Anda di halaman 1dari 10

1009 Produksi bioflok dan nilai nutrisinya dalam skala ...

(Gunarto)

PRODUKSI BIOFLOK DAN NIL AI NUTRISINYA DAL AM SKAL A L ABORATORIUM


Gunarto dan Hidayat Suryanto Suwoyo
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail : gunartom@yahoo.com

ABSTRAK

Membandingkan teknologi produksi bioflok yang telah ada perlu dilakukan guna mengetahui efektiviitasnya
masing-masing dan nilai nutrisi bioflok yang dihasilkan. Dua metode yang dibandingkan yaitu A). bioflok
diproduksi menggunakan bak fiber glass kerucut volume 250 L diisi air tambak salinitas 30 ppt sebanyak 200
L yang disterilkan dengan kaporit 200 mg/L, kemudian diberikan aerasi secara kuat. Probiotik yang
mengandung bakteri Bacillus subtillis dan B. cereus diberikan sebanyak 5 mg/L sebagai bakteri inokulum
pembentuk flok. Mollase (kandungan C = ± 50%) dan pupuk ZA (N = 21%) setiap hari ditambahkan ke air
dalam bak kerucut tersebut pada rasio C:N = 20:1. Kapur kaptan/dolomit 1 mg/L ditambahkan untuk
stabilitas pH. Setelah terbentuk flok di kolom air, rasio C:N tetap dipertahankan pada 20:1 dengan cara
menambahkan molase dan pupuk ZA. Metode produksi bioflok lainnya yaitu B). Untuk menumbuhkan
bioflok digunakan bak fiberglas kerucut volume 250 L diisi air tambak dengan salinitas 30 ppt sebanyak 200
L yang disterilkan dengan kaporit 200 mg/L, kemudian diaerasi secara kuat. Setelah aman dari pengaruh
kaporit, pakan udang dimasukkan sebanyak 1% (2,0 kg, protein = 38%, N = 6,4%, C-organik = 45%).
Selanjutnya ditambahkan probiotik komersial yang mengandung Bacillus subtillis dan B. cereus sebanyak 5
mg/L sebagai inokulum bakteri pembentuk flok. Untuk meningkatkan rasio C:N = 20:1, maka molase
(kandungan C = 50%) dan pupuk ZA (N = 21%) setiap hari ditambahkan ke kolom air dalam bak kerucut
tersebut. Setelah terbentuk bioflok di kolom air, maka untuk stabilitas bioflok, rasio C:N tetap dipertahankan
pada 20:1 dengan menambahkan molase dan pupuk ZA. Hasil penelitian menunjukkan dengan metode A
produksi flok tercepat dicapai kurang dari 10 hari setelah proses aerasi. Di metode B, bioflok lambat
terbentuk karena pH air media penumbuhan bioflok rendah (pH air < 7). pH air yang rendah disebabkan
terlalu banyak sumber C organik (molase dan pakan) yang masuk ke dalam bak, namun setelah dibuang 90%
dari total air dalam bak kerucut, selanjutnya diisi air yang steril dan diaerasi, maka dalam jangka waktu lima
hari bioflok mulai terbentuk. Kadar protein bioflok cukup tinggi di metode A dan B yaitu 28,49% dan
28,73%, namun kandungan asam amino di metode B nampak lebih baik daripada kandungan asam amino di
metode A. Hal ini kemungkinan karena di metode B digunakan pakan udang yang mempunyai kandungan
protein tinggi 35%, sedangkan di metode A tidak digunakan pakan udang.

