Anda di halaman 1dari 6

RESUME

DEMOKRASI DAN HAM (HAK ASASI MANUSIA) DI INDONESIA

Dosen :
Dr. Imam Santoso,.SH,.MH

Disusun Oleh :
Edy Siswanto (1827350083)

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM “IBLAM”


2019
Upaya membentuk Negara Demokrasi Konstitusional
Tujuan utama studi saya adalah untuk mengangkat dan mendokumentasikan ikhtiar
membentuk suatu Negara demokrasi konstitusional di Indonesia, ada tiga karakteristik
penting untuk Negara yakni : Pertama, ada kemerdekaan politik dari rakyatnya yang meliputi
kemerdekaan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berorganisasi, kedua, ada pembatasan
kekuasaan artinya kekuasaan penyelenggaraan Negara (penguasa) harus dibatasi dengan
berbagai cara dan nekanisme pembatasan kekuasaan berupa pemisah kekuasaan chek dan
kontrol, ketiga, ada jaminan HAM, dengan adanya jaminan HAM maka ada kriteria obyektif
penyelenggaraan kekuasaan dan penguasa tidak dapat bertindak sewenang – wenang
menindas rakyatnya.
Konstitusi adalah puncak perjuangan menuju Negara demokrasi konstituante Indonesia.
Tonggak – tonggak pendahulunya adalah proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dan
maklumat wakil presiden no. X pada tanggal 16 oktober 1945 berserta tindakan – tindakan
pelaksanaannya.
Pemilu untuk konstituante dilaksanakan dalam tahun 1955, mandat konstituate adalah untuk
merumuskan UUD baru yang definitif, konstituante terdiri dari 544 anggota dan persidangan
berlangsung 10 November 1959 sampai 2 juni 1959, perdebatan konstituate mengenai banyak
pokok masalah didalam sidang pleno.
Debat tentang filsafat Negara atau dasar Negara pada tahun 1957, Debat tentang HAM
(1958), serta Debat tentang kembali ke UUD 1945 pada tahun 1959.

Intervensi Pemerintah terhadap Konstituante


UUD 1945 adalah usul pemerintah, disampaikan oleh presiden soekarno, intervensi pertama
terjadi pada tahun 1985, ketika PM Djuanda mendesak konstituante agar mempercepat
pekerjaannya.
Wilopo, SH. Mengumumkan akan berunding dengan pemerintah, partai – partai politik
kemudian mengalami tekanan yang keras dari pihak tentara dan para pendukung gagasan
Demokrasi terpimpin agar menyetujui pembubaran konstituante dan mendekritkanberlakunya
UUD 1945.
Intervensi pemerintah ketiga dan terakhir dalam berdebatan konstitusional ini ‘’Dekrit
presiden 5 juli 1959’’, yang membubarkan konstituante dan menyatakan berlakunya kembali
UUD 1945.
Perdebatan Tentang Dasar Negara
Perdebatan tentang dasar Negara secara formal menyangkut : Pancasila, Islam, dan Sosial –
Ekonomi sebagai dasar Negara, perdebatan ini menunjukkan betapa tekanan pada ideologi
atau fiksasi atas tujuan tujuan substantif ( cita – cita kesempurnaan masyarakat).telah
mengorbankan nilai – nilai prosedural yakni etika perihal cara mencapai tujuan.

Debat mengenai Dasar Negara, dua konsep Negara dikemukakan yakni Negara integralistik,
memakai legitimasi kebudayaan Indonesia dan pancasila sebagai ideologi, serta Negara
berdasarkan islam.

Para pendukung Negara integralistik menggunakan argumentasi budaya, yakni Negara


haruslah dengan budaya dan identitas bangsa Indonesia, dimana kepentingan kepentingan
masyarakat lebih utama dari pada kepentingan individu.
Negara yang berdasarkan islam, sebagaimana dikemukakan didalam konstituant, bersumber
dalam kebenaran mutlak dan kesempurnaan dari al-quran sebagai perintah tuhan.
Negara islam menempatkan kebenaran agama diatas segala-galanya dengan demikian
mengingkari hak sepenuhnya dari setiap orang untuk berpikir merdeka. padahal inilah premis
dari Negara demokrasi konstitusional, dalam arti suatu Negara yang disepakati secara bebas
oleh semua warganya demi menjamin hak – hak asasi mereka.
Debat tentang dasar Negara diatas segala-galanya adalah suatu konfrontasi antar ideology,
antara pandangan hidup yang berbeda.
Pancasila yang bukan sebagai ideologi bukan doktrin, tapi sebagai idea (guiding
principles)dan nilai – nilai agung yang menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sutan Takdir Alisyahbana, anggota Konstituante menyatakan ‘’ selain itu, ada satu hal yang
harus kita ingat, kata dasar seperti kita pakai dalam hubungan dengan Negara adalah
suatu kiasan, suatu metafora, sekedar untuk menolong, pengertian kita, kata dasar itu
hanya memberi kita pedoman, patokan, pikiran – pikiran yang pada umumnya dapat
memberikan pegangan sekedarnya dalam pemikiran dan perbuatan dalam lingkungan
Negara.’’
Perdebatan tentang HAM
Perdebatan tentang HAM didalam konstituante berbeda dalam dua segi penting,
Pertama, jika perdebatan tentang dasar Negara bersifat abstrak dan jauh daripada problema –
problema yang praktis yang diperlukan untuk menciptakan kerangka pengaturan Negara.
Kedua, jika debat tentang dasar Negara ditandai oleh pertentangan ideologi yang didominasi
oleh tendesi sentrifugal, dalam debat HAM justru tendesi sentripetal yang menguasainya.
Konsesus tentang hak hak asasi manusia dan sifat berlakunya yang universal, dicapai melalui
perdebatan dari berbagai sudut pandangan (perspektif). Misalnya, pandangan keagamaan,
pandangan tentang hakekat manusia, budaya Indonesia, perkembangan masyarakat,
perjuangan kemerdekaan dan sejarah kemanusiaan.
Seorang anggota konstituante dari masjumi menyatakan dalam kiasan ‘’ jika konstitusi
diibaratkan sebuah sungai, maka hak-hak asasi manusia merupakan air yang mengalir
didalamnya tanpa hak – hak asasi manusia maka sungai itu hanyalah merupakan lubang
yang gersang dan berliku – liku ’’

