Anda di halaman 1dari 11

Kisah inspiratif :

“One Way Ticket”

Oleh: Sandiaga S Uno

Perantauan telah menjadi jejak takdir yang saya terima. Jauh sebelum saya lahir, ayah saya Razif Halik Uno
meninggalkan tanah kelahiran Gorontalo merantau di kota Bandung. Ibu saya, Mien Uno, setelah menikah dengan
ayah ikut pula merantau meninggalkan kota Bandung menuju pedalaman Rumbai yang kaya minyak. Rumbai adalah
tanah kelahiran bagi saya dan kakak, Indra Cahya Uno. Sebagaimana ayah dan ibu, tanah kelahiran tidak pernah
menjadi tanah tinggal kami. Pada saat saya duduk di Sekolah Dasar, ayah pindahkerja ke Jakarta. Di ibukota, ayah
membangun peruntungan dan pada saat itu saya berpikir petualangan kami telah mencapai kota impian. Saya pun
mulai menggantungkan cita-cita di langit ibukota.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jakarta. Saya tidak kesulitan
mendapatkan teman baru, karena rumah kami selalu menjadi tempat berkumpul teman-teman sekolah. Ini
dikarenakan rumah kami selalu dekat dengan sekolah. Dalam hal memilih sekolah, ibu punya prinsip bahwa sekolah
harus dekat dengan rumah. Dengan itu, beliau tetap bisa mengawasi kami. Selain itu, kegemaran saya akan olahraga
bola basket juga membuka pintu pergaulan. Satu lemparan bola seolah mendatangkan sekeranjang teman untuk
saya. Hingga jelang lulus dari bangku SMA, saya menikmati kenyamanan Jakarta dengan segala dinamika masa
remaja. Saya pun mulai menapaki tangga meraih impian sederhana. Saya ingin kuliah di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, kemudian dengan titel sarjana bekerja di perusahaan bonafit dengan gaji cukup untuk hidup
mapan.
Pada saat semua kenyamanan itu menggenggam hidup saya, ayah menyodorkan sebuah tawaran yang tidak
mungkin bisa saya tolak. Tawaran itu berupa sebuah tiket untuk berangkat kuliah ke Amerika Serikat. One Way
Ticket, tanpa ada tiket untuk kembali. Satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan pergi kesana, menyelesaikan
studi sebaik mungkin dan hanya peluang kerja lah yang bisa membawa saya balik ke Jakarta. Sulit untuk
mendeskripsikan perasaan saya yang campur aduk pada saat itu. Tetapi yang jelas tidak ada lonjakan perasaan
gembira. Saya menerima tawaran itu dan episode perantauan dimulai kembali.

Tanpa internet dan penerbangan murah, dunia pada dekade delapan puluhan tampak sangat luas. Amerika dalam
bayangan saya adalah wonderland dengan semua keajaiban yang tampak dalam berita dan film. Ditambah lagi
dengan cerita dari orang-orang yang pernah kesana tentang kemajuan yang masih menjadi impian di tanah air.
Gedung-gedung pencakar langit, hiruk pikuk megapolitan hingga berjuta orang dari beragam ras dan latar belakang
dengan kesibukan tiada henti adalah Amerika di layar kaca. Tetapi pada saat saya menginjakkan kaki di sebuah kota
bernama Wichita, bayangan itu memudar menjadi sebuah keterasingan. Dulu pada dekade dua puluhan, Wichita
dikenal sebagai “Air Capital of The World” karena di kota itu dibangun beberapa pabrik pesawat terbang, tetapi
tetap saja jauh dari bayangan saya sebelumnya tentang Amerika. Tidak ada gedung pencakar langit, malam terasa
lebih cepat sepi dibanding Jakarta dan tidak ada keramaian beragam ras, bisa dibilang Wichita hanya dihuni oleh
orang-orang kulit putih. Tambahan lagi, saya tiba disana pada saat musim dingin baru saja mulai. Kombinasi yang
sempurna untuk kenangan Jakarta yang terus menggelayuti pikiran.

Perlahan saya menyadari, rantau yang asing bagaikan kanvas putih yang luas untuk melukis hidup. Keterasingan
menyediakan ruang bagi kita untuk memulai segala sesuatu dari nol sebab tempat yang baru tidak menyediakan
masa lalu. Walaupun harus melupakan mimpi kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saya tetap setia pada
impian untuk menekuni bidang akuntansi di Wichita State University (WSU). WSU adalah kampus terbesar ketiga di
negara bagian Kansas. Sebagian besar mahasiswanya berasal dari daerah sekitar, tidak banyak yang berasal dari
negara bagian lain, apalagi luar negeri. Saya tidak bisa berharap banyak menemukan mahasiswa Indonesia lainnya
disini.