KATA KUNCI: bioflok, sumber C karbohidrat, Bacillus subtillis, nilai nutrisi

PENDAHULUAN
Peningkatan produksi udang vaname berkorelasi dengan meningkatnya penggunaan pakan sebagai
salah satu faktor produksi utama dalam kegiatan budidaya udang secara semi intensif dan intensif.
Alokasi biaya pakan pada budidaya udang intensif dapat menyerap 60%-70% dari total biaya produksi.
Seiring dengan semakin mahalnya biaya produksi udang, maka upaya untuk efisiensi biaya produksi
harus dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknologi bioflok (Avnimelech, 1999; 2007;
Schryver et al., 2008). Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama
bakteri heterotrof di air media pemeliharaan yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan,
seperti amoniak yang ada di air. Agar terbentuk bioflok, maka rasio C/N harus dipertahankan pada
level 20:1, kemudian diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah lebih rendah
dari 4 mg/L. Untuk meningkatkan rasio C:N, maka sumber C-karbohidrat dapat digunakan di antaranya
molase (Samocha, et al., 2006), tepung tapioka (Hari et al., 2004), glukosa dan gliserol (Ekasari,
2008), sukrosa (Kartika, 2008).
Bioflok merupakan komunitas mikroba yang terdiri atas bakteria, protozoa, dan zooplankton,
dapat juga sebagai suplemen pakan udang mengandung asam amino methionin, vitamin, mineral,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 1010

dan enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang. Dengan demikian apabila
diaplikasikan dalam tambak dengan terbentuk bioflok maka akan menghemat pakan yang diberikan
pada udang karena bioflok dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan.
Kualitas bioflok sangat dipengaruhi oleh karakteristik morfologi dan nilai nutrisinya. Beberapa
aspek penting masih harus diteliti lebih lanjut meliputi seleksi bakteria yang hidup pada bioflok,
mekanisme saling terikat dari satu organisme dengan organisme lain dalam satu formasi bioflok,
faktor-faktor yang berpengaruh pada formasi bioflok, dan efek penggunaan bioflok pada kesehatan
ikan (Schryver et al., 2008). Anonimous, 2009 dalam www.aiyushirota.com menyatakan bahwa salah
satu ciri khas bakteri pembentuk bioflok adalah mampu mensintesis senyawa Poli-Hidroksi-Alkanoat
(PHA) terutama poli-Beta-Hidroksi Butirat yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan polimer antara
subtansi pembentuk flok. Bakteri yang mampu membentuk bioflok di antaranya adalah Bacillus subtilis,
B. Cereus, Zooglea ramigera, Escherichia intermedia, Paracolobacterium aerogenoids, Flavobacterium,
Pseudomonas alcaligenes, Sphaerotillus natans, Tetrad, dan Tricoda sp.
Pemanfaatan bioflok pada budidaya udang di tambak di samping untuk mengefisienkan biaya
produksi, juga diduga mampu meminimalisir risiko serangan penyakit misalnya WSSV, Mio, Vibrio,
dan lainnya. Bioflok juga bisa dimanfaatkan sebagai suplemen dalam ransum pakan untuk ikan atau
udang. Dengan menguasai teknologi produksi massalnya secara indoor, maka akan sangat membantu
dalam penyediaan sumber protein nonikani untuk suplemen ransum pakan ikan atau udang dengan
biaya yang lebih murah. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan teknologi produksi bioflok
yang telah ada guna mengetahui efektiviitasnya masing-masing dan nilai nutrisi bioflok yang
dihasilkan.
BAHAN DAN METODE

