Mulyadi) 131
Naskah Diterima: 9 Januari 2019 Naskah Direvisi:6 Februari 2019 Naskah Disetujui:27 Maret 2019
DOI: 10.30959/patanjala.v11i1.483
Abstrak
Artikel ini membincangkan tentara dan maskulinitas melalui film Indonesia kontemporer.
Dua film dianalisis dalam penelitian ini, yaitu Doea Tanda Cinta (2015) dan I Leave My Heart in
Lebanon (2016). Mengacu pada paradigma kajian budaya yang dikemukakan oleh Stuart Hall,
penelitian ini mencoba menempatkan film sebagai teks/wacana budaya yang perlu untuk
dianalisis. Metode yang digunakan adalah metode kajian film yang menganalisis unsur sinematik
dan naratif (histoire dan discourse). Melalui artikel ini dapat diketahui bahwa representasi
maskulinitas tentara dalam film Indonesia kontemporer cenderung dinamis. Film Doea Tanda
Cinta merepresentasikan model maskulinitas normatif yang diasosiasikan dengan hegemoni
terhadap perempuan. Film ini mengangkat ideologi patriarki. Film I Leave My Heart in Lebanon
merepresentasikan model maskulinitas laki-laki peduli (caring masculinity) yang tidak hegemonik
terhadap perempuan.
Kata kunci: tentara, film, representasi, maskulinitas.
Abstract
This article discusses the military and masculinity through contemporary Indonesian films.
Two films were analyzed in this study, namely Doea Tanda Cinta (2015) and I Leave My Heart in
Lebanon (2016). Referring to the cultural study paradigm put forward by Stuart Hall, this study
attempts to place film as a cultural text / discourse that needs to be analyzed. The method used is a
film study method that analyzes cinematic and narrative elements (histoire and discourse).
Through this article, it can be seen that the representation of military masculinity in contemporary
Indonesian films tends to be dynamic. Doea Tanda Cinta film represents a model of normative
masculinity associated with hegemony towards women. This film elevates patriarchal ideology. I
Leave My Heart in Lebanon film represents a caring masculinity model that is not hegemonic to
women.
Keywords: military, film, representation, masculinities.
A. PENDAHULUAN memproduksi film. Sebuah film yang saat
Persentuhan tentara dengan film ini dikenal sebagai tonggak awal film
bukanlah hal baru dalam sejarah film di nasional, Darah dan Doa (1950) karya
Indonesia. Jika dilacak hingga masa awal Usmar Ismail, pada tahap produksinya
kemerdekaan, dapat diketahui bahwa melibatkan tentara Divisi Siliwangi.
tentara pernah ikut ambil bagian dalam Menurut Barker (2011: 47) yang mengutip
132 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148
Kedua, film Doea Tanda Cinta Pasalnya, representasi gender dalam media
(2015) dan I Leave My Heart in Lebanon komunikasi massa jauh lebih sederhana,
(2016) dapat dikatakan berbeda dengan stylish, dan berlebihan daripada dipelajari
film-film tentara yang pernah beredar di melalui interaksi langsung. Untuk itu,
masa Orde Baru dan awal reformasi, di penelitian ini lebih menekankan pada salah
mana film-film pada masa itu cenderung satu ranah dalam paradigma kajian budaya,
menggunakan judul yang kuat kesan yaitu kajian teks atau wacana (discourse)
maskulinnya (misalnya Komando Samber (Saukko, 2003).
Nyawa, Pasukan Berani Mati, Perwira dan Penelitian ini mencoba
Ksatria, Merah Putih, Darah Garuda, mendudukkan film sebagai teks/wacana
Badai di Ujung Negeri). Sementara dua budaya yang perlu untuk dianalisis.
