Anda di halaman 1dari 21

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI FE, PROTEIN DAN VITAMIN C

DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA SISWI DI MTSN NGEMPLAK


KABUPATEN BOYOLALI

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1


pada Jurusan Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh :

DESTI FARAHDIBA
J 310 100 019

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

i
iii
iiiii
iiiiv
HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI FE, PROTEIN DAN VITAMIN C DENGAN
KADAR HEMOGLOBIN PADA SISWI DI MTSN NGEMPLAK KABUPATEN
BOYOLALI

Abstrak

Dampak anemia putri yaitu pertumbuhan terhambat, tubuh pada masa


pertumbuhan mudah terinfeksi mengakibatkan berkurangnya semangat belajar
dan prestasi menurun. Rendahnya status besi (Fe) mengakibatkan anemia dengan
gejala pucat, lelah, sesak nafas, dan kurang nafsu makan serta gangguan
pertumbuhan. Asupan protein dalam tubuh sangat membantu penyerapan zat besi,
maka dari itu protein bekerja sama dengan rantai protein mengangkut elektron
yang berperan dalam metabolisme energi. Selain itu vitamin C dalam tubuh
remaja harus tercukupi karena vitamin C merupakan reduktor, maka di dalam usus
zat besi (Fe) akan dipertahankan tetap dalam bentuk fero sehingga lebih mudah
diserap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, hubungan tingkat konsumsi
Fe, protein, dan vitamin C dengan kadar hemoglobin pada siswi di MTSN
Ngemplak Kabupaten Boyolali. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan
metode crosssectional, dengan jumlah sampel sebanyak 51 responden.
Pengambilan sampel menggunakan teknik Kuota Sampling. Data Kadar
hemoglobin yang diperoleh dari pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas
laboratorium dan di uji kenormalan data menggunakan kolmogorov smirnov
untuk data tingkat asupan fe, protein dan vitamin C dan di uji perbedaan dengan
Rank Spearman.Hasil univariat diperoleh siswi MTSN Ngemplak Kabupaten
Boyolali yang memiliki kadar hemoglobin tergolong anemia sebesar 64,7%. Hasil
bivariat menunjukkan hubungan tingkat konsumsi Fe dengan kadar hemoglobin
dengan nilai sig 0,000, hubungan tingkat konsumsi protein dengan kadar
hemoglobin nilai sig 0,000,konsumsi vitamin C dengan kadar hemoglobin dengan
nilai sig 0,003. Terdapat hubungan antara tingkat konsumsi Fe, protein, dan
vitamin C dengan kadar hemoglobin pada siswi di MTSN ngemplak Kabupaten
Boyolali.
Kata kunci: anemia, tingkat konsumsi Fe, protein, vitamin C, kadar hemoglobin

Abstract

Impact of anemia on daughters is that growth is inhibited, the body during times
of easy infection can result in reduced learning enthusiasm and decreased
performance. The low status of iron causes anemia with pale symptoms, fatigue,
shortness of breath, and lack of appetite and impaired growth. The intake of
protein in the body greatly helps the absorption of iron, so proteins work in
conjunction with protein chains that carry electrons that play a role in metabolism
energy. In addition, vitamin C in adolescents must be fulfilled because vitamin C
is a reducing agent, so iron will be retained in ferrous form so that it is more easily
absorbed. This study aims to determine the relationship between consumption
levels of Fe, protein, and vitamin C with hemoglobin levels in female students at

1
MTSN Ngemplak, Boyolali Regency. This type of research is observational with
cross-sectional method, with total sample of 51 respondents. Sampling uses the
Quota Sampling technique. Data on hemoglobin levels obtained from
examinations carried out by laboratory officers and normality of the data were
tested using kolmogorov smirnov for data on levels of fe, protein and vitamin C
intake and tested differences with Rank Spearman. The results of the univariate
were obtained by the Ngemplak MTSN student in Boyolali Regency who had an
anemia hemoglobin level of 64.7%. Bivariate results showed a correlation
between Fe consumption level and hemoglobin level with a sig value of 0,000, the
relationship between protein consumption level and hemoglobin level sig 0,000,
consumption of vitamin C with hemoglobin level with sig 0,003. There is a
relationship between the level consumption of Fe, protein, and vitamin C with
hemoglobin levels in students at MTSN ngemplak Boyolali Regency.