Metode A
Untuk menumbuhkan bioflok digunakan bak fiber glass kerucut volume 250 L sebanyak dua unit,
masing-masing bak diisi air tambak salinitas 30 ppt sebanyak 200 L yang disterilkan terlebih dahulu
dengan diberikan kaporit sebanyak 200 mg/L, kemudian diberikan aerasi secara kuat terus-menerus.
Probiotik yang mengandung bakteri Bacillus subtillis dan B. cereus diberikan sebanyak 5 mg/L sebagai
bakteri inokulum pembentuk flok. Molase (kandungan C = ± 50%) dan pupuk ZA (N = 21%) setiap
hari ditambahkan ke air dalam bak kerucut tersebut pada rasio C:N = 20:1. Kapur kaptan/dolomit 1
mg/L ditambahkan untuk stabilitas pH apabila diperlukan. Setelah terbentuk bioflok di kolom air,
maka untuk stabilitas bioflok, rasio C:N tetap dipertahankan pada 20:1 dengan cara menambahkan
molase dan pupuk ZA. Pada setiap 100 g pupuk ZA berarti kandungan N = 21 g, maka untuk sumber
C organiknya diperlukan molase sebanyak 21 g x 20 x 2 = 840 g molase untuk setiap 100 g pupuk
ZA.
Metode B
Untuk menumbuhkan bioflok di laboratorium digunakan bak fiber glass kerucut volume 250 L
sebanyak dua unit, kemudian masing-masing bak diisi air tambak dengan salinitas 30 ppt sebanyak
200 L yang terlebih dahulu disterilkan dengan diberi kaporit sebanyak 200 mg/L, kemudian diberikan
aerasi secara kuat terus-menerus. Setelah dua hari air dianggap sudah aman dari pengaruh kaporit,
selanjutnya pakan udang dimasukkan sebanyak 1% (2,0 kg, protein = 38%, N = 6,4%, C-organik =
45%), Selanjutnya ditambahkan probiotik komersial yang mengandung Bacillus subtillis dan B. cereus
sebanyak 5 mg/L sebagai inokulum bakteri pembentuk flok. Untuk meningkatkan rasio C:N = 20:1,
maka molase (kandungan C = 50%) sebagai sumber C-karbohidrat dan pupuk ZA (N = 21%) sebagai
sumber N setiap hari ditambahkan ke kolom air dalam bak kerucut tersebut. Setelah terbentuk flok di
kolom air, maka untuk stabilitas flok, rasio C:N tetap dipertahankan pada 20:1 dengan menambahkan
molase dan pupuk ZA.
Di metode B, pH air rendah sebagai akibat sumber N yang ditambahkan dari pakan jumlahnya
terlalu banyak yaitu 1% dari volume total air (= 200 L) = 2 kg. Dengan perhitungan N pakan = 6,4%,
maka jumlah N di media air = 128 g. C dalam pakan 45%, maka total C dalam pakan = 900 g. Maka
1011 Produksi bioflok dan nilai nutrisinya dalam skala ... (Gunarto)

C/N rasio dalam pakan = 7:1. Sehingga seharusnya molase yang ditambahkan sebanyak 128 g x 13
x 2 = 3.328 g untuk mempertahankan C/N rasio = 20:1. Namun demikian karena kekurang telitian,
di mana C dalam pakan tidak diperhitungkan maka molase yang ditambahkan ke wadah metode B
sebanyak 128 x 20 x 2 = 5.120 g. Hal ini menyebabkan pH air menjadi rendah yaitu hanya pada
kisaran 4-4,5. Penambahan dolomit sebanyak 20 mg/L sebagai upaya untuk meningkatkan pH air
tidak ada pengaruhnya. Oleh sebab itu, pada hari ke-20 sebanyak 95% dari total air di dalam bak fiber
glass kerucut di metode B dibuang, kemudian diganti dengan air yang baru dan steril. pH air telah
mencapai 7-7,5.
Pengamatan yang dilakukan adalah komposisi, bentuk, struktur, warna, ukuran, Total Suspended
Solid (TSS), Volatile Suspended Solid (VSS), Floc Volume Indices (FVI), dan nilai nutrisi bioflok (pro-
tein, lemak, dan karbohidrat). Parameter kualitas air yang diamati terdiri atas suhu, salinitas, pH,
oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, dan BOT. Perhitungan TSS dan VSS adalah sebagai berikut:

A -B
TSS (mg/L)  X 100
V

di mana:
A = bobot wadah petridish kosong + contoh uji flok yang sudah disaring
B = bobot wadah petridish kosong (mg)
V = volume contoh (mL) = 10 mL
VSS (mg/L) = TSS – jumlah abu

