rektal 0.5 mg/kg berat badan. Diazepam rektal 5 mg untuk berat badan
< 12kg dan Diazepam rektal 10mg bila berat badan 12 kg atau lebih. Dosis maksimal 10
mg/dosis. Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.
2. Resiko Status Epileptikus = 5 – 10 menit
Bila masih kejang atau kejang kembali, dapat diberikan Diazepam rektal 1 kali dengan
dosis yang sama. Bila masih kejang dan sudah terpasang jalur intravena, berikan
Diazepam intervena 0,2 – 0,5 mg/kg berat badan dengan kecepatan 5 mg/menit. Lakukan
sekalian pengambilan darah rutin, glukosa dan elektrolit. Bila ditemukan hipoglikemia,
koreksi hipoglikemia dengan pemberian dekstrose 20% 2ml/kg berat badan.
3. Status Epileptikus
Cenderung berlanjut menjadi status konvulsivus. Bisa diberikan fenitoin atau fenobarbital
dosis inisial.
- Fenitoin 20 mg/kg berat badan intra intravena dengan pengenceran setiap 10 mg
fenitoin diencerkan dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 50
mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
- Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg berat badan bolus
perlahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah
1000 mg fenobarbital. Demikian sebaliknya, bila kita mulai dengan fenobarbital dulu,
bila masih kejang, diberikan fenitoin.
- Bila kejang masih berlangsung, berikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus
perlahan, dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg berat badan/jam yang diberikan
secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg Midazolam berupa 3 ml Midazolam
diencerkan dengan 12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml larutan, dan diberikan dalam drip
dengan kecepatan 1 mg/jam.
8
4. Status Epileptikus Refrakter = 30 – 60 menit
- Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang
kembali, diberikan fenitoin “tambahan” 10 mg/kg intravena dengan pengenceran.
Dosis rumatan fenitoin diberikan 12 jam kemudian dengan dosis 5 – 7 mg/kg berat
badan intravena.
- Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang
kembali, diberikan fenobarbital “tambahan” dengan dosis 10 mg/kg berat badan
intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital diberikan 12 jam
kemudian dengan dosis 4 – 6 mg/kg berat badan intravena. Bila kejang berhenti
dengan Midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan. Dalam
rekomendasi juga disepakati bahwa fenobarbital IV dipilih untuk pasien dengan
kejam demam, sedangkan fenitoin dipilih untuk pasien epilepsi.
- Tahapan kedaruratan status epileptikus mencakup pastikan oksigenisasi ke otak dan
fungsi kerdiorespirasi baik, hentikan kejang secepatnya, cegah kejang berulang,
koreksi gangguan metabolic dan identifikasi faktor pencetus (hipoglikemia, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit) dll, cegah komplikasi sistemik, serta evaluasi
dan tatalaksana penyebab.
SIMPULAN
Tatalaksana Status Epiletikus harus diberikan obat penghentian secara agresif. Perlu
waspada terhadap kemungkinan berlanjut menjadi status epiletikus bila kejang berlangsung 5
menit atau terjadi kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran. Melihat setiap tahapan waktu fase
kompensasi menjadi fase dekompensasi yang begitu ketat, kesalahan tatalaksana status
epileptikus harus tidak boleh terjadi. Identifikasi etiologi dan tatalaksana adekuat sangat
menentukan prognosis.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Ferandez IS, Abend SN, Loddenkemper T. Status epilepticus. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Fereiro DM, Schor NF, Finkel RS, Gropman AL, Pearl PL, Shevell,
penyunting. Swaimann’s pediatric neurology: priciple and practice, Edisi ke 6.
Edinburg: Elsevier. 2017. h.543-61.
2. Riviello JJ, Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchwony M, Cross JH,
Arzimanoglou A. penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill Medical.
2013, h.288-96.
3. Holmes GL, Arzimanoglou A. Approach to the child with epilepsy. Dalam: Pediatric
Epilepsy. Duchwony M, Cross JH, Arzimanoglou A. penyunting. New York: Mc Graw
Hill Medical. 2013, h.1-6.
4. Volpe J, Terrie I, Darras B, De Vries L. Pathophysiology of status epilepticus. Dalam:
Neurology of the newborn. Plessis AD, Neil J, Perlman J, penyunting. Edisi ke 6.
Edinburg: Elsevier; 2017. h 526-40.
5. Stafstrom CE. The pathophysiology of epileptic eizure: A primer for pediatricians. Ped
Rev 1998; 19: 342-51.
6. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo
DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S, penyunting. Jakarta; Badan Penerbit Ikatan Doker
Anak Indonesia, 2016.
7. Bashiri FA, Hamad MH, Amer YS, Abouelkheir MM, Mohammed S, Kentab AY, dkk.
Management of convulsive status in children: an adapted clinical practice guideline for
pediatrians in Saudi arabia, Neurosciences. 2017; 22: 146-55.
8. Goodkin HP, Riviello Jr JJ. Status epilepticus. Wyllie’s treatment of epilepsy: Principle
and practice. Wyllie E, Gydal BE, Goodkin HP, Loddenkemper T, Sirven Jl, penyunting.
Edisi ke 6. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015. h. 479-91.
9. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge A, Arya R, Bainbridge J, dkk. Evidence based
guideline: treatment of convulsive status epilepticus in children and adults: Report of the
guideline committe of the American Epilepsy Society. Epilepsy Currents. 2016; 16: 48-
61.
10