Anda di halaman 1dari 18

Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M.

Mulyadi) 131

MASKULINITAS TENTARA DALAM SINEMA PASCA


ORDE BARU; ANALISIS NARATIF DOEA TANDA CINTA
(2015) DAN I LEAVE MY HEART IN LEBANON (2016)
MILITARY MASCULINITIES IN POST NEW ORDER CINEMA;
A NARRATIVE ANALYSIS OF DOEA TANDA CINTA (2015) AND I LEAVE MY
HEART IN LEBANON (2016)

Hary Ganjar Budiman


Aquarini Priyatna
R. M. Mulyadi
Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Jln. Raya Bandung Sumedang KM.21
e-mail: hgbudiman@gmail.com, aquarini@unpad.ac.id, r.m.mulyadi@unpad.ac.id

Naskah Diterima: 9 Januari 2019 Naskah Direvisi:6 Februari 2019 Naskah Disetujui:27 Maret 2019

DOI: 10.30959/patanjala.v11i1.483
Abstrak
Artikel ini membincangkan tentara dan maskulinitas melalui film Indonesia kontemporer.
Dua film dianalisis dalam penelitian ini, yaitu Doea Tanda Cinta (2015) dan I Leave My Heart in
Lebanon (2016). Mengacu pada paradigma kajian budaya yang dikemukakan oleh Stuart Hall,
penelitian ini mencoba menempatkan film sebagai teks/wacana budaya yang perlu untuk
dianalisis. Metode yang digunakan adalah metode kajian film yang menganalisis unsur sinematik
dan naratif (histoire dan discourse). Melalui artikel ini dapat diketahui bahwa representasi
maskulinitas tentara dalam film Indonesia kontemporer cenderung dinamis. Film Doea Tanda
Cinta merepresentasikan model maskulinitas normatif yang diasosiasikan dengan hegemoni
terhadap perempuan. Film ini mengangkat ideologi patriarki. Film I Leave My Heart in Lebanon
merepresentasikan model maskulinitas laki-laki peduli (caring masculinity) yang tidak hegemonik
terhadap perempuan.
Kata kunci: tentara, film, representasi, maskulinitas.
Abstract
This article discusses the military and masculinity through contemporary Indonesian films.
Two films were analyzed in this study, namely Doea Tanda Cinta (2015) and I Leave My Heart in
Lebanon (2016). Referring to the cultural study paradigm put forward by Stuart Hall, this study
attempts to place film as a cultural text / discourse that needs to be analyzed. The method used is a
film study method that analyzes cinematic and narrative elements (histoire and discourse).
Through this article, it can be seen that the representation of military masculinity in contemporary
Indonesian films tends to be dynamic. Doea Tanda Cinta film represents a model of normative
masculinity associated with hegemony towards women. This film elevates patriarchal ideology. I
Leave My Heart in Lebanon film represents a caring masculinity model that is not hegemonic to
women.
Keywords: military, film, representation, masculinities.
A. PENDAHULUAN memproduksi film. Sebuah film yang saat
Persentuhan tentara dengan film ini dikenal sebagai tonggak awal film
bukanlah hal baru dalam sejarah film di nasional, Darah dan Doa (1950) karya
Indonesia. Jika dilacak hingga masa awal Usmar Ismail, pada tahap produksinya
kemerdekaan, dapat diketahui bahwa melibatkan tentara Divisi Siliwangi.
tentara pernah ikut ambil bagian dalam Menurut Barker (2011: 47) yang mengutip
132 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

Imanjaya, Divisi Siliwangi bukan hanya Menarik pula untuk dikemukakan


terlibat dalam proses shooting tetapi ikut bahwa di masa Orde Baru, film-film
mendanai produksi film tersebut. Bukan dengan genre perjuangan cukup banyak
hanya itu, plot kisahnya pun menceritakan diproduksi, baik atas sponsor negara
kepulangan Divisi Siliwangi setelah maupun swasta. Beberapa judul film yang
berhasil meredam pemberontakan dapat disebutkan di antaranya; Perawan di
sekelompok pasukan di Yogyakarta. Pada Sektor Selatan (1971), Singa Lodaya
masa kemerdekaan, khususnya manakala (1978), Pasukan Berani Mati (1982),
Presiden Soeharto berkuasa, Divisi Kereta Api Terakhir (1981), Lebak
Siliwangi juga pernah terlibat Membara (1982), Tujuh Wanita dalam
memproduksi film Mereka Kembali (1972) Tugas Rahasia (1983), Hell Raiders
dan Bandung Lautan Api (1974) (Sen, (1985), Komando Samber Nyawa (1985),
2009: 155). dan Soerabaja ’45 (1990). Selain film
Pada masa Orde Baru, sosok-sosok dengan genre perjuangan, ada pula film
tentara pernah ikut dilibatkan dalam drama yang mengangkat kehidupan tentara
membangun institusi perfilman nasional. seperti Perwira dan Ksatria (1991) dan
Ali Murtopo, mantan Jenderal dan sosok Pelangi di Langit Nusa (1992).
kuat dalam aktivitas intelejen Orde Baru, Dapat dikatakan bahwa pada masa
pernah diangkat menjadi menteri Orde Baru, tentara cukup sering
penerangan pada periode 1978 sampai direpresentasikan dalam film. Menariknya,
1982. Pada masa kepemimpinannya, di masa Orde Baru pula, tentara dianggap
Moertopo turut merumuskan regulasi sebagai pihak paling dominan dalam
terkait Badan Sensor film (Sen, 2009). menjaga dan membentuk bangsa ini.
Selain Ali Moertopo, Gufran Dwipajana, Sebagaimana dikemukakan oleh Irawanto
Brigadir Jenderal yang pernah aktif di (2017) dan Sen (2009), bahwa dalam film
media-media pers kedinasan militer, juga perjuangan, kemerdekaan Indonesia lebih
pernah menduduki jabatan direktur Pusat sering dipersepsikan diperoleh dari hasil
Perusahaan Film Negara (PPFN) perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh
(Matanansi, 2018)1. Pada masa para tentara. Pada masa Orde Baru narasi
kepemimpinannya, sejumlah film nasionalisme cenderung lebih melekat
perjuangan yang identik dengan peran- pada figur tentara. Fenomena ini
peran angkatan bersenjata sering sebetulnya secara subtil juga merefleksikan
diproduksi, antara lain: Janur Kuning bagaimana hegemoni maskulin begitu
(1979), Serangan Fadjar (1981), lestari di masa Orde Baru (Clark, 2010).
Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI Dalam konteks budaya Indonesia, institusi
(1987), Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar tentara bukan hanya dianggap mampu
Selatan, Operasi Trisula (1987), dan menormalisasi segala gangguan keamanan,
Djakarta 1966 (1988). Beberapa film tetapi sekaligus mampu menormalisasi
produksi PPFN tersebut, oleh sejumlah penyimpangan sosial, seperti kenakalan
peneliti sering dikaitkan dengan isu remaja maupun penyimpangan gender
kekuasaan, yaitu untuk menekankan peran- normatif (laki-laki feminin). Clark (2010:
peran militer dalam kemerdekaan 15), sebagaiman ia mengutip Boellstorff,
Indonesia, lebih khususnya lagi menyatakan bahwa wacana otoriter,
melegitimasi kekuasaan dan peran maskulinis dan monolitik pada era
Presiden Soeharto (Paramaditha, 2007; Presiden Soeharto tidak toleran terhadap
Sen, 2009; Irawanto, 2017). segala bentuk ancaman tatanan sosial
heteronormatif. Clark (2010: 15) juga
1
―Dwipajana dan Film-Film daripada menjelaskan sebagaimana ia mengutip
Soeharto‖ dalam https://tirto.id/dwipajana- Wieringa, bahwa rezim militer di masa
dan-film-film-daripada-soeharto-cw53, Presiden Soeharto, dibangun atas kuasa
diakses 20 April 2018.
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 133

maskulin yang eksesif, yang terobsesi producers, dan executive producers3.


