Anda di halaman 1dari 18

BIOMATERIAL

Pembuatan Keramik HA Berpori .menggunakan Metode


Starch Consolidation beserta Karakterisasinya

Oleh :
Kelompok 3

ANTON ALGRINOV 1507114913


TONI ARDI 1507114719
MAZLANI 1507110867
MUHAMMAD IQBAL 1507123129
MOCHAMAD REIZAL ATH THARIQ 1207112185

PROGRAM SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada permintaan yang cukup besar dalam bidang kedokteran seperti bedah
mulut dan ortopedi, untuk perancah anorganik yang cocok dalam perbaikan atau
penggantian jaringan tulang manusia. Bahan keramik berbasis fosfat kalsium,
terutama hidriksiapatit (HA), adalah bahan keramik yang paling penting dan tepat
untuk penggantian jaringan keras, menurut fakta bahwa bahan ini tidak
menunjukkan efek samping yang beracun, menunjukkan biokompatibilitas yang
sangat baik dengan jaringan keras dan juga jaringan kulit dan otot. Di sisi lain,
bioaktivitas yang menggambarkan kedua jaringan ikatan dan pembentukan
jaringan baru. Untuk aplikasi ini HA Bioceramic berpori dengan struktur pori
terbuka adalah partikulat yang menarik dan penting karena memiliki permeabilitas
yang sangat baik dan area permukaan yang besar. Metode yang lebih disukai
dalam membuat bioceramic adalah seperti harus mampu menyesuaikan tingkat
porositas, memberikan interkoneksi yang bagus dan besar yang bisa membentuk
jaringan keramik yang padat. Sayangnya, karena rendahnya kemampuan mekanik,
HA keramik tidak dapat digunakan dan diaplikasikan untuk daerah dengan beban
dan muatan berat. Dengan demikian, dalam beberapa tahun terakhir, banyak karya
yang terkonsentrasi pada penemuan pengolahan suatu teknik yang mampu
menjadikan bioceramic lebih dapat diandalkan. Sebuah teknik fabrikasi telah
dikembangkan untuk memproduksi bioceramic berpori, termasuk penggabungan
pori dengan mencari bahan pembentuk, konversi hidrotermal dari karang, yang
paling penting teknik pengolahan keramik, pembusaan, meniru busa polimer
dengan impregnasi, teknik pencampuran dua tahap, dan membatasi densifikasi
selama proses sintering. Namun, tidak satupun dari metode ini dapat memenuhi
semua persyaratan yang disebutkan seperti, porositas yang tinggi, interkoneksi
yang bagus, dan sifat mekanik bodi yang dihasilkan tinngi. Misalnya, metode
replikasi busa polimer dapat menghasilkan bentuk dengan porositas yang sangant
tinggi dan interkoneksi yang bagus. Tapi reticulated keramik berpori yang
dihasilkan oleh metode ini sering sifat mekaniknya sangat rendah karena cacat
yang dihasilkan selama proses pirolisis dari busa polimer. Secara umum, semua
pendekatan yang disebutkan diatas kurang mendapat kontrol atas pembentukan
akhir dan distribusi porositas dalam tubuh HA.
Sebuah langkah kunci dalam kemajuan pengolahan keramik adalah kontrol
mikro dari bodi hijau dengan meminimalkan kerusakan, sehingga tingkat
kekuatannya tinggi dan produk ini dapat diandalkan setelah diperoleh dari proses
sintering. Sangat baik menetapkan sekarang karena di Green Compacts sulit untuk
menghilangkan konvensional kering melalui proses konsolidasi bubuk sebagai
uniaksial seperti menekan. Akibatnya pengolahan dalam keadaan basah
membentuk rute yang melibatka dispersi koloid dari pertikel serbuk halus dalam
media cair dan konsolidasi bubuk ke bodi hijau yang homogen dengan tingkat
kerusakan yang minimum (baik dalam ukuran dan angka) yang telah memperoleh
penerimaan yang luas. Dengan demikian, teknik berdasarkan pendekatan koloid
bisa menjanjikan untuk mencapai persyaratan yang diperlukan untuk aplikasi
implan. Berbagai proses koloid, seperti pemasangan pengecoran, keran
pengecoran, dan gel pengecoran telah dilaporkan untuk persiapan bodi HA
dengan ukuran dan bentuk yang berbeda.
