Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASMA BRONKIALE

I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi/deskripsi penyakit
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2015)

Asma bronchial adalah suatu penyakit pernapasan dimana terjadi


penigkatan respon saluran pernapasan yang menimbulkan reaksi obstruksi
pernapasan akibat spasme otot polos bronkus. (Sjaifoellah, 2016)

1.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu :
1.2.1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
1.2.2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi.
1.2.3 Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.

1.3 Tanda gejala


Gejala-gejala yang lazim muncul pada asma bronchial menurut adalah
batuk, dispnea, dan mengi. Biasanya pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita
tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke
depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala
klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk,
dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala
tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.

1.4 Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus
yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara.
Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi
ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel
mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat
dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Histamine yang dihasilkan menyebabkan kontraksi otot
polos bronkiolus. Apabila respon histaminnya berlebihan, maka
dapat timbul spasme asmatik. Karena histamine juga merangsang
pembentukan mucus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka
juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang intestinum
paru, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Selain itu olahraga juga dapat berlaku sebagai suatu
iritan, karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah
beasr dan cepat. Udara ini belum mendapat perlembaban
(humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan dari partikel-
partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan asma.

Pada asma, diameter bronkhiolus menjadi semakin berkurang


selama ekspirasi dari pada selama inspirasi. Hal ini dikarenakan
bahwa peningkatan tekanan dalam intrapulmoner selama usaha
ekspirasi tak hanya menekan udara dalam alveolus tetapi juga
menekan sisi luar bronkiolus. Oleh karena itu pendeita asma
biasanya dapat menarik nafas cukup memadai tetapi mengalami
kesulitan besar dalam ekspirasi. Ini menyebabkan dispnea, atau
”kelaparan udara”. Kapsitas sisa fungsional paru dan volume paru
menjadi sangat meningkat selama serangan asma karena kesulitan
mengeluarkan udara dari paru-paru. Setelah suatu jangka waktu
yang panjang, sangkar dada menjadi membesar secara permanent,
sehingga menyebabkan suatu ”barrel chest” (dada seperti tong).
1.5 Pemeriksaan Penunjang
2.1.3.1 Laboratorium:
1.5.1.1 Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi
1.5.1.2 Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini
menurun dengan pemberian kortikosteroid.
2.1.3.1 Analisa gas darah:
Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau
status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai
sedang PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan
terjadi alkalosis respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas
menurun, PaCO2 normal atau meningkat dan terjadi asidosis
respiratorik.
2.1.3.2 Radiologi:
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru
biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda yang
menunjukkan yang khas untuk asma adanya hiperinflasi, penebalan
dinding bronkus, vaskulasrisasi paru.
2.1.3.3 Faal paru:
Menurunnya FEV1
2.1.3.4 Uji kulit:
Untuk menunjukkan adanya alergi
2.1.3.5 Uji provokasi bronkus:
Dengan inhalasi histamin, asetilkolin, alergen. Penurunan FEV 1
sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan petanda
adanya hiperreaktivitas bronkus
1.6 Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang
men gancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan. Pada
kasus seperti ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja
pernapasan sangat meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat,karena
individu yang mengalami asma tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen
normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen
yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi
melawan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang
kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya
tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat
terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.

1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan medikamentosa :
1.7.1 Waktu serangan.
1.7.1.1 Bronkodilator
a. Golongan adrenergik:
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu
selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc
jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15 menit
kemudian. Untuk anak-anak diberikan dosis lebih kecil
0,1 – 0,2 cc.

b. Golongan methylxanthine:
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg.
Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 – 10 menit,
diberikan 5 – 10 cc. Aminophilin dapat diberikan apabila
sesudah 2 jam dengan pemberian adrenalin tidak
memberi hasil.

c. Golongan antikolinergik:
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik
adalah menghambat enzym Guanylcyclase.

