Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana


diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya sebagian
masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Secara resmi, hukum adat diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya.

Berkaitan dengan keberadaan sistem hukum adat, dimana merupakan seperangkat


norma dan aturan adat/kebiasaan yng berlaku di suatu wilayah yang sebagian besar dalam
bentuk aturan tidak tertulis dan tersebar di berbagi masyarakat indonesia, sebenarnya
merupakan suatu kekhasan dan kekayaan dari kemajemukan bangsa Indonesia yang
seharusnya kita jaga. Upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi dengan sendirinya tidak
akan terlepas dari upaya mempertahankan norma dan aturan adat atau kebiasaan tersebut.

Keberadaan hukum adat dan hukum pidana sebagai hukum positif akan memunculkan
persmasalahan mengenai bagaimana penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelanggaran
norma dan aturan adat atau kebiasaan dalam kaitannya dengan berlakunya hukum pidana.
Terlebih lagi jika dikaitkan dengan asas legalitas yang menentukan bahwa hukum pidana
harus didasarkan pada hukum yang tertulis agar dapat dicapai suatu kepastian hukum,
sedangkan hukum (pidana) adat sebagian besar tidak tertulis.

B. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan hukum adat dan masyarakat hukum adat?
2. Bagaimana hukum adat ditinjau dari asas legalitas?
3. Apa peraturan yang mengatur masyarakat hukum adat?
4. Bagaimana dampak penerapan peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat
hukum adat?

C. TUJUAN

1
Tujuan dari makalah ini adalah :

1. Menjelaskan pengertian hukum adat dan masyarakat hukum adat


2. Menjelaskan hukum adat ditinjau dari asas legalitas
3. Menjelaskan peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat di Indonesia
4. Menjelaskan dampak penerapan peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat
hukum adat di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM ADAT

Hukum Adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial
di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis.

2
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang
berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa
Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control)
yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.

Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven
yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).

Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga
hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat
(beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di
Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi
awig-awig di Bali.

B. PENGERTIAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Jika kita menelusuri seluruh dokumen peraturan negara, maka kita tidak akan
menemukan pengertian masyarakat hukum adat, baik dalam bab ketentuan umum maupun
pasal-pasal dan ayat-ayat. Dimulai dari UUD 1945 hasil amandemen I-IV sampai Peraturan
Daerah, kita hanya akan menemukan bahwa masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara unsur-unsur untuk adanya
pengakuan adalah :

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);


2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Membaca pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan siapa yang
dimaksud sebagai masyarakat hukum adat. Sementara unsur-unsur yang akumulatif, masih
diragukan kebenaran unsurnya. Sebagai contoh, terdapat kesalahan fatal dalam membuat
3
persamaan antara paguyuban dengan rechtsgemeenschap. Paguyuban tidak bisa disamakan
dengan rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah berarti persekutuan hukum. karena sifat
dari unsur tersebut akumulatif, maka, jika salah satu unsur diragukan kebenarannya, ia akan
menggugurkan pengakuan meski telah memenuhi ke empat unsur lainnya.

Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita menjadi
sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat hukum adat
menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. akibat ketidakjelasan pengaturan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat kekaburan dalam penentuan kriteria
dan unsur pengakuan, maka, keberadaan masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan
hukum apapun dari negara.

C. HUKUM ADAT DITINJAU DARI ASAS LEGALITAS

Dalam hukum pidana indonesia, asas legalitas dijumpai pada pasal1 ayat (1) KUHP,
yang menyebutkan :

(1) Suatau perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkankekuatan ketentuan


perundang-undanganpidana yang telah ada.
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,
maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan.

Asas-asas hukum pidana yang terkandung dalam pasal (1) KUHP yaitu :

1. Bahwa hukum pidana harus bersumber pada peraturan perundang-undangan pidana


yang tertulis
2. Peraturan perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut
3. Dilarang menggunakan analogi

Hukum pidana dalam penerapannya sebenarnya merupakan senjata pamungkas


(ultimum remedium) dalam menegakkan hukum. Hal ini mengandung makna bahwa
penentuan pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu harus sedemikian rupa
perlunya, karena alat penegak hukum (sanksi) lainnya sudah tidak efektif lagi.

Tujuan hukum pidana secara umum adalah untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan

4
masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan atau tindakan
penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.