Namun, hasil sifat yang diperoleh tidak begitu menjanjikan untuk
memenuhi persyaratn dalam penggunaan produk yang diproduksi sebagai implan.
Disini (dalam proyek ini) sebuah uji coba dilakukan untuk memanfaatkan
pendekatan lain berdasarkan pengolahan koloid teknik konsolidasi pati untuk
membentuk struktur HA 3D. Dalam pendekatan ini, suspensi HA juga stabil untuk
mengkonsolidasi di cetakan kedap tanpa bubuk pemadatan atau pengentalan
dengan penambahan pada saat pemanasan. Potensial yang menguntungkan dari
teknik ini adalah bahan homogenitas yang baik yang mampu mengendalikan
penyusutan sintering dan mampu mengontrol fitur keseluruhan sinter akhir
prodiuk.
Teknik konsolidasi pati dalam hal ini diterapkan dalam investigasi untuk
menghasilkan HA berpori dengan objek struktur homogen. Porositas terkendali,
serta sifat mekanik sinter lebih bagus. Proses ini didasarkan pada sifat dasar dari
pati damn kemampuan membentuk gel dalam air. Pati secara luas digunakan
sebagai cadangan karbohidrat dalam daun, batang, dan buah-buahan terutama
tanaman darat. Kebanyakan pati terdiri dari campuran dua jenis polisakarida yang
linear, amilosa, dan amilopektin bercabang satu. Amilosa mampu membuat pati
membentuk sifat gel dalam suspensi air. Unit glukosa yang membangun polimer
yang rantai pati mengandung banyak gugus hidroksil dan oleh karena itu,
memberikan karakter hidrofilik yang kuat untuk butiran pati.
Air tidak dapat diperoleh dari granula pati pada suhu 50 ºC berarti bahwa
hal ini dapat ditangani dan diproses pada suhu kamar tanpa dampak yang
signifikan terhadap struktur granula. Namun, ketika suspensi pati dipanaskan
sampai suhu antara 55 ºC-80 ºC (tergantung pada jenis dan konsentrasi) obligasi
antarmolekul yang mengikat butiran melemah. Selama proses ini, butiran berjalan
cepat dan pembengkakan yang ireversibel oleh penyerapan air yang menghasilkan
peningkatan ukuran granul dua kali ukuran aslinya. Dengan mencampur bubuk
keramik dan pati dalam suspensi air, dengan menuangka kedalam cetakan dan
memanaskannya hingga suhu 60 ºC-80 ºC partikel pati akan membengkak oleh
penyerapan air. Pembengkakan ini menghilangkan air dan menyebabkan partikel
keramik tetap menyatu, dan akibatnya mengkonsolidasikan kedalam benda padat.
Granula pati yang membengkak, hal itu juga akan bertindak sebagai pengikat
yang menambah kekuatan untuk bodi konsolidasi yang memungkinkan terjadi
pengecoran sebelum pengeringan. Setelah membakar luaran dari pati dan sintering
keramik matriks, bahan yang diperoleh dengan porositas yang sesuai dengan
jumlah aslinya. Bentuk dan ukuran partikel pati boleh terjadi pembengkakan
selama konsolidasi. Selain menguntungkan gel sifat pati, ini juga ramah
lingkungan, mudah untuk membakar keluar dan tidak kalah pentingnya harganya
yang sangat murah.
Ada berbagai parameter yang dapat mengendalikan penyatuan dari bodi 3D
keramik berpori menggunakan teknik konsolidasi pati. Faktor-faktor ini seperti,
reologi suspensi, isi padat, jumlah dan jenis yang ditambahkan pada pati dan
sintering rezim dalam hal suhu dan waktu merupakan parameter yang paling
penting. Di sini, pengaruh baik dari tepung kentang yang berbeda jumlah dan suhu
sintering pada berbagai sifat sampel HA yang perlu diselidiki. Berbagai jumlah
tepung kentang bervariasi dari 10-30 Wt% dan berbagai sintering suhu mulai dari
1250 ke 1350 ºC yang diterapkan. Pengaruh variasi seperti kedua jumlah pati dan
suhu sintering pada sifat kimia, sifat fisik dan mekanik akhir sinter sampel HA.
1.2 Tujuan
1. Mempelajari dan memahami prosedur pembuatan keramik HA berpori
dengan metode starch consolidation,
2. Mengetahui karakterisasi keramik HA berpori dengan metode starch
consolidation.
BAB II
BAHAN, ALAT dan METODE