dengan kontrol dan kepatuhan dari Secara jelas film ini pun mengambil setting
perempuan. akademi taruna di Magelang, dilengkapi
Mengacu pada riwayat persentuhan dengan segala unsur penunjang teknis
tentara dengan film yang pernah terjadi ketentaraan. Produser film Doea Tanda
dalam periode awal kemerdekaan dan Cinta, Alfani Wiryawan, menyatakan
masa Orde Baru, agaknya menarik untuk bahwa dalam pembuatan film, timnya telah
mempertanyakan bagaimana sosok tentara melakukan riset mendalam hingga
direpresentasikan dalam film tentara yang menemui beberapa petinggi Angkatan
diproduksi pasca Orde Baru. Apakah figur Darat seperti Pangkostrad, Kasad, Danjen
tentara dalam film-film pasca Orde Baru Kopassus, Danjen Akademi Militer, dan
masih merepresentasikan maskulinitas Gubernur Akademi Militer4. Adapun film I
yang hegemonik? Ataukah ada pergeseran Leave My Heart in Lebanon (2016)
yang terjadi? diproduksi oleh Tebe Silalahi Pictures,
Untuk menjawab pertanyaan rumah produksi yang dimiliki oleh Letjen
tersebut, artikel ini mencoba membedah Purnawirawan Tiopan Bernhard Silalahi.
gagasan maskulinitas tentara melalui film Film ini diadaptasi dari novel I Leave My
tentara yang diproduksi pasca Orde Baru. Heart in Lebanon yang ditulis oleh Tebe
Adapun film tentara dalam artikel ini Silalahi sendiri. Uniknya, dalam film ini
penulis batasi sebagai film yang turut menampilkan Panglima TNI Jenderal
mengangkat kehidupan tentara, dan tokoh Gatot Nurmantyo dan diresmikan langsung
utamanya dikisahkan sebagai tentara. proses shooting-nya oleh sang jenderal
Dalam kesempatan ini penulis akan (channel youtube Puspen TNI, 1 Agustus
menganalisis dua film dari dua belas film2 2016)5. Sebagaimana dijelaskan oleh
tentara yang pernah dirilis di layar lebar Jenderal Gatot dalam peresmian shooting,
Indonesia dari tahun 2009 hingga 2018. film ini didukung oleh Pasukan
Dua film yang dianalisis adalah Doea Perdamaian Garuda 23, di mana proses
Tanda Cinta (2015) dan I Leave My Heart shooting-nya dilakukan di markas besar
in Lebanon (2016). Dua film ini tidak Indonesian Battalion (Indobatt), Lebanon.
sekadar dipilih secara acak tetapi Dari fakta-fakta tersebut, dapat
berdasarkan beberapa pertimbangan. diasumsikan bahwa kedua film yang
Pertama, kedua film tersebut dibahas dalam penelitian ini turut memuat
melibatkan tentara dalam proses gagasan-gagasan (ideologi) yang hidup
produksinya. Doea Tanda Cinta (2015) dalam institusi militer.
didukung penuh oleh Induk Koperasi
Angkatan Darat (Inkop Kartika) yang
bekerja sama dengan rumah produksi 3
Brigjen TNI Felix Hutabarat, Ketua Umum
Benoa dan Cinema Delapan. Sejumlah Inkop Kartika sekaligus executive produser
jajaran teknis produksi dalam film ini dalam film Doea Tanda Cinta bahkan turut
diduduki langsung oleh anggota TNI, serta mempromosikan film tersebut di
seperti posisi tactical director, associate Indonesia Morning Show Net TV pada 22 Mei
2015.
4
Tribun News. ―Doea Tanda Cinta, Angkat
2
Dua belas film yang dimaksud, yaitu Merah Kisah Siswa Akmil‖ dalam
Putih (2009), Darah Garuda (2010), Hati http://m.tribunnews.com/seleb/2014/10/15/doe
Merdeka (2011), Badai di Ujung Negeri a-tanda-cinta-angkat-kisah-angkat-kisah-
(2011), Tiga Nafas Likas (2014), Toba Dream siswa-akmil, [diakses 18 Desember 2018].
5
(2015), Jenderal Soedirman (2015), Doea Puspen TNI. ―Panglima TNI Resmikan
Tanda Cinta (2015), Di balik 98 (2015), I Shooting Perdana Film I Leave My Heart in
Leave My Heart in Lebanon (2016), Merah Lebanon‖ dalam
Putih Memanggil (2017), dan Jelita Sejuba https://www.youtube.com/watch?v=9qMZdAw
(2018). M7oE&t=287s, [diakses 26 November 2018].
134 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

Kedua, film Doea Tanda Cinta Pasalnya, representasi gender dalam media
(2015) dan I Leave My Heart in Lebanon komunikasi massa jauh lebih sederhana,
(2016) dapat dikatakan berbeda dengan stylish, dan berlebihan daripada dipelajari
film-film tentara yang pernah beredar di melalui interaksi langsung. Untuk itu,
masa Orde Baru dan awal reformasi, di penelitian ini lebih menekankan pada salah
mana film-film pada masa itu cenderung satu ranah dalam paradigma kajian budaya,
menggunakan judul yang kuat kesan yaitu kajian teks atau wacana (discourse)
maskulinnya (misalnya Komando Samber (Saukko, 2003).
Nyawa, Pasukan Berani Mati, Perwira dan Penelitian ini mencoba
Ksatria, Merah Putih, Darah Garuda, mendudukkan film sebagai teks/wacana
Badai di Ujung Negeri). Sementara dua budaya yang perlu untuk dianalisis.
film yang dibahas dalam penelitian ini Mengacu pada pendapat yang
menggunakan kata ―Cinta‖ dan ―Heart‖, dikemukakan Hall (2001: 507-517),
yang mana dua kata tersebut lebih kuat produser media—dalam hal ini film—
kesan femininnya. Ketiga, sejalan dengan menyandikan (proses produksi teks) yang
penggunaan judulnya yang punya kesan menghasilkan makna berdasarkan
lebih feminin, kedua film yang dibahas pemahamannya tentang konteks sosial
dalam penelitian ini juga berjenis drama- tertentu. Kemudian, teks yang dihasilkan
romantis. Film jenis ini belum banyak sampai ke penonton yang
ditemukan dalam film-film tentara di masa mengawasandikan (konsumsi teks)
Orde Baru, yang lebih menonjolkan unsur berdasarkan konteks sosial dan
aksi petualangan. pemahaman mereka sendiri. Konsekuensi
metodologis dari cara pandang ini berarti
B. METODE PENELITIAN film akan dikaji dari dua unsur utama yang
Menurut Heryanto (2017) film membentuknya; sinematik dan naratif
secara metodologis menarik untuk (Turner, 1999). Adapun unsur sinematik
diperhatikan karena film merupakan terdiri atas, sudut kamera, pencahayaan,
kristalisasi atau penegasan apa yang sudah tata suara, editing, dan mise en scene
menjadi norma yang dominan di (Turner, 1999). Unsur naratif terdiri atas:
masyarakat6. Film mungkin tidak (1) cerita (histoire) merupakan isi atau
mencerminkan realita tetapi jelas rantai dari peristiwa (aksi, kejadian), serta
menegaskan norma-norma yang sudah existents (karakter, benda dalam semesta
dominan. Senada dengan pendapat setting); (2) wacana (discourse), yaitu
tersebut, Clark (2004: 113-114), ekspresi, makna di mana isi
sebagaimana ia mengutip pendapat dikomunikasikan (Chatman, 1980: 19).
Connell, menyatakan bahwa dalam Penelitian ini tidak akan secara detil
masyarakat yang secara masif mengupas unsur sinematik, tetapi lebih
menggunakan media komunikasi massa, menekankan analisis pada unsur naratif.
salah satu langkah terbaik untuk Penjelasan unsur sinematik dalam
mempelajari bentuk dominan dari penelitian ini hanya untuk menguatkan
maskulinitas adalah melalui representasi analisis unsur naratif.
media iklan, acara televisi, dan film. Analisis maskulinitas yang akan
dilakukan dalam penelitian ini mengadopsi
6 model penelitian yang dilakukan oleh
Ariel Heryanto, ―Historiografi Indonesia yang
Rasis‖ [Video kuliah umum, Miriam
Peberdy (2011) dalam karyanya
Budihardjo Resource Center (MBRC) FISIP Masculinity and Film Performance. Dalam
Universitas Indonesia, 22 Oktober atau 17 Juli karyanya itu, Peberdy (2011: 4) memahami
2017. maskulinitas sebagai citra yang
https://www.youtube.com/watch?v=ejEjVA29ll ditunjukkan atau akting dan eksplorasi
s [diakses 2 Mei 2018]
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 135

