Anda di halaman 1dari 160

KLINIS PRAKTIS PENANGANAN KEGAWATAN PADA ANAK

BEKASI 10-11 NOVEMBER 2018

PENYUNTING:
Mas Wishnuwardhana Indra Cakra
Tri Yanti Rahayuningsih Sofyan Cholid
Yenny Wiarni Abbas Triza Arif Santosa
Ely Yulian Charles Antoni Silalahi
Natalina Soesilawati Tomy Yuner Sirait
Laily Fatchiya Lukmansyas Muhammad Sjaifuroc hman
Riana Novy Hendra Hibrata
Tisa Rori Indarman Julia Klaartje Kadang

CABANG JAWA BARAT IKATAN DOKTER ANAK INDONESAI

CABANG JAWA BARAT PERWAKILAN BEKASI

NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Sejawat yang terhormat


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena ata berkat rahmat
dan karunianya buku kumpulan makalah Klinis Praktis Penanganan Kegawatan Pada Anak dapat
terbit dan sampai ke bapak/ibu sekalian.
E-book ini merupakan kumpulan makalah dari beberapa makalah yang disampaikan
dalam Kegiatan Ilmiah Simposium dan Workshop tanggal 10-11 November 2018 yang
diselenggarakan di Hotel Horison Bekasi. Isi dari semuanya disesuaikan dengan tema Klinis Praktis
Penanganan Kegawatan pada Anak yang kami kumpulkan dari para pembicara dilakukan
penyaringan oleh tim penyunting di kepanitiaan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pembicara sekaligus sebagai penulis
yang telah bersedia membuat makalah sehingga semua yang disampaikan di saat seminar akan
lebih mudah diterima sekaligus dapat digunakan sebagai sumber rujukan apabila diperlukan
seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak kami menyadari banyak kekurangan dalam
penyusunan e-book ini. Kami berharap hal tersebut tidak mengurangi makna dan manfaat dari
buku ini.
Terima kasih.
Penyunting.
SUSUNAN PANITIA

Pelindung : Ketua IDAI Cabang Jawa Barat : dr Aris Primadi SpA(K)


Pengarah : dr Indra Cakra SpA
Ketua : dr Sofyan Cholid SpA, M.Si.Med
Wakil Ketua : dr Ely Yulian SpA, M .Kes
Sekretaris : dr Riana Novy E SpA
Bendahara : dr Laily Fatchiya Lukmansyah SpA
Seksi ilmiah : dr Mas Wishnuwardhana SpA, M.Si.Med
. dr Tri Yanti Rahayuningsih SpA(K)
dr Yenny Wiarni Abbas SpA
Seksi Acara : dr Triza Arif Santosa SpA

dr Natalina Soesilawati SpA.


Seksi dana : dr Muhammad Sjaifurrochman SpA
dr Hendra Hibrata SpA
Seksi pameran & perlengkapan: dr Charles Antoni Silalahi SpA, M.Kes
dr Tomy Yuner Sirait SpA
Seksi konsumsi : dr Julia Klaartje Kadang SpA
dr Tisa Rori Indarman SpA
DAFTAR PENULIS

.dr Aris Primadi SpA(K)


Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS Bandung.
.dr Sri Sudarwati SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS Bandung.
Dr dr Zulfikar DLH SpA(K), M.Kes, MMRS
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS Bandung.
.dr Agnes Praptiwi SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta.
.dr H. Tjetjep Dwidja Siswaja SpF(K), SH
Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM Jakarta.

.dr Siti Farida Hanoum AAK.


BPJS Kesehatan Kota Bekasi.
Dr dr Djatnika Setiabudi SpA(K),MCTM
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS Bandung
.dr Dewi Murniati SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Hermina Bekasi.
.dr Endang Poerwati SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Pasar Rebo Jakarta
.dr Nur Suryawan SpA(K), M.Kes
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS Bandung.
.dr Thomas Harry Adoe SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr Chasbullah AM Kota Bekasi
.dr Dina Siti Daliyanti SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr Chasbullah AM Kota Bekasi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………………………………


Susunan Panitia …………………………………………………………………………………………………………………………
Daftar Penulis …………………………………………………………………………………………………………………………

Simposium hari pertama


Resusitasi neonatus. Update……………………………………………………………………………………………………….
Aris Primadi
Terapi asma akut pada anak…………………………………………………………………………………………………………
Sri Sudarwati
Pemilihan terapi cairan pada anak sakit kritis……………………………………………………………………………..
Dzulfikar DLH
Tatalaksana syok pada anak……………………………………………………………………………………………………
Agnes Praptiwi
Etika medikolegal patient safety di era BPJS………………………………………………………………………………
Tjetjep Dwidja Siswaja
Rujukan berjenjang BPJS di era JKN…………………………………………………………………………………………..
Siti Farida Hanoum
Simposium hari kedua
Pitfall tatalaksana demam…………………………………………………………………………………………………………..
Djatnika Setiabudi
DHF update……………………………………………………………………………………………………………………………..
Dewi Murniati
Diagnosis dan pengelolaan diare pada anak………………………………………………………………………………
Endang Poerwati
Update tranfusi darah pada anak………………………………………………………………………………………………..
Nur Suryawan
Terapi kejang pada neonatus……………………………………………………………………………………………………..
Thomas Harry Adoe
Pitfall kejang dan epilepsi………………………………………………………………………………………………..
Dina Siti Daliyanti
Resusitasi Neonatus Updated

Aris Primadi

Standarisasi program pelatihan resusitasi neonatus oleh American Academy


of Pediatrics (AAP) pertama dilaksanakan tahun 1987. Selanjutnya sejak tahun 1999,
International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) melakukan revisi program
setiap 5 tahun.
Berikut gambaran kebutuhan resusitasi di daerah high-income country (HIC)
dan lower and middle-income country (LMIC).

(a) Pada HIC, 5–10% bayi baru lahir (BBL) memerlukan stimulasi, 3–6% perlu
ventilasi tekanan positif (VTP) dan < 1% memerlukan langkah lebih lanjut.

(b) Data dari LMIC di daerah pedesaan Tanzania menunjukkan bahwa 85% BBL
hanya memerlukan perawatan rutin, 15% perlu stimulasi, setengahnya
dilanjutkan dengan VTP dan sebagian kecil masih memerlukan langkah lanjut.

Dibandingkan sebelumnya, ada beberapa perubahan pada diagram alur


Program Resusitasi Neonatus AAP Edisi 7, meliputi:
 Sebelum resusitasi dimulai, lakukan konseling antenatal, pembentukan tim dan
pemeriksaan alat-alat.
 Pertahankan suhu normal BBL selama resusitasi
 Pertimbangkan penggunaan cardiac monitor bilamana VTP dimulai
 Saat VTP pastikan dada mengembang
 Rekomendasi untuk intubasi sebelum mulai kompresi dada.
 Rekomendasi penggunaan cardiac monitoring untuk memastikan penilaian
frekuensi jantung selama kompresi dada.
 Resusitasi diakhiri dengan team debriefing.

Termoregulasi

Selama resusitasi atau stabilisasi, suhu yang direkomendasikan untuk newly


born nonasphyxiated infants sekitar 36.5°C – 37.5°C.

Cairan amnion tercampur mekonium dan pengisapan endotrakea

Pada BBL tidak bugar dengan cairan amnion tercampur meconium, tidak rutin
dilakukan intubasi dan pengisapan trakea. Adanya cairan amnion tercampur
mekonium merupakan faktor risiko perinatal yang menunjukkan perlunya kehadiran
anggota tim resusitasi dengan kemampuan penuh termasuk intubasi endotrakea.

Delayed Cord Clamping

Bukti terkini menyarankan penjepitan tali pusat pada bayi cukup dan kurang
bulan bugar sebaiknya ditunda sekurangnya hingga 30-60 detik. Jika sirkulasi
plasenta tidak utuh, misalnya solusio plasenta, pasenta previa atau avulsi tali pusat,
penjepitan tali pusat harus dilakukan segera setelah lahir.

BBL dengan delayed cord campling memiliki volume dan tekanan darah lebih
tinggi, lebih jarang mengalami perdarahan intra ventrikular atau enterokolitis
nekrotikan tetapi mungkin mengalami peningkatan kadar bilirubin sedikit lebih tinggi.
Penilaian frekuensi jantung

Penilaian awal freluensi jantung mungkin menggunakan stesoskop. Auskultasi


pada dada kiri merupakan metode pemeriksaan fisik yang akurat untuk menentukan
frekuensi jantung BBL. Walaupun pulsasi dapat dirasakan pada puntung tali pusat
tetapi pemeriksaan ini kurang akurat dan mungkin tidak menggambarkan frekuensi
jantung yang sebenarnya. Jika penolong tidak dapat menentukan frekuensi jantung
dan bayi tidak bugar, segera pasang sensor oksimeter nadi atau ECG leads untuk
menilai frekuensi jantung. Selama stabilisisasi pasca intervensi awal, EKG
memperlihatkan frekuensi jantung lebih cepat dan akurat dibandingkan oksimeter
nadi.

Manajemen Oksigen

Konsentrasi oksigen saat VTP pada BBL dengan kehamilan > 35 minggu
dimulai dengan oksigen 21% (udara ruangan) dan pada kehamilan < 35 minggu
dimulai dengan oksigen 21-30%.

Pemberian oksigen aliran bebas dimulai dengan oksigen 30%, naik bertahap
jika perlu hingga tercapai target saturasi oksigen.

Jika dengan oksigen aliran bebas 100%, target saturasi oksigen tidak tercapai
atau terlihat tanda-tanda kesulitan napas, pertimbangkan CPAP.

Ventilasi Tekanan Positip

Pengisapan saat lahir hanya dilakukan untuk bayi dengan sumbatan jelas
atau memerlukan VTP. Pengisapan saat persalinan tidak menunjukkan manfaat. Jika
VTP diperlukan saat resusitasi bayi prematur, sebaiknya digunakan alat yang
dilengkapi tekanan positif akhir ekspirasi (TPAE). Penggunaan TPAE (5 cm H2O)
akan membantu paru bayi tetap sedikit mengembang diantara dorongan napas.

Bilamana VTP dimulai, Asisten memantau peningkatan frekuensi jantung


pada 15 detik VTP.
• Apabila Asisten menyampaikan “frekuensi jantung meningkat”, lanjutkan VTP
hingga 15 detik berikutnya, kemudian nilai ulang.

• Apabila Asisten menyampaikan “frekuensi jantung tidak meningkat, dada


mengembang,” lanjutkan VTP hingga 15 detik berikutnya, kemudian nilai ulang.

• Apabila Asisten menyampaikan “frekuensi jantung tidak meningkat dan dada tidak
mengembang,” lakukan langkah koreksi ventilasi (MR SOPPA) hingga dada
mengembang dengan ventilasi. Setelah dada mengembang, VTP selama 30 detik,
kemudian nilai ulang frekuensi jantung.

MR SOPPA


M Mask adjustment (gunakan teknik dua ibu jari)

R Reposition (posisi kepala netral atau sedikit ekstensi)

Setelah perlekatan baik, evaluasi gerakan dada, udara masuk, kemudian


frekuensi jantung

S Suction mouth (kedalaman nose tip - ear tragus)

O Open mouth


Setelah perlekatan baik, evaluasi gerakan dada, udara masuk, kemudian


frekuensi jantung

P Pressure dinaikkan ke 25/5 cm H2O

Setelah perlekatan baik, evaluasi gerakan dada, udara masuk, kemudian


frekuensi jantung

P Pressure dinaikkan ke 30/5 cm H2O


Setelah perlekatan baik, evaluasi gerakan dada, udara masuk, kemudian


frekuensi jantung

A Airway alternative (Pipa ET atau Sungkup Laring)



Evaluasi gerakan dada, udara masuk, detektor CO2 kemudian frekuensi jantung

• Lanjutkan VTP dengan tekanan 30 / 5 dan nilai kemungkinan untuk


menurunkan tekanan bilamana frekuensi jantung > 100 X/menit.

• Jika dada belum mengembang, pertimbangkan untuk menaikkan tekanan


hingga 40 / 5.

Penilaian frekuensi jantung kedua dilakukan setelah VTP dengan dada


mengembang dilaksanakan selama 30 detik.

 Jika frekuensi jantung < 100 X/menit: lanjutkan VTP 40-60 X/menit hingga timbul
upaya napas spontan
 Jika frekuensi jantung 60-99 X/menit 60: nilai ulang ventilasi. Jika perlu lakukan
langkah koreksi ventilasi

 Jika frekuensi jantung < 60 X/menit: nilai ulang ventilasi. Jika perlu lakukan
langkah koreksi ventilasi hingga insersi alternatif jalan napas (pipa ET atau
sungkup laring). Jika dengan VTP dada terlihat mengembang tetapi frekuensi
jantung tidak meningkat, naikkan konsentrasi oksigen hingga 100% dan mulai
kompresi dada.


Kompresi Dada

Intubasi sangat direkomendasikan sebelum memulai kompresi dada. Jika


intubasi sulit, gunakan sungkup laring. Pastikan kedalaman pipa ET sudah benar.

• Setelah pipa ET atau sungkup laring difiksasi, mulai kompresi dada dengan posisi
penolong di arah kepala bayi.

• Kombinasi VTP dengan kompresi dada dilakukan selama 60 detik kemudian nilai
frekuensi jantung.
Obat-obatan

Cairan yang direkomendasikan untuk penanganan hipovolemi akut adalah


NaCl 0,9% (normal saline) atau darah golongan darah O rhesus negatif. Cairan
Ringer laktat sudah tidak direkomendasikan. Semua obat-obatan dan cairan dapat
diberikan melalui kateter vena umbilical atau jarum intra oseus baik pada bayi cukup
atau kurang bulan.

Etik dan Penanganan pada Akhir Kehidupan

Tim maternal dan neonatal bersama orang tua BBL harus menyepakati
bagaimana dan bilamana upaya resusitasi tidak dilakukan atau dihentikan. BBL
dengan usia kehamilan < 23 minggu, berat lahir < 400 g atau dengan anomali
kongenital fatal misalnya Trisomi 13 mungkin tidak perlu dilakukan resusitasi.

Penghentian resusitasi dipertimbangkan pada BBL yang tidak berespon


setelah dilakukan resusitasi yang memadai selama 10 menit dan tidak ditemukan
tanda-tanda kehidupan (upaya napas dan denyut jantung).

Post Resuscitation Debriefing

• Untuk mengedepankan klinis praktis dalam pelayanan yang aman dan berkualitas,
sangatlah penting Tim Penolong sesegera mungkin melakukan evaluasi
pelaksanaan resusitasi dan melengkapi catatan resusitasi.

• Nemomik RECAP dapa digunakan untuk debrief:

o R Review how the NRP algorithm was followed


o E Evaluate team function


o C Consider feelings


o A Areas for improvement to be identified


o P PSLS submission for tracking purposes and to document any 
concerns.


Daftar Pustaka

AAP, AHA. Summary of the Revised Neonatal Resuscitation Guidelines.


2015:24(2);1-14

Bellini S. A Primer on updates to the neonatal resuscitation program. Nursing for


Women’s Health. 2016:2(2);305-8.

Erdsal HL, Mduma E, Svensen E, Perlman JM. Early initiation of basic resuscitation
interventions including face mask ventilation may reduce birth asphyxia related
mortality in low-income countries: a prospective descriptive observational study.
Resuscitation. 2012:83;869–73.

Kamath BD, Berkelhamer SK, Ashish KC, Ersdal HL, Niermeyer S. Neonatal
resuscitation in global health settings: an examination of the past to prepare for the
future. Pediatric Research. 2017;82(2):194-200.

Katheria A, Arnell K, Brown M, Hassen K, Maldonado M, Rich W, et al. A pilot


randomized controlled trial of EKG for neonatal resuscitation. PLoS ONE.
2017:12(11);1-8.

Lamberg JJ. Neonatal advanced life support (NALS): Neonatal Resuscitation 2018
(cited 27 October 2018).

Available from: https://emedicine.medscape.com/article/2172079-overview

Perlman J, Wyllie J, Kattwinkel J, Wyckoff MH, Aziz H, Guinsburg. et al. Part 7:


Neonatal resuscitation: International consensus on cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care science with treatment recommendations.
Pediatrics. 2015;136;S120-66

Robin LB. Neonatal Resuscitation. Medscape 2015 (cited 27 October 2018)

Available from: https://emedicine.medscape.com/article/977002-overview#showall

Wyllie J, Ainsworth S. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2016;101:F469-73

Wyllie J, Bruinenberg J, Roehr CC, Rüdiger M, Trevisanuto D, Urlesberger B.


European resuscitation council guidelines for resuscitation. Resuscitation and
support of transition of babies at birth. Resuscitation. 2015:249–63.
TERAPI ASMA AKUT PADA ANAK

Sri Sudarwati
Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RS Hasan Sadikin Bandung

PENDAHULUAN
Asma akut (asma dalam serangan) merupakan bagian paling penting pada asma anak.
Sebagian besar asma serangan pada anak termasuk kedalam kelompok derajat ringan
sedang, dapat ditangani dirumah, sehingga tidak sampai mencari pertolongan ke rumah
sakit maupun dokter. Hanya sedikit asma serangan akut pada anak yang masuk serangan
derajat berat dan memerlukan perawatan di ruang gawat darurat atau ruang perawatan
intensif. Pasien-pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit umumnya adalah pasien
yang memerlukan pemberian pengobatan kontinyu dan yang perlu monitoring lanjutan dari
ruang rawat darurat.
Faktor pencetus utama dari eksaserbasi akut asma adalah infeksi respiratori akut
oleh virus, sekalipun pada atopik asma. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan
dengan terjadinya risiko kematian anak akibat asma antara lain riwayat pernah
menggunakan ventilator, adanya kunjungan ke ruang gawat darurat, pemakaian short-
acting β-agonis (SABA) yang berlebihan, alergi makanan, belum mendapat steroid inhalasi.
Selanjutnya akan dibicarakan mengenai definisi, manifestasi klinis dan diagnosis asma anak,
patofisiologi serangan asma akut, manifestasi klinis serangan asma, tatalaksana dirumah
dan di rumah sakit pada asma serangan akut.

DEFINISI
Asma serangan akut adalah suatu episode peningkatan progresif (perburukan) salah satu
atau lebih dari gejala klinis batuk, sesak napas, mengi (wheezing), rasa dada tertekan (chest
tightness) yang dipicu oleh adanya faktor pencetus atau pajanan terhadap alergen, dapat
pula karena ketidakpatuhan pemakaian obat pengendali (controller). Pada episode
serangan akut tersebut akan terjadi penurunan uji fungsi paru. Episode serangan akut berat
dapat terjadi pada asma yang terkontrol penuh atau sebagian.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS ASMA ANAK


Batuk hilang timbul dan wheezing fase ekspirasi merupakan gejala klinis kronik yang paling
banyak ditemukan pada asma anak. Anak yang lebih besar sering mengeluhkan adanya rasa
dada tertekan atau dada terasa berat, kadang rasa sakit dada yang tidak terlokalisir. Semua
gejala respiratori ini umumnya memburuk pada malam hari, mengganggu tidur terutama
serangan asma yang dipicu oleh infeksi virus dan alergen inhalan. Gejala klinis serangan
pada siang hari umumnya berhubungan dengan aktivitas fisik (exercise-induced asthma).
Kadang-kadang gejala klinis serangan asma tidak tampak secara jelas dan tidak spesifik
misalnya kemampuan aktivitas fisik yang terbatas atau kelemahan umum. Riwayat adanya
perbaikan gejala klinis setelah pemberian bronkodilator dan kortikosteroid dapat
menyokong diagnosis asma. Apabila gejala klinis tetap setelah pemberian bronkodilator dan
kortikosteroid, perlu dipertimbangkan kondisi lain yang menyerupai asma.
Serangan asma akut dapat dipicu oleh berbagai kondisi atau pajanan terhadap
alergen antara lain aktivitas fisik, hiperventilasi (tertawa), udara dingin atau kering, berbagai
iritan saluran respiratori (alergen indoor,aeroalergen, polutan, bau menyengat, lingkungan,
comorbid, obat-obatan). Beberapa pajanan yang memicu inflamasi saluran respiratori yaitu
infeksi patogen saluran napas atas (rhinovirus, respiratory syncitial virus, metapneumovirus,
parainfluenza virus, influenza virus, adenovirus, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumoniae), alergen inhalasi, udara dingin atau kering. Adanya faktor risiko seperti
penyakit alergi lain misalnya rhinitis, konjungtivitis, dermatitis atopik, alergi makanan,
riwayat asma pada orangtua dapat menyokong diagnosis asma. Sebagian besar pasien asma
yang berkunjung ke poli rawat jalan tidak menunjukkan gejala klnis serangan akut, hanya
diperoleh anamnesis yang menyokong diagnosis asma. Beberapa pasien didapatkan batuk
persisten saja, bisa ditemukan wheezing pada saat pasien diminta melakukan inhalasi dan
ekspirasi maksimal, perbaikan gejala klinis setelah pemberian bronkodilator dapat pula
menyokong diagnosis asma.
Pada asma serangan akut ditemukan wheezing ekspiratoir dan pemanjangan fase
ekspirasi yang terdengar saat auskultasi. Obstruksi saluran respiratori menyebabkan
terjadinya hipoventilasi yang bermanifestasi penurunan suara napas pada beberapa area
paru terutama lobus inferior kanan bagian belakang. Kadang terdengar crackles akibat
produksi mukus yang sangat banyak dan eksudat inflamasi saluran respiratori.

PATOFISIOLOGI SERANGAN ASMA AKUT


Manifestasi klinis yang terjadi pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori
yang luas akibat spasme otot polos bronkus, inflamasi salurang respiratori yang
mengakibatkan edema mukosa, dan adanya sumbatan mukus. Sumbatan saluran respiratori
pada serangan asma tidak terjadi secara merata pada seluruh area paru, sehingga terjadilah
atelektasis segmental atau subsegmental. Selain itu juga terjadi perubahan tahanan saluran
respiratori yang tidak merata di seluruh bronkus sehingga menyebabkan tidak padu
padannya ventilasi dan perfusi (ventilation-perfussion missmatch). Penyempitan saluran
respiratori menyebabkan peningkatan tahanan didalamnya, udara terperangkap (air-
trapping), distensi paru meningkat (hiperinflasi). Hiperinflasi ini akan menyebabkan
penurunan compliance paru sehingga terjadi peningkatan usaha napas. Udara ekspirasi yang
tertahan juga menyebabkan peningkatan tekanan intrapulmonal sehingga dapat terjadi
pneumotoraks akibat distensi alveoli yang berlebihan.

Bagan 1. PATOFISIOLOGI ASMA

Faktor lingkungan Inflamasi saluran Faktor genetik


respiratori
 Alergen
 Infeksi saluran respiratori
 Asap rokok
 Polusi udara

Hiperresponsivitas Remodelling
saluran respiratori

Faktor eksaserbasi Keterbatasan aliran


udara
 Alergen
 Infeksi saluran respiratori  Kontraksi otot polos
 Asap rokok  Sekresi mukus
 Polusi udara  Edema
 Perubahan cuaca
 Latihan fisis
 Faktor psikologis Gejala asma

 Wheezing
 Peningkatan waktu ekspirasi
 Dispneu

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS SERANGAN ASMA AKUT


Asma serangan adalah episode akut atau sub-akut peningkatan progresif (memburuknya)
gejala klinis dan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi aliran udara selama terjadi serangan
asma makin bertambah luas, dan dapat menimbulkan kondisi yang mengancam jiwa.
Serangan asma sering muncul pada saat tidur (mulai tengah malam sampai pagi), dimana
terjadi puncak inflamasi dan hiperresponsif saluran respiratori. Bila obstruksi saluran
respiratori pada serangan asma tidak membaik dengan pemberian bronkodilator, maka
akan menimbulkan ventilation-perfusion missmatch. Serangan asma berat juga dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum maupun
atelektasis.
Karakteristik gejala klinis serangan asma bervariasi pada setiap individu, namun
umumnya cenderung sama pada seseorang. Serangan asma derajat berat bisa menunjukkan
gejala klinis distres napas, hipoksia, memerlukan perawatan di rumah sakit yang dapat
dijadikan prediktor terjadinya episode serangan asma berikutnya yang fatal atau
mengancam jiwa. Serangan asma akut derajat berat yang tidak memberikan respons
terhadap pemberian terapi standar disebut status asthmaticus. Penanganan segera pada
serangan asma akut meliputi evaluasi secepatnya derajat beratnya serangan, identifikasi
adanya faktor risiko kemungkinan terjadinya perburukan klinis. Umumnya serangan asma
akut pada anak membaik dengan pemberian bronkodilator dan kortikosteroid sistemik (oral
atau intraveva). Pasien asma yang pernah mengalami serangan berat yang mengancam jiwa
termasuk kelompok asma persisten sedang atau berat.
Faktor risiko morbiditas dan mortalitas asma meliputi faktor biologis, faktor
lingkungan, faktor ekonomi dan psikososial. Faktor biologis misalnya riwayat pernah
serangan berat yang memerlukan perawatan intensif atau sampai intubasi, riwayat gagal
napas, dirawat karena asma 2x atau lebih dalam 1 tahun terakhir, riwayat rawat di instalasi
gawat darurat karena serangan asma 3x atau lebih, ada variasi uji fungsi paru siang dan
malam, memakai salbutamol inhalasi >2 canister per bulan, anak laki-laki, tidak respons
terhadap pemberian kortikosteroid sistemik, riwayat berat badan lahir rendah. Faktor
lingkungan meliputi pajanan alergen, asap rokok, polusi udara, dan tinggal didaerah urban.
Faktor ekonomi dan psikososial meliputi kemiskinan, hunian padat, pendidikan ibu, akses
pelayanan kesehatan kurang, pengertian tentang serangan asma akut masih kurang.
Penilaian derajat serangan asma akut pada anak dibagi menjadi serangan asma
derajat ringan-sedang, berat dan ancaman henti napas. Derajat serangan asma akut
berbeda dengan derajat penyakit asma (lebih bersifat aspek kronik). Seorang anak asma
persisten berat dapat saja mengalami serangan asma derajat ringan-sedang, sebaliknya
anak dengan asma intermiten dapat mengalami serangan asma derajat berat bahkan
acaman henti napas yang bisa mengakibatkan kematian.
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya serangan asma fatal antara lain:
 Riwayat pernah serangan asma akut yang memerlukan bantuan ventilator
 Ada riwayat kunjungan ke ruang gawat darurat atau dirawat karena asma dalam satu
tahun terakhir
 Pemberian steroid sistemik baru berhenti (untuk serangan asma sebelumnya)
 Penggunaan short-acting β2 agonist (SABA), Salbutamol inhaler lebih dari 1 canister
per bulan
 Ada gangguan psikososial atau psikiatri
 Sudah lama menggunakan steroid inhalasi
 Tidak patuh dalam pemakaian obat pengendali asma (controller)
 Pasien asma dengan riwayat alergi makanan.
Tabel 1. Derajat keparahan serangan asma akut
Asma serangan ringan Asma serangan berat Serangan asma dengan
sedang ancaman henti napas
 Bicara dalam kalimat  Bicara dalam kata  Mengantuk
 Lebih nyaman duduk  Duduk bertopang lengan  Letargi
daripada berbaring  Gelisah  Suara napas tak
 Tidak gelisah  Frekuensi napas terdengar
 Frekuensi napas meningkat
meningkat  Frekuensi nadi
 Frekuensi nadi meningkat
meningkat  Retraksi jelas
 Retraksi minimal  SpO2 (udara kamar):
 SpO2 (udara kamar): 90- <90%
95%  PEF ≤50% prediksi atau
 PEF >50% prediksi atau terbaik
terbaik

Serangan asma akut adalah suatu perburukan gejala klinis dan fungsi paru dibanding
sebelumnya. Penurunan aliran udara ekspirasi pada serangan asma akut dapat dinilai melalui
pengukuran uji fungsi paru forced-expiratory volume in 1 second (FEV1) atau peak expiratory
flow-rate (PEFR). Beberapa pasien asma menunjukkan gejala klinis serangn akut yang
minimal, namun fungsi parunya sangat rendah. Hal ini sering terjadi pada pasien yang pernah
mengalami seranga asma akut yang mengancam jiwa.

TATA LAKSANA SERANGAN ASMA


Tata laksana serangan asma diberikan berdasarkan derajat serangannya, sehingga penentuan
derajat serangan asma harus dinilai dengan benar. Beberapa gejala yang menunjukkan
peningkatan obstruksi aliran udara ekspirasi seperti penggunaan otot pernapasan tambahan,
wheezing, saturasi O2 < 92%, penurunan udara masuk, gelisah (parameter untuk menghitung
pediatric respiratory assessment measure atau PRAM). Tata laksana serangan asma meliputi
tata laksana dirumah, di ruang gawat darurat, di ruang rawat.
TATA LAKSANA DI RUMAH
Pasien dan orangtuanya diberi edukasi untuk membuat buku catatan harian asma atau
Asthma Action Plan untuk memberi petunjuk cara mengenali gejala klinis serangan asma dan
memberikan pertolongan sementara dirumah, cara penggunaan obat-obat asma dan rambu-
rambunya. Pengenalan dini suatu serangan asma akut dan memberikan pertolongan segera
dengan obat yang direkomendasikan dapat mencegah terjadinya perburukan asma atau
mencegah serangan menjadi berat. Buku catatan harian asma ini dapat mengurangi kejadian
kematian akibat serangan asma sampai sebesar 70%.
Penanganan sementara dirumah yang dapat diberikan oleh orangtua/keluarga:
1. Via Nebulizer
Salbutamol nebule 1 ampul dinebulisasikan selama 10-15 menit (anak usia <8 tahun
memakai face-mask (sungkup nebulizer), anak usia > 8 tahun boleh menggunakan mouth
piece maupun face mask → dinilai setelah 30 menit, bila masih ada gejala boleh diulang
sekali lagi → bila dengan 2x pemberian tidak membaik maka harus segera dibawa ke
ruang gawat darurat.
2. Via inhaler atau pressurized metered dose inhaler (pMDI) + Spacer
Salbutamo pMDI 2 semprotan melalui spacer, setiap satu semprot diikuti tarikan napas
biasa 6-8 kali yang terlihat melalui gerakan klep pada spacer → evaluasi setelah 30 menit,
jika gejala belum membaik, boleh diulang 2 semprotan lagi seperti yang pertama → bila
tetap tidak membaik setelah 30 menit, maka harus dibawa ke ruang gawat darurat.
Penanganan serangan asma dirumah tidak boleh dilakukan bila ada faktor risiko terjadinya
fatal asma atau mengalami serangan asma akut derajat berat. Pada pemberian salbutamol
inhalasi, gejala klinis serangan asma biasanya akan hilang dalam 1-4 jam kemudian. Tetapi
salbutamol tetap diberikan sampai 24-48 jam selanjutnya.
TATA LAKSANA DI FASYANKES DAN UGD
Tata laksana asma di UGD bertujuan mengurangi hipoksemia, memperbaiki obstruksi saluran
respiratori, mencegah berulangnya serangan. Intervensi yang dilakukan pada saat pasien
datang harus berdasarkan beratnya serangan, responsnya terhadap bronkodilator dan
adanya faktor risiko terjadinya serangan asma fatal. Pasien serangan asma akut yang rawat di
UGD, dapat dipulangkan apabila sudah ada perbaikan klinis, pemeriksaan fisik normal, PEFR >
70% prediksi nilai normal, saturasi oksigen >92%.
Pada serangan derajat ringan sedang, tata laksana awal diberikan nebulisasi
salbutamol atau via pMDI + spacer, dapat diulang 2x selama 1 jam, pada nebulisasi ketiga
ditambahkan Ipratropium bromida. Bila membaik, dapat dipulangkan namun bila tidak ada
perbaikan maka harus dipasang jalur intravena untuk memberikan obat-obat intravena.
Bila respons baik, pasien dipulangkan
- Saat pulang dibekali salbutamol hirupan atau oral (0,1 mg/kgBB/kali), yang diberikan
setiap 4-6 jam selama 3-5 hari, atau seperlunya sampai tidak ada gejala. Juga diberi
steroid sistemik oral berupa prednison atau metilprednisolon 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3
dosis, selama 3-5 hari tanpa tappering off. Pemberian steroid sistemik tidak dapat diulang
sendiri oleh pasien, diusahakan pasien asma tidak mendapat steroid sistemik lebih dari 1x
dalam sebulan.
- Bila sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali (controller), maka
dilanjutkan.
- Evaluasi di poli rawat jalan 3-5 hari kemudian.
Bila respons buruk, pasien dirujuk untuk rawat inap
- Dirujuk/dirawat bila setelah nebulisasi ketiga, respons tidak ada atau malah memburuk.
- Artinya serangan berat, sehingga harus masuk rawat inap atau PICU bila ada ancaman
henti napas.