2.1 Bahan
1. HA powder
2. Dispersan Acumer 9400
3. Tepung kentang komersial
4. Air destilat

2.2 Alat
1. Gelas Beaker
2. Magnetic Stirrer
3. Planetary Mill
4. Zirconia Ball
5. Mechanical Strirrer
6. Non-porous Moulds
7. Dryer
8. Binder remval
9. Muffle Furnace

2.3 Prosedur Pembuatan Porous Hydroxyapatite Ceramics


1. Suspensi dihasilkan dari serbuk hidrosiapatit terkalsinasi yang disiapkan
melalui penambahan serbuk dalam jumlah tertentu secara berangsur-angsur
kedalam air bi-distilat dalam jumlah tertentu dengan pengadukan terus-
menerus. pH air bi-distilat diatur pada 11 dan mengandung 3.6 weight%
dispersan Acumar 9400. Muatan padat suspense diatur pada 59 Vol%.
2. Suspensi kemudian digiling bola dalam planetary mill selama 24 jam
menggunakan bola zirconia sebagai media penggiling. 24 jam dipilih
didasarkan pada fakta bahwa watu tersebut merupakan waktu minimum
untuk meningkatkan pemisahan akibat penggilingan bola. Disisi lain, untuk
menghindari penggerindaan selama penggilingan, volume suspense diatur
dua kali dari volume bola.
3. Setelah menyiapkan semua semua suspensi, tepung kentang yang telah
ditetapkan jumlahnya ditambahkan kedalam suspense dengan pengadukan
cepat secara mekanik selama 3 jam. Hal yang sangat penting untuk
diperhatikan adalah jumlah muatan solid pada suspense (setelah
penambahan tepung kentang) tetap pada 59 Vol%. Densitas dari tepung
kentang ~ 1,45 g/cm3, yang mana ini sangat rendah dibandingkan HA 3,156
g/cm3. Catatan bahwa untuk mencapai keadaan tersebut, selama
penambahan tepung jagung dilakukan penambahan air destilat yang
jumlahnya telah ditetapkan.
4. Setelah diaduk selama 3 jam, suspense siap untuk pencoran.
5. Untuk menyiapakan sampel HA hijau, suspense yang telah disiapkan
(dengan variasi kandungan tepung) dituangkan kedalam cetakan non-pori.
6. Cetakan dengan suspense kemudian di panaskan dalam dryer pada 80 0C
selama 24 jam.
7. Sampel hijau yang dihasilkan kemudian diperlakukan pertama-tama ke
binder removal sebelumnya untuk ke tahap sintering.
8. Sampel hijau kemudian dimasukkan kedalam muffle furnace, pada laju
pemanasan yang dikontrol untuk menghindari pemanasan yang sangat
panas, rusak/pecah atau delaminasi yang akan terjadi melalui ekspnasi
termal yang tak sebanding antara HA dan fasa organic atau ekspansi gas-gas
yang kehabisan tenaga.
9. Sampel hijau disinterring pada suhu sintering yang berbeda-beda dari 1250
0
C hingga 1350 0C dengan interval 50 0C dengan laju pemanasan 5 0C/min.
2.4 Rancangan Platform dari Starch Consolidation
BAB III
HASIL dan DISKUSI

3.1 Analisis XRD


Gambar 1 menunjukkan pola X-ray difraksi untuk sampel hidrosiapatit yang
dihasilkan dengan penambahan tepng kentang dalam jumlah yang berbeda-beda
dan suhu sintering yang bervariasi. Setelah sintering, sampel tergilas dan serbuk
diuji dengan metode XRD. Sebagai pembanding, pola XRD dari serbuk awal
diperkenalkan dalam seluruh grafik.