ketika performa nampak, baik secara seorang laki-laki yang menduduki


diskursif maupun sebagai representasi. kedudukan lebih tinggi serta memiliki
Untuk dapat menghasilkan analisis kebijaksanaan, karisma, kekuatan, nilai-
yang tajam terhadap gagasan maskulinitas nilai keluarga, dan penguasaan diri. Model
yang direpresentasi dalam film, penelitian maskulin ala Bapak ini juga relevan dalam
ini meminjam konsep maskulinitas yang institusi militer yang menjunjung tinggi
dijelaskan oleh Clark (2010: 27) hierarki. Menurut Paramaditha (2007),
sebagaimana ia mengutip Connell. model ideal Bapak ini nampak dalam figur
Menurutnya, maskulinitas merangkum militer yang mampu menjadi pemimpin
keragaman dan potensi fluiditas proses yang baik dalam tugas, menjadi bapak
yang terlibat dalam upaya laki-laki yang baik dalam keluarga, dan identik
menjadi laki-laki. Menurut Connell (2005), dengan sosok yang menginternalisasi nilai-
alih-alih mencoba mendefinisikan nilai priayi Jawa sebagaimana
maskulinitas sebagai objek (tipe karakter direpresentasikan dalam film
alami, rata-rata perilaku, dan norma) kita Pengkhianatan G30S/PKI (1987). Model
perlu fokus pada proses dan hubungan di maskulinitas ala Bapak inilah yang
mana pria dan wanita menjalani kehidupan hegemonik di masa Orde Baru (Clark,
yang bergender. 'Maskulinitas', sejauh 2010; Sen, 2009; Irawanto, 2017).
istilah tersebut dapat didefinisikan, sebagai
tempat simultan dalam hubungan gender, C. HASIL DAN BAHASAN
praktik-praktik yang melaluinya pria dan Pembahasan berikut ini akan
wanita terlibat dalam kerangka gender, menguraikan mengenai representasi dan
yang berimplikasi melalui pengalaman konstruksi maskulinitas dari tokoh-tokoh
fisik, kepribadian, dan budaya (Connell, utama (subjek) dalam kedua film—Doea
2005: 71). Masih menurut Connell, Tanda Cinta dan I Leave My Heart In
sebagaimana dikutip oleh Gurkan dan Lebanon—yang sama-sama dikisahkan
Serttas (2017: 403), pemahaman akan sebagai tentara sekaligus sebagai laki-laki.
definisi maskulinitas dalam suatu Untuk dapat menjelaskannya, analisis akan
masyarakat bergantung pada cara yang difokuskan pada bagaimana subjek
berbeda, dalam budaya yang berbeda, dan berproses menjadi laki-laki secara sosial
pada periode yang berbeda. dan kultural yang nampak dalam naratif
Dalam konteks budaya Indonesia, film. Lebih khususnya lagi, analisis akan
model maskulinitas dapat dilacak dari meninjau peran subjek; dalam relasinya
budaya Jawa yang pernah begitu dengan institusi negara, dan relasinya
mendominasi di masa Orde Baru (Clark, dengan perempuan.
2010). Model maskulin dalam budaya
Jawa digambarkan dalam tokoh satria 1. Maskulinitas dalam Doea Tanda
dalam pewayangan (Arjuna, Bima, Cinta
Gatotkaca) (Clark, 2010). Manakala Orde Secara garis besar Film ini
Baru berkuasa, model maskulin ideal mengisahkan kehidupan dua orang pemuda
terrefleksi dalam gambaran keluarga dari latar belakang kelas sosial yang
heteronormatif; Bapak, Ibu, dan anak (Sen, berbeda; Bagus (Fedi Nuril) berasal dari
2009; Clark, 2010). Figur Bapak ini keluarga kelas pekerja yang tinggal di
merujuk pada sosok Presiden Soeharto lingkungan padat penduduk, dan Mahesa
yang sering disebut sebagai Bapak (Rendy Kjarnett), seorang anak dari
Pembangunan. Menurut Shiraishi (2009), Mayjen Yahya (Tio Pakusadewo), elit
Bapak dalam bahasa Indonesia adalah cara militer yang hidup serba berkecukupan.
formal untuk menyebut laki-laki dewasa, Keduanya dikisahkan sama-sama masuk
tetapi dapat diartikan sebagai seorang dalam akademi taruna di Magelang.
ayah, laki-laki yang sudah menikah, atau Seiring dinamika persahabatan dan
136 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

kehidupan dalam akademi, Bagus dan karakter Bagus dan Mahesa sebagai agen
Mahesa jatuh hati pada Laras (Tika naratif, di mana segala ucapan maupun
Bravani), adik sepupu perempuan dari sang tindakan dari keduanya mengkodekan
senior, Brahmantyo (Rizky Hanggono). gagasan atau ideologi yang dimuat dalam
Tulang punggung film Doea Tanda film. Salah satu gagasan yang bisa
Cinta dibangun oleh dua orang laki-laki; dipungut adalah peran dominan laki-laki
Rick Soerafani sebagai sutradara dan Jujur terhadap bangsa. Dominannya
Prananto sebagai penulis skenario. penggambaran karakter Bagus dan Mahesa
Agaknya tidak mengherankan pula jika (laki-laki) dalam film ini, lebih
sudut pandang film ini pun mengambil dari menunjukkan kemampuan laki-laki, pada
sudut pandang laki-laki, yaitu melalui dua khususnya tentara, untuk mengekspresikan
karakter utama, Bagus dan Mahesa. nasionalismenya. Hal ini kontradiktif
Dengan dua orang laki-laki sebagai tokoh dengan terbatasnya penggambaran karakter
utama, film ini sebetulnya berupaya Laras (perempuan) dalam film ini. Ia
menempatkan penonton dalam semesta hanya berperan sebagai karakter
laki-laki, lebih khususnya laki-laki yang pendukung dari dua tokoh utama laki-laki.
juga seorang tentara. Konsekuensinya, Pun demikian, beberapa karakter laki-laki
tentu saja film ini menempatkan yang bukan tentara hanya mendapat porsi
perempuan sebagai objek. Di sisi lain, yang sedikit dalam film ini.
unsur maskulin menjadi lebih nampak; di Menurut McClintock (1995: 354),
mana naratif film cenderung mengisahkan laki-laki berperan sebagai agen nasional
kuatnya persahabatan antara laki-laki (national agency) yang secara aktif
ketimbang menonjolkan unsur roman. memberikan baktinya kepada bangsa. Di
Amir Syarif Siregar (2015)7 dalam sisi lain, perempuan sekadar ditempatkan
ulasannya terhadap film ini pada laman sebagai pembawa simbol bangsa. Ia tidak
Flick Magazine menyebutkan bahwa: berperan aktif selayaknya laki-laki. Sejalan
―[…] sisi romansa dalam jalan dengan pendapat tersebut, Nagel (1998)
cerita film ini terasa begitu dangkal menyatakan bahwa institusi militer
dan hadir begitu datar sehingga merupakan salah satu contoh nyata
bukannya menjadi bagian yang bagaimana institusi negara secara historis
mampu tampil romantis ataupun didominasi oleh laki-laki. Dalam institusi
menyentuh melainkan menjadi militer, maskulinitas dan nasionalisme
distraksi tersendiri bagi perjalanan berartikulasi dengan baik antara satu
kisah persahabatan antara karakter dengan lainnya sebagaimana ia mengutip
Bagus dan Mahesa‖. pendapat Moses yang menyatakan bahwa
Sudut pandang laki-laki dan kuatnya unsur nasionalisme merupakan gerakan yang
maskulin dalam film ini terrefleksikan dari dimulai dan secara paralel melibatkan
naratif film yang cenderung menghindar maskulinitas modern dalam peradaban
dari kesan sentimentil dan melankolik. Barat seabad lalu (Nagel, 1998: 249).
Film ini secara jelas
a. Maskulinitas yang Dibentuk Negara; menggambarkan bagaimana institusi
Laki-Laki Sebagai Agen Nasional negara, khususnya akademi militer
Sudut pandang laki-laki yang didominasi oleh laki-laki. Film ini sama
digunakan dalam film ini menempatkan sekali tidak memberi ruang untuk
merepresentasikan peran perempuan atau
7
tentara perempuan terhadap bangsa. Sivitas
Siregar, Amir Syarif. ―Doea Tanda Cinta‖. akademi di mana Bagus dan Mahesa
Flickmagazine, 27 Mei 2015, dalam belajar, digambarkan hanya terdiri dari
http://flickmagazine.net/news/3016-doeatanda-
laki-laki. Akademi militer yang
cinta.html [diakses 2 Januari 2019].
didomninasi oleh laki-laki ini, dalam film
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 137

digambarkan sebagai institusi yang


berfungsi menghasilkan national agency
sebagaimana dijelaskan McClintock
(1993). Dalam perspektif Marxis, akademi
militer ini bisa didudukan sebagai ideology
state apparatus, yang fungsinya
membentuk individu-individu secara
kultural supaya bersesuaian dengan Gambar 2. Long Shot (LS) menunjukkan sepatu
gagasan yang diidealisasikan oleh negara, yang disimpan dengan sangat rapi. Gambar
diambil secara simetris dan teratur.
semisal nasionalisme dan patriotisme.
Sumber: Film Doea Tanda Cinta (2015)
Agar dapat berperan dan menunjukkan
baktinya kepada bangsa (nasionalisme), Dalam salah satu sekuen
maka Bagus dan Mahesa harus menjalani diperlihatkan pula bagaimana para
segala praktik pendisiplinan diri sesuai taruna—termasuk Bagus dan Mahesa—
dengan standar yang ditentukan negara. menunjukkan bentuk ketundukannya pada
Narasi film pun menunjukkan bagaimana praktik pendisiplinan yang dilakukan
secara kultural, kelaki-lakian Bagus dan negara. Secara implisit bentuk ketundukan
Mehesa dibentuk, dikelola, diatur, dan tersebut diucapkan melalui doa sebelum
ditertibkan dengan segala pendisiplinan makan yang terdengar dalam film melalui
tubuh serta mental melalui akademi voice over, seolah itu diikrarkan oleh
militer. Pendisiplinan tersebut secara segenap taruna:
visual dikodekan melalui mise en scene, di ‖Bismillahhirohman nirohim. Ya
mana tubuh laki-laki dan segala atribut Allah, ya Tuhan kami. Puji syukur
yang melekat padanya divisualisasikan kami panjatkan atas yang Engkau
dalam komposisi yang sangat teratur, rapi berikan pada kami malam ini.
dan seragam; mulai dari cara berlatih Kami menyadari bahwa hidangan
mengangkat senjata, berbaris, menyimpan ini merupakan uang dari rakyat.
sepatu, cara makan, hingga cara Oleh karena itu, hal ini
ibadah/sholat berjamaah. Hal ini merupakan pembangkit motivasi
menunjukkan bahwa dalam akademi dari kami untuk lebih giat belajar
militer, segala aktivitas keseharian yang dan berlatih sungguh-sungguh
sangat personal pun turut diatur dan agar kelak dapat menjadi perwira
dibentuk oleh institusi. yang dapat diandalkan”.
Ucapan tersebut menempatkan rasa
syukur kepada Tuhan bersamaan dengan
ikrar pengabdian kepada rakyat (negara).
Jukstaposisi ini seolah ingin menunjukkan
bahwa pengabdian kepada negara yang
diasosiasikan oleh para taruna dengan
―giat belajar dan berlatih sungguh-
Gambar 1. Long Shot (LS) menunjukkan tentara sungguh agar kelak dapat menjadi perwira
berlatih mengangkat senjata. Gambar diambil yang dapat diandalkan”, merupakan
secara simetris dan teratur. praktik yang sakral sekaligus mulia
Sumber: Film Doea Tanda Cinta (2015) layaknya menyatakan ketundukan dan rasa
syukur kepada sang Khalik.
Melalui segala pendisiplinan dalam
akademi militer, Bagus dan Mahesa
digambarkan mampu bertransformasi dari
138 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