TATA LAKSANA SERANGAN ASMA BERAT (YANG DIRAWAT ATAU MASUK PICU)
Pasien serangan asma yang tidak membaik dengan pengobatan intensif dalam 1-2 jam harus
dirawat di rumah sakit minimal 1 hari. Indikasi rawat pada serangan asma juga berlaku pada
asma yang memiliki faktor risiko terjadi serangan fatal (kematian). Bila ada gagal napas atau
distres napas yang berat dan tidak memberi respons terhadap bronkodilator maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif.
Tata laksana di Ruang Rawat Sehari
- O2 tetap diberikan
- Nebulisasi dilanjutkan dengan salbutamol + ipratropium bromida setiap 2 jam
- Berikan steroid sistemik per oral prednisolon atau prednison sampai 3-5 hari
- Bila dalam 12 jam klinis membaik, maka dipulangkan dengan dibekali salbutamol hirupan
atau oral 0,1 mg/kgBB/kali setiap 4-6 jam dan steroid oral berupa prednison atau
prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 3-5 hari.
- Bila dalam 12 jam klinis tidak membaik, maka masuk ruang rawat
Tata laksana di ruang rawat inap
- Pasang akses intravena, atasi dehidrasi bila ada
- Steroid intravena diberikan setiap 6-8 jam
- Nebulisasi salbutamol + ipratropium bromida dilanjutkan setiap 1-2 jam, bila klinis
mengalami perbaikan maka nebulisasi dijarangkan menjadi tiap 4-6 jam.
- Berikan Aminofilin intravena mula-mula bolus 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dextrosa 5%
atau NaCl fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 30 menit (drip). Dilanjutkan rumatan
0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Bila pasien sudah pernah mendapat aminofilin dalam 8 jam terakhir, maka dosis
aminofilin diatas dikurangi menjadi setengahnya.
- Pemantauan efek samping aminofilin berupa mual, muntah, takikardi dan agitasi. Bila
berat dapat berupa aritmia, hipotensi dan kejang.
- Bila pasien mengalami perbaikan klinis, nebulisasi dilanjutkan setiap 6 jam hingga
mencapai 24 jam, bila stabil pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti yang dilakukan
pada ruang rawat sehari atau UGD.
Tata laksana di ruang rawat intensif
Pasien serangan asma dengan distres napas sangat berat, tidak memberikan respons
terhadap tata laksana awal, dan ada potensi terjadi gagal napas harus dirawat di ruang
intensif. Pasien mungkin akan memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemasangan
ventilator pada gagal napas akibat serangan asma berat bertujuan untuk mengurangi
hiperinflasi paru akibat obstruksi saluran respiratori, tekanan ventilasi harus dibuat seimbang
agar tidak menimbulkan barotrauma yang dapat menyebabkan pneumotoraks atau
pneumomediastinum. Pasien dengan serangan asma berat dan ada ancaman henti napas
sebaiknya rawat di PICU karena intubasi dan pemasangan ventilator di PICU lenih aman
dibanding pada setting emergensi. Secara garis besar, tata laksana serangan asma di ruang
rawat intensif adalah:
- Oksigen suplemental, sedapat mungkin menghindari pemakaian ventilator.
- Salbutamol nebulisasi setiap 20 menit selama 1 jam pertama (nebulisasi yang ketiga
adalah salbutamol + ipratropium bromida) atau continous nebulization salbutamol 5-15
mg/jam disertai monitoring jantung (efek samping: takikardi, tremor, hipokalemi).
- Steroid sistemik diberikan intravena.
- Pemeriksaan penunjang darah rutin, analisis gas darah, elektrolit, foto toraks diperlukan
untuk mengetahui adanya komorbid, infeksi dan dehidrasi.
- Fisioterapi dada, pemeriksaan uji fungsi paru dan pemberian mukolitik tidak
direkomendasikan karena dapat memicu bronkonstriksi yang lebih berat.
- Pemberian aminofilin sesuai dengan pada serangan asma berat.
- Magnesium sulfat 25-75 mg/kgBB dengan dosis maksimum 2,5 gram diberikan secara
intravena pelan (dalam 20 menit).
- Pada pemberian aminofilin dan magnesium sulfat harus dilakukan monitoring kardiologi.
- Pada pasien yang tidak memberikan respons terhadap nebulisasi salbutamol, dapat
diberikan epinefrin subkutan 0,01 ml/kgBB, maksimal 0,5 ml.
Daftar Bacaan
1. Liu AH, Covar RA, Spahn JD, Sicherer SH. Childhood asthma. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi
ke-20. Philadhelpia: Elsevier; 2016. H 1095-1115.
2. Kercsmar CM, McDowell KM. Wheezing in Older Children: Asthma. Dalam: Wilmott RW,
DeterdingR, Li A, Ratjen F, Sly P, Zar HJ, Bush A, penyunting. Kendig’s Disorders of The
Respiratory Tract in Children. Edisi ke 9. Philadhelpia: Elsevier; 2018. H 684-735.
3. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
4. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative for Asthma
2018. Diunduh dari: http://www.ginasthma.org.
5. Papi A, Caramori G, Adcock IA, barnes PJ. Rescue Treatment in Asthma*More than As-
Needed Bronchodilation. Chest. 2009; 135:1628-33.
PEMILIHAN TERAPI CAIRAN PADA ANAK SAKIT KRITIS

Dzulfikar DLH
Emergensi / Ruang Rawat Intensif Anak
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran /
Rumah Sakit Umum Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung

PENDAHULUAN

Pengetahuan mengenai terapi cairan merupakan salah satu komponen yang penting dan
memiliki peran utama dalam perawatan anak sakit kritis. Pengisian volume yang agresif
ditujukan untuk membantu penghantaran oksigen jaringan dan berkaitan dengan luaran yang baik.
Indikasi pemberian cairan intravena adalah untuk resusitasi cairan, koreksi elektrolit, transpor obat,
dan nutrisi parenteral. Paradigma saat ini antara lain strategi tatalaksana terapi cairan Early Goal
Directed Therapy (EGDT), late conservative fluid management, dan late goal‐directed fluid removal.1
Selain itu dikenal konsep terapi cairan "empat D", yaitu drug (obat), dosis, durasi, dan de-eskalasi.
Selama perawatan anak sakit kritis, empat fase terapi cairan harus dipertimbangkan untuk
memberikan jawaban atas empat pertanyaan dasar. Keempat fase ini adalah fase resusitasi, fase
optimisasi, fase stabilisasi, dan fase evakuasi. Keempat pertanyaan tersebut adalah “Kapan memulai
cairan intravena?”, “Kapan menghentikan cairan intravena?”, “Kapan memulai de-resusitasi?” dan
akhirnya “Kapan menghentikan de-resusitasi?” 2,3
Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa
resusitasi cairan yang agresif merupakan pendekatan awal paling baik dalam tatalaksana stabilisasi
kardiovaskular, namun hanya 50% pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang memiliki respons
baik terhadap pemberian cairan. 4, 5

ETIOLOGI DAN TATALAKSANA GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN

Ketidakseimbangan cairan dapat berupa defisit atau cairan berlebih. Defisit cairan dapat
terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan (diare atau muntah),
perpindahan cairan ke rongga ketiga (luka bakar, pasca bedah abdomen), menurunnya
asupan cairan (mekanisme haus yang terganggu, disfagia, puasa lama). Kehilangan cairan
tubuh juga dapat disebabkan oleh perpindahan cairan ke rongga ketiga (third spacing),
contohnya asites, pankreatitis, luka bakar, peritonitis, sepsis, dan obstruksi intestinal.
Cairan berlebih (fluid overload) terjadi akibat retensi atau asupan air yang berlebihan,
menurunnya ekskresi air oleh ginjal, atau menurunnya mobilisasi cairan dalam ruang

1
intraseluler. Umumnya cairan berlebih disebabkan karena disfungsi kardiorespirasi, disfungsi
ginjal, dan syndrome of inappropriate of antidiuretic hormone (SIADH).

TERAPI CAIRAN

Jenis Cairan
 Kristaloid, terdiri dari:
 Isotonis : NaCl 0,9%, RL
 Hipotonis : D5%, NaCl 0,45%, NaCl 0,33%, NaCl 0,225%, D5%+NaCl 0,225%
 Hipertonis : NaCl 3%
 Koloid, misalnya albumin, dekstran, gelatin, hydroxyethyl starch (HES)

Cairan Defisit
Cairan defisit diberikan bila terdapat dehidrasi akibat kehilangan cairan yang berlebihan,
misalnya pada penyakit gastrointestinal dengan muntah dan diare, jejas traumatik dengan
kehilangan darah yang banyak, atau asupan cairan yang tidak adekuat dalam periode waktu
tertentu. Derajat defisit cairan dapat dinilai berdasarkan penurunan berat badan, atau
berdasarkan tanda-tanda klinis.

Cairan rumatan
Cairan rumatan digunakan untuk mempertahankan status hidrasi anak untuk
mengkompensasi kehilangan cairan yang sedang terjadi (ongoing losses), baik kehilangan
cairan yang disadari (sensible losses) dalam bentuk urin dan feses, serta kehilangan cairan
yang tidak disadari (insensible losses) dalam bentuk air yang keluar melalui pernapasan dan
keringat. Kebutuhan cairan pada anak lebih besar dibandingkan dengan dewasa karena: (1)
laju metabolisme lebih besar pada anak sehingga pengeluaran kalori dan kebutuhan cairan
menjadi lebih besar, (2) anak memiliki rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan yang
lebih besar, sehingga lebih banyak cairan yang keluar melalui kulit, (3) anak memiliki laju
napas yang lebih cepat, sehingga lebih banyak air yang keluar melalui pernapasan.
Metode yang paling sering digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan rumatan
pada anak adalah Holliday-Segar. Perhitungan dilakukan berdasarkan berat badan kering.
Cara perhitungan berdasarkan metode Holliday-Segar adalah sebagai berikut:
Berat badan 10 kg pertama : 100 mL/kg/hari (1000 mL/hari) atau 4 mL/kg/jam (40 mL/jam).
Berat badan 10–20 kg : untuk tiap kilogram berat badan di atas 10 kg, ditambahkan
50 mL/kg/hari dengan 1000 mL/hari, atau ditambahkan
2
2 mL/kg/jam dengan 40 mL/jam.
Berat badan >20 kg : untuk tiap kilogram berat badan di atas 20 kg, ditambahkan
20mL/kg/hari dengan 1500 mL/hari, atau ditambahkan
1 mL/kg/jam dengan 60 mL/jam.
Kebutuhan cairan rumatan harus disesuaikan dengan kondisi penyakitnya. Pasien
yang mengalami panas, trauma luka bakar, hipermetabolisme, nyeri, asma, dan meningkatnya
kehilangan cairan melalui intestinal akan meningkatkan kebutuhan cairan rumatan. Anak
sakit dengan ventilasi mekanik menerima udara yang hangat dan telah dilembabkan sehingga
insensible loss lebih sedikit dan kebutuhan cairan rumatan dapat dikurangi sekitar 15%. Pada
pasien dengan trauma kepala, pemberian cairan harus direstriksi untuk mencegah edema
serebri. Umumnya diberikan 2/3 dari rumatan, namun tetap harus diperhatikan untuk
mempertahankan volume intravaskuler, tekanan pengisian, dan curah jantung. Panas
meningkatkan kebutuhan cairan 10% tiap kenaikan 1ºC di atas 38ºC. Pada trauma luka bakar,
digunakan formula Parkland untuk menghitung kebutuhan cairan. Kebutuhan cairan untuk
luka bakar derajat 2 dan 3 adalah cairan rumatan + (4 mL x persentase luas permukaan luka
bakar). Setengah cairan diberikan dalam 8 jam pertama, dan setengah sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Jenis cairan yang diberikan adalah RL. Pada pasien dengan anuria
atau oliguria, diberikan cairan sekitar 1/3 dari rumatan + jumlah urin (bila ada).

Penggantian ongoing losses


Cairan pengganti diberikan untuk mengganti cairan yang hilang akibat pengobatan medis
yang diberikan, misalnya pasien yang terpasang chest tube, muntah dan diare yang terus-
menerus, atau eksternalisasi dari selang VP shunt.

RESUSITASI CAIRAN PADA ANAK SAKIT KRITIS


Anak yang mengalami syok harus mendapat resusitasi cairan kristaloid sebanyak 20 mL/kgBB bolus
dalam waktu 5-20 menit. Resusitasi cairan syok sepsis anak berupa kristaloid sebanyak 20 mL/kgBB
(dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB) bolus cepat dalam waktu 5-20 menit (dapat diulang sampai total
40-60mL/kgBB). Target resusitasi cairan adalah kembalinya perfusi organ dalam satu jam sejak syok
terdeteksi, meliputi perbaikan tanda vital, derajat kesadaran, waktu pengisian kapiler, dan luaran urin.6
Bila resusitasi cairan melebihi 60 mL/kgBB, maka pasien berisiko mengalami edema jaringan dan
menurunkan kemampuan pertukaran gas di tingkat alveolus maupun di tingkat jaringan. Kemampuan
difusi oksigen pada pasien syok sangat erat kaitannya dengan ketebalan edema membran alveolus-
kapiler akibat lebih cairan.6

3
Untuk resusitasi pasien syok pada anak dapat menggunakan cairan isotonis, meliputi cairan NaCl
0,9%, Ringer laktat, Ringer asetat, atau cairan berimbang (balanced solution) yang komposisinya
mirip plasma. Koloid natural albumin 5% dapat dipakai untuk resusitasi syok sepsis anak bersama-
sama dengan kristaloid. Cairan koloid semisintetis (hydroxyethyl starch, gelatin, dekstran) pada syok
sepsis dewasa meningkatkan risiko gagal ginjal akut dan kematian dibandingkan dengan kristaloid.
Cairan kristaloid hipertonis dapat dipakai resusitasi dengan volume kecil, bolus 5mL/kgBB dalam
waktu 5-15 menit (misalnya NaCl 3% atau natrium laktat hipertonis), selain hemat cairan,
menghindari jejas reperfusi dan lebih cairan pada pasien syok sepsis. 7, 8

Tabel 1. Komposisi cairan kristaloid


Tipe cairan Osmolalitas Tonisitas Sodium Klorida Kalium Laktat Kalsium Glukosa
NaCl 0.9% 308 isotonik 154 154 - - - -
NaCl 0,9% + 586 isotonik 154 154 - - - 50
Dextrose 5%
0,45% NaCl+ 5% 432 hipotonik 77 77 20 - - 50
dextrose+
20mmol/L Kcl
Cairan Hartmann 278 isotonik 131 111 5 29 2 -
Ringer’s lactate 273 isotonik 130 109 4 28 1.4 -
Plasma-lyte 294 isotonik 140 98 5 8 - -
Glukosa 5% 278 hipotonik - - - - - 50-
NaCl 3% 1026 hipertonik 513 513 - - - -
Sumber : Green 20179

Untuk resusitasi cairan syok sepsis pada anak, terdapat 10 langkah implementasi Early Goal
Directed Therapy (EGDT), sebagai berikut6:
1. Pengenalan syok secara dini di ruang triase, ditandai dengan hipotensi dengan nadi kuat pada
syok hangat, perfusi perifer menurun, waktu pengisian kapiler memanjang >2 detik pada syok
dingin terkompensasi, serta kombinasi hipotensi dan menurunnya perfusi perifer pada syok
dingin dekompensasi
2. Transpor pasien secepat mungkin ke ruangan resusitasi dan aktifkan tim resusitasi
3. Pemberian oksigen segera dan pasang jalur intravena perifer dalam 90 detik
4. Bila tidak berhasil setelah 3 kali tusukan vena perifer, pertimbangkan akses intraoseus
5. Palpasi hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
6. Bila hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus garam isotonis (kristaloid)
dan/atau albumin 5% (koloid) sebanyak 20 mL/kgBB dalam 5–10 menit sampai total 60
mL/kgBB atau terjadi perbaikan perfusi atau pembesaran hati atau ronki. Pemberian packed
red cell 20 mL/kgBB pada syok hemoragis, bila terapi cairan tidak memberikan respons. Bila
hepar membesar, waspadai syok kardiogenik, bolus kristaloid hanya 10 mL/kgBB.
7. Bila waktu pengisian kapiler >2 detik dan/atau hipotensi menetap selama resusitasi cairan,
berikan epinefrin intravena perifer/intraoseus, dosis 0,05 microgram/kg/menit

4
8. Bila ada risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid sebelumnya, sindrom Waterhouse
Friederichsen, atau anomali hipofisis), berikan hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan
dengan titrasi 2–50 mg/kgBB/hari (bila tidak ada, berikan steroid dengan dosis setara
hidrokortison, seperti metilprednisolon dan deksametason)
9. Bila syok berlanjut, untuk sedasi pada pemasangan akses vena sentral, berikan atropin (0,02
mg/kgBB) dan ketamin (1–2mg/kgBB). Bila diperlukan ventilasi mekanis, untuk induksi
intubasi gunakan atropin dan ketamin serta penghambat neuromuskuler
10. Target EGDT adalah waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik, tekanan darah normal
sesuai usia, dan membaiknya indeks syok (denyut jantung/tekanan darah sistolik)

MODEL “THREE HIT” PADA SYOK

Resusitasi cairan berlebih dapat menyebabkan edema, sindrom polikompartemen, gagal multi organ,
dan luaran yang buruk. Pedoman EGDT untuk tata laksana syok sepsis terutama menekankan
resusitasi awal. Malbrain mengembangkan model Three Hit pada syok pasien dewasa untuk
menghindari lebih cairan pasca resusitasi yang mengakibatkan Global Increased Permeability
Syndrome (GIPS). Model ini tampaknya bisa diterapkan pada anak. 3, 5

Early adequate goal directed fluid management (EAFM)

Banyak penelitian mengacu pada tata laksana EGDT (EAFM) untuk mencapai target resusitasi cairan
sebanyak 25−50 mL/kgBB dalam 6−8 jam pertama resusitasi pada kasus syok hipovolemia dan syok
sepsis. Ada pula yang berpendapat bahwa cairan sebanyak itu dapat berdampak buruk menyebabkan
lebih cairan dan mengajukan strategi yang lebih konservatif.

Late Conservative Fluid Management (LCFM)

Menurut penelitian terbaru, tata laksana cairan konservatif kasip (LCFM) yang didefinisikan sebagai
balans cairan nol atau negatif dua hari berturut-turut dalam minggu pertama perawatan di ruang
intensif, merupakan prediktor kelangsungan hidup yang kuat dan independen. Sebaliknya, pasien
yang mengalami inflamasi sistemik persisten akan tetap mengalami kebocoran albumin transkapiler,
tidak bisa mencapai fase Flow, dan terus mengalami balans cairan positif.

5
Late Goal Directed Fluid Removal (LGFR)

Pada beberapa pasien perlu pembuangan cairan lebih agresif dan aktif dengan pemberian diuretik dan
terapi sulih ginjal dengan ultrafiltrasi neto. Keadaan ini disebut deresusitasi.

Model Three hit meliputi:


a. First hit = jejas akut (misalnya pneumonia menyebabkan syok sepsis)
b. Second hit = multi-organ dysfunction syndrome (MODS)
c. Third hit = global increased permeability syndrome (GIPS)

Tabel 2. Model Three Hit pada Syok


First Hit Second Hit Third Hit
Penyebab Reaksi inflamasi Reperfusi iskemia GIPS
Fase Ebb Flow Tidak ada flow
Cairan Life saving Penanda sakit kritis Toksik
Pemantauan Hemodinamik fungsional Fungsi organ (EVLWI, Perfusi
seperti stroke volume IAP)
Tata Laksana Early adequate goal Late Conservative Fluid Late Goal Directed Fluid
directed fluid Management (LCFM) Removal (LGFR).
management (EAFM)
Keseimbangan cairan Positif Netral Negatif
Sumber : Duchesne 20158

Untuk membedakan resusitasi fase awal dan fase lanjut, syok dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
Ebb (fase surut) dan fase Flow (fase alir). Fase Ebb (surut) ditandai dengan “nadi lemah dan
ekstremitas dingin serta lembab”. Selama fase Ebb, terjadi curah jantung rendah (low cardiac output)
dan perfusi jaringan buruk. Pada fase ini terjadi peningkatan kebutuhan natrium dan air sebagai
respons terhadap penurunan volume intravaskular serta disfungsi vasoregulator dan miokardium,
kebutuhan metabolisme meningkat, dan gangguan hantaran oksigen. Gangguan hemodinamis
menyebabkan hipoksia jaringan global, inflamasi, dan gagal napas. Pada fase Ebb, cairan resusitasi
agresif sering diberikan. Fase Ebb terjadi pada 48 jam pertama. 8, 10-12
Fase Flow (fase alir) adalah saat untuk mengakhiri fase Ebb. Untuk menghindari balans cairan
positif, edema jaringan serta disfungsi dan gagal organ, maka pasien harus melewati masa transisi fase
Ebb ke fase Flow yang dapat berlangsung sampai tiga hari. Pada fase ini terjadi peningkatan curah
jantung, perfusi jaringan kembali normal, diuresis, dan penurunan berat badan bertahap. Pada fase
Flow terjadi keseimbangan antara mediator proinflamasi dan antiinflamasi, tidak diperlukan lagi
tunjangan hemodinamis agresif dan terapi cairan, tetapi pasien yang mengalami inflamasi sistemik
persisten akan tetap berada pada fase bocor kapiler, tidak mengalami fase Flow. Fase flow biasanya
terjadi selama 2-7 hari.12
Kebocoran endotel tersebut menyebabkan cairan terakumulasi sehingga terjadi balans cairan
positif, disebut Global Increased Permeability Syndrome (GIPS), yaitu kondisi pasien yang tidak

6
memberi respons terhadap resusitasi cairan, terjadi peningkatan capillary leak index (CLI), tidak
membaik dengan tata laksana CLFM, dan terus berlanjut menjadi gagal multi organ. Capillary leak
index = rasio C-reactive protein (CRP, mg/dL) terhadap albumin (g/liter) x 100. GIPS terjadi pada
fase Third hit, setelah First hit dan Second hit. First hit menggambarkan jejas akut pada berbagai
organ, yang berlanjut pada fase Second hit ketika tubuh mengalami disfungsi multi organ, sedangkan
fase Third hit gambaran utamanya adalah kebocoran endotel global (GIPS).8

Hemodinamik GIPS dapat dipantau dengan melihat indeks bocor kapiler yang tinggi (CLI), cairan
interstisial berlebih dan indeks cairan ekstravaskular paru menetap tinggi (extravascular lung water
index [EVLWI]), late conservative fluid management (LCFM) tidak tercapai, dan berlanjut menjadi
gagal organ. Status GIPS mencerminkan model Third hit setelah jejas akut (First hit) yang berlanjut
menjadi sindrom disfungsi multi-organ (multi-organ dysfunction syndrome−MODS [Second hit]).
Third hit mungkin terjadi pada pasien yang tidak masuk ke fase Flow secara spontan. Bila pasien
berhasil pulih dari respons inflamasi akut maka mikrosirkulasi dan bocor kapiler akan pulih pada hari
ke-3.8

KONSEP 4 D DALAM RESUSITASI CAIRAN

Saat memberikan cairan pada pasien dengan syok sepsis, kita harus memperhitungkan komposisi serta
farmakokinetik dan farmakodinamik dari cairan tersebut. Dalam praktik sehari-hari, kita harus
memperhatikan 4 D dari terapi cairan, meliputi drug (obat), dosis, durasi, dan deekskalasi.2

Drug (obat)

Kita harus mempertimbangkan komponen cairan yang berbeda seperti kristaloid dengan koloid, darah,
serta cairan seimbang. Faktor klinis seperti adanya gagal ginjal, kadar albumin, keseimbangan cairan
juga harus diperhatikan dalam memilih jenis dan jumlah cairan yang akan diberikan. Ada 4 indikasi
pemberian cairan, yaitu resusitasi, rumatan, penggantian, dan nutrisi, atau kombinasi di antaranya.

Pasien syok sepsis sebaiknya diberikan cairan kristaloid ataupun koloid. Pasien dengan tekanan
kapiler rendah atau hipotensi, sebaiknya diberikan cairan kristaloid dibandingkan dengan albumin
atau plasma. Pasien yang memiliki risiko gagal ginjal akut, syok sepsis, maupun luka bakar,
sebaiknya tidak diberikan cairan hipertonis atau hidroksietil starch, pemberian cairan seimbang dapat
mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Pasien dengan hipoalbuminemia dapat diberikan cairan
albumin 5% untuk pilihan cairan resusitasi. Cairan yang mengandung glukosa tidak boleh diberikan
untuk resusitasi.

Cairan rumatan diberikan untuk memenuhi kebutuhan harian pasien atas air, glukosa, dan
elektrolit. Kebutuhan rumatan harian pasien meliputi 25-30ml/kg air, 1 mmol/kg kalium, 1-1,5
mmol/kg natrium, dan 1,4-1,6 g/kg glukosa atau dekstrosa 5 atau 10%. Jenis cairan isotonis ataupun

7
hipertonis yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumatan ini masih terus diperdebatkan. Pada
anak, cairan hipotonis terbukti meningkatkan risiko hiponatremia dan komplikasi neurologis.

Durasi

Semakin cepat diberikan resusitasi cairan, semakin rendah risiko terjadinya kerusakan organ akibat
ischaemia-reperfusion injury. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa late conservative fluid
management adalah yang paling baik.

Dosis

Farmakokinetik dan farmakodinamik juga harus diperhatikan dalam memberikan cairan resusitasi.
Setelah memberikan cairan, kita harus memperhatikan respons tubuh terhadap cairan yang diberikan.

Deekskalasi

Langkah terakhir dari terapi cairan adalah mempertimbangkan untuk mengurangi atau menghentikan
pemberian carian jika target resusitasi telah tercapai. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko
terjadinya lebih cairan > 10%.

KONSEP R.O.S.E.

Model Three-hit syok dapat diperluas menjadi model Four-hit dan bisa ditemukan lima fase dinamis
atau stadium pemberian cairan yang berbeda: Resusitasi, Optimisasi, Stabilisasi, dan Evakuasi
(R.O.S.E.), diikuti oleh risiko terjadinya Hipoperfusi. 5, 8, 13, 14 :

Fase Resusitasi (R)

 Resusitasi cairan penyelamat, bolus secepatnya (4 mL/kgBB dalam 10−15 menit)


 Targetnya adalah early adequate goal directed fluid management (EAFM), akan terjadi balans
cairan positif dan target resusitasi adalah: MAP > 65 mmHg, CI > 2.5 L/min/m2, PPV < 12%,
LVEDAI > 8 cm/m2

Fase optimisasi (O)

 Terjadi dalam beberapa jam


 Iskemia dan reperfusi
 Derajat balans cairan positif merupakan penanda derajat berat fase ini
 Risiko mengalami sindrom polikompartemen
 Tidak stabil, syok terkompensasi yang memerlukan titrasi cairan untuk curah jantung

8
 Target: MAP > 65 mmHg , CI > 2.5 L/min/m2, PPV < 14%, LVEDAI 8−12 cm/m2, IAP (< 15
mm Hg ) dipantau dan APP (> 55 mmHg ) dihitung. Optimalisasi Preload dengan GEDVI 640—
800 mL/m2

Fase Stabilisasi (S)

 Berkembang dalam beberapa hari


 Hanya terapi cairan untuk rumatan dan pengganti
 Tidak ada syok atau ancaman syok
 Pantau setiap hari berat badan, balans cairan dan fungsi organ
 Target: balans cairan netral atau negatif; EVLWI < 10−12 mL/kgBB, PVPI < 2.5, IAP < 15
mmHg, APP > 55 mmHg, COP > 16−18 mmHg , and CLI < 60

Fase Evakuasi (E)

 Pasien yang tidak mengalami pergeseran dari fase Ebb ke fase Flow syok setelah Second hit akan
mengalami global increased permeability syndrome (GIPS)
 Lebih cairan akan menyebabkan disfungsi end-organ
 Keadaan ini memerlukan pembuangan cairan: late goal directed fluid therapy (LGDT)
(deresusitasi) untuk mencapai balans cairan negatif
 Hindari membuang cairan berlebih yang dapat menyebabkan hipovolemia

DERESUSITASI

Tata laksana resusitasi cairan EGDT menekankan resusitasi awal. Setelah resusitasi cairan awal
memadai mengatasi syok, kemudian kita harus melakukan restriksi cairan dan menghindari edema
interstitial pada organ vital. Bila lebih cairan, selain restriksi cairan, dapat dilakukan ekskresi lebih
cairan melalui deresusitasi seperti PAL treatment meliputi bantuan ventilasi non invasif (Positive end
expiratory pressure [PEEP]), Albumin, dan Lasix (furosemid). Bantuan ventilasi non invasif dapat
berupa pemberian PEEP tinggi selama 30 menit dapat mengeluarkan cairan dari alveolus paru menuju
rongga abdomen. Pemberian albumin dapat menarik cairan dari interstisial hingga sirkulasi darah
serta pemberian lasix atau furosemid dapat menjaga agar luaran urin tetap > 1 ml/kg/jam.
Keseimbangan cairan positif di rongga ketiga berhubungan dengan gangguan fungsi organ dan luaran
yang buruk. Sebaliknya keseimbangan cairan negatif berhubungan dengan perbaikan harapan hidup
dan peningkatan fungsi paru. Targetnya balans cairan nol atau negatif serendah-rendahnya pada hari
ke-3 dan memertahankan balans cairan kumulatif pada hari ke-7. Diuretik atau terapi sulih ginjal

9
(kombinasi dengan albumin) dipakai untuk mobilisasi cairan pada pasien yang hemodinamisnya stabil
dengan hipertensi intraabdomen dan balans cairan kumulatif positif sesudah melakukan resusitasi
cairan dan telah mengatasi sumber infeksi.14, 15
Anak syok sepsis yang mendapat resusitasi cairan berlebih akan memperburuk kondisi anak dan
mungkin terjadi edema, hipertensi, gagal napas, luka dan paresis saluran cerna lambat pulih.
Persentase lebih cairan (fluid overload percentage/FO%) dihitung dengan rumus berikut ini:

FO% = (jumlah cairan masuk – jumlah cairan keluar [mL])/Berat Badan saat masuk x100%.

Lebih cairan >15% memengaruhi fungsi paru yang dapat diukur dari derajat hipoksemia dan sering
terjadi pada pasien gagal napas akut. Keseimbangan cairan bergeser menjadi positif secara cepat pada
pasien sakit kritis akibat resusitasi cairan dan bocor kapiler. Pasien syok dekompensata memerlukan
cairan resusitasi lebih banyak untuk stabilisasi hemodinamis. 13

PEMANTAUAN HEMODINAMIS RESUSITASI CAIRAN

Resusitasi cairan terlalu agresif dapat menyebabkan lebih cairan serta gangguan fungsi jantung dan
perfusi jaringan. Beberapa parameter yang digunakan untuk pemantauan hemodinamis dan mampu
respons cairan (fluid responsiveness) yaitu 16-19:
a. Penilaian parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan:
- Tekanan darah arteri rata-rata (Mean arterial pressure/MAP)
- Status mental/ tingkat kesadaran
- Perfusi kulit (pucat, mottling, sianosis)
- Ekstremitas dingin
- Waktu pengisian kapiler
- Luaran urin
- Laktat plasma
- Gas darah: pH, BE, HCO3, pCO2
- Saturasi oksigen
b. Parameter statis
- Central venous pressure (CVP)
- Pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
- RV end-diastolic volume dan LV end-diastolic area (RVEDV dan LVEDV)
- Global end-diastolic volume dan intrathoracic blood volume (GEDV dan ITBV)
c. Parameter dinamis
- Variasi volume sekuncup
- Variasi tekanan nadi
- Variasi tekanan sistole dan diastole

10
- Aortic blood velocity (DVpeak)
- Superior vena cava collapsibility index dan inferior vena cava distensibilty index
- Indeks cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water index/EVLWI)
- Tekanan intraabdomen (intra-abdominal pressure/IAP)
- Ultrasound cardiac output monitor device (USCOM)
d. Modified fluid challenge
- Passive leg raise (PLR) diharapkan dapat mengembalikan hemodinamik cairan sebesar
10%
- Bolus cairan mini (100−200 mL, anak sesuaikan dengan berat badan 5 mL/kgBB)

Posisi setengah telentang 450,


kemudian pasien telentang, kaki diangkat 450 dan
variabel hemodinamis (EVLWI) atau curah jantung
dievaluasi setelah 30-60 detik.

Gambar 2. Passive leg raise


Sumber: Mackenzie DC 201416

Meskipun tanda klinis, seperti hipotensi, takikardia, tekanan nadi sempit, perfusi kulit yang buruk,
dan pengisian kapiler yang lambat, dapat membantu untuk mengidentifikasi perfusi yang tidak
memadai, tanda-tanda ini tidak dapat menentukan status volume atau respons cairan. CVP atau
perubahan dalam CVP setelah pemberian cairan tidak lebih akurat dalam memprediksi respons cairan
daripada membalik koin dan harus ditinggalkan untuk tujuan ini. Harus diakui bahwa perubahan
tekanan arteri rata-rata (MAP) setelah bolus cairan kurang dapat memprediksi respons cairan.
Echocardiography memiliki utilitas terbatas untuk menilai status volume dan respons cairan.
Pengukuran transthoracic VTI untuk estimasi SV membutuhkan keahlian yang cukup dan tidak
mudah didapat pada pasien PICU. Selain itu, VTI tidak ideal untuk mendeteksi perubahan cepat pada
SV setelah manuver PLR atau fluid challenge. Saat ini, hanya ada dua teknik yang tersedia secara
luas, praktis, serta mudah dilakukan, yang dapat digunakan untuk menentukan respon cairan dengan
tingkat akurasi yang tinggi, yaitu, manuver PLR dan fluid challenge. Teknik-teknik ini paling baik
digabungkan dengan monitor luaran jantung invasif minimal atau noninvasif, yang dapat melacak
perubahan pada SV secara dinamis dan secara real time. Standar emas untuk menentukan respons
cairan adalah perubahan SV mengikuti fluid challenge. 18

11
RISIKO KELEBIHAN CAIRAN
Tatalaksana pasien dengan syok sepsis dapat menimbulkan kelebihan cairan yang merupakan akibat
dari resusitasi cairan awal dengan tujuan mengembalikan volume intravaskular, meningkatkan
cardiac output, melancarkan aliran oksigen, dan meningkatkan oksigenasi jaringan. Kelebihan air dan
garam juga merupakan akibat dari pemberian cairan yang besar seperti obat-obatan, nutrisi, dan cairan
rumatan. Kebocoran kapiler yang berhubungan dengan sepsis menimbulkan ekstravasasi cairan yang
mengakibatkan hipovolemia sentral yang sering membutuhkan pemberian cairan selanjutnya, yang
disebabkan oleh edema interstisial. Adanya kebocoran kapiler ini menimbulkan edema organ yang
menyebabkan disfungsi organ. Kelebihan cairan harus dihindari pada keadaan ini. 8, 10

Gambar 1. Efek Kelebihan Cairan pada Fungsi Organ


Sumber : Malbrain 20182

SIMPULAN
Pemilihan cairan pada anak sakit kritis harus dilakukan secara cepat, tepat, dan adekuat sesuai dengan
kebutuhan. Selain itu, perlu dilakukan pemantauan hemodinamik untuk menghindari kelebihan cairan
dan komplikasi lainnya. Jenis cairan, lama pemberian, dan deekskalasi cairan harus diperhatikan
untuk menghindari kelebihan cairan. Pemberian cairan dan pemantauan hemodinamik yang baik dapat
memberikan luaran yang lebih baik kepada pasien anak sakit kritis.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Marik PE. A rational approach to fluid therapy in sepsis. British Journal of


Anaesthesia. 2015:1-11.
2. Manu LG. Malbrain NVR, Bernd S, Brecht DT, Pieter‐JVG. Principles of fluid
management and stewardship in septic shock: it is time to consider the four D’s and
the four phases of fluid therapy. Ann Intensive Care. 2018;8(66):1-16.
3. Marik PE, Edward A. Bittner, Jennifer Sahatjian Douglas Hansell. Fluid
administration in severe sepsis and septic shock, patterns and outcomes: an analysis of
a large national database. Intensive Care Med. 2017:1-8.
4. Rashid Alobaidi CM, Rajit K. Basu, Erin Stenson, Robin Featherstone. Association
Between Fluid Balance and Outcomes in Critically Ill Children A Systematic Review
and Meta-analysis. JAMA Pediatrics. 2018:1-12.
5. Manu LG. Malbrain PEM, Ine Witters, Colin Cordemans, Andrew W. Kirkpatrick.
Fluid overload, de-resuscitation, and outcomes in critically ill or injured patients: a
systematic review with suggestions for clinical practice. Anaesthesiology intensive
therapy. 2014;46(5):362-80.
6. Dellinger R LM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal S. Surviving Sepsis
Campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock:
2012. Crit Care Med. 2012;41(2):580-634.
7. Poorna M, Matthew EC. Fluid Resuscitation in Sepsis : Reexamining the Paradigm.
BioMed Research Int. 2014:1-9.
8. Duchesne JC, Balogh ZJ, Malbrain M. Role of permissive hypotension, hypertonic
resuscitation and the global increased permeability syndrome in patients with severe
haemorrhage: adjuncts to damage control resuscitation to prevent intra-abdominal
hypertension. Anest Intens Ter. 2015;47(2):148-60.
9. Green J, Lilie J. Intravenous fluid therapy in children and young people in hospital
N29. Arch Dis Child Educ Pract Ed. 2017;0:1-5.
10. Bonanno FG. Shock - A reappraisal: The holistic approach. Journal of Emergencies,
Trauma, and Shock. 2012;5(2):167-79.
11. Brierley J CJ, Cornell T, Choong K, DeCaen A, Deyman A. Clinical practice
parameter for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007
update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med.
2009;37:666-82.
12. Simsek T SH, Canturk NZ. Response to trauma and metabolic changes: posttraumatic
metabolism. Ulusal Cer Derg. 2014;30:153-9.
13. Rivers EP JA, Wharry LE, Brown S, Amponsah D. Fluid therapy in septic shock.
Curr Opin Crit Care. 2008;16:297-308.
14. Monteiro JN GS. ‘ROSE concept’ of fluid management: Relevance in
neuroanaesthesia and neurocritical care. Journal of neuroanaesthesiology and critical
care. 2017;4(1):10-6.
15. Cordemans C II, Regenmortel NV, Schoonheydt K, Dits H, Huber W. Aiming for a
negative fluid balance in patients with acute lung injury and increased intra-
abdominal pressure: a pilot study looking at the effects of PAL-treatment. Annals of
Intensive Care. 2012;2:1-11.
16. Mackenzie DC NV. Assessing volume status and fluid responsiveness in the
emergency department. Clin Exp Emerg Med. 2014;1(2):67-77.