Era sebelum kedatang penjajah Belanda, daerah-daerah di wilayah Indonesia pada


umumnya memiliki dan menggunakan hukum adat tidak tertulis. Seluruh lapangan hidup
menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan
atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan
masyarakat, keselamatan golongan, keluarga, dan sebagainya dapat merupakan pelanggaran
hukum. Sedangkan reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai
lingkungan hukum antara lain berupa: mengganti kerugian immaterial, pembayaran uang
adat, selamatan, permintaan maaf, berbagai macam hukuman badan hingga hukuman mati,
pengasingn dari masyarakat, dll. Sekalipun tidak terdapat pembedaan hukumperdata dan
hukum pidana dalam hukum adat, namun dapat tergambarkan bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk menjamin keselamatan orang dan masyarakat.

Hukum adat di indonesia pada umumnya tidak tertulis dan tidak dibedakan dan tidak
dipisahkan antara hukum pidana, perdata, dan hukum tata negara secara tegas seperti yang
dikenal hukum barat. Apakah ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam hukum adat
termasuk dalam undang-undang menurut pasal 1 ayat (1) KUHP? Sebagaimana diatur dalam
pasal 15 AB (algemene Bepalingen van Wetgeving) yang menentukan bahwa “selain
daripada pengecualian-pengecualian mengenai orang-orang Indonesia dan yang
dipersamakan, maka kebiasaan bukan merupakan hukum, kecuali jika undang-undang
menyatakan demikian”. Timbul persoalan, apakah “ hukum (pidana) adat” dapat
mempengaruhi ketentuan undang-undang hukum pidana?. Bagi penduduk Indonesia, hukum
pidana adat dan kebiasaan-kebiasaan walaupun hanya berlaku setempat, tidak kurang nilainya
untuk dipertimbangkan sebagai hal-hal atau fakta yang turut mempengaruhi pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusannya.

Tegasnya hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat digolongkan dalam hukum
pidana atau ada hubungannya, tidak sama derajatnya dengan undang-undang hukum pidana,
walaupun harus diakui bahwa hukum adat turut mempengaruhi pertimbangan hakim. Jika
terdapat perbedaan di antara kedua macam hukum pidana tersebut maka yang akan lebih
diutamakan atau yang lebih menentukan adalah undang-undang hukum pidana yang terdapat
dalam KUHP.

5
Sebagaimana diketahui, asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide atau
nilai dasar “kepastian hukum”. Namun dalam kenyataannya asas legalitas ini mengalami
berbagai bentuk pelunakan, penghalusan, pergeseran, atau perluasan dan menghadapi
berbagai tantangan antara lain dalam hukum positif dan perkembangannnya di Indonesia
( dalam UUDS 1950; Undang-undang no. 1 Drt.1951; Undang-undang nomor 35 tahun 1999;
undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan konsep RUU KUHP), asas legalitas tidak semata-
mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum
sine lus” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas
materil, yaitu dengan mengakui hukum pidana atau hukum tidak tertulis sebagai sumber
hukum.

Dengan berpedoman pada pasal 1 KUHP, sebenarnya tidak dikenal lagi hukum pidana
tidak tertulis, karena sebagai asas legalitas atau juga disebut dalam bahasa latin “Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenall” artinya suatu norma hukum pidana (dalam
hal ini tindak pidana) dan sanksi pidana sudah terlebih dahulu ada pada suatu perundang-
undangan sebelum suatu tindakan dilakukan. Kata perundang-undangan menunjukkan bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut harus sudah tertulis terlebih dahulu. Akan tetapi, seperti telah
diutarakan, hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlakunya sepnjang
tidak bertentangan dengan pancasila.

Sedangkan hukum adat pada umumnya merupakan hukum tidak tertulis dan bukan
dibuat oleh badan legislatif. Ada perbedaan di antara para sarjana mengenai berlaku atau
tidaknya delik adat. Sebagaimana dikemukakan oleh Roeslan Saleh bahwa selama di bawah
kekuasaan Undang-Undang Dasar sementara (1950), hal ini tidak menjadi masalah. Dalam
pasal 14 ayat (2) UUDS 1950 ditentukan bahwa “tidak seorang juapun boleh dituntut untuk
dihukum atau dijatuhihukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan
berlaku terhadapnya. Di sini aturan hukum diberikan pengertian meliputi aturan hukum
tertulis dan aturan hukum tidak tertulis. Dengan demikian untuk berlakunya hukum pidana
adat atau delik-delik adat diberikan dasar hukumnya. Tetapi bagaimana ketika berada di
bawah kekuasaan Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku hingga sekarang. Dr. Wirjono
mengemukakan bahwa “tidaklah ada hukum adat kebiasaan atau gewoonterecht dalam
rangkaian hukum pidana . Ini resminya menurut pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa
atau daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar
6
atas kebiasaan dan yang secara kongkrit sangat mungkin berpengaruh dalam menafsirkan
pasal-pasal dari KUHP.