1.7.1.2 Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan
pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju.
a. Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat
Beta Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunayi
efek bronkodilator.
b. Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali:
sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder.
c. Ekspektoransia.
Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran napas.
Beberapa ekspektoran adalah: air minum biasa
(pengencer sekret), Glyceril guaiacolat (ekspektorans)

1.7.2 Diluar serangan


Disodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding
membran dari cell mast atau basofil sehingga: mencegah terjadinya
degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan histamin, mencegah
pelepasan Slow Reacting Substance of anaphylaksis, mencegah
pelepasan Eosinophyl Chemotatic Factor).

Pengobatan Non Medikamentosa:

1.7.3 Waktu serangan:


1.7.3.1 pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik
atas dasar gejala klinik maupun hasil analisa gas darah.
1.7.3.2 pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat
dan yang berlangsung lama ada kecenderungan terjadi
dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi, viskositas mukus
juga berkurang dan dengan demikian memudahkan
ekspektorasi.
1.7.3.3 drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu
pengeluaran dahak agar supaya tidak timbul penyumbatan.
1.7.3.4 menghindari paparan alergen.

1.7.4 Diluar serangan


1.7.4.1 Pendidikan/penyuluhan.
Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya,
apa pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat,
dan bagaimana dapat menghindari timbulnya serangan.
Menghindari paparan alergen. Imti dari prevensi adalah
menghindari paparan terhadap alergen.
1.7.4.2 Imunoterapi/desensitisasi.
Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen,
kemudian dilakukan desensitisasi.
1.7.4.3 Relaksasi/kontrol emosi.
untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik
dapat dibantu dengan latihan napas.

1.8 Pathway
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan asma bronkiale
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Riwayat kesehatan yang lalu
2.1.1.2 Riwayat kesehatan sekarang
2.1.1.3 Riwayat kesehatan keluarga

2.1.2 Pemeriksaan fisik: data fokus


Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang mendukung
diagnosis asma dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, juga
berguna untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai asma,
meliputi pemeriksaan :
2.1.2.1 Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah,
kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi
pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot
pembantu pernapasan sianosis batuk dengan lendir dan posisi
istirahat klien.
2.1.2.2 Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan
pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau
bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas atau
tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna
rambut, kelembaban dan kusam.
2.1.2.3 Thorak
a. Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan
kesemetrisan adanya peningkatan diameter
anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis, sifat dan
irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.
b. Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan
taktil fremitus.
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi,
dengan bunyi pernafasan dan Wheezing.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: ketidakefektifan pola nafas
2.2.1 Definisi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat
2.2.2 Batasan karakteristik
Subyektif
Dispnea
Napas pendek
Obyektif
Perubahan ekskursi dada
Mengambil posisi tiga titik tumpu
Bradipnea
Penurunan tekanan inspirasi dan ekspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Penurunan kapasitas vital
Napas dalam (dewasa VT500 ml pada saat istirahat, bayi 6-8 ml/kg)
Peningkatan diameter anterior posterior
Napas cuping hidung
Ortopnea
Fase ekpirasi memanjang
Pernapasan bibir mencucu
Takipnea
Rasio waktu
Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernapas

2.2.3 Faktor yang berhubungan


Ansietas
Posisi tubuh
Deformitas tulang
Deformitas dinding dada
Penurunan energi dan kelelahan
Hiperventilasi
Sindrom hipoventilasi
Kerusakan musculoskeletal
Imaturitas neurologis
Disfungsi neuromuscular
Obesitas
Nyeri
Kerusakan persepsi atau kognitif
Kelelahan otot-otot pernapasan
Cedera medula spinalis

Diagnosa 2: gangguan pertukaran gas


2.2.4 Definisi
Kelebihan atau deifisit oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida
pada membran elveolar-kapiler
2.2.5 Batasan karakteristik
Diaforesis
Dipsnea
Gangguan penglihatan
Gas darah arteri abnormal
Gelisah
Hiperkapnia
Hiposemia
Nafas cuping hidung
Penurunan CO2
Pola pernafasan abnormal
Sakit kepala saat bangun
Somnolen
Takikardi