Gambar 1. Pola XRD dari sampel dengan kandungan tepung kentang yang
berbeda-beda dan variasi suhu sintering

Serbuk HA awal (yang dikalsinasi pada 1100 0C) menunjukkan pola difraksi
yang mana seluruh puncak menerangkan hanya fasa HA. Sementara untuk sampel
dengan jumlah tepung kentang yang berbeda-beda (10 dan 30 %), pada setiap
suhu sintering (1250, 1300, 1350 0C), pola yang dihasilkan memiliki puncak
tambahan (yang ditandai oleh anak panah hitam) disamping fasa HA. Puncak
tambahan diidentifikasikan sebagai fasa 𝛽-TCP. Selain itu, intensitas penambahan
puncak bertambah sedikit dengan penambahan jumlah tepung kentang yang
ditambahkan selama pembentukan sampel hijau dengan suhu sintering yang baik.
Disisi lain, pola menunjukkan bahwa kristalisasi fasa HA berkembang dengan
penambahan suhu sintenring. Ini bisa ditunjukkan dari puncak-puncak runcing
HA dengan penambahan suhu sintering.
Kemunculan puncak-puncak tambahan yang menunjukkan 𝛽-TCP dipercaya
karena dekomposisi sampel HA selama sintering. Dekomposisi ini mungkin
terjadi karena dua alasan. Pertama, hal ini bisa saja berhubungan dengan suhu
yang secara ekstensif mengontrol beberapa dekomposisi. Kedua, kehadiran ion
karbonat dalam media reaksi yang dapat meningkatkan dekomposisi HA.

3.2 Analisis FT-IR


Analisa FT-IR untuk seluruh sampel yang dihasilkan dengan variasi
kandungan tepung kentang dan variasi suhu sintering dilakukan dan spectra yang
dihasilkan dianalisa secara hati-hati. Pada awalnya gugus fungsi yang diamati
oleh FT-IR merupakan gugus fungsi dari bahan-bahan awal yaitu PO43-, OH-,
HPO42- dan CO3 dalam rentang 4000-300 cm-1. Terdapat empat mode dari PO43- ;
v1, v2, v3, dan v4 yang memberikan pita sekitar 958 cm-1, 500-400 cm-1, 1100-
1019 cm-1 dan 605-530 cm-1. Disisi lain, terdapat tiga mode ion OH- ; stretching,
vibration, dan translation yang memberikan pita pada 3700-250, 630, dan 390 cm-
1
. Gambar 2 menunjukkan spectra dari sampel yang dihasilkan dengan variasi
kandungan tepung kentang dan sintering pada suhu yang bervariasi. Spektra
serbuk HA yang dikalsinasi pada 1100 0C digunakan sebagai pembanding.
Gambar 2. Spektra FT-IR dari sampel yang mengandung tepung kentang yang
berbeda-beda dan disinterring pada suhu yang berbeda-beda

Fitur-fitur yang biasa ditemukan diantara kelima spectra sampel yang


berbeda-beda :
1. Munculnya pita absorpsi dalam rentang 964, 1045, dan 570 cm-1 merupakan
karakteristik pita fasa apatit terkristalisasi.
2. Semua mode getaran PO43- (n1, n2, n3 dan n4) secara jelas diidentifikasi
disuluruh spectra. Pita yang muncul pada 964, 470, 1045-1095, dan 570-650
cm-1 merupakan karakteristik pita untuk n1, n2, n3, dan n4 mode kanji ion
PO43-.
3. Pita pada 3444 dan 1635 cm-1 relevan dengan mode pita gugus hidroksil
dalam air terabsorbsi. Saat pita pada 3571 cm-1, sama baiknya dengan 633
cm-1, menunjukkan regangan getaran gugus hidroksil dalam struktur kristal
HA.
Hal yang sangat penting untuk diketahui bahwa perbedaan diantara spectra
yang diamati adalah puncak disekitar pita 3571 cm-1 (menunjukkan mode
regangan gugus hidroksil) yang secara tinggi berkurang dengan
penambahan kedua suhu sintering, begitu juga dengan jumlah kandungan
tepung kentang. Tidak hanya pita ini, pita regangan hidroksil lainnya yang
harusnya muncul pada 630 cm-1 secara sempurna menghilang dengan
penambahan suhu sintering pada kandungan tepung kentang yang lebih
tinggi.