film yang dibahas dalam penelitian ini Mengacu pada pendapat yang
menggunakan kata ―Cinta‖ dan ―Heart‖, dikemukakan Hall (2001: 507-517),
yang mana dua kata tersebut lebih kuat produser media—dalam hal ini film—
kesan femininnya. Ketiga, sejalan dengan menyandikan (proses produksi teks) yang
penggunaan judulnya yang punya kesan menghasilkan makna berdasarkan
lebih feminin, kedua film yang dibahas pemahamannya tentang konteks sosial
dalam penelitian ini juga berjenis drama- tertentu. Kemudian, teks yang dihasilkan
romantis. Film jenis ini belum banyak sampai ke penonton yang
ditemukan dalam film-film tentara di masa mengawasandikan (konsumsi teks)
Orde Baru, yang lebih menonjolkan unsur berdasarkan konteks sosial dan
aksi petualangan. pemahaman mereka sendiri. Konsekuensi
metodologis dari cara pandang ini berarti
B. METODE PENELITIAN film akan dikaji dari dua unsur utama yang
Menurut Heryanto (2017) film membentuknya; sinematik dan naratif
secara metodologis menarik untuk (Turner, 1999). Adapun unsur sinematik
diperhatikan karena film merupakan terdiri atas, sudut kamera, pencahayaan,
kristalisasi atau penegasan apa yang sudah tata suara, editing, dan mise en scene
menjadi norma yang dominan di (Turner, 1999). Unsur naratif terdiri atas:
masyarakat6. Film mungkin tidak (1) cerita (histoire) merupakan isi atau
mencerminkan realita tetapi jelas rantai dari peristiwa (aksi, kejadian), serta
menegaskan norma-norma yang sudah existents (karakter, benda dalam semesta
dominan. Senada dengan pendapat setting); (2) wacana (discourse), yaitu
tersebut, Clark (2004: 113-114), ekspresi, makna di mana isi
sebagaimana ia mengutip pendapat dikomunikasikan (Chatman, 1980: 19).
Connell, menyatakan bahwa dalam Penelitian ini tidak akan secara detil
masyarakat yang secara masif mengupas unsur sinematik, tetapi lebih
menggunakan media komunikasi massa, menekankan analisis pada unsur naratif.
salah satu langkah terbaik untuk Penjelasan unsur sinematik dalam
mempelajari bentuk dominan dari penelitian ini hanya untuk menguatkan
maskulinitas adalah melalui representasi analisis unsur naratif.
media iklan, acara televisi, dan film. Analisis maskulinitas yang akan
dilakukan dalam penelitian ini mengadopsi
6 model penelitian yang dilakukan oleh
Ariel Heryanto, ―Historiografi Indonesia yang
Rasis‖ [Video kuliah umum, Miriam
Peberdy (2011) dalam karyanya
Budihardjo Resource Center (MBRC) FISIP Masculinity and Film Performance. Dalam
Universitas Indonesia, 22 Oktober atau 17 Juli karyanya itu, Peberdy (2011: 4) memahami
2017. maskulinitas sebagai citra yang
https://www.youtube.com/watch?v=ejEjVA29ll ditunjukkan atau akting dan eksplorasi
s [diakses 2 Mei 2018]
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 135
kehidupan dalam akademi, Bagus dan karakter Bagus dan Mahesa sebagai agen
Mahesa jatuh hati pada Laras (Tika naratif, di mana segala ucapan maupun
Bravani), adik sepupu perempuan dari sang tindakan dari keduanya mengkodekan
senior, Brahmantyo (Rizky Hanggono). gagasan atau ideologi yang dimuat dalam
Tulang punggung film Doea Tanda film. Salah satu gagasan yang bisa
Cinta dibangun oleh dua orang laki-laki; dipungut adalah peran dominan laki-laki
Rick Soerafani sebagai sutradara dan Jujur terhadap bangsa. Dominannya
Prananto sebagai penulis skenario. penggambaran karakter Bagus dan Mahesa
Agaknya tidak mengherankan pula jika (laki-laki) dalam film ini, lebih
sudut pandang film ini pun mengambil dari menunjukkan kemampuan laki-laki, pada
sudut pandang laki-laki, yaitu melalui dua khususnya tentara, untuk mengekspresikan
karakter utama, Bagus dan Mahesa. nasionalismenya. Hal ini kontradiktif
Dengan dua orang laki-laki sebagai tokoh dengan terbatasnya penggambaran karakter
utama, film ini sebetulnya berupaya Laras (perempuan) dalam film ini. Ia
menempatkan penonton dalam semesta hanya berperan sebagai karakter
laki-laki, lebih khususnya laki-laki yang pendukung dari dua tokoh utama laki-laki.