HASIL DAN BAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioflok cepat terbentuk di metode A yaitu hanya diperlukan
waktu sekitar enam hari (Gambar 1). Sumber N yang ditambahkan dari pupuk Za (N = 21%). Pada
penelitian ini di metode A jumlah pupuk Za yang ditambahkan sebanyak 100 g, sehingga N sebanyak
21 g (konsentrasi N dalam media air di bak fiber glass kerucut sebanyak 105 mg/L). Meskipun
sebelumnya juga telah dianalisis kandungan total N dalam air di bak fiber glass sebelum ditambahkan
pupuk Za, tetapi karena konsentrasinya sangat rendah, maka konsentrasi total N awal dieliminir.
C/N rasio dalam air di bak fiber glass dipertahankan pada kisaran 20:1. Untuk sumber C yang
diaplikasikan adalah molase dengan kandungan C = 50%, sehingga jumlah sumber C yang ditambahkan
sebanyak 21 g x 20 x 2 = 840 g. Dengan teknik yang demikian bioflok cepat terbentuk yaitu hanya
selama enam hari proses aerasi, namun demikian kalau kita lihat konsentrasi N awal sangat tinggi
yaitu mencapai 105 mg/L. Padahal menurut Avnimelech (2009), seharusnya konsentrasi N awal hanya

Gambar 1. Bioflok yang terbentuk tanpa pewarnaan gram


negatif setelah 6 hari proses aerasi di bak fiber
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 1012

Gambar 2. Munculnya busa tandai mulai terbentuknya bioflok

0,5-2 mg/L. Kemungkinan dengan konsentrasi N awal yang rendah, maka bioflok akan lambat
terbentuk.
Di metode B, bioflok tidak terbentuk cepat, hal ini disebabkan pH air yang menurun sebagai
akibat sumber N yang ditambahkan dari pakan jumlahnya terlalu banyak yaitu 1% dari volume total
air (= 200 L) = 2 kg. Di samping itu, juga adanya kesalahan tidak memperhitungkan C dalam pakan
sehingga molase yang ditambahkan dalam bak kerucut menjadi terlalu banyak. Hal tersebut
menyebabkan pH air menjadi rendah yaitu hanya pada kisaran 4-4,5, meskipun telah ditambahkan
dolomit sebanyak 20 mg/L, tetapi pH air tetap rendah. Pada hari ke-20 sebanyak 95% dari total air di
dalam bak fiber glass kerucut dibuang, kemudian diganti dengan air yang baru dan steril, maka pada
lima hari kemudian telah terbentuk bioflok. pH air telah mencapai 7-7,5. Dengan demikian faktor pH
sangat berperan dalam terbentuknya bioflok di air media. Di samping itu, juga air media pada awal
pembentukan telah disterilkan terlebih dahulu, sehingga hanya bakteri inokulan dari probiotik yang
diharapkan tumbuh sebagai bioflok. Tanda-tanda mulai terbentuk bioflok adalah munculnya busa
secara melimpah di permukaan air di dalam bak fiber glass kerucut dan busa tersebut akan terus ada
di permukaan air (Gambar 2).
Bentuk dan ukuran bioflok bervariasi dan semakin lama semakin besar ukurannya. Menurut
Avnimelech (2009), warna flok yang hitam (Gambar 3) tidak baik sebagai makanan udang, karena
flok tersebut sudah mati dan mungkin juga menyebabkan menurunnya kualitas air. Kepadatan flok
yang yang baik untuk budidaya udang di tambak adalah pada kisaran 2-15 mL/L (Gambar 4), selama
diendapkan 15-30 menit. Pada penelitian menggunakan bak fiber glass kerucut ini untuk mencapai

Gambar 3. Flok yang sudah tua umur 28 hari, nampak sel berwarna hitam
1013 Produksi bioflok dan nilai nutrisinya dalam skala ... (Gunarto)