3.3 Analisis SEM dari Sampel Yang Disinter


Gambar 3 menunjukan scanning electron micrographs sampel HA yang
dihasilkan dari suspensi yang mengandung tepung kentang dalam jumlah berbeda
dan disinter pada variasi suhu sintering. Mikrografik menyatakan tentang
porositas sampel dan ukuran pori, yang secara luas dipengaruhi oleh suhu
sintering dan kandungan tepung kentang dalam sampel hijau.
Penambahan kadar tepung jagung (pada suhu sintering yang telah
ditetapkan) meningkatkan porositas dan ukuran pori dari sampel yang dihasilkan.
Sementara itu, peningkatan suhu sintering juga memliki dampak negatif
dibandingkan dengan penambahan kadar tepung kentang. Hal ini dapat diamati
secara kualitatif bahwa nilai densitas individual pori berkurang terus dengan
simultan yang bertambah dalam karakteristik ukuran butiran dengan penambahan
suhu sintering.
Semua sampel tersinter mempunyai diameter pori beberapa pulu mikro
ditunjukkan pada gambar 3 (a)-(f). Selain itu, dalam setiap kasus, struktur pori
sama diseluruh bagian sampel, walaupun, seyognya bahwa suhu sintering dengan
kadar tepung yang rendah akan memunculkan porositas yang lebih rendah.
Ditambah lagi, saluran dalam pori menjadi lebih kecil dengan keadaan ini. Hal ini
sangan mudah untuk diingat bahwa diameter pori bertambah dengan penurunan
suhu sintering dan penambahan kada tepung. Untuk itu sampel harus mengandung
30 Vol% tepung kentang dan di sinter pada suhu sintering paling rendan 1250 0C.
Akan tetapi, bentuk pori berubah dari bentuk bulatan pada kadar tepung
kentang yang lebih rendah menjadi bentuk yang tidak beraturan dengan
penambahan kadar tepung kentang pada suhu sintering yang tidak ditetapkan.
Namun, tingkat antar-konektivitas antar pori bertambah dengan penambahan
tepung yang ditambahkan. Bentuk granul tepung memiliki andil untuk
interkoneksi sekitar pori yang lebih besar dan perluasan interkoneksi tergantung
pada jumlah tepung yang ditambahkan.
Gambar 3. Efek jumlah tepung dan suhu sintering pada mikrostruktur sampel
tersinter. (a) dan (b) sampel yang mengandung 10 dan 30 % TK dan disinter pada
1250 0C, (c) dan (d) sampel yang mengandung 10 dan 30 % TK dan disinter pada
1300 0C, (e) dan (f) sampel yang mengandung 10 dan 30 % TK dan disinter pada
1350 0C.

3.4 Porositas dan Distribusi Ukuran Pori


Porositas yang jelas, begitu juga perubahan linear dari sampel yang
dihasilkan dengan variasi kadar tepung kentang dan sinterisasi pada suhu yang
berbeda ditunjukkan pada Tabel 3.1.
Sudah jelas bahwa penambahan jumlah tepung kentang memicu
meningkatnya porositas. Sebaliknya, penambahan suhu sintering bertanggung
jawab atas pengurangan porositas. Disisi lain, sesuatu yang menarik untuk diingat
bahwa pada kondisi sintering 1350 0C selama 2 jam, penyusutan volume
(shringkage) sampel tidak rellevan dengan kadar tepung kanji, dimana
shringkagen relative konstan untuk semua kadar tepung kentang. Hal ini diketahui
dari teori sintering bahwa ketika pori yang besar hadir dalam butiran baik body
keramik hijau, pori-pori besar ini tidak menyusut dengan signifikan selama
meraka secara termodinamika stabil atau bahkan menunjukkan kecenderungan
untuk tumbuh.
Tabel 3.1 Efek suhu sintering dan jumlah tepung kentang pada porositas sampel
HA tersinter
Jumlah Tepung Porositas (%) Perubahan
Kentang (% Suhu Sintering (0C) Linear (%) untuk
Volume) 1250 1300 1350 1350 0C
10 30.13 28 25.7 11.13
20 44.4 41 38 11.2
30 57 53 50 11.18