Dalam keterasingan itu, insting saya untuk survive semakin terasah. Belajar di negeri orang ternyata bagi saya
memberikan motivasi berlipat. Bukan untuk membuktikan diri pada siapapun tetapi lebih pada kebutuhan untuk
bertahan hidup.Tidak ada pilihan lain tersedia selain menggondol ijazah tepat waktu dengan nilai yang harus
memuaskan. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan kampus WSU.
Bergelut dengan angka, dari sebuah kewajiban berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Rutinitas lainnya
adalah mendatangi kantor pos yang terdapat di dalam kampus, berkirim dan menunggu kedatangan surat dari tanah
air. Berhubungan lewat telepon terasa sulit bagi mahasiswa dengan kantong pas-pasan seperti saya. Tetapi berkirim
surat dengan orang tua dan juga dengan pacar yang kemudian jadi istri saya, Nur Asia Uno, membuat saya yang dulu
asing dengan dunia tulis menulis menjadi lancar bercerita. Jarak perantauan kembali memberikan bonus untuk saya.

Rutinitas belajar yang benar-benar ditekuni membuat saya tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan
pergaulan lebih luas. Menurut saya, itu adalah pengorbanan yang wajar demi segenggam mimpi bekerja di
perusahaan besar demi kehidupan yang mapan. Impian untuk menjadi pengusaha belum ada dalam pikiran saya
pada saat itu. Padahal sebenarnya di kampus WSU lah pertama kali secara serius saya mengenal kata
“enterpreneurship”. Pada tahun 1988, awal saya kuliah disana, diadakan peletakan batu pertama untuk
pembangunan Devlin Hall. Pada tahun 1990, seiring berakhirnya masa studi saya di WSU, bangunan yang
diperuntukkan untuk Center for Enterpreneurship itu selesai dibangun dan berdiri megah di tengah-tengah kampus.
Devlin Hall adalah salah satu bangunan kampus pertama di dunia yang diperuntukkan bagi pengembangan
wirausaha. Selain itu, di tengah kampus juga berdiri bangunan sederhana yang baru dipindahkan dari Bluff and
Kellog Street pada tahun 1986, Pizza Hut Number One. Bangunan itu adalah toko Pizza Hut pertama yang didirikan
oleh dua orang mahasiswa WSU pada tahun 1958 yang kemudian menjadi jejaring waralaba yang mendunia. Dan
bahkan kelak saya berkesempatan punya kepemilikan dalam jejaring waralaba itu di Indonesia.

Dua tahun tidak terasa sejak ayah menyodorkan one way ticket. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sekedar
mendapatkan Degree dari W Frank Barton School of Business Wichita State University tetapi juga lengkap dengan
predikat summa cum laude. Prestasi akademik di negeri orang itu membuat saya dipanggil pulang kembali ke tanah
air, diajak bergabung menjadi Finance and Accounting Officer di Bank Summa. Bank yang dimiliki oleh Edward
Soeryadjaya, pada waktu itu merupakan salah satu bank swasta yang tengah tumbuh dengan pesat. Perlahan, impian
saya tentang dunia kerja mulai terwujud. Menjadi seorang junior di Bank Summa membuka kesempatan luas bagi
saya untuk mengenal dunia perbankan dan keuangan. Saya mengikuti keseluruhan proses yang harus dialami oleh
seorang pekerja baru, pelatihan, mendapatkan bimbingan dari senior-senior yang sudah punya nama di dunia
perbankan hingga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tampak kecil dan remeh bagi banyak orang tetapi penting
untuk pengembangan diri.

Di tengah gairah baru dunia kerja itu, Bank Summa memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan
pendidikan Master of Business Administration di George Washington University, (GWU) Washington DC. Rantau
Amerika tidak lagi terasa asing bagi saya. Saya menikmati tugas belajar dari tempat kerja ini. Mimpi indah menyeruak
di awang-awang, tentu setelah menyelesaikan pendidikan Master ini saya bisa meniti karier lebih tinggi di Bank
Summa. Suasana DC dimana terdapat jauh lebih banyak pemukim Indonesia dibandingkan di Wichita juga membuat
saya semakin nyaman. Satu tahun pertama pendidikan di GWU berjalan dengan lancar. Saya juga punya kesempatan
untuk terlibat aktif dengan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Amerika.