Gambar 4. Bioflok mengendap pada tabung cone

kisaran bioflok tersebut bisa dicapai dalam waktu yang singkat yaitu 15 hari, terutama pada perlakuan
A. Juga pada perlakuan B setelah airnya diganti 95%.
Kualitas Air
Beberapa parameter kualitas air di bak produksi bioflok yang dimonitor menunjukkan nilai yang
tinggi terutama amoniak, nitrit, nitrat, dan bahan organik total (Tabel 1). Tingginya amoniak
kemungkinan disebabkan karena konsentrasi awal N yang tinggi di air tambak dalam bak fiber glass
yaitu mencapai 105 mg/L. Sehingga penelitian ini masih perlu dilanjutnya untuk melihat berbagai
konsentrasi awal N pengaruhnya terhadap kecepatan pembentukan bioflok. Di samping itu, ekspose
terhadap sinar matahari juga diduga berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan bioflok. Namun
hal tersebut juga masih perlu dibuktikan. Pada penelitian ini bak kerucut yang digunakan untuk
produksi bioflok diletakkan di dalam laboratorium basah, jadi tidak terekspose ke sinar matahari
secara langsung, hanya saja ada indikasi pada bak yang letaknya dekat jendela dengan kondisi
lingkungan yang lebih terang diperoleh pertumbuhan bioflok yang lebih cepat terutama di perlakuan
A.
Di tambak budidaya udang, pada periode persiapan tambak biasanya pemupukan dilakukan dengan
pupuk urea (N = 46%) sebanyak 150 kg/ha. Dengan demikian N yang ditambahkan ke air tambak
sebanyak 69 kg/ha tambak. Jika ketinggian air tambak 1 m, maka konsentrasi N di air tambak hanya
6,9 mg/L. Jika menggunakan pupuk Za (N = 21%) dengan jumlah yang sama dengan urea untuk
pemupukan awal di tambak, maka konsentrasi N di air tambak sebanyak 3,15 mg/L. Menurut McIntosh
(2000), flok di tambak intensif biasanya akan terbentuk pada 9-10 minggu sesudah penebaran yang
artinya bahwa sudah banyak terakumulasi N yang berasal dari sisa pakan, sehingga tinggal
ditambahkan sumber C karbohidrat secara rutin ke dalam air tambak, tentunya dengan
mempertimbangkan dan memperhitungkan CN rasio menjadi 20:1. Berdasarkan hasil perhitungan
Avnimelech (1999) jumlah sumber C karbohidrat yang harus ditambahkan sebanyak 61% dari total
pakan yang diberikan di setiap hari.
Gambar 4 menunjukkan bioflok yang mengendap di tabung imhoff cone setelah air didiamkan
sekitar 15-30 menit. Pada metode A volume endapan flok sekitar 10-12 mL/L. Menurut Avnimelech
(2009), di air tambak umumnya volume flok sebanyak 2-40 mL/L di tambak udang dan mencapai 100
mL/L di kolam ikan. Sedangkan menurut Nyam Tow (2010, komunikasi pribadi), volume flok yang
ideal untuk tambak udang adalah sebanyak 15 mL/L.
Konsentrasi awal amoniak cukup rendah di semua perlakuan yaitu masih di bawah 0,1 mg/L,
namun selanjutnya pada minggu pertama setelah pemberian pupuk Za di perlakuan A dan B,
konsentrasi amoniak meningkat menjadi 14,32 mg/L (A) dan 10,02 mg/L (B). Setelah enam hari proses
aerasi di bak fiber glass kerucut, sudah mulai terbentuk bioflok terutama di metode A, namun demikian
konsentrasi amoniak malah meningkat, padahal seharusnya konsentrasi amoniak menurun karena
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 1014