13
17. Cordemans C II, Regenmortel NV, Schoonheydt K, Dits H, Huber W. Fluid
management in critically ill patients: the role of extravascular lung water, abdominal
hypertension, capillary leak, and fluid balance. Annals of Intensive Care. 2012;2:1-12.
18. Marik PE. Fluid Responsiveness and the Six Guiding Principles of Fluid
Resuscitation. Crit Care Med. 2016:1-3.
19. Marik PE, Jean-Louis Teboul. Hemodynamic parameters to guide fluid therapy.
Annals of Intensive Care. 2011;1(1):1-9.
20. Malbrain M. Why should I bother about the ebb and flow phases of shock? Medical
Fluids. 2013;2(1):15-24.

14
Tata Laksana Syok pada anak

Agnes Praptiwi
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak (ERIA) RSAB Harapan Kita

Objektif
1. Memahami sistem hemodinamik dan penyebab syok pada anak
2. Mengetahui jenis dan tanda klinis syok
3. Mengetahui langkah awal tata laksana syok
4. Mengetahui langkah lanjut tatalaksana syok

Pendahuluan
Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan sistem sirkulasi dan pembuluh darah untuk mencukupi
1
kebutuhan oksigen dan nutrisi di tingkat sel. Oksigen diperlukan tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme aerob seluler. Kegagalan sirkulasi menyebabkan penurunan hantaran oksigen (DO2) dan
tekanan parsial oksigen di tingkat sel (PO2).2 Kondisi tersebut menyebabkan terbatasnya fosforilasi
oksidatif, sehingga metabolisme bergeser menjadi anaerob. Metabolisme anaerob menyebabkan
penurunan pembentukan adenosine triphosphate (ATP) yang sangat esensial untuk metabolisme
energi.3
Kasus syok pada anak sakit sering dijumpai di unit gawat darurat dan ruang rawat intensif anak.
Angka kematian tertinggi pada anak usia kurang dari 5 tahun. 4 Di negara maju, insiden terbanyak
penyebab syok adalah sepsis, diikuti hipovolemia, distributif, dan kardiogenik. Prognosis syok
bergantung pada pengenalan dan penanganan syok yang cepat dan tepat. 1 Prinsip penanganan syok
didahului dengan triase pediatri. Keterlambatan mengenali syok mengakibatkan syok menjadi
ireversibel. Syok ireversibel ditandai kegagalan multi organ (gagal ginjal, kerusakan otak, iskemia
saluran cerna, gagal hati, gangguan metabolik, koagulasi intravaskular diseminata, acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan gagal jantung.

Sistem Hemodinamik
Secara umum, sistem hemodinamik jantung dipengaruhi oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Preload adalah jumlah darah yang masuk ke ventrikel saat akhir diastolik. Kontraktilitas adalah status
inotropik atau kemampuan pompa jantung yang dikaitkan dengan kecepatan dan peregangan otot
miokardium. Sementara itu, afterload adalah beban/tahanan yang dihadapi ventrikel saat berkontraksi
untuk mengirimkan darah ke sirkulasi arteri. Afterload dipengaruhi oleh resistensi aorta dan pembuluh
darah. Gangguan pada salah satu atau ketiga komponen hemodinamik tersebut menyebabkan
penurunan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung (cardiac output).2
Jumlah darah yang dipompakan keluar jantung setiap kali fase sistolik disebut isi sekuncup
(stroke volume/SV). Curah jantung (cardiac output/CO) adalah jumlah darah yang dipompa jantung
dalam semenit, yang secara matematis sama dengan perkalian antara frekuensi denyut jantung (heart
rate/HR) dan isi sekuncup. Curah jantung dan tahanan vaskular sistemik (systemic vascular
resistance/SVR) menentukan tekanan darah yang memungkinkan darah mengalir ke jaringan dan
perpindahan substrat ke jaringan yang memiliki tekanan lebih rendah.
Pasokan oksigen (delivery oxygen/DO2) adalah kecukupan perfusi jaringan yang ditentukan
oleh kemampuan fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan. DO2 ditentukan oleh 2 variabel
yaitu kandungan oksigen darah arteri/oksigen yang terikat atau terlarut dengan hemoglobin (CaO2) dan
serta curah jantung. CaO2 dipengaruhi oleh kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen arterial (SaO2)
dan kelarutan oksigen dalam plasma (CaO2= {1,34x HbxSaO2 }+ {0,003xPaO2}). Parameter
hemodinamik seperti dijelaskan di atas saling berhubungan (gambar 1).2

DO2

Cardiac output CaO2

Preload Contractility Afterload

Cairan Inotrop Vasodilator Transfusi pH Terapi Oksigen


Vasopresor darah PCO2 Ventilator
Suhu

Gambar 1. Menggambarkan tatalaksana syok berdasarkan parameter hemodinamik

Panah putus – putus = intervensi klinik. Panah tidak putus  pengaruh langsung
HR = heart rate; SV = stroke volume, Hb = hemoglobin, SaO2 = arterial oxygen saturation

Tipe Syok

Berdasarkan kegagalan komponen hemodinamik atau organ yang terganggu maka syok dibagi menjadi
4 jenis,1, 5,6 yaitu:

1. Syok hipovolemik: penurunan preload atau volume intravaskular secara absolut misalnya pada
gastroenteritis, diabetes insipidus, heat stroke, perdarahan pada trauma, bedah, dan saluran
cerna, luka bakar, sindrom nefrotik, obstruksi intestinal dan ascites.
2. Syok kardiogenik: penurunan inotropik atau kontraktilitas jantung misalnya pada
kardiomiopati, miokarditis, dan aritmia.
3. Syok distributif: penurunan afterload misalnya pada blok saraf otonom pada anestesia/syok
neurogenik/spinal shock, trauma kepala, anafilaksis oleh antibiotik, vaksin, obat, gigitan
binatang dan syok sepsis awal.
4. Syok obstruktif: hambatan atau obstruksi aliran darah keluar dari jantung, misalnya pada
emboli paru, hemopneumotoraks, kardiomiopati hipertropi, tamponade jantung, tension
pneumotorak.

Syok hipovolemik

Syok hipovolemik adalah tipe syok yang paling sering terjadi pada anak. Syok terjadi akibat kehilangan
cairan yang menyebabkan penurunan preload. Sesuai dengan hukum Starling, penurunan preload
mengakibatkan penurunan isi sekuncup dan selanjutnya terjadi penurunan curah jantung. Baroreseptor
akan merangsang saraf simpatis untuk meningkatkan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk
mempertahankan curah jantung dan tekanan darah.
Kehilangan 5-10% berat badan umumnya masih dapat dikompensasi tubuh. Bila lebih dari 15%
akan terjadi syok. Terdapat 3 stadium syok 1,3 yaitu:
1. Syok Stadium dini atau kompensata

Pada stadium ini kompensasi tubuh masih berfungsi dengan mengaktifkan sistem refleks
simpatis melalui pelepasan katekolamin dan hormon adrenal sehingga terjadi peningkatan
frekuensi denyut jantung dan resistensi vaskuler sistemik. Aliran darah terdistribusi lebih utama
pada organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedangkan
tekanan diastolik meningkat akibat peninggian resistensi arteriol sistemik. Aktivasi peningkatan
sekresi vasopresin dan sistem renin angiotensin aldosteron mengakibatkan vasokonstriksi,
resistensi cairan dan pemekatan urin. Gejala klinis stadium dini ditandai oleh takikardi, denyut
nadi perifer lebih lemah dibanding nadi sentral, kulit pucat, mottled, akral dingin, CRT >2
detik, tekanan nadi menyempit, takipnea, dan penurunan kesadaran.
2. Syok stadium dekompensasi
Mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah jantung yang adekuat. Jaringan
tidak lagi mendapatkan oksigen yang cukup, sehingga metabolisme berlangsung secara
anaerobik. Metabolisme anaerob menimbulkan penumpukan laktat dan asidosis. Kondisi
tersebut menyebabkan gangguan kontraktilitas otot jantung dan respon terhadap obat
katekolamin. Terjadi juga kerusakan reaksi rantai kinin sehingga timbul agregasi trombosit dan
pembentukan trombus disertai tendensi perdarahan. Pada keadaan lanjut akan terjadi
vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga volume intravaskuler yang
kembali ke jantung (venous return) semakin berkurang disertai timbulnya depresi miokard.
Secara klinis ditandai takikardi bertambah, tekanan darah mulai turun, capillary refill time
memburuk (kulit dingin, mottled, CRT >2 detik), oligouria, asidosis dan depresi susunan saraf
pusat (penurunan kesadaran).
3. Stadium ireversibel
Syok terus berlanjut, sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ
lainnya. Cadangan ATP akan habis, kematian akan terjadi walaupun sirkulasi dapat dipulihkan
kembali. Terjadinya paralisis vasomotor atau hipotensi karena gagalnya kompensasi
vasokonstriksi untuk mempertahankan tekanan darah. Secara klinis ditandai dengan perubahan
status mental, takipneu, dan anuria. Syok ireversibel mempunyai angka kematian yang tinggi.

Syok kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan penurunan curah jantung yang bersifat sekunder terhadap kerusakan
dan/atau disfungsi miokard. Kondisi ini menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium atau
denyut jantung yang abnormal (misalnya profound bradycardia pada pasien dengan complete heart
block atau takikardia pada ventricular tachyarrhytmias atau supraventrikular tachycardia). Penyebab
tersering syok kardiogenik adalah kardiomiopati, infeksi miokarditis, sepsis, penyakit autoimun,
asidosis, prolonged shock dan prolonged takiaritmia. Gangguan perfusi pada syok kardiogenik
menyebabkan gejala yang serupa dengan syok hipovolemik.
Gejala klinis dapat dijumpai adanya tanda bendungan, seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dan pembesaran hati pada kegagalan ventrikel kanan, sedangkan ronki basah halus tidak
nyaring, takipnea, sampai pink frothy sputum dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel kiri. Irama derap
dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel kanan atau kiri. Gejala klinis lainnya adalah nadi perifer lebih
lemah dibandingkan nadi sentral, kulit pucat, mottled, akral dingin, CRT >2 detik, tekanan nadi
menyempit, gangguan jantung yaitu gangguan irama jantung (takikardi supraventrikuler, takikardi
ventrikular, fibrilasi ventrikular, AV blok), hipotensi, diuresis berkurang, serta penurunan kesadaran.

Syok distributif
Pada syok distributif terjadi maldistribusi aliran darah jaringan karena vasodilatasi dan penurunan
resistensi pembuluh darah perifer sistemik.5 Vasodilatasi akan meningkatkan venous capacitance, yang
mengakibatkan hipovolemia relatif dan penurunan preload, walaupun pasien tidak kehilangan cairan
intravaskular. Mekanisme yang terjadi adalah bukan hanya kehilangan cairan intravaskular secara
absolut, tetapi juga melibatkan kerusakan sel endotel, akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler, kebocoran kapiler, dan kehilangan tonus kapiler sehingga cairan masuk kedalam ruang
intersisial. Vasodilatasi menyebabkan kapasitas intravaskular meningkat sehingga terjadi keadaan
hipovolemia relatif (preload berkurang). Penurunan resistensi vaskular sistemik secara mendadak akan
berakibat penumpukan darah dalam pembuluh darah perifer dan penurunan tekanan vena sentral.
Pada syok sepsis, terdapat 2 gambaran klinis 1,7:
1. Gambaran hiperdinamik (warm shock), terjadi saat awal kompensasi tubuh berupa
peningkatan curah jantung dan penurunan SVR. Kondisi ini ditandai hiperpireksia,
hiperventilasi, takikardi, tekanan darah normal atau turun, denyut nadi perifer kuat (pulsus
seler), kulit merah, akral hangat, CRT >2 detik, tekanan nadi menyempit dan penurunan
kesadaran.
2. Gambaran hipodinamik (cold shock), bila berlanjut terjadi penurunan SVR sehingga terjadi
hipotensi dan hipoksia. Cairan intravaskuler berkurang karena peningkatan permeabilitas
kapiler. Secara klinis ditandai denyut nadi perifer lebih lemah dibanding nadi sentral, kulit
pucat, mottled , akral dingin, CRT >2 detik, tekanan nadi menyempit dan penurunan kesadaran.

Syok obstruktif
Syok obstruktif jarang terjadi pada anak. Secara klinis ditandai oleh takikardia, denyut nadi perifer
lebih lemah dibandingkan nadi sentral, kulit pucat, mottled, akaral dingin, CRT >2 detik, tekanan nadi
menyempit, suara napas asimetris dan penurunan kesadaran. Tanda lain adalah peningkatan tekanan
vena jugularis, penurunan suara napas, dan takipnea (pneumotoraks) atau penurunan suara jantung
(tamponade jantung).

Tabel 1. Menunjukkan denyut jantung /Takikardidiatas batas atas usia

Umur Denyut jantung/nadi


0 hari- 1 minggu >180
1 minggu- 1 bulan >180
1 bln – 1 tahun >180
2 – 5 tahun >140
6 – 12 tahun >130
13 - <18 tahun >110

Tabel 2. Penurunan tekanan sistolik <P5 sesuai usia


Umur Tekanan sistolik (mmHg)
0 hari- 1 minggu < 65
1 minggu - 1 bulan < 75
1 bulan – 1 tahun < 100
2 – 5 tahun < 94
6 – 12 tahun < 105
13 - <18 tahun < 117

Tabel 3. Tanda dan gejala syok hipovolemik, distributif, septik dan kardiogenik

Syok hipovolemik Syok distributif/septik Syok kardiogenik

Tingkat kesadaran Dini – normal atau Dini – normal atau Dini – normal atau gelisah
gelisah gelisah Lanjut – gelisah, bingung,
Lanjut – gelisah, Lanjut – gelisah, letargis
bingung, letargis bingung, letargis
Frekuensi napas Takipnea tanpa Takipnea tanpa Takipnea dengan
dan usaha napas peningkatan usaha peningkatan usaha peningkatan usaha napas
napas napas
Suara napas Vesikuler Vesikuler Ronki basah halus tidak
Ronki, kalau disertai nyaring di kedua lapang
pneumonia paru dan/atau mengi
Merintih
Frekuensi nadi Meningkat Meningkat Meningkat
Kualitas nadi Lemah, halus, sulit Dini –bounding pulses Lemah, halus, sulit diraba
diraba Lanjut – lemah, halus,
sulit diraba
Perfusi perifer Dingin, waktu Dini – hangat, waktu Dingin, mottled, waktu
pengisian kapiler pengisian kapiler cepat pengisian kapiler
memanjang Lanjut – dingin, waktu memanjang
pengisian kapiler
memanjang
Temuan klinis lain Tekanan vena jugular
meningkat
Pembesaran hati
Gallop pada auskultasi
jantung
Penyebab syok Volume Vasodilatasi : Penurunan curah jantung:
intravaskular kurang Reaksi anafilaktik Gagal jantung
: Sepsis berat Disfungsi miokard
Perdarahan, trauma, Aritmia
prosedur Sepsis berat
pembedahan, luka
bakar, muntah-
diare, sepsis berat

Tatalaksana syok dan pemantauannya


Sejak pasien masuk ke Unit Gawat Darurat lakukan triase menggunakan Pediatric Assesment Triangle.
Periksa kesadaran menggunakan perhitungan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Anak dengan GCS<8
mempunyai risiko gagal napas, hipoksemia berat dan hiperkarbia berat. Tentukan status kardiovaskular.
Lakukan pemeriksaan organ vital lain dan gangguan sirkulasi lainnya. 6,9 Dari anamnesis dapat
diperoleh keterangan dugaan penyebab syok, yang sangat penting untuk diagnosis dan tata laksana
syok yang tepat. Lakukan pengukuran berat badan, dan perkiraan kehilangan volume cairan. Tegakkan
adanya diagnosis syok.
Lakukan stabilisasi dan resusitasi awal dengan prosedur Airway, Breathing, Circulation. Nilai
patensi jalan napas, laju napas dan adanya retraksi. Mulai dengan airway (menjaga jalan napas pasien
tetap terbuka), breathing dengan memberikan oksigenisasi (FiO2 100%). Pastikan jalan napas aman dan
berikan ventilasi dengan bag-mask ventilation. Bila syok berlanjut menjadi ARDS atau ALI (acute lung
injury) lakukan intubasi dilanjut dengan ventilator mekanik. Gunakan ventilator dengan strategi
protective lung, dan volume tidal dipertahankan 5 mL/kg. 3,6
Semua pasien syok sebaiknya dipasang akses vena sentral (vena femoralis, jugularis interna
atau vena subclavia). Tindakan ini sangat membantu proses resusitasi. Pemasangan kanula vena
femoralis mempunyai risiko yang lebih rendah dibandingkan vena jugularis interna ataupun vena
subklavia. Bila akses vena sulit, segera lakukan intraoseus.
Resusitasi cairan merupakan langkah penting tata laksana syok. Kebutuhan resusitasi cairan
sangat individual. (a new consep) Pemberian cairan yang tidak tepat dapat membahayakan pasien. 8,9 Terapi
cairan pada syok meliputi 3 fase yaitu resusitasi, pemeliharaan, dan pemulihan. Resusitasi bertujuan
untuk pemulihan volume intravaskular yang efektif, perfusi organ dan oksigenisasi jaringan. Target
akhir adalah akumulasi cairan dan keseimbangan cairan positif. Pada fase pemeliharaan bertujuan
menjaga homeostasis intravaskular sehingga diharapkan mengurangi akumulasi cairan yang berlebihan
dan mencegah pemberian cairan yang tidak perlu. Sedangkan fase pemulihan dilakukan pengeluaran
cairan yang berlebih secara pasif .
Pemilihan jenis cairan resusitasi di ruang gawat darurat harus disisesuai dengan kondisi pasien
saat itu. Jenis cairan resusitasi paling baik adalah isotonik kristaloid. Penggunaan cairan koloid
(albumin 5%) baik untuk syok sepsis tetapi dapat berefek pada traumatic brain injury.12 Hal Pemberian
cairan resusitasi awal 20 ml/kgBB secara bolus selama 10-30 menit untuk mendapatkan perfusi yang
adekuat. Bila syok belum teratasi dapat diulang sampai total 60-100 ml/kgBB atau lebih dalam waktu
30-60 menit pertama. 4, Pemberian cairan harus diteruskan hingga mencapai normovolemik. Pada syok
hipovolemik, peningkatan volume intravaskular akan meningkatkan isi sekuncup disertai penurunan
frekuensi denyut jantung. Pemberian cairan resusitasi dihentikan bila syok teratasi atau bila
penambahan volume tidak lagi mengakibatkan perbaikan hemodinamik. Resusitasi cairan berlebihan
ditandai adanya ronkhi basah halus tidak nyaring, peningkatan tekanan vena jugular atau pembesaran
hati akut. Pada anak syok dengan malnutrisi berat diberikan cairan 15 ml/kgBB dalam 1 jam. Cairan
yang dipilih adalah ringer laktat dengan dekstrosa 5%, half strength Darrow dengan 5% dekstrosa,
0,45% NaCL 0,9% dengan 5% dektrosa.
Fase pemeliharaan diberikan setelah hipovolemia dan dehidrasi teratasi. Pemilihan jenis dan
jumlah cairan pada fase rumatan dengan mempertimbangkan adanya sekresi ADH serta imbalans
elektrolit. Jenis cairan dipertimbangkan apakah dapat bertahan lama di intravaskular, sealing effect dan
efek terhadap faktor koagulasi, gangguan metabolik dan inflamasi. 11 Diberikan jenis cairan rumatan
dengan cairan isotonis, kandungan osmolalitas yang sama dengan cairan ekstraselular uutuk menjaga
11
cairan intravaskular. Jumlah cairan rumatan pada anak sesuai dengan formula Holiday Segar (Tabel
4).
Tabel 4. Formula Holiday Segar

Berat badan
<10 kg 10-20 kg >20 kg
Sehari 100 ml/kgBB 1000 ml + 50ml/kgBB 1500 mL + 20
setiap >10 kg mL/kgBB setiap >20 kg
Setiap jam 4 ml/kgBB 40 mL/jam + 2mL/kgBB 60mL/jam + 1mL/kgBB
setiap >10 kg setiap >20 kg

Target resusitasi anak syok adalah nadi teraba teratur dan lebih kuat, kualitas nadi sentral
dan perifer sama, CRT <2 detik, tidak ada mottled, tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, akral
hangat, tidak pucat maupun sianosis, dan tekanan darah terukur. Kesadaran anak mulai
membaik. Napas anak mulai teratur (tidak takipnea atau bradipnea), tidak kussmaull.dewi
Pemantauan ketat harus dilakukan selama resusitasi berlangsung. Pemberian cairan resusitasi
yang berlebihan akan menyebabkan meningkatnya cairan interstitial. Kondisi ini akan
mengurangi efektivitas pertukaran gas di tingkat alveolar dan jaringan sehingga terjadi
kerusakan reperfusi. Kelebihan cairan dapat ditandai oleh kongesti paru (ronki yang sebelumnya
tidak ada menjadi ada) dan pembesaran hepar, selain itu juga dapat disertai gangguan koagulasi,
pelepasan mediator inflamasi dan edem jaringan. Pemberian cairan resusitasi dihentikan bila
penambahan volume tidak lagi mengakibatkan perbaikan hemodinamik.
Bila resusitasi awal tidak berhasil, pertimbangkan pemberian obat inotropik yaitu
dopamin 2-10 mcg/kg/menit dan atau dobutamin 5-20 mcg/kg/menit. Dobutamin dosis rendah
dapat memperbaiki perfusi ginjal. Bila hipotensi berlanjut dapat diberikan vasopresor (epinefrin
atau norepinefrin). Epinefrin diberikan bila akral dingin, sedangkan norepinephrine bila akral
hangat (dosis keduanya berkisar 0,05-2 mcg/kg/menit). Pada syok kardiogenik dengan resistensi
vaskular tinggi, dapat dipertimbangkan milrinon yang mempunya efek inotropik dan
vasodilator. Dosis milrinon adalah 50 mcg/kg/bolus dalam 10 menit, kemudian dilanjutkan
dengan 0,25-0,75 mcg/kg/menit (maksimum 1,13mcg/kg/hari). Penggunaan digitalis terbatas
pada syok kardiogenik sebab rasio terapeutik rendah dan risiko lebih tinggi menimbulkan
gangguan asam basa dan kerusakan miokardial. Steroid diberikan pada syok sepsis resisten
katekolamin. 6
Pada syok sepsis segera berikan antibiotik empiris spektrum luas (sefalosporin generasi
tiga) secepatnya dalam 1 jam pertama disertai pengambilan kultur darah. Anak harus
dipuasakan dan dipasang selang nasogastrik . Selang nasogastrik bertujuan mengalirkan cairan
dan mengurangi distensi perut. Penambahan obat proteksi lambung seperti penghambat reseptor
H2 dan proton pump inhibitor perlu dipertimbangkan. Syok yang disertai perdarahan yang aktif,
dapat diberikan transfusi fresh frozen plasma atau kriopresipitat dan trombosit.7 Pertahankan
kadar hemoglobin ≥ 10 gr/dL sehingga cukup untuk mengoptimalkan kapasitas oksigen.
Vitamin dapat diberikan pada anak malnutrisi. Intervensi agresif perlu segera dilakukan pada
syok obstruktif seperti perikardiosentesis pada efusi perikardial, pleurosentesis pada
pneumotoraks, dan trombolisis pada emboli paru
Periksa dan atasi gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi dan asidosis.
Kegagalan tata laksana hipoglikemi dapat menyebabkan gangguan neurologi yang bersifat
permanen. Pemberian sodium bikarbonat diberikan bila ada indikasi hiperkalemia atau pH<7,
namun perlu diawasi karena dapat meningkatkan asidosis intraseluler. Target kadar laktat <2
mmol/L. Pemeriksaan ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal.
Pantau jalan napas, respirasi dan sirkulasi dengan menggunakan monitor EKG kontinu,
pulse oxymetri, dan pastikan tekanan darah terukur setiap 3-5 menit. Bila tersedia, dapat
dilakukan ekokardiografi atau USCOM untuk melihat monitoring disfungsi sistolik dan
diastolik serta curah jantung.2 Pasang kateter urin untuk menilai sirkulasi dengan memantau
produksi urin. Produksi urin lebih dari >1 ml/kgBB/jam dapat dipakai sebagai indikator perfusi
organ yang cukup adekuat. Intervensi agresif perlu segera dilakukan pada syok obstruktif
seperti perikardiosentesis pada efusi perikardial, pleurosentesis pada pneumotoraks, dan
trombolisis pada emboli paru Target kadar laktat <2 mmol/L.
Bila target resusitasi syok tercapai, stop pemberian cairan resusitasi dan lanjutkan ke
cairan rumatan. Dosis vasopresor dapat di pertahankan atau diturunkan. Tatalaksana
selanjutnya adalah membuang cairan yang berlebihan dengan furosemid atau Continuos renal
replacement therapy (CRRT).

Simpulan

Syok terjadi karena tidak tercapainya suplai oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme aerob
jaringan dan sel tubuh. Syok perlu dikenali sejak dini dan ditata laksana dengan tepat. Resusitasi cairan
diberikan secara optimal untuk memastikan perfusi jaringan yang adekuat selain membatasi
peningkatan terjadinya filling pressure untuk mencegah terjadinya edem. Syok yang berlanjut ke
stadium ireversibel mempunyai angka kematian tinggi.

Kepustakaan
1. Komisi Resusitasi pediatrik UKK ERIA IDAI. Kumpulan Materi Pelatihan resusitasi Pediatrik
tahap lanjut. APRC. Jakarta
2. Pudjiadi H.A. Dasar hemodinamik dan tatalaksana syok secara rasional. Dalam: Buku
Pemantauan hemodinamik non invasif pada anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
3. Nadel S, Nisson NT, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam: Nichols
DG, penyunting. Roger’s Textbook of Pediatric Intensive Care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins; 2008. h. 372-83
4. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-directed management of pediatric shock in the
emergency department. Clin Ped Emerg Med. 2007;8:165-75.
5. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock in the pediatric
emergency departmen. Pediatr Emer Care. 2010; 26:622-5.
6. Society of critical care medicine. Pediatric Fundamental Critical Care Support - Diagnosis and
management of shock. 2008.
7. Gupta S, Roback M. Shock. Dalam: Bajaj L, Hambidge SJ, Kerby G, penyunting. Berman’s
Pediatric Decision Making. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders. 2011. h.32-5.
8. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO, dkk. Mortality after
fluid bolus in African children with severe infection. NEJM. 2011;364:2483-95.
9. Sinitsky L, Walls D, Nadel S, Inwald DP. Fluid overload at 48 hours is associated with
respiratory morbidity in a general PICU; retrospective cohort study. Pediatr Crit Care Med.
2015:16:2005-9
10. Pudjiadi A. Tatalaksana renjatan: Berselancar Meniti Buih. A new concept in Pediatric Clinical
Practise. IDAI cabang DKI Jakarta, 2016.
11. Dewi R, Tartila. Tatalaksana cairan dan elektrolit pada anak sakit kritis. Integrated management
of sick children. Simposium Nasional IDAI. 2017
12. Pudjiadi A. Terapi cairan di ruang gawat darurat. Current Evidence in Pediatric Practises. PKB
LXVII. Departemen Kesehatan Anak. FKUI-RSCM, jakarta, 2014
ETIKA MEDIKOLEGAL PATIENT SAFETY
DI ERA BPJS

dr. Tjetjep DS, SpFM (K), SH.


November 2108
PENDAHULUAN

Pelayanan kedokteran merupakan suatu system yang kompleks dengan sifat hubungan
antara komponen yang ketat (complex and tightly coupled). Sistem yang kompleks
umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi yang membutuhkan
pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan ketajaman penilaian kondisi pasien. Dalam
satu sistem dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak
terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah
terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah
dilakukan dengan tingkat kehati-hatian dan kepedulian yang tinggi.

Setiap layanan kedokteran selalu mengandung risiko buruk terhadap pasien, dokter maupun
rumah sakit itu sendiri yang salah satunya adalah kerugian finansial, apalagi system
pembiayaan pelayanan kesehatan dibiayai oleh asuransi BPJS kesehatan, sehingga harus
dilakukan upaya pencegahan kerugian sebagaimana tersebut di atas dengan membuat
system tata kelola klinis, tata kelola etika untuk efsiensi dan efektifitas dana BPJS.

Pelayanan kedokteran yang profesional tercermin dari sikap, tindak, perilaku dokter yang
memiliki empati dan kepedulian yang tinggi terhadap pasien (duty of care) serta memiliki
kompetensi kognitif dan fisik yang prima yang dapat memberikan jaminan keselamatan
pasien.

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta


memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar Iuran
Jaminan Kesehatan atau Iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.

Jaminan Kesehatan Nasional dengan program BPJS Kesehatan tetap mengharuskan


dokter bersikap dan bertindak selain mempertimbangkan kebutuhan dasar, yaitu fisiologis,
psikologis, sosial, kreatif dan spiritual, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan hak-
hak azasi pasien. Program BPJS kesehatan yang diprakarsai pemerintah harus disikapi
secara positif.

Oleh karena itu Dokter dan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan harus
tetap berorientasi pada patient safety. Dokter harus selalu melakukan pengambilan
keputusan profesional secara independent dan mempertahankan prilaku profesional dalam
ukuran yang tertinggi, dokter dan Rumah Sakit tidak boleh menurunkan kualitas pelayanan
karena alasan plafon biaya.

Keyword: Patient Safety,Etika, JKN


ETIKA MEDIKOLEGAL PATIENT SAFETY

Keselamatan pasien, adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Permenkes No.1691
tahun 2011).

Mengingat masalah keselamatan pasien, khususnya dalam praktek dokter di rumah sakit
merupakan masalah yang harus disikapi segera, maka diperlukan standard keselamatan
pasien yang merupakan acuan bagi setiap dokter dan rumah sakit untuk melaksanakan
kegiatannya.

Pasal 43 (1) Undang undang nomor 44 tahun 2009, tentang Rumah Sakit
“Rumah Sakit wajib menerapkan standard keselamatan pasien”

Pasal 7 (1) Permenkes No. 1691 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
“Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien”.

SASARAN KESELAMATAN PASIEN

Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat yang harus diterapkan di semua sarana
layanan kesehatan / rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit, baik
nasional maupun internasional. Maksud sasaran keselamatan pasien adalah untuk
mendorong upaya perbaikan spesifik dalam menangani pasien dan mengantisipasi setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera dari kejadian tidak diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak
cedera dan kejadian potensial cedera
1. Ketepatan identifikasi pasien.
Mengingat semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi
kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu mengidentifikasi pasien merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya
dalam menangani pasien.
2. Komunikasi yang efektif dokter-pasien.
Komunikasi yang efektif, tepat, akurat, lengkap dan jelas harus disampaikan oleh
dokter kepada pasien sampai pasien memahami maksud dan tujuan rencana
tindakan dan atau pengobatan yang ditawarkan kepada dirinya, sehingga pasien baik
dan benar dalam mengambil keputusan. Disisi lain dokterpun memahami betul
harapan pasien dalam memperoleh layanan kesehatan
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high allert medication).
Pengelolaan obat merupakan salah satu yang harus dimanage secara kritis karena
berkaitan secara langsung terhadap rencana pengobatan pasien.
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi.
Komunikasi yang tidak efektif dan yang tidak adekuat antara tim bedah, kurang
/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi dan tidak adanya prosedur
untuk verifikasi lokasi operasi dapat berakibat resiko pada pasien, bahkan bisa
mendatangkan bahaya maut bagi pasien.
5. Pengurangan resiko infeksi.
Pencegahan dan pengandalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan
pelayanan yang memerlukan biaya yang besar untuk mengatasi masalah tersebut.
6. Pengurangan resiko pasien jatuh.
Rumah sakit harus mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi resiko cedera bila pasien jatuh melalui evaluasi riwayat pasien terjatuh,
obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol atau alat bantu berjalan yang digunakan
oleh pasien.

