Anda di halaman 1dari 58

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kanker

2.1.1 Definisi

Kanker adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh

akibat pengaruh berbagai faktor penyebab yang menyebabkan jaringan

setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya

(FKUI, 2013).

Menurut WHO, kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok

besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah

lain yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma. Salah satu fitur

mendefinisikan kanker adalah pertumbuhan sel-sel baru secara abnormal

yang tumbuh melampaui batas normal, dan yang kemudian dapat

menyerang bagian sebelah tubuh dan menyebar ke organ lain. Menurut

National Cancer Institute (2013), kanker adalah suatu istilah untuk penyakit

dimana sel-sel membelah secara abnormal tanpa kontrol dan dapat

menyerang jaringan di sekitarnya. Proses ini disebut metastasis, dan

metastasis merupakan penyebab utama kematian akibat kanker (WHO,

2013).

Kanker adalah istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan

neoplasma ganas, dan ada banyak tumor atau neoplasma lain yang tidak

bersifat kanker (Price et. al., 2006). Neoplasma secara harfiah berarti

“pertumbuhan baru”. Suatu neoplasma, sesuai definisi Wills, adalah “massa

9
10

abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak

terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal serta terus demikian

walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti”

(Kumar et al, 2007).

Neoplasia didefinisikan sebagai perkembangan massa jaringan

abnormal yang tidak responsive terhadap mekanisme kontrol pertumbuhan

normal. Neoplasma adalah suatu kelompok atau rumpun sel neoplastik.

Istilah ini biasanya sinonim dengan tumor. Istilah neoplasma benigna

mengacu pada sel-sel neoplastik yang tidak menginvasi jaringan sekitar dan

tidak bermetastasis. Metastasis didefinisikan sebagai kemampuan sel kanker

untuk menyusup dan membangun pertumbuhan pada area tubuh lain yang

jauh dari asalnya. Istilah neoplasma maligna mengacu pada sel-sel

neoplastik yang tumbuh dengan menginvasi jaringan sekitar dan

mempunyai kemampuan untuk bermetastasis pada jaringan reseptif. Semua

neoplasma maligna diklasifikasikan sebagai kanker dan kemudian

digambarkan sesuai dengan asal jaringan (Tambayong, 2000).

2.1.2 Etiologi Kanker

Kausa kanker adalah penggerak primer timbulnya kanker, berbeda

dari penyakit infeksi umumnya, timbulnya kanker merupakan hasil interaksi

multigenetik, multifaktoral yang berakibat sel normal berubah menjadi

ganas. Berdasarkan asal, sifat dan pola kerjanya, faktor terkait dengan

timbulnya kanker dapat digolongkan menjadi faktor endogenik dan faktor

eksogenik. Faktor eksogenik berasal dari lingkungan luar, berkaitan erat

dengan lingkungan alamiah dan kondisi kehidupan, meliputi faktor kimiawi,


11

fisika, dan biologis. Faktor endogenik meliputi kondisi imunitas tubuh,

konstitusi genetik, kadar hormon, kemampuan reparasi kerusakan DNA dan

lain-lain (FKUI, 2013)

Organisasi penelitian kanker internasional (IARC) berdasarkan

standart karsinogen manusia telah mengemukakan 42 jenis zat kimia

karsinogenik terhadap manusia yang terdapat dalam lingkungan hidup kita.

Di dalam lingkungan faktor yang tersebar paling luas adalah karsinogen

faktor kimia.

1. Faktor Kimiawi (lingkungan)

1) Karsinogen di alam bebas

Lingkungan alamiah yang pada dasarnya belum terpengaruh oleh

aktivitas manusia. Karsinogen alamiah misalnya asbes, krom, nikel,

zat radioaktif dan lain-lain. Senyawa berlebihan di alam bebas

seperti garam nitrat, garam nitrit, dapat beraksi dengan senyawa

sekunder di dalam maupun di luar tubuh membentuk senyawa

nitrosam.

2) Karsinogen di dalam lingkungan hidup

(1) Karsinogen dalam udara

a. Polusi udara. Banyak data dari dalam maupun luar negeri

menunjukkan polusi udara serta morbiditas dan mortalitas

kanker paru berhubungan langsung. Polutan yang dibuang

ke udara mencakup karbon monoksida, karbon dioksida,

golongan hidrokarbon, juga logam (seperti nikel), arsen,

asbes, hasil pembakaran tak sempurna.


12

b. Gas buangan kendaraan. Sumber karsinogen penting lain di

udara adalah kendaraan lalu lintas. Benzpiren sebagai

representasi dari golongan hidrokarbon aromatik polisiklik

bersifat karsinogenik kuat, kandungannya di udara

berhubungan langsung dengan kanker paru dan kanker

kulit.

c. Polusi udara dalam ruangan. Bahan bakar rumah tangga

yang umum dipakai setelah pembakaran menghasilkan

sulfur dioksida, senyawa nitrogen oksida, dan bahan

bagunan serta interior adalah formaldehid dan radon, sifat

karsinogenik formaldehid sudah diklasifikasikan sebagai

karsinogen pada manusia.

(2) Pencemaran air

Zat tertentu dalam air minum berkaitan langsung dengan

mortaitas tumor ganas atau kanker, diantaranya karsinogen

seperti dibenzhidrazina, etenamina, kloretena, yang dicurigai

karsinogen seperti benzena, bromoform, klordan, pemacu

kanker seperti desilalkana, asam oleat, fenol.

(3) Pencemaran tanah

Zat pencemar berasal dari kegiatan kehidupan, limbah cair

maupun padat dari industri yang masuk ke tanah dan secara

langsung atau tidak langsung mempegaruhi kesehatan

manusia. (FKUI, 2013)


13

Karsinogen langsung memiliki kemampuan untuk melakukan reaksi

kimia sehingga menimbulkan kerusakan langsung pada materi genetik

dalam sel, sementara prokarsinogen pertama-tama harus diubah atau

diaktifkan oleh proses metabolis tertentu, yang biasanya melibatkan

enzim (yaitu protein kompleks atau gabungan protein yang dihasilkan

oleh sel hidup dan berfungsi sebagai katalis dalam reaksi biokimia

tertentu). Jika ini terjadi, barulah prokarsinogen bisa melakukan reaksi

dengan materi genetis di dalam sel dan mereka berubah dari

prokarsinogen menjadi karsinogen. Demikian juga, ada beberapa jenis

enzim lain yang memiliki efek sebaliknya, yaitu menghilangkan sifat

racun dan zat-zat kimia yan mampu menimbulkan kanker.

Dalam semua kasus kanker, mekanisme pertahanan dari sel seperti

gen perbaikan DNA bisa mencoba untuk mengatasi kerusakan, seperti

yang sudah di jelaskan jika mekanisme perbaikan DNA tidak selalu

berhasil dan mengalami kegagalan. Zat kimia yang bertindak sebagai

pemicu dari tahap promosi dalam kanker seringkali tidak menimbulkan

kerusakan secara langsung pada materi genetik tapi berperan di dalam

meningkatkan pembelahan dan perkembangbiakan dari sel (Miller,

2008).

2. Faktor Fisika

Karsinogen fisika terdiri atas radiasi pengion dan sinar ultraviolet.

Radiasi pengion merupakan karsinogen fisika yang terpenting, teruama

radiasi gelombang elektromagnetik. Mekanisme radiasi pengion dalam

mencederai target biologis terutama dengan menghasilkan ion


14

membentuk radikal bebas. Sifat radikal bebas sangat aktif, dapat

merusak struktur molekul normal hingga melukai target biologis. DNA

merupakan target biologis penting dari radiasi pengion. Kanker yang

berkaitan dengan radiasi antara lain:

1) Kanker kulit. Kekhasan klinis pada kanker kulit akibat radiasi

adalah letaknya di lokasi terpapar radiasi.

2) Leukemia. Insiden leukemia meningkat sesuai peningkatan dosis

radiasi yang diterima sel-sel hamatopietik.

3) Kanker tiroid. Kelenjar tiroid bila menerima radiasi internal

maupun eksternal dengan dosis 0,2 Gy mungkin akan timbul

adenokarsinoma folikular, sedangkan karsinoma medular tiroid

tergantung pada banyak faktor yang terjalin secara kompleks.

4) Kanker paru. Kanker paru akibat radiasi dapat timbul dari radiasi

eksternal maupun internal.

5) Kanker mamae. Hormon berperan penting pada kanker mamae

akibat radiasi, insidennya berhubungan liner dengan dosis.

Timbulnya kanker mamae umumnya terjadi 15-20 tahun setelah

menerima radiasi.

6) Tumor tulang. Bila radiasi LET rendah yaitu radiasi gama atau

sinar X seperti misalnya pada penderita mielosklerosis yang

mendapat terapi sinar X dapat timbul tumor tulang, tapi belum

tampak adanya hubungan dosis dan respons. Pada osteosarcoma

akibat radiasi internal seperti radiasi alfa dari Ra-224 dan Ra-226

terdapat hubungan liner dengan dosis (FKUI, 2013)


15

Jika pada sinar ultraviolet, paparan radiasi matahari dalam jangka waktu

panjang bersifat karsinogenik pada kulit manusia. Dari berbagai jenis

radiasi UVB dianggap yang paling berbahaya dan menyebabkan banyak

jenis kanker kulit serta menimbulkan kerusakan DNA dari sel-sel kulit

(Miller, 2008).

3. Virus DNA

Virus DNA bisa masuk ke dalam sel lewat onkogen dan contohnya

adalah Epstein-Barr Virus (EBV). Virus jenis herpes ini adalah

penyebab dari demam kelenjar (glandular fever) yang banyak terjadi.

Contoh dari virus lainnya adalah Human Papilloma Viruses (HPV) dan

telah ditemukan bahwa virus HPV ini memiliki banyak jenis, dan dua

diantaranya memiliki hubungan dengan kanker leher rahim. Namun,

ada faktor lain yang ikut menyebabkan infeksi ini sehingga bisa

berkembang menjadi kanker (Miller, 2008).