dimanfaatkan untuk pembentukan protein bakteri. Hal ini disebabkan karena setiap dua hari sekali
selalu ditambahkan pupuk Za sebanyak 10% (10 g) dari pupuk Za yang diberikan pada awal penelitian
(100 g). Di samping pupuk Za juga ditambahkan molase yang bertujuan untuk mengatur agar C/N
rasio di air dalam bak fiber glass yang diaerasi secara kuat tetap pada level 20:1. Dari kondisi amoniak
yang tinggi ini maka dapat diperoleh informasi bahwa penambahan sumber C dan N ke dalam air
media pembentukan bioflok yang ada di bak fiber glass tidak perlu dua hari sekali, mungkin bisa
diperpanjang menjadi setiap 5 hari sekali atau lebih, atau tidak perlu selalu yang ditambahkan ke air
media pembentukan bioflok harus sumber C karbohidrat dan N (Za) dengan CN rasio 20:1, tetapi
karena konsentrasi amoniak di air media pembentukan bioflok masih tinggi, maka seharusnya hanya
sumber C karbohidrat saja yang perlu ditambahkan setiap hari ke dalam media air pembentukan
bioflok.
Tingginya konsentrasi amoniak disebabkan pupuk Za yang diberikan ke bak fiber glass cukup
tinggi pada awalnya dan setelah terbentuk bioflok, setiap hari juga ditambahkan pupuk Za, di samping
juga sumber C karbohidrat dari molase. Shingga flok yang terbentuk tidak mampu meminimalisir
secara keseluruhan konsentrasi amoniak yang ada di bak fiber glass. Oleh karena itu, perlu diuji lagi
proses pembentukan bioflok dengan konsentrasi N awal yang rendah 0,5-2 mg/L seperti disarankan
oleh Avnimelech (2009). Di samping itu, penambahan pupuk ZA dan molase harus berdasarkan
konsentrasi amoniak di air media pembentukan flok.
Pada minggu ketiga konsentrasi amoniak di metode B menjadi rendah kembali (0,417 mg/L). Hal
ini karena telah dilakukan penggantian air sebanyak 95%, disebabkan karena pH air terlalu rendah
(4-4,5) sehingga tidak terbentuk bioflok hingga hari ke-20. Setelah dilakukan penggantian air, dan
terus diberi aerasi secara kuat, maka bioflok segera terbentuk setelah 5 hari proses aerasi. Konsentrasi
nitrit di air dalam bak produksi bioflok juga mengalami peningkatan meskipun tidak setajam seperti
peningkatan konsentrasi amoniak, begitu juga konsentrasi nitrat.
Konsentrasi BOT meningkat secara menyolok terjadi setelah tujuh hari proses produksi bioflok.
Hail ini karena telah terbentuk bioflok dan relatif stabil konsentrasinya di perlakuan A yaitu yang
tertinggi mencapai 283,8 mg/L. Sedangkan di perlakuan B, setelah airnya dibuang 95%, maka
konsentrasi BOT menurun tajam (17,07 mg/L), kemudian pada hari ke-28 setelah terbentuk bioflok
konsentrasi BOT meningkat menjadi 220,3 mg/L. Sedangkan nilai BOT yang sangat tinggi di perlakuan
B pada hari ke-7 dan 14, berasal dari BOT yang asalnya dari pakan dan molase yang ditambahkan
dalam jumlah yang terlalu banyak ke air media pembentukan flok.
Salinitas, pH air, konsentrasi oksigen terlarut, dan suhu air diperlihatkan pada Tabel 2. Selama
proses pembentukan bioflok, salinitas air di bak fiber glass berfluktuasi di perlakuan A pada kisaran
40-42 ppt, perlakuan B pada kisaran 37-38 ppt. Hal ini menunjukkan bahwa bioflok dapat terbentuk
dengan cepat pada salinitas mencapai 42 ppt, suhu air pada kisaran 29°C-29,7°C; pH air pada kisaran

Tabel 1. Konsentrasi beberapa parameter kualitas air pada produksi bioflok


secara massal di bak fiber glass

Amoniak Nitrit Nitrat Bahan organik


Hari ke- (mg/L) (mg/L) (mg/L) total (mg/L)