Keywords: anemia, level consumption of Fe, protein, vitamin C, hemoglobin


level

1. PENDAHULUAN
Masa remaja sangat membutuhkan zat gizi yang memadai seperti kecukupan
energi, protein, lemak dan zat gizi lainnya. Zat gizi tersebut akan mempengaruhi
kematangan sosial pada remaja (Soetjiningsih, 2010). Selama masa ini terjadi
pertumbuhan yang sangat pesat, yang ditandai dengan perubahan fisik remaja,
hormonal, kognitif dan emosional.Perubahan – perubahan ini memerlukan energi
dan zat gizi yang tinggi sehingga sangat mempengaruhi kebutuhan gizi dari
makanan yang dikonsumsinya (Marmi, 2013).
Masalah gizi remaja merupakan kelanjutan dari masalah gizi pada usia anak
yang salah satunya anemia. Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia. Dampak anemia pada remaja putri yaitu pertumbuhan terhambat, tubuh
pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi mengakibatkan berkurangnya semangat
belajar dan prestasi menurun.rendahnya status besi (Fe) mengakibatkan anemia
dengan gejala pucat, lelah, sesak nafas, dan kurang nafsu makan serta gangguan
pertumbuhan (Barasi, 2009).
Penyebab anemia antara lain, defisiensi asupan gizi dari makanan (zat besi,
asam folat, protein, vitamin C, vitamin A, seng dan vitamin B12), adanya zat
penghambat penyerapan besi dari yang berasal dari makanan, penyakit infeksi,
melabsorbsi, dan pendarahan juga dipengaruhi faktor biologis seperti, menstruasi

2
tiap bulan, kehamilan, melahirkan, dan masa nifas (Prayitno dan Fadhilah, 2012).
Kekurangan zat besi (Fe) dalam makanan sehari-hari dapat menimbulkan
kekurangan darah yang dikenal sebagai anemia gizi besi (AGB). Asupan protein
dalam tubuh juga dapat membantu penyerapan zat besi, protein juga bekerja sama
dengan rantai protein mengangkut elektron yang berperan dalam metabolisme
energi. Selain itu vitamin C dalam tubuh remaja harus tercukupi karena vitamin C
merupakan reduktor di dalam usus zat besi (Fe) akan dipertahankan tetap dalam
bentuk fero sehingga lebih mudah diserap (Muchtadi, 2009).
Data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2008
mengungkapkan prevalensi anemia defisiensi remaja putri (15-19 tahun) sebesar
26,5% dan wanita usia subur sebesar 26,9%. Menurut riset kesehatan dasar tahun
2013 prevalensi anemia di Indonesia sebesar 23,9%, sedangkan prevalensi anemia
umur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan remaja putri umur 15-25 tahun sebesar
18,4%.
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin di MTSN Ngemplak Boyolali yang
dilakukan oleh petugas laboratorium kesehatan Puskesmas ngemplak, pada tahun
2016 didapat siswi putri yang menderita anemia sebesar 33,48%. Permasalahan
ini melebihi prevalensi anemia nasional RISKESDAS 2013 yaitu 26,4 %. Hasil
survey pendahuluan terhadap 32 siswi di peroleh konsumsi protein dan zat besi
termasuk dalam kategori kurang masing-masing sebesar 77% dan 97%.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “ Hubungan Tingkat Konsumsi Fe,Protein dan Vitamin C dengan
Kadar hemoglobin Remaja Putri di MTSN Ngemplak Boyolali”. Tujuan umum
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat konsumsi Fe, protein,
dan vitamin C pada siswi di MTSN Ngemplak Boyolali.