PENDEKATAN KAEDAH DASAR BIOETIK DAN ETIKA KLINIK DAPAT MENJAMIN


KESELAMATAN PASIEN

Rumusan norma dan penerapan nyata etika kedokteran kepada seorang pasien atau klien
atau komunitas / masyarakat dalam segala bentuk fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan
akan menjadi penuntun prilaku sehari-hari setiap dokter sebagai pembawa nilai-nilai luhur
profesi, pengalaman etika kedokteran yang dilandaskan pada moralitas kemanusiaan akan
menjadi tempat kebenaran serba baik dari penyandangnya. Oleh karena itu para dokter
sudah selayaknya harus menjadi model panutan bagi masyarakatnya. Dokter seyogyanya
harus memiliki sifat dasariah kemanusiaan, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran
budi, kerendahan hati, kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial serta
kesejawatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan sikap tindak prilaku dokter harus
bersandar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang diimplementasikan menurut
kaedah dasar moral

Beauchamp and Childress 1994

1. Prinsip beneficence, yaitu perinsip moral yang mengutamakan tindakan yang


ditujukan untuk kebaikan pasien dan mempertimbangkan sisi baiknya lebih besar
dari sisi buruknya.
2. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang dapat
memperburuk keadaan pasien.
3. Respect for person:
 Autonomi:
menghormati hak pasien mengambil keputusan untuk dan tentang dirinya
sendiri.
 Privacy:
Hak pasien untuk dilayani sebagai pribadi tersendiri.
 Telling the thruth:
Berkata jujur dan benar kepada pasien/ keluarga dan masyarakat.
 Confidentially:
 Menjaga kerahasiaan kondisi penyakit pasien.
4. Prinsip justice: berlaku adil terhadap semua pasien tanpa memandang latar belakang
(agama, ras, suku, kebangsaan sosial ekonomi dan pendidikan).

Jonsen, Singler dan Winslade 2002

1. Medical indication
Semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan
pasien dan mengobatinya berdasarkan pertimbangan benefiet dan non maleficence

2. Patient preferences
Memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya, yang berarti erminan kaedah otonomi meliputi kompetensi pasien,
siikap folunter dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien tidak mkompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut
pasien.

3. Quality of life
Yaitu memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani

4. Contextual feature, yaitu aspek non medis yang mempengaruhi keputusan seperti
factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, kemudian alokasi sumber
daya.

ETIKA PATIENT SAFETY DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI ERA BPJS

JKN merupakan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial ) kesehatan berdasarkan sistem jaminan sosial yang diatur di
dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004 yang bertujuan agar semua penduduk Indonesia
terlindungi dalam sistem asuransi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu dan terjangkau sehingga upaya pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang dasar dapat terealisasi.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan jaminan penanggulangan resiko dalam
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau
iurannya dibayar oleh pemerintah.

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS merupakan program
pemerintah yang positif, di sisi lain program pemerintah ini sedikitnya akan berpengaruh
pada sistem pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter, yaitu :
1. Akan terjadi lonjakan jumlah kunjungan pasien yang berobat ke sarana kesehatan baik
pemerintah maupun swasta.
2. Kondisi fisik dokter akan berpengaruh pada kinerja, misalnya seorang dokter yang
biasanya dalam satu hari menangani 20 pasien, dengan lonjakan jumlah kunjungan bisa
menangani sampai 100 pasien dalam satu hari. Hal ini akan sangat berpengaruh pada
kompetensif fisk dan kognitif dokter. Dokter akan mengalami kelelahan fisik yang akan
mengganggu alur berfikir dan bekerja, luang waktu dokter untuk berkomunikasi secara
efektif dengan pasien sangat terbatas sehingga ketepatan dokter dalam membuat
hipotesis, diagnosa kerja, diagnosa dapat menjadi kurang optimal. Hal ini tentu
berakibat menimbulkan resiko bagi pasien.
3. Dapat terjadi over plafon biaya pada kasus-kasus tertentu.
4. Pemahaman masyarakat yang masih kurang terhadap program BPJS, misalnya biaya
pengobatan di sarana kesehatan adalah gratis sehingga dokter dan rumah sakit dituntut
memberikan pelayanan kesehatan sesuai kehendak pasien.

Di sisi lain, rumah sakit harus membuat suatu system tata kelola klinik dan tata kelola etik
yang baik yang menjamin asuhan pasien lebih aman (patient safety), menerapkan system
INA-CBGs sebagai solusi pembiayaan Program JKN, pengelolaan data klaim rumah sakit
untuk penetapan Clinical Pathwa, membentuk tim Kendali Mutu & Kendali Biaya melalui
pengelolaan dana BPJS secara efisien dan efektif serta membentuk tim pertimbangan klinis,
sehingga kasus-kasus tertentu, dilema etik yang diprediksi over plafon dapat diselesaikan
dengan tanpa mengurangi kualitas pelayanan dan juga tidak mengurangi hak-hak pasien.

TANGGUNG JAWAB HUKUM

Pasal 1365 KUH Perdata:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”

Pasal 1367 KUH Perdata:

“Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan


perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.”

Pasal 1371 KUH Perdata

Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang
hati-hati memberikan hak kepada korban untuk selain penggantian biaya-biaya
penyembuhannya, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat
tersebut

Pasal 359 KUHP


Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun.
Pasal 360 KUHP
1. Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
2. Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencaharian, dipidana penjara paling lama enam bulan
Daftar Pustaka:

1. Budi Sampurna, Tjetjep DS, Zulhasmar Syamsu: Bioetik Dan Hukum Kedokteran.
2. Alexandra Ide, SH, M.Hum, Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan
3. RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Panduan Pelaksanaan Etik dan Hukum,
Edisi III tahun 2014
4. Qomariyah Sachrowardi, Ferryal Babeth, Bio Etik Issue dan Dilema, Pensil 324
Jakarta 2011
5. Prof. Dr. dr. Daldiyono, Menuju Seni Ilmu Kedokteran. Bagaimana Dokter Berpikir
dan Berkerja, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2006
6. Robert M. Veatch, Medical Ethics Second Edition
7. Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktek
Kedokteran
8. Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit
9. Permenkes RI, Nomor 1691 Tahun 2011, Tentang Keselamatan Pasien
10. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran – Pusat Ikatan Dokter Indonesia, Kode Etik
Kedokteran Indonesia Tahun 2012

-----TERIMA KASIH -----


SISTEM RUJUKAN ONLINE DI ERA
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
(JKN-KIS)

dr. Siti Farida Hanoum, AAK


Kepala BPJS Kesehatan Cabang Bekasi

Disampaikan pada Seminar IDAI Wilayah Bekasi


Bekasi, 10 November 2018
Agenda

1 PENDAHULUAN

2 REGULASI

3 20.708
MEKANISME RUJUKAN
19.969

18.437
4 TANTANGAN & HARAPAN

2
2
Agenda

1 20.708
PENDAHULUAN
19.969

18.437

3
3
PERMASALAHAN RUJUKAN

 Implementasi pelaksanaan rujukan berjenjang di masing-masing daerah merujuk


kepada Peraturan Daerah, dimana peserta yang tinggal pada daerah perbatasan
tidak dapat mengakses faskes terdekat apabila tidak sesuai dengan pengaturan
Pemerintah Daerah terkait pengaturan rujukan berjenjang di wilayah setempat.

 Peserta yang dirujuk ke fasilitas penerima rujukan, tidak mendapatkan pelayanan


yang dibutuhkan akibat keterbatasan informasi terkait kebutuhan medis, sarana
prasarana dan SDM sehingga menyebabkan peserta harus kembali dirujuk ke
fasilitas kesehatan lainnya

 Antrian yang menumpuk pada Rumah Sakit akibat menjadi tumpuan rujukan pada
sebuah daerah

 Belum ada sistem informasi yang dapat mengatur pelaksanaan rujukan secara
online dan real time

Perlu Penataan ulang tentang konsep Rujukan

4
TUJUAN

PESERTA
 Membantu peserta mendapatkan pelayanan dengan kompetensi
yang dibutuhkan dengan jarak yang terjangkau

 Membantu peserta mendapatkan fasilitas kesehatan penerima


rujukan yang sesuai dengan kompetensi dan pemenuhan sarana
prasarana yang dibutuhkan sehingga meminimalisir adanya
rujukan berulang kepada peserta dengan alasan tidak adanya SDM
dan sarana yang dibutuhkan.

 Mengurai antrian yang menumpuk pada fasilitas kesehatan


penerima rujukan dengan memberikan beberapa opsi tujuan
kepada peserta (dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan
sarana prasarana serta kompetensi SDM)

5
KEMUDAHAN DAN KEPASTIAN
(BAGI PESERTA)

Mudah Pasti
• Peserta mendapatkan rujukan ke • Peserta mendapatkan pelayanan
FKRTL yang terdekat jaraknya. pada FKRTL penerima rujukan
• Peserta mengantri pendaftaran yang sesuai dengan kompetensi
di FKRTL lebih cepat karena data dan sarpras yang dibutuhkan
sudah terkoneksi secara online • Peserta mendapatkan pelayanan
• Peserta tetap dapat dilayani di pada FKRTL penerima rujukan
FKRTL meskipun surat rujukan sesuai dengan hari dan jam
hilang praktek yang telah ditetapkan.
• Peserta terhindar dari potensi
penumpukan antrian.
TUJUAN

FASILITAS KESEHATAN

 Membantu Fasilitas Kesehatan dalam melakukan rujukan yang tepat


sesuai dengan kompetensi dan pemenuhan sarana prasarana yang
dibutuhkan.

 Memberikan rujukan secara real time dan online dengan data pada
faskes perujuk yang langsung terkoneksi ke faskes penerima
rujukan (Digital Documentation)

 Mengurai antrian yang menumpuk pada fasilitas kesehatan penerima


rujukan

7
KEMUDAHAN DAN KEPASTIAN
(BAGI FASKES)

Mudah Pasti
• FKTP memiliki informasi • FKTP mendapat kepastian
yang lengkap dan update ketersediaan tujuan rujukan
saat akan memilih tujuan sesuai kebutuhan medis
rujukan. peserta.
• FKRTL mudah melakukan • FKRTL mendapat kepastian
entry data pendaftaran. atas status keaslian rujukan.
• FKRTL mudah mengelola • FKRTL mendapat kepastian
jadwal praktek dokter. kapasitas maksimal peserta
dilayani.
MENGAPA SISTEM RUJUKAN?

20.708

19.969

18.437

Sistem rujukan dilakukan untuk memastikan peserta mendapatkan


pelayanan yang dibutuhkan di tempat yang tepat dan pada waktu
yang tepat
9
9
Sistem Rujukan Online

Adalah Digitalisasi proses rujukan


berjenjang untuk kemudahan dan
kepastian peserta dalam memperoleh
layanan di rumah sakit disesuaikan
dengan kompetensi, jarak dan
kapasitas rumah sakit tujuan rujukan
berdasarkan kebutuhan medis pasien.
2 • REGULASI

11
11
LANDASAN HUKUM:

1.UU No 29 Th 2004 Tentang Praktek Kedokteran Pasal 51


2.Perpres Nomor 72 Tahun 2012 Bab V
3.Perpres Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 29
4.Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 pasal 15
5.Permenkes Nomor 1 Tahun 2012 pasal 4 dan 5
6.Permenkes Nomor 28 Tahun 2014
7.Perpres no 82 Tahun 2018 pasal 55

12
12
BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
MELALUI INTEGRASI SISTEM INFOMASI
(RUJUKAN ONLINE)
Regulasi Rujukan dalam Permenkes 01/2012
1. Pasal 2 ayat 4 dan 5 : Pelayanan kesehatan tingkat kedua
merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang
Dibutuhkan
dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis Harmonisasi
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan
spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga UU Nomor 44 Tahun 2009 dan
merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang Permenkes 56 Tahun 2014
dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub belum jelas mengatur jenjang
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi RS Primer, Sekunder dan
kesehatan sub spesialistik Tersier sehingga tidak ada
2. Pasal 4 ayat 1 – 3 : kejelasan kewenangan dari
1) Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, masing2 kelas RS.
sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
pertama.
Ujicoba
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat Implementasi
diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat
kedua atau tingkat pertama.
Rujukan Online
13
13
PERPRES 72/2012 BAB V

14
14
3 • MEKANISME RUJUKAN

15
15
Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan (Permenkes No
1 Th 2012)

Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan


kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal

RUJUKAN

RUJUKAN TINGKAT III


Pelayanan kesehatan tk. III hanya
TINGKAT II dapat diberikan atas rujukan dari
pelayanan kesehatan tk. II
Pelayanan kesehatan tk.II hanya
dapat diberikan atas rujukan dari
*dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana,
pelayanan kesehatan tk. I kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan
pertimbangan geografis
TINGKAT I

16
MAPPING

17
17
RUJUKAN BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
DENGAN INTEGRASI SISTEM INFORMASI

• Batasan rujukan diatur sesuai radius


terdekat untuk memudahkan akses
peserta
• Pelaksanaan rujukan berjenjang
dilakukan sesuai tingkatan kelas (D-
>C->B->A) dengan
mempertimbangkan kompetensi dan
AREA
PERBATASAN
kesiapan sarana/prasarana faskes
penerima rujukan
• Rujukan berulang kepada peserta
akibat ketidaksediaan SDM/Sarpras di
faskes penerima rujukan dapat
dihindari
• Distribusi rujukan dengan
menampilkan banyak rujukan yang
telah diterima faskes perujuk untuk
menghindari antrian yang panjang di
faskes penerima rujukan
• Rujukan diberikan secara real
time/online

18
RUJUKAN BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
DENGAN INTEGRASI SISTEM INFORMASI

INTEGRASI SISTEM INFORMASI  Mapping keahlian dokter


spesialis/subspesialis
 Mapping pemeriksaan
penunjang (lab/radiologi)
 Ketersediaan tempat
P-Cares tidur (ICU,HCU,kamar
rawat kelas)
 Mapping jam pelayanan
Vclaim poli
 Mapping kelas RS
 Mapping jarak
HFIS-Aplicares berdasarkan koordinat
GPS
 Masa berlaku kerjasama
FKRTL
 Masa berlaku SIP
(legalitas pembayaran
klaim)

19
RUJUKAN BERJENJANG BERBASIS KOMPETENSI
DENGAN INTEGRASI SISTEM INFORMASI

FASKES TK.I
Input dalam aplikasi
Terdapat daftar Faskes Tk II yang dapat dipilih sesuai
eligibilitas di Faskes Tk I
dengan kriteria yang ditentukan
sesuai kriteria
kebutuhan kompetensi
SDM dan
SDsarana/prasarana
Dokter umum melakukan
pemeriksaan dan
memberikan penilaian
kebutuhan rujukan
pasien
Informasi tampilan:
1. Nama faskes penerima rujukan dengan kelas
ketetapan Kemenkes
Kasus yang 2. Jumlah rujukan yang ditujukan pada faskes tsb
dikecualikan: (dalam pengembangan)
(dalam pengembangan) 3. Kapasitas pelayanan di faskes (dengan
• Thalassemia pertimbangan jumlah ketersediaan dokter per
• Hemofilia poli) (dalam pengembangan)
• Kanker 4. Jadwal praktek poli
Pemetaan Fasilitas 5. Keterangan jarak faskes tujuan rujukan
• HD
Kesehatan
mempertimbangkan
• Jantung
*dengan kriteria
kebutuhan faskes tertentu FASKES TK.III
pada daerah FASKES TK.II
perbatasan Pada aplikasi
eligibilitas di
Faskes Tk II dapat
dilakukan rujukan
Horizontal/Vertikal
SISTEM RUJUKAN ONLINE
Rujuk Balik
 Surat Rujuk balik
 Kartu JKN-KIS / Kartu Digital Mobile JKN
 Resep Obat PRB
Rujukan Antar RS
Aplikasi Vclaim

Kontak Pertama
Aplikasi P-Care
 Surat Rujukan / Kartu JKN-KIS /
 Data Peserta diinput ke dalam Aplikasi Pcare Kartu Digital Mobile JKN
 Surat Rujukan dapat dicetak  Bukti Identitas Tambahan
 Key : Edukasi Peserta JKN-KIS
terhadap tindak lanjut perawatan Masuk rawat inap
Pulang dan butuh kontrol ulang

Kontak Kedua dst Rawat Inap


Kontrol Ulang
Kontrol 1X  Surat Perintah Rawat Inap
 Surat Kontrol  Kartu JKN-KIS / Kartu Digital
 Surat Rujukan / Kartu JKN-KIS / Mobile JKN
Kartu Digital Mobile JKN  Bukti Identitas Tambahan
 Bukti Identitas Tambahan

Alur RJTL Alur RITL Alur Rujuk Balik


Agenda

20.708

4 19.969
TANTANGAN DAN HARAPAN

18.437

22
22
Tantangan dalam sistem
rujukan menuju UHC
Masih terdapat multi tafsir terhadap regulasi terkait sistem rujukan

Masyarakat belum terbiasa dgn konsep rujukan berbasis kompetensi

Ketersediaan jaringan komunikasi dan data (jarkomdat) belum merata

RS belum mengisi kapasitas sesuai kemampuan real

Koordinasi KC BPJS dgn Dinkes belum optimal dalam mapping

23
DUKUNGAN DALAM SISTEM RUJUKAN
MENUJU UHC

Harmonisasi Regulasi terkait sistem rujukan berjenjang


Regulator berbasis kompetensi serta ketentuan persyaratan
penyelenggaraan fasilitas kesehatan

Asosiasi Komitmen dalam bentuk pedoman yang mendukung


Faskes implementasi sistem rujukan berjenjang berbasis kompetensi

Perhimpunan Panduan PNPK pelayanan kesehatan


profesi

Pemenuhan terhadap standar kompetensi (tenaga medis


Fasilitas
,sarana prasarana) dan complay terhadap ketentuan
Kesehatan persyaratan penyelenggaraan fasilitas kesehatan

Mempersiapkan sistem dan perangkat untuk mendukung


implementasi rujukan berjenjang berbasis kompetensi

24

24
DISKUSI
20.708

19.969

are not a team because we work together. We


We18.437
Are a team because we respect, trust and
care for each other – Vala Afshar

25
25
Terima Kasih

Kini Semua Ada


Dalam Genggaman!

www.bpjs-kesehatan.go.id

26
PITFALL DEMAM PADA ANAK
Djatnika Setiabudi
KSM/Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Dr.Hasan Sadikin – FK Unpad Bandung

Pendahuluan
Demam merupakan salah satu keluhan yang paling sering menyebabkan anak dibawa
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, baik di poliklinik dan unit gawat darurat suatu rumah
sakit, maupun di tempat praktek swasta. Hampir sekitar sepertiga atau 19 – 30% penderita anak
yang berobat ke rumah sakit datang dengan keluhan demam1,2, sedangkan keluhan yang sama
ke unit gawat darurat sekitar 20%.3 Jumlah kunjungan yang besar ini disebabkan karena pada
umumnya orangtua merasa takut bila anaknya menderita demam dengan segala kemungkinan
akibatnya (Fever phobia), terutama kejang dan kerusakan otak bila demam berkepanjangan. 4
Menurut beberapa laporan, anak yang sering dibawa dengan keluhan demam adalah anak usia
di bawah 5 tahun, paling sering di bawah 3 tahun.
Demam sesungguhnya adalah merupakan reaksi fisiologis tubuh terhadap suatu rangsang
tertentu berupa infeksi (paling sering), maupun non infeksi (penyakit auto-imun, keganasan
atau trauma) yang dengan mekanisme tertentu menyebabkan peningkatan set point pengaturan
suhu tubuh di hipotalamus.5,6 Peningkatan suhu tubuh ini dapat memberikan beberapa
keuntungan untuk pejamu, khususnya dalam melawan infeksi. Demam dapat menghambat
pertumbuhan dan reproduksi bakteri atau replikasi virus, meningkatkan reaksi atau respons
imun berupa peningkatan produksi neutrofil dan proliferasi limfosit T, serta membantu dalam
reaksi fase akut.7
Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanya merupakan gejala dari penyakit
atau kondisi tertentu, sehingga pengobatan terbaik adalah ditujukan terhadap penyebab demam
itu sendiri. Penetapan diagnosis sebagai penyebab demam menjadi sesuatu yang sangat
penting. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik
yang sistimatis dan lengkap, serta pemeriksaan penunjang yang tepat. Sekitar 5 – 20% dari
anak yang mengalami demam tidak memiliki sumber infeksi yang jelas (fever wthout source /
FWS) meskipun sudah melalui penelusuran anamnesis dan dilakukan pemeriksaan fisik. 2,8
Penyebab FWS ini sangat bervariasi mulai dari infeksi virus yang akan sembuh sendiri sampai
kepada keadaan yang berat dapat mengancam jiwa berupa serious bacterial infection (SBI).9

1
Pemberian obat penurun demam (antipiretik), seyogyanya ditujukan untuk memberi rasa
nyaman pada anak, dan tidak semata-mata untuk mengembalikan suhu tubuh menjadi normal.
Dalam pemberian antipiretk ini ada beberapa hal yang dianggap kurang tepat, baik dilakukan
oleh orangtua maupun oleh tenaga kesehatan yang mengobati pasien anak.4,10
Pitfall atau jebakan adalah suatu tindakan yang dianggap kurang tepat, dan bila dilakukan
akan menimbulkan kerugian atau suatu keadaan yang lebih buruk. Pada makalah ini akan
dibahas mengenai beberapa tindakan yang dianggap kurang tepat dalam tatalaksana demam
pada anak, yaitu cara pengukuran suhu tubuh, pendekatan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksan penunjang laboratoris), dan pengobatan simtomatik demam.

Definisi Demam
Definisi demam yang dikemukakan sangat beragam. Seperti diketahui bahwa
pengukuran suhu tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia, aktivitas fisik, variasi
diurnal (suhu nadir paling rendah pada pagi hari saat bangun tidur dan puncak paling tinggi
pada sore hari), juga bergantung pada cara dan tempat pengukuran suhu itu sendiri.
Pada umumnya dikatakan demam bila suhu tubuh lebih dari suhu normal sesuai suhu
siklus harian. Untuk kepentingan praktik klinis dan penelitian sering digunakan definisi demam
adalah bila suhu tubuh inti (core temperature) bila Suhu > 38°C.11 Sebagai panduan definisi
demam yang sering dipakai sebagai berikut:
Tabel 1. Definisi demam berdasarkan tempat pengukuran
Tempat pengukuran Definisi demam
- rektal Suhu > 38°C ( 100,4°F)
- membran timpani Suhu > 38°C ( 100,4°F)
- oral Suhu > 37,8°C (100°F)
- aksilar Suhu > 37,5°C (99,5°F)

Cara pengukuran suhu tubuh


Suhu tubuh manusia sangat bervariasi baik antar individu maupun pada satu individu itu
sendiri. Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi perbedaan tersebut adalah waktu
pengukuran (suhu terendah pada saat pagi dan tertinggi pada sore hari), aktivitas fisik, setelah
makan, dan usia (bayi dan anak yang lebih muda relatif lebih tinggi dibandingkan anak yang
lebih besar).
Suhu tubuh dapat diukur pada rectum, mulut, aksila, kulit dan timpani. Dari semuanya
itu suhu rektal merupakan yang paling mendekati suhu inti tubuh (core temperature).

2
Pengukuran suhu aksila lebih mudah dibandingkan dengan pengukuran suhu rektal atau oral,
tetapi hasilnya kurang akurat untuk menggambarkan suhu tubuh inti. Pada neonatus
pengukuran suhu aksila relatif tidak jauh berbeda dengan suhu rektal yaitu lebih rendah 0.25
°C–0.5 °C,12,13 sementara pada anak yang lebih besar perbedaannya mencapai 0.5 °C–0.92
°C.14 Untuk kepentingan praktik klinis suhu aksila dikatakan abnormal bila > 37.5 °C.15
Pedoman atau rekomendasi mengenai tempat pengukuran dan termometer yang
digunakan sangat beragam. Pada umumnya pemilihan tersebut berdasar kepada usia, keamanan
dan kenyamanan bagi anak. Cara pengukuran juga bergantung pada sifat kooperatif dari anak.
Pedoman yang dikeuarkan oleh The National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
merekomendasikan pengukuran suhu tubuh pada aksila, pada bayi usia < 4 minggu
menggunanakan electronic thermometer elektronik (digital) dan pada anak yang lebih besar
menggunakan chemical dot thermometers atau thermometer elektronik.16. American Academy
of Pediatrics (AAP) menganjurkan pemakaian termometer rektal untuk anak usia < 4 tahun
dan termometer oral pada anak usia lebih besar. 17

Pendekatan diagnosis
a. Berdasarkan usia anak
Spektrum penyebab FWS sangat luas, mulai dari infeksi virus yang dapat sembuh
sendiri sampai kepada keadaan yang berat dapat mengancam jiwa (SBI). Penyakit berat ini
dapat berupa meningitis, pneumonia (occult pneumonia), bakteremia (occult bacteriemia)
dan sepsis, infeksi saluran kemih /ISK (dan urosepsis). Penyebab demam dan frekwensi
kejadian SBI pada anak dengan FWS bergantung kepada usia, sehingga pada pendekatan
diagnosis biasanya dibagi menjadi:
1. Usia neonatus yaitu 0 – 28 hari
2. Usia 1 – 3 bulan (28 – 90 hari)
3. Usia 3 bulan – 3 tahun
4. Usia di atas 3 tahun
Angka kejadian SBI pada FWS lebih tinggi pada usia bayi atau anak yang lebih muda,
khususnya pada usia 0 – 3 bulan, sehingga untuk kelompok usia ini dibuat panduan
tatalaksana khusus. Dasar dari tatalaksana tersebut selain memperhatikan usia juga dengan
menetapkan apakah anak tampak toksik atau tidak. Pada anak dengan FWS yang tampak
baik-baik saja kemungkinan mendapat SBI sebesar 3%, anak yang tampak sakit (un well)
sekitar 26%, sedangkan anak yang toksik memiliki kemungkinan SBI sebesar 92%. Dengan
demikian apabila bayi neonatus dengan FWS tidak segera dirawat merupakan salah satu

3
pitfall dalam tatalaksana demam pada anak. Demikian pula bila tidak segera merawat bayi
usia 1 – 3 bulan dengan FWS risiko tinggi untuk SBI. Untuk lebih jelas tatalaksana FWS
pada anak usia bayi < 3 bulan dan tatalaksana anak demam lebih dari 3 bulan dapat dilihat
pada tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Tatalaksana FWS pada anak usia neonatus dan 1 – 3 bulan


Usia Keadaan klinis Tatalaksana Keterangan
Neonatus Suhu rektal > 38°C Rawat inap untuk full sepsis Full sepsis workup:
( 0 – 28 hari) Toksik atau tidak workup & pemberian antibiotik Darah lengkap dan
empiris i.v. morfologi darah tepi,
Kultur darah, urinalisis
dan kultur urin, punksi
lumbal (LP) + foto
thorax

1 – 3 bulan Suhu rektal > 38°C - Foto thorax :


Boleh pulang dan kontrol bila ada tanda-tanda
(diobservasi) dalam 12 jam bila: gangguan respirasi
-Sebelumnya anak sehat - LP rutin pada anak < 2
-Tidak tampak sakit bulan, bila > 2 bulan
-Leukosit 5.000 – 15.000 atas indkasi
-Urinalisis : normal
-LP normal (bila dilakukan)
-Foto Thorax normal

Rawat inap untuk Full sepsis


workup dan pemberian antibiotik
i.v (empiris) : bila tidak memenuhi
kriteria seperti di atas:
Sumber: Kepustakaan no 8 dan 9 (modifikasi)

b. Lama dan Pola Demam


Penyebab demam pada anak dapat terjadi karena penyakit infeksi (virus, bakteri dan
parasit), maupun non infeksi (penyakit kolagen/penyakit autoimun dan
neoplasma/keganasan, trauma paska operasi atau luka bakar). Lama dan pola demam dapat
dipakai sebagai petunjuk diagnosis penyebab demam. Pada umunya lama demam
digolongkan kepada demam akut (kurang 7 hari) dan demam lebih dari 7 hari (termasuk
demam lebih dari 2 minggu).
Seringkali masih ada yang keliru pengertian istilah antara FWS dengan Fever unknown
origin (FUO). Fever wthout source adalah demam kurang dari 7 hari yang tidak memiliki
sumber infeksi yang jelas meskipun sudah melalui penelusuran anamnesis dan dilakukan
pemeriksaan fisik yang lengkap,18 sedangkan FUO apabila selain anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap ditambah pemeriksaan penunjang sesuai fasilitas yang
tersedia belum juga ditemukan diagnosis penyebab demam. Mengenai batasan waktunya
mengalami perkembangan sesuai kecanggihan alat pemeriksaan penunjang yang tersedia.

4
Pada awalnya batasan waktu lebih dari 3 minggu (21 hari), kemudian menjadi 2 minggu dan
sekarang yang dipakai adalah > 1 minggu.19,20

Tabel 3 Tatalaksana Demam pada anak usia lebih dari 3 bulan


Usia Keadaan klinis Tatalaksana Keterangan

> 3 bulan Suhu > 38°C


Tidak jelas ada fokus infeksi
Anak tampak baik Dapat dipulangkan dan beri Periksa urinalisis:
pengobatan simtomatik Bila anak laki-laki usia
Kontrol dalam 24 jam atau < 12 bulan dan
segera bila ada perburukan perempuan < 2 tahun

Anak tampak kurang baik tetapi Boleh rawat jalan, tetapi Periksa urinalisis:
kesadarannya masih baik pemeriksaan penunjang Bila anak laki-laki usia
(interaktif dan resposif) selain urinalisis perlu < 12 bulan dan
diprtimbangkan (konsultasi perempuan < 2 tahun
dengan ahli)

Full sepsis workup -Foto thorax :


Anak tampak tidak baik Rawat untuk observasi bila ada tanda-tanda
lebih lanjut dan pemberian gangguan respirasi
antibiotik i.v (empiris) -LP bila ada indikasi:
Kejang demam
kompleks ( < 12 bulan)
Ubun-ubun besar
cembung
Muntah persisten
Letargis, iritabilitas dan
gelisah
Terdapat ruam petekie
atau purpurik

> 3 bulan Suhu > 38°C


Jelas ada fokus infeksi
Anak tampak baik Boleh rawat jalan
Obati sesuai diagnosis/
indikasi klinisnya

Rawat untuk observasi


Anak tampak tidak baik lebih lanjut dan obati sesuai
diagnosis klinisnya

Sumber: Kepustakaan no 8 dan 9 (modifikasi)

Seringkali ada perbedaan penentuan lama demam (menghitung hari) antara orangtua
atau pengasuh anak dan pemeriksa, sedangkan hal ini penting untuk memperkirakan fase
perjalanan penyakit. Sebagai contoh pada penyakit infeksi virus dengue, apakah masuk fase
demam (febrile phase), fase kritis atau fase pemulihan yang berhubungan dengan
manifestasi klinis dan perubahan hematologis, termasuk pemeriksaan penunjang diagnostik.
Untuk menjembatani perbedaan menghitung lama demam tersebut sebaiknya dipakai

5
patokan waktu dalam jam, sudah berapa jam lama demam tersebut apakah 24 jam, 48 jam
dan seterusnya. Begitu pula lama demam ini penting untuk menentukan pola demam seperti
pada penyakit malaria, apakah demam timbul setiap hari ke-3 atau setiap 3 hari (hari ke-4)

Gambar 1. Perjalanan Penyakit pada Infeksi Virus Dengue (WHO, 2009).21

Gambar 2. Pola Demam pada Penyakit Malaria

6
c. Pemeriksaan fisik
Hal penting pada pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum/derajat beratnya penyakit: apakah anak tampak “toksik” atau tidak.
Keadaan yang disebut toksik apabila anak memperlihatkan tanda-tanda seperti letargis
(anak tidak dapat berinteraksi dengan orang atau keadaan di sekelilingnya dan kontak
mata yang menurun), gelisah atau tidak dapat ditenangkan,tampak pucat atau kebiruan,
takikardia, takipnoea, perfusi jaringan perifer yang buruk (menurun).
2. Tanda-tanda infeksi (kelainan) lokal pada telinga, hidung dan tenggorokan, tanda
rangsang meningeal, tanda-tanda kerja nafas tambahan (work of breathing), kelainan
pada jantung, kelainan pada abdomen, kelainan pada sendi tertentu.
3. Pemeriksaan fisik lain yang ditemukan: hepatomegali, splenomegali, limfadenopati,
dan ruam pada kulit

d. Pemeriksaan penunjang laboratoris


Pada pasien anak dengan FWS pemeriksaan penunjang laboratoris sangat diperlukan
untuk menentukan diagnosis penyakit penyebab demam. Seperti diketahui bahwa tiga besar
penyebab FWS pada anak adalah penyakit infeksi (virus, bakteri, maupun parasit), penyakit
autoimun dan penyakit onkologik (keganasan), sehingga pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan ditujukan untuk skrining ketiga hal tersebut. Secara umum pemeriksaan
penunjang yang penting untuk keperluan tersebut adalah pemeriksaan darah rutin dan hitung
jenis leukosit. Pemeriksaan lain dilakukan atas dasar indikasi sesuai diagnosis banding.
Mengingat angka kejadian SBI lebih sering pada usia yang lebih muda, maka panel
pemeriksaan penunjang pada FWS juga sangat berbeda sesuai usia anak seperti dapat dikihat
pada tabel 2 dan 3.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bila kita akan melakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan biakan, deteksi antigen dan uji serologis pada berbagai
penyakit infeksi tertentu. Lamanya demam akan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Secara umum untuk pemeriksaan biakan bakteri atau isolasi virus akan mendapatkan hasil
positif bila dilakukan pada awal penyakit infeksi. Hal ini berkaitan dengan fase bakteremia
dan viremia. Demikian pula bila akan melakukan pemeriksaan deteksi antigen atau
komponen molekuler patogen seperti pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)..
Sebaliknya pada pemeriksaan uji serologis biasanya hasil positif bila dilakukan setelah hari
ke-5 demam, atau bila dilakukan pada awal penyakit pemeriksaan harus diulang setelah 1

7
minggu kemudian untuk melihat kenaikan titer antibodi. Beberapa pemeriksaan yang sering
menjadi pitfall antara lain:
1. Pemeriksaan antigen NS1 dengue yang dilakukan setelah hari ke-5, sebaliknya
pemeriksaan serologis IgM dan IgG dengue dilakukan pada awal penyakit sebelum hari
ke-5 (lihat gambar 3)
2. Pemeriksaan uji serologis Widal dilakukan pada demam sebelum hari ke-5 atau 7.
Apabila dilakukan pada awal penyakit harus diulang kembali 7 hari kemudian untuk
melihat kenaikan titer antibodi aglutinin. Begitu pula pemeriksaan IgM anti Salmonella
typhi dilakukan pada awal penyakit (lihat gambar 4)
3. Pemeriksaan miroskopis pada penyakit malaria untuk melihat plasmodium (apus darah
tebal dan tipis) harus dilakukan pada saat demam sedang tinggi. Pemeriksaan ini
sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selama periode demam, yang penting bila
hasilnya negatif harus diulang setelah 4 – 6 jam kemudian.