4. Virus RNA

Virus RNA atau retrovirus yang telah diidentifikasi memiliki hubungan

dengan kanker antara lain Human T-Cell Leukemia Virus (HTLV-1)

dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Infeksi oleh HTLV-1 bisa

mengalami Adult T-Cell Leukemia./Lymphoma (ATLL), tapi biasanya

memakan waktu bertahun-tahun sebelum berkembang. Sementara untuk

HIV, cara kerjanya kompleks tapi bisa menimbulkan kanker melalui

dua cara, yang pertama adalah HIV melemahkan sistem kekebalan

tubuh atau immunosuppression sehingga menimbulkan kanker dan yang


16

kedua adalah lewat kaposi’s sarcoma, yang merupakan tumor yang

memiliki hubungan dengan HIV/AIDS

5. Faktor Genetis

Faktor genetis memiliki peran dalam terjadinya kanker dan seorang

individu bisa memiliki pola gen turunan. Sudut pandang genetik, kanker

merupakan manifestasi peningkatan dan atau penurunan aktivitas

sejumlah kelompok gen yang menyebabkan kerusakan transkripsi gen.

Proto-onkogen mewakili kelompok pertama, aktivasinya melahirkan

onkogen. Gen supresor tumor mewakili kelompok kedua, inaktivasinya

memberi kesempatan bagi sel tumor untuk tumbuh. Gen modulator,

sebagai kelompk ketiga, dapat memengaruhi ekspresi karakteristik gen

yang berdampak terhadap penyebaran kanker (Rasjidi, 2013).

6. Penurunan Pada Sistem Imun

Penurunan pada kekebalan tubuh atau immunosuppression dapat

disebabkan oleh beberapa virus tertentu seperti HIV atau disebabkan

oleh kemoterapi (untuk pembedahan transplantasi) dan ini bisa menjadi

faktor yang menimbulkan risiko terjadinya kanker, karena penurunan

kekebalan tubuh membuat seseorang menjadi rentan terhadap infeksi

yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika sistem kekebalan tubuh tidak

mampu melawan (Miller, 2008).


17

2.1.3 Sifat-sifat Kanker (Neoplasma)

Tabel 2.1 Sifat-Sifat Kanker (Kumar et. al., 2007)


18

2.1.4 Stadium Kanker

Neoplasma dapat pula digolongkan berdasarkan stadium

perkembangannya. Stadium itu adalah usaha menjelaskan seberapa jauh

penyakit ini telah berkembang pada saat itu.

Gambar 2.1 Stadium Pada Kanker. (Tambayong, 2000)

2.1.5 Karsinogenesis

Dalam kondisi normal, pembelahan, poliferasi, dan diferensiasi sel

dikontrol secara ketat (Price et. al., 2006). Kerusakan genetik nonletal

merupakan hal sentral dalam karsinogenesis. Kerusakan atau mutasi genetik

semacam ini mungkin didapat akibat pengaruh lingkungan, seperti zat

kimia, radiasi, atau virus, atau diwariskan dalam sel germinativum (Kumar

et. al., 2007; Price et. al., 2006).

Telah diidentifikasi empat golongan gen yang memainkan peranan

penting dalam mengatur sinyal mekanisme faktor pertumbuhan dan siklus

sel itu sendiri, termasuk protoonkogen yang mendorong pertumbuhan, gen

penekan kanker (tumor suppressor gen) yang menghambat pertumbuhan

(antionkogen), gen yang mengatur kematian sel terencana (programmed cell


19

death), atau apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA yang rusak

(Kumar et. al., 2007; Price et. al., 2006). Karsinogenesis adalah suatu proses

banyak tahap, baik pada tingkat fenotipe maupun genotipe. Suatu neoplasma

ganas memiliki beberapa sifat fenotipik, misalnya pertumbuhan berlebihan,

sifat invasi lokal dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini diperoleh secara

bertahap, suatu fenomena yang disebut tumor progression. Pada tingkat

molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang pada

sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan DNA.

Perubahan genetik yang mempermudah tumor progression melibatkan

tidak saja gen yang mengendalikan angiogenesis, invasi, dan metastasis. Sel

kanker juga harus melewatkan proses penuaan normal yang membatasi

pembelahan sel (Kumar et. al., 2007). Dalam kondisi fisiologis normal,

mekanisme sinyal sel yang memulai proliferasi sel dapat dibagi menjadi

langkah- langkah sebagai berikut: (1) faktor pertumbuhan, terikat pada

reseptor khusus pada permukaan sel; (2) reseptor faktor pertumbuhan

diaktifkan yang sebaliknya mengaktifkan beberapa protein transduser; (3)

sinyal ditransmisikan melewati sitosol melalui second messenger menuju

inti sel; (4) faktor transkripsi inti yang memulai pengaktifan transkripsi

asam deoksiribonukleat (DNA). Ketika keadaan menguntungkan untuk

pertumbuhan sel, sel terus melalui fase replikasi sel, Siklus sel tersebut

dibagi menjadi empat fase: G1 (gap 1), S (sintesis), G2 (gap 2), dan M

(mitosis). Sel tidak aktif yang terdapat dalam keadaan tidak membelah

disebut G0 (Price et. al., 2006).


20

Banyak yang telah diketahui tentang gen RB karena merupakan gen

penekan tumor yang pertama kali ditemukan. Produk gen RB adalah suatu

protein pengikat-DNA yang diekspresikan pada semua sel yang diteliti;

protein tersebut berada dalam bentuk terhipofosforilasi aktif dan

terhiperfosforilasi tidak aktif. Pada keadaan aktif, RB berfungsi sebagai rem

untuk menghambat melajunya sel dari fase G1 ke S pada siklus sel. Apabila

sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan, protein RB diinaktifkan melalui

fosforilasi, rem dilepas, dan sel melewati tahap G1 ke S. Saat masuk fase S,

sel bertekad (committed) untuk membelah tanpa memerlukan stimulasi

faktor pertumbuhan tambahan. Selama fase M berikutnya, gugus fosfat

dikeluarkan dari RB oleh fosfat selular sehingga kembali dihasilkan bentuk

RB terdefosforilasi. Dasar molekul efek perngereman ini telah diungkapkan

secara rinci dan elegan. Sel tenang (quiescent, pada G0 atau G1)

mengandung RB bentuk terhipofosforilasi yang inaktif. Pada status ini, RB

mencegah replikasi sel dengan mengikat, dan mungkin menyebabkan

sekuestrasi, family E2F dari faktor transkripsi. Apabila sel yang tenang ini

dirangsang oleh faktor pertumbuhan, konsentrasi siklin D dan E meningkat,

dan aktivasi siklin D/CDK4, siklin D/CDK6, dan siklin E/CDK2 yang

terjadi menyebabkan fosforilasi RB. RB bentuk terhiperfosforilasi

membebaskan faktor transkripsi E2F dan mengaktifkan transkripsi beberapa

gen sasaran. Apabila tidak terdapat protein RB, atau apabila kemampuannya

untuk menyingkirkan faktor transkripsi terganggu akibat mutasi, rem

molekular terhadap siklus sel akan lepas, dan sel berpindah secara

bersemangat ke dalam fase S.


21

Gambar 2.2 Skema Sederhana Dasar Molekular Kanker. (Kumar et. al., 2007).

2.1.6 Dampak Kanker Bagi Keluarga

Ada beberapa faktor psikologis yang terkait dengan kanker, dan

bersifat spesifik bagi penyakit ini daripada penyakit lain. Hal semacam ini

tidak hanya terjadi pada klien saja tapi juga berlaku bagi keluarga. Memiliki

anggota keluarga yang mengalami kanker dapat menimbulkan stres dan


22

kecemasan tersendiri, sehingga para anggota keluarga pun sebaiknya juga

menerima pertolongan, jika memang diperlukan. Ini berarti bahwa penderita

dan keluarganya bisa mendapatan stres yang sama. Proses dalam menjalani

penyakit kanker akan dapat lebih mudah ditanggung oleh semua orang yang

terkait jika kondisi psikologis dari mereka ditunjang dan dijaga dengan baik.

Reaksi yang dimunculkan lebih pada perasaan sedih seperti takut

kehilangan sesuatu, reaksi psikologis ini dapat berupa; (1) penolakan,

perasaan ini muncul saat awal di diagnosis, hal ini bisa dirasakan oleh klien

dan keluarganya, hal ini merupakan respons defensive atau memungkinkan

seseorang menghindari realita. Penolakan ini bisa disampaikan secra

terbuka, misalnya dengan meragukan kebenaran dari diagnosa dengan

melakukan pemeriksaan tenaga medis lain (yang disebut “second opinion).

(2) rasa marah merupakan jenis respon yang sering kali muncul, hal ini

diungkapkan sebagai perasaan bahwa dirinya diperlakukan tidak adil.

Amarah ini dapat muncul dalam bentuk sikap marah karena hal kecil, iri

terhadap kesehatan, kesejahteraan, dan kegembiraan orang lain (FKUI,

2013). (3) depresi adalah masalah yang cukup berat yang bisa terjadi pada

priode reaksi psikolgis ini. Sikap yang ditujukan baik klien maupun

keluarga adalah susah tidur, mudah capek, merasa tidak punya harapan,

bahkan timbul pula ide atau perilaku pesimistis. Oleh sebab itu, ada

beberapa pendekatan untuk mengatasi gangguan psikologis dengan

menggunakan “intervensi psikososial”, dimana hal ini cukup tepat bagi

keluarga klien kanker diantaranya sebagai berikut:


23

1. Penyediaan informasi dan pendidikan tentang kanker dan

perawatannya. Bagi beberapa orang, dengan memiliki informasi dan

strategi dapat membantu di dalam mengurangi munculnya perasaan,

sikap, dan atau koping yang negatif.

2. Konseling merupakan suatu bentuk perhatian, dukungan dan peluang

untuk membicarakan tentang ketakutan atau pemikiran-pemikiran yang

dialami klien maupun keluarga tentang kanker.

3. Psikoterapi behavioral kognitif, bertujuan untuk melawan dan

mengubah emosi dan perasaan dengan menggunkan pikiran sadar dan

strategi behavioral. Terapi semacam ini memiliki beberapa unsur

seperti; (1) visualisasi, melakukan kegiatan membayangkan dengan

diarahkan pada beberapa hal tertentu yang positif, (2) relaksasi, teknik

pernapasan untuk menenagkan pikiran yang kurang positif, (3) hypnosis

untuk memodifikasi perilaku, dimana mengubah sikap atau perilaku

yang kurang positif, (4) manajemen terhadap kecemasan, dimana

membuat struktur kegiatan harian atau strategi tindakan/sikap untuk

mendapatkan kembali kendali atas hidupnya. (5) restrukturasasi

kognitif, mengajak keluarga klien untuk memeriksa kembali proses

pikirannya dan mengubahnya memberikan pelatihan.