Akhir dari setiap mimpi, baik atau buruk, adalah terbangun dalam kesadaran. Mimpi indah saya pada tahun pertama
kuliah di GWU tiba-tiba berhadapan dengan kenyataan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Di tanah air,
Bank Summa mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada kasus kredit macet. Om Williem, -William
Soeryadjaya, turun tangan mengambil alih kepemilikan Bank Summa hingga kemudian menjaminkan kepemilikan
sahamnya di aset paling berharga milik keluarga Soeryadjaya, Astra. Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh Om
Williem, -yang pada akhirnya kehilangan kepemilikan di Astra, tidak bisa menyelamatkan Bank Summa. Dampaknya
bagi saya yang jauh berada di Amerika sungguh sangat terasa. Beasiswa saya terhenti justru di tengah gairah saya
ingin segera menyelesaikan program Master ini. Bagi saya saat itu, sungguh tidak etis di tengah badai besar yang
tengah dihadapi Bank Summa, untuk menanyakan kelanjutan beasiswa.

Di tahun 1992 itu, saya seolah kembali memegang selembar one way ticket. Mimpi-mimpi indah yang sempat
terbang di langit cita-cita, satu per satu pecah bagai gelembung yang tidak berdaya. Perantauan kembali menguji
insting saya untuk survive. Untuk menyelesaikan studi ditambah lagi dengan biaya hidup di Amerika, tabungan saya
pada saat itu jauh dari cukup. Tidak banyak yang bisa saya simpan dari hasil bekerja selama satu setengah tahun di
Bank Summa. Saya merasa pada saat itu, sudah tidak pantas lagi merepotkan orang tua dengan kesulitan yang saya
hadapi. Masalah terhentinya beasiswa ini saya simpan rapat dari orang tua hingga saya berhasil menyelesaikan studi
di GWU. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah mencari pekerjaan dan dengan uang dari hasil pekerjaan itu saya
bisa terus melanjutkan kuliah.

Pada saat kehidupan menantang saya untuk bertahan maka pada saat itu saya bersiap untuk melakoni pekerjaan
apapun sepanjang halal dan cukup untuk menyelesaikan studi. Bahkan sempat terpikir untuk menjadi tukang cuci
piring atau tukang bersih-bersih. Untunglah, dengan prestasi akademik di atas rata-rata pada saat itu, saya bisa
melamar pekerjaan menjadi asisten lab di GWU. Pada saat itu saya mendapatkan bayaran US$ 3 perjam. Pekerjaan
itu tidak lama saya tekuni, karena kemudian terbuka kesempatan untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi menjadi
Tutor dengan gaji US$ 6 perjam. Bekerja sambil kuliah di negeri orang benar-benar menjadi ujian disiplin hidup. Saya
harus pintar-pintar membagi waktu, agar pekerjaan bisa mendukung kuliah yang tengah saya tempuh, bukan
sebaliknya. Disini pula saya menyadari pentingnya menetapkan target dan prioritas. Target saya dalam bekerja
adalah untuk mendapatkan uang demi menyelesaikan kuliah. Artinya kuliah menjadi prioritas utama yang harus
didukung oleh kesungguhan saya dalam bekerja. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, saya mampu melaluinya dengan
baik. Saya tidak sekedar berhasil menyelesaikan studi di GWU, tetapi kembali lulus dengan predikat summa cum
laude.

Usia saya dua puluh tiga tahun ketika menggondol gelar Master of Business Administration dari George Washington
University. Dengan usia yang masih muda itu, ada godaan untuk menerima pekerjaan lain di tengah ketidakpastian
yang menyelimuti Bank Summa. Mimpi untuk bekerja di perusahaan besar dan hidup mapan masih mungkin saya
rangkai kembali. Tetapi sejak kecil saya terbiasa loyal dengan satu hal. Saya loyal dengan satu olahraga, bola basket.
Saya loyal dengan satu wanita, dari pacaran hingga menjadi istri saya, Nur Asia Uno. Saya juga loyal dengan bidang
finance yang saya tekuni. Dan menurut saya adalah penting untuk loyal pada bank yang telah memberikan saya
kesempatan bekerja dan kemudian bahkan untuk melanjutkan studi Master di Amerika. Kalau pun karir saya harus
berakhir, saya ingin keputusan itu datang dari orang yang mempekerjakan. Saya kembali ke Indonesia, tetap dengan
status sebagai karyawan Bank Summa.

Pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Saya kehilangan pekerjaan. Loyalitas
buta saya sepertinya kalah telak oleh kenyataan. Tampak di permukaan memang seperti itu. Tetapi sebenarnya yang
terjadi, itulah masa-masa yang penting dan berharga dalam hidup saya. Saya punya kesempatan untuk melihat lebih
dekat bagaimana Om Willem, mentor bisnis yang sangat saya kagumi, mengelola krisis. Dari Om Willem saya belajar,
bahwa bisnis lebih dari sekedar masalah untung rugi tetapi tanggung jawab. Begitu banyak yang dikorbankan oleh
Om Willem demi mengembalikan uang nasabah di Bank Summa, hingga akhirnya Astra yang dibangun dan
dibesarkannya berpindah kepemilikan. Dalam jangka panjang, krisis yang dialami oleh tempat saya bekerja ini
memberikan pelajaran yang jauh lebih besar pada saat nantinya saya menangani perusahaan-perusahaan termasuk
perbankan yang tengah “sakit”. Seringkali saya berpikir, bila pada titik krisis di tahun 1992 itu saya memutuskan
meninggalkan Bank Summa begitu saja, tentu saya tidak akan pernah bisa berjalan sejauh ini di dunia bisnis. Itulah
pelajaran dari pohon loyalitas yang buahnya saya petik di masa depan.

Kehidupan terus berjalan. Jarum jam tidak pernah menunggu kita untuk bergerak. Saya memutuskan untuk kembali
mengadu peruntungan di perantauan. One Way Ticket membawa saya ke negara tetangga, Singapura. Setia dengan
bidang yang saya tekuni, keuangan, saya bekerja sebagai finance and invesment analist di Seapower Asia Invesment
Limited. Setahun kemudian, karirnya saya menanjak ketika bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai
Investment Manager. Pada tahun 1995, ketika menginjak usia dua puluh enam tahun, saya bergabung dengan NTI
Resources Ltd, Kanada sebagai Executive Vice President. Pekerjaan ini membawa saya kembali ke tanah Amerika
Utara, tepatnya Calgary Canada. Di usia yang masih muda itu, saya sudah bisa menghasilkan pendapatan dollar
“enam digit”. Apabila kesuksesan diukur dari kecepatan menghasilkan uang, maka pada usia dua puluh enam tahun
saya telah mengukir kesuksesan. Tetapi masalahnya, roda kehidupan saya tidak pernah berhenti. Malah roda itu
berputar lebih cepat dibandingkan dengan roda kehidupan banyak orang.

Dengan semua capaian yang saya dapatkan, pada saat itu saya merasa sudah bisa untuk membeli “tiket kembali”
dari one way ticket yang dulu diberikan oleh ayah. Mimpi-mimpi masa remaja tentang kehidupan yang mapan telah
menjadi kenyataan. Realitas itu semakin lengkap ketika saya memutuskan untuk menikahi kekasih saya sejak masa
remaja, Nur Asia Uno pada tahun 1996. Satu tahun kemudian lahirlah putri pertama kami Anneesha Atheera Uno.
Tetapi justru di tengah kesempurnaan hidup ini, ujian hidup yang sangat besar menunggu saya. Pada awal tahun
1997, krisis ekonomi mulai merambat dan perlahan melilit beberapa negara Asia. Dimulai dari terpukulnya mata
uang Baht Thailand akibat aksi spekulasi besar-besaran, krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara Asia lainnya.
Perusahaan tempat saya bekerja benar-benar mengalami pukulan hebat akibat krisis ini. Sejak pertengahan tahun
1997, bisa dikatakan saya tidak pernah lagi menerima gaji dari tempat saya bekerja walaupun masih menjalankan
tanggung jawab sebagai salah satu eksekutif perusahaan. Tanpa gaji, mungkin saya masih bisa bernafas dengan
mengandalkan tabungan yang ada. Sayangnya, mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu tinggi karena berhasil
mengelola dana investasi orang lain, saya menginvestasikan sebagian besar tabungan di pasar modal yang kemudian
ambruk.