2. METODE
Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan menggunakan pendekatan cross
sectional dimana variable independen dan dependen diukur dan diamati pada saat
bersamaan. Penelitian ini dilaksanakan di MTSN Ngemplak Boyolali. Populasi
dalam penelitian ini berjumlah 95 dengan jumlah sampel 51 siswa. Pengambilan

3
sampel menggunakan metode Simple Random Sampling yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan metode cyanmethemoglobin
yang di bantu oleh petugas laboratorium Gizi Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Data kadar hemoglobin kemudian dikategorikan menjadi anemia (jika
kadar hb ≥12 gr/dl) dan tidak anemia (jika kadar hb <12 gr/dl). Selanjutnya data
tingkat konsumsi Fe, protein dan vitamin C diambil menggunakan metode recall
24 jam selama tiga hari tidak berturut-turut. Data yang diperoleh masing-masing
akan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan yaitu untuk
tingkat konsumsi Fe 26 mg, protein 69 gram, dan vitamin C 65 mg. Selanjutnya
tingkat asupan Fe, protein, dan vitamin C reponden dikatakan kurang jika asupan
<80% dari AKG, baik jika asupan 80%-110% dari AKG, lebih jika asupan >110%
dari AKG. Uji kenormalan data menggunakan Kolmogorov Smirnov. Analisis
bivariat menggunakan uji perbedaan uji Rank Spearman.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Distribusi Karakteristik Umur Responden
Penelitian ini dilakukan di MTSN Ngemplak Boyolali pada bulan
September 2018. Responden dalam penelitian ini adalah remaja putri di
MTSN Ngemplak Kabupaten Boyolali yang berjumlah 51 responden.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh karakteristik responden sebagai
berikut:
Tabel 1
Distribusi Karakteristik Umur Responden
Umur Jumlah Persentase
(Tahun) (n) (%)
13 28 54,9
14 23 45,1
Total 51 100

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden


berumur 13 tahun yaitu sebesar 54,9%, sedangkan responden yang
berusia 14 tahun sebesar 45,1%. Umur 13-15 tahun merupakan dalam

4
kategori remaja awal dan 16-18 tahun merupakan masa remaja akhir.
Pada usia tersebut kebutuhan dan kecukupan gizi pada remaja sangatlah
penting, dengan gizi yang seimbang maka dapat memberikan berbagai
manfaat diantaranya membantu konsentrasi belajar, beraktivitas,
bersosialisasi, untuk kesempurnaan fisik dan tercapai kematangan fungsi
seksual (Kemenkes, 2013).
3.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Fe
Asupan Fe pada penelitian ini diukur menggunakan metode Food
recall 24 jam selama 3 hari tidak berturut-turut. Prinsip dari metode
recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (kemarin).
Berdasarkan pengumpulan data yang telah dilakukan, distribusi
responden berdasarkan tingkat konsumsi Fe dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Fe
Presentase
Kategori Frekuensi
(%)
Kurang 40 78.4
Baik 11 21.6
Total 51 100

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar


responden memiliki tingkat konsumsi Fe dalam kategori kurang (<80%
dari angka kecukupan gizi) yaitu sebesar 78,4%, sedangkan responden
yang memiliki tingkat konsumsi Fe dalam kategori cukup (80%-110%
dari angka kecukupan gizi) yaitu sebesar 21,6%. Fungsi utama dari zat
besi adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan
mengangkut elektron di dalam proses pembentukan energi di dalam sel.
Untuk mengangkut oksigen, zat besi harus bergabung dengan protein
dan membentuk hemoglobin di dalam sel darah merah dan myoglobin di
dalam serabut otot. Bila bergabung dengan protein di dalam sel, zat besi
membentuk enzim yang berperan di dalam pembentukan energi di dalam
sel (Efran, 2013).

5
Asupan zat besi yang kurang pada penelitian ini disebabkan karena
responden mengkonsumsi dalam jumlah sedikit sumber makanan yang
mengandung zat besi baik heme dan non heme. Menurut Food Recall 24
jam selama 3 haei tidak berturut-turut, diperoleh bahwa responden lebih
suka jajan dari pada makan nasi dan lauk pauk serta sayur. Responden
juga sering melewatkan waktu makan siang. Jajanan yang paling sering
dikonsumsi di sekolah adalah siomay, pentol, bakso goreng, minuman
kemasan dan makanan ringan seperti wafer.
Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan food recall 24
jam selama 3 hari tidak berturut-turut, diperoleh bahwa responden yang
mengkonsumsi sumber zat besi tempe sebesar (100%), tahu (54,90%),
bayam (56,86%), brokoli (29,41%), telur (68,63%), daging ayam
(41,17%), ikan (35,29%), kangkung (37,25%), hati ayam (13,72%) dan
kacang merah (27,45%). Kebanyakan responden kurang mengkonsumsi
makanan yang berasal dari sumber heme (bahan pangan hewani)
dibanding sumber non heme (bahan pangan nabati). Hal ini dikarenakan
bahan makanan sumber non heme seperti tempe dan tahu goreng
tergolong murah dan mudah di dapatkan untuk menu hidangan sehari-
hari.
3.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein
Protein merupakan zat yang paling penting dalam setiap organisme.
Protein selain berfungsi sebagai zat pembangun dalam tubuh protein
juga berfungsi sebagai penyokong berbagai aktivitas organ tubuh dan
metabolisme (Ellya, 2010). Tingkat konsumsi protein responden dalam
penenlitian ini diukur menggunakan metode Food recall 24 jam. Hasil
distribusi responden berdasarkan tingkat konsumsi protein dapat dilihat
pada Tabel 3.