juga seorang tentara. Konsekuensinya, Pun demikian, beberapa karakter laki-laki
tentu saja film ini menempatkan yang bukan tentara hanya mendapat porsi
perempuan sebagai objek. Di sisi lain, yang sedikit dalam film ini.
unsur maskulin menjadi lebih nampak; di Menurut McClintock (1995: 354),
mana naratif film cenderung mengisahkan laki-laki berperan sebagai agen nasional
kuatnya persahabatan antara laki-laki (national agency) yang secara aktif
ketimbang menonjolkan unsur roman. memberikan baktinya kepada bangsa. Di
Amir Syarif Siregar (2015)7 dalam sisi lain, perempuan sekadar ditempatkan
ulasannya terhadap film ini pada laman sebagai pembawa simbol bangsa. Ia tidak
Flick Magazine menyebutkan bahwa: berperan aktif selayaknya laki-laki. Sejalan
―[…] sisi romansa dalam jalan dengan pendapat tersebut, Nagel (1998)
cerita film ini terasa begitu dangkal menyatakan bahwa institusi militer
dan hadir begitu datar sehingga merupakan salah satu contoh nyata
bukannya menjadi bagian yang bagaimana institusi negara secara historis
mampu tampil romantis ataupun didominasi oleh laki-laki. Dalam institusi
menyentuh melainkan menjadi militer, maskulinitas dan nasionalisme
distraksi tersendiri bagi perjalanan berartikulasi dengan baik antara satu
kisah persahabatan antara karakter dengan lainnya sebagaimana ia mengutip
Bagus dan Mahesa‖. pendapat Moses yang menyatakan bahwa
Sudut pandang laki-laki dan kuatnya unsur nasionalisme merupakan gerakan yang
maskulin dalam film ini terrefleksikan dari dimulai dan secara paralel melibatkan
naratif film yang cenderung menghindar maskulinitas modern dalam peradaban
dari kesan sentimentil dan melankolik. Barat seabad lalu (Nagel, 1998: 249).
Film ini secara jelas
a. Maskulinitas yang Dibentuk Negara; menggambarkan bagaimana institusi
Laki-Laki Sebagai Agen Nasional negara, khususnya akademi militer
Sudut pandang laki-laki yang didominasi oleh laki-laki. Film ini sama
digunakan dalam film ini menempatkan sekali tidak memberi ruang untuk
merepresentasikan peran perempuan atau
7
tentara perempuan terhadap bangsa. Sivitas
Siregar, Amir Syarif. ―Doea Tanda Cinta‖. akademi di mana Bagus dan Mahesa
Flickmagazine, 27 Mei 2015, dalam belajar, digambarkan hanya terdiri dari
http://flickmagazine.net/news/3016-doeatanda-
laki-laki. Akademi militer yang
cinta.html [diakses 2 Januari 2019].
didomninasi oleh laki-laki ini, dalam film
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 137
dua orang pemuda8 nekad yang begitu Kuldesak (1998), Tato (2001), Gerbang 13
mudah melakukan tindak kekerasan, (2004), Mengejar Matahari (2008), 9
menjadi dua orang taruna terbaik yang siap Naga (2006), Radit dan Jani (2008)
berbakti untuk negara. Pada awal film, (Clark, 2010: 96). Misalnya dalam film
Bagus digambarkan sebagai pemuda Mengejar Matahari digambarkan salah
kampung yang berani berkelahi melawan satu karakter pemuda bernama Damar
preman di lingkungannya. Karena yang mencoba berontak dari struktur
sikapnya itu, Ibunya menyebut Bagus keluarga dan tekanan sosial di lingkungan
sebagai ―sok pahlawan‖ dan ―cari mati‖. kumuh Jakarta. Pemberontakan tersebut ia
Sementara karakter Mahesa dikisahkan artikulasikan melalui kekerasan; tanpa ragu
sebagai pemuda yang reaktif, pemuda yang berkelahi dengan sekelompok preman yang
rela melakukan apa pun demi menggangu di lingkungannya.
