ASMA BRONKIALE
I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi/deskripsi penyakit
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2015)
1.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu :
1.2.1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
1.2.2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi.
1.2.3 Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.
1.4 Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus
yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara.
Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi
ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel
mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat
dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Histamine yang dihasilkan menyebabkan kontraksi otot
polos bronkiolus. Apabila respon histaminnya berlebihan, maka
dapat timbul spasme asmatik. Karena histamine juga merangsang
pembentukan mucus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka
juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang intestinum
paru, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Selain itu olahraga juga dapat berlaku sebagai suatu
iritan, karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah
beasr dan cepat. Udara ini belum mendapat perlembaban
(humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan dari partikel-
partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan asma.
1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan medikamentosa :
1.7.1 Waktu serangan.
1.7.1.1 Bronkodilator
a. Golongan adrenergik:
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu
selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc
jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15 menit
kemudian. Untuk anak-anak diberikan dosis lebih kecil
0,1 – 0,2 cc.
b. Golongan methylxanthine:
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg.
Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 – 10 menit,
diberikan 5 – 10 cc. Aminophilin dapat diberikan apabila
sesudah 2 jam dengan pemberian adrenalin tidak
memberi hasil.
c. Golongan antikolinergik:
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik
adalah menghambat enzym Guanylcyclase.
1.7.1.2 Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan
pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju.
a. Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat
Beta Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunayi
efek bronkodilator.
b. Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali:
sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder.
c. Ekspektoransia.
Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran napas.
Beberapa ekspektoran adalah: air minum biasa
(pengencer sekret), Glyceril guaiacolat (ekspektorans)
1.8 Pathway
II. Rencana asuhan klien dengan gangguan asma bronkiale
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Riwayat kesehatan yang lalu
2.1.1.2 Riwayat kesehatan sekarang
2.1.1.3 Riwayat kesehatan keluarga
Terapi Oksigen
1. Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan
usaha respirasi
2. Catat pergerakan
dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
3. Monitor suara nafas,
seperti dengkur
4. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas,
catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi crakles
dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. Auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
II. Daftar Pustaka
Almazini, P. (2015). Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk
Asma Berat. Jakrta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(.................................................) (................................................)