A B A B A B A B
1 0,003 0,045 0,003 0,046 0,955 0,694 7,15 6,63
7 14,32 10,02 0,716 0,230 3,580 1,145 283,8 493,1
14 21,57 12,57 0,088 0,174 0,783 12,810 280,3 510,9
21 23,19 0,417 0,062 0,181 0,397 0,122 258,4 17,07
28 24,89 8,42 0,017 0,094 0,262 0,355 263,0 220,3
1015 Produksi bioflok dan nilai nutrisinya dalam skala ... (Gunarto)

Tabel 2. Salinitas, pH air, suhu air, konsentrasi oksigen terlarut di air


dalam bak fiber glass untuk produksi bioflok

Salinitas Suhu Oksigen terlarut


pH
Hari ke- (ppt) (°C) (mg/L)

A B A B A B A B
1 42 37 29,7 29,5 6,7 4,5 5 3,5
7 42 38 29 29,5 6,3 4,5 6 4
14 40 37 29,1 28,9 6,7 7 5,8 5,3
21 40 37 29,7 29,5 6,3 6,8 5,8 5,2
28 41 38 29 29 6,3 6,5 5,9 5,4

6,3-7,7; oksigen terlarut pada kisaran 5-6,5. Sedangkan pH air terlalu rendah 4,5 seperti yang terjadi
di metode B, bioflok tidak bisa terbentuk.
Nilai TSS, VSS, dan nilai nutrisi bioflok
Nilai Volatil Suspended Solid (VSS) adalah cara konvensional untuk menentukan fraksi organik
dari total bahan solid. Nilai TSS, VSS, dan nilai nutrisi bioflok diperlihatkan pada Tabel 3. Pada
perlakuan A nilai TSS nampak makin lama semakin tinggi yaitu dari kisaran 87-91,6 mg/L pada 7 hari
pertama setelah terbentuknya bioflok meningkat menjadi 143,6-151,6 mg/L pada minggu keempat.
Di metode B nilai TSS pada kisaran 90-91,7 mg/L, yang diperoleh setelah terbentuk flok pada pada
hari ke-28. Menurut Avnimelech (2009), nilai normal TSS pada tambak udang intensif adalah pada
kisaran 50-300 mg/L, sedangkan pada kolam budidaya ikan secara intensif mencapai 1.000 mg/L.
Nilai VSS perlakuan A pada minggu ke-4 (117,4-143,9 mg/L); pada perlakuan B pada kisaran 90,7-
91,5 mg/L. Kandungan protein dari flok menunjukkan perbedaan yang tidak berarti, yaitu dengan
nilai 28,49% (metode A) dan 28,7% (metode B). Dari nilai kandungan protein yang diperoleh tersebut
menunjukkan bahwa kandungan protein flok cukup potensial untuk digunakan sebagai sub situsi
pakan bagi udang/ikan yang dibudidayakan, begitu juga apabila dilihat komposisi asam aminonya
(Tabel 4), nampak bahwa konsentrasi aasam amino bioflok yang dihasilkan dari metode B, sedikit
lebih tinggi daripada yang dihasilkan di metode A. Hal ini kemungkinan karena di metode B digunakan
pakan udang yang mempunyai kandungan protein 35%, sedangkan di metode A tidak digunakan

Tabel 3. Nilai TSS, VSS, dan nilai nutrisi bioflok dari tiga perlakuan yang diuji

Protein Lemak TSS (mg/L) minggu ke-


Perlakuan
(%) (%) 1 2 3 4
A 28,73 0,61-0,65 87-91,6 94,6-119,4 94,4-123,4 143,6-151,6
B 28,49 0,67 - - - 91,4-98,4
VSS (mg/L) minggu ke-
Perlakuan
1 2 3 4
A 67,5-81,5 75,4- 98,3 85,4-100 117,4-143,9
B - - - 90,7-91,5
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 1016