dua orang pemuda8 nekad yang begitu Kuldesak (1998), Tato (2001), Gerbang 13
mudah melakukan tindak kekerasan, (2004), Mengejar Matahari (2008), 9
menjadi dua orang taruna terbaik yang siap Naga (2006), Radit dan Jani (2008)
berbakti untuk negara. Pada awal film, (Clark, 2010: 96). Misalnya dalam film
Bagus digambarkan sebagai pemuda Mengejar Matahari digambarkan salah
kampung yang berani berkelahi melawan satu karakter pemuda bernama Damar
preman di lingkungannya. Karena yang mencoba berontak dari struktur
sikapnya itu, Ibunya menyebut Bagus keluarga dan tekanan sosial di lingkungan
sebagai ―sok pahlawan‖ dan ―cari mati‖. kumuh Jakarta. Pemberontakan tersebut ia
Sementara karakter Mahesa dikisahkan artikulasikan melalui kekerasan; tanpa ragu
sebagai pemuda yang reaktif, pemuda yang berkelahi dengan sekelompok preman yang
rela melakukan apa pun demi menggangu di lingkungannya.
mempertahankan apa yang seharusnya Film Doea Tanda Cinta (2015)
menjadi miliknya, sebagaimana ia tanpa justru mengupayakan untuk
ragu memukuli laki-laki yang mencoba ―menormalisasi‖ citra pemuda (laki-laki)
mendekati teman perempuan yang pasca Orde Baru yang identik dengan
dipacarinya. Mengetahui sikap tersebut, pemberontakan dan ketidakteraturan
Ayah Mahesa, Mayjen Yahya, (Clark, 2004), kembali pada keteraturan
mengungkapkan kekesalannya pada sang atau tatanan. Untuk itu, film ini
anak: ―Kamu tuh, otakmu, akal kamu, lebih memperlihatkan pemuda yang memilih
pendek dari tanganmu!‖. Begitu mudahnya menautkan diri dengan struktur, aturan,
karakter Bagus dan Mahesa melakukan dan hierarki ketimbang memelihara rasa
tindak kekerasan pada awal film, pemberontakannya. Secara lebih khusus,
menunjukkan apa yang disebut oleh Clark film ini menegosiasikan kembali
(2010), sebagai recklessness masculinity; representasi laki-laki normatif ala Orde
laki-laki yang nekad, ceroboh, dan Baru. Pasalnya, walaupun sikap nekad dan
cenderung mengabaikan resiko. tindakan kekerasan ditunjukkan oleh
Laki-laki dengan recklessness Bagus dan Mahesa pada awal film, namun
masculinity ini sebetulnya lazim seiring berkembangnya naratif, citra
digambarkan dalam film-film Indonesia di tersebut justru ditekan dan ditransformasi
awal periode 2000-an. Citra tersebut melalui segala praktik pendisiplinan dalam
digunakan untuk menunjukkan laki-laki akademi militer. Dengan lain perkataan,
non-normatif yang berbeda dengan laki- recklessness masculinity dalam film ini
laki ideal versi Orde Baru; yaitu laki-laki bukan digambarkan sebagai model
yang identik dengan stabilitas, maskulinitas yang ideal, melainkan sengaja
kewibawaan, hierarki, dan kontrol diri dimunculkan untuk dipertentangkan
(Clark, 2004; Clark, 2010; Sen, 2009; dengan gagasan maskulinitas normatif
Paramaditha, 2007). Recklessness yang justru diidealisasi dalam film ini.
masculinity ini biasanya diasosiasikan Menurut Nagel (1998: 245) yang mengutip
dengan kemiskinan, ketidakberdayaan dan Moses, maskulinitas normatif disebut juga
amarah, dengan sedikit kepedulian sebagai manly virtues yang meliputi
terhadap konsekuensi diri dan keluarga kemauan keras, kehormatan, keberanian,
sebagaimana ditunjukkan oleh karakter disiplin, daya saing, ketenangan,
laki-laki dalam beberapa film seperti ketabahan, kegigihan, petualang,
kemandirian, yang ditempa dengan
8
Clark (2010: 45) dalam tulisannya yang ketahanan diri, martabat, yang
mengutip pernyataan Day, menjelaskan bahwa mencerminkan maskulin ideal melalui
pemuda merupakan ―the important role of kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
violent male prowess in creating an aura of Dalam naratif film, praktik
male beauty around the postcolonial state‖. pendisiplinan melalui akademi militer
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 139

tidak serta merta diterima oleh Mahesa. Ia


menunjukan resistensi dengan segala
upaya nekad untuk mangkir dari apel rutin,
hingga mencoba kabur dari akademi. Sikap
resisten Mahesa bertolak belakang dengan
Bagus yang menerima begitu saja segala
aturan dan pendisiplinan dalam akademi
militer. Ia digambarkan selalu menjadi
pemimpin dalam kompi, taat Gambar 3. Medium Shot (MS) menunjukkan Bagus
aturan/disiplin, dan tidak pernah dan Mahesa lulus menjadi taruna terbaik
digambarkan mendapat kesulitan dalam Sumber: Film Doea Tanda Cinta (2015)
latihan. Bagus selalu ditampilkan dalam
kendali (in control), yang mana merupakan Rampungnya proses transformasi
atribusi yang lazim diasosiasikan dengan maskulinitas Bagus dan Mahesa yang
maskulinitas normatif. Dapat dikatakan menginternalisasi atribusi maskulinitas
bahwa Bagus merepresentasikan taruna normatif ditunjukkan oleh kedua subjek
ideal sekaligus laki-laki ideal (maskulinitas yang akhirnya, dalam salah satu adegan,
normatif), sementara Mahesa ditetapkan sebagai dua orang taruna
merepresentasikan taruna indisipliner yang terbaik. Melalui adegan tersebut, dapat
nekad dan ceroboh (recklessness dikatakan bahwa subjek yang awalnya
masculinity). Namun demikian, sikap menunjukkan pemberontakan,
resisten Mahesa justru mulai berubah penentangan, dan kecerobohan
manakala ia menjalin persahabatan dengan (recklessness masculinity), akhirnya
Bagus. Atas keterbukaan dan penerimaan menjadi subjek yang sepenuhnya tunduk
dari Bagus untuk menjadi karib, Mahesa dengan standar maskulinitas yang
pun mulai bisa beradaptasi dengan dilestarikan oleh negara. Di saat yang sama
kehidupan dan latihan dalam akademi kedua subjek merampungkan proses
militer. Singkatnya, Mahesa mulai bisa menjadi national agency yang dibentuk
menekan sikap reaktif, nekad, dan ceroboh oleh akademi militer.
yang begitu menonjol ditampilkan pada Namun demikian, paripurnanya
awal film. Unsur persahabatan Bagus dan Mahesa menjadi national
(brotherhoodness) ditampilkan oleh Bagus agency bukan diukur dari sekadar
dan Mahesa menunjukkan atribusi kelulusan mereka sebagai taruna terbaik,
maskulinitas normatif sekaligus melainkan melalui kemampuan mereka
merefleksikan nilai yang diinternalisasi mengartikulasikan nasionalisme/bakti
dalam institusi militer. kepada negara dalam tugas utama mereka
Artibusi maskulinitas normatif pun sebagai tentara. Untuk itu, naratif film pun
akhirnya semakin melekat pada karakter menggambarkan bagaimana Bagus dan
Mahesa, sejalan dengan naratif film yang Mahesa saling bekerjasama menyelesaikan
secara signifikan menunjukkan sebuah misi penyelamatan sandera dari
perkembangan karakternya. Melalui cengkraman sekelompok separatis. Dalam
ketertarikannya pada karakter Laras, sebuah adegan pertempuran yang hampir
Mahesa pun digambarkan semakin klimaks, Mahesa digambarkan
termotivasi untuk membuktikan kelaki- mengorbankan diri demi menghadang
lakiannya, ditandai dengan ia yang kelompok separatis. Melalui adegan dan
semakin menunjukkan kesungguhan dalam musik yang dramatik, tubuh Mahesa
belajar dan berlatih. Pada satu titik, digambarkan tertembak, berdarah dan
Mahesa menunjukkan daya saing dengan terkoyak belati; sebuah simbolisasi
mencoba menandingi Bagus, sang alpha sempurna dari keberanian, pengorbanan,
male, dalam berbagai ujian dan latihan. dan nasionalisme seorang laki-laki. Bagus
140 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