Pengobatab simtomatik demam


a. Pemberian antipiretik
Pengobatan definitif demam pada anak harus ditujukan terhadap diagnosis penyebab
demam itu sendiri. Pemberian antipiretik sebenarnya bertujuan untuk mengurangi rasa tidak
nyaman (discomport) pada anak, bukan semata untuk menurunkan suhu tubuh mencapai
suhu nomal. Suhu tubuh berapa yang dianjurkan untuk mulai pemberian antipiretik sangat
beragam, tetapi banyak anjuran sebagai patokan adalah bila suhu tubuh > 38,3ºC.
Membangunkan anak demam yang sedang tidur dengan tujuan hanya sekedar untuk
memenuhi jadwal pemberian antipiretik yang sudah ditentukan merupakan tindakan yang
kurang bijaksana. Hal ini sering dilakukan oleh orangtua atau pengasuh anak, bahkan
kadang-kadang menuruti anjuran dokter yang menangani anak dengan demam.
Antipiretik yang dianjurkan hampir di semua negara umumnya hanya golongan
parasetamol dan ibuprofen. Di beberapa negara tertentu direkomendasikan juga golongan
metamizole. Di negara maju terutama Amerika dan beberapa negara Eropa, metamizole
tidak direkomendasikan sebagai antipiretik karena efek samping agranulositosis. Dosis
parasetamol yang dianjurkan adalah 10 – 15 mg/kg berat badan/kali per oral diberikan tiap
4 – 6 jam dengan dosis maksimum total 75 mg/kg berat badan atau dapat sampai 90 mg/kg
berat badan per hari bila pemberian kurang dari 3 hari. Dosis ibuprofen yang dianjurkan 10
mg/kg berat badan/kali diberikan tiap 6 jam dengan dosis total maksimum 40mg/kg berat
badan per hari. Sebagai panduan dapat dilihat pada tabel berikut:

8
Tabel 4. Rekomendasi Dosis Parasetamol dalam Berbagai Sediaan serta Keuntungan dan
Kerugiannya
Oral Rectal Intravena

Sediaan Tablet, sirup, drop Supositoria, liquid Infus (10mg/ml)

Dosis 10-15mg/kg/dosis,setiap 4-6 jam; Sama dengan oral 15 mg/kg/dosis


atau 60-75 mg/ kg per hari untuk
anak.

Neonatus 20 mg/kg, dosis awal, kemudian 20 mg/kg, dosis awal,


10-15 mg/kg/ dosis setiap 8-12 kemudian15mg/kg/ dosis;
jam. 2 x sehari.

Keuntungan Absorbsi baik Dapat diberikan bila Mudah melalui sawar


pemberian oral tidak darah otak, sehingga
memungkinkan atau tidak efek analgetik sentral
praktis, seperti bila ada cepat
muntah, penurunan
kesadaran

Kekurangan Bisa merangsang ter-jadinya Absorbsi lebih lambat, dan Indikasi terbatas, ter-
muntah, nyeri perut. Makanan lebih bervariasi di- utama untuk anagetik
yang mengandung karbohidrat bandingkan per oral intraoperatif atau post-
tinggi dapat mengurangi absorbsi operatif (bukan untuk
dan tentu saja efeknya berkurang antipretik)
Sumber: El-Radhy, dkk.22

Mengingat kemungkinan terjadinya nefrotoksik pada pemeberian ibuprofen, maka


harus hati-hati pada keadaan anak dengan dehidrasi atau diketahui ada kelainan pada ginjal.
23-25
Keadan yang merupakan faktor risiko juga adalah pemberian ibuprofen pada usia < 6
bulan, karena perbedaan farmakokinetik dan perkembangan fungsi ginjal. 26 Meskipun tidak
dapat dibuktikan hubungan kausalitasnya, ada laporan tentang hubungan antara terjadinya
infeksi Streptococcus grup A invasif (seperti necrotizing fasciitis) pada penderita varisela
yang diberi ibuprofen.27,28 Ibuprofen juga tidak dianjurkan pada penyakit infeksi virus
Dengue. 21,29.

Tabel 5. Perbedaan antara Asetaminofen (Parasetamol) dan Ibuprofen

Variabel Asetaminofen Ibuprofen

Penurunan suhu (0C) 1–2 1–2


Onset penurunan suhu (jam) <1 <1
Waktu untuk efek maksimal (jam) 3–4 3–4
Lamanya efek penurunan suhu (jam) 4–6 6–8
Dosis (mg/kg berat badan) 10 – 15 tiap 4 jam 10 tiap 6 jam
Dosis harian maksimum (mg/kg) 75mg/kg 40 mg/kg
(90 mg/kg < 3 hari)
Sumber : Sullivan JE, dkk30

9
Pemberian kombinasi antara parasetamol dan ibuprofen atau pemberian selang seling
(alternating) antara kedua obat tersebut banyak dipakai pada praktek sehari-hari. Meskipun
hasil beberapa penelitian menunjukkan ada kelebihan cara tersebut dalam menurunkan suhu
tubuh (baik kecepatan penurunan suhu tubuh maupun besarnya penurunan suhu tubuh),
namun demi keamanan pasien sebaiknya diberikan monoterapi saja. Hal ini karena mungkin
terjadi kebingungan orang tua atau pemberi obat terhadap jadwal pemberian sehingga terjadi
kesalahan yang menimbulkan kelebihan dosis dengan segala akibatnya. 31

b. Pengobatan Secara Fisik

Upaya untuk menurunkan suhu tubuh secara fisik telah dilakukan sejak dahulu kala
sampai sekarang, meskipun seringkali tidak didukung oleh bukti ilmiah yang memadai.
Pada umumnya pengobatan secara fisik meliputi melakukan kompres (sponging) dengan
menggunakan alkohol, air dingin atau es, atau air hangat kuku (tepid sponging), serta
mengharuskan istirahat di tempat tidur (bed rest). Saat ini banyak pedoman yang sudah tidak
menganjurkan atau bahkan melarang penggunaan kompres karena justeru akan menggangu
kenyamanan dan menimbulkan efek yang merugikan.10
1. Kompres alkohol: menggunakan baik ethyl alcohol 70% atau isopropyl alcohol 70%
sudah tidak dianjurkan lagi. Alkohol yang digunakan dapat terinhalasi oleh penderita
(terutama anak) dan dapat mengakibatkan hipoglikemia bahkan penurunan kesadaran
(koma).
2. Kompres air dingin atau es: tindakan ini dapat mengakibatkan efek yang sebenarnya
bertentangan dengan proses fisiologis dalam pengaturan set point di hipotalamus,
sehingga menyebabkan keadaan menggigil yang justeru akan meningkatkan suhu
tubuh. Kompres dingin juga menyebabkan vasokonstriksi, sehingga terjadi peningkatan
suhu tubuh. Tindakan ini kadang-kadang juga menyebabkan atau menambah rasa tidak
nyaman bagi anak. Oleh karena berbagai alasan tersebut, tindakan ini juga tidak
dianjurkan.
3. Kompres air hangat: menggunakan air dengan temperatur tertentu (hangat kuku) yang
dianggap lebih baik untuk menurunkan suhu tubuh secara fisiologis. Menurut penelitian
Thomas dkk. bahwa tindakan kompres hangat ini tidak mempunyai efek yang lebih
menguntungkan dibandingkan dengan hanya pemberian antipiretik saja, bahkan
mengakibatkan anak menjadi lebih tidak nyaman.32

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Crocetti M, Moghbeli N, Serwint J. Fever phobia revisited: have parental misconceptions
about fever changed in 20 years. Pediatrics. 2001;107:1241–6.
2. Finkeistein JA. Christiansen CL, Platt R. Fever in pediatric primary care: occurrence,
management, and outcomes. Pediatrics. 2000;105(1):260–6.
3. Alpern ER, Henretig FM. Fever. Dalam : Fleisher GR, Ludwig S, Henretig FM (editor).
Textbook of Pediatric Emergency Medicine. Edisi ke-5, Philadelphia PA: Lippincott
Williams & Wilkins. 2006; hlm 295–306.
4. Barbi E, Marzuillo P, Neri E, Naviglio S , Baruch S. Krauss BS. Fever in Children: Pearls
and Pitfalls. Children 2017, 4, 81; doi:10.3390
5. Adam HM. Fever and host responses. Pediatr Rev. 1996;17(9):330–1.
6. Kluger MJ. Fever: role of pyrogens and cryogens. Physiol Rev. 1991;71(1):93–127
7. Roberts NJ. Impact of temperature elevation on immunologic defenses. Rev Infect Dis.
1991;13(3):462–72.
8. Baraff LJ. Management of fever without source in infants and children. Ann Emerg Med.
2000;36(6):602–14.
9. Brook I. Unexplained fever in young children: how to manage severe bacterial infection.
BMJ. 2003;327:1094–7.
10. Green R, Jeena P, Wells M. Management of acute fever in children: Guideline for
community healthcare providers and pharmacists. S Afr Med J. 2013;103(12):948–54.
11. Nield, LS, Kamat, DF. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics; Kliegman, RM., Stanton,
BF, St Geme JWI, Schor, NF., Eds.; Elsevier: Philadelphia, PA, USA, 2015; hlm. 1277–
9.
12. Charafeddine L, Tamim H, Hassouna H, Akel R, Nabulsi,M. Axillary and rectal
thermometry in the newborn: Do they agree? BMC Res. Notes 2014, 7, 584.
13. Smith J, Alcock G, Usher K. Temperature measurement in the preterm and term neonate:
A review of the literature. Neonatal Netw. 2013; 32:16–25.
14. Craig JV, Lancaster GA, Williamson, PR, Smyth RL. Temperature measured at the axilla
compared with rectum in children and young people: Systematic review. BMJ 2000, 320,
1174–8.
15. Batra P, Goyal S. Comparison of rectal, axillary, tympanic, and temporal artery
thermometry in the pediatric emergency room. Pediatr. Emerg. Care. 2013; 29: 63–6.

11
16. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. Feverish Illness in
Children: Assessment and Initial Management in Children Younger than 5 Years; National
Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health: London, UK, 2013.
17. American Academy of Pediatrics. Fever and Your Child; American Academy of
Pediatrics: Elk Grove Village, IL, USA, 2012.
18. Elhassanien AF, Abdel-Aziz H, Alghaiaty, Alrefaee F. Fever without source in infants and
young children: dilemma in diagnosis and management. Risk Management and Healthcare
Policy. 2013;6:7–12.
19. Antoon JW, Potisek NM, Lohr JA. Pediatric fever of unknown origin. Ped
rev.2015;36:380–90.
20. Antoon JW, Peritz DC, Parsons MR, Skinner AC, Lohr JA. Etiology and resource use of
fever of unknown origin in hospitalized children. Hosp Ped.2018;8(3):135–40.
21. World Health Organization.Dengue:guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control.New wdition.Geneva: WHO.2009.
22. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Walsh A. Management of Fever (Antipyretics). Dalam:
El-Radhi AS, Carroll J, Klein N (editor). Edisi-1. Verlag Berlin Heidelberg:Springer.
2009;hlm 223–50.
23. Goldman RD, Ko K, Linett LJ, Scolnik D. Antipyretic efficacy and safety of ibuprofen
and acetaminophen in children. Ann Pharmacother. 2004;38:146–50.
24. Perrott DA, Piira T, Goodenough B, Cham-pion D. Efficacy and safety of acetamino-phen
vs ibuprofen for treating children’s pain or fever: a meta-analysis. Arch Pediatr Adolesc
Med. 2004;158(6):521–6.
25. Kanabar DA practical approach to the Treatment of low-risk childhood fever. Drugs R D
2014;14:45–55.
26. Berezin SH, Bostwick HE, Halata MS, Feerick J, Newman LJ, Medow MS.
Gastrointestinal bleeding in children following ingestion of low dose ibuprofen. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2007;44(4):506–8.
27. Lesko SM, Mitchell AA. Renal function after short-term ibuprofen use in infants and
children. Pediatrics. 1997;100(6):954–7.
28. Moghal NE, Hegde S, Eastham KM. Ibuprofen and acute renal failure in a toddler. Arch
Dis Child. 2004;89(3):276–7.
29. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue hemorrhagic fever. Revised and expanded edition.New Delhi: WHO
Regional Office of South-East Asia.2011.

12
30. Sullivan JE, Farrar HC, the section on clinical pharmacology and therapeutics, and
committee on drugs. Clinical Report—Fever and antipyretic use in children. Pediatrics.
2011;127:580–7.
31. Wong T, Stang AS, Ganshorn H, Hartling L, Maconochie IK, Thomsen AM, et al.
Combined and alternating paracetamol and ibuprofen therapy for febrile children. Evid
Based Child Health.2014;9(3):675–729.
32. Thomas S, Vijaykumar C, Naik R, Moses P, Antonisamy B. Comparative effectiveness of
tepid sponging and antipyretic drug versus only antipyretic drug in the management of
fever among children: a randomized controlled trial. Indian Pediatr. 2009;46:133–6.

13
DENGUE UPDATE

Dewi Murniati
Pendahuluan

Infeksi dengue merupakan a mosquito-borne viral infection, ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus, yaitu nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia1 dan menimbulkan
gejala mirip flu serta dapat berkembang dengan komplikasi lethal dengue berat. Terdapat 4 serotipe
virus dengue (DENV) yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Dalam dekade terakhir insiden global
dengue tumbuh secara dramatis, sekitar setengah populasi dunia berisiko terinfeksi terutama di daerah
Asia tenggara.2 Dengue berat menjadi penyebab utama penyakit berat dan kematian diantara anak-
anak di Negara Asia dan Amerika Latin.1 Mengapa beberapa individu berkembang menjadi bentuk
dengue berat sedangkan yang lain hanya ringan atau asimtomatik masih sulit dipahami, kerentanan
menjadi dengue berat adalah suatu fenomena poligenik dan dipengaruhi oleh interaksi antara gen dan
gen lingkungan ( serotipe virus, status imunitas dan faktor lainnya).3

Tidak ada pengobatan spesifik untuk dengue tetapi deteksi dini dan akses untuk perawatan memadai
dapat menurunkan angka kematian dibawah 1%. Pengendalian dan pencegahan dengue tergantung
pada pengendalian vektor yang efektif. Vaksin dengue telah mendapat persetujuan oleh institusi Negara
berwenang di berbagai Negara endemis untuk digunakan pada usia 9 – 45 tahun.1

Perubahan epidemiologi dengue

Dalam masa 50 tahun terakhir, insiden dengue di seluruh dunia telah meningkat 30 kali. Diperkirakan
3.9 milyar penduduk di 128 negara berisiko terinfeksi virus dengue. Dilaporkan 500 000 kasus dengan
dengue berat memerlukan rawat inap setiap tahunnya dan sekitar 2.5% diantaranya meninggal,
terutama anak-anak.1 Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara mengalami epidemi dengue berat . Saat ini
telah menjadi endemis di lebih 100 negara dalam regional WHO di Afrika, America, Timur tengah, Asia
tenggara dan Pasifik barat. Regional Amerika, Asia tenggara dan Pasifik barat merupakan daerah yang
paling banyak terserang. Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue di dunia antara tahun
2004 dan 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-2 dengan kasus DBD terbesar
diantara 30 negara wilayah endemis.1,4 Case Fatality Rate (CFR) cenderung menurun dari tahun ke
tahun, sebagai semakin baiknya pengenalan dini dan penanganan kasus yang memadai. Penurunan
angka kematian dari 10%-15% (40% dibeberapa negara) pada awal tahun 1950, saat ini menjadi kurang
dari 0,5% di rumah sakit rujukan di Asia Tenggara didukung oleh pelatihan pada petugas medis yang
lebih baik.5

Di Indonesia

CFR yang tinggi 41.3% (tahun 1968) telah menurun menjadi 0.89% (tahun 2009), dan 0,75% (tahun
2017) hal ini disebabkan penerapan protokol dan panduan lokal tata laksana dengue di Indonesia cukup
baik, penatalaksanaan kasus disarana kesehatan memadai, dan meningkatnya pemahaman masyarakat
tentang demam berdarah dengue (DBD), sehingga segera membawa penderita berobat.5,6,7 Jumlah
kasus DBD (tahun 2016) paling banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan
Timur. Terdapat tujuh provinsi (Bali, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimatan Utara,
Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Selatan) tergolong rawan dengan Incidence Rate (IR) DBD yang tinggi
yaitu IR di atas seratus atau rawan terjadi kasus DBD. Keseluruhan Indonesia dengan IR(78.0) yang
terbilang tinggi.8 Rerata umur kasus DBD di Jakarta pada periode 1979-1984 adalah 4-11 tahun.9 Data
Departemen Kesehatan setelah tahun 1984 menunjukkan insidens kelompok umur lebih dari 15 tahun
meningkat dari tahun ke tahun. Kelompok umur yang terserang dengue berubah menjadi kelompok
remaja dan dewasa.10 Di beberapa Negara Asia insidens kasus DBD juga mengalami pergeseran ke
kelompok umur remaja.5

Urutan dominasi serotipe dengue yang beredar juga mengalami perubahan, hal ini terlihat dari survei
isolasi virus dengue di Indonesia sejak tahun 1972 sampai 1992 menunjukkan keempat serotipe dengue
ditemukan, DENV-3 dan DENV-2 merupakan serotipe yang dominan, diikuti DENV-1 dan DENV-4.
Kemudian isolasi virus dengue dengan RT-PCR pada tahun 2004, DENV-3 masih merupakan serotipe
yang paling dominan (57%), diikuti DENV-4 (20,7%), DENV-2(13%) dan DENV-1(5,6%), sedangkan infeksi
virus dengue ganda DENV-3 dan DENV-1 ditemukan sejumlah 3,7%.11 Tingginya endemisitas di indonesia
dapat terlihat dari pengamatan hasil tes serologi infeksi dengue di Departemen Ilmu kesehatan Anak
RSCM-FKUI Jakarta pada tahun 2007 sampai 2009 yang menunjukkan mayoritas kasus DD (43.75%-
85.29%) dan DBD (80%-92.62%) mengalami infeksi dengue sekunder.11 Demikian pula penelitian
seroprevalen dengue tahun 2014 pada anak Indonesia di 30 daerah urban menunjukkan lebih dari 80%
anak usia 10 tahun atau lebih pernah mengalami sedikitnya satu kali terinfeksi dengue,12 hal tersebut
menunjukkan transmisi intensif yang berhubungan dengan episode klinis lebih berat. Proporsi tertinggi
seroprevalen dengue yaitu terhadap DENV-2, disusul oleh DENV-1, DENV-3, dan terendah DENV-4.13

Patogenesis

Infeksi dengue pada manusia akan menstimuli respon imun yang menyebabkan berbagai variasi
ekspresi klinis dari asimtomatik sampai dengue berat. Respon imun dipengaruhi oleh keragaman faktor
pada virus dengue dan manusia (inang). Saat infeksi invasi mikroorganisme (fase aferen) akan diikuti
oleh respon inang (fase eferen). Infeksi dengue adalah unik karena kejadian pra-infeksi dapat
mengontrol fenomena aferen.14

Faktor pada virus dengue antara lain perbedaan sifat virulensinya, karakter serotipe virus dengue yang
bisa berbeda, stimulasi respon imun berbeda dan fenomena viral toxicosis pada infeksi sekunder
heterolog .1,14,15

Faktor pada manusia

1. Antigen-antibody-complement-mediated vascular permeability, pada infeksi sekunder


heterolog anamnestic IgG dengue antibodies dan DENV mengaktifasi komplemen melalui C3
activator dan menginisiasi kaskade C1, C4, C2, mengakibatkan penurunan kadar C3 dan
peningkatan kadar C3a dan C5a anaphylatoxins yang mempengaruhi permeabilitas vaskular.
2. Antibody-dependent enhancement (ADE), and dengue viral toxicosis. Saat fase aferen infeksi
dengue, kompleks imun DENV meregulasi infeksi Fc-receptor-bearing cells . Infeksi kompleks
imun DENV pada monosit / makrofag manusia meningkatkan replikasi DENV sekitar 100 kali
lipat dalam hubungannya dengan penekanan interferon tipe I atau peningkatan produksi IL-10
atau keduanya, fenomena ini disebut intrinsic ADE (iADE). Kompleks imun DENV mencapai
keuntungan infeksi tiga kali lipat pada FcR-bearing cells dibandingkan dengan DENV saja,
disebut sebagai extrinsic ADE (eADE). Pada fase eferen didapatkan gejala dengue vascular
permeability syndrome (DVPS) berupa cedera hati, peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
aktivasi komplemen, dan perubahan hemostasis. DENV NS1 berinteraksi dengan Toll-like
receptor 4 (TLR 4) pada permukaan monosit, makrofag, dan sel endotel, mendorong pelepasan
berbagai sitokin dan kemokin yaitu mediator yang sama yang diidentifikasi dalam darah pasien
dengan DBD / sindrom syok dengue (SSD). Secara in vitro, NS1 mengakibatkan terganggunya
integritas monolayer sel endotel. Para penulis menyimpulkan bahwa SSD mungkin toksisitas
protein virus. Kadar DENV NS1 darah dan toksisitas NS1 adalah mekanisme eferen yang
dikontrol langsung oleh ADE. Belum jelas apakah NS1 saja, sitokin yang diinduksi oleh NS1,
kerusakan yang diinduksi oleh replikasi virus, atau komplemen yang diaktifkan bertanggung
jawab atas fenomena DVPS eferen in vivo. Bagaimanapun toksisitas DENV NS1
memperkenalkan era baru untuk penelitian patogenesis dengue.
3. Respon berlebihan sel T, permeabilitas vaskular dikaitkan dengan sitokin, seperti interleukin-2
(IL-2) dan tumor necrosis factor-alpha (TNFα), yang dilepaskan oleh sel T yang sangat aktif
secara bersamaan menyertai respon imun selama infeksi sekunder heterolog.
4. Heterophile immunity, suatu kondisi seperti penyakit autoimun akibat destruktif jaringan oleh
antibodi patogen sebagai respon terhadap protein DENV NS1. Antibodi ini bereaksi silang
dengan sel-sel endotel inang, protein pembekuan darah, dan sel-sel hati. Antibodi tersebut
dianggap mencapai tingkat patologis selama infeksi DENV sekunder.
5. Infection-ending T-cell responses misdirected by original antigenic sin. Tanggapan sel T yang
berakhir dengan infeksi sebagai salah arahan oleh dosa antigenik asli. Analisis fenotip
fungsional sel T CD8 + pada DBD mengungkapkan bahwa pengenalan antara peptida DENV
heterolog dihubungkan dengan penurunan potensi sitolitik tanpa mengurangi produksi sitokin.
Aktivasi sel T CD4 + dan CD8 + dengan varian peptida menginduksi set sitokin yang berbeda.
Respon sel T terhadap patogen heterolog atau defek selektif sel T (original antigenic sin)
menghasilkan sitokin dan kemokin ("badai sitokin") yang menyebabkan permeabilitas
pembuluh darah seperti pada DBD / DSS.
6. Infeksi langsung sel myeloid. Infeksi DENV pada sel mieloid, termasuk sel mast menyebabkan
pelepasan sitokin yang mempengaruhi permeabilitas vaskular
7. Infeksi langsung sel endotel. Aktivitas transkripsi, produksi protein, dan ekspresi protein
permukaan sel endotel secara signifikan diubah oleh infeksi DENV in vitro. Beberapa jalur yang
dipengaruhi pada DBD / DSS yaitu peradangan, apoptosis, dan koagulasi. Apoptosis sel-sel
endotel telah diusulkan menjadi mekanisme kebocoran vaskular.14
8. Peranan NS1-specific antibodies, respon antibodi terhadap recombinant-NS1 pada infeksi
dengue sekunder menunjukkan kadar antibodi NS1 kasus DBD selama fase kritis lebih tinggi
secara signifikan dibanding kasus DD serta target epitop spesifik dari antibodi NS1 dapat
memprediksi keparahan penyakit dan bermanfaat dalam membantu pengembangan vaksin dan
desain pengobatan.16
9. Polimorfisme gen inang pada berbagai tingkat respon imun: (a) Masuknya virus ke dalam sel-
sel sistem imun;(b) Pengenalan virus oleh sistem imun bawaan dan respon yang berhubungan;
(c) Pengenalan epitop virus oleh sel T CD4 + dan CD8 + dalam konteks molekul human leukocyte
antigen (HLA) kelas I dan kelas II yang disajikan oleh antigen presenting cells; dan (d) Fase
efektor dari respon imun yaitu selama sel efektor yang berbeda dan sekresi molekulnya
memediasi respon imun terhadap virus dan mengeliminasinya, seperti polimorfisme gen pada :
Sitokin dan kemokin , reseptor vitamin D (VDR), lokus kerentanan dalam kromosom,
immunogenetik dengue: implikasi untuk desain vaksin, prognosis dan terapi.3
10. Peran sitokin, sitokin mempunyai asosiasi yang bermakna dengan (i) penanda kebocoran
plasma, (ii) penanda pengaktifan system pembekuan darah, (iii) penanda pengaktifan system
fibrinolisis dan (iv) kematian.17 Pada infeksi virus dengue berat, sitokin terlibat dalam awitan
dan regulasi hemostasis.18 Aktivasi koagulasi paling menonjol pada kelompok yang meninggal.
Fibrinolisis juga diaktifkan, tetapi aktivasi ini relatif lemah dibandingkan dengan koagulasi
sebagai akibat dari tingkat inhibitor aktivator plasminogen yang tetap tinggi. Inhibitor aktivator
plasminogen juga mencegah perubahan dari prokoagulan ke keadaan profibrinolitik pada DBD
berat, Ketidakseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis ini dapat digunakan sebagai penanda
prognostik, tetapi juga dapat menjadi target untuk intervensi terapeutik di masa depan.19 Pada
non-survivors dengue berat, konsentrasi plasma IL-6 dan IL-1Ra secara signifikan lebih tinggi
daripada pada yang selamat.
11. Disfungsi hematologis, infeksi dengue sering disertai hematologi abnormal seperti
trombositopenia, leukopenia, disseminating intravascular coagulopathies (DIC), kebocoran
plasma, hipofibrinogenemia, peningkatan pembekuan intravaskular dan penurunan kadar
faktor II, V, VII, VIII, IX, X dan XII. Hemostasis normal dipertahankan melalui keseimbangan yang
baik antara koagulasi dan fibrinolysis. Aktivasi koagulasi dan fibrinolisis lebih akut pada kasus
DBD / SSD bila dibandingkan dengan kasus demam dengue (DD). Trombositopenia , leukopenia
dan transient neutrophil deficiency dihubungkan dengan penekanan hematopoiesis secara
langsung oleh DENV yang menghambat diferensiasi megakariositik bersamaan dengan indirect
immune injury diduga memegang peran penting.
A. Abnormalitas trombosit, terjadi melalui mekanisme imunopatogenik: (i) Antigen DENV
langsung berhubungan dengan trombosit; (ii) antibodi anti DENV yang mengikat
trombosit menginduksi penghancuran trombosit; dan (iii) modulasi fungsi sel endotel
oleh DENV.
12. Pengaruh pada sel endotel vascular, in vivo dan in vitro menunjukkan sel-sel endotel rentan
terhadap DENV, menyebabkan pelepasan sitokin IL6 dan IL8, menginduksi apoptosis,
mengubah transkripsi sel serta mempengaruhi ekspresi gen, perubahan biologi pada beta
integrin lapisan human microvascular endothelial cells (HMEC-1) yang dapat melanggar
integritas paraseluler, gangguan integritas inter-endothelial cell junctional barrier, tsunami
sitokin pada dengue berat menyebabkan peningkatan resistensi listrik trans-endotel dan
peningkatan permeabilitas sel-sel endotel, Immature monocyte-derived dendritic cells
teraktivasi dan melepaskan β3-integrin, yang diperlukan untuk masuknya DV ke HMEC-1
manusia. β3-integrin penting dalam mempertahankan integritas kapiler dan mengatur sitokin
vasoaktif permeabilitas vascular yaitu IL-8 dan TNF-alpha.21
13. Faktor lain yang juga berpengaruh: usia, jenis kelamin, status gizi, status imun, koinfeksi.3

Pentingnya pemahaman perjalanan penyakit infeksi dengue

Perjalanan penyakit infeksi dengue dapat melalui 3 fase yaitu fase demam, kritis dan pemulihan.

Tabel 1. Perjalanan penyakit infeksi dengue.

Fase demam (2-7 hari) Fase kritis (24-48 jam) Fase pemulihan (2-4 hari)

Demam mendadak, tinggi Suhu normal atau subnormal Resolusi kebocoran plasma dan
perdarahan

sakit kepala, anoreksia, mual dan Warning signs Stabilisasi tanda vital
muntah, nyeri diseluruh tubuh,
mialgia, artralgia

nyeri mata retro-orbital, fotofobia, Variasi tingkat kebocoran plasma ke Reabsorbsi akumulasi cairan,
sakit menelan, injeksi faring, dan rongga pleura dan rongga termasuk kebocoran plasma dan
injeksi konjungtiva abdominal pemberian cairan intra vascular

facial flushing, eritema kulit, Variasi tingkat perdarahan diuresis kembali normal
eksantema rubeliform

Perdarahan ringan, hepatomegali Risiko terjadinya syok dan kematian Nafsu makan meningkat dan sense
of wellbeing

Sulit dibedakan dengan infeksi Ruam konvalesen, bradikardi


lainnya

Tes tourniquet (TT) positif, lekopeni, Lekopeni progresif diikuti oleh Lekosit, Ht dan trombosit kembali
tes antigen NS1 positif trombositopenia biasanya normal, tes serologi IgM dan IgG
mendahului kebocoran plasma dengue positif
peningkatan Ht 10 sampai >20%

Peralihan fase demam ke fase kritis Peralihan fase kritis ke fase


ditandai defervesence, pemulihan ditandai volume
trombositopenia <100.000 sel / intravaskular stabil dan reabsorbsi
mm3, hematocrit (Ht) meningkat, akumulasi cairan ekstravaskular.
leukopenia <5000 sel / mm3,
warning signs

Warning signs:

Tidak ada perbaikan klinis saat suhu reda, menolak makan minum, muntah berulang, letargi,
perubahan perilaku, postural hipotensi, pucat, ekstremitas dingin, nyeri perut hebat, akumulasi cairan,
perdarahan mukosa (epitaksis, bab hitam, hematemesis, menoragia, urin coklat), diuresis menurun
dalam 4-6 jam, hepatomegali >2 cm, peningkatan progresif Ht bersamaan dengan penurunan cepat
trombosit.2,22

Tabel 2. Komplikasi yang dapat terjadi dalam fase infeksi dengue22

1 Fase demam Dehidrasi, gangguan neurologis dan kejang demam, perdarahan

2 Fase kritis Kebocoran plasma, perdarahan atau syok yang tidak diketahui, perdarahan
intrakranial, gangguan metabolik (hipoglikemi, hiponatremi, hipokalsemi, asidosis
metabolik), koagulopati , perdarahan berat, gangguan fungsi organ, prolonged
shock

3 Fase pemulihan Hipervolemia ( jika terapi resusitasi cairan intravena berlebihan dan atau
diperpanjang pada fase ini ), edema paru akut

Klasifikasi diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2009 dapat dipergunakan terutama dalam
mewaspadai kasus dengue dengan warning signs dan kasus dengue berat. Adapun klasifikasi diagnosis
infeksi dengue menurut WHO SEARO 2011 yang merupakan revisi dan perluasan klasifikasi WHO 1997
lebih cocok dengan keadaan di Indonesia. Jadi kedua klasifikasi tersebut dapat dipergunakan dengan
tujuan saling melengkapi kekurangan masing-masing.23

Klasifikasi diagnosis infeksi dengue menurut WHO SEARO 2011 2


A. Asimtomatik

B. Simtomatik : 1).Undifferentiated Fever (viral syndrome) 2).Demam dengue (DD) : a)Tanpa


perdarahan b)Dengan perdarahan 3).Demam berdarah dengue (DBD): a)Tanpa syok b)Dengan syok,
Sindrom syok dengue (SSD) 4). Expanded Dengue Syndrome (EDS) / Isolated organopathy Unusual
Manifestation

Undifferentiated fever, umumnya terjadi pada infeksi dengue primer berupa: demam, sulit dibedakan
dari infeksi lainnya, ruam makulopapular, menyertai demam atau saat demam menghilang, gejala
pernapasan dan gastrointestinal

DD, umumnya pada anak lebih besar, remaja dan dewasa, ditandai: demam akut, mendadak tinggi ( 39-
40o C) , menggigil, sering kali bifasik, sakit kepala, flushed face, kelemahan umum, sakit tenggorok,
anoreksia, nyeri belakang mata, fotofobia, mialgia, arthralgia, nyeri tulang (break-bone fever), kolik,
nyeri perut, konstipasi, depresi, ruam kulit kemerahan merata atau bercak setempat di muka, leher dan
dada ( sakit hari 2-3) atau makulopapular/ rubelliformis (sakit hari 3-4), petekie, tourniquet test (TT)
positif, jarang disertai perdarahan berat. Fase penyembuhan dapat disertai bradikardi, munculnya ruam
konvalesen didaerah kaki dan tangan yang disertai rasa gatal. Leukopenia, neutropenia,
trombositopenia (100.000-150.000 sel/mm3), peningkatan ringan hematokrit (10%), peningkatan AST (
konsumsi analgesik, antipiretik, antiemetik). Antibiotik dapat mempengaruhi fungsi hati dan pembekuan
darah.