2.2 Konsep Mekanisme Koping

2.2.1 Pengertian Mekanisme Koping

Koping adalah (tingkah laku atau tindakan penanggulangan)

sembarang perbuatan, dimana individu melakukan interaksi dengan


24

lingkungan sekitarnya. Dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (Chaplin,

2009). Koping juga diartikan sebagai upaya baik mental maupun prilaku,

untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu

situasi atau kejadian yang penuh tekanan, atau juga bisa dikatakan sebagai

perilaku yang digunakan individu dalam menghadapi dan memanage suatu

masalah yang menimbulkan stres, menghindari, menjauhi, dan mengurangi

stres atau dengan menyelsaikan dan mencari dukungan sosial. Cara

seseorang memecahkan suatu masalah (problem solving) merupakan proses

yang tercakup dalam usaha menemukan alternatif-alternatif jawaban yang

mengarah pada suatu jawaban atau kearah sasaran pemecahan masalah yang

tepat (Zainun,2003).

2.2.2 Jenis Strategi Koping

Para ahli menggolongkan dua strategi koping, yaitu:

1. Problem Solving Focused Coping adalah merupakan mekanisme

seseorang individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari masalah

untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres.

2. Emotion Focused Coping yaitu individu melibatkan usaha-usaha untuk

mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak

yang akan ditimbulkan. Hasil penelitian membutikan bahwa individu

menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah

yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari

(Zainun, 2003). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling

banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian

seseorang, dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau
25

masalah yang dialaminya. Contoh seseorang cenderung menggunakan

problem-solving focused coping dalam menghadapi masalah-masalah

yang menurutnya bisa dikontrol, seperti masalah-masalah yang

berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan, sebaliknya akan

cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika

dihadapkan pada masalah yang menurutnya sulit dikontrol. Perilaku

koping yang berfokus pada persoalan berfungsi mengubah relasi antara

individu dan lingkungan yang bermasalah dengan melakukan tindakan

langsung pada lingkungan atau individu yang bersangkutan.

Hampir senada dengan penggolongan jenis koping seperti

dikemukakan diatas, dalam literatur tentang koping juga dikenal dua

strategi, yaitu:

1. Active Coping Strategy, yaitu: strategi yang dirancang untuk mengubah

cara pandang individu terhadap sumber stres. Diantaranya yaitu:

1) Lebih berorientasi pada penyelesaian masalah

2) Meminta dukungan pada individu lain

3) Melihat sesuatu dari segi positifnya

4) Menyusun rencana yang akan dilakukan untuk menyelsaikan

masalah

5) Cendrung realistik

2. Avodiant Coping Strategy, yaitu: strategi yang dilakukan individu untuk

menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu

aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang

berpotensi menimbulkan stres. Yang biasanya ditandai dengan:


26

1) Menjauhi permasalahan dengan cara menyibukkan diri pada

aktivitas lain

2) Menarik diri (whit drawl)

3) Cenderung bersifat emosional

4) Suka berkhayal dan berangan-angan

5) Makan berlebihan

6) Menggunakan obat penenang, yang dilakukan individu dalam

avoidant coping strategy sebenarnya merupakan suatu bentuk

mekanisme pertahanan diri, yang dapat menimbulkan dampak

negatif pada individu karena cepat atau lambat permasalahan yang

ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan.

Folkman dan Lazarus (1984 dalam Sarafino, 2006) mengatakan

bahwa biasanya individu yang menghadapi stres menggunakan mekanisme

koping yang berfokus pada masalah (problem solving focused coping)

maupun yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping) masing-

masing dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Penentuan mekanisme

koping yang digunakan oleh seseorang, konstruktif atau destruktif dapat

dilihat dari mekanisme koping fokus pada masalah (problem solving focused

coping) dan orientasi pada emosi (emotion focused coping). Menurut Stuart

dan Sundeen (2001) mekanisme koping konstruktif adalah mekanisme

koping yang mendukung fungsi integrasi pertumbuhan, belajar, dan

mencapai tujuan. Komponen mekanisme koping ini diantaranya berbicara

dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,

berpikir positif, dan melakukan aktivitas yang konstruktif. Sedangkan


27

mekanisme koping destruktif adalah mekanisme koping yang menghambat

fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan

cenderung menguasai lingkungan. Komponen mekanisme koping destruktif

diantaranya makan berlebihan, tidak makan, bekerja berlebihan, dan

menghindar (Stuart dan Sundeen, 2001).

Mekanisme koping konstruktif membantu individu menerima

tantangan untuk menyelesaikan konflik, individu yang menggunakan

mekanisme koping konstruktif menganggap masalah sebagai tanda-tanda

peringatan dan individu menerimanya sebagai tantangan untuk dapat

menyelesaikan masalah tersebut. Mekanisme koping destruktif tidak

membantu seseorang untuk mengatasi stressor, individu cenderung

menyingkirkan ansietas atau stres tanpa menyelesaikan masalah,

menggunakan penghindaran bukan resolusi (Potter & Perry, 2005).

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Koping

Menurut Mutadin (2002) cara individu menangani situasi yang

mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi :

1. Kesehatan fisik, kesehatan merupakan hal yang penting dalam usaha

mengatasi stres, individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang

cukup besar dalam mengatasi stres atau masalah yang dihadapi.

2. Keyakinan atau pandangan positif, individu harus mempunyai

keyakinan dan berpikir postif bahwa masalah yang menimpa akan dapat

diselesaikan.

3. Keterampilan memecahkan masalah,hal ini meliputi kemampuan untuk

mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah


28

dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian

mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang

ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan

melakukan suatu tindakan yang tepat.

4. Keterampilan sosial, meliputi kemampuan berkomunikasi dengan

tingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial

berlaku di masyarakat

5. Dukungan sosial, meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi

dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua,

anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat

sekitarnya.

2.3 Resiliensi

2.3.1 Definisi

Resilience merupakan kemampuan untuk menggunakan fungsi fisik

dan psikososial secara optimal ketika dihadapkan dengan suatu masalah atau

stress (Ye et al., 2018). Resiliensi merupakan mind-set yang memungkinkan

seseorang mencari berbagai pengalaman dan memandang hidupnya sebagai

sesuatu kegiatan.

Resiliensi membentuk dan mempertahankan sikap positif. Resiliensi

memberikan rasa percaya diri untuk mengambil tanggung jawab baru dalam

menjalani sebuah pekerjaan, tidak mundur dalam menghadapi sesuatu yang

ingin dikenal, mencari pengalaman yang akan memberi tantangan untuk

mempelajari tentang diri sendiri dan berhubungan lebih dalam lagi dengan

orang lain atau orang yang ada disekitar kita (Back, Steinhauser, Kamal, &
29

Jackson, 2016). Menurut Li (2018) mendefinisikan resiliensi sebagai

kemampuan untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa

kelemahan-kelemahan, maupun stres eksternal, misalnya penyakit,

kehilangan, atau masalah dengan keluarga.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi

merupakan kemampuan individu dalam menghadapi stress atau masalah.

Resiliensi memberikan seseorang suatu kemampuan untuk beradaptasi

dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai sumber yang

dimiliki.

2.3.2 Sumber Pembentukan Resiliensi

Menurut Grotberg (1995) dalam Desmita (2014) terdapat tiga sumber

resiliensi yang disebut dengan three sourses of resilience, yaitu aku punya (I

have), aku ini (I am), aku dapat (I can). I have (aku punya) merupakan

sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap

besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya.

Sumber I have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan

bagi pembentukan resiliensi, yaitu:

1. Hubungan atas dasar kepercayaan penuh

2. Struktur dan peraturan di rumah

3. Model peran

4. Dorongan untuk mandiri (otonomi)

5. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan

kesejahteraan.
30

I am (aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan

kekuatan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am

adalah sebagai berikut (Desmita, 2014):

1. Disayang dan disukai oleh banyak orang

2. Mencinta, empati dan kepedulian pada orang lain

3. Bangga dengan dirinya sendiri

4. Bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima

konsekuensinya

5. Percaya diri, optimistic dan penuh harap

I can (aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan

apa saja yang dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan

keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan-

keterampilan ini meliputi (Desmita, 2014):

1. Berkomunikasi

2. Memecahkan masalah

3. Mengelola perasaan dan impuls-impuls

4. Mengukur tempramen sendiri dan orang lain

5. Menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai

2.3.3 Aspek-aspek Resiliensi

Menurut teori resilience oleh Back (2016) bahwa factor positif dan factor

resiko berhubungan satu sama lain dan sumber pelindung akan menurun jika

subjek terkena factor resiko jangka panjang. Berdasarkan Reivich (2003)

menyatakan bahwa ada beberapa aspek yang mempengaruhi resiliensi,

diantaranya yaitu:
31

1) Stres emosional

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi

yang menekan. Ketidakpastian penyakit adalah salah satu stres

psikologis yang paling penting ketika orang dipengaruhi oleh penyakit

yang mengancam jiwa dan pasien dengan kanker payudara mengalami

tingkat ketidakpastian penyakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien kanker lainnya (Miller, 2012). Mereka sangat ingin tahu apa

yang akan mereka derita dari perawatan dan apakah mereka akan

bertahan dari penyakit kanker. Kegelisahan, depresi dan ketidakpastian

penyakit adalah tiga indikator yang signifikan untuk menurunkan

tingkat resiliensi di antara pasien dengan kanker payudara pada

penelitian sebelumnya (Miller, 2012).

2) Kontrol terhadap impuls

Pengendalian impuls merupakan kemampuan Individu untuk

mengendalikan keinginan, dorongan, serta tekanan yang muncul dari

dalam diri (Reivich & Shatte, 2003). Individu dengan kemampuan

pengendalian impuls yang rendah akan cepat mengalami perubahan

emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.

Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran,

impulsif, dan berlaku agresif. Tentu perilaku yang ditampakkan ini akan

membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga

berakibat pada hubungan sosial individu dengan orang lain. Individu

dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya


32

kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat

pada permasalahan yang ada (Reivich & Shatte, 2003).

3) Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Hubungan

antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang

dialami individu. Optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang

diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan

kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu

saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka memiliki

harapan terhadap masa depan mereka dan mereka

percaya bahwa merekalah pemegang kendali atas arah hidup mereka.

Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang

mengalami depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi,

apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis (Reivich

& Shatte, 2003).

4) Self efficacy

Self Efficacy adalah sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan

masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte,

2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ye (2018)

menyatakan bahwa tingkat self efficacy yang rendah berkaitan dengan

ketidakmampuan dan depresi yang tinggi dan tingkat self efficacy yang

tinggi ditemukan secara signifikan berbanding positif dengan resiliensi.

5) Kemampuan menganalisa masalah


33

Kemampuan menganalisis masalah merujuk pada kemampuan individu

untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan

yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan

penyebab permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus-

menerus berbuat kesalahan yang sama. Gaya berpikir explanatory

mempunyai peranan penting dalam konsep resiliensi. Individu yang

resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka

mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan

kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya

berpikir explanatory (Reivich & Shatte, 2003).

6) Empati

Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam

menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh

orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan

mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh

karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung

memiliki hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan berempati

berpotensi menimbulkan kesulitan dalam menjalin hubungan sosial.

Individu-individu yang tidak peka terhadap tanda-tanda non verbal

tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang

lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan

maksud orang lain. Ketidakmampuan individu membaca tanda-tanda

nonverbal orang lain dapat merugikan, baik dalam konteks hubungan

kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar


34

manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang

rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang

tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang

lain (Reivich & Shatte, 2003).

7) Reaching out

Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk mencapai aspek

positif dari kehidupan setelah mengalami masalah. Individu yang tidak

mampu melakukan reaching out ini dikarenakan mereka telah diajarkan

sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi

yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih

memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan

namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan

masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk

berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-

hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini

memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka

hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri

mereka sendiri, atau dikenal dengan istilah Self Handicaping (Reivich

& Shatte, 2003).

2.3.4 Proses Resiliensi

1. Tahapan resiliensi

Menurut (Coulson, 2006) menyebutkan bahwa ada empat tahapan yang

terjadi ketika seseorang mengalami situasi dari kondisi yang menekan

(significant adversity) antara lain yaitu:


35

1) Mengalah yaitu kondisi yang menurun dimana individu mengalah

atau menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau keadaan

yang menekan. Tahap ini merupakan kondisi ketika individu

menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi

mereka. Outcome dari individu yang berada pada level ini

berpotensi mengalami depresi, penyalahgunaan narkoba dan pada

tataran ekstrim bisa sampai bunuh diri.

2) Bertahan (survival). Tahapan ini individu tidak dapat mencapai

atau mengembalikan fungsi psikologis dan emosi positif setelah

dari kondisi yang menekan. Pengaruh dari pengalaman yang

menekan membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara

wajar.

3) Pemulihan (recovery) yaitu kondisi ketika individu mampu pulih

kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu

beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih

menyisakan efek dari perasaan negatif yang dialaminya. Individu

dapat kembali beraktifitas untuk menjalani kehidupan sehari-

harinya, mereka juga mampu menunjukkan diri mereka sebagai

individu yang resilien.

4) Berkembang pesat (thriving). Pada tahapan ini, individu tidak

hanya mampu kembali pada tahapan fungsi sebelumnya, namun

mereka mampu melampaui level ini pada beberapa respek.

Pengalaman yang dialami individu menjadikan mereka mampu


36

mengahdapi dan mengatasi kondisi yang menekan, bahakan

menantang hidup untuk membuat individu menjadi lebih baik.

2. Strategi Resiliensi “Protective and Risk Factor”

Individu yang mengalami gejala berat tekanan fisik atau psikologis

(faktor risiko) dan memiliki tingkat kekuatan eksternal atau internal

yang rendah (faktor protektif) akan menunjukkan tingkat resiliensi yang

lebih rendah. Faktor resiko merupakan faktor yang dapat memunculkan

kerentanan terhadap distress. Konsep risk dalam penelitian resiliensi

untuk menyebutkan kemungkinan terdapatnya ketidakmampuan

menyesuaikan diri (maladjusmment) dikarenakan kondisi-kondisi yang

menekan. Protective factor merupakan istilah yang digunakan untuk

mnyebut faktor penyeimbang atau melindungi dari risk factor (faktor

yang memunculkan resiko) pada individu yang resilien. Kualitas

individu yang dapat menjadi faktor protektif yang memungkinkan

individu dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan mereka, antara lain,

kesehatan, sikap yang tenang, control emosi, kompetensi intelektual,

konsep diri, self efficacy (Ye et al., 2018).

2.4 Pendekatan Psikobiologi

2.4.1 Definisi

Psikobiologi atau biopsikologi adalah suatu studi ilmiah tentang

biologi perilaku. Psikobiologi mempelajari mekanisme perilaku dan

pengalaman dari sisi fisiologis, evolusi, serta perkembangan. Istilah

biopsikologi memiliki makna yang sama dengan psikobiologi, psikologi


37

fisologis, atau neurosains perilaku. Psikologi yang berkaitan dengan

persepsi, emosi, pikiran dan ingatan mungkin dikontrol melalui aktivitas

otak . (Pontone et al., 2012). Beberapa psikolog menelusuri perilaku dan

proses-proses mental melalui pendekatan biologi (biological approach) yang

memusatkan pada tubuh, terutama otak, dan sistem syaraf (King, 2012).

Biopsikologi adalah studi ilmiah tentang biologi perilaku. Istilah

biopsikologi karena menunjukkan pendekatan biologis pada studi tentang

psikologi dan bukan pendekatan psikologis pada studi tentang biologi.

Psikologi menjadi tumpuan dalam teks ini. Psikologi adalah studi ilmiah

tentang perilaku, studi ilmiah tentang berbagai overt activities (kegiatan

yang kasat mata) dari organisme maupun proses - proses internal yang

dianggap mendasarinya (misalnya, belajar, ingatan, motivasi, persepsi dan

emosi) (Pinel, 2009).

2.4.2 Konsep Teori Psikobiologi

Ada tiga konsep utama dari ilmu biologi yang mendukung untuk

menjelaskan mengenai psikologi manusia:

1. Genetik

Genetika adalah sebuah pembelajaran tentang sifat yang diwariskan

secara genetik. Dalam ilmu psikologi genetika diterapkan untuk

mempelajari seberapa besar dampak sifat psikologis orang tua yang

diwariskan pada anaknya. Salah satu hal yang identik dengan genetika

adalah kecerdasan. Genetika perilaku adalah ilmu yang mempelajari

perbedaan psikologis antar individu. Faktor yang mempengaruhi

perbedaan individu yaitu gen dan lingkungan. Kedua faktor ini


38

merupakan bawaan dari lahir dan terbentuk melalui lingkungan, karena

genetik ditentukan lewat biologi (karena itu disebut bawaan),

sedangkan faktor lingkungan dikendalikan oleh orang lain (King,

2012).

2. Evolusi

Evolusi merupakan perubahan susunan genetik setelah melalui banyak

generasi dalam waktu yang lama. Hal ini dapat menimbulkan

munculnya spesies baru sebagai akibat dari perubahan susunan genetik

dari spesies sebelumnya. Charles darwin adalah ilmuan biologi pertama

yang mengemukakan bagaimana evolusi itu terjadi. Psikologi

evolusioner merupakan genetik tentang persamaan manusia. Individu

yang bertahan dan dapat mewariskan gennya adalah individu dengan

pertahanan hidupnya yang lebih baik dari pada individu yang

mati. Secara logika evolusi tidak mungkin ‘ bertanggung jawab

sepenuhnya atas semua aspek perilaku sosial individu. perilaku

seseorang juga bisa didapat dari orang lain dan menyarap norma dan

nilai suatu kebudayaan misalnya latar belakang keluarga (King, 2012).

3. Neurofisiologi

Neurofisiologi merupakan bagian biopsikologi yang mengkaji

mekanisme neural perilaku melalui otak (King, 2012). Struktur dan

fungi Otak dalam neurofisiologi antara lain yaitu:

1) Medulla

2) Cerebellum

3) Diencephalon
39

4) Lobus temporal

5) Lobus frontalis / lobus lipatan depan

Gambar. 2.2 Skema Cara Berpikir Biopsikologi dalam Memahami


Perkembangan Perilaku (Pinel, 1993)

2.5 Konsep Kortisol

Aktivasi sumbu pituitari-adrenal adalah yang menonjol respon

neuroendokrin terhadap stres, meningkatkan kelangsungan hidup. Stimulasi aksis

ini menghasilkan sekresi hipotalamus faktor corticotrophin-releasing (CRF). CRF

lalu menstimulasi pituitari menjadi adrenocorticotropin (ACTH), 8-lipotropin dan

3-endorphin. Peranan ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi

komponen-komponen yang terdapat dalam hypothalamic-pituitary axis (HPA-


40

axis). ACTH yang disekresi oleh hipofisis anterior akan terikat dengan

reseptornya pada membran sel korteks adrenal, untuk ini dibutuhkan ion kalsium

ekstrasel. Selanjutnya ikatan tersebut akan mengaktifkan enzim adenilsiklase,

cAMP dan protein kinase-A, sehingga terjadi perubahan kolesterol esterase

menjadi kolesterol bebas (Guyton 2000; Cance et al. 1994; Fox 1996). Kortisol

disintesis dari kolesterol. Kolesterol mengalami esterifikasi oleh kolesterol

esterase dan disimpan dalam lipid droplet. Pembentukan kolesterol bebas pada

lipid droplet dilakukan oleh kolesterol esterase hidrolase. Perangsangan oleh

ACTH akan mengakibatkan aktifasi kolesterol esterase. ACTH mengaktifkan sel

korteks adrenal untuk memproduksi kortikosteroid (Duman et al. 2001; Guyton

2000).