pun menyelesaikan misi, membalaskan Connell dan Messerschmidt (2005:


dendamnya pada kelompok separatis yang 832) menjelaskan bahwa maskulinitas
mengakibatkan Mahesa tewas. Bagus hegemonik dipahami sebagai pola dari
berhasil selamat, namun ia terluka parah. praktik (bukan hanya peran yang
Kembali, tubuh yang terluka dan berdarah diharapkan atau identitas) yang
menjadi penanda pengorbanan dan memungkinkan berlangsungnya dominasi
nasionalisme. Apa yang ditunjukkan oleh laki-laki terhadap wanita. Masih menurut
karakter Mahesa dan Bagus dalam sekuen Connell dan Messerschmidt (2005: 832),
tersebut, merepresentasikan maskulinitas maskulinitas hegemonik dibedakan dengan
normatif dan nasionalisme yang maskulinitas lainnya, terutama
diartikulasikan dengan baik antara satu dan maskulinitas yang subordinat. Maskulinitas
lainnya (Nagel, 1998: 249). hegemonik mewujud dalam cara paling
terhormat untuk menjadi laki-laki, di mana
b. Maskulinitas Hegemonik dan laki-laki diharuskan memposisikan dirinya
Penegasan Femininitas terikat dengan maskulinitas tersebut, dan
Seperti telah disinggung pada awal hal ini secara ideologis dilegitimasi
artikel ini, bahwa film Doea Tanda Cinta melalui subordinasi perempuan terhadap
menggunakan sudut pandang dua tokoh laki-laki (Connell dan Messerschmidt,
utama laki-laki. Konsekuensi dari sudut 2005: 832). Adapun elemen penting dari
pandang ini adalah menempatkan konsep maskulinitas hegemonik ini adalah
perempuan sebagai objek. Melaui sudut keberadaan perempuan sebagai objek
pandang ini, memungkinkan untuk seksual yang potensial bagi laki-laki.
menganalisis relasi laki-laki dan Perempuan menyediakan sebuah validasi
perempuan dalam sebuah hubungan yang bagi laki-laki heteronormatif, dan laki-laki
bergender. saling berlomba untuk mendapatkan
Dikisahkan dalam naratif film validasi tersebut (Donaldson, 1993).
bahwa Bagus dan Mahesa di masa Dengan lain perkataan, gagasan
pesiarnya9 dipertemukan oleh Brahmantyo, maskulinitas hegemonik adalah
senior mereka di akademi, kepada seorang melanggengkan posisi sosial laki-laki yang
perempuan bernama Laras. Bagus dan dominan dan posisi perempuan yang
Mahesa yang bersahabat dekat, sama-sama subordinat.
jatuh hati kepada Laras. Hubungan Menurut Connell (1987) praktik
bergender antara tiga karakter tersebut maskulinitas hegemonik dapat terus
merepresentasikan hubungan yang berlangsung dan menguat karena
hierarkis, di mana laki-laki digambarkan penegasan dari femininitas itu sendiri.
lebih dominan dan hegemonik terhadap Adapun penegasan femininitas
perempuan. Bagus dan Mahesa, dalam (emphasized femininity) merupakan pola
hubungannya dengan Laras femininitas yang berfokus pada kerelaan,
mengartikulasikan maskulinitas yang secara kultural dan ideologis terus
hegemonik. Di sisi lain, karakter Laras didukung (Connell, 1987: 187). Penegasan
dalam naratif film digambarkan sebagai femininitas merupakan pola atau desain
perempuan yang menegaskan besar yang sudah diperbincangkan dalam
femininitasnya (emphasized femininity). institusi dan lingkungan tertentu, misalnya
Konsep maskulinitas hegemonik dan gambaran perempuan yang diasosiasikan
emphasized femininity ditunjukkan dengan dengan keramahan daripada kompetensi
sangat jelas dalam film. Muaranya adalah teknis, perempuan yang rentan dalam
menguatkan posisi dominan laki-laki. pernikahan, kerelaan perempuan terhadap
hasrat laki-laki, dan penerimaan
9
Masa senggang atau bebas bagi taruna, perempuan terhadap pernikahan serta
biasanya di akhir pekan manakala tidak ada perawatan anak (Connell, 1987: 187).
kegiatan belajar.
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 141

Singkatnya, penegasan femininitas adalah perempuan hanya ditempatkan sebagai


gagasan yang mengharuskan perempuan objek yang harus dilindungi atau direbut
memenuhi segala kebutuhan dan hasrat semata. Perempuan, dalam hal ini Laras,
laki-laki. digambarkan nyaris kehilangan
Dalam film Doea Tanda Cinta, kebebasannya untuk menentukan
karakter Laras diposisikan menjadi objek pilihannya sendiri. Ketika ia dilamar oleh
validasi kelaki-lakian Bagus dan Mahesa. Mahesa, yang sebetulnya tidak ia cintai,
Pilihan cinta Laras terhadap salah satu di Laras lebih memilih menunda untuk
antara Bagus dan Mahesa dapat menjadi kemudian mengharapkan Bagus
penanda penegasan atas kelaki-lakian dua menyatakan perasaan cinta pada dirinya.
tokoh utama tersebut. Untuk itu, dalam Manakala sikap yang diharapkan dari
film, Mahesa yang digambarkan ceroboh Bagus tidak kunjung terjadi, Laras
dan bermasalah dengan praktik kemudian dikisahkan hanya bisa pasrah
pendisiplinan dalam akademi, seketika menerima lamaran dari Mahesa. Laras
berubah dan berusaha menjadi taruna seolah kehilangan kebebasan atas
terbaik. Perubahan itu terjadi semenjak kehendaknya sendiri sehingga harus
Mahesa dikisahkan mengenal dan jatuh bergantung pada sikap atau langkah yang
hati pada Laras. Apa yang ditunjukkan diambil oleh Bagus dan Mahesa. Dalam
Mahesa merupakan upaya membuktikan penghujung film, dikisahkan Laras
kejantanannya, agar layak dipilih oleh akhirnya memilih menikahi Bagus, namun
Laras. Di saat yang sama, Mahesa juga pilihan tersebut dapat terjadi karena, di lain
menunjukkan agresivitasnya untuk pihak, Mahesa yang lebih dulu
mendekati Laras. Hal ini secara jelas melamarnya telah tewas dalam tugas.
menempatkan Laras (perempuan) sebagai Dengan lain perkataan, pilihan yang
objek yang harus direbut. Kondisi ini diambil Laras lebih disebabkan oleh situasi
mengakibatkan persahabatan dan inisiatif yang dilakukan laki-laki.
(brotherhoodness) Bagus dan Mahesa Naratif film tidak menyediakan ruang
menjadi terancam; menempatkan keduanya untuk perkembangan karakter Laras.
dalam sebuah kompetisi untuk merebutkan Karakternya nyaris kopong, minim
cinta (validasi) dari Laras. Gambaran ini motivasi, dan pasif. Di sinilah, secara
sesuai dengan apa yang dikemukakan terang benderang perempuan digambarkan
Donaldson (1993), bahwa salah satu hanya sebagai pendukung dari laki-laki
elemen dalam praktik maskulinitas yang menjadi pusat naratif.
hegemonik adalah laki-laki heteronormatif Hegemoni laki-laki terhadap
yang saling berlomba untuk mendapatkan perempuan yang nampak dalam film Doea
validasi perempuan. Tanda Cinta diperkuat pula oleh
Dalam sekuen lain diperlihatkan penegasan atas femininitas yang
Mahesa mengejek Bagus yang kurang diartikulasikan oleh karakter Laras.
cakap menjaga Laras ketika ia terpeleset Karakter Laras digambarkan sebagai
dalam sebuah pelesiran mereka ke Candi perempuan Jawa yang sangat feminin;
Sewu. “Gimana sih Gus, jaga cewek aja mengenakan rok dan pakaian yang sopan,
gak bisa, gimana jaga negara?” Sekuen sederhana, ramah, periang, serta
tersebut menunjukkan bahwa validasi menunjukkan kemampuan untuk melayani,
kelaki-lakian Bagus dan Mahesa sebagai sebagaimana ditunjukkan Laras ketika
tentara, dan sebagai laki-laki diasosiasikan menghidangkan minuman untuk Bagus dan
dengan kemampuan melindungi wanita Mahesa di awal perkenalan mereka. Sikap
dan negara. dan citra Laras tersebut membuat Bagus
Relasi yang bergender antara Bagus, dan Mahesa terpesona. Dalam sebuah
Mahesa, dan Laras, menunjukkan sekuen Bagus menyatakan bahwa Laras
hubungan yang hegemonik, di mana merupakan perempuan ―[…] yang lugu
142 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