Saya pulang ke Indonesia nyaris tanpa membawa apa-apa. Bahkan di Jakarta saya belum sempat menyiapkan
sebuah rumah untuk keluarga sehingga harus menumpang di rumah orang tua. Sempat terlintas dalam pikiran saya,
betapa kejamnya kehidupan ini, menerbangkan dan kemudian menghempaskan saya dalam tempo yang begitu
cepat. Tetapi lambat laun saya mulai bisa menerima ujian hidup itu dengan keikhlasan. Hingga kemudian saya
mengubah cara pandang terhadap ujian yang datang ini. Betapa murah hatinya kehidupan, memberikan pelajaran
nyaris lengkap dalam tempo singkat kepada saya. Dalam tempo hampir sepuluh tahun sejak ayah memberikan one
way ticket, saya telah melewati begitu banyak hal. Bertahan dalam keterasingan di Wichita, bergumul dengan mimpi
yang nyaris sirna, menikmati impian masa remaja hingga sekarang saya seolah memulai segala sesuatunya kembali
dari nol. Bila saya tidak pernah jatuh dengan keras maka saya tidak akan pernah belajar untuk bisa berdiri dengan
kokoh.

Di tengah badai krisis ekonomi yang menerjang tanah air, mustahil bagi saya untuk menemukan peluang kerja baru.
Sementara saya tidak lagi hidup sendiri. Ada istri dan anak yang masih bayi yang harus saya hidupi. Saya tidak
mungkin menghabiskan waktu duduk menunggu badai krisis ini berlalu. Satu-satunya pilihan untuk bertahan pada
waktu itu adalah dengan keluar dan berjuang di tengah-tengah badai. Pada saat semua pintu pekerjaan tertutup,
saya harus menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri saya sendiri. Menjadi pengusaha dengan cara berwirausaha
tidak pernah terlintas di benak saya sebelumnya. Tetapi saya tidak punya pilihan lain untuk bertahan pada waktu itu.
Berbeda dengan sebagian besar pengusaha muda lainnya, dalam darah saya tidak mengalir darah pengusaha. Ayah
saya adalah seorang karyawan perusahaan minyak, sementara Ibu seorang pendidik. Dalam lingkaran keluarga
dekat, juga tidak seorang pun yang menjalani kehidupan sebagai pengusaha. Dari seorang karyawan menjadi
pengusaha seperti perantauan baru bagi saya. Dunia wirausaha menjadi kanvas putih yang akan saya lukis dalam
rentang usia berikutnya.

Seringkali dalam berbagai kesempatan saya mengatakan, bahwa saya menjadi seorang pengusaha adalah karena
kecelakaan. Bila saya boleh jujur, alasan yang lebih pantas sebenarnya, saya menjadi pengusaha demi bisa
memenuhi kebutuhan susu anak saya. Pada saat memulai usaha bersama sahabat saya sejak SMA Rosan Perkasa
Roslani, kami lebih mengandalkan insting untuk bertahan hidup ketimbang perencanaan bisnis yang komprehensif.
Sesuai dengan bidang yang saya tekuni, perusahaan yang kami dirikan pada tahun 1997 itu, Recapital, awalnya
bergerak dalam jasa penasihat keuangan. Kantor kami luasnya tidak lebih dari lima puluh meter persegi dengan
karpet berwarna merah muda. Pernah suatu hari saya berniat meminjam uang kepada Rosan untuk kebutuhan
keluarga sehari-hari sebesar tiga juta rupiah, ternyata Rosan cuma punya lima puluh ribu rupiah. Untuk bertemu dan
rapat dengan klien terpaksa kami menggunakan mobil Suzuki Katana pinjaman dari orang tua. Saya coba membuka
kontak kembali dengan klien-klien dari luar negeri yang dulu saya dapatkan ketika bekerja di luar. Sementara di
dalam negeri, pergaulan ibu saya yang luas, membuka banyak pintu bagi kami walaupun itu belum berarti
kesepakatan bisnis. Semua perjuangan itu perlahan membuahkan hasil ketika kami mendapatkan klien-klien
pertama kami, Ramako Group dan Jawa Pos Group.

Saya memantapkan diri untuk menjadi pengusaha. Bukan semata-mata karena Recapital mulai menunjukkan hasil
tetapi karena saya mulai percaya bahwa saya pulang ke tanah air bukan sebagai orang yang gagal. Justru sebaliknya,
saya pulang sebagai orang yang berhasil ditempa oleh waktu dan nasib. Pengalaman adalah modal penting dalam
dunia usaha, tidak bisa didapatkan di bangku sekolah dan juga tidak bisa didapatkan dengan uang. Pengalaman
berharga hanya bisa didapatkan sepanjang kita hidup dalam prinsip-prinsip yang secara utuh diterapkan dalam
menghadapi berbagai keadaan. Prinsip hidup yang kuat tidak sekedar tumbuh dari sikap melainkan kebiasaan.
Disiplin, loyalitas, target, prioritas serta keikhlasan, Alhamdulillah, sikap itu mengakar jadi kebiasaan hidup saya.
Inilah nilai-nilai yang banyak membantu saya di masa-masa sulit. Tabungan dalam bentuk harta kekayaan suatu saat
mungkin habis atau berkurang, tetapi tabungan pengalaman senantiasa akan bertambah sepanjang hayat dikandung
badan.

