Anda di halaman 1dari 16

FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS

406151069

BAB 1

PENDAHULUAN

Hidung merupakan organ manusia yang memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai
organ proteksi terhadap benda asing atau partikel debu dari lingkungan luar agar tidak masuk
ke dalam tubuh. Pada rongga hidung terdapat banyak pembuluh darah. Sehingga, tidak jarang
organ ini mengalami gangguan, salah satunya adalah perdarahan dari hidung atau yang
disebut epistaksis.

Epistaksis banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada anak, orang tua
atau usia lanjut. Sekitar 90% dari total kejadian epistaksis adalah tipe anterior yang lebih
sering dijumpai pada anak (2-10 tahun) dan usia lanjut. 10% sisanya merupakan epistaksis
posterior yang biasanya terjadi pada usia >50 tahun. (1) Epistaksis yang sering terjadi pada
anak menimbulkan rasa khawatir berlebih pada orang tua dan seringkali menjadi keluhan
yang menyebabkan seorang anak dibawa berobat ke unit rawat jalan. Sebagian epistaksis
dapat berhenti dengan sendirinya tanpa pengobatan maupun tindakan medis. Namun, ada
beberapa epistaksis yang berulang hingga berat yang menjadi masalah kegawatdaruratan
medis yang berakibat fatal jika tidak segera ditangani.

Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu kelainan atau gejala
maupun manifestasi dari penyakit lain tetapi, dalam beberapa kasus dapat tidak diketahui
penyebabnya. Oleh karena itu pengamatan secara teliti harus dilakukan dan perlu diketahui
latar belakang serta apakah sebelumnya baru terjadi trauma atau tindakan bedah sehingga
dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat pada kasus epistaksis agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih lanjut.

BAB 2

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 1
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

VASKULARISASI HIDUNG

Vaskularisasi hidung(2)

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dr a. oftalmika dari a. karotis interna

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, yaitu a.
palatina mayor dan a. sphenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang posterior
konka media

Bagian depan mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis

Pada bagian anterior septum terdapat pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang merupakan
anostomosis dari cabang-cabang a. sphenopalatina, a.etmoid anterior, a, labialis superior dan
a. palatina mayor. Pleksus Kiesselbach ini sering menjadi sumber epistaksis karena letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma.

Pada bagian posterior, terdapat pleksus Woodruff yang dibentuk oleh anastomosis dari a.
sphenopalatina dan a. faringeal ascendens.

Bagian
Bagian atas
atas rongga
rongga
hidung
hidung
Dinding
Dinding lateral
lateral
RSUD Ciawi hidung
hidung
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Septum
Septum anterior
anterior 2
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

memperdarah
i

Skema bagian atas rongga hidung

Bagian
Bagian bawah
bawah rongga
rongga
hidung
hidung

memperdarah Dinding
Dinding lateral
lateral
hidung
hidung
i
Septum
Septum anterior
anterior

Skema bawah rongga hidung

BAB 3

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 3
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

PEMBAHASAN

3.1 Definisi

Epistaksis merupakan perdarahan dari bagian dalam hidung yang dapat primer atau
sekunder, spontan atau akibat rangsangan dan berlokasi di anterior atau posterior hidung.
Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan tidak terlindung
mudah ruptur dan menyebabkan perdarahan. Terutama pada pembuluh darah septum yang
letaknya dekat tulang atau kartilago dan hanya dilindungi oleh mukosa yang tipis.

3.2 Etiologi

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Sebagian besar perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area
Little). Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.(2)

1. Kelainan local

a. Trauma

Perdarahan pada hidung dapat terjadi karena trauma ringan misalnya


mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,
atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaan lalu lintas. Trauma karena mengorek hidung terjadi karena terjadi
ulserasi dan erosi pada mukosa bagian septum anterior sehingga terjadi
perdarahan. Selain itu, epistaksis juga sering terjadi karena bentuk spina yang
tajam.
Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung sehingga
mudah terjadi perdarahan.(2,3,4)

b. Kelainan pembuluh darah

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 4
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

Dimana struktur pembuluh darah yang lebih tipis, lebih lebar serta jaringan
ikat dan sel-selnya lebih sedikit sehingga lebih cenderung mengalami perdarahan.
(2)

Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-Weber-Rendu Syndrome)


adalah penyakit autosomal dominan yang berhubungan dengan pendarahan
berulang dari anomali pembuluh darah. Kondisi ini dapat berdampak pada
pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri, yang menyebabkan pembentukan
telangiektasia dan malformasi arteri-vena. Pemeriksaan patologi pada penyakit ini
menunjukkan kurangnya elastisitas atau jaringan muskular pada dinding
pembuluh darah, sehingga pendarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma
ringan dan cenderung tidak berhenti spontan. (5)

Gambar . Hereditary Haemorrhagic Telangiectasia

c. Infeksi lokal

Epistaksi dapat terjadi baik pada infeksi hidung maupun sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis.(2)

Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan inflamasi yang akan
merusak mukosa, dan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya epistaksis. Pendarahan pada kasus ini
biasanya ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.(5)
Penyakit infeksi spesifik seperti tuberkulosis dan sifilis juga sering menyebabkan
mukosa menjadi kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang.

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 5
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

d. Tumor

Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien yang terkena
dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan rhinosinusitis,
seringnya unilateral. Epistaksis dapat timbul pada hemangioma, karsinoma, dan
yang lebih sering terjadi pada angiofibroma yang dapat menimbulkan epistaksis
berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan
pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.(5,6)

e. Benda asing

Masuknya benda asing ke liang hidung, dapat berupa benda-benda organik


(makanan, kayu, karet) maupun inorganik (plastik, besi). Gejala yang dapat timbul
adalah adanya epistaksis, bau tidak sedap, bersin, atau rasa sakit. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan nasal dengan spekulum (rhinoskopi).
Pemeriksaan radiologi juga dapat dilakukan untuk membantu mengidentifikasi
benda yang masuk, dimana kebanyakan benda asing adalah radiolusen. Benda
asing di rongga hidung (nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga
menyebabkan epistaksis walaupun jarang.(3,4)

f. Pengaruh udara lingkungan

Zat-zat kimia yang bersifat korosif dapat menyebabkan kekeringan mukosa


sehingga pembuuh darah mudah pecah. Selain itu, kelembaban udara yang rendah
juga dapat mengiritasi mukosa hidung. Epistaksis sering terjadi pada udara yang
kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh keringnya mukosa nasal
sehingga menjadi rentan. (4,5)

2. Kelainan sistemik

a. Penyakit kardiovaskuler

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 6
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan


pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis
sehingga terjadi kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan
mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.(4,5)

b. Kelainan darah

Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat


keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari trauma ringan
atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital adalah hemofilia
dan penyakit von Willebrand dimana terjadi defisiensi faktor pembekuan
darah.
Selain itu, obat antikoagulan oral juga menjadi faktor resiko epistaksis.(4,8)

c. Infeksi sistemik

Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, yang disebabkan karena


kadar trombosit yang menurun. penyakit lainnya adalah demam tifoid,
influensa, dan morbili.(9)

d. Gangguan hormonal

Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi
di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh
termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan
akhirnya terjadinya epistaksis.(9)

3.3 Patofisiologi dan sumber perdarahan


Umumnya perdarahan terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah
menjadi terpajan secara langsung dengan agen pencetus sehingga pembuluh darah
tersebut dapat pecah dan menimbulkan perdarahan.

a. Epistaksis anterior

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 7
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

Kebanyakan pendarahan terjadi di daerah anterior dan berasal dari pleksus


Kiesselbach di septum bagian anterior atau a.etmoidalis anterior. Daerah ini rentan
terhadap efek pengeringan udara saat bernafas dan trauma saat mengorek hidung
sehingga dapat terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lokal lainnya sehingga
terjadi perdarahan. Banyak terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti
sendiri.

b. Epistaksis posterior

Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung, dapat


berasal dari a.etmoidalis posterior atau a.sfenopalatina biasanya terjadi lebih hebat
dan jarang dapat berhenti sendiri. Penyebabnya biasa bukan karena trauma, tetapi
mungkin terjadi ruptur spontan pada pembuluh darah yang sklerotik yang sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakt
kardiovaskuler. Perdarahan posterior memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya sumbatan jalan nafas, aspirasi darah, dan kesulitan mengendalikan
pendarahan.