dan sederhana‖. Pandangan Bagus Bapak sebagai laki-laki yang identik


tersebut mempertegas konstruksi karakter dengan kedudukan lebih tinggi atau
Laras. Apabila dibandingkan dengan teks menegaskan hierarkinya terhadap Ibu dan
lain, misalnya dengan film tentara seperti anak (Shiraishi, 2009).
Janur Kuning (1979), atau yang paling
terbaru, Jelita Sejuba (2018), karakter istri
yang cocok dengan tentara seringnya
distereotipkan sebagai perempuan yang
sederhana, lugu, mampu merawat,
melayani, dan dapat menjalankan perannya
sebagai ibu. Karakter Laras masih berada
pada stereotip tersebut, sebagaimana
karakter Bu Harto dan Bu Dirman dalam
Gambar 4. Medium Shot (MS) menunjukkan posisi
film Janur Kuning (1979) serta karakter
Laras yang diapit antara Bagus dan Mahesa
Sharifah dalam film Jelita Sejuba (2018). Sumber: Film Doea Tanda Cinta (2015)
Karakter Laras merepresentasikan seorang
gadis yang memiliki kualitas dan kapasitas Maskulinitas hegemonik dalam film
diri untuk menjadi seorang ibu yang baik. ini juga nampak secara visual, di mana
Representasi semacam ini, tidak beranjak Laras dalam mise en scene begitu sering
jauh dengan model ideal perempuan yang ditempatkan pada ruang yang terbatas.
mewujud dalam konsep Ibu di masa Orde Misalnya pada salah satu adegan di awal
Baru; figur yang mampu mengemban perkenalannya dengan Bagus dan Mahesa.
perannya dengan baik di wilayah domestik Laras diposisikan berada di antara Bagus
(Sen, 2009). dan Mahesa, seolah ruang geraknya
Dalam sekuen final, nampak Bagus terbatas, sekaligus membuat dirinya
dan Laras yang sudah menikah pindah ke terawasi oleh kedua laki-laki. Ia menjadi
rumah dinas yang baru akan dihuni. objek tatapan (male gaze) dari kedua laki-
Sekuen kemudian berlanjut, laki tersebut.
memperlihatkan Laras yang sedang hamil Meskipun Laras dikisahkan sebagai
besar menaruh foto dirinya dan Bagus di perempuan yang baru masuk kuliah, ruang
antara sederet foto lain yang sama-sama perpindahan dirinya dalam film hanya
memperlihatkan suami-istri yang hidup digambarkan seputar rumah, kamar, dan
bahagia. Sekuen tersebut menandakan jalan menuju ke rumah. Secara janggal ia
sempurnanya transformasi maskulinitas justru tidak digambarkan dalam aktivitas
Bagus; dari seorang pemuda menjadi perkuliahan atau aktivitas yang
Bapak. Pun demikian dengan Laras, yang menunjukkan kebebasan dirinya sebagai
menyempurnakan keperempuanannya, dari perempuan lajang dan berpendidikan.
seorang gadis menjadi Ibu. Pernikahan Laras digambarkan sebagai gadis
Bagus dengan Laras memanifestasi ―rumahan‖ di mana ruang geraknya sangat
maskulinitas normatif dan penegasan domestik. Manakala ia keluar dari
femininitas (emphasized femininity). Di teritorinya (rumah), untuk ke ruang publik,
sisi lain, transformasi Bagus dan Laras seperti café dan objek wisata, ia selalu
dapat dibaca sebagai cara naratif film digambarkan diapit di antara Bagus dan
menegosiasikan gagasan keluarga Mahesa. Di permukaan, hal tersebut
heteronormatif dan maskulinitas memperlihatkan suatu perlindungan laki-
hegemonik yang lazim dilestarikan dalam laki terhadap perempuan, tetapi di balik itu
film-film Indonesia di masa Orde Baru; justru menunjukkan hegemoni laki-laki
Bapak, Ibu, dan anak dalam sebuah terhadap perempuan; ruang gerak
keluarga yang harmonis (Sen, 2009; Clark, perempuan yang dibatasi oleh laki-laki.
2010). Gagasan tersebut menempatkan
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 143

2. Maskulinitas dalam I Leave My citra dari sosok SBY yang sama-sama


Heart in Lebanon melankolis dan pernah menjadi tentara10.
Film I Leave My Heart in Lebanon
mengisahkan dinamika tugas negara dan a. Laki-laki Peduli (Caring Masculinity)
romansa kehidupan Kapten Satria (Rio Film ini mengambil sudut pandang
Dewanto), salah seorang personil tentara dari karakter utama, yaitu Kapten Satria.
Perdamaian Garuda 23 di Lebanon. Satria Untuk itu, Satria merupakan agen naratif
dihadapkan situasi sulit; menunda utama yang mengkodekan wacana
pernikahannya dengan Diah (Revalina S. ideologis dalam film ini. Selain melalui
Temat) dan pergi menjalankan tugas ke Satria, narasi ideologis juga dikemukakan
Lebanon. Kesetiaan Satria dan Diah diuji oleh karakter Bapak Surya melaui dialog-
manakala Ibu dari Diah, Ibu Surya (Tri dialognya dengan Satria. Film ini masih
Yudiman) lebih menginginkan anaknya menampilkan perempuan sebagai objek,
menikah dengan Andri (Baim Wong), dengan naratif yang tidak banyak
seorang pengusaha sukses di Ibukota. memberikan ruang terhadap penggambaran
Ayah dari Diah, Bapak Surya (Dedi karakter perempuan. Meski demikian, film
Mizwar) yang mantan tentara ini tidak bisa dikatakan sepenuhnya
menginginkan anaknya setia menunggu menunjukkan hegemoni laki-laki terhadap
kepulangan Satria. Sementara, Satria perempuan, karena film ini justru
dalam tugasnya di Lebanon mulai menaruh menampilkan model laki-laki yang non-
simpati pada Rania (Jowy Khoury) dan normatif, yaitu laki-laki peduli (caring
anaknya, Salma (Hadijah Shahab). masculinities) yang tidak hegemonik
Keduanya menjadi salah satu korban terhadap perempuan (nonhegemonic
dalam konflik antara Lebanon dan Israel. masculinities).
Film ini disutradarai oleh Benni Connell dan Messerschmidt (2005)
Setiawan dan diangkat dari novel yang menjelaskan bahwa selalu ada perlawanan
ditulis oleh T.B. Silalahi, mantan letnan terhadap hegemoni, di mana maskulinitas
jenderal yang pernah menjabat menjadi hegemonik sering hadir berdampingan
penasihat presiden di era kepemimpinan dengan praktik yang nonhegemonik.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Koeksistensi tersebut mengacu kepada
(SBY). T.B. Silalahi pernah pula menjabat menjadi laki-laki dengan cara yang lebih
sebagai Sekretaris Dewan Kehormatan manusiawi dan tidak menindas (less
Partai Demokrat, partai di mana SBY oppressive). Maskulinitas nonhegemonik
menjadi ketua. Umum diketahui, SBY ini cenderung bersesuaian dengan model
adalah Presiden—juga mantan jenderal— laki-laki, yang oleh Karla Elliot (2015),
yang sering menampilkan ke publik sisi dikonsepkan sebagai laki-laki peduli
melankolisnya; menyanyikan lagu-lagu (caring masculinity). Konsep laki-laki
sedih dari band Jamrud, menitikkan air peduli (caring masculinity) merupakan
mata ketika menonton film Ayat-ayat penataan ulang identitas maskulin menjauh
Cinta, dan menciptakan sendiri lagu-lagu dari nilai-nilai dominasi dan agresi dan
sentimentil (Heryanto, 2015: 81; Heryanto, mengacu pada nilai-nilai saling
2008: 5). Fakta dekatnya T.B Silalahi, ketergantungan dan perhatian (Elliot,
penulis skenario film ini, dengan lingkaran 2015: 17).
kekuasaan SBY menjadi menarik, pasalnya Gagasan laki-laki yang tidak
karakter utama dalam film I Leave My dominan dan perhatian ini dari awal film
Heart in Lebanon yang merupakan seorang
tentara, digambarkan begitu menunjukkan 10
Dalam tulisan lain, Matanansi (2016) melihat
kelembutan dan sisi melankolisnya. Sulit karakter utama dalam film I Leave My Heart in
untuk menyangkal dugaan bahwa karakter Lebanon mirip dengan Agus Harimurti
utama film ini sedikitnya turut mengadopsi Yudhoyono, yang sama-sama pernah menjadi
tentara perdamaian di Lebanon.
144 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