Ketua konstituante, wilopo SH, juga menyimpulkan pendapat siding pleno, bahwa bab
tentang HAM adalah bab terpenting dari UUD baru yang akan dihasilkan oleh konstituante.

Perdebatan tanggal 10 September 1958, siding pleno menyetujui 19 hak hak asasi manusia
yakni :
1. Hak Perlakuan dan perlindungan yang sama UU
2. Hak hak perlindungan diri dan harta benda
3. Hak kebebasan bergerak dan berdiam didalam wilayah Negara
4. Hak keluar negeri dan kembali ke dalam negeri
5. Hak tidak boleh dihukum yang mengakibatan kematian perdata dan kehilangan HAM
(burgerlijkdood)
6. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama
7. Hak kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun
tulisan.
8. Hak kebebasan berkumpul dan berapat
9. Hak pengupahan yang adil dan hak yang menjamin kehidupan seseorang bersama
keluarga yang sepadan dengan martabat manusia.
10. Hak turut dalam kebudayaan masyarakat, menikmati seni dan turut dalam memajukan
ilmu pengetahuan.
11. Hak perlindungan kepentingan moril dan materiil yang didapat seseorang sebagai
hasil produksi dibidang ilmu pengetahuan, kesusastraan atau kesenian yang diciptakan
sendiri.
12. Hak milik baik sendiri maupun bersama dengan orang lain.
13. Hak tidak dirampas
14. Hak mendapat pengganti kerugian atas pencabutan hak milik atas sesuatu benda atau
hak untuk kepentingan umum.
15. Hak kebebasan melakukan pekerjaan sosial dan amal serta mendirikan organisasi
16. Hak perlindungan dan songkongan kepada persekutuan agama
17. Hak ganti rugi karena perang
18. Melakukan hak hak dan kebebasan – kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini
hanya dapat dibatasi dengan peraturan perundang – undangan.
19. Tiada ketentuan dalam bagian ini boleh ditefsirkan oleh penguasa atau golongan atau
orang yang bermaksud menghapus sesuatu hak atau kebebasan yang diterangkan
didalamnya.

Pada tanggal 9 desember 1958 panitia ini berhasil merumuskan 35 pasal hak – hak dasar
manusia dan hak – hak serta kewajiban – kewajiban warganegara,
Hasil rumusan itu didukung oleh 2/3 suara, baik oleh koalisi pancasila maupun islam
yang ada dalam panitia. Adanya perbedaan versi didalam beberapa rumusan itu tidak
mengubah substantifnya.
Ada beberapa alasan yang bersumber pada tuhan atau pada hakekat manusia. Dan cara
perumusan yang lebih atau kurang eksplisit yang masih mengudang kontroversi. Yang
terakhir, khususnya bertalian dengan kebebasan beragama.

Harus ada kontrol terhadap kekuasaan


dalam kaitannya dengan HAM, kerancuan pemikiran kekeluargaan ini terlihat dari
gambaran prof. soepomo tentang Negara, Negara diibaratkan tubuh atau badan antara
anggota tubuh tidak mungkin saling menyakiti melainkan bekerja sama satu sama lain
dalam keselarasan dan keseimbangan. Nilai nilai ini menurut soepomo, tidak cocok
dengan HAM yang dianggapnya liberal dan berasal dari barat, karenanya tidak perlu
adanya jaminan justru mencerminkan sikap keraguan, ketidak percayaan, dan curiga
terhadap kekuasaan Negara. Dalam suatu Negara kekeluargaan sikap saling curiga adalah
tabu.

Didalam kehidupan bernegara yang benar kecurigaan terhadap kekuasaan (the suspicion
of power)itu harus ada karena kekuasaan selalu mempunyai kecenderungan untuk
menyeleweng kekuasaan juga cenderung eksessif selalu ingin lebih kuasa dan kuasa lagi
seterusnya karenanya didalam sistem konstitusional, kekuasaan harus dibatasi harus ada
kontrol dan pertanggung jawab bahkan dibawah lapisan kontrol itu harus ada garansi
minimal yakni HAM.
Penutup
Kalo kita mempunyai cita – cita menegakan suatu Negara demokrasi dengan sistem
konstitusi dan menjamin HAM sesungguhnya cita – cita ini berangkat dari pengalaman
empirisi bangsa kita sendiri, dalam arti pengalaman penderitaan rakyat atau bangsa
Indonesia.
Semua itu adalah cermin nyata dari keinginan untuk mewujudkan suatu Negara
demokratis konstitusional, suatu Negara yang pemerintahannya terbatas kekuasaannya
yang bias dikontrol dan diminta tanggung jawabnya serta menghormati HAM.
Secara historis lahirnya cita – cita demokrasi HAM didalam naungan Negara demokrasi
konstitusional adalah karena adanya perjuangan rakyat yang sadar tak mau ditindas tak
mau diekspolitir, diperlakukan sewenang – wenang dan dihina kemanusiaannya.

Anda mungkin juga menyukai