2.2.6 Faktor yang berhubungan


Ketidakefektifan ventilasi-perfusi
Perubahan membran alveolar-kapiler
2.3 Perencanaan

No Diagnosa Tujuan & kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Setelah dilakukan tindakan NIC :
1 Ketidakefe
keperawatan selama 3 x 24 Airway Management
ktifan pola
jam, pasien mampu : 1. Buka jalan nafas,
nafas
 Respiratory status : guanakan teknik chin lift
Ventilation atau jaw thrust bila perlu
 Respiratory status : Airway 2. Posisikan pasien untuk
patency memaksimalkan ventilasi
 Vital sign Status 3. Identifikasi pasien
Dengan Kriteria Hasil : perlunya pemasangan alat
1. Mendemonstrasikan batuk jalan nafas buatan
efektif dan suara nafas yang 4. Pasang mayo bila perlu
bersih, tidak ada sianosis 5. Lakukan fisioterapi dada
dan dyspneu (mampu jika perlu
mengeluarkan sputum, 6. Keluarkan sekret dengan
mampu bernafas dengan batuk atau suction
mudah, tidak ada pursed 7. Auskultasi suara nafas,
lips) catat adanya suara
2. Menunjukkan jalan nafas tambahan
yang paten (klien tidak 8. Lakukan suction pada
merasa tercekik, irama mayo
nafas, frekuensi pernafasan 9. Berikan bronkodilator
dalam rentang normal, tidak bila perlu
ada suara nafas abnormal) 10. Berikan pelembab udara
3. Tanda Tanda vital dalam Kassa basah NaCl
rentang normal (tekanan Lembab
darah, nadi, pernafasan) 11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan
status O2

Terapi Oksigen
1. Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
4. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan
abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

Setelah dilakukan tindakan Airway Management


2. Gangguan
keperawatan selama 3 x 24 1. Buka jalan nafas, gunakan
pertukaran
jam, pasien mampu : teknik chin lift atau jaw
gas
 Respiratory Status: Gas thrust bila perlu
exchange 2. Posisikan pasien untuk
 Respiratory Status: memaksimalkan ventilasi
ventilation 3. Identifikasi pasien
 Vital Sign Status perlunya pemasangan alat
Dengan kriteria hasil : jalan nafas buatan
a. Mendemonstrasikan 4. Pasang mayo bila perlu
peningkatan ventilasi dan 5. Lakukan fisioterapi dada
oksigenasi yang adekuat jika perlu
b. Memelihara kebersihan paru 6. Keluarkan sekret dengan
paru dan bebas dari tanda batuk atau suction
tanda distress pernafasan 7. Auskultasi suara nafas,
c. Mendemonstrasikan batuk catat adanya suara
efektif dan suara nafas yang tambahan
bersih, tidak ada sianosis dan 8. Lakukan suction pada
dyspneu (mampu mayo
mengeluarkan sputum, 9. Berika bronkodilator bial
mampu bernafas dengan perlu
mudah, tidak ada pursed lips) 10. Barikan pelembab udara
d. Tanda tanda vital dalam 11. Atur intake untuk cairan
rentang normal mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan
status O2

Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan
usaha respirasi
2. Catat pergerakan
dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
3. Monitor suara nafas,
seperti dengkur
4. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas,
catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi crakles
dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. Auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
II. Daftar Pustaka
Almazini, P. (2015). Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk
Asma Berat. Jakrta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik


Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Johnson, M., et all. (2018). Nursing Outcomes Classification


(NOC) Second Edition. New Jersey:Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. (2007). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3.


Jakarta: Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. (2018). Nursing Interventions Classification


(NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Purnomo. (2008). Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap


Kejadian Asma Bronkial Pada Anak. Semarang: Universitas
Diponegoro

Smelzer suzanne. (2015). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Gangguan Sistem Kardio Vaskuler. Malang : Hak Terbit UMM
Press

Sjaifoellah. (2016). Penyakit Asma. Bandung: CV medika

Banjarmasin, 16 Mei 2019


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(.................................................) (................................................)

Anda mungkin juga menyukai