6
Tabel 3
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein
Presentase
Kategori Frekuensi
(%)
Kurang 31 60.8
Baik 20 39.2
Total 51 100

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden


mengkonsumsi protein dalam kategori kurang (<80% dari angka
kecukupan gizi) yaitu sebesar 60,8%. Protein merupakan zat gizi yang
sangat penting bagi tubuh karena selain berfungsi sebagai sumber energi
dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Protein berperan penting dalam transportasi zat besi dalam tubuh.
Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transformasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan food recall 24
jam selama 3 kali tidak berturut-turut kepada responden diperoleh
responden yang mengkonsumsi tempe sebesar (100%), telur (68,63%),
tahu (54,90%), daging ayam (41,17%), telur puyuh (13,72%), ikan
(35,29%), kangkung (37,52%), kacang panjang (74,51%), daun papaya
(31,37%). Berdasarkan kebutuhan angka kecukupan gizi atau (AKG)
2013 yang dianjurkan untuk orang Indonesia per orang/hari, kebutuhan
protein pada remaja putri atau wanita usia 13-15 tahun adalah 69 gram
(Kemenkes, 2013).
3.4 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Vitamin C
Vitamin C mempunyai peranan penting dalam proses penyerapan zat
besi. Konsumsi vitamin C sebesar 200 mg lebih dalam sehari akan
meningkatkan penyerapan zat besi (Almatsier, 2009). Pada penelitian ini
tingkat konsumsi vitamin C diukur dengan menggunakan metode Food
recall 24 jam, sama dengan metode yang digunakan untuk mengukur
tingkat konsumsi Fe dan juga protein. Berdasarkan penelitian yang telah

7
dilakukan, distribusi responden berdasarkan tingkat konsumsi vitamin C
dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Konsumsi Vitamin C
Presentase
Kategori Frekuensi
(%)
Kurang 25 49,0
Baik 26 51,0
Total 51 100

Sebagian besar responden mengkonsumsi vitamin C dalam


kategori baik (80%-110% dari angka kecukupan gizi) yaitu sebesar
51,0%, sedangkan responden yang mengkonsumsi vitamin C dalam
kategori kurang (<80% dari angka kecukupan gizi) yaitu sebesar 49,0%.
Vitamin C berperan penting dalam memindahkan besi dari transferin ke
dalam plasma ke ferritin hati (Almatsier, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan food recall 24
jam selama 3 kali tidak berturut-turut menunjukkan bahwa responden
yang mengkonsumsi makanan sumber vitamin C jambu biji sebesar
(25,49%), jeruk nipis (45,09%), daun singkong (17,65%), kangkung
(37,52%), bayam (56,86%), daun pepaya (31,37%), tomat (23,53%),
brokoli (29,41%), sawi (11,76%) dan kol (39,21%).
Tingkat konsumsi vitamin C responden yang tergolong dalam
kategori kurang dikarenakan responden jarang mengkonsumsi sayur-
sayuran dan sumber makanan vitamin C lainnya setiap hari, sehingga
asupan vitamin C nya tidak dapat terpenuhi sesuai dengan angka
kecukupan gizi yang telah dianjurkan. Angka kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk remaja putri usia 13-18 tahun adalah 65 mg/hari
(Kemenkes RI, 2013).
3.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan parameter yang biasa digunakan untuk
mendeteksi keadaan anemia seseorang. Hemoglobin merupakan