Recapital bukanlah akhir dari perantauan saya. Perjalanan hidup mengajarkan, dunia tidak pernah memberi ruang
yang cukup bagi saya untuk berhenti dan sekedar menikmati kenyamanan. Dia selalu datang menggoda lewat
tantangan dan ujian. Pada tahun 1998, ketika mengunjungi mentor saya Om Willem di kantornya jalan Teluk Betung,
saya bertemu dengan salah satu putra Beliau Edwin Soeryadjaya melalui kolega lama dari NTI, Andreas Tjahjadi. Dari
pertemuan tidak sengaja itu, Edwin mengajak saya untuk terlibat membantu sebuah transaksi bisnis yang tengah
dilakukannya. Ternyata pekerjaan itu jauh lebih sulit dari yang saya pikirkan karena di tengah krisis kepercayaan
dunia terhadap Indonesia kami harus meyakinkan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya disini. Butuh
waktu enam bulan untuk menyelesaikan transaksi ini. 2 Desember 1998 adalah tanggal yang tidak mungkin saya
lupakan, karena bertepatan dengan kelahiran putri kedua saya Amyra Atheefa Uno di rumah sakit Medistra, kami
berhasil melakukan transaksi. Itulah inisiasi awal untuk kemudian saya memutuskan secara penuh bergabung
bersama Edwin di bawah bendera Saratoga.

Dua orang putri saya ternyata membawa jejak peruntungan sendiri-sendiri. Recapital rejeki Atheera dan kemudian
Saratoga rejeki Amyra. Alhamdulillah, sekarang kebagiaan keluarga kami bertambah lengkap dengan hadirnya
Sulaiman Saladdin Uno, anak ketiga saya yang baru lahir. Saya tidak mau menduga-duga, jejak seperti apa yang akan
dibawa oleh Sulaiman. Saya ingin hidup tetap menjadi kado penuh misteri yang indah pada waktunya nanti.
Sekarang Recapital dan Saratoga telah menjelma menjadi salah satu kekuatan swasta nasional. Bukan licin jalan
beraspal yang kami lalui untuk sampai seperti sekarang ini. Tetapi belukar penuh duri dimana kata penolakan akrab
di telinga. Saya tidak pernah menghapus kata gagal dari kamus hidup saya. Sebab saya percaya bahwa kegagalan
adalah komplemen serasi dari kesuksesan. Recapital di awal berdirinya, seringkali gagal mendapatkan pinjaman dari
Bank. Bahkan di tengah kemajuannya, beberapa kali kami juga gagal dalam transaksi penting. Saratoga di awal tahun
saya bergabung malah mendapatkan ujian yang menguras emosi kami. Betapa tidak, pada tahun 1999 kami memiliki
kesempatan untuk mengelola kembali “the dream Company”, Astra Group , melalui pelelangan BPPN, tetapi kami
gagal. Rendezvous Edwin dan saya yang memiliki keterikatan dengan Astra tidak pernah terjadi. Keberhasilan tidak
lebih dari persekutuan positif kita dengan kegagalan.

One Way Ticket. Saya percaya bahwa kehidupan hanya menyediakan satu tiket pergi tanpa kembali. Tidak ada
tempat untuk kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah membuka lembaran baru dengan belajar dari pengalaman di
masa silam. Karena hanya ada satu tiket pada setiap kita, kenapa kita harus menumpang pada mimpi orang lain.
Itulah yang mendasari gagasan saya tentang kewirausahaan. Dimana kita tidak hanya membuat diri sendiri berdaya
tetapi juga saling memberdayakan sesama manusia. Kita merantau atau berdiaspora untuk sepetak tanah yang
dijanjikan. Luasnya hanya kurang lebih dua meter persegi. Satu tiket yang kita miliki sekarang lah yang menentukan
apakah di atas permukaan tanah itu akan tumbuh semak belukar atau sebuah nisan sederhana yang senantiasa
mengundang mata. Ingatlah, bumi itu bulat, kita hanya butuh satu tiket untuk bisa mengelilinginya..

Anda mungkin juga menyukai