mempertahankan apa yang seharusnya Film Doea Tanda Cinta (2015)
menjadi miliknya, sebagaimana ia tanpa justru mengupayakan untuk
ragu memukuli laki-laki yang mencoba ―menormalisasi‖ citra pemuda (laki-laki)
mendekati teman perempuan yang pasca Orde Baru yang identik dengan
dipacarinya. Mengetahui sikap tersebut, pemberontakan dan ketidakteraturan
Ayah Mahesa, Mayjen Yahya, (Clark, 2004), kembali pada keteraturan
mengungkapkan kekesalannya pada sang atau tatanan. Untuk itu, film ini
anak: ―Kamu tuh, otakmu, akal kamu, lebih memperlihatkan pemuda yang memilih
pendek dari tanganmu!‖. Begitu mudahnya menautkan diri dengan struktur, aturan,
karakter Bagus dan Mahesa melakukan dan hierarki ketimbang memelihara rasa
tindak kekerasan pada awal film, pemberontakannya. Secara lebih khusus,
menunjukkan apa yang disebut oleh Clark film ini menegosiasikan kembali
(2010), sebagai recklessness masculinity; representasi laki-laki normatif ala Orde
laki-laki yang nekad, ceroboh, dan Baru. Pasalnya, walaupun sikap nekad dan
cenderung mengabaikan resiko. tindakan kekerasan ditunjukkan oleh
Laki-laki dengan recklessness Bagus dan Mahesa pada awal film, namun
masculinity ini sebetulnya lazim seiring berkembangnya naratif, citra
digambarkan dalam film-film Indonesia di tersebut justru ditekan dan ditransformasi
awal periode 2000-an. Citra tersebut melalui segala praktik pendisiplinan dalam
digunakan untuk menunjukkan laki-laki akademi militer. Dengan lain perkataan,
non-normatif yang berbeda dengan laki- recklessness masculinity dalam film ini
laki ideal versi Orde Baru; yaitu laki-laki bukan digambarkan sebagai model
yang identik dengan stabilitas, maskulinitas yang ideal, melainkan sengaja
kewibawaan, hierarki, dan kontrol diri dimunculkan untuk dipertentangkan
(Clark, 2004; Clark, 2010; Sen, 2009; dengan gagasan maskulinitas normatif
Paramaditha, 2007). Recklessness yang justru diidealisasi dalam film ini.
masculinity ini biasanya diasosiasikan Menurut Nagel (1998: 245) yang mengutip
dengan kemiskinan, ketidakberdayaan dan Moses, maskulinitas normatif disebut juga
amarah, dengan sedikit kepedulian sebagai manly virtues yang meliputi
terhadap konsekuensi diri dan keluarga kemauan keras, kehormatan, keberanian,
sebagaimana ditunjukkan oleh karakter disiplin, daya saing, ketenangan,
laki-laki dalam beberapa film seperti ketabahan, kegigihan, petualang,
kemandirian, yang ditempa dengan
8
Clark (2010: 45) dalam tulisannya yang ketahanan diri, martabat, yang
mengutip pernyataan Day, menjelaskan bahwa mencerminkan maskulin ideal melalui
pemuda merupakan ―the important role of kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
violent male prowess in creating an aura of Dalam naratif film, praktik
male beauty around the postcolonial state‖. pendisiplinan melalui akademi militer
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 139
sudah dinarasikan oleh Bapak Surya dan sedikit memohon dan dengan intonasi yang
diartikulasikan langsung oleh karakter lembut, Satria menjelaskan pada Diah:
Satria. Secara ekplisit gagasan tersebut ―Aku ini prajurit yang sudah bersumpah
diungkapkan oleh Bapak Surya manakala untuk bersedia ditugaskan di mana pun
Satria datang berkunjung untuk dan kapan pun. Dan aku harap kamu
menyatakan rencana penundaan mengerti itu‖. Diah pun melepas Satria
pernikahan, yang direspon negatif oleh Ibu pergi dan berjanji untuk setia
Surya. Menanggapi Ibu Surya yang marah menunggunya pulang.
dan pergi meninggalkan perbincangan, Hal yang paling menarik dibahas
Bapak Surya mengungkapkan pikirannya dari film ini adalah konstruksi maskulinitas
pada Satria: yang digambarkan dalam sosok Satria.