8
senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah (Gandasoebrata,
2009). Kadar hemoglobin pada penelitian ini diukur menggunakan
metode cyanmethemoglobin yang kemudian hasilnya akan
dibandingkan dengan kadar hemoglobin menurut umur dan jenis
kelamin dari WHO (2004).
Tabel 5
Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Hemoglobin
Presentase
Kategori Frekuensi
(%)
Normal 18 35,3
Anemia 33 64,7
Total 51 100

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa responden sebagian besar


memngalami anemia yaitu sebesar 64,7%, sedangkan responden yang
memiliki kadar hemoglobin dalam kategori normal yaitu sebesar
35,3%. Angka kejadian anemia ini cukup tinggi jika dibandingkan
dengan prevalensi anemia nasional berdasarkan Riskesdas (2013) yaitu
sebesar 26,4%. Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar
hemoglobin (Hb) lebih rendah dari nilai normal. Batasan normal kadar
hemoglobin untuk remaja putri usia 13-15 tahun adalah 12 gr/dl (WHO,
2004).
Kadar hemoglobin merupakan parameter yang paling mudah
digunakan dalam menentukan status anemia pada skala luas. Secara
umum penyebab anemia defisiensi besi adalah kehilangan darah secara
kronis, asupan zat besi yang tidak cukup dan penyerapan yang tidak
adekuat dan peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan
sel darah merah, yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan bayi,
masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui (Arisman, 2010).
Anemia pada remaja akan berdampak pada menurunnya aktivitas
kerja ataupun kemampuan akademis di sekolah, karena tidak adanya
gairah belajar dan konsentrasi terganggu. Anemia juga dapat

9
menganggu pertumbuhan dimana tinggi dan berat badan menjadi tidak
sempurna. Selain itu, daya tahan tubuh akan menurun sehingga mudah
terserang penyakit. Anemia juga dapat menyebabkan menurunnya
produksi energi dan akumulasi laktat dalam otot (Poltekes Depkes
Jakarta, 2012).
3.6 Hubungan Tingkat Konsumsi Fe dengan Kadar Hemoglobin pada
Siswi di MTSN Ngemplak Boyolali
Asupan zat besi yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh dalam
pembentukan sel darah, akan mengakibatkan terjadinya anemia. Hasil
distribusi tingkat konsumsi Fe berdasarkan kadar hemoglobin dan
analisis hubungan tingkat konsumsi Fe dengan kadar hemoglobin pada
siswi di MTSN Ngemplak Boyolali masing-masing dapat dilihat pada
Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6
Distribusi Tingkat Konsumsi Fe Berdasarkan Kadar Hemoglobin
Tingkat Konsumsi Fe Total
Kadar
Kurang Baik
Hemoglobin
(n) (%) (n) (%) (n) (%)
Normal 8 44,4 10 55,6 18 100
Anemia 32 97,0 1 3,0 33 100
Total 40 78,4 11 21,6 51 100

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa responden yang tergolong


anemia dan memiliki tingkat konsumsi Fe kurang sebesar 97,0%,
sedangkan responden yang memiliki kadar hemoglobin normal dan
memiliki tingkat konsumsi Fe baik sebesar 55,6%.
Tabel 7
Hubungan Tingkat Konsumsi Fe degan Kadar Hemoglobin
pada Siswi di MTSN Ngemplak Boyolali
N Min Max Mean ±SD p R
Tingkat
51 32,71 92,12 59,51±16,98
konsumsi Fe 0,000 0,536
Kadar Hb 51 9,14 14,16 10,99±1,44
*Uji Rank Spearman