Distribusi ukuran pori dari sampel tersinterisasi dijelaskan sebagai volume


kumulatif dan pertambahan volume yang didapatkan dari studi porosimetri
merkuri. Data pada gambar 4 untuk semua sampel yang diuji menunjukkan
distribusi ukuran pori yang sempit, dengan lebar pori pada rentang 1-10 𝜇m. Data
menunjukkan bahwa seiring kadar tepung berkurang, kadar pori terukur (sebagai
pertambahan volume) berkurang. Evolusi ini tidak mengejutkan selama teknik
mengukur ukuran pori Hg-porosimetri menunjukkan wilayah kontak atau lajur
diantara pori bentuk bulatan yang lebih besar yang dihasilkan oleh garnul tepung
asli. Nilai kontak ini per satuan volume dan luas setiap kontak satu sama lain
secara berangsur berkurang dengan pengurang jumlah tepung, menghasilkan
kadar pori yang lebih kecil. Akan tetapi, jumlah kadar tepung terlihat tidak efektif
mempengaruhi diameter pori yang dihasilkan dalam sampel akhir pada suhu
sintering yang tidak ditentukan.
Gambar 4. Distribusi ukuran pori sampel terisnter yang mengandung variasi
kadar tepung kentang dan disinter pada varisi suhu, (a) & (b) suhu sintering =
1250 0C, (c) & (d) suhu sintering = 1300 0C, € & (f) suhu sintering = 1350 0C.

Secara umum, hasil pada gambar 4 menunjukkan sangat banyak koneksi


antarpori pada rentang diameter 1 𝜇m – 10 𝜇m. Puncak maksimum ditemukan
pada ~2 𝜇m untuk sampel disinter pada 1250 dan 1300 0C dan bergeser ke ~5 𝜇m
pada 1350 0C suhu sinteringnya. Data diatas menunjukkan bahwa hampir semua
pori terbuka dalam sampel pada rentang yang sempit ini, menunjukkan
homogenitas yang baik dari mikrostruktur yang dihasilkan melalui proses yang
disajikan.

3.5 Kekuatan compressive


Efek suhu sintering dan kadar tepung kentang pada kekuatan compressive
sampel HA berpori yang tersinter ditunjukkan pada Tabel 3.2 Hal ini secara jelas
diingat bahwa kekuatan compressive sampel berpori ditemukan berkurang dengan
penambahan jumlah kadar tepung kentang dan pengurangan suhu sintering.
Pengurangan kekuatan compressive akibat penambahan jumlah tepung kentang
dan pengurangan suhu sintering dapat mendukung peningkatang porositas sampel
yang dihasilkan dalam kedua kasus ini.
Tabel 2. Efek suhu sintering dan kadar tepung kentang pada kekuatan
compressive sampel HA berpori yang tersinter
Jumlah Tepung Kekuatan compressive (MPa)
Kentang (%Volume) Suhu Sintering, 0C
1250 1300 1350
10 26.8 33 39.5
20 22.5 30 36.7
30 12.6 16 19
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dibahas maka dapat dibuat kesimpulan


bahwa :
1. Keramik HA berpori dapat dibuat dengan metode starch consolidation
denga variasi kadar penambahan tepung dan variasi suhu sintering sebagai
variable pengujian.
2. Komposisi fasa sampel dipengaruhi oleh jumlah tepung dan suhu sintering.
3. Porositas sampel tersinter bertambah dengan penambahan jumlah tepung
kentang dan pengurangan suhu sintering. Nilai porositas terbesar 57%
didapat pada sampel yang mengandung 30% tepung kentang dan suhu
sintering 1250 0C.
4. Analisis SEM menunjukkan bahwa ukuran pori bertambaha seiring
bertambahnya jumlah tepung dan pengurangan suhu sintering.
5. Analisis distribusi pori membuktikan bahwa penambahan jumlah
penambahan tepung kentang memicu pertambahan kadar pori terukur,
sebagai hasil, meningkatnya nilai ion necks diantara pori-pori bulat dan
meningkatnya nilai luas kontak.
6. Kekuatan compressive bertambaha seiring peningkatan suhu sintering dan
pengurangan jumlah tepung. Nilai kekuatan compressive tertinggi 39.5 MPa
didapat pada sampel yang mengandung 10% tepung kentang dan suhu
sintering 1350 0C.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Y.M.Z, Ewals E.M.M, El-Sheikh S.M. Porous hydroxyapatite ceramics


fabricated via starch consolidation technique. Journal of Ceramic Processing
Research Vol. 16, No. 00, pp. 1-10 (2015).

Anda mungkin juga menyukai