DBD/ SSD, umumnya terjadi pada infeksi dengue sekunder, jarang terjadi pada infeksi primer, ditandai
dengan kebocoran plasma, berkurangnya volume plasma dan syok. Fase demam menyerupai DD,
diakhir fase demam dapat berkembang syok hipovolemik karena kebocoran plasma, hepatomegali, nyeri
epigastrium, gangguan sirkulasi darah, diatesa hemoragik: TT positif, petekie dan perdarahan lain.
Hemostasis abnormal dan kebocoran plasma yang selektif pada rongga pleura dan abdomen, menjadi
penanda patofisiologi utama dan untuk membedakannya dengan DD atau demam hemoragik virus lain.
Pada akhir fase demam terjadi lekopeni (≤5000 sel/mm3) dan netropeni, rasio neutrofil terhadap
limfosit (neutrofil < limfosit) berguna untuk memprediksi fase kritis kebocoran plasma, disusul
trombositopenia (<100.000 sel/mm3) dan peningkatan hematokrit (Ht) atau hemokonsentrasi akibat
kebocoran plasma. Dapat terlihat limfositosis relatif serta peningkatan limfosit atipikal (terlihat sampai
fase konvalesen, juga pada DD), LED normal membantu membedakan dengue dari infeksi bakteri dan
syok septik, selama periode syok LED <10 mm / jam. Perjalanan penyakit dapat berlangsung :

-ringan : gejala klinis mereda setelah demam menghilang. Gangguan sirkulasi ringan dan sementara
sebagai akibat kebocoran plasma yang ringan. Penyembuhan terjadi spontan atau setelah terapi cairan
dan elektrolit.

-sedang sampai berat: kondisi memburuk (warning sign) saat akhir fase demam, saat suhu turun
ditemukan kegagalan sirkulasi. Pada syok kompensasi tekanan darah sistolik normal, diastolik
meningkat sehingga tekanan nadi menyempit, tahikardi, tahipnu ringan, ekstremitas dingin, capillary
refill time (CRT) > 2 detik dan volume nadi melemah. Bila syok kompensasi tidak mendapat terapi, maka
tahikardi dan takipnu semakin meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik dapat menghilang tiba-
tiba, kondisi ini disebut syok dekompensasi atau syok hipotensif. Pada syok dalam (profound shock) nadi
dan tekanan darah sudah tak terukur . Sebagian besar kasus masih tetap sadar walaupun mendekati
stadium terminal. Syok bersifat reversible jika terapi volume replacement (cairan) diberikan secara
adekuat, tanpa terapi kasus dapat meninggal dalam 12-24 jam. Syok lama (prolonged shock) dan tidak
terkoreksi menyebabkan komplikasi asidosis metabolik, gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalemi,
hipokalsemia), kegagalan multi organ dan perdarahan berat dari berbagai organ sehingga memiliki
prognosis buruk dan risiko kematian meningkat. Juga ditemukan gangguan metabolik dan hematologis
lain seperti hipoalbumin, hipoglikemi, nitrogen urea darah meningkat, peningkatan kadar aspartat
aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) serum yang berhubungan dengan spektrum
klinis semakin tinggi kadar AST dan ALT serum, semakin berat derajat sakitnya.. Demikian pula terjadi
penurunan kadar fibrinogen, prothrombin, faktor VIII, faktor XII, antitrombin III, serta prothrombin yang
tergantung pada vitamin K menurun, seperti faktor V, VII, IX dan X, pemanjangan waktu tromboplastin
parsial, waktu protrombin dan waktu trombin serta albuminuria ringan. 2,24

Expanded dengue syndrome (EDS)

Manifestasi yang tidak biasa dari keterlibatan organ yang berat terkait dengan infeksi dengue telah
semakin banyak dilaporkan, yang berhubungan dengan koinfeksi, komorbiditas atau komplikasi syok
berkepanjangan. 2nd Edition of Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever

Tabel 3. Expanded dengue syndrome25

Sistem organ Unusual atau atypical manifestation

Neurologi Kejang demam pada anak, Ensefalopati, Ensefalitis/meningitis aseptik Perdarahan


intrakranial/thrombosis, Efusi subdural Mono/polineuropati/sindrom Guillain-Barre , Mielitis transversal

Gastrointestinal/ Hepatitis/fulminant hepatic failure, Aculculous cholecystitis, cholangitis, Pankreatitis akut, Hiperplasia
hepatik plaque Payeri, Parotitis akut

Ginjal Gagal ginjal akut, Hemolytic uremic syndrome, acute tubular necrosis.

Jantung Konduksi abnormal, Kardiomiopati, Miokarditis, Perikarditis, Efusi perikardia.

Respirasi Sindrom distres respirasi akut, Perdarahan paru, Edema paru, Efusi pleura

Muskuloskeletal Miositis dengan creatine phosphokinase (CPK), Rabdomiolisis

Limforetikular ITP, Lymph node infartion

Mata Macular haemorrhage, Gangguan visual acuity, Neuritis optikus, perdarahan konyungtiva

Lain-lain Sub acute thyroiditis, Hemophagocytic syndrome, Thyrotoxicosis, Vasculitic skin lesions, Pancreatitis with
hemothorax, Thromboembolic events, Post-infectious fatique syndrome, Depresi, Halusinasi, Psikosis,
Alopesia

Beberapa kondisi ko-morbid yang berhubungan dengan dengue berat antara lain usia bayi, obesitas,
lansia, kehamilan, ulkus peptikum, menstruasi, penyakit hemolitik, penyakit jantung bawaan, penyakit
kronis seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik, sirosis, pengobatan steroid, atau NSAID.23

Pemeriksaan penunjang

Parameter hematologi seperti pemeriksaan hemoglobin (Hb), Ht, lekosit, trombosit dapat menjadi
panduan untuk mendiagnosis infeksi dengue maupun menilai perubahan fase, keparahan penyakit serta
keberhasilan terapi . Selain itu diperlukan pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, Ca, gula darah atau
fungsi organ ( ginjal dan hati) dalam memantau adanya komplikasi yang memperburuk kondisi klinis.
Untuk menegakkan diagnosis konfirmasi diperlukan 1). deteksi antigen virus dengue yaitu isolasi virus,
reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) yang dapat memberikan hasil positif sampai
hari sakit keenam dan tes antigen NS-1 dengue banyak digunakan dalam pelayanan pasien, sensitivitas
tinggi pada demam hari pertama dan kedua. 2). Uji serologis : haemaglutination inhibition test ( uji HI),
complemen fixation test (CFT), neutralization test, pemeriksaan serologi IgM dan IgG antibodi dengue
(menilai infeksi primer atau sekunder). Pemeriksaan radiologi dada kadang diperlukan untuk menilai
adanya efusi pleura, sebaiknya dengan posisi lateral dekubitus kanan sedangkan pemeriksaan
ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai adanya asites dan penebalan atau edema dinding
kandung empedu.26

Diagnosis

Tersangka infeksi dengue:

Demam akut dengan dua atau lebih berikut ini: sakit kepala, nyeri retro-orbital, myalgia, arthralgia /
nyeri tulang, ruam, manifestasi hemoragik, lekopeni (≤5000 sel/mm3), trombositopeni (<150.000
sel/mm3). Meningkatnya Ht (5-10%) dan sekurang-kurangnya satu dari berikut: uji HI pada sampel serum
tunggal dengan titer ≥1280, titer IgG sebanding dengan enzyme-linked immunosorbent assay, atau tes
antibodi IgM positif.

Dengue konfirmasi:

Apabila tersangka infeksi dengue disertai hasil positif salah satu berikut ini: Isolasi virus dengue, RT-PCR,
deteksi virus atau antigen dengue secara immunohistochemistry, atau immunofluorescence atau
enzyme-linked immunosorbent assay, tes antigen NS-1 dengue, peningkatan empat kali lipat atau lebih
besar dalam serum IgG (uji HI), peningkatan antibodi IgM spesifik untuk virus dengue.

ICD 10 untuk infeksi dengue27

 A90 - Demam dengue


 A91 - Demam berdarah dengue
 A91a - Sindrom syok dengue
 A99 - Dengue tidak terkonfirmasi

Differential diagnosis : chikungunya virus, zika virus, campak, rubella, Epstein-Barr virus (EBV),
enteroviruses; influenza, hepatitis A, hantavirus, meningokokus, leptospirosis, demam tifoid,
melioidosis, rickettsia, scarlet fever, malaria.2

Tatalaksana

Langkah pertama: a) menilai riwayat sakit seperti kapan awitan sakit/demam, jumlah masukan makan
dan minum per oral, buang air kemih (frekuensi, jumlah, kapan terakhir), diare, adanya warning signs,
perubahan status mental, kejang, riwayat keluarga/tetangga sakit dengue, faktor risiko (bayi, kehamilan,
obesitas, diabetes mellitus, hipertensi), wisata jungle trekking dan swimming in waterfalls (leptospirosis,
typhus, malaria). b) menilai pemeriksaan fisik : status mental, hidrasi, hemodinamik, takipnu, nafas
Kussmaul, efusi pleura, asites, hepatomegaly, ruam kulit, manifestasi perdarahan. c) pemeriksaan
penunjang: darah tepi, tes konfirmasi dengue, pemeriksaan lainnya untuk dugaan adanya komplikasi
atau gangguan fungsi organ.

Langkah kedua: menetapkan diagnosis, fase sakit, keparahannya

Langkah ketiga: notifikasi penyakit dan penetapan tatalaksana, apakah tersangka infeksi dengue atau
dengue konfirmasi, apakah berobat jalan, dirawat inap, memerlukan rawat intensif, dirujuk ke rumah
sakit lain. 22

Tersangka infeksi dengue: adanya warning signs memerlukan rawat inap untuk pemantauan klinis dan
laboratorium apakah klinis DBD, DSS atau EDS (keterlibatan organ, komplikasi, ko-morbiditas, ko-
infeksi). Bila tidak ditemukan warning signs tetapi terdapat ko-morbiditas atau indikasi sosial, maka
memerlukan rawat inap, sedangkan bila tidak terdapat ko-morbiditas atau indikasi sosial dapat berobat
jalan dengan pemantauan warning signs ( keluarga diinformasikan tentang warning signs), bila ada
untuk segera kembali dan dinilai perlu rawat inap atau tidak.

DBD tanpa syok: istirahat, penggantian cairan, monitor ketat tanda syok hipovolemik. Pilihan cairan
intravena yaitu kristaloid isotonik ringer laktat atau ringer asetat, bayi <6 bulan menggunakan cairan
NaCl 0,45%. Lama pemberian cairan diberikan terutama saat fase kritis 24-48 jam.

SSD : perlu penilaian apakah syok kompensasi atau syok dekompensasi/hipotensi. Pada syok
kompensasi segera resusitasi dengan cairan kristaloid bolus intravena 10-20 ml/kgBB dalam waktu 10-20
menit bersama O2 2-4 l/menit. Bila syok teratasi lanjutkan terapi cairan 1-2 jam sampai tanda vital
stabil, kemudian cairan intravena diturunkan secara bertahap dan dihentikan dalam waktu maksimal
48 jam. Sedangkan bila syok tidak teratasi segera lakukan pemeriksaan analisis gas darah, Ht, kadar Cad
an gula darah untuk menilai asidosis, bleeding, calcium, blood sugar (A-B-C-S), dan segera dikoreksi
bersamaan resusitasi cairan. Jika Ht masih tinggi lakukan bolus kedua cairan kristaloid atau koloid
(dextran 40, gelatin atau hydroxyl ethyl starch (HES)) 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit, bila masih
belum teratasi berikan koloid 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit, jika masih menetap dianjurkan
transfusi darah. Bila mana Ht turun tetapi masih syok kemungkinan adanya perdarahan , segera berikan
transfusi darah atau koloid 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit. Umumnya syok hipovolemik dengue
dapat teratasi dalam waktu 40-60 menit, bila syok lebih dari 60 menit perlu penilaian kemungkinan
terjadi KID dan perdarahan saluran cerna yang sulit diatasi. Syok berkepanjangan, profound shock,
perdarahan saluran cerna dan ensefalopati dengue memerlukan perawatan di ruang intensif.

EDS: pada edema paru bila tanda vital stabil dan fungsi ginjal baik dapat diberikan furosemide 0,5 mg
intravena 2 x sehari. Bila terjadi ensefalopati dengue maka bebaskan jalan nafas, pertahankan
oksigenisasi, mencegah tekanan intrakranial meninggi (pemberian diamox atau kortikosteroid),
mencegah hipoglikemia (gula darah >60 mg%), menurunkan produksi ammonia (neomisin 50
mg/kgBB/hari, maksimal 1 g/hari dan laktulosa 5-10 ml, 3-4 kali/hari), pemberian vitamin K (3-10 mg, 3
kali/hari, koreksi asidosis dan gangguan elektrolit, cairan menjadi 4/5 kebutuhan dan mencegah infeksi
sekunder.Perlunya mengatasi adanya ko-infeksi yang dapat memperparah EDS.26

Upaya pencegahan

Pencegahan infeksi dengue saat ini paling efektif dengan pengendalian vektor (nyamuk) dan imunisasi.
Vaksin dengue pertama Dengvaxia® (CYD-TDV) yang dikembangkan oleh Sanofi Pasteur dan telah
mendapat lisensi pada Desember 2015, yaitu vaksin tetravalen, rekombinan, hidup dan dilemahkan.
Saat ini telah disetujui oleh pihak berwenang di 20 negara untuk digunakan di daerah endemik pada
orang yang berusia antara 9-45 tahun. Pada April 2016, WHO mengeluarkan rekomendasi bersyarat
yaitu negara harus mempertimbangkan pengenalan vaksin dengue CYD-TDV hanya pada daerah dengan
data epidemiologi yang menunjukkan beban penyakit dengue tinggi atau sangat endemik sebagaimana
didefinisikan dengan seroprevalensi 70% atau lebih tinggi. Pada bulan November 2017, hasil analisis
tambahan menunjukkan bahwa peserta penelitian yang seronegatif pada saat vaksinasi pertama
memiliki risiko lebih tinggi mengalami dengue berat dan memerlukan rawat inap karena dengue
dibandingkan dengan peserta yang tidak divaksinasi.1

Di Indonesia, Dengvaxia telah mendapatkan izin edar dari BPOM per 31 Agustus 2016. Penggunaannya
ditujukan untuk pencegahan demam berdarah di daerah endemik akibat infeksi DENV-1, DENV-2,DENV-
3, DENV-4 pada usia 9-16 tahun. Pada Juni 2018 Badan POM RI memutuskan bahwa vaksin Dengvaxia
dapat digunakan untuk mengurangi risiko kejadian dan keparahan demam berdarah dengue pada anak
usia 9 – 16 tahun yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi virus dengue (seropositif) tetapi tidak boleh
digunakan pada individu yang belum pernah terinfeksi virus dengue (seronegatif). Sampai saat ini belum
ada laporan efek samping vaksin Dengvaxia yang diterima Badan POM.28 Jadwal imunisasi vaksin
Dengue dapat diberikan pada anak usia 9-16 tahun sebanyak 3 kali dengan jarak pemberian 6 bulan. 29

Simpulan

Memahami fase perjalanan penyakit infeksi dengue sangat penting dalam menetapkan tatalaksana yang
sesuai dan memadai. Demikian pula perhatian pada warning signs dapat membantu deteksi dini adanya
kebocoran plasma, perdarahan maupun gangguan fungsi organ sehingga tatalaksana yang diberikan
sesuai dan mencegah perburukan penyakit lebih lanjut. Terapi cairan pengganti volume plasma yang
dini, adekuat dan tepat dapat menyelamatkan penderita dari kondisi yang lebih berat.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO 2018. Dengue and severe dengue. Dapat diakses di: http://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/dengue-and-severe-dengue.
2. WHO SEARO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic
Fever. Revised and expended. 2nd ed. Geneva WHO, 2011.
3. Alagarasu K. Genetics of susceptibility to severe dengue virus infections: an update and implications for
prophylaxis, prognosis and therapeutics. Dengue Bulletin 2016;39: p 1-18.
4. Khoiri A, CNN Indonesia. Indonesia Peringkat Dua Negara Endemis Demam Berdarah . Dapat di akses
di:https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160616170332-255-138672/indonesia-peringkat-dua-
negara-endemis-demam-berdarah.
5. Sapir DG, Schimmer B. Dengue fever: new paradigms for changing epidemiology. Emerging themes in
Epidemiology 2005;2:1-10.
6. Soedarto. Demam Berdarah Dengue-Dengue Hemorrhagic Fever , Sagung Seto , Jakarta 2012. Dapat
diakses di:https://www.researchgate.net/publication/235327950_Demam_Berdarah_ Dengue-
Dengue_Haemorrhagic_Fever.
7. Kementerian Kesehatan RI 2018. Data dan informasi DAN INFORMASI. Profil Kesehatan Indonesia 2017.
Dapat diakses di: http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/ download /pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/ Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2017.pdf.
8. Labola Y.A. Daerah Rawan Kasus Demam Berdarah di Indonesia. Dapat diunduh di:
https://www.researchgate.net/publication/322714675.
9. Sumarmo. Dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health
1987;18:269-74.
10. Suwandono A, Kosasih H, Nurhayati,Kusriastuti R, Harun S, Ma’roef C, dkk. Four dengue virus serotypes
found circulating during an outbreak of dengue fever and dengue haemorrhagic fever in Jakarta,
Indonesia, during 2004. Trans R Soc Trop Med Hyg 2006;100:855-62.
11. Karyanti M.R, Hadinegoro S.R. Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Sari
Pediatri 2009;10(6):424-32.
12. Prayitno A, Taurel A.F, Nealon J, Satari H.I, Karyanti M.R, Sekartini S, Soedjatmiko S, Gunardi H, Medise
B.E, Sasmono R.T, Simmerman J.M, Bouckenooghe A, Hadinegoro S.R. Dengue seroprevalence and force
of primary infection in a representative population of urban dwelling Indonesian children. PLOS Neglected
Tropical Diseases June 15, 2017:1-16.
13. Sasmono R.T, Taurel A.F, Prayitno A, Sitompul H, Yohan B, Hayati R.F, Bouckenooghe A, Sri Rezeki
Hadinegoro S.R., Nealon J. Dengue virus serotype distribution based on serological evidence in pediatric
urban population in Indonesia. PLOS Neglected Tropical Diseases June 28, 2018;12(6): 1-11.
14. Halstead S.B. Pathogenesis of Dengue: Dawn of a New Era [version 1; referees: 3 approved].
F1000Research 2015, 4(F1000 Faculty Rev):1353.p 1-8 Last updated: 15 Feb 2016.
15. Marbawati D. Virus Dengue. Balaba,ed.003;2006:21-22.
16. Jayathilaka D, Gomes L, Jeewandara C, Jayarathna G.S.B, Herath D, Perera P.A, Fernando S, Wijewickrama
A, Hardman C.S, Ogg G.S, Malavige G.N. Role of NS1 antibodies in the pathogenesis of acute dengue
infection . Dapat diakses di: http://dx.doi.org/10.1101/348342.
17. Suharti C. Dengue hemorrhagic fever in Indonesia: The role of cytokines in plasma leakage, coagulation
and fibrinolysis. Dapat di akses di: https://repository.ubn.ru.nl/handle/2066/146791.
18. Suharti C, van Gorp EC, Setiati TE, Dolmans WM, Djokomoeljanto RJ, Hack CE, ten CH, van der Meer JW.
The role of cytokines in activation of coagulation and fibrinolysis in dengue shock syndrome. Thromb
Haemost. 2002 Jan;87(1):42-6.
19. Van Gorp EC1, Setiati TE, Mairuhu AT, Suharti C, Cate Ht Ht, Dolmans WM, Van Der Meer JW, Hack CE,
Brandjes DP. Impaired fibrinolysis in the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. J Med Virol.
2002;67(4):549-54.
20. Suharti C, van Gorp EC, Dolmans WM, Setiati TE, Hack CE, Djokomoeljanto R, van der Meer JW. Cytokine
patterns during dengue shock syndrome. Eur Cytokine Netw. 2003;14(3):172-7.
21. Tadkalkara N, Gantia K, Ghoshb K, Basu A. Pathogenesis of dengue associated haematological dysfunction.
Dengue Bulletin 2016;39:32-40.
22. WHO/TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva. WHO 2012.
23. Hadinegoro S.R.S. New Dengue Case Classification. Dalam Update Management of Infectious Diseases and
Gastrointestinal Disorders. Buku Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIII,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM . ed.1. Jakarta 2012:16-26.
24. Darajat A, Sekarwana N, Setiabudi D. Hubungan Kadar Aspartat Aminotransferase (AST) dan Alanin
Aminotransferase (ALT) Serum dengan Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue pada Anak. Sari Pediatri 2008;
9(5):359-62.
25. Gulati S, Maheswari A. Atypical manifestations of dengue. Trop Med Int Health 2007;12:1087-95.;
Agarwal1 A, Singh P , Agarwal A and Tiwari G. Expanded Dengue Syndrome - A Lesson Learnt.
International Journal of TROPICAL DISEASE & Health 2017;28(4): 1-8.
26. Hadinegoro S.R.S. Dengue virus. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis. edisi keempat. Badan penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta 2018:189-205.
27. Clinical practice guidelines of dengue/dengue hemorrhagic fever management for Asian economic
community. 2nd edition. WHO Collaborating Center for case management of dengue /DHF/DSS, Queen
Sirikit National Institute of Child Health (Children’s Hospital) Bangkok 2014.
28. Badan POM RI. Penjelasan Badan POM RI terkait isu keamanan vaksin Dengue (Demam berdarah). Buletin
Berita Meso Badan POM RI 2018;36(1):4.
29. Fadhila S.R. Sekilas tentang Vaksin Dengue. Dapat di akses di: http://www.idai.or.id/artikel/klinik
/imunisasi/sekilas-tentang-vaksin-dengue.
PENATALAKSANAAN DIARE TERKINI

dr. ENDANG POERWATI


2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses tidak berbentuk (unformed stools)

atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2

minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan

pada diare kronik. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas,

tenesmus, demam, dan tanda-tanda dehidrasi. Diare masih menjadi penyebab kematian utama

pada anak-anak di dunia yang ditunjukkan sekitar lebih dari 1.400 anak-anak meninggal setiap

harinya dan sekitar dua juta anak meninggal setiap tahunnya, yang mana dari 9% presentase

kejadian diare pada tahun 2015, semua kematian dialami pada anak di bawah usia 5 tahun di

seluruh dunia.

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit

potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Studi Mortalitas dan

Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama

kematian balita di Indonesia. Kejadian diare dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

keadaan lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan masyarakat, gizi, kependudukan,


10
pendidikan dan keadaan sosial ekonomi . Faktor perilaku masyarakat seperti mencuci tangan

dengan sabun merupakan cara efektif untuk ²³ˡmencegah penyakit diare dan ISPA (Kemenkes RI.

2014). Faktor lingkungan seperti kepemilikan jamban sehat terbukti efektif untuk memutus mata
8
rantai penularan penyakit .
3

Pada tahun 2016 terjadi 3 kali KLB diare yang tersebar di 3 provinsi, 3 kabupaten, dengan

jumlah penderita 198 orang dan kematian 6 orang (CFR 3,04%). Insidensi diare nasional hasil

Survei Morbiditas Diare tahun 2014 yaitu sebesar 270/1.000 penduduk. Insiden diare pada balita

di Indonesia 6,7% Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua

(9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%), sedangkan di

Kalimantan barat (4,4%). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah

kelompok yang paling tinggi menderita diare dengan prevalence diare 9,2% dan 12,2% pada

kelompok umur 1-4 tahun (Riskesdas, 2013). Data lain menunjukkan berdasarkan WHO tahun

2015 diare merupakan penyakit yang menjadi perhatian khusus dari target Sustainable
7
Development Goals (SDGs) .

Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah

maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang

cepat dan tepat. Komplikasi utama dari diare adalah dehidrasi dan gangguan fungsi

kardiovaskuler akibat hipovolemia berat. Kejang dapat terjadi dengan adanya demam tinggi,

teutama pada infeksi Shigella. Abses intestin dapat terjadi pada infeksi Shigella dan Salmonella,

terutama pada demam tifoid, yang dapat memicu terjadinya perforasi usus, suatu komplikasi

yang dapat mengancam jiwa. Muntah hebat akibat diare dapat menyebabkan ruptur esofagus atau

aspirasi. Kematian akibat diare mencerminkan adanya masalah gangguan homeostatis cairan dan

elektrolit, yang memicu terjadinya dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan instabilitas

vaskular, serta syok. Diperkirakan 10% pasien yang menderita akan menjadi penyebar bakteri

Salmonella typhi. Selama 3 bulan, dan 4% akan menjadi karier kronik. Risiko menjadi karier

kronik pada anak cukup rendah. Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang
4

mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik
9
dengan morbiditas dan mortalitas minimal .
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI DIARE

Diare didefinisikan sebagai penurunan konsistensi tinja dan peningkatan evakuasi

biasanya lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan atau tanpa demam, atau muntah. Namun,

perubahan konsistensi tinja dengan konsistensi tinja sebelumnya lebih menunjukkan jumlah diare
3
dibanding tinja khususnya pada awal terindikasi .

Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare

berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan tidak saja di negara sedang

berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Walaupun di negara maju sudah mendapatkan

pelayanan kesehatan yang tinggi dan sosial ekonomi yang baik tetapi penyakit diare tetap sesuatu

penyakit yang mempunyai angka kesakitan yang tinggi yang biasanya disebabkan oleh

foodborne infection dan waterborn infection yang disebabkan karena bakteri Shigella sp,

Campylobacter jejuni, Staphylococcus aureus, Basillus cereus, Clostridium prefingens,

Enterohemorrhagic Eschersia colli (EHEC).

Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit

potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Studi Mortalitas dan

Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama

kematian balita di Indonesia. Kejadian diare dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

keadaan lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan masyarakat, gizi, kependudukan,

pendidikan dan keadaan sosial ekonomi (Widoyono. 2008). Faktor perilaku masyarakat seperti
6

mencuci tangan dengan sabun merupakan cara efektif untuk mencegah penyakit diare dan ISPA

(Kemenkes RI. 2014). Faktor lingkungan seperti kepemilikan jamban sehat terbukti efektif untuk

memutus mata rantai penularan penyakit (Permenkes RI, 2014)

Pada tahun 2016 terjadi 3 kali KLB diare yang tersebar di 3 provinsi, 3 kabupaten, dengan

jumlah penderita 198 orang dan kematian 6 orang (CFR 3,04%). Insidensi diare nasional hasil

Survei Morbiditas Diare tahun 2014 yaitu sebesar 270/1.000 penduduk. Insiden diare pada balita

di Indonesia 6,7% Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua

(9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%), sedangkan di

Kalimantan barat (4,4%). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah

kelompok yang paling tinggi menderita diare dengan prevalence diare 9,2% dan 12,2% pada

kelompok umur 1-4 tahun (Riskesdas, 2013). Data lain menunjukkan berdasarkan WHO (2015)

diare merupakan penyakit yang menjadi perhatian khusus dari target Sustainable Development

Goals.
7

5
2.3. ETIOLOGI

Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme atau toksin melalui

mulut. Kuman tersebut dapat melalui air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran

manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan penderita yang telah

terkontaminasi.

Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah bakteri non invasif

dan bakteri invasif. Termasuk dalam golongan bakteri noninfasif adalah: Vibrio cholerae, E.colli

patogen (EPEC, ETEC, EIEC), Clostriduium difficile, Entheropathogenic, Enterotoxigenic,

Enterihaemorhagic, Enterroagregative, sedangkan golongan bakteri invasif adalah Salmonella

sp, Campylobacter jejuni, Enteroinvasive, Vibrio parahaemolyticus, Yersinia Enterocolitica

Virus merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-80%). Virus yang

menyebabkan adalah Norovirus, Rotavirus, Astrovirus, Sapovirus, dan Adenovirus. Diare karena

virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya beberapa hari (3- 4 hari) dapat sembuh tanpa

pengobatan (selft limiting disease). Penderita akan sembuh kembali setelah enetrosit usus yang

rusak diganti oleh enterosit yang baru dan normal serta sudah matang, sehingga dapat menyerap

dan mencerna cairan serta makanan dengan baik.

Parasit yang menyebabkam adalah Ientamoeba Hystolica, Gardia Lamblia, dan protozoa

pembentuk spora di usus. Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena

infeksi dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi karbohidrat, disakarida

(inteloransi laktosa, maltosa, dan sukrosa) monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan

galaktosa), Karena faktor makanan basi, beracun, alergi karena makanan, dan diare karena faktor

psikologis, rasa takut dan cemas.


8

1,2
2.4. KLASIFIKASI DIARE

Jenis penyakit diare sebenarnya terbagi atas diare akut dan kronis. Diare akut biasanya

berlangsung selama beberapa hari dan biasanya disebabkan oleh infeksi yang disebabkan oleh

bakteri, virus atau parasit. Sedangkan Diare kronis berlangsung lebih lama daripada diare akut,

umumnya lebih dari empat minggu. diare kronis dapat mengindikasikan adanya gangguan yang

serius, seperti kolitis ulserativa atau penyakit crohn, atau sindrom iritasi usus besar

Diare infeksi akut diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare

noninflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di

kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan darah. Gejala klinis

berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda

dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan/ atau darah,

mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.


1,9
2.5. PATOFISIOLOGI

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri setidaknya ada

dua mekanisme, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri

menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi

bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya,

mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel

dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin.

Satu jenis bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi

pertahanan mukosa usus.


9

4
2.6. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis dari diare yaitu mula– mula anak balita menjadi cengeng, gelisah,

demam, dan tidak nafsu makan. Tinja akan menjadi cair dandapat disertai dengan lendir ataupun

darah. Warna tinja dapat berubah menjadi kehijau–hijauan karena tercampur dengan empedu.

Frekeuensi defekasi yang meningkat menyebabkan anus dan daerah sekitarnya menjadi

lecet.Tinja semakin lama semakin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang berasal dari

laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat ditemukan

sebelum atau sesudah diare. Muntah dapat disebabkan oleh lambung yang meradang atau

gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.Anak– anak adalah kelompok usia rentan

terhadap diare. Insiden tertinggi pada kelompok usia dibawah dua tahun dan menurun dengan

bertambahnya usia anak.


4
2.7. DIAGNOSIS

1. ANAMESIS

a) Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsentrasi tinja, lendir dan/darah

dalam tinja

b) Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil terakhir, demam,

sesak, kejang, kembung

c) Jumlah cairan yang masuk selama diare

d) Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengonsumsi makanan yang tidak

biasa

e) Penderita diare di sekitarnya dan sumber air minum


10

2. PEMERIKSAAN FISIS

a) Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital

b) Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus. turgor

kulit abdomen menurun

c) Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, mata, mukosa bibir, mulut, dan lidah

d) Berat badan

e) Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan dalam

(asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau hipernatremia)

f) Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut:

1) Tanpa dehidrasi ( kehilangan cairan < 5% berat badan)

- Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan

- Keadaan umum baik, sadar

- Ubun ubun besar tidak cekung.mata tidak cekung, air mata ada mukosa mulut dan

bibir basah

- Turgor abdomen baik, bising usus normal

- Akral hangat

2) Dehidrasi ringan sedang / tidak berat ( kehilanagn cairan 5-10 % berat badan )

- Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan

- Keadaan umum gelisah atau cengeng

- Ubun ubun besar sedikut cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa

mulut dan bibir sedikit kering

- Turgor kurang, akral hangat


11

3) Dehidrasi berat ( kehilangan cairan > 10 % berat badan )

- Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih tanda tambahan

Keadaan umum lemah, letargi atau koma

- Ubun-ubun sangat cekung,mata sangat cekung.air mata tidak ada, mukosa mulut dan

bibir sangat kering

- Turgor sangat kurang dan akral dingin

- Pasien harus rawat inap

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada tanda

intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis

b) Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja

- Makroskopis :konsistensi, warna, lendir, darah, bau

- Mikroskopis :leukosit, eritrosit, parasit

- Kimia : pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)

- Biakan dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada diare akut

c) Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya gangguan

keseimbangan asam basa dan elektrolit.


12

4
2.8. TATA LAKSANA

1) Lintas diare:

- Cairan

- Seng

- Nutrisi

- Antibiotik yang tepat

- Edukasi

2) Tanpa dehidrasi

- Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan 5-10 mL/kg

BB setiap diare cair atau berdasarkan usia yaitu umur 1 tahun sebanyak 50-100 mL

umur 1-5 tahun sebanyak 100-200 mL dan umur di atas 5 tahun semaunya. Dapat

diberikan cairan rumah tangga sesuai kemauan anak ASI harus terus diberikan.

- Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain (tidak mau

minum, muntah terus menerus, diare frekuen dan profus)

3) Dehidrasi ringan-sedang

- Cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar diberikan sebanyak 75 mLkgBB dalam 3

jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5-10 mL

kgBB setiap diare cair.

- Rehidrasi parenteral (intravena) diberikan bila anak muntah setiap diberi minum

walaupun telah diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau melalui pipa

nasogastrik. Cairan intravena yang diberikan adalah ringer laktat atau KaEN 3B atau

NaCl dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan berat badan. Status hidrasi

dievaluasi secara berkala.


13

- Berat badan 3-10 kg: 200 ml/kgBB/hari

- Berat badan 10-15 kg: 175 ml/kgBB/hari

- Berat badan 15 kg: 135 ml/kgBB/hari

- Pasien dipantau di Puskesmas/Rumah Sakit selama proses rehidrasi sambil memberi

edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orangtua.

4) Dehidrasi berat

- Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat 100

mUkgBB dengan cara pemberian:

a) Umur kurang dari 2 bulan: 30 ml/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70

mlkgBB dalam 5 jam berikutnya

b) Umur di atas 12 bulan: 30 mlkgBB dalam ½ jam pertama, dilanjutkan 70 ml/kgBB

dalam 2,5 jam berikutnya

c) Masukan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat minum, dimulai

dengan 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi

5) Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

- Hipernatremia (Na >155 mEq/L)

Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian cairan

dekstrose 5 % salin . Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq per hari

karena bisa menyebabkan edema otak

- Hiponatremia (Na 130 mEqL)

Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apabila masih dijumpai

hiponatremia dilakukan koreksi sebagai berikut:


14

Kadar Na koreksi (mEq/L) 125 - kadar Na serum x 0.6 x berat badan; diberikan

dalam 24 jam

- Hiperkalemia (K >5 mEq/L)

Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10 % sebanyak 05-1 ml kg

BB secara perlahan-lahan dalam 5-10 menit; sambil dimonitor irama jantung dengan

EKG.