Reseptor kortisol tergolong ke dalam reseptor intraseluler, karena kortisol

terikat dengan reseptor dalam sitoplasma. Ikatan tersebut akan bergerak ke dalam

inti sel dan berinteraksi dengan kromatin. Interaksi kortisol dengan reseptornya

akan menginduksi proses transkripsi, yakni dengan jalan berinteraksi dengan

bagian DNA yang disebut glucocorticoid response element (GREs). Berbagai

protein yang dihasilkan akan mempengaruhi respon kortisol terhadap berbagai

jaringan. Respon tersebut dapat bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung dari

hormon mana jaringan tersebut bekerja. Reseptor kortisol sama di semua jaringan,

namun terdapat variasi sintesis akibat ekspresi gen spesifik pada berbagai

jaringan. Glukokortikoid meningkatkan dan menurunkan transkripsi gen untuk

mempengaruhi sintesis mRNA dari protein tertentu yang memperantarai banyak

efek fisiologis (Guyton 2000). Kortisol beredar dalam plasma dalam bentuk fraksi

bebas dan terikat dengan molekul protein transkortin atau globulin pengikat
41

kortikosteroid. Fraksi bebas merupakan sekitar 8% kortisol plasma total dan

merupakan fraksi kortisol yang secara biologis paling aktif.

Tingkat plasma ini hormon dapat meningkat dua hingga lima kali lipat

selama stres manusia. Nukleus paraventrikular dari hipotalamus bertanggung

jawab atas respons terpadu terhadap stres. Norepinephrine, serotonin dan

acetylcholine menjadi perantara banyak stimulasi neurogenik dari produksi CRF

(Ranabir, 2011).

2.6 Mindfulness

Mindfulness sebagai latihan menyadari dari kondisi yang dialami tubuh,

pikiran, perasaan, situasi saat ini dan berpikir secara sadar untuk membuat

perasaan atau situasi yang tenang (Cambridge Advance Learners Dictionary &

Thesaurus, 2017). John Kabatt Zinn pengembang mindfulness mengartikan Mind

Fulness sebagai kesadaran yang disengaja dengan penuh penerimaan tanpa

penghakiman kesadaran mendatangkan perasaan dan sensasi yang tidak diduga

dengan tujuan untuk mengenali pengalaman yang dialami dan menerimanya

dengan penuh kelapangan (Kabatt Zinn, 2012).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

mindfulness merupakan latihan seseorang untuk mampu menyadari tentang

kondisi sehingga mampu membuat tujuan dan fokus dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi melalui perubahan perilaku untuk meningkatkan kapasitas

dalam menghadapi masalah.


42

1. Merasakan Pengalaman yang Dialami dari Waktu ke Waktu

Mindfulness tidaklah mudah untuk dimengerti atau sulit dijelaskan kecuali

dengan pengalaman (Slitzman, 2002). Mempelajari dan mengaplikasikan

mindfulness dapat membawa seseorang pada peningkatan kesehatan dan

kesejahteraan melalui pemahaman pengalaman yang mendalam antara

pikiran, tubuh, dan emosi (Poulin et al, 2008). Pengertian tersebut bisa

dijelaskan bahwa mengaplikasikan mindfulness melalui kegiatan dengan

tujuan yang disadari dan fokus pada pencapaian sehingga kegiatan yang

dilakukan mampu memberikan arti dari apa yang dialami oleh pemikiran

tubuh dan emosi. Tuntutan norma budaya dan sosial saat ini adalah di mana

setiap orang harus menyelesaikan masalah dengan cepat, selalu sibuk dan

melakukan kegiatan/ pekerjaan setiap waktu, hal tersebut berhubungan

dengan keharusan untuk berada atau sadar berada pada situasi tersebut

(Konhenn et al, 2004). Mindfulness membuat seseorang secara sadar

menyadari situasi yang sedang dialami, menerima dan memberikan perhatian

pada situasi tersebut dengan baik (Day & Horton-Deutsch, 2004; Smith et al,

20015).

2. Manfaat Mindfulness

Manfaat mindfulness di antaranya adalah meningkatkan kesehatan fisik dan

mental seiring adanya perubahan pada perilaku seseorang (Proulx, 2003).

Pada sebuah penelitian menunjukan bahwa orang yang melakukan

mindfulness dapat tidur dengan baik, memiliki vitalitas yang lebih baik dan

mengurangi tingkat nyeri/kesakitan (Kvillemo & Branstorm, 2011).

Penurunan tingkat stress, ansietas, depresi dan beban juga dinyatakan sebagai
43

hasil penelitian intervensi menggunakan mindfulness dengan populasi

spesifik dan untuk pemberi layanan kesehatan itu sendiri (Colen Katz et al.,

2005; York, 2007; Andi et al, 2009; Kan et al, 2009; Pipe et al, 2009).

Beberapa partisipan yang mengikuti program mindfulness pada beberapa

penelitian juga mengalami penurunan distress dan ansietas yang terjadi karena

partisipan mampu melihat dan sadar akan kondisi yang dialaminya sadar apa yang

dipikirkan dan perilakunya telah lebih jelas dan baik (Davis, et al, i2007; Klainin

Yohas, et al, 2012)

1. Kesadaran (Awareness)

Kesadaran tentang apa yang harus dilakukan berdasarkan peristiwa atau

kejadian yang dialami oleh seseorang, pemahaman ini didukung oleh

Praissman (2008) yang menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk

secara sadar penuh terhadap dirinya sendiri di tengah-tengah pengalaman dari

setiap kejadian/ peristiwa merupakan bagian lain dari mindfulness. Tusaie dan

Edds (2009) menjelaskan bahwa kesadaran/ kepekaan adalah latar belakang

dari kesadaran seseorang yang secara langsung memperhatikan lingkungan

sekitarnya. Davis, et al (2007) menyatakan bahwa dengan kesadaran dan

kepekaan membuat seseorang memiliki kemampuan yang besaruntuk

merefleksikan dan merespon dengan cara hidup yang sehat pada setiap

peristiwa yang mereka alami. Seseorang bisa belajar dari setiap perisiwa yang

dialami sehingga mampu meningkatkan kemampuan dan menyelesaikan

masalah. Contoh kasus di lapangan yaitu seseorang ibu rumah tangga dengan

keluhan fisik stress, sulit untuk tidur dan tidak bisa mengontrol emosi dilatih

untuk melakukan mindfulness, sehingga mampu menemukan masalah yang


44

dialami, sehingga mampu menyelesaikan masalah melalui target yang telah

dibuat seperti mengntrol emosi menolong orang lain dan sebagainya.

2. Penerimaan (Acceptance)

Kemampuan seseorang untuk menerima masalah yang muncul, secara sadar

tanpa menghakimi menolak atau menghindarinya merupakan suatu hal yang

penting dan bagian dari mindfulness (Kvillemo &Branstorm, 2011; Cohen-

Catz et al, 2004; Cacciatore & Fllint, 2012) seseorang juga membentuk

kemampannya untuk merasakan pengalaman, menerima setiap momen atau

masalah yang muncul dan belajar untuk merespon bukan bereaksi seperti

kebiasaannya berpikir, melaksanakan, dan melanjutkan hidup (Day & Horton

Deutsch, 2004). Kemampuan menerima masalah merupakan proses yang

sangat penting yang dilakukan seseorang sehingga orang tersebut mampu

melihat masalahnya dengan jelas dan bisa menyelesaikan masalah yang

dihadapinya. Penerimaan juga bisa memberikan pendekatan yang lebih baik

pada diri sendiri dan orang lain di tengah munculnya banyak beragam

fenomena masalah yang terkadang membuat seseorang tidak nyaman atau

malah menjadi sebuah tantangan (Ott, 2004; York, 2007). Ketika seseorang

mampu menerima momen momen situasi atau masalah yang terjadi tanpa

menilainya sebagai sesuatu yang baik atau buruk, membuat seseorang lebih

mampu measakan ketenangan yang mengarahkan pada kesehatan emosi diri

sendiri dan orang lain (Matchin et al, 2011; Pipe, 2008). Penerimaan terhadap

sesuatu masalah membuat seseorang menjadi lebih tenang, menciptakan

kebahagiaan, dan menjadikan masalah sebagai tantangan.


45

3. Perhatian (Attention)

Kesadaran atau kepekaan mendorong seseorang untuk juga mampu membawa

perhatiannya pada hal yang individu tersebut sadari (White, 2014). Perhatian

merupakan bagian dari mindfulness yang merupakan kemampuan untuk tetap

berada pada setiap peristiwa yang dialami (Wittenberg-Lyles, et al., 2010;

Matchim et al, 2011). Matchim et al (2011) menyatakan perhatian sebagai

suatu keadaan menerima keseluruhan kondisi yang individu tersebut alami di

mana seseorang dapat mengatur fokus pada hal yang muncul tanpa

terdistraksi atau tenggelam pada pemikirannya.

Attention adalah sebuah solusi yang mencari perhatian untuk mengatasi stress

akibat kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh individu.

4. Transformatife Process

Beberapa literatur menyebutkan bahwa mindfulness merupakan sebuah proses

(Cohen-Katz et al., 2015; Mackenzin et al., 2016; cacciatore & Flint 2012).

Proses transformative mindfulness menggambarkan bagian dari mindfulness-

mindfulness yang disatukan dari berbagai studi. Ott (2004) menyebutkan

mindfulness sebagai proses pembelajaran yang mendukung kenyataan Poulin

(2008) bahwa menyadari pengalaman akan peristiwa yang dialami merupakan

langkah penting menuju hidup yang lebih teratur. Kabaksin (2012)

menyatakan bahwa melalui Mindfulness kita dapat memperoleh akses

langsung pada sumber kekuatan yang ada dalam diri kita sendiri,

transformasi dan penyembuhan. mindfulness merupakan proses

pengembangan yang berkelanjutan, kemampuan mengklarifikasi konsep


46

penyebab masalah, bagian mindfulness dan konsekuensi yang sulit ketika hal

itu semua saling berkaitan.

2.6.1 Mindfulness Based Reduction Stress (MBSR)

Mindfulness based stress reduction merupakan terapi berbasis

mindfulness yang fokus melatih kesadaran melalui teknik meditasi. Dengan

berlatih mengobservasi sensasi tubuh (body scan meditation), individu dapat

mencapai kondisi mindful dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk ketika

melakukan aktivitas rutin seperti berjalan, makan, berdiri, dll (Germer,

Siegel, Fulton, 2005).

MBSR bertujuan mengubah hubungan individu dengan situasi dan

pikiran yang penuh distres. Hal ini dicapai dengan cara menurunkan reaksi

emosional dan meningkatkan penilaian kognitif secara positif. (Vieten &

Astin, 2007).