Tabel 4. Komposisi asam amino yang


terkandung di dalam bioflok

Jenis Perlakuan (%)


asam amino A B
Asam aspartat 1,632 2,012
Asam glutamat 2,372 3,91
Serin 0,914 1,138
Glisin 0,378 0,418
Histidin 0,424 0,614
Arginin 0,642 0,698
Threonin 0,622 0,908
Alanin 0,994 1,302
Prolin 0,904 1,062
Tirosin 0,682 1,17
Valin 1,168 2,06
Methionin 0,5 0,732
Sistin 0,248 0,26
Isoleusin 0,796 0,836
Leusin 2,322 2,736
Phenilalanin 0,72 0,736
Lisin 1,792 2,078
17,118 21,934

pakan udang sebagai sumber C maupun N, tetapi hanya menggunakan molase sebagai sumber C
karbohidrat dan pupuk ZA sebagai sumber N.
KESIMPUL AN
Di antara kedua metode teknik produksi bioflok yang diuji ternyata yang paling efisien dan efektif
dalam pembentukan bioflok adalah teknik produksi bioflok metode A, karena hanya dalam tempo 6
hari sudah mulai terbentuk flok. Metode tersebut diperlukan sumber N dari pupuk Za dan sumber C
dari molase, juga probiotik sebagai inokulan bakteri pembentuk flok. Kandungan protein bioflok
pada metode A dan B cukup tinggi yaitu pada kisaran 28,4%-28,73% dengan konsentrasi asam amino
esensial dan non esensial yang bervariasi.
SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut produksi massal bioflok dengan konsentrasi N awal yang rendah
(0,5-2 mg/L) dan dilanjutkan dengan dilakukan tes melihat penggunaan bioflok yang terbentuk untuk
digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang/ikan.
DAFTAR ACUAN
Anonimous. 2009. Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri heterotroph Dengan Bioflocs. AIYU
Shirotabiota Indonesia. Biotechnology Consulting & Trading Komplek Sapta Taruna PU, Blok B1
No. 13 Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 14 hlm.
Avnimelech, Y. 1999. Carbon/Nitrogen ratio as control element in aquaculture systems. Aquaculture,
176: 227-235.
Avnimelech, Y. 2007. Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bio-flocs technology
ponds. Aquaculture, 264: 140-147.
Avnimelech, Y. 2009. Biofloc Technology A practical guide book. The World Aquaculture Society, Baton
Rouge, Louisiana, 70803 United State of America, 182 hlm.
1017 Produksi bioflok dan nilai nutrisinya dalam skala ... (Gunarto)

Ekasari, J. 2008. Bio-flocs technology : The effect of different carbon source, salinity and the addition
of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs. Thesis Master pada Ghent Univer-
sity, Belgia, 91 pp.
Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, J.W., & Verdegem, M.C.J. 2004. Effects of carbohydrate
addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 241: 179-194.
Kartika, A. 2008. Optimum rasio C/N medium dengan penambahan sukrose pada pembentukan bioflok
untuk peningkatan kualitas air pada sistem akuakultur. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB,
email : kartikalifl@yahoo.com.
McIntosh, R.P. 2000. Changing paradigms in shrimp farming. IV. Low protein feeds and feeding
strategies. Global Aquaculture ADVOCATE, April 2000, 3(2): 44-50.
Nyan, T. 2010. Komunikasi pribadi.
Samocha, T.M., Susmita, P., Burger, J.S., Almeida, R.V., Abdul-Mehdi, A., Zarrein, A., Harisanto, M.,
Horowitz, A., & Brock, D.L. 2006. Use of molasses as carbon source in limited discharge grow-out
systems for Litopenaeus vannamei. Aquaculture America, hlm. 1-2.
Schryver, P.D., Crab, R., Devoirdt, T., Boon, N., & Verstraete, W. 2008. The basic of bioflocs technology:
The added value for aquaculture. Aquaculture, 227: 125-137.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 1018

Anda mungkin juga menyukai