- Hipokalemia (K < 3,5 mEq/L)

Korcksi dilakukan menurut kadar Kalium.

- Kadar K 2.5-3.5 mEq/L, berikan KCI 75 mEq/kg BB per oral per hari dibagi 3

a. Kadar K < 2.5 mEq/L, berikan KCI melalui drip intravena dengan dosis:

o dosis 3.5 - kadar K terukur x BB (kg) x04+ 2 mEqkgB8/24 jam dalam 4 jam

pertama

o dosis 3.5 - kadar K terukur x BB (kg) x 04+ 16 x 2 mEq BB dalam 20 jam

berikutnya

6) Seng

Seng terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang air

besar dan volume tinja sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak

SengZink elemental diberikan selama 10-14 hari meskipun anak telah tidak mengalami

diare dengan dosis:

- Umur di bawah 6 bulan: 10 mg per hari

- Umur di atas 6 bulan: 20 mg per hari


15

7) Nutrisi

ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap

diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang

hilang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh

dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x sehari)

rendah serat, buah buahan diberikan terutama pisang.

8) Medikamentosa

- Tidak boleh diberikan obat anti diare

- Antibiotik

Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah) atau

kolera Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan

flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile akan

tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik

yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik. Untuk

disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan data sensitivitas setempat, bila

tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang dipakai saat ini

yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian sebagai lini kedua. Bila kedua

antibiotik tersebut sudah resisten maka lini ketiga adalah sefiksim.

- Antiparasit

Metronidazol 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis merupakan obat pilihan untuk

amuba vegetatif
16

9) Edukasi

Orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan

Kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut: demam,tinja berdarah, makan atau minum

sedikit sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari. Orangtua dan

pengasuh diajarkan cara menyiapkan oralit secara benar.

Langkah promotif/preventif:

(I) ASI tetap diberikan,

(2) Kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan,

(3) Kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban,

(4) Immunisasi campak,

(5) Memberikan makanan penyapihan yang benar.

(6) Penyediaan air minum yang bersih,

(7) Selalu memasak makanan.

6
2.9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Komplikasi utama dari diare adalah dehidrasi dan gangguan fungsi kardiovaskuler akibat

hipovolemia berat. Kejang dapat terjadi dengan adanya demam tinggi, teutama pada infeksi

Shigella. Abses intestin dapat terjadi pada infeksi Shigella dan Salmonella, terutama pada

demam tifoid, yang dapat memicu terjadinya perforasi usus, suatu komplikasi yang dapat

mengancam jiwa. Muntah hebat akibat diare dapat menyebabkan ruptur esofagus atau

aspirasi.

Kematian akibat diare mencerminkan adanya masalah gangguan homeostatis cairan dan

elektrolit, yang memicu terjadinya dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan instabilitas


17

vaskular, serta syok. Diperkirakan 10% pasien yang menderita akan menjadi penyebar

bakteri Salmonella typhi. Selama 3 bulan, dan 4% akan menjadi karier kronik. Risiko

menjadi karier kronik pada anak cukup rendah.

Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi

antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik dengan morbiditas dan

mortalitas minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas terutama pada

anak-anak dan pada lanjut usia


18

DAFTAR PUSTAKA

1
Amin, Lukman Zulkifli.2015.Tatalaksana Diare Akut.Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_230CME-Tatalaksana%20Diare%20Akut.pdf
2
Grenado, Deise.2015.Acute Gastroenteritis.Pediatric in Review Volume 33 Nomor 1
3
Guarino, Alfredo. 2014. European Society for Pediatry Gastroenterology , Hepatology and
Nutrition/ European Society for Pediatry Infectious Diseas Evidence Based Guidlines for the
Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe. JPGN.Volume 59, Nomor 1.
4
IDAI.2009.Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta
5
Lai, Chao.2016.Etiology and Risk Factor of Acute Gastroenteritis in a Taipei Emergency
Department: Clinical Features for Bacterial Gastroenteritis.J Epidemiol 2016: pg 216-223
6
Nelson.2011.Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Edisi Bahasa Indonesia ,
Diterjemahkan, Diadaptasi dan Diedit oleh IDAI.Elsevier Saunders
7
Kementerian Kesehatan RI.2017.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. Page 169-170
8
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Nomor 3 Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat. Jakarta.
9
Utami, Nurul.2016.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Anak.Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.Majority Volume 5 Nomor 4
10
Widoyono. 2013. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
TRANSFUSI DARAH PADA ANAK
Nur Suryawan

Pendahuluan

Transfusi darah merupakan rangkaian proses pemindahan darah atau komponen darah, seperti
eritrosit, trombosit atau plasma, dari seorang donor kepada resipien, untuk menggantikan
kehilangan darah akibat kecelakaan, pembedahan atau penyakit.1,2

Pada saat ini telah banyak kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu kedokteran transfusi.
Semua upaya ini dilakukan untuk mewujudkan proses transfusi darah dengan menggunakan
komponen darah atau produk turunannya secara aman, berkualitas dan memberikan efek
terapeutik.1-5

Seperti kita ketahui, rangkaian proses transfusi darah merupakan suatu prosedur medis yang
disatu pihak dapat memberikan manfaat dan efek terapeutik, namun di satu pihak bila dilakukan
secara tidak rasional, akan berpotensi membahayakan dan mengancam jiwa pasien. Untuk itu
maka perlu diketahui dan difahami secara rasional prosedur transfusi darah.1-5

Transfusi darah pada anak

Tindakan transfusi darah pada anak di beberapa kondisi tertentu merupakan prosedur yang
bersifat life saving, oleh karena itu diperlukan perhatian terhadap keamanan prosedur ini
menjadikan indikasi transfusi sangat ketat. Penggunaan transfusi darah sebaiknya dihindarkan
bila ada terapi alternatif lain, seperti obat-obat hematinik, eritropoietin, colony stimulating
factors, asam traneksamat, agar dapat menghindari risiko yang mungkin akan timbul akibat dari
prosedur transfusi darah. Setiap dokter harus mempertimbangkan secara cermat manfaat dan
risiko dari prosedur transfusi darah. World Health Organization menyebutkan bahwa “ any
transfusion which is not indicated is contra indicated” artinya bahwa transfusi darah tidak boleh
diberikan bila tidak ada indikasi yang kuat. Jadi setiap dokter harus menjalankan prosedur
transfusi darah secara rasional dan harus berdasarkan evidence based medicine (EBM).1,2

Transfusi darah rasional adalah suatu prosedur transfusi darah yang dilakukan oleh
seorang dokter atas indikasi yang kuat, mempunyai manfaat yang lebih besar dibandingkan
risikonya, menggunakan pilihan darah atau komponen darah yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan resipien, memakai dosis yang tepat dan mengetahui reaksi simpang yang mungkin
dapat ditimbulkan akibat prosedur ini. Kini sudah zamannya rasionalitas transfusi darah menjadi
pedoman bagi semua dokter yang akan melakukan prosedur transfusi darah sebagai dari
pelayanan kedokteran sehari-hari.5,6

1
Pada anak terdapat proses tumbuh kembang yang merupakan suatu proses utama dalam
kehidupan anak, dan proses ini memerlukan asupan nutrisi yang cukup, termasuk diantaranya
proses suplai oksigen di dalam darah. Apabila terdapat gangguan pada darah baik berupa
gangguan sirkulasi atau gangguan komponen darahnya, maka tentu akan mengganggu proses
tumbuh kembang anak. Pada beberapa keadaan penyakit tertentu, untuk menjaga anak tetap
dalam keadaan optimal untuk mencapai tumbuh kembang diperlukan proses transfusi darah.5,6

Transfusi darah pada bayi dan anak memerlukan perhatian khusus karena terdapat
beberapa faktor, antara lain :7

 Bayi dan anak merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit infeksi
yang ditularkan melalui transfusi darah dan reaksi simpang transfusi lainnya
sehubungan dengan keadaan organ maupun sistem imunitasnya yang masih belum
matang, khususnya pada neonatus
 Neonatus, khususnya BBLR merupakan kelompok penerima transfusi dengan
frekuensi yang tinggi
 Reaksi simpang tranfusi yang didapatkan akan berdampak pada periode
kehidupan selanjutnya.
 Apabila anak yang ditransfusi dapat tertolong, maka akan meningkatkan harapan
hidupnya.

Untuk itu transfusi darah rasional pada anak harus selalu memperhatikan aspek indikasi yang
tepat serta pemilihan darah/komponen darah yang baik dan benar.

Tujuan transfusi darah

Sebagai bagian dari terapi, transfusi darah dapat diberikan baik pada pasien dengan
kelainan/penyakit hematologis maupun kelainan non hematologis berdasar atas indikasi.
Secara garis besar, kelainan hematologis yang sering memerlukan transfusi darah adalah
anemia, trombositopenia, gangguan faktor koagulasi dan granulositopenia. Transfusi darah yang
diberikan berupa komponen sesuai dengan kebutuhan pasien.
Secara garis besar tujuan transfusi darah adalah:1-7

 Memperbaiki sistem sirkulasi dan hemodinamik


 Memperbaiki kemampuan membawa oksigen dan melepaskannya ke jaringan
 Memperbaiki sistem hemostasis, baik akibat kekurangan trombosit ataupun akibat
gangguan sistem koagulasi
 Membantu mengeliminasi zat berbahaya, misalkan pada kasus hiperbilirubinemia indirek
berat pada neonatus
 Sebagai terapi penunjang pada sepsis

2
Jenis transfusi darah

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemberian transfusi darah harus dengan pertimbangan
indikasi yang kuat dan atas dasar latar belakang etiologi dan patofisiologi. Diupayakan agar
transfusi hanya berupa komponen darah yang diperlukan saja.
Ditinjau dari sisi resipien maupun donasi, transfusi darah komponen mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu:2,4,5
1. Resipien akan menerima komponen darah yang diperlukan saja.
2. Mengurangi volume transfusi karena komponen darah disediakan dalam bentuk
konsentrat.
3. Menurunkan risiko reaksi imunologis, dengan mengurangi masuknya antigen antigen
yang tidak perlu.
4. Menurunkan risiko penularan penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah.
5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan darah donor.
6. Pengawasan mutu produk lebih sederhana.

Jenis darah dan komponen darah meliputi: 3-5,8


 Darah lengkap (whole blood):
- darah lengkap segar (fresh whole blood/FWB)
- darah lengkap simpan
- darah lengkap rendah leukosit (leucocyte depleted)
 Sel darah merah:
- suspensi sel darah merah (packed red cell/PRC)
- suspensi sel darah merah rendah leukosit (leucodepleted PRC)
- suspensi sel darah merah cuci (washed red cell)
- suspensi sel darah merah beku cuci (frozen, thawed and washed red cell)
- suspensi sel darah merah yang diradiasi (irradiated blood)
 Trombosit:
- konsentrat trombosit
- konsentrat trombosit aferesis
- konsentrat trombosit aferesis rendah leukosit
 Granulosit
- granulosit aferesis
 Plasma
- plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP)
- plasma cair
 Kriopresipitat
 Konsentrat faktor VIII (faktor anti hemofilia A)
 Konsentrat faktor IX
 Albumin
 Imunoglobulin

Komponen darah dibuat dari darah lengkap donor yang telah dikumpulkan dalam kantung yang sudah
diberi antikoagulan. Dengan teknik sentrifugasi darah lengkap kemudian dipisahkan menjadi berbagai
komponen selular dan plasma untuk menjaga agar viabilitas dan fungsi masing-masing sel darah selama
penyimpanan tetap optimal.2,4

3
Indikasi pemberian transfusi darah:
Indikasi pemberian darah lengkap/Whole Blood (WB)
Transfusi darah lengkap yang merupakan unit darah seutuhnya yang mengandung
komponen selular maupun non selular yang diperoleh dari donor yang telah dicampur dengan
antikoagulansia dan pengawet sel darah merah, diperlukan pada:3-6
1. Perdarahan akut atau masif yang disertai dengan hipovolemia
Pada sebagian besar anak, transfusi harus dipertimbangkan setelah kehilangan darah akut
mencapai 20-25% dari volume darah totalnya. Pada kehilangan darah akut, seperti yang terjadi
akibat trauma dan selama pembedahan, kadar hemoglobin dan hematokrit mungkin tidak
sepenuhnya menggambarkan banyaknya darah yang hilang, oleh karena itu adanya tanda-
tanda hipoperfusi harus digunakan sebagai dasar untuk menentukan terapi pengganti yang
tepat.
2. Transfusi tukar (pada hiperbilirubinemia indirek karena penyakit hemolitik neonatus)
3. Sebagai alternatif pada keadaan yang membutuhkan sel darah merah tapi pada saat itu tidak
tersedia komponen darah, misalkan tidak ada konsentrat sel darah merah (PRC).

Tabel 1. Volume transfusi pada bayi dan anak kecil 7


(Dosis dan kecepatan pemberian)
______________________________________________________________________________
Komponen Volume Perkiraan peningkatan
______________________________________________________________________________
_
Sel darah merah 10-15mL/kgbb Hb meningkat 3-5g/dL
Trombosit 5-10mL/kgbb Trombosit meningkat 50.000-100.000/uL
Granulosit > 1x109 neutrofil/kgbb Diulang sampai terlihat respon klinis
dalam volume 15mL/kgbb
FFP 10-15mL/kgBB Aktivitas faktor meningkat 15-20%
AHF 1-2unit/kgbb Fibrinogen meningkat 80-100mg/kgbb
___________________________________________________________________________

Indikasi pemberian suspensi sel darah merah /Packed Red Cells (PRC)
Dalam prakteknya yang dimaksud dengan transfusi sel darah merah adalah tranfusi konsentrat
sel darah merah (PRC). Penggunaan jenis produk sel darah merah lainnya diberikan atas dasar
indikasi. PRC banyak dipakai untuk terapi yang memerlukan pengganti sel darah merah seperti
talasemia mayor, anemia aplastik, penyakit keganasan dan gagal ginjal kronis. 2,5,7
Pemberian transfusi sel darah merah dipertimbangkan hanya diberikan pada keadaan
anemia yang kemungkinan besar akan atau telah menyebabkan penurunan suplai oksigen.
Dengan demikian keputusan untuk memberikan transfusi sel darah merah tidak boleh ditentukan
atas dasar kadar hemoglobin saja, tetapi juga berdasarkan pertimbangan kondisi klinis pasien.
Faktor- faktor yang perlu dipertimbangkan pada pemberian transfusi sel darah merah, selain
kadar hemoglobin, antara lain tanda dan gejala serta kapasitas fungsional pasien, ada tidaknya
penyakit kardiorespiratorik dan SSP, penyebab serta antisipasi anemia dan terapi alternatif
seperti EPO (recombinant human erythropoietin).2,3,7

4
Pada kasus anemia yang berlangsung perlahan-lahan, keputusan transfusi sel darah merah
tidak hanya berdasarkan kadar hemoglobin saja. Anak dengan anemia kronis dapat tetap
asimtomatis walaupun kadar hemoglobinnya rendah, contohnya pada anemia defisiensi besi,
meskipun kadar Hb <7g/dL dapat diatasi dengan pemberian besi peroral saja. 2,3
Berdasarkan panduan dari Health Technology Assesment (HTA) Departemen Kesehatan RI
merekomendasikan transfusi sel darah merah sebagai berikut:9
1.Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pd kadar Hb < 7g/dL, terutama pada
anemia akut. Transfusi darah dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan atau penyakitnya
mempunyai terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yg lebih kecil dapat diterima.
2.Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10g/dL bila ada hipoksia atau
hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.
3. Transfusi darah tidak dilakukan bila kadar Hb ≥ 10 g/dL, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor O2 lebih tinggi (misalnya
PPOK berat dan penyakit jantung iskemik berat).
4. Transfusi darah pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤ 11 g/dL;
bila tak ada gejala batas bisa sampai 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Bila terdapat
penyakit jantung atau paru atau pada keadaan yang sedang membutuhkan suplementasi O 2 batas
transfusi darah adalah Hb ≤ 13 g/dL.

Tabel 2. Jumlah volume PRC yang diberikan menurut kadar Hemoglobin2


___________________________________________________________________
Kadar Hb (g/dL) Volume yang diberikan dalam 3-4 jam
__________________________________________________________________
7-10 10 mL/kgbb*
5-7 5 mL/kgbb**
< 5 tanpa payah jantung 3 mL/kgbb**
<5 dgn kemungkinan payah jantung 3 mL+ Furosemid**

___________________________________________________________________
Keterangan: * dosis untuk 24 jam; ** dosis sama dapat diulang dgn selang waktu 6-12 jam

Indikasi pemberian suspensi sel darah merah rendah leukosit/ Leucodepleted PRC
Sel darah merah rendah leukosit didefinisikan sebagai komponen darah PRC yang memiliki
jumlah leukosit < 5 x106 per kantong unit darah. Teknologi yang digunakan untuk menghasilkan
PRC rendah leukosit melalui proses sentrifugasi dan pembekuan, filtrasi dan aferesis.10
Indikasi penggunaan PRC rendah leukosit pada pasien dengan trasnfusi darah rutin seperti pada
penyandang talasemia mayor dan anemia aplastik, pasien pre dan paska transplantasi organ. Pada
keadaan tertentu PRC rendah leukosit dapat mencegah febrile non hemolytic transfusion
reactions (FNHTR) pada pasien yang menderita demam setelah transfusi pada episode
sebelumnya. Dosis dan cara pemberian PRC rendah leukosit sama dengan PRC secara umum. 10

Indikasi pemberian suspensi sel darah merah cuci / Washed Red Cells (WRC)
Sel darah merah cuci adalah PRC yang dicuci dengan larutan NaCl 0,9% steril menggunakan alat
tertentu. Pencucian dapat menghilangkan plasma sekitar 90%, menurunkan konsentrasi leukosit,
trombosit dan debris seluler. Indikasi pemakaian transfusi WRC untuk pasien dengan Anemia
Hemolitik Auto Imun, pasien dengan riwayat reaksi alergi atau demam pada transfusi

5
sebelumnya, memiliki alergi terhadap protein plasma. Keuntungan penggunaan WRC adalah
berkurangnya komponen plasma/supernatant yang umumnya merupakan salah satu penyebab
terjadinya reaksi transfusi, namun kerugiannya adalah membutuhkan tenaga pelaksana yang
intensif dan waktu yang lama, yang berakibat penundaan waktu transfusi. 11

Indikasi transfusi trombosit


Transfusi trombosit diindikasikan untuk menghentikan atau mengendalikan perdarahan
yang umumnya diakibatkan oleh keadaan trombositopenia dan atau disfungsi kualitatif trombosit
baik kongenital maupun didapat. Pada keadaan tertentu diberikan sebagai tindakan pencegahan.
HTA Departemen Kesehatan RI merekomendasikan transfusi trombosit sebagai berikut:9
1.Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila kadar trombosit < 50.000/uL,
bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi < 100.000/uL.
2. Profilaksis dilakukan bila kadar trombosit < 50.000/uL pada pasien yang akan menjalani
operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.
Pada trombositopenia karena terjadinya proses penghancuran berlebih seperti pada kasus
ITP, sepsis, DIC, DBD, hipersplenisme atau drug induced thrombocytopenia, transfusi trombosit
diberikan hanya pada keadaan perdarahan berat atau mengancam jiwa karena pada keadaan
tersebut trombosit yang ditransfusikan akan segera dihancurkan. 12
Transfusi trombosit untuk profilaksis diindikasikan pada pasien trombositopenia yang
stabil tanpa bukti adanya perdarahan bila kadar trombositnya turun hingga <10.000/uL. Namun
kelompok klinisi lain memberikan transfusi trombosit pada ambang yang lebih tinggi yaitu
10.000-20.000/uL pada pasien dalam kondisi stabil. Apabila pasien menderita demam atau
infeksi, batas ambang 20.000/uL mungkin lebih tepat.8,12
Transfusi trombosit berupa konsentrat trombosit yang dapat diperoleh secara manual atau
aferesis. Pada pasien yang memerlukan transfusi trombosit berulang diusahakan menerima darah
yang berasal yang berasal dari donor tunggal untuk menghindari timbulnya reaksi imunologis. 12

Indikasi transfusi plasma segar beku /Fresh Frozen Plasma (FFP)


HTA Departemen Kesehatan RI merekomendasikan transfusi FFP sebagai berikut: 9
1. Mengatasi defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yg didapat
atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
2. Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam jiwa.
3. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi masif atau
operasi pintasan jantung atau pada pasien penyakit hati.
Pemberian transfusi FFP dapat juga bermanfaat pada anak yang mengalami Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) dengan koagulopati yang signifikan dan dikaitkan dengan
klinis perdarahan yang bermakna. Dosis pembrian transfusi FFP pada anak dan neonatus
adalah 10-15 ml/kgBB.13

Indikasi transfusi kriopresipitat


Berdasarkan HTA Departemen Kesehatan RI merekomendasikan transfusi kriopresipitat
sebagai berikut:9
1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif dan
terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

6
2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau
yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.
Tiap kantong kriopresipitat dengan volume 30-40 ml, mengandung 70-80 unit faktor
VIII, 100-250 mg fibrinogen, 40-60 mg fibronectin, 40-70% faktor von Willebrand dan 30%
faktor XIII. Dosis yang diberikan tergantung indikasi pemakaian, misalnya untuk defisiensi
fibrinogen dosisnya 1 unit/5-10 kgbb pasien. Untuk pasien hemofilia dosis tergantung dari
derajat hemofilia, klinis pasien dan ada tidaknya tindakan/prosedur invasif yang akan dijalani
pasien. Pemakaian kriopresipitat. untuk terapi penggantian pada pasen hemofilia A dan penyakit
von Willebrand ini hanya dianjurkan apabila produk alternatif yang lebih aman tidak tersedia
atau tidak terjangkau.2,14

Indikasi transfusi granulosit/ Buffy Coat


Buffy coat adalah suspensi leukosit konsentrat yang mengandung komponen sel darah putih dan
trombosit dari sampel darah. Transfusi granulosit dapat diindikasikan pada pasien dengan
netropenia, leukemia, anemia aplastik, dan penyakit keganasan lain.
Peranan transfusi granulosit pada anak masih kontroversi. Saat ini transfusi granulosit
jarang digunakan karena bukti manfaat transfusi granulosit pada penggunaan klinis sangat
sedikit, disamping itu telah tersedia sediaan rekombinan. 5,7

Tabel 3. Batas waktu transfusi2


_____________________________________________________________________________
Jenis darah Masa infus Selesai infus
_____________________________________________________________________________
Darah lengkap Dalam waktu 30 menit setelah kantung darah Maks 4 jam
dikeluarkan dari lemari pendingin
Konsentrat trombosit Segera 20 menit
FFP dan atau kriopresipitat Sesegera mungkin 20 menit
_____________________________________________________________________________

Prosedur transfusi darah


Secara umum tindakan transfusi memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:2,7,11
1. Tentukan indikasi transfusi dengan jelas dan tepat.
2. Pilih darah/komponen darah yang akan diberikan.
3. Hitung jumlah volume darah yang akan ditransfusikan.
4. Berikan informed consent kepada orang tua dan atau pasien
5. Ambil contoh darah untuk uji laboratorium (golongan darah, tes cocok serasi).
- Pemeriksaan harus dilakukan secara individual (tiap individual bag atau 1 unit plasma)
dan tidak boleh dilakukan secara pooled plasma.
- Jenis pemeriksaan yang digunakan sesuai dengan standar WHO, dalam hal ini meliputi
pemeriksaan atas sifilis, hepatitis B, hepatitis C dan HIV.
6. Isi formulir permintaan darah (PMI) dengan lengkap.
7. Cocokkan darah yang datang dari Bank Darah/PMI (nama pasien, nomor rekam medis,
jenis darah).

7
8. Prosedur di bangsal:
- Perawat dan dokter bangsal sudah mengetahui rencana transfusi.
- Darah yang datang dicek ulang dan lakukan uji kebocoran kantung darah.
- Catat waktu mulai dan selesai transfusi dikerjakan.
9. Persiapan transfusi darah :
- Siapkan peralatan infus: tiang penyangga, set transfusi, lokasi jalur infus, filter 170-260
mikrometer. Kantung darah sebaiknya memakai pediatric blood pack.
- Bekerja secara aseptik.
- Tidak diperkenankan menambah obat apapun kedalam kantung darah.
- Volume dan kecepatan infus tergantung kasus yang dihadapi (tabel 1,2 dan3).
10. Pemantauan:
Pemantauan pasien dilakukan sebelum, selama dan sesudah selesai transfusi.
- Pantau kecepatan tetesan dan reaksi transfusi pada 15-30 menit pertama transfusi.
- Pantauan rutin adalah tanda vital, diuresis, lokasi jalur infus (reaksi inflamasi dan
ekstravasasi), terjadinya reaksi transfusi.
- Bila ada risiko overload dapat diberikan diuretik kuat (furosemid) intavena, pantauan
dilanjutkan sampai 12-24 jam pasca transfusi.
11.Evaluasi akhir :
- Lepas jarum infus, cek sekitar lokasi, bila ada tanda radang segera tekan dan tutup
dengan kassa steril.
- Bila ditemukan tanda radang, kirim ujung kateter ke laboratorium mikrobiologi.
- Pantau kembali akan kemungkinan terjadinya reaksi transfusi.

Reaksi simpang transfusi


Transfusi darah merupakan suatu tindakan medis yang sangat berisiko.Walaupun teknologi
modern telah menjadikan transfusi darah sebagai suatu prosedur rutin umum yang aman, risiko
reaksi transfusi tetap ada. Oleh karena itu menjadi tanggungjawab dokter yang merencanakan
transfusi untuk memastikan apakah manfaat yang diperoleh lebih besar dari risiko yang mungkin
terjadi. Risiko yang timbul karena prosedur ini termasuk dalam kelompok besar yang disebut
reaksi simpang transfusi (transfusion related adverse event).15

Berdasarkan waktu timbulnya manifestasi klinik reaksi transfusi dibagi menjadi:2-4,15


1. Reaksi transfusi akut /segera
Reaksi transfusi terjadi selama transfusi berlangsung atau sesaat sesudahnya dalam waktu
24 jam.
2. Reaksi transfusi lambat
Reaksi transfusi terjadi dalam 24 jam paska transfusi, hitungan hari, minggu atau bulan
sesudah transfusi.

Reaksi transfusi juga dapat dibedakan berdasarkan mekanisme imun atau non imun 2

8
Tabel 4. Reaksi transfusi akut atau segera 2,15
______________________________________________________________
Reaksi imunologis
Reaksi transfusi hemolitik akut dengan gejala
Demam, bukan reaksi transfusi hemolitik
Urtikaria
Anafilaksis
Transfusion-related acute lung injury

Reaksi non-imunologis
Kontaminasi bakteri
Payah jantung kongesif
Hipotermia
Hemolisis tanpa gejala
Embolism
Hiperkalemia
Hipokalsemia
____________________________________________________________________

Tabel 5. Komplikasi lambat transfusi darah (terjadi dalam hitungan hari, minggu atau
bulan setelah transfusi) 2,15

Imunologis
Reaksi transfusi hemolitik lambat
Purpura pasca transfusi
Graft-versus-host disease
Reaksi lambat tipe serum sickness
Non-imunologis, terutama infeksi
Hepatitis : B, C, non-A non-B yang lain
Infeksi HIV, CMV, malaria, sifilis, babesiosis, bruselosis, triponosomiasis,
(penyakit Chagas, parvovirus)

Tata laksana reaksi transfusi:

Secara umum langkah awal yang harus dilakukan bila terjadi reaksi transfusi:2,7,15
1. Segera hentikan transfusi.
2. Pasien tetap diinfus NaCl fisiologis.
3. Pastikan bahwa pasien menerima produk darah yang sesuai untuknya.
4. Laporkan kepada dokter dan bank darah.
5. Kirim contoh darah yang ditransfusikan dan pemeriksaan lain yang dianggap perlu
seperti urin ke laboratorium.
6. Kirim unit darah yang ditransfusikan beserta administrasinya ke bank darah.

9
Tabel 6. Pedoman pengenalan dan manajemen reaksi transfusi akut2

Kategori Tanda Gejala Kemungkinan Penatalaksanaan


Penyebab
Kategori 1 Reaksi kulit Prutitus Hipersensitivitas 1. Tetesan Lambat
Ringan lokal 2. Antihistamin
Urtikaria 3. Bila dalam 30 menit tak ada
Ruam perbaikan, terapi sebagai
Kategori 2

Kategori 2 Flushing Cemas Hipersensitivitas 1. Hentikan transfusi, ganti set


infus
Sedang- Urtikaria Pruritus Febile non 2. Beritahu dokter dan bank darah
berat Rigor Palpitasi hemolytic 3. Kirimkan unit darah beserta
Demam Sesak transfusion set transfusi ke bank darah dan
Gelisah ringan Kontaminasi zat laboratorium.
Takikardia Sakit pirogen dan atau 4. Beri anti histamin, antipiretik
kepala bakteri 5. Beri steroid iv dan bronkodilator
bila ada anafilaksis
6. Kumpulkan urin 24 jam untuk
bukti adanya hemolisis, kirim ke
laboratorium
7. Bila membaik, transfusi dimulai
lagi dengan tetesan lambat
8. Bila tidak ada perbaikan dalam
15 menit, atau klinis memburuk
terapi sebagai kategori 3.

Kategori 3 Rigor Cemas Hemolisis 1. Hentikan transfusi, ganti infus


Mengancam Demam Nyeri dada intravaskular 2. Infus NaCl, pertahankan tekanan
jiwa Gelisah Nyeri dekat Kontaminasi darah
Hipotensi tempat infus bakteri dan syok septik 3. Pelihara jalan nafas
Takikardia Gawat nafas Kelebihan cairan 4. Beri adrenalin
Hemoglobinuria Nyeri punggung Anafilaksis 5. Beri steroid dan bronkodilator
Perdarahan /pinggang Berhubungan dengan bila ada
Sakit kepala lung injury 6. Beri diuretik bila perlu
Sesak nafas 7. Beritahu dokter dan bank darah
8. Kirim contoh darah dan set
transfusi ke laboratorium
9. Cek warna urin segar
10.Kumpulkan urin 24 jam catat
Intake dan output
11.Lihat tanda perdarahan
(tanda DIC)
12. Nilai kembali tanda vital
13. Waspadai kemungkinan gagal
ginjal akut
14. Jika curiga baktermia, beri
antibiotik

10
Tabel 7. Komplikasi lambat dan penatalaksanaannya2

Komplikasi Manifestasi klinis Penatalaksanaan

Reaksi hemolitik lambat 5-10 hari pasca transfusi: - Umumnya tak perlu terapi
- Demam - Jika ada hipotensi & oliguria
- Anemia terapi sebagai hemolisis
- Kuning intravaskular akut

Purpura pasca transfusi 5-10 hari pasca transfusi: - Steroid dosis tinggi
- Kecenderungan perdarahan - Imunoglobulin dosis tinggi
- Trombositopenia - Plasma exchange

Graft-vs-host didease 10-12 hari pasca transfusi - Terapi suportif


- Demam - Tak ada terapi spesifik
- Ruam kulit dan deskuamasi
- Diare
- Hepatitis
- Pansitopenia

Kelebihan besi - Gagal jantung dan hati - Cegah dengan obat kelasi
besi
______________________________________________________________________________
_

Simpulan
Transfusi darah merupakan suatu tindakan medis yang sering kita lakukan dalam praktek sehari-
hari. Tindakan transfusi darah tetap merupakan tindakan yang mempunyai risiko untuk
terjadinya reaksi transfusi serta komplikasi lainnya. Untuk itu maka keputusan pemberian
transfusi darah harus rasional, berdasarkan penilaian yang cermat dengan mempertimbangkan
indikasi klinis dan perbandingan antara manfaat dan risiko yang akan dialami resipien.
Diperlukan persiapan yang cermat dan teliti sebelum pelaksanaan proses transfusi darah serta
pengetahuan tentang tatalaksana bila terjadi efek simpang dari proses transfusi darah ini.

11
Daftar pustaka

1. National Standards for Blood Transfusionj Service. World Health Organization;2013.


2. World Health Organization. The Clinical use of blood in general medicine, obstetrics,
paediatrics, surgery & anaesthesia, gtrauma & burns. Geneve;2016.
3. Sloan SR, Benjamin RJ, Friedman DF, Webb IJ, Silberstein L. Transfusion medicine.
Dalam: Ginsburg D, Look AT, Nathan DG, Orkin SH, penyunting. Hematology of infancy
and childhood. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co;2003. h. 1709-56.
4. Beutler E. Preservation and clinical use of erythrocytes and whole blood. Dalam: Lichtman
MA, dkk, penyunting. Williams Hematology. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill;2006.
h.2159-73.
5. Strauss RG. Blood component transfusion. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders
Co;2007. h.2055-60.
6. Ramelan S, Gatot D. Transfusi darah pada bayi dan anak. Dalam: Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Pediatrics Updates. Jakarta: IDAI cabang Jakarta;2005.h.21-30.
7. Roseff SD. Pediatric transfusion. A physician’s handbook. American association of blood
bank. Edisi ke-2. Bethesda, USA;2006.
8. Triulzi DJ. Blood transfusion therapy. A physician’s handbook. Edisi ke-7. American
Associatiation of Blood Banks, Bethesda, USA,2003.
9. Departemen Kesehatan RI. Transfusi komponen darah. Konvensi Perdana Health
Technology Assessment (HTA). Jakarta, 2003. h. HTA 04: 1-38.
10. Sharma RR, Marwaha N. Leucoreduced blood component: advantages and strategies for its
implementation in developing countries. Asian Journal of Transfusion Science. 2010;4:3-8.
11. Clarke G, Charge S. Clinical guide to transfusion medicine. Canadian Blood Service;2013.
12. Saxonhouse M, slayton W, Sola MC. Platelet transfusion in the infant and child. Dalam:
Hillyer CD, Strauss RG, Luban-Naomi LC, penyunting. Handbook of pediatric transfusion
medicine. Amsterdam:Elsevier;2004.h.248-64.
13. Robitaile N, Hume HA. Blood components and fractionated plasmaproducts: preparation,
indications and administration. Dalam: Arceci RJ, Hann IM, Smith OP, penyunting.
Pediatric hematology. Edisi ke-3. Massachussets: Blackwell Publishing;2006.h.693-723.
14. Srivastava A, Brewer AK, Mauser EP, Key NS, Kitchen S. Treatment guidelines working
grup on behalf of the world federation of hemophilia: Guidelines for the management of
hemophilia. Haemophilia.2013;19:1-47.
15. Eder AF. Transfusion reactions. Dalam: Hillyer CD, Strauss RG, Luban NC, penyunting.
Handbook of pediatric transfusion medicine. Elsevier Academic Press. San Diego.
2004.h.301-15.