Proses pelaksanaan MBSR menurut Janssen (2018) terdapat beberapa

tahapan latihan yang dikembangkan oleh Kabat-Zinn, meliputi:

1. Pemindaian tubuh (memperhatikan apa yang dirasakan tubuh)

2. Meditasi duduk (memperhatikan pernapasan, suara, pikiran, sensasi

tubuh, perasaan / emosi)

3. Latihan gerakan sederhana seperti meditasi berjalan atau berdiri, atau

latihan yoga (memperhatikan apa yang dirasakan tubuh; menjelajah dan

menerima batas)

4. Latihan meditasi informal: memberi perhatian penuh pada aktivitas

sehari-hari (misalnya, menyikat gigi seseorang gigi, mandi, makan).


47

2.7 Experiential Learning

Clark (1991) menjelaskan bahwa pelatihan adalah suatu upaya untuk

melakukan perubahan dalam hal pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan

sikap. Pelatihan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang bermuara pada

perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan-keterampilan, sehingga peran

seorang pelatih adalah tanggung jawab terhadap terjadinya perubahan sikap dan

perilaku orang-orang yang dilatih. Karena sifat manusia dan prosesnya yang

dinamis, maka seorang pelatih harus terlibat di dalamnya sebagai pribadi, sebagai

orang, bukan teknisi yang bersifat mekanistis.

Ketepatan penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran akan sangat

mempengaruhi keberhasilan suatu pelatihan. Suatu pelatihan harus dirancang

sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan akan mampu memfasilitasi untuk

terjadinya sebuah proses pembelajaran.

Pengembangan model pelatihan berbasis experiential learning pada orang

dewasa dimaksudkan karena orang dewasa telah mengakumulasi pengalaman-

pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan mereka, termasuk aktivitas-aktivitas

yang berhubungan dengan pekerjaan, maka dalam suatu pelatihan, pengalaman-

pengalaman tersebut menjadi sangat penting untuk dihubungkan dengan apa yang

sedang mereka pelajari. Mereka perlu difasilitasi untuk dapat mengintegrasikan

pengalaman-pengalaman tersebut sehingga menjadi suatu pengalaman dan

pengetahuan baru, yang dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah-

masalah yang mereka hadapi.


48

2.7.1 Pengertian Pembelajaran Experiential Learning

Model pembelajaran experiential mendefinisikan pembelajaran

sebagai sebuah proses yang didapatkan melalui kombinasi antara

memperoleh pengalaman (grasping experience) dengan mentransformasi

pengalaman (transformation of experience) (Adam, et. al., 2004). Kegiatan

memperoleh pengalaman (grasping experience) dapat terjadi secara

langsung, yaitu melalui indra dan secara tidak langsung, yaitu berupa bentuk

simbiolis, misalnya konsep. Kegiatan mentransformasikan pengalaman

(transforming experience) berupa refleksi dan keterlibatan siswa dalam

suatu aktivitas sains. Model pembelajaran experiential menggambarkan dua

model memperoleh informasi yaitu dengan concrete experience dan

abstract conceptualization, dan dua modal transformasi pengalaman yaitu

reflective observation dan active experimentation.

Pengalaman memberi peranan penting dalam konstruksi pengetahuan.

Madnesen dan Sheal mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar

tergantung bagaimana cara belajar. Belajar dengan membaca kebermaknaan

belajar bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%,

mendengar dan melihat 50%, mengkomunikasikan mencapai 70%, dan

belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan bisa mencapai 90%

(Suherman, 2006). Jelas bahwa kegiatan belajar dengan peran aktif dalam

pengalaman nyata dapat mengoptimalkan kegiatan dalam mencapai tujuan

belajar.

Pembelajaran experiential adalah proses belajar secara edukatif,

berpusat pada pebelajar, dan berorientasi pada aktivitas. Pengalaman-


49

pengalaman yang telah dialami mempunyai peranan penting dalam

pembentukan pengetahuan kognitif dalam pikiran. Seseorang merefleksikan

pengalamannya pada sebuah pengetahuan baru. Suparno (1997) mengatakan

jika konsep baru dapat diintegrasi dengan konsep yang ada di dalam struktur

kognitif, apabila konsep baru tersebut dapat dibayangkan atau dapat

dikaitkan dengan dunia nyata (realistic). Pengetahuan yang diperoleh

kemudian diaplikasikan pada situasi lain (Sharlanova, 2004).

Kolb (1994) mengemukakan 3 karakteristik model pembelajaran

experiential, yaitu (1) belajar paling baik diterima sebagai suatu proses,

dimana konsep diperoleh dan dimodifikasi dari kegiatan eksperimen, tidak

dnyatakan dalam bentuk produk, (2) belajar merupakan proses kontinu

bertolak dari pengalaman, dan (3) proses belajar memerlukan resolusi

konflik (Wirta et. al., 2007). Kolb dalam Adam, et. al (2004),

mengungkapkan beberapa manfaat penerapan pembelajaran yang didasarkan

pada pengalaman sebagai berikut; (1) menyediakan arah pembelajaran yang

tepat dalam penerapan apa yang dipelajari, (2) memberikan arah cakupan

metode pembelajaran yang diperlukan, (3) memberikan kaitan yang erat

antara teori dan praktek, (4) dengan jelas merumuskan pentingnya untuk

merefleksikan dan merangsang memberikan umpan balik tentang apa yang

telah dipelajari, (5) membantu dalam mengkombinasi gaya pengajaran

sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.


50

Gambar 2.3 Model Experiential Learning

Menurut model diatas, proses pembelajaran bermula dari adanya

suatu pengalaman yang diobservasi dan direfleksikan. Dari hasil proses

tersebut, individu akan membentuk konsep-konsep abstrak yang kemudian

dicobakan pada berbagai situasi baru. Mencoba menerapkan pada situasi

baru suatu konsep abstrak yang telah dibentuk, memberikan suatu

pengalaman baru bagi individu, demikian seterusnya proses pembelajaran

berlangsung, seperti sebuah siklus (Achmat, 2005).

Menggunkan model experiential learning, maka peran terpenting

seorang trainer dalam sebuah pelatihan adalah menjadi fasilitator, dimana

harus menciptakan situasi belajar yang memungkinkan semua peserta

memperoleh pengalaman baru atau membantu peserta menata

pengalamannya di masa lampau dengan cara baru (Greenway, 2005).

Dalam experiential learning, pengelola kelas lebih bersifat sebagai

seorang fasilitator. Untuk itu perlu dikenali fungsi-fungsi fasilitatif sebgai

berikut:
51

1. Emotional stimulation, dimana perilaku ekspresif fasilitator harus

mampu merangsang ekspresi emosi peserta secara lebih bebas.

2. Caring, dimana fasilitator harus mampu mengembangkan hubungan

interpersonal yang hangat dan bersahabat. Hubungan ini ditandai

dengan adanya pemahaman terhadap peserta.

3. Meaning attribution, dimana fasilitator berfungsi untuk menyediakan

penjelasan kognitif atas perilaku dan kegiatan yang dilaksanakan, atau

dengan kata lain fasilitator harus mampu mengarahkan peserta dalam

pemberian arti atas sesuatu pengalaman belajar.

4. Executive function, dimana fasilitator berfungsi sebagai seorang

eksekutif dalam kelas. Dalam hal ini fasilitator menggunakan

pendekatan-pendekatan manajerial atas segala aktivitas yang terjadi di

dalam kelas, seperti menghentikan aktivitas, bertanya kepada peserta

untuk memproses pengalaman, dan sebagainya (Achmat, 2005).

2.7.2 Tahap Pembelajaran Experiential model

Pembelajaran experiential menurut Sharlanova (2004) digambarkan

dalam suatu siklus pembelajaran yang terhirarki pada masing-masing fase.

Terdapat empat tahapan model belajar berbasis pengalaman (experiential

learning model), yaitu concrete experience, refective observation, abstract

conceptualization, active experimentation. Kegiatan belajar dalam siklus

belajar Kolb sebagai berikut:

1. Concrete Experience (CE)

Pada tahap concrete experience, pebelajar baik secara individu, tim,

atau organisasi hanya mengerjakan tugas. Tugas yang dimaksudkan


52

adalah aktivitas yang mendorong melakukan kegiatan atau mengalami

sendiri suatu fenomena yang akan dipelajari. Pebelajar dalam hal ini

akan berperan sebagai partisipan aktif. Fenomena ini dapat berangkat

dari pengalaman yang pernah dialami sebelumnya baik formal maupun

informal, atau situasi yang bersifat nyata problematik sehingga mampu

membangkitkan interest siswa untuk menyelidiki lebih jauh.

2. Refective Observation (RO)

Pada tahap refective observation, pebelajar mereview apa yang telah

dilakukan atau dipelajari. Keterampilan mendengarkan, memberikan

perhatian atau tanggapan, menemukan perbedaan, dan menerapkan ide

atau gagasan dapat membantu dalam memperoleh hasil refleksi.

Pebelajar mengamati secara seksama dari aktivitas yang sedang

dilakukan dengan menggunakan panca indera (sense) atau perasaan

(feeling) kemudian merefleksikan hasil yang didapatkan. Pada tahap ini

pebelajar mengkomunikasikan satu sama lain hasil refleksi yang

dilakukan.

3. Abstract Conceptualization (AC)

Tahap abstract conceptualization merupakan tahapan mind-on atau fase

“think” dimana pebelajar mampu memberikan penjelasan matematis

terhadap suatu fenomena dengan memikirkan, mencermati alasan

hubungan timbal balik (reciprocal-causing) terhadap pengalaman

(experience) yang diperoleh setelah melakukan observasi dan refleksi

terhadap pengalaman pada fase concrete ecperince. Pebelajar mencoba

mengkonseptualisasi suatu teori atau model terhadap pengalaman yang


53

diobservasi dan mengintegrasikan pengalaman baru yang diperoleh

dengan pengalaman sebelumnya (prior experience).

4. Active Experimentation (AE)

Pada tahap active experimentation, pebelajar mencoba merencanakan

bagaimana menguji kemampuan suatu teori atau model untuk

menjelaskan pengalaman baru yang diperoleh selanjutnya. Proses

belajar bermakna akan terjadi pada tahap active experimentation

melalui kegiatan active experimentation ini pebelajar akan melatih

kemampuan berpikir kritis. Pebelajar mengetahui sejauh mana

pemahaman yang telah dimiliki dalam memecahkan permasalahan-

permasalahan yang terkait dengan pengalaman sehari-hari. Model

pembelajaran experiential mampu menyediakan tahapan-tahapan

pembelajaran yang menekankan pada terjadinya proses transformasi

pengalaman yang berangkat dari pengalaman sehari-hari (Mardana,

2006).