“Sebagai prajurit sejati, kita jangan Meskipun Satria merupakan seorang
takut pada perempuan yang lagi tentara, ia tidak merepresentasikan
ngambek. Jadi tenang saja, nanti maskulinitas normatif yang hegemonik
saya bereskan. Diamkan saja, terhadap wanita, yang lazimnya
jangankan suara teriakan diasosiasikan dengan dominasi dan agresi.
perempuan, dengar suara bom aja Ia justru merepresentasikan apa yang
kita ga takut. [...] Tapi, prajurit disebut oleh Elliot (2014) sebagai laki-laki
sejati juga harus hormat pada peduli (caring masculinity). Sejalan
wanita, betul kan?!‖. dengan peran Pasukan Garuda yang
Sekuen tersebut menunjukkan Bapak digambarkan dalam film sebagai agen
Surya, seorang purnawirawan tentara perdamaian, Satria dan rekan satu
sekaligus seorang kepala keluarga, tidak kompinya dikisahkan turut membantu
mendominasi atau memanfaatkan mengedukasi dan menghibur anak-anak
kuasanya kepada Ibu Surya. Bapak Surya korban perang di Lebanon. Melalui
tetap membiarkan Ibu Surya yang marah tugasnya tersebut, Satria dikisahkan
tanpa memaksakan pendapatnya yang menaruh simpati kepada Rania Mahmoud
justru lebih menerima rencana penundaan dan anak perempuannya, Salma.
pernikahan yang diungkapkan Satria. Dikisahkan Salma mengalami trauma
Bapak Surya memberikan ruang karena menyaksikan ayahnya tewas oleh
berpendapat kepada Ibu Surya meskipun ledakan bom. Dalam film, dikisahkan
Ibu Surya mengutarakan pendapatnya Satria tergerak untuk membantu
dengan marah-marah. Ia tidak hendak memulihkan trauma yang dialami Salma.
menghentikan atau membatasi ekspresi dan Dalam upayanya itu, dengan penuh
pendapat Ibu Surya tersebut. kesabaran, Satria rela melakukan berbagai
Bapak Surya menekankan ―prajurit cara; mulai dari memainkan wayang untuk
sejati juga harus hormat pada wanita”. Salma, memberinya hadiah boneka,
Gagasan yang dikemukakan oleh Bapak mengapresiasi gambar-gambar yang dibuat
Surya inilah yang justru menjadi gagasan Salma, hingga mengajaknya jalan-jalan ke
yang bergema hampir sepanjang film. Beirut. Bentuk kasih sayang Satria
Seperti halnya Bapak Surya, Satria pun terhadap Salma pun terlihat dari keakraban
mengartikulasikan gagasan yang sama. keduanya yang diartikulasikan melalui
Manakala Satria berdebat dengan Diah bahasa tubuh; memeluk, menggendong,
tentang tugasnya ke Lebanon, ia lebih merangkul, dan mencium kening. Apa
mengalah dengan segala argumentasi Diah. yang dilakukan Satria merupakan aktivitas
Pada akhir perdebatan Satria hanya fathering, yaitu aktivitas unik dalam
menekankan persoalan integritasnya rangka melestarikan pemikiran berbagi
terhadap tugas negara. Sebagai seorang pengasuhan (shared parenting). Aktivitas
tentara, Satria tidak memaksa tetapi justru fathering memungkinkan laki-laki
mengharap pengertian dari Diah. Dengan memainkan peranan yang sebelumnya
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 145
4. Website
Heryanto, Ariel. ―Historiografi Indonesia yang
Rasis‖ [Video kuliah umum, Miriam
Budihardjo Resource Center (MBRC)
FISIP Universitas Indonesia, 22 Oktober
atau 17 Juli 2017.
https://www.youtube.com/watch?v=ejEj
VA29lls [diakses 2 Mei 2018].
Matanasi, Petrik. ―Dwipajana dan Film-Film
daripada Soeharto‖. Tirto.id, 23 Februari
2018, dalam https://tirto.id/dwipajana-
dan-film-film-daripada-soeharto-cw53
[diakses 20 April 2018].
________. ―Momentum Politik I Leave My
Heart in Lebanon‖. Tirto id, 9 Desember
2016, dalam https://tirto.id/momentum-
politik-i-leave-my-heart-in-lebanon-
b8PM [diakses, 2 Januari 2019].
Net TV. ―Talk Show Film Doea Tanda Cinta –
Indonesia Morning Show‖ dalam
https://www.youtube.com/watch?v=Kus
HDTpHxzI [diakses 9 Januari 2019]