12
13
Tata laksana Kejang Neonatal
Dr Thomas Harry Adoe SpA (K)
NICU RSUD dr Chasbullah Abd Madjid
Kota Bekasi, November 2018

Pendahuluan.
Definisi kejang neonatal adalah depolarisasi berlebihan sel neuron otak yang
menyebabkan perubahan bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku, fungsi
motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Kejang
neonatal berbeda dalam penampilan klinis, karakteristik elektrografik, etiologi,
dan tata laksana dibandingkan kejang pada anak. Insiden kejang pada
neonatus berkorelasi dengan usia gestasi dan berat badan lahir, dan lebih
sering terjadi pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu 5,8 per 1000
lebin besar daripada bayi cukup bulan 0.1 - 0,35 per 1000 kelahiran hidup.1.2

Kejang pada neonates di periode neonatal merupakan tanda akut dan gejala
spesifik gangguan neurologik. Neonatus dengan imaturitas otak lebih
cenderung kejang, sehingga pemantauan klinis kejang penting terkait tata
laksana kejang yang adekuat, cegah kerusakan otak, mengobati etiologi yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas neonatus. 1.2.

Di kalangan klinisi, kejang klinis pada neonatus dapat saja sulit didiagnosis
dan sulit dibedakan dengan gerakan normal atau gerakan abnormal bukan
kejang. Beberapa penelitian klinis mendapatkan 85% kejang elektrografik
sebagai 'kejang elektrik saja tanpa manifestasi klinis. 3.4

Anamnesis riwayat kehamilan, permeriksaan fisik bayi baru


lahir,laboratorium, dan neuroimaging sangat penting dalam mencari dan
menelesuri faktor risiko dan etiologi. Ketersediaan alat diagnostik ; electro-
encephalography (EEG ), amplitudo integrated EEG dan pemantauan
video-EEG di unit intensif sangat mendukung diagnosis dini dan tata
laksana kejang dan etiologi pada neonatus. 1.2.3.4

Etiologi
Umumnya kejang pada neonatus bersifat akut dan disebabkan oleh penyakit
tertentu (metabolik, infeksi atau lainnya). Kejang idiopatik dan sindrom epilepsi
relatif jarang, Tabel 1 dan 2. Pada bayi cukup bulan sering akibat ensefalopati
iskemik hipoksia setelah 4-6 jam kemudian pada 24 jam pertama kehidupan
dan pada bayi prematur terjadi karena gangguan serebro vaskular. Dan
lainnya seperti meningitis, infark serebral, gangguan metabolisme dan
kelainan kongenital otak dapat ditemukan pada berbagai usia gestasi.3.

Tabel 1, Cause of Neonatal Seizures


Cause Frequency
Hypoxic-ischaemic encephalopathy 30-53% 7-
Intracranial haemorrhage 17% 6-
Cerebral infarction 17% 3-
Cerebral malformations 17% 2-
Meningitis/septicaemia 14%
Metabolic
Hypoglycaemia 0.1-5%
Hypocalcaemia, hypomagnesaemia 4-22%
Hypo-hypernatraemia
Inborn errors of metabolism (such as pyridoxine dependency, 3-
folinic acid- responsive seizures, glucose transporter defect, 4%
non-ketotic hyperglycinaemia, propionic aciduria)
Kernicterus 1%
Maternal drug withdrawal Idiopathic 4%
Benign idiopathic neonatal seizures 2%
Neonatal epileptic syndromes 1%
Congenital infections.

3
Dikutip dari

Manifestasi Klinik.
Kejang neonatal diklasifikasikan dalam 4 kategori, antara lain; .2.3.4
Kejang subtle : kejang halus dan dapat terjadi bersama jenis kejang lain.
Bermanifestasi seperti:

• Gerakan stereotip pada ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda


atau berenang.

• Deviasi atau gerakan kejutan pada mata dan mengedip berulang kali.

• Ngiler, mengisap atau mengunyah.


• Fluktuasi irama tanda vital.

• Apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola pernapasan.


Table 2. Etiologi kejang neonatus dihubungkan awitan kejang dan frekuensi
Awitan Kejang Frekuensi Relatif

Etiologi 0-3 >3 Prematur Cukup bulan


hari hari

Ensefalopati hipoksia ischemik + +++ +++


Perdarahan intra kranial1,2 + + ++ +
Infeksi intra kranial + + ++ ++
Gangguan perkembangan + + ++ ++
Hipoglikemia + +
+
Hipokalsemia + + +
Gangguan metabolik lain + +
Sindrome epilepsi + + +
+
+++ paling sering, ++ sering, + jarang. 1. hemoragik matriks germinal intraventrikular
sering pada prematur dengan infark hemoragik periventrikular,
2. perdarahan subarachnoid atau subdural pada bayi cukup bulan

1
Dikutip dari
Kejang Tonik ; Kejang tonik umum atau fokal.
Kejang tonik umum, terutama bermanifestasi pada bayi kurang bulan.
Biasanya terlihat sebagai fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian
atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonik pada
ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan
dengan perubahan sistem otonom apapun seperti meningkatnya denyut
jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.
Kejang Tonik Fokal. Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas
atau batang tubuh atau kepala atau deviasi mata. Sebagian besar kejang
tonik terjadi bersama dengan difusi penyakit sistem syaraf pusat (SSP) dan
perdarahan intraventrikular.

Kejang Klonik; Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan
dan berirama (1-3 kali/menit). Penyebabnya mungkin berasal dari satu titik
atau multi-fokal. Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan yang cepat dan
diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan posisi atau memegang ekstremitas
yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut. Umumnya terjadi
pada neonatus cukup bulan >2500 gram. Tidak terjadi hilang kesadaran.
Berkaitan dengan trauma fokal, infark atau gangguan metabolik.
Kejang Mioklonik, dapat bersifat kejang mioklonik terfokus di satu area,
multi-fokal atau umum.
Kejang mioklonik fokal, biasanya melibatkan otot flexor pada ekstremitas.
Kejang mioklonik multi-fokal, terlihat sebagai gerakan kejutan yang tidak
sinkron pada beberapa bagian tubuh.
Kejang mioklonik umum, terlihat sangat jelas berupa fleksi kepala dan
batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan difusi patologis pada sistem saraf pusat.

Pada pelayanan intensif neonatal, kejang pada neonatus diidentifikasi


dengan observasi klinis langsung, namun banyak unit perawatan intensif
neonatal menempatkan pemantauan EEG untuk mengidentifikasi kejang.
Klasifikasi kejang klinis neonatal yang mungkin terkait dengan aktivitas
kejang elektrik (Tabel 3 ).1.2.3.4
Korelasi Kejang Elektrik (EEG)
Kejang klinis
Sering Jarang

Subtle +
Klonik
Fokal +
Multifokal +
Tonik
Fokal +
Umum +
Myoklonik
Fokal, multifokal + +
Umum
Tabel 3. Klasifikasi Kejang Neonatal
4
Dikutip dari

Gerakan Bukan Kejang (non epileptik).


Gerakan bukan kejang pada penampilan klinis neonatus sulit dibedakan dari
kejang neonatal. Beberapa gerakan bukan kejang adalah kejadian singkat dan
jinak akibat disfugsi atau cedera otak. 1.2.3.4

Gerakan jitterines; dicirikan sebagai gerakan tremor tetapi sering diidentifikasi


sebagai aktivitas kejang. Beberapa alasan,bahwa ; 1). jitteriness tidak disertai
dengan fenomena okular (yaitu fiksasi atau deviasi mata. 2). jitteriness sensitif
terhadap stimulasi sedangkan kejang neonatal tidak. 3). gerakan dominan pada
jitteriness adalah tremor (yaitu, gerakan bergantian yang berirama dengan
frekuensi dan amplitudo yang sama). Gerakan dominan pada kejang adalah
kejutan klonik (yaitu gerakan cepat dan lambat). 4). gerakan ritmik jitterines pada
anggota badan biasanya dapat dihentikan oleh fleksi pasif, sedangkan kejang
tidak. 5) jitteriness tidak disertai dengan perubahan otonom (misalnya, takikardia,
peningkatan tekanan darah, apnea, fenomena vasomotor kulit, dan perubahan
pupil).

Gerakan tremor; jitteriness dan tremor umum terjadi dan dilaporkan pada
sekitar setengah bayi baru lahir yang sehat. Tremor dihipotesiskan sebagai
ketidakmatangan penghambatan neuron atau peningkatan kadar katekolamin.
Tremor patologis dapat terjadi pada gangguan sistemik (hipoglikemia,
hipokalsemia, infeksi, gejala putus obat narkotik, atau penyakit tiroid) dan
gangguan neurologis primer seperti ensefalopati hipoksik-iskemik atau
perdarahan intraventrikular. Bayi dengan riwayat tremor menunjukkan
pemeriksaan neurologis normal pada saat masa anak. Karena alasan ini anti
kejang tidak diperlukan. Tremor halus lebih cenderung ringan atau akibat
gangguan elektrolit. Pada tremor dengan amplitudo tinggi lebih mungkin
sekunder akibat disfungsi atau cedera otak.

Gerakan mioklonus neonatus tidur, gerakan ini biasa terjadi saat neonatus
tidur terutama bayi kurang bulan. Mungkin fokal, multi-fokal, atau umum. Tidak
akan berhenti jika ditahan sekalipun. Gerakan tersebut menghilang dengan
sendirinya dalam waktu beberapa bulan dan tidak memerlukan pengobatan.
Mioklonus ringan (benign myoclonic) dibedakan dari mioklonus patologis yaitu
pada mioklonus ringan (benign) dapat dihentikan bila bayi dibangunkan atau
dipicu oleh bunyi atau gerakan dan tidak berkaitan dengan perubahan sistem
otonom.
Aktivitas motorik normal lain seperti gerakan mengisap tidak beraturan dan
apnea saat neonatus tidur dapat disalah artikan sebagai kejang. Permasalahan
ini penting disadari untuk menghindari pemeriksaan diagnostik dan pemberian
OAE yang tidak perlu.
Pemeriksaan.

Diagnosis etiologi kejang neonatal dilakukan dengan anamnesis riwayat ibu dan
obstetri, pemeriksaan fisik neonatus dan beberapa pemeriksaan laboratorium
sangat penting pada penghentian kejang neonatal, yaitu:

Anamnesis riwayat ibu dengan Infeks TORCH, paparan obat dan riwayat
kehamilan dan persalinan (diabetes, hipertensi, korioamnionitis, demam,
perdarahan antepartum, persalinan yang sulit atau gawat janin) dan pada bayi
nilai Apgar rendah.1.2.3.4

Tata Laksana

Prinsip utama tata laksana kejang pada neonatus adalah, mempertahankan


ventilasi dan perfusi yang adekuat, mencari dan memberikan tata laksana kejang
dan etiologi kejang sesegera mungkin, dan pertimbangan manfaat dan efek
samping pemberian obat anti kejang. 2.5.6

Tata laksana kejang neonatal, yaitu; menghentikan kejang dengan obat anti
kejang, antara lain; phenobarbital, phenytoin, midazolam. Jika durasi kejang > 3
menit atau frekuensi > 3 kali per jam siégera dilakukan tata laksana kejang. Obat-
obatan harus diberikan secara intravena untuk mencapai onset yang cepat.1.3.4.6

Evaluasi diagnostik kejang antara lain, pemeriksaan darah dan glukosa darah
serum, elektorlit, analisis gas darah, analisis dan kultur cairan otak. Pemeriksaan
TORCH dan kadar amonia, asam amino dalam urin. Pemeriksaan EEG, USG-
CT Scan-MRI kepala..2.3.4.5.6
ALGORITMA TATALAKSANA KEJANG NEONATAL6
Dikutip dari 6

• Jika tersedia lakukan pemeriksaan EEG.


• Konsultasi neurologi anak untuk konfirmasi dengan EEG konvensional dan
pencarian etiologi kejang.
• Jika sedang dalam terapi rumatan fenobarbital, lakukan pemeriksaan kadar
obat dalam darah atas indikasi (kecurigaan kekurangan/kelebihan dosis) bila
tersedia pemeriksaan dan hasil didapatkan sesegera mungkin.
• Lakukan pemeriksaan lanjutan untuk mempertegas etiologi kejang:
• Jika curiga infeksi SSP, lakukan pungsi lumbal
• Pemeriksaan penunjang lain dilakukan atas indikasi, misalnya pencitraan
otak (MRI bila memungkinkan), pemeriksaan genetik, metabolik, atau
neurotransmiter.

Penghentian obat anti kejang 6:


• Setelah kejang berhenti dan etiologinya teratasi, jika pemeriksaan neurologis
normal, maka semua obat antikonvulsan dapat dihentikan. Jika pemeriksaan
neurologis abnormal, lakukan EEG ulang.
• Jika EEG normal dan penyebab kejang adalah gangguan metabolik yang
bersifat sementara, fenobarbital rumatan dapat dihentikan.
• Jika EEG abnormal, fenobarbital rumatan dilanjutkan. Evaluasi ulang jika
pasien akan dipulangkan..
• Jika selama perawatan diberikan fenitoin, maka obat tersebut dihentikan
pada saat jalur intravena dihentikan, meskipun pemeriksaan neurologi
abnormal. Jika masih dibutuhkan antikonvulsan rumatan, maka diberikan
fenobarbital oral.

Kejang yang tidak dikelola dengan baik dapat berlanjut lama dan mengganggu
ventilasi dan kardiovaskular dan berdampak pada autoregulasi vaskular serebral
yang menyebabkan cedera otak sekunder.
Tata laksana etiologi 1,6:

• Hipoglikemia: infus Glukosa 10% 2 ml per kg melalui jalur intravena dan


diberikan selama 2-3 menit. ( Lihat panduan klinis)

• Hipomagnesemia: berikan MgSO4 (0,4-0,8 mEq / kg) melalui jalur intra vena
setiap 12 jam sampai kadar Mg darah normal. ( Lihat panduan klinis)

• Infeksi: berikan antibiotik yang tepat. ( Lihat panduan klinis)

• Hipokalsemia: pemberian kalsium glukonat 2 ml / kg secara intra vena selama


5 menit. ( Lihat panduan klinis)

• Hipoksia ischemik ensefalopati. ( Lihat panduan klinis)


• Defisiensi piridoksin; pemberian piridoksin 50 mg intra vena.

Prognosis
Kejang neonatal pada bayi berat lahir sangat rendah memiliki insiden gangguan
perkembangan neurologik lebih tinggi daripada bayi prematur tanpa kejang.
Umumnya prognosis ditentukan penyebab utama. Kejang pada neonatus
dengan hipokalsemia dan kejang neonatal familiar memiliki prognosis baik.
Hipoglikemia symtomatik dan meningitis memiliki kemungkinan gejala sisa
sebesar 50%. Prognosis neonatus dengan ensefalopati iskemik hipoksik
berkorelasi dengan beratnya kelainan (30-50% normal). Prognosis buruk pada
neonatus dengan malformasi SSP.1.2.3.4

Kesimpulan
Kejang neonatal memiliki efek buruk pada perkembangan otak (predisposisi
gangguan kognitif, perilaku, dan epilepsi) di kemudian hari. Kejang yang tidak
terdeteksi dan tidak mendapat tata laksana adekuat memperberat cedera otak
pada neonatus.
Daftar Pustaka
1. Abend NS. Jensen FE. .Inder TE. Volpe JJ. Neonatal Seizures in Volpe;s
Neurology of the Newborn. Sixth edition. | Philadelphia, PA : Elsevier. 2018
2. Setyo H. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata
laksana. Agustus 2007.112-20. Vol. 9, No. 2.
3. Pressler RM. Neonatal seizures. Department of Clinical Neurophysiology,
Great Ormond Street Hospital, London. 2015
Diunduh dari : www.epilepsysociety.org.uk/sites/default/files/attachments
Chapter06Pressler
4. Hill A, MD, PhD. Neonatal Seizures Pediatrics in Review. April 2000. Vol. 21
No. 4 .
5. Okumura A,. The Diagnosis and Treatment of Neonatal Seizures. Chang
Gung Med J. September-October 2012. Vol. 35 No. 5.
6. UKK Neonatologi dan UKK neurologi IDAI. Hasil pembahasan Algoritme tata
laksana kejang pada neonates. 2018.

.
KESULITAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
KEJANG DAN STATUS EPILEPTIKUS
Dina Siti Daliyanti
RSUD dr. Chasbullah Abdul Madjid Kota Bekasi

PENDAHULUAN
Kedaruratan neurologis pada anak yang sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari
adalah kejang. Hampir 2-5% anak pernah mengalami kejang seumur hidupnya. Makin lama
kejang berlangsung akan makin sulit diatasi dan sering mengakibatkan berlanjut menjadi Status
Epileptikus. Penentuan etiologi dan tatalaksana status epiletikus sangat menentukan prognosis
pasien selanjutnya. Telisik tatalaksana kejang dimulai dari bila kejang terjadi di rumah, dalam
perjalanan ke RS, di IGD, di poliklinik maupun saat terjadi di ruang rawat inap dan ruang PICU.
Antisipasi kejadian kejang di masing-masing lokasi perlu kita pahami agar kejang dapat kita
hentikan sesegera mungkin. Penelusuran data Rekan Medik selama 1 tahun di RSUD Kota
Bekasi (September 2017-September 2018) didapatkan angka kejadian kejang sebanyak 56% dari
data pasien anak yang masuk melalui IGD, ditemukan 45% dari keseluruhan pasien rawat inap
dan 38% dari pasien baru rawat jalan. Total yang berlanjut menjadi status epileptikus dari
keseluruhan pasien kejang, apapun penyebabnya selama 1 tahun di RSUD Kota Bekasi adalah
22%. Angka kejadian status epileptikus pertahun 10-58/100.000 penduduk pertahun dan angka
kejadian pada pasien epilepsi adalah 9.5-27%1. Berbagai permasalahan yang sering kita jumpai
dirangkum dalam makalah ini agar bisa didiskusikan bersama. Tatalaksana kejang akut pada
makalah ini berdasarkan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus yang dikeluarkan
Unit Kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak Indonesia pada tahun 2016.

DEFINISI
Status epileptikus adalah kejang terus-menerus atau kejang berulang tanpa pulihnya
kesadaran yang berlangsung 30 menit

1
Definisi Operasional
Kejang umum yang berlangsung lebih dari 5 menit atau kejang fokal yang berlangsung
lebih dari 15 menit. Kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran. 1-3

PATOFISIOLOGI4-5
Aktivitas listrik yang abnormal di otak dapat menyebabkan kejang dan bila kejang terjadi
berulang-ulang akan berdampak terhadap saluran pernapasannya salah satunya adalah
hipoventilasi. Hipoventilasi ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan PO2 (menurun) dan
PCO2 (meningkat) sehingga dapat menimbulkan kolapsnya kardiovaskular. Kolapsnya
kardiovaskular ini dapat menurunkan aliran darah ke otak yang akhirnya dapat menyebabkan
cedera otak.
Kejang yang berulang juga dapat menyebabkan tekanan darah yang meningkat. Tekanan
darah yang meningkat dapat menurunkan aliran darah ke otak, lalu terjadi perdarahan dan pada
akhirnya juga dapat menyebabkan cedera otak. Kejang berulang dapat menyebabkan penurunan
ATP dan peningkatan ADP yang menimbulkan terjadinya glikolisis dan re-uptake EAA
menurun. Glukosa yang diperlukan oleh otak menjadi menurun sehingga juga dapat
menyebabkan cedera pada otak.

Gambar 1. Patofisiologi Kejang

2
Pada patofisiologi Status Epileptikus fase awal (0-30 menit), mekanisme kompensasi
yang terjadi mencakup meningkatnya ekskresi adrenalin dan noradrenalin, peningkatan aliran
darah ke otak dan metabolisme, hipertensi dan hiperpereksi, hiperventilasi dan takikardi serta
asidosis laktat.
Perubahan fisiologis pada fase kompensasi mencakup perubahan serebral dalam bentuk
peningkatan aliran darah, kebutuhan energi meningkat sejalan dengan peningkatan laktat dan
glukosa. Perubahan metabolik berupa hiperglikemia dan asidosis laktat disertai terjadinya
perubahan otonom berupa hipertensi, meningkatnya curah jantung, tekanan vena sentral, eksresi
katekolamin, takikardi, aritmia, hiperpireksia dan muntah.
Perubahan fisiologis yang terjadi pada fase dekompensasi adalah perubahan serebral
berupa telah terjadinya kegagalan autoregulasi, hipoksia,hipoglikemia, meningkatnya tekanan
intrakranial, penurunan laktat dan terjadinya edema serebri. Perubahan metabolik pada fase
dekompensasi yang bisa kta temukan adalah hiponatremia, hipo-/hiperkalemia, asidosis,
gangguan fungsi hati dan ginjal, DIC, rhabdomiolisis, leukositosis pada serum dan LCS.
sedangkan pada fungsi otonom sudah terjadi hipoksia, hipotensi, curah jantung menurun, edema
paru, aritmia, gagal jantung, dan hiperpireksia.

TATALAKSANA KEJANG7-9
Pedoman tatalaksana mengehentikan kejang pada anak di Indonesia berpatokan pada
Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus yang dikeluarkan Unit Kerja Koordinasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia pada tahun 2016 (Gambar 2).

3
Gambar 2. Tatalaksana Status Epileptikus(6)

Sumber: Rekomendasi UKK Neurologi 2016

Rumah atau Klinik


Pemberian diazepam rektal dengan dosis 0.5mg/kgBB/kali, atau 5 mg untuk berat badan
kurang dari 12 kg dan 10mg untuk berat badan 12 kg atau lebih. bila setelah pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dapat diulangi sekali lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Orang tua harus diberi contoh, tidak cukup hanya nasihat atau resep.

4
Jangan memberikan diazepam IV. Bila kejang sudah berhenti, yang perlu kita lakukan adalah
pencegahan berulangnya kejang dengan fenitoin dan fenobarbital.

Karakteristik Obat Anti Kejang


Diazepam
Obat ini bekerja sebagai agonis reseptor GABA. Waktu parah obat ini adalah 20-40 jam.
Onset terapi diazepam adalah 3-5 menit dan efek terapinya adalah 15-20 menit. Dosis awal 0,25-
0,5 mg/kgBB, maksimal 20 mg. Efek samping diazepam adalah gagal napas. Sediaan obat ini
adalah IV 10 mg/2 ml, rectal 5 mg dan 10 mg. Untuk diazepam via rektal (di rumah/praktek
klinik/orangtua) dosisnya adalah 0,5 mg/kg/kali atau 5 mg untuk berat badan kurang dari 12 kg,
10 mg untuk berat badan 12 kg atau lebih. Maksimum pemberian 2 kali, interval 5 menit lalu
dibawa ke rumah sakit. Orangtua harus diberi contoh cara pemberian obat via rektal.

Fenitoin
Obat ini bekerja memblok pintu kanal natrium. Waktu paruh obat ini adalah 24 jam.
Onset terapi fenitoin adalah 10-30 menit dan efek terapinya adalah 12-24 jam. Dosis awalnya
adalah 20 mg/kgBB/IV, maksimal pemberian 1000 mg, diberikan dengan pengenceran dalam 10
mg/1 ml NaCl 0,9 % dengan kecepatan 50 mg/menit. Efek samping fenitoin adalah hipotensi.
Sediaan obat ini adalah IV 100 mg/2 ml.

Fenobarbital
Obat ini bekerja pada reseptor GABA. Waktu paruh obat ini adalah 3-7 hari. Onset terapi
fenobarbital adalah 10-20 menit dan efek terapinya adalah 1-3 hari. Dosis awalnya adalah 20
ng/kgBB/IV bolus, maksimal 1000 mg dengan kecepatan pemberian 1 mg/kgBB/menit, selama
lebih dari 5-10 menit. Efek samping fenobarbital adalah depresi pernapasan. Sediaan obat ini
adalah IV 200 mg/2 ml.

Midazolam
Onset terapi obat ini adalah 2-5 menit. Efek terapi obat ini adalah 30-60 menit. Waktu
paruh midazolam adalah 1,8-6,4 jam. Dosis awalnya 0,2 mg/kgBB/IV bolus, dilanjutkan infus

5
0,02-0,4 mg/kgBB/jam. Efek samping midazolam adalah depresi pernapasan. Sediaan obat ini
adalah IV 5 mg/1 ml, 15 mg/3 ml.

Refrakter Status Epileptikus

Adalah suatu kondisi bila kejang masih tetap berlangsung sampai lebih dari 30 menit.
tatalaksana kejang menggunakan diazepam, fenobarbital, fenitoin, midazolam telah diberikan
dengan dosis adekuat. Diberikan tatalaksana dengan propofol dengan dosis 3-5mg/kgBB bolus
dilanjutkan dengan infus per drip 1-15mg/kgBB/jam atau fenobarbital 5-8mg/kgBB/jam.

Kesulitan yang sering dijumpai dalam tatalaksana kejang ini adalah saat:

1. Awal Terjadinya Kejang

a) Berupa kesalahan dalam cara pemberian diazepam rektal diatasi dengan memberikan
contoh langsung.
b) Berupa penanganan awal saat menjumpai kejang berulang 3 kali atau lebih, atau juga bila
kejang sudah berlangsung lebih dari 10 menit, segera observasi dan berikan cairan
parenteral serta dosis loading fenitoin atau fenobarbital untuk mencegah berulangnya
kejang.
c) Berupa pemberian diazepam rektal terlalu cepat sehingga terjadi efek samping depresi
nafas.

2. Saat Terjadinya Kejang

a) Berupa kesalahan dalam prosedur pemberian:


 Fenitoin : diencerkan dengan 10mg/1ml NaCl 0.9% diberikan dalam drip dengan
kecepatan 50mg/menit, dosis maksimal 1000mg
 Fenobarbital : tidak perlu diencerkan, diberikan intravena bolus perlahan-lahan
dengan kecepatan 100mg/menit. Dosis maksimal 1000mg.
b) Berupa rasa khawatir memberikan Midazolam, diberikan bolus perlahan-lahan 0.2
mg/kgBB, dilanjutkan dengan dosis 0.02-0.06 mg/kgBB/jam yang diberikan secara drip.
Cairan dibuat dengan cara 15mg Midazolam berupa 3ml midazolam diencerkan dengan
12 ml NaCl 0.9% menjadi 15 ml larutan dan diberikan per drip dengan kecepatan 1
mg/jam.

6
3. Setelah Terjadinya Kejang

a) Berupa tidak melakukan eksplorasi penyebab atau etiologinya, seperti laboratorium


(elektrolit, gula darah, dll), EEG, pungsi lumbal, CT Scan/MRI.
b) Berupa saat kejang berhenti dengan Midazolam (tidak memberikan dosis RUMATAN
fenitoin dan fenobarbital 4-7mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
c) Berupa bila pasien masih tetap belum pulih kesadarannya karena edema otak, dapat
diberikan 0.5mg/kgBB deksametason atau 0.5gram/kgBB manitol 20% diencerkan dan di
drip dalam 30 menit.

Bila kejang sudah berhenti, yang perlu dilakukan adalah pencegahan berulangnya kejang dengan
fenitoin dan fenobarbital.

Protokol pemberian “loading dose” adalah sebagai berikut :

1. Fenitoin

Pemberian dosis inisial 20mg/kg berat badan dengan dosis maksimal 1 gram,
diberikan secara drip 1 mg/kg/menit dalam 50 ml NaCl. Kelemahan dari fenitoin adalah
harganya mahal dan sering sulit di dapat, tidak dapat di bolus kembali. Perlu dilakukan
monitor jantung terhadap kemungkinan efek samping bradikardi dan aritmia,
pemberiannya diberikan dalam waktu yang cukup lama (20 menit). Fenitoin rumutan
diberikan 12 jam setelah dosis inisial, dengan dosis 5-7 mg/kg berat badan dibagi dalam 2
dosis.

2. Fenobarbital

Pemberian dosis inisial 20 mg/kg berat badan dengan dosis maksimal 1 gram,
diberikan. Bisa diberikan lebih cepat dalam 10 – 15 menit. Keuntungan dari fenobarbital
adalah murah dan mudah didapat, dapat dibolus ulang. Sulit dipantau derajat kesadaran
karena efek samping sedasi. Perlu dimonitor efek samping hipotensi dan depresi nafas.
Fenobarbital rumatan diberikan 12 jam setelah dosis inisial, dengan dosis 4 – 5 mg/kg
berat badan dibagi dalam 2 dosis.

7
Bila sebelum 12 jam, saat pemberian dosis rumatan, pasien kejang kembali, segera
berikan Diazepam iv kemudian tambahkan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg berat
adan, sambil mencari kausa dan etiologi kejang, misalnya gangguan kadar gula darah dan
elektrolit, serta kemungkinan adanya komplikasi. Pada fasilitas ideal, boleh dilakukan
pemeriksaan kadar fenobarbital atau fenitoin. Untuk membedakan tindakan yang akan
dilakukan, tatalaksana penghentian kejang dibagi dalam 4 tahapan:

1. Di rumah = 0 – 5 menit
Berikan Diazepam rektal 0.5 mg/kg berat badan. Diazepam rektal 5 mg untuk berat badan
< 12kg dan Diazepam rektal 10mg bila berat badan 12 kg atau lebih. Dosis maksimal 10
mg/dosis. Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.
2. Resiko Status Epileptikus = 5 – 10 menit
Bila masih kejang atau kejang kembali, dapat diberikan Diazepam rektal 1 kali dengan
dosis yang sama. Bila masih kejang dan sudah terpasang jalur intravena, berikan
Diazepam intervena 0,2 – 0,5 mg/kg berat badan dengan kecepatan 5 mg/menit. Lakukan
sekalian pengambilan darah rutin, glukosa dan elektrolit. Bila ditemukan hipoglikemia,
koreksi hipoglikemia dengan pemberian dekstrose 20% 2ml/kg berat badan.
3. Status Epileptikus
Cenderung berlanjut menjadi status konvulsivus. Bisa diberikan fenitoin atau fenobarbital
dosis inisial.
- Fenitoin 20 mg/kg berat badan intra intravena dengan pengenceran setiap 10 mg
fenitoin diencerkan dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 50
mg/menit. Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
- Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg berat badan bolus
perlahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah
1000 mg fenobarbital. Demikian sebaliknya, bila kita mulai dengan fenobarbital dulu,
bila masih kejang, diberikan fenitoin.
- Bila kejang masih berlangsung, berikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus
perlahan, dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg berat badan/jam yang diberikan
secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg Midazolam berupa 3 ml Midazolam
diencerkan dengan 12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml larutan, dan diberikan dalam drip
dengan kecepatan 1 mg/jam.

8
4. Status Epileptikus Refrakter = 30 – 60 menit
- Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang
kembali, diberikan fenitoin “tambahan” 10 mg/kg intravena dengan pengenceran.
Dosis rumatan fenitoin diberikan 12 jam kemudian dengan dosis 5 – 7 mg/kg berat
badan intravena.
- Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang
kembali, diberikan fenobarbital “tambahan” dengan dosis 10 mg/kg berat badan
intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital diberikan 12 jam
kemudian dengan dosis 4 – 6 mg/kg berat badan intravena. Bila kejang berhenti
dengan Midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan. Dalam
rekomendasi juga disepakati bahwa fenobarbital IV dipilih untuk pasien dengan
kejam demam, sedangkan fenitoin dipilih untuk pasien epilepsi.
- Tahapan kedaruratan status epileptikus mencakup pastikan oksigenisasi ke otak dan
fungsi kerdiorespirasi baik, hentikan kejang secepatnya, cegah kejang berulang,
koreksi gangguan metabolic dan identifikasi faktor pencetus (hipoglikemia, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit) dll, cegah komplikasi sistemik, serta evaluasi
dan tatalaksana penyebab.

SIMPULAN
Tatalaksana Status Epiletikus harus diberikan obat penghentian secara agresif. Perlu
waspada terhadap kemungkinan berlanjut menjadi status epiletikus bila kejang berlangsung 5
menit atau terjadi kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran. Melihat setiap tahapan waktu fase
kompensasi menjadi fase dekompensasi yang begitu ketat, kesalahan tatalaksana status
epileptikus harus tidak boleh terjadi. Identifikasi etiologi dan tatalaksana adekuat sangat
menentukan prognosis.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Ferandez IS, Abend SN, Loddenkemper T. Status epilepticus. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Fereiro DM, Schor NF, Finkel RS, Gropman AL, Pearl PL, Shevell,
penyunting. Swaimann’s pediatric neurology: priciple and practice, Edisi ke 6.
Edinburg: Elsevier. 2017. h.543-61.
2. Riviello JJ, Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchwony M, Cross JH,
Arzimanoglou A. penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw Hill Medical.
2013, h.288-96.
3. Holmes GL, Arzimanoglou A. Approach to the child with epilepsy. Dalam: Pediatric
Epilepsy. Duchwony M, Cross JH, Arzimanoglou A. penyunting. New York: Mc Graw
Hill Medical. 2013, h.1-6.
4. Volpe J, Terrie I, Darras B, De Vries L. Pathophysiology of status epilepticus. Dalam:
Neurology of the newborn. Plessis AD, Neil J, Perlman J, penyunting. Edisi ke 6.
Edinburg: Elsevier; 2017. h 526-40.
5. Stafstrom CE. The pathophysiology of epileptic eizure: A primer for pediatricians. Ped
Rev 1998; 19: 342-51.
6. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo
DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S, penyunting. Jakarta; Badan Penerbit Ikatan Doker
Anak Indonesia, 2016.
7. Bashiri FA, Hamad MH, Amer YS, Abouelkheir MM, Mohammed S, Kentab AY, dkk.
Management of convulsive status in children: an adapted clinical practice guideline for
pediatrians in Saudi arabia, Neurosciences. 2017; 22: 146-55.
8. Goodkin HP, Riviello Jr JJ. Status epilepticus. Wyllie’s treatment of epilepsy: Principle
and practice. Wyllie E, Gydal BE, Goodkin HP, Loddenkemper T, Sirven Jl, penyunting.
Edisi ke 6. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015. h. 479-91.
9. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge A, Arya R, Bainbridge J, dkk. Evidence based
guideline: treatment of convulsive status epilepticus in children and adults: Report of the
guideline committe of the American Epilepsy Society. Epilepsy Currents. 2016; 16: 48-
61.

10

Anda mungkin juga menyukai