2.8 Konsep Teori Planned Behavior

Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh

Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang

dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Fokus utama dari teori planned behavior

ini sama seperti teori reason action yaitu intensi individu untuk melakukan

perilaku tertentu. Intensi dianggap dapat melihat faktor-faktor motivasi yang

mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras orang mau


54

berusaha untuk mencoba dan berapa besar usaha yang akan dikeluarkan individu

untuk melakukan suatu perilaku.

Reason action theory mengatakan ada dua faktor penentu intensi yaitu sikap

pribadi dan norma subjektif (Fishbein & Ajzen, 1975). Sikap merupakan evaluasi

positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu. Sedangkan norma subjektif

adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak

melakukan perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Namun Ajzen berpendapat

bahwa teori reason action belum dapat menjelaskan tingkah laku yang tidak

sepenuhnya berada di bawah kontrol seseorang. Karena itu dalam theory of

planned behavior Ajzen menambahkan satu faktor yang menentukan intensi yaitu

perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan persepsi

individu terhadap kontrol yang dimilikinya sehubungan dengan perilaku tertentu

(Ajzen, 2005).

Faktor ini menurut Ajzen mengacu pada persepsi individu mengenai mudah

atau sulitnya memunculkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan merupakan

refleksi dari pengalaman masa lalu dan juga hambatan yang diantisipasi. Menurut

Ajzen (2005) ketiga faktor ini yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived

behavioral control dapat memprediksi intensi individu dalam melakukan perilaku

tertentu.
55

Gambar 2.4 Teori Planned Behaviour (Ajzen, 2005)

Model teoritik dari Teori planned behavior (perilaku yang direncanakan)

mengandung berbagai variabel yaitu: (1) Latar belakang (background factors)

seperti umur, jenis kelamin, suku, status sosial ekonomi, suasana hati, sifat

kepribadian, dan pengetahuan, mempengaruhi sikap dan perilaku individu

terhadap sesuatu hal. Faktor latar belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir

di dalam diri seseorang, yang dalam model Kurt Lewin dikategorikan ke dalam

aspek O (organism). Dalam kategori ini Ajzen (2005), memasukkan tiga faktor

latar belakang, yakni personal, sosial, dan informasi. Faktor personal adalah sikap

umum seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian (personality traits), nilai

hidup (values), emosi, dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain

adalah umur, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama.

Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan ekspose pada media. (2)

Keyakinan perilaku (behavioral belief) hal-hal yang diyakini oleh individu

mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku

atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku, dalam
56

bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. (3) Keyakinan normatif

(normative beliefs), berkaitan langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara

tegas dikemukakan oleh Lewin dalam field theory. Pendapat Lewin ini digaris

bawahi juga oleh Ajzen melalui perceived behavioral control. Menurut Ajzen

(2005), faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi

kehidupan individu (significant others) dapat mempengaruhi keputusan individu.

(4) Norma subjektif (subjective norm) sejauh mana seseorang memiliki motivasi

untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya

(normative belief). Kalau individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk

menentukan apa yang akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain

disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang

akan dilakukannya. Fishbein dan Ajzen (1975), menggunakan istilah ”motivation

to comply” untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu mematuhi

pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. (5)

Keyakinan dari dalam diri individu bahwa suatu perilaku yang dilaksanakan

(control beliefs) dapat diperoleh dari berbagai hal, pertama adalah pengalaman

melakukan perilaku yang sama sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh

karena melihat orang lain misalnya, teman, keluarga dekat dalam melaksanakan

perilaku itu sehingga ia memiliki keyakinan bahwa ia pun akan dapat

melaksanakannya. Selain pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman, keyakinan

individu mengenai suatu perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan juga oleh

ketersediaan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas

untuk melaksanakannya, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap

kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku. (6) Persepsi kemampuan


57

mengontrol tingkah laku (perceived behavioral control), keyakinan (beliefs)

bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku

tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu,

kemudian individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah memiliki

kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku

tersebut. Ajzen (2005) menamakan kondisi ini dengan “persepsi kemampuan

mengontrol” (perceived behavioral control). Niat untuk melakukan perilaku

(intention) adalah kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak

melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu

memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana memilih untuk

melakukan perilaku tertentu itu mendapat dukungan dari orang-orang lain yang

berpengaruh dalam kehidupannya.

Menurut theory of planned behavior, seseorang dapat bertindak berdasarkan

intensi atau niatnya hanya jika memiliki kontrol terhadap perilakunya (Ajzen,

2002). Teori ini tidak hanya menekankan pada rasionalitas dari tingkah laku

manusia, tetapi juga pada keyakinan bahwa target tingkah laku berada di bawah

kontrol kesadaran individu tersebut atau suatu tingkah laku tidak hanya

bergantung pada intensi seseorang, melainkan juga pada faktor lain yang tidak ada

dibawah kontrol dari individu, misalnya ketersediaan sumber dan kesempatan

untuk menampilkan tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005). Dari sini lah Ajzen

memperluas teorinya yang kemudian disebut sebagai perceived behavioral control

(Vaughan & Hogg, 2005).

Berdasarkan theory of planed behavior, intensi merupakan fungsi dari tiga

determinan, yang satu yang bersifat personal, kedua merefleksikan pengaruh


58

sosial dan ketiga berhubungan dengan masalah kontrol (Ajzen, 2005). Berikut ini

adalah penjabaran dari variabel utama dari theory of planned behavior yang terdiri

dari: intensi, attitude toward behavior, subjective norms, dan perceived

behavioral control.

2.8.1 Intensi

Intensi menurut Corsini (2002) adalah keputusan untuk bertindak

dengan cara tertentu, atau dorongan untuk melakukan suatu tindakan, baik

secara sadar atau tidak. Sudarsono (1993) berpendapat bahwa intensi adalah

niat, tujuan, keinginan untuk melakukan sesuatu, dan mempunyai tujuan.

Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai probabilitas

subjektif yang dimiliki seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Intensi

akan tetap menjadi kecenderungan berperilaku sampai pada saat yang tepat

ada usaha yang dilakukan untuk mengubah intensi tersebut menjadi sebuah

perilaku (Ajzen, 2005). Menurut Ajzen (2005) intensi merupakan anteseden

dari sebuah perilaku yang nampak. Intensi dapat meramalkan secara akurat

berbagai kecenderungan perilaku. Berdasarkan theory of planned behavior,

intensi adalah fungsi dari tiga penentu utama, pertama adalah faktor

personal dari individu tersebut, kedua bagaimana pengaruh sosial, dan

ketiga berkaitan dengan kontrol yang dimiliki individu (Ajzen, 2005).

Berdasarkan uraian diatas pengertian intensi pada penelitian ini adalah

kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku tertentu baik secara

sadar atau tidak.


59

2.8.2 Sikap

Ajzen (2005) mengatakan sikap merupakan suatu disposisi untuk

merespon secara positif atau negatif suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku

ditentukan oleh belief tentang konsekuensi dari sebuah perilaku, yang

disebut sebagai behavioral beliefs (Ajzen, 2005). Menurut Ajzen (2005)

setiap behavioral beliefs menghubungkan perilaku dengan hasil yang bisa

didapat dari perilaku tersebut. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh

evaluasi individu mengenai hasil yang berhubungan dengan perilaku dan

dengan kekuatan hubungan dari kedua hal tersebut (Ajzen, 2005).

Secara umum, semakin individu memiliki evaluasi bahwa suatu

perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka individu akan

cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut, sebaliknya jika

semakin individu memiliki evaluasi negatif maka individu akan cenderung

bersikap unfavorable terhadap perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

2.8.3 Norma Subjektif

Ajzen (2005) mengatakan norma subjektif merupakan fungsi yang

didasarkan oleh belief yang disebut normative belief, yaitu belief mengenai

kesetujuan dan atau ketidaksetujuan yang berasal dari referent atau orang

dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti

orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap suatu

perilaku.

Norma subjektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang

tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku


60

(Ajzen, 2005). Norma subjektif ditentukan oleh kombinasi antara normative

belief individu dan motivation to comply.

Biasanya semakin individu mempersepsikan bahwa social referent

yang mereka miliki mendukung mereka untuk melakukan suatu perilaku

maka individu tersebut akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk

memunculkan perilaku tersebut. Dan sebaliknya semakin individu

mempersepsikan bahwa social referent yang mereka miliki tidak menyetujui

suatu perilaku maka individu cenderung merasakan tekanan sosial untuk

tidak melakukan perilaku tersebut.

2.8.4 Perceived Behavioral Control

Ajzen (2005) menjelaskan perceived behavioral control sebagai

fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai control beliefs,

yaitu belief individu mengenai ada atau tidak adanya faktor yang

mendukung atau menghalangi individu untuk memunculkan sebuah

perilaku. Belief ini didasarkan pada pengalaman terdahulu individu tentang

suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu tentang suatu perilaku yang

diperoleh dengan melakukan observasi pada pengetahuan yang dimiliki diri

maupun orang lain yang dikenal individu dan juga dari berbagai faktor lain

yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan perasaan individu mengenai

tingkat kesulitan dalam melakukan suatu perilaku.

Semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit

faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar

kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut dan begitu juga

sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan faktor pendukung dan


61

banyak faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka

individu akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk melakukan

perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

2.9 Keaslian Penelitian

Metode
Judul Artikel;
No (Desain, Sampel, Variabel, Hasil Penelitian
Penulis; Tahun
Instrumen, Analisis)
1. Mindfulness D : non-randomized pre- Skor pre dan post
Education for Stress test/post-tet design mindfulness (MASS)
Reduction in Nursing S : 14 orang mahasiswa dan perceived stress
Students; Peterson keperawatan (PSS) tidak memiliki
KK. (2016) V : variabel independen perbedaan yang
adalah pendidikan tentang signifikan. Hal ini
stress dan mindfulness stress mungkin berkaitan
reduction dan variabel dengan jumlah
dependen adalah sampel yang sedikit,
mindfulness dan perceived Pada kuesioner post
stress intervensi didapatkan
I : form kuesioner efek positif pada
A : descriptive statistic intervensi MSR.