sudah dinarasikan oleh Bapak Surya dan sedikit memohon dan dengan intonasi yang
diartikulasikan langsung oleh karakter lembut, Satria menjelaskan pada Diah:
Satria. Secara ekplisit gagasan tersebut ―Aku ini prajurit yang sudah bersumpah
diungkapkan oleh Bapak Surya manakala untuk bersedia ditugaskan di mana pun
Satria datang berkunjung untuk dan kapan pun. Dan aku harap kamu
menyatakan rencana penundaan mengerti itu‖. Diah pun melepas Satria
pernikahan, yang direspon negatif oleh Ibu pergi dan berjanji untuk setia
Surya. Menanggapi Ibu Surya yang marah menunggunya pulang.
dan pergi meninggalkan perbincangan, Hal yang paling menarik dibahas
Bapak Surya mengungkapkan pikirannya dari film ini adalah konstruksi maskulinitas
pada Satria: yang digambarkan dalam sosok Satria.
“Sebagai prajurit sejati, kita jangan Meskipun Satria merupakan seorang
takut pada perempuan yang lagi tentara, ia tidak merepresentasikan
ngambek. Jadi tenang saja, nanti maskulinitas normatif yang hegemonik
saya bereskan. Diamkan saja, terhadap wanita, yang lazimnya
jangankan suara teriakan diasosiasikan dengan dominasi dan agresi.
perempuan, dengar suara bom aja Ia justru merepresentasikan apa yang
kita ga takut. [...] Tapi, prajurit disebut oleh Elliot (2014) sebagai laki-laki
sejati juga harus hormat pada peduli (caring masculinity). Sejalan
wanita, betul kan?!‖. dengan peran Pasukan Garuda yang
Sekuen tersebut menunjukkan Bapak digambarkan dalam film sebagai agen
Surya, seorang purnawirawan tentara perdamaian, Satria dan rekan satu
sekaligus seorang kepala keluarga, tidak kompinya dikisahkan turut membantu
mendominasi atau memanfaatkan mengedukasi dan menghibur anak-anak
kuasanya kepada Ibu Surya. Bapak Surya korban perang di Lebanon. Melalui
tetap membiarkan Ibu Surya yang marah tugasnya tersebut, Satria dikisahkan
tanpa memaksakan pendapatnya yang menaruh simpati kepada Rania Mahmoud
justru lebih menerima rencana penundaan dan anak perempuannya, Salma.
pernikahan yang diungkapkan Satria. Dikisahkan Salma mengalami trauma
Bapak Surya memberikan ruang karena menyaksikan ayahnya tewas oleh
berpendapat kepada Ibu Surya meskipun ledakan bom. Dalam film, dikisahkan
Ibu Surya mengutarakan pendapatnya Satria tergerak untuk membantu
dengan marah-marah. Ia tidak hendak memulihkan trauma yang dialami Salma.
menghentikan atau membatasi ekspresi dan Dalam upayanya itu, dengan penuh
pendapat Ibu Surya tersebut. kesabaran, Satria rela melakukan berbagai
Bapak Surya menekankan ―prajurit cara; mulai dari memainkan wayang untuk
sejati juga harus hormat pada wanita”. Salma, memberinya hadiah boneka,
Gagasan yang dikemukakan oleh Bapak mengapresiasi gambar-gambar yang dibuat
Surya inilah yang justru menjadi gagasan Salma, hingga mengajaknya jalan-jalan ke
yang bergema hampir sepanjang film. Beirut. Bentuk kasih sayang Satria
Seperti halnya Bapak Surya, Satria pun terhadap Salma pun terlihat dari keakraban
mengartikulasikan gagasan yang sama. keduanya yang diartikulasikan melalui
Manakala Satria berdebat dengan Diah bahasa tubuh; memeluk, menggendong,
tentang tugasnya ke Lebanon, ia lebih merangkul, dan mencium kening. Apa
mengalah dengan segala argumentasi Diah. yang dilakukan Satria merupakan aktivitas
Pada akhir perdebatan Satria hanya fathering, yaitu aktivitas unik dalam
menekankan persoalan integritasnya rangka melestarikan pemikiran berbagi
terhadap tugas negara. Sebagai seorang pengasuhan (shared parenting). Aktivitas
tentara, Satria tidak memaksa tetapi justru fathering memungkinkan laki-laki
mengharap pengertian dari Diah. Dengan memainkan peranan yang sebelumnya
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 145

hanya dilakukan oleh perempuan (Seidler, Kapten). Sekuen tersebut menegaskan


2014: 304). model maskulinitas Satria yang justru
berbeda dengan konsep ideal keluarga
heteronormatif yang lestari di masa Orde
Baru. Satria tidak merepresentasikan figur
Bapak secara normatif sebagai kepala
keluarga, tetapi ia mampu mengambil
peran sosial Bapak, yaitu sebagai laki-laki
(pemuda) yang mampu merawat dan
memberikan kasih sayang kepada anak.
Dalam rangkaian sekuen yang sama, Salma
dan Rania memberikan satu kotak kenang-
Gambar 5. Medium Shot (MS) menunjukkan
kenangan kepada Satria. Melihat isi kontak
aktivitas fathering yang dilakukan Satria
Sumber: Film I Leave My Heart in Lebanon (2016) tersebut, Satria tidak kuasa menahan
tangis.
Konstruksi laki-laki peduli (caring Dalam sekuen lain, Satria
masculinity) pada sosok Satria terlihat dari digambarkan sebagai laki-laki yang sangat
bagaimana ia sepanjang film tidak manusiawi; dapat kalah dan tersakiti. Hal
menunjukkan aktivitas kekerasan. tersebut ditandai oleh Diah, perempuan
Meskipun tentara identik dengan senjata, yang sedianya akan menjadi istrinya, pada
dan senjata seringkali disimbolkan sebagai akhir film dikisahkan lebih memilih Andri.
kejantanan (Clark, 2010), tetapi Satria Dalam sebuah sekuen yang melodramatik,
tidak pernah menembakkan senjatanya digambarkan Satria datang ke kediaman
pada musuh. Ia hanya menentengnya dan Diah bertepatan ketika keluarga Andri dan
menggunakannya pada latihan. Sikap Diah sedang melakukan prosesi lamaran.
Satria yang mengakomodir sisi femininnya Satria tidak digambarkan berupaya
nampak pula manakala ia dan pasukannya merebut Diah kembali dengan menegaskan
sengaja mendatangi markas tentara otoritas moralnya sebagai tunangan Diah.
Lebanon untuk sekadar memberikan Langkah Satria berhenti hingga teras
kejutan (kue ulang tahun) dan ucapan rumah, hingga ayah Diah, Bapak Surya
selamat atas hari jadi tentara nasional datang dengan kata-kata bijaknya:
Lebanon. Lebih dari itu, Satria ditampilkan ―Ini bukan kegagalanmu atau
sebagai sosok yang sangat mengagumi kekalahanmu. Ini justru kemenangan
puisi-puisi romantis Kahlil Gibran. Lewat terbesarmu sebagai prajurit yang
puisi-puisi Kahlil Gibran pula, Satria mengutamakan tugas utamanya.
menjadi akrab dengan Rania. Satria, Prajurit tidak akan menangis
Dalam sebuah percakapan dengan karena kematian. Ia cuma menderita
Gulamo, rekan satu kompi Satria, ia karena pengkhianatan dan
menyatakan: “Dunia kita memang keras, ketidaksetiaan”.
tapi harus diimbangi dengan kelembutan”. Satria pun menerima keadaan, lantas ia
Kelembutan yang dimaksudkan oleh Satria balik kanan dan urung menemui Diah.
semakin terlihat dalam sekuen ketika Sekuen tersebut menunjukkan karakter
Pasukan Garuda 23 hendak pulang ke Satria yang tidak hegemonik terhadap
tanah air. Dalam pertemuan terakhirnya Diah. Ia tidak digambarkan berupaya
dengan Salma serta Rania, Satria memaksakan kembali hubungannya
memberikan pelukan kepada keduanya. dengan Diah. Satria menempatkan Diah
Pada momen tersebut, Salma akhirnya sebagai perempuan yang memiliki
pulih dari trauma dan mau berbicara kehendaknya sendiri. Ia tidak mencoba
kembali. Kalimat pertama yang mengubah atau mengintervensi keputusan
diucapkannya adalah Baba Kapten (Bapak Diah tersebut.
146 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