Dengan keluarnya Undang-undang Pokok kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun


1970, kiranya pandangan masih dapat diterapkannya hukum adat (pidana) walaupunj dalam
arti yang terbatas, lebih mendapat dukungan lagi. Dalam pasal 27 (1) dari undang-undang
tersebut antara lain ditentukan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini
mengingatkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat yang wajib diikuti
oleh hakim.

Keberadaan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia akan tetap eksis.
Dalam hal ini Prof. Soepomo memberikan pandangannya sebagai berikut:

a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai
masyarakat Indonesia.
b. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat
bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan
member bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan KUHPidana baru
untuk negara kita.
c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tik tertulis akan tetap menjadi
sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum / tidak ditetapkan oleh undang-undang.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu
daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah
diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu,
keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri
walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak
sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG


MASYARAKAT HUKUM ADAT

7
Jumlah Undang-Undang yang diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun 1950 sampai
dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah 1137 Undang-Undang. Ribuan lainnya berupa
peraturan pelaksana dari mulai PP sampai Peraturan Presiden. Sementara pada tingkat Perda,
hanya dalam waktu 7 tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah bersama DPRD. Dari belasan ribu peraturan yang diterbitkan, cukup sulit untuk
menelusuri seluruh pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Dari sumber-sumber data
yang tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur
mengenai lembaga adat dari 2639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa
(CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk
masyarakat hukum adat tertentu (misal Baduy, Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang
otoritas atas wilayah adatnya.

Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan perundang-undangan khususnya


perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan lemahnya posisi masyarakat hukum
adat terhadap otoritas pemerintah. Sementara pada tingkat Undang-Undang, sebagaimana
telah disinggung di atas, justru menempatkan masyarakat hukum adat berada dalam
ketidakjelasan status hukumnya.

E. DAMPAK PENERAPAN PERATURAN PERUNDANGAN TERHADAP


KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Menurut Bappenas, dalam buku Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993, jumlah
masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia adalah 12 juta jiwa.
Sedangkan menurut Owen Lynch dan Kirk Talbott, dalam buku Balancing Acts: Community-
Based Forest Management and National Law in Asia and the Pasifik, Washington: World
Resource Institute, 1995, jumlah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan
di Indonesia adalah antara 40-60 juta jiwa. Meskipun tidak ada yang dapat memastikan
berapa jumlah anggota/jiwa masyarakat hukum adat dari 40-60 juta masyarakat, berdasarkan
pendampingan di sejumlah tempat, menunjukkan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat
hukum adat hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dengan banyaknya jumlah
masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan
peraturan mengenai kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum
adat.

8
Data luas kawasan hutan menurut pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah luasan
tersebut didapatkan melalui proses penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian,
UU Kehutanan menjadikan kawasan hutan dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek
pengaturan. Selanjutnya menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa provinsi
dan kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada di atas hak ulayat
yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Lihat contoh gambar di bawah.

Pada peta tersebut sangat jelas bahwa wilayah ulayat masyarakat hukum adat
bertumpang tindih dengan kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemeritah. Tumpang tindih ini
sesungguhnya tidak terjadi begitu saja, tetapi disadari dan di dasari oleh klaim negara sebagai
pemegang kuasa atas seluruh kekayaan alam di Indonesia, termasuk hutan (HMN). HMN
yang juga dianut oleh UU Kehutanan dijadikan justifikasi untuk menguasai seluruh kawasan
hutan yang ditunjuk secara sepihak, termasuk di dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat
hukum adat. Huma menemukan fakta-fakta lapangan mengenai dampak-dampak penerapan
UU Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya, Diantaranya :

a. Putusnya Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Hutan

Karena hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi kawasan hutan negara,
maka negara memiliki kewenangan untuk membuat aturan di atasnya. Termasuk aturan
yang membatasi dan bahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam
kawasan hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannya memberikan hak kepada
orang atau badan hukum tertentu untuk mengambil manfaat atas hasil hutan.
Pembatasan, pelarangan atau bahkan pengusiran masyarakat hukum adat dari kawasan
hutan berawal dari kewenangan ini. Di dalam kawasan pelestarian alam dan kawasan
suaka alam, pada zona dan blok tertentu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun,
sementara pada zona dan blok lain hanya diperbolehkan melakukan kegiatan tertentu
saja. Pada kawasan yang telah dibebani izin atau hak, pemerintah memberikan hak
kepada pemegang izin atau hak untuk melarang setiap orang yang memanfaatkan
kawasan tersebut tanpa seizin pemegang izin atau hak tersebut.

