id
BAB 1
PENDAHULUAN
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada diri mereka dan
individu yang bermanfaat. Pendidikan dapat diperoleh pada saat berada dirumah
dan mengembangkan potensi pada anak. Di sekolah seorang anak tidak hanya
emosional, moral dan psikososial. Seorang anak dapat belajar berhitung sekaligus
belajar menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan teman seusia dan belajar
satu stressor yang dapat mengganggu perkembangan diri anak adalah adanya
1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id
oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa
lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang lain yang terjadi
dalam pengertian diatas adalah adanya budaya senioritas antara adik kelas dengan
kakak kelas, bahwa kakak kelas memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan adik kelas. Pengertian agresif sendiri adalah suatu serangan,
serbuan atau tindakan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau benda
melakukan serangan kepada orang lain, akan tetapi ada perbedaan antara
kekerasan dan perilaku agresif yang terletak pada jangka waktunya. Kekerasan
perilaku agresif dilakukan hanya dalam waktu satu kali kesempatan dan dalam
National Institute for Children and Human Development, pada tahun 2001 bahwa
lebih dari 16% murid mengaku menjadi korban kekerasan di sekolah oleh murid
yang lain. Sedangkan menurut Elliot (2005), bahwa 6 dari setiap 10 anak usia
Playground For Liberation 2001 bahwa 10% murid yang stress karena mengalami
kekerasan, sudah pernah melakukan bunuh diri paling tidak satu kali. Pada Januari
menggantung diri di kamar tidurnya dengan alat lompat talinya karena merasa tak
(Coloroso, 2007)
hingga 16 tahun menunjukkan bahwa hingga 8% hingga 38% siswa adalah korban
kekerasan di sekolah (McEachern dkk, 2005). Sementara itu, menurut Swearer &
Doll (2001) bahwa angka kejadian dunia untuk kekerasan pada remaja di sekolah
adalah sekitar 10% siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) hingga 27% siswa
terhadap usia 11 hingga 16 tahun di Spanyol, terhadap 25% anak yang mengaku
laki lebih agresif dan lebih banyak terlibat dalam perilaku kekerasan daripada
Kasus perilaku kekerasan juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005 Fifi
Kusrini (13 tahun), siswi SMPN 10 Bekasi nekad bunuh diri karena sering diejek
sebagai anak tukang bubur. Pada tahun 2006, Linda Utami (15 tahun) siswi kelas
tidak naik kelas (Sejiwa, 2010). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) Sejiwa terhadap lebih dari 1.300 orang pelajar
sekolah pasti ada kasus kekerasan mulai dari yang ringan hingga berat (Sejiwa,
2010). Selain itu, menurut Aris Merdeka Sirait sebagai Ketua Komisi
tahun 2011 terdapat 139 kasus dan di tahun 2012 terdapat 39 kasus yang
yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa junior di sekolah tersebut.
kekerasan fisik sehingga siswa junior menjadi takut dengan siswa yang lebih
senior, pemalakan serta perkelahian yang diakibatkan karena salah paham. Selain
itu, selama mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) siswa junior mengalami
tindak kekerasan seperti didorong dan ditendang apabila perintah dari siswa senior
kegiatan MOS di sekolah tersebut menjadi ajang balas dendam dan sudah menjadi
cedera atau masalah fisik pada murid yang menjadi korban kekerasan tersebut.
Padahal dari definisi kekerasan di sekolah sendiri tidak terbatas pada tindakan
kekerasan yang menyebabkan cedera fisik semata. Secara psikis juga akan
nama dengan julukan, dengan sengaja menginjak kaki atau mendiamkan teman.