Berdasarkan dialog yang D. PENUTUP


dikemukakan Bapak Surya, dapat Dari analisis naratif terhadap film
dikatakan bahwa maskulinitas Satria Doea Tanda Cinta (2015) dan I Leave My
sepenuhnya tidak tercederai. Pasalnya, Heart in Lebanon (2016) dapat diketahui
maskulinitas Satria sebagai prajurit tidak bahwa representasi maskulinitas tentara
diukur berdasarkan kemampuannya untuk dalam film tentara pasca Orde Baru
mendapatkan Diah (perempuan), tetapi cenderung dinamis dan tidak monolitik.
oleh kemampuannya memenuhi tugas Tentara dalam dua film tersebut tidak
negara yang sudah ia sempurnakan di direpresentasikan sebagai laki-laki yang
Lebanon. Namun demikian, perkataan mapan dalam figur Bapak atau Suami,
Bapak Surya yang menyatakan ―Prajurit tetapi sebagai pemuda.
tidak akan menangis karena kematian. Ia Film Doea Tanda Cinta masih
cuma menderita karena pengkhianatan merepresentasikan perempuan sebagai
dan ketidaksetiaan”, seolah-olah objek yang kehilangan kehendak bebasnya,
menempatkan Diah sebagai pihak yang dan berada di tengah hegemoni laki-laki.
berkhianat. Naratif film memang tidak Film Doea Tanda Cinta (2015)
menunjukkan Satria yang hegemonik merepresentasikan tentara dalam kerangka
terhadap Diah, tetapi naratif film pun tidak maskulinitas normatif yang hegemonik
menyediakan banyak ruang terhadap terhadap perempuan. Representasi tersebut
penggambaran karakter dan kompleksitas ditunjukkan oleh karakter Bagus dan
pilihan Diah. Hal ini membuat karakter Mahesa. Film Doea Tanda Cinta
Diah seolah layak untuk dipersalahkan. mengkodekan ideologi patriarki. Film ini
Konstruksi maskulinitas Satria juga masih menegosiasikan gagasan yang
sangat menarik karena karakternya khas Orde Baru, yaitu keluarga
kontradiktif dengan tuntutan peran heteronormatif yang harmonis; Bapak
publiknya sebagai tentara yang lazim sebagai figur laki-laki ideal dan Ibu—yang
diasosiasikan dengan kekerasan dan berperan merawat dan mengurus—sebagai
dominasi. Karakter Satria berbeda jauh figur perempuan ideal.
dengan karakter Bagus dan Mahesa dalam Film I Leave My Heart in Lebanon
film Doea Tanda Cinta yang (2016) merepresentasikan tentara dalam
maskulinitasnya sangat normatif, serta model maskulinitas laki-laki peduli (caring
berjarak dengan sisi melankolik. Satria masculinity) yang mampu berdamai
justru digambarkan begitu menerima sisi dengan sisi femininnya, antara lain; tidak
femininnya yang ditandai dengan menampilkan kekerasan, mampu merawat
kecintaannya terhadap puisi-puisi anak, dan melankolik. Representasi
romantis, kedekatannya dengan anak-anak tersebut ditunjukkan oleh karakter Satria.
(fatherhoodness). Ia juga digambarkan Tokoh Satria digambarkan dengan lebih
mampu memperlakukan dengan baik, manusiawi; ia tidak selalu ada dalam
tanpa ada upaya mendominasi, terhadap kendali, ia dapat kalah dan tersakiti oleh
karakter-karakter perempuan; Diah dan perempuan. Maskulinitas ideal dalam film
Rania. Ia juga digambarkan secara lebih ini menggeser definisi Bapak sebagai
manusiawi sebagai tentara dan laki-laki; ia kepala keluarga yang dominan terhadap
dapat kalah dan tersakiti oleh perempuan. Ibu dan anak. Kata Baba Kapten yang
Karakter Satria tidak selalu in control digunakan dalam film ini, bukan
sebagaimana lazimnya laki-laki yang diasosiasikan dengan figur Bapak pada
mengatribusi maskulinitas normatif. Film umumnya, tetapi digunakan sebagai
ini secara jelas menegosiasikan model laki- penanda untuk menjelaskan citra karakter
laki peduli (caring masculinity) dalam Satria; sebagai pemuda yang mampu
sosok tentara. merawat anak dan memperlakukan
perempuan dengan baik.
Maskulinitas Tentara dalam Sinema…(Hary Ganjar B., Aquarini P., R.M. Mulyadi) 147

DAFTAR SUMBER Chatman, Seymour. 1980.


1. Jurnal dan Disertasi Story and Discourse: Narrative
Barker, Thomas Alexander Charles. 2011. Structure in Fiction and Film. United
Cultural Economy of The Contemporary States of America: Cornell University.
Indonesian Film Industry. Disertasi. Clark, Marshall. 2010.
Singapur: National University of Maskulinitas: Culture, Gender, and
Singapore. Politics in Indonesia. Australia: Monash
Clark, Marshall. ―Men, Masculinities and University.
Symbolic Violence in Recent Indonesian Connell, R. W. 1987.
Cinema‖ dalam Journal of Southeast Gender and Power: Society, Person,
Asian Studies, Vol. 35, No. 1. Maret and Sexual Politics. Cambridge: Polity
2004: 113-131. Press.
Connell, R.W. dan James W. Messerschmidt. ________. 2005.
―Hegemonic Masculinity: Rethinking Masculinities. Los Angeles: University
The Concept‖ dalam Gender and of California.
Society, Vol. 19, No. 6. Desember 2005:
829-859. Hall, Stuart. ―Encoding Decoding‖ in The
Cultural Studies Reader, ed Simon
Donaldson, Mike. ―What is Hegemonic During. Second edition. London and
Masculinity?‖ dalam Theory and New York: Routledge, 2001.
Society, Vol. 22, No. 5. Oktober 1993:
643-657. Heryanto, Ariel (ed.). 2008.
Popular Culture in Indonesia: Fluid
Elliot, Karla. ―Caring Masculinities: Identities in Post-Authoritarian Politics.
Theorizing an Emerging Concept‖ New York: Routledge.
dalam Men and Masculinities, Vol. 19,
No. 3. 2016: 240-259. ________. 2015.
Identitas dan Kenikmatan: Politik
Gurkan, Hasan dan Aybike Serttas. ―The Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG.
Representation of Masculinity in
Cinema and on Television: An Analysis Irawanto, Budi. 2017.
of Fictional Male Characters‖ dalam Film, Hegemoni, dan Militer; Hegemoni
Euoropean Journal of Multidisciplinary Militer dalam Sinema Indonesia.
Studies Vol. 5, No. 1. May-Agustus Yogyakarta: Warning Book.
2017: 402-408. McClintock, Anne. 1995.
Nagel, Joane. ―Masculinity and Nationalism: Imperial Lether: Race, Gender, and
Gender and Sexuality in The Making of Sexuality in The Colonial Contest. New
Nations‖ dalam Ethnic and Racial York: Routledge.
Studies 21, number 2 March 1998: 251– Peberdy, Donna. 2011.
252. Masculinity and Film Performance:
Paramaditha, Intan, ―Contesting Indonesian Male Angst in Contemporary American
Nationalism and Masculinity in Cinema. New York: Palgrave
Cinema‖ dalam Jurnal Asian Cinema, Macmillan.
Fall/Winter, 2007: 41-61. Saukko, Paula. 2003.
2. Buku Doing Research in Cultural Studies: An
Chapman, Rowena. 2014. Intoduction to Classical and New
―Penipu Ulung: Variasi Tema Laki-laki Methodological Approaches. London:
Baru‖ Dalam Male Order: Menguak Sage.
Maskulinitas, ed. Rowena Chapman dan Shiraishi, Saya Sasaki. 2009.
Jonathan Rutherford. Yogyakarta: Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga
Jalasutra. Indonesia dalam Politik. Jakarta: Nalar.
148 Patanjala Vol. 11 No. 1 Maret 2019: 131 - 148

Seidler, Victor J. 2014. Puspen TNI. ―Panglima TNI Resmikan


―Fathering, Otoritas, dan Maskulinitas‖ Shooting Perdana Film I Leave My
Dalam Male Order: Menguak Heart in Lebanon‖ dalam
Maskulinitas, ed. Rowena Chapman dan https://www.youtube.com/watch?v=9qM
Jonathan Rutherford. Yogyakarta: ZdAwM7oE&t=287s, [diakses 26
Jalasutra. November 2018].
Sen, Krishna. 2009. Siregar, Amir Syarif. ―Doea Tanda Cinta‖.
Kuasa dalam Sinema: Negara, Flickmagazine, 27 Mei 2015, dalam
Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. http://flickmagazine.net/news/3016-
Yogyakarta: Ombak. doea-tanda-cinta.html [diakses 2 Januari
2019].
Turner, Graeme. 1999.
Film as Social Practice. New York: Tribun News. ―Doea Tanda Cinta, Angkat
Routledge. Kisah Siswa Akmil‖ dalam
http://m.tribunnews.com/seleb/2014/10/
3. Film 15/doea-tanda-cinta-angkat-kisah-
Nayoan, Ray. Jelita Sejuba. Jakarta: Drelin angkat-kisah-siswa-akmil, [diakses 18
Amarga Pictures. 2018. Desember 2018].
Setiawan, Benni. I Leave My Heart In
Lebanon. Jakarta: Tebe Silalahi Pictures,
Artha Graha Peduli. 2016.
Soejarwo, Rudi. Mengejar Matahari. Jakarta:
Sinema Art, Kipass Communication.
2004.
Soerafani, Rick. Doea Tanda Cinta . Jakarta:
Benoa, Cinema Delapan, Inkopad. 2015.
Surawidjaja, Alam. Janur Kuning. Jakarta:
Metro 77. 1979.

4. Website
Heryanto, Ariel. ―Historiografi Indonesia yang
Rasis‖ [Video kuliah umum, Miriam
Budihardjo Resource Center (MBRC)
FISIP Universitas Indonesia, 22 Oktober
atau 17 Juli 2017.
https://www.youtube.com/watch?v=ejEj
VA29lls [diakses 2 Mei 2018].
Matanasi, Petrik. ―Dwipajana dan Film-Film
daripada Soeharto‖. Tirto.id, 23 Februari
2018, dalam https://tirto.id/dwipajana-
dan-film-film-daripada-soeharto-cw53
[diakses 20 April 2018].
________. ―Momentum Politik I Leave My
Heart in Lebanon‖. Tirto id, 9 Desember
2016, dalam https://tirto.id/momentum-
politik-i-leave-my-heart-in-lebanon-
b8PM [diakses, 2 Januari 2019].
Net TV. ―Talk Show Film Doea Tanda Cinta –
Indonesia Morning Show‖ dalam
https://www.youtube.com/watch?v=Kus
HDTpHxzI [diakses 9 Januari 2019]

Anda mungkin juga menyukai