Tidak bisa disangkal bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakat hukum adat
untuk masuk ke dalam kawasan hutan telah memenggal relasi mereka dengan hutan.
9
Dalam bentuk yang sederhana, pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakatj hukum
adat kehilangan akses dalam mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem
Halimun. Pelarangan yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau,
Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Masyarakat di Desa Maholo, Watutau,
Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di Kecamatan Lore Utara, bahkan
dilarang untuk memasuki kebun dan sawahnya.

Kejadian lebih ironis dialami oleh warga Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80-an,
penduduk Nagari ini diperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untuk
menanam pohon pinus. Karena menganggap bahwa lahan yang akan ditanami pinus
tersebut termasuk ke dalam hak ulayat nagari, penduduk pun dengan senang
melakukannya. Lahan yang ditanam mencapai 100 Ha. Ternyata, setelah besar dan siap
panen, penduduk dilarang mengambil kayu tersebut dengan alasan bahwa pohon pinus
tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung.

Larangan memasuki kawasan hutan bukan hanya menghilangkan akses untuk


mengelola hutan tetapi juga menyebabkan punahnya situs-situs budaya. Situs-situs itu
punah karena masyarakat hukum adat tidak bisa lagi merawatnya sejak dilarang
memasuki kawasan hutan seperti yang terjadi di Kampung Banglo, Kecamatan Bastem,
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sementara di sejumlah desa di Kabupaten Donggala
dan Poso, kepunahan situs-situs budaya ditandai dengan kenyataan-kenyataan berikut ini:

1. Hilangnya situs-situs megalith;


2. Rusaknya kuburan-kuburan tua; dan
3. Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua, kuburan leluhur,
tempat-tempat ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan.

Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup (lebensraum)
masyarakat hukum adat, pemisahannya dengan masyarakat hukum adat selalu
menyebabkan perubahan atau pergeseran pada faham, nilai dan tatanan sosial. Faham,
nilai dan tatanan sosial masyarakat lokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan
alam, termasuk hutan. Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama artinya
10
meniadakan sumber lahirnya faham, nilai dan tatanan sosial tersebut. Mengambil hutan
dari mereka identik dengan mengambil faham, nilai dan tatanan sosial mereka. Kini,
masyarakat hukum adat di Melawi (Kalbar) berpotensi meninggalkan faham komunal
mereka yang mengibaratkan rimba sebagai ibu yang mampu menyediakan dan
memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat.

Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka, orientasi nilai juga turut
berubah. Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasi simbolik (misalnya hutan sebagai
Ibu) melainkan komoditas. Begitu juga dengan tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya
hutan. Bila sebelumnya hutan rimba dipandang sebagai milik bersama yang memiliki
fungsi religi dan ekologis, saat ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan
dengan pertimbangan keuntungan ekonomi semata. Bahkan, tanah-tanah yang tidak
berhutan lagi dijual kepada perusahaan kelapa sawit atau kepada perusahaan
pertambangan. Masyarakat dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun
perusahaan hanya menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat
terintegrasi ke dalam budaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka
seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun.