10
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi Fe
memilikii nilai minimum 32,71, nilai maksimum 92,12 dan nilai rata-
rata 59,51±16,98. Hasil Uji Rank Spearman diperoleh nilai p=0,000 (p <
0,05) yang berarti Ho ditolak, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat
hubungan tingkat konsumsi Fe dengan kadar hemoglobin pada siswi di
MTSN Ngemplak Boyolali. Kekuatan hubungan ditunjukkan dengan
nilai R atau Correlation Coefficient sebesar 0,536. Hal ini berarti
hubungan antar variabel adalag sedang dan bersifat positif atau searah
yaitu semakin besar tingkat konsumsi Fe maka semakin besar kadar
hemoglobin.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Denistikasari (2016) yang
mengatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara asupan zat besi
dengan kejadian anemia. Penelitian Arifin dkk (2013), juga
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan anatara asupan zat besi
(Fe) dengan kadar hemoglobin. Begitu juga menurut Permaesih dan
Herman (2005), yang mengatakan bahwa faktor utama penyebab anemia
adalah asupan zat besi yang kurang, dengan sekitar dua per tiga zat besi
dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin.
Asupan zat besi memiliki peranan penting dengan kejadian anemia.
Jika asupan zat besi baik maka kadar hemoglobin baik maka tidak
mengalami anemia (Setijowati, 2012). Keterkaitan zat besi dengan kadar
hemoglobin bahwa zat besi merupakan komponen utama yang
memegang peranan penting dalam pembentukan darah yaitu mensintesis
hemoglobin. Anemia besi ditunjukkan dengan kadar hemoglobin dan
serum feritin yang turun di bawah normal, serta naiknya Transferin
reseptor (TfRs) (Susiloningtyas, 2004).
Taraf gizi besi bagi seseorang sangat dipengaruhi oleh jumlah
konsumsinya melalui makanan, bagian yang diserap melalui saluran
pencernaan, cadangan zat besi dalam jaringan, kebutuhan tubuh dan
ekskresi (Adriani dan Bambang, 2012). Kekurangan zat besi selain dapat
menimbulkan turunnya kadar hemoglobin juga dapat menimbulkan

11
gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel
otak, bahkan penderita kekurangan zat besi akan mengalami penurunan
daya tahan tubuh (Linder, 2009).
Allah berfirman: (QS. An-
Nahl: 5) Artinya: “Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untuk kamu,
padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan
sebagiannya kamu makan”. Dalam surat ini menjelaskan makna bahwa
daging hewan mengandung berbagai manfaat dan zat gizi serta dapat
menghindarkan dari berbagai penyakit yang salah satunya adalah
kandungan zat gizi mikromineral Fe (zat besi). Kekurangan konsumsi
zat besi dapat berdampak pada penyakit anemia. Sebaliknya konsumsi
zat besi yang cukup sesuai dengan angka kecukupan gizi yang
dianjurkan akan membantu mencegah terjadinya anemia.
3.7 Hubungan Tingkat Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin
pada Siswi di MTSN Ngemplak Boyolali
Protein berperan penting dalam transportasi zat besi dalam tubuh.
Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transformasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Hasil distribusi tingkat
konsumsi protein berdasarkan kadar hemoglobin dan analisis hubungan
tingkat konsumsi protein dengan kadar hemoglobin pada siswi di MTSN
Ngemplak Kabupaten Boyolali masing-masing dapat dilihat pada Tabel
8 dan Tabel 9.

Tabel 8
Distribusi Tingkat Konsumsi Protein Berdasarkan Kadar Hemoglobin
Tingkat Konsumsi Protein Total
Kadar
Kurang Baik
Hemoglobin
(n) (%) (n) (%) (n) (%)
Normal 2 11,1 16 88,9 18 100
Anemia 29 87,9 4 22,1 33 100
Total 31 60,8 20 39,2 51 100

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki


kadar hemoglobin dalam kategori normal dan memiliki tingkat konsumsi

12
protein baik sebesar 88,9%, sedangkan responden yang tergolong
anemia dan memiliki tingkat konsumsi protein dalam kategori kurang
sebesar 87,9%. Protein terutama protein hewani seperti daging dan ikan
dapat membantu meningkatkan penyerapan zat besi terutama besi non
heme (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Tabel 9
Hubungan Tingkat Konsumsi Protein degan Kadar Hemoglobin
Pada Siswi di MTSN Ngemplak Boyolali
N Min Max Mean ±SD P R
Tingkat
konsumsi 51 48,91 104,51 75,97±15,45
0,000 0,474
Protein
Kadar Hb 51 9,14 14,16 10,99±1,44
*Uji Rank Spearman