menyerang secara fisik seseorang tetapi juga secara psikis dan mengakibatkan
Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
keluarga, lingkungan (rumah dan sekolah), dan teman sebaya. Sedangkan faktor
dimiliki oleh individu. Sifat penganggu muncul apabila terjadi interaksi yang
kurang baik antara sesama teman serta kurangnya identifikasi kelompok. Seperti
hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk sebuah kelompok yang terdiri
dari anak-anak yang memiliki usia serta minat yang sama (Wong dkk, 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id
pelaku dan korban kekerasan. Diketahui bersama, bahwa kekerasan bisa terjadi
dimana saja, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif yang beragam,
sehingga pelaku dan korban bisa berasal dari kedua belah pihak laki-laki dan
kelamin korban (Astuti, 2008). Biasanya yang menjadi korban adalah kelompok
laki-laki atau kelompok perempuan yang lemah secara fisik dibandingkan dengan
kelompok sebanya. Selain itu, yang menjadi korban kekerasan adalah kelompok
yang lebih muda (yunior). Korban laki-laki lebih sering mendapat kekerasan
secara fisik, akan tetapi apabila korban perempuan lebih sering mendapat
kekuatan yang tidak seimbang, sehingga korban pada kondisi yang tidak berdaya
untuk mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang
diterima oleh korban. Hal ini sesuai dengan pernyataan Olweus (dalam Philips &
dihadapkan pada tindakan yang negatif dari seseorang atau lebih, dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id
merasa malu, merasa bersalah dan merasa gagal karena tidak dapat mengatasi
tindak kekerasan. Selain itu, korban kekerasan akan selalu merasa tidak bahagia,
batas normal. Sehingga, korban merasa sangat dirugikan dari segi akademis yaitu
korban seringkali ditemukan takut untuk bersekolah. Hal ini terlihat dari tingginya
absensi korban untuk sekolah akibat keinginan korban untuk menghindar dari
antarpribadi dalam sekolah merupakan bagian dari iklim sekolah (Koehler dkk,
guru dan berbagai pihak sekolah yang bersikap tidak peduli dan mengabaikan
bersikap tertutup terhadap guru. Hal tersebut akan membuat siswa menyimpan
masalah dan tidak menceritakan kepada guru karena takut apabila tidak dipercaya
sekolah tertentu yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah yang lain
perasaan psikologis yang dimiliki guru dan murid di sekolah tertentu. Dengan
interaksi antara murid satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan adanya
iklim sekolah juga berkaitan dengan tindak kekerasan di sekolah (Milson & Gallo,
siswa mengenai kekerasan, gambaran tentang peran dari orang dewasa, dan
yang tinggi, keterlibatan orang tua yang tinggi, dan disiplin yang efektif, maka
Santrock, 2007)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
Berbagai pihak sekolah, terutama pada guru dan murid dituntut untuk
menciptakan iklim sekolah yang aman, dapat berinteraksi dengan baik dan
perilaku kekerasan.
terhadap dirinya sendiri (Setiawan, 2005). Harga diri bukanlah faktor yang dibawa
sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk dari suatu pengalaman
individu dalam berhubungan dengan individu lain. Dalam interaksi ini setiap
dijadikan cermin bagi setiap individu untuk menilai dan memandang dirinya
sendiri.
harga diri adalah evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuan dan
keberhargaan dirinya. Apabila individu menilai dirinya sendiri sebagai orang yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id
Begitu juga sebaliknya apabila individu yang menganggap dirinya berharga dan
tinggi, perilaku tidak sehat, dukungan yang rendah dari orang tua maupun guru,
gaya pemecahan masalah yang buruk, dan identitas sosial yang rendah. Apabila
psikologis sehingga korban memiliki harga diri yang rendah. Hal tersebut
diperkuat dengan sebuah studi longitudinal bahwa individu yang menjadi korban
kekerasan di sekolah maka mereka memiliki harga diri yang rendah dan lebih
yang memiliki harga diri rendah adalah hypersensitivity, tidak stabil, kepercayaan
memiliki harga diri yang rendah. Korban biasanya akan memandang dirinya tidak
berharga. Perasaan tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak
berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial,
keluarga, dan keadaan fisiknya. Sehingga korban memiliki interaksi sosial yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id
Korban yang memiliki harga diri rendah biasanya akan bersikap patuh dan
pasif kepada pelaku. Sikap patuh akan ditujukan dengan mengikuti keinginan
pelaku, sedangkan bersikap pasif hanya diam dan tidak melakukan apa-apa ketika
kekerasan terjadi pada dirinya. Menurut Coutrney dkk (2003) bahwa sikap patuh
dan pasif yang ditujukan korban seringkali membuat korban tidak disenangi oleh
menghindari korban karena meraka takut akan menjadi korban berikutnya. Sikap
pasif korban akan cenderung menarik diri dalam hubungan dengan teman-teman
memiliki banyak teman di sekolah, seringkali merasa kesepian dan tidak betah
berada di sekolah.
ditemukan beberapa fakta yang berkaitan dengan penelitian ini. Lebih lanjut,
alasan. Siswa kelas XI masuk ke dalam kategori remaja pertengahan, hal ini
sesuai dengan pernyataan Monks, dkk (2004) bahwa remaja pertengahan berkisar
pada usia 15 sampai 18 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan baik fisik,
psikis, maupun sosial yang pesat dan berbeda dari masa sebelumnya. Perilaku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id
Selain itu, siswa XI adalah siswa junior yang biasanya menjadi sasaran perilaku
senior dan siswa XI juga pernah mengalami MOS (Masa Orientasi Siswa) di
diri yang telah dijelaskan serta krusialnya masalah tersebut pada masa remaja,
penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan dari ketiga
dengan judul : “Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan
B. Rumusan Masalah
adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan
3. Apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
2. Manfaat Praktis
sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat
commit to user