b. Kerusakan Sosial dan Biofisik

Di Kampung Ponti Tapau (Sanggau), kehadiran Hak Pemungutan Hasil Hutan milik
PT. SGB telah mendatangkan sejumlah kerusakan fisik. Diantaranya, sawah masyarakat
jadi tergenang, air sungai tersumbat dan ikan-ikan menjadi punah akibat limbah dan
lumpur. Selain di Kampung Ponti Tapau, kerusakan juga terjadi di Kampung Lanong.
Hutan milik masyarakat kampung ini rusak akibat beroperasinya HTI milik PT.
Pinantara. Di Kabupaten Melawi, kehadiran HPH dan HPHH telah mendatangkan banjir
dan tanah longsor. Pada tahun 1995, banjir dan tanah longsor pernah menimpa dusun
Senempa, Kecamatan Nangga Pinau yang lokasinya tidak jauh dari sungai Melawi dan
sungai Serawai. Di Kabupaten Mamuju Utara (Sulteng) dihantam oleh bencana longsor.
Bukan hanya longsor, Mamuju Utara juga dilanda banjir, pencemaran air, hama tanaman
dan kekurangan air bersih. Kota Samarinda, Melak (Kutai Barat) dan Tenggarong (Kutai
Kertanegara) di Kalimantan Timur, terus diancam banjir oleh luapan Sungai Mahakam.
Kuat dugaan bahwa banjir ini berasal dari praktek pemberian HPHH dan Izin
Pemanfaatan Kayu (IPK), yang cenderung tak terkendali sejak sebagian kewenangan
pemberian izin usaha di bidang kehutanan didesentralisasi kepada pemerintah daerah.
11
Kerusakan biofisik juga berlangsung pada sejumlah tempat di Kabupaten Donggala
dan Mamuju Utara. Kerusakannya muncul dalam bentuk: (i) punahnya bentuk vegetasi
hutan akibat kehadiran HPH dan konversi hutan; (ii) erosi dan banjir; (iii) kesulitan
mendapatkan air bersih; dan (iv) merebaknya hama tanaman. Bukan hanya dilanda oleh
kerusakan bio-fisik, sejumlah tempat di dua kabupaten ini juga mengalami kerusakan
sosial. Pembakaran Ngata Tompu di Kecamatan Sigi Biromaru (Donggala), berikut
pengusiran Orang Tompu dari kampung tersebut, sekaligus telah meruntuhkan bangunan
tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki kaitan dengan hutan. Di
Kabupaten Melawi, pemberian HPHH telah menyulut konflik sesama anggota
masyarakat seperti yang terjadi antara sebagian penduduk Guhung Keruap dengan
penduduk Dusun Bunyau di Kecamatan Menukung. Keduanya terlibat dalam konflik
akibat penerbitan HPHH oleh Bupati Sintang pada tahun 2001.

c. Kemiskinan

Masyarakat yang hutannya diambil paksa dan tidak memiliki lahan lain untuk
diusahakan, akan berubah menjadi penganggur seperti yang berlangsung Kabupaten
Banyumas, Purbalingga dan Pemalang (Jawa Tengah). Terpotongnya akses masyarakat
untuk memanfaatkan hasil hutan telah turut menjadi penyebab kemiskinan. Mayoritas
penduduk, yang ditaksir berjumlah antara 40 – 60 juta jiwa yang tinggal di dalam dan di
sekitar kawasan hutan, digolongkan miskin menurut ukuran pemerintah.

Anehnya, di saat masyarakat marak kembali menggugat hutan mereka yang


dimasukkan ke dalam kawasan hutan negara, UU Kehutanan Baru malah membuat
ketentuan yang memustahilkan berhasilnya gugatan tersebut. Sekalipun UU ini mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat, tapi tidak merumuskan syarat dan
tata cara yang singkat dan sederhana untuk keperluan pengakuan keberadaan dan hak
masyarakat lokal. UU ini hanya mempertahankan ketentuan-ketentuan yang berlaku
sebelumnya. Apabila diminta untuk mengakui keberadaan hutan adat, Departemen
Kehutanan selalu berdalih bahwa prosesnya harus didahului oleh pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat oleh Pemda. Sementara itu, identifikasi keberadaan masyarakat
hukum adat bukanlah kegiatan yang bisa ditemukan nomenklaturnya dalam tugas pokok
12
dan fungsi dinas/badan Pemda serta alokasi pendanaan pembangunan daerah.
Konservatisme dalam syarat dan tata cara pengakuan dalam UU Kehutanan Baru lantas
menyebabkan sengketa klaim antara masyarakat dengan pemerintah dan swasta tidak
pernah padam.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita menjadi
sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat hukum adat
menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. Akibat ketidakjelasan pengaturan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat kekaburan dalam penentuan kriteria
dan unsur pengakuan, maka, keberadaan masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan
hukum apapun dari negara.

Selain itu melihat model pengaturan dalam perundang-undangan dan dampak-dampak


penerapan peraturan pada sektor kehutanan, nampak jelas bahwa sebenarnya keberadaan
hukum masyarakat (hukum) adat serta hak ulayat yang di milikinya sudah di kebiri.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asep Yunan Firdaus. 2007. Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di
Indonesia ?. Makalah. Yogyakarta.

Nugroho, Edy. 2008. Keberadaan Hukum adat di Indonesia.

Wisnu. http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/07/28/kedudukan-hukum-adat-dalam-hukum-
nasional/ diakses pada tanggal 17 mei 2011

http://bimakab.go.id Diakses pada tanggal 18 mei 2011.

Rato, Dominikus. 2014. Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar). Laksbang Justitia:
Surabaya
Haar, Ther. 1980. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita: Jakarta Pusat

14

Anda mungkin juga menyukai