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi protein


memilikii nilai minimum 45,62, nilai maksimum 102,45 dan nilai rata-
rata 74,48±14,64. Hasil Uji Rank Spearman diperoleh nilai p=0,000 (p <
0,05) yang berarti Ho ditolak, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat
hubungan tingkat konsumsi protein dengan kadar hemoglobin pada siswi
di MTSN Ngemplak Boyolali. Kekuatan hubungan ditunjukkan dengan
nilai R atau Correlation Coefficient sebesar 0,474. Hal ini berarti
hubungan antar variabel adalah sedang dan bersifat positif atau searah
yaitu semakin besar tingkat konsumsi protein maka semakin besar kadar
hemoglobin. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Syatriani dan Aryani (2010), yang mengatakan bahwa terdapat hubungan
yang bersifat positif antara asupan protein dengan kejadian anemia.
Penelitian Sartono dan Maesaroh (2007), juga menunjukkan bahwa ada
hubungan tingkat konsumi protein dengan kadar hemoglobin pada
remaja putri di ponpes Aribatul Semarang.
Kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transformasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi dan kekurangan kadar
hemoglobin. Absorpsi besi yang terjadi di usus halus dibantu oleh alat
angkut protein yaitu transferin dan feritin. Transferin mengandung besi

13
berbentuk ferro yang berfungsi mentranspor besi ke sumsum tulang
untuk pembentukkan hemoglobin (Almatsier, 2011).
Allah berfirman: (QS. An-Nahl:
14) Artinya: “Dan Dia-lah yang menundukkan lautan (untukmu), agar
kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya”. Dalam surat
ini menjelaskan bahwa kita dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan karena
pada ikan terdapat banyak kandungan zat gizi yang baik untuk kesehatan
seperti protein. Ikan merupakan bahan makanan yang mengandung
protein tinggi dan baik untuk kesehatan.
3.8 Hubungan Tingkat Konsumsi Vitamin C dengan Kadar Hemoglobin
pada Siswi di MTSN Ngemplak Boyolali
Vitamin C juga memiliki peranan membantu penyerapan zat besi.
Absorbsi besi dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat bila
ada vitamin C. Hasil distribusi tingkat konsumsi vitamin C berdasarkan
kadar hemoglobin dan analisis hubungan tingkat konsumsi vitamin C
dengan kadar hemoglobin pada siswi di MTSN Ngemplak Kabupaten
Boyolali masing-masing dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10
Distribusi Tingkat Konsumsi Vitamin C Berdasarkan Kadar Hemoglobin
Tingkat Konsumsi Vitamin C Total
Kadar
Kurang Baik
Hemoglobin
(n) (%) (n) (%) (n) (%)
Normal 4 22,1 14 77,8 18 100
Anemia 21 63,6 12 36,4 33 100
Total 25 49,0 26 51,0 51 100

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa responden yang tergolong


anemia dan memiliki tingkat konsumsi vitamin C kurang sebesar 63,6%,
sedangkan responden yang memiliki kadar hemoglobin normal dan
memiliki tingkat konsumsi vitamin C dalam kategori baik sebesar
77,8%.

14
Tabel 11
Hubungan Tingkat Konsumsi Vitamin C degan Kadar Hemoglobin
Pada Siswi di MTSN Ngemplak Kabupaten Boyolali
N Min Max Mean ±SD P R
Tingkat
konsumsi 51 45,62 102,45 74,48±14,64
0,003 0,409
Vitamin C
Kadar Hb 51 9,14 14,16 10,99±1,44
*Uji Rank Spearman

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi


vitamin C memiliki nilai minimum 45,62, maksimum 102,45 dan rata-
rata 74,48±14,64. Hasil Uji Rank Spearman diperoleh nilai p=0,003 (p <
0,05) yang berarti Ho ditolak, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat
hubungan tingkat konsumsi vitamin C dengan kadar hemoglobin pada
siswi di MTSN Ngemplak Boyolali. Kekuatan hubungan ditunjukkan
dengan nilai R atau Correlation Coefficient sebesar 0,409. Hal ini berarti
hubungan antar variabel adalah sedang dan bersifat positif atau searah
yaitu semakin besar tingkat konsumsi vitamin C maka semakin besar
kadar hemoglobin. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Choiriyah (2015) dan Suria (2017) yang mengatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi vitamin C
dengan kadar hemoglobin.
Vitamin C juga berperan dalam memindahkan besi dari transferin di
dalam plasma ke ferritin dan juga menghambat pembentukan
hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila
diperlukan (Almatsier, 2003). Selain itu. vitamin C juga bertindak
sebagai enhancer yang kuat dalam mereduksi ion ferri menjadi ion ferro,
sehingga mudah diserap dalam pH lebih tinggi dalam duodenum dan
usus halus (Almatsier, 2003).
Allah berfirman dalam surat Abasa (80) ayat 28 artinya
dan anggur dan sayur-sayuran, ayat 29 artinya dan zaitun dan
pohon kurma, ayat 30 artinya dan kebun-kebun (yang)
rindang, ayat 31 artinya dan buah-buahan serta rerumputan.
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa makanan mengandung