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 8
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

1.4 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik


Pada pasien dengan epistaksis sebaiknya ditanyakan hal-hal berikut untuk
mengetahui penyebab:(3,5,6)
- Apakah terjadi spontan atau trauma akibat kuku jari (onset)
- Durasi dan frekuensi perdarahan
- Jumlah darah yang keluar
- Lokasi hidung tempat perdarahan terjadi
- Tipe perdarahan (anterior/posterior)
- Riwayat kecenderungan perdarahan pada pasien mauoun keluarganya
- Riwayat penyakit (seperti hipertensi)
- Riwayat konsumsi obat-obatan (antikoagulan)

Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum
hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.

Dengan spekulum, hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat
dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 9
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau
larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/10000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam
hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi dengan melakukan pemeriksaan:

a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung
dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pasien dengan kecurigaan koagulapati atau adanya perdarahan masif memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa :

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 10
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

a) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali adanya neoplasma
atau infeksi.(5-7)

b) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit


lainnya.(5)

c) Pemeriksaan lab
Pemeriksaan darah lengkap dan profil hemostasis termasuk waktu protrombin
serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. (6)

3.6 Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis(2):


1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnya epistaksis

Dalam penanggulangan epistaksis, disesuaikan dengan keadaan penderita apakah


dalam keadaan akut atau tidak(2,10):

1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan
dengan cara duduk dan kepala dalam keadaan tegak, kemudian cuping hidung
ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter)

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 11
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

3. Bila perdarahan berhenti, hidung dibuka dengan spekulum dan dibersikan dengan
alat penghisap (suction)

4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi dengan adrenalin
1/5000- 1/10000 dan larutan anestesi lokal yaitu Pantokain atau larutan Lidokain
2% ke dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 10-15 menit untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya.

5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat terlihat jelas, tempat asal
perdarahan dikausatik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO 3) 25-30%. Setelah itu
berikan salep antibiotik.

Jika perdarahan masih berlangsung, lakukan pemasangan tampon anterior yang


dibuat dari kassa atau kapas, agar mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan
perdarahan baru, kassa atau kapas diberi vaselin atau salep antibiotik. Tampon

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 12
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun teratur dan harus dapat menekan asal
perdarahan. Dipertahankan selama 2x24 jam, dan dikeluarkan untuk mecegah
infeksi hidung. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
faktor penyebab epistaksis.

6. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior yang disebut


tampon Belloq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3cm dan diikat dengan 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan 1
buah di sisi berlawanan. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).
Teknik pemasangan tampon Belloq, yaitu :

a. Masukkan kateter karet melalui nares anterior hidung yang berdarah


terlihat di orofaring, tarik melalui mulut
b. Ikat ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian kateter
ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 13
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

c. Dorong tampon dengan bantuan telunjuk agar dapat melewati palatum


mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, dapat ditambah
tampon anterior pada kavum nasi.
d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan
kasa di depan lubang hidung, untuk memfiksasi tampon yang berada pada
nasofaring.
e. Benang yang keluar dari mulut diikatkan dengan longgar pada pipi pasien
untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari
f. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan
balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.
Teknik sama dengan pemasangan tampon Bellocq.

3.7 Komplikasi dan Pencegahan

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari epistaksis sendiri maupun dari usaha
penanggulangan epistaksis, antara lain(2):
 Akibat perdarahan hebat: aspirasi saluran nafas, syok, anemia dan gagal ginjal
 Turunnya tekanan darah mendadak: hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard hingga dapat menimbulkan
kematian, pada keadaan ini secepatnya perlu pemberian infus atau transfusi
darah
 Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu
diberikan antibiotik

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 14
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

 Pemasangan tampon: rinosinusitis, otitis media, septicemia atau toxic-shock-


syndrome. Sehingga setiap pemasangan tampon melalui hidung harus
diberikan antibiotic dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut.
 Pemasangan tampon bellocq: laserasi palatum mole atau sudut bibir jika
benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Jika
keteter balon atau tampon balon dipompa terlalu keras dapat menimbulkan
nekrosis septum atau mukosa hidung.
 Akibat mengalirnya darah melalui tuba eustachius: hemotimpanium
 Akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus lakrimalis: air mata
berdarah (bloody tears)

Pencegahan(10)
 Hindari aktivitas berat, jika melakukan kegiatan olahraga yang dapat