2. Mindfulness Traning D : randomized controlled Mahasiswa


for Stress study perempuan
Management : A S : 288 mahasiswa mengalami
Randomized V : variabel independen peningkatan positif
Controlled Study of adalah Mindfulnes-Based yang signifikan pada
Medical and Stress Reduction (MBSR) mental distress, stress
Psychology Students; dan variabel dependen adalah dalam
de Vibe, M., et al mental distress, stress dalam belajar,subjectivewell
(2013) belajar, kelelahan/burnout, -being dan
subjective well-being, dan mindfulness setelah
mindfulnes mengikuti MBSR.
I : general health
questionnaire, maslach
burnout inventory student
version, perceived medical
school stress, subjective well-
being,five facet mindfulness
questionnaire
A :t-test dan chi square
62

3. Burden of Spousal D : cross sectional study Lebih dari sepertiga


Caregiver of Stage II S : 47 pasang caregiver dan dari pasangan
and III Esophageal pasien penderita kanker
Cancer Survivor 3 V : variabel independen esofagus yang
Years After adalah terapi kuratif dan menjalani pengobatan
Treatment with variabel dependen adalah menujukkan beban
Curative Intent; beban hidup hidup sedang (15%)
Mohammad, Haj., et I : self-perceived pressure atau tinggi (19%) tiga
al (2015). from informal tahun setelah
care (SPPIC, Dutch), perawatan.
caregiver unmet needs
(SCNSP&
S), anxiety and depression
(Hospital Anxiety and
Depression Scale (HADS)),
marital satisfaction
(Maudsley Marital
Questionnaire (MMQ)),
cancer specific
quality of life questionnaire
(EORTC-QLQ C30,dan
OES18 (oesophageal
module).
A : logistic regression
4. Effects of enhanced D : randomized controlled Enhanced-CT
caregiver training trial protocol
program on cancer S: menunjukkan
caregiver’s self- V : variabel independen: peningkatan jangka
efficacy, enhanced care giver traning. pendek pada self-
preparedness, and and variabel dependen : self- efficacy dalam
psychological well- efficacy dalam melakukan melakukan
being; manajamen gejala pada manajamen gejala
Hendrix, CC.,et al pasien kanker, stress dan pada pasien kanker
(2015). kesiapan pendamping dalam dan kesiapan
mendampingi. Serta depresi, pendamping dalam
kecemasan, dan beban pada mendamping, namun
pendamping pasien. tidak demikian pada
I : Modified version of a kondisi well-being
Self-efficacy Scale for pendamping pasien.
Cancer Caregivers, The
Preparedness for Caregiving
scale, a subscale of the
Family Caregiving
Inventory, Profile of Mood
States
(POMS), Center for
Epidemiology Studies-
Depression Scale (CES-D),
63

Caregiver Reaction
Assessment (CRA).
A : general linear models
5. Cancer caregiving D : cross-sectional Sebagian besar
tasks and questionnaire study, pendamping kanker
consequences and S : 590 pendamping pasien mengalami beban
their associations V : variabel independen : berat dalam
with caregiver status status pendamping melakukan
and the caregiver’s pendamping primer atau pendampingan
relationship to the penamping sekunder), pasien.
patient: a survey; hubungan pendamping
Lund,Line., Ross, dengan pasien dan variabel
Lone.,Petersen,M.A., dependen : tugas
Groenvoid,Mogens. pendamping, konsekuensi
(2014) pendamping, dan kebutuhan
pendamping
I : Cancer caregiving tasks,
consequences and needs
questionnaire (CaTCoN)
A : analisis regresi
Mindfulness-based D : integrative review with Terjadi peningkatan
6. Stress Reduction toolkit dengan kesadaran fakultas
(MBSR) in Reducing pre postdesign tentang masalah
Stress in Nursing S : lima fakultas pada stress yang dialami
Students: An University of California mahasiswa
Integrative Review V : variabel independen keperawatan.
and Toolkit; adalah toolkit yang terdiri
Petko, Donna J dari PSS dan handout MBSR
(2017) dan variabel dependen:
kesadaran tentang stress
melalui self-asssesment
I : pre-post kuesioner
A : komparasi
7. Inter-professional, D : non-comparative, Skor resiliensi pasien .
psycho-social randomized phase II trial tidak mencapai nilai
intervention to S : 94 orang pasien onkologi ambang.
facilitate resilience yang beru terdiagnosis tumor Namun didapatlan
and reduce solid atau limfoma yang bahwa skor resiliensi
supportive care needs sedang menjalani kemoterapi pada kelompok HI-
for patients with pertama IPSC-C lebih tinggi
cancer: Results of a V : variabel independen dari pada kelompok
non-comparative, adalah Low Inter- LI-IPSC-C.
randomized phase II professional supportive care Kelompok HI-IPSC-
trial ; in cancer (LI-IPSC-C), High C juga menunjukkan
Eicher, Manuela., et inter-professional supportive penurunan kebutuhan
al (2018) care in cancer (HI-IPSC-C). perawatan suportif,
dan variabel dependen peningkatan mood
adalah dan upaya koping
64

Resilience score, unmet


supportive care needs, mood,
upaya koping
I : Connor-Davisdson
Resiliennce Scale (CD-
RISC)
A : linear mixed-model
regression
8. Factors Associated D : cross sectional study Resiliensi keluarga
With Caregivers’ S : 279 pasang keluarga pendamping yang
Resilience in a pendamping pasien tinggi dipengaruhi
Terminal Cancer V : variabel independen status kesehatan
Care Setting; adalah fungsi keluarga, keluarga pendamping
Hwang, In Cheol., et support sosial, beban dan yang baik, tidak
al (2017). reaksi keluarga pendamping adanya depresi, dan
I : Connor-Davisdson dukungan sosial
Resiliennce Scale (CD- positif.
RISC)
A : regresi multivariate dan
univariate
9. The influence of D : cross sectional Lebih dari setengah
psychological factors S : 50 pendamping pasien menunjukkan
on the burden of kanker resiliensi tinggi,
caregivers of patients V : variabel independen : aspek positif dalam
with advanced faktor psikologis (intelegensi perawatan,
cancer: Resiliency emosional dan perceived kemampuan
and caregiver competence) dan variabel perawatan sedang,
burden; independen : beban dan beban yang
Palacio, C., pendamping pasien kanker rendah.
Krikorian, A., I : Brief Resilient Coping Kemampuan
Limoner, JT. (2017). Scale (BRCS), abbreviated perawatan, resiliensi,
Zarit Caregiver Burden Scale dan aspek positif
A : nonparametric dan dalam perawatan
multiple regresi merupakan faktor
utama yang
mempengaruhi beban
pendamping
10. New Resilience D : cross sectional RS-SC merupakan
Instrument for S :212 pasien pre test dan instrument yang
Patient with Cancer; 417 pasien untuk tes singkat dan spesifik
Ye, Zeng Jie., et al V: variabel independen untuk melakukan
(2017) adalah instrument self report self-report resilience
resilience dan variabel pada pasien dengan
dependen penerapan praktik kanker di Cina.
klinik RS-SC berpotensi
I : RS-SC digunakan baik
A : validity and reliability dalam praktik klinik
test maupun dalam
65

penelitian dengan
intervensi resiliensi.
Namun RS-SC
memiliki
keterbatasan yaitu

11. Pengaruh D : kuantitatif Ada pengaruh


Pemberdayaan Pasien S : pasien DM pemberdayaan pasien
Berbasis Experiential V : pemberdayaan Pasien berbasis experiential
Learning terhadap Berbasis Experiential learning terhadap
Kadar Glukosa Darah Learning, Kadar Glukosa tindakan pencegahan
dan Perilaku Darah, Perilaku Pencegahan komplikasi akut
Pencegahan Komplikasi Akut
Komplikasi Akut I : quesioner
Pasien DM di Poli A : wilcoxon sign rank test
Penyakit Dalam RS
Mardi Waluyo Kota
Blitar
(Nunung, 2015)
12. Influence of Coping D : kuantitatif Results indicated that
Styles on Social S : pendamping pasien coping styles of
Support Seeking kanker confrontive coping,
Among Cancer V : Coping styles, social problem solving, and
Patient Family support seeking, cancer positive reappraisal
Caregivers patient family caregiver were positive and
(Rankin, 2011) I: significant predictors
A: of the tendency to
seek social support
during active
caregiving.
13. Hubungan Dukungan D : kuantitatif Ada hubungan antara
Emosional Keluarga S : pasien kanker yang dukungan emosional
dan Resiliensi dengan menjalani kemoterapi keluarga dan
Kecemasan V: kemoterapi pada pasien resiliensi dengan
Menghadapi kanker, kecemasan kecemasan
Kemoterapi Pada menghadapi kemoterapi, menghadapi
Pasien Kanker di dukungan emosional kemoterapi
RSUD Dr. Moewardi keluarga dan resiliensi
Surakarta I:
(Febi, Makmuroch, & A:
Andayani, 2011)
14. Effects of D: experimental study Terdapat peningkatan
Mindfulness Training S : pasien kanker kadar kortisol pada
on Levels of Cortisol V: mindfulness meditation sampel dengan kadar
in Cancer Patients training kortisol awal yang
(Akerstedt, Torbjorn., I: rendah pada follow up
Kvillemo, Pia., A: tiga bulan pertama.
Branstorm, Terdapat penurunan
66

Richard, 2013) kadar kortisol pada


sampel dengan nkadar
kortisol awal yang
tinggi pada followup
tiga bulan pertama.
15. Efek Mindfulness D : kuantitatif Diperoleh nilai (β = -
terhadap persepsi S : individu stres 0,32, ρ < 0,01, r2 =
kejadian- kejadian V : Mindfulness 0,11). hasil tersebut
yang membuat stres I: menyatakan bahwa
atau stressor pada A: semakin mindful suatu
individu. individu maka semakin
(Brown, Ryan, dan tidak berbahaya
Weinstein, 2008) penilaiannya terhadap
stres, selain itu hasil
menujukkan bahwa
individu yang mindful
akan memilih strategi
approach coping stress
daripada melakukan
strategi avoidant
coping stress

Anda mungkin juga menyukai