15
banyak zat gizi seperti buah dan syur-sayuran yang banyak mengandung
vitamin C. Konsumsi vitamin C 200 mg lebih dalam sehari akan
meningkatkan penyerapan zat besi (Proverawati, 2009).
3.9 Keterbatasan Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki keterbatasan
yaitu tidak menggunakan food model pada saat recall asupan makan
sehari-hari.

4. PENUTUP
Tingkat konsumsi Fe pada siswi di MTSN Ngemplak Kabupaten
Boyolali yang tergolong dalam kategori kurang sebesar 78,4%. Tingkat
konsumsi protein pada siswi di MTSN Ngemplak Kabupaten Boyolali yang
tergolong dalam kategori kurang sebesar 60,8%. Tingkat konsumsi vitamin C
pada siswi di MTSN Ngemplak Kabupaten Boyolali yang tergolong dalam
kategori baik sebesar 51,0%. Terdapat hubungan tingkat konsumsi Fe, protein,
vitamin C dengan kadar hemoglobin pada siswi di MTSN Ngemplak
Kabupaten Boyolali.

DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., Wiradmaja, B. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan:
Kencana. Jakarta.
Almatsier, Sunita. 2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi: PT Gramedia Pustaka. Jakarta
Barasi, M. 2009. Ilmu Gizi. Penerjemah: Penerbit Erlangga. Hal 52-53. Jakarta
Choiriyah, EW. 2015. Hubungan Tingkat Asupan Protein, Zat Besi dan Vitamin C
dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri Kelas X dan XI SMAN 1
Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Naskah Publikasi Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Ellya, 2010. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi: Transinfo Media. Hal 30-42,
Jakarta.
Kemenkes RI. 2013. Permenkes RI Nomor 57 Tahun 2013 Tentang Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia: Kemenkes RI.
Jakarta.

16
Linder, M. C. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara
Klinis: UI Press.Jakarta.
Marmi. 2013. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi: Pustaka Pelajar 45-56.
Yogyakarta
Muchtadi, D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi: Alfabeta 25-35. Bandung
Poltekes Depkes Jakarta I. 2012. Kesehatan Remaja: Problem dan Solusinya.:
Salemba Medika. Jakarta.
Permaesih, D. dan Herman, S. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia
pada Remaja. Buletin Penelitian Kesehatan Vol.33 No. 4.
Proverawati dan Misaroh.2009.Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna.
Nuha Medika. Yogyakarta
Soetjiningsih. 2010. Buku Ajar Tumbuh Kembang dan Permasalahannya: Agung
Seto. Jakarta.
Sartono, A dan Maesaroh. 2007. Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Zat Besi
dan Hubungannya dengan Kadar Hb pada Santri Remaja Putri: Program
Stusi S1 Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.
Setijowati, N. 2012. “Pengaruh Karakteristik Ibu dan Konsumsi Pangan Terhadap
Status Anemia pada Ibu Hamil di Puskesmas Dinoyo Kota Malang”.
Jurnal Ilmu Gizi FKUB Vol.2 No.1. Malang.
Susiloningtyas, I. 2004. Pemberian Zat Besi dalam Kehamilan: UNISULA.
Semarang.
Syatriani S, dan Aryani A. 2010. “ Konsumsi Makanan Dan Kejadian Anemia
Pada Siswi Satu SMP Di kota Makassar,” Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Makassar Vol. 4. Makassar
WHO. 2004. Iron Defisiensi Anemia:assessment, prevention, and control. A guide
for programme managers. Geneva: World Health Organization Press.

17

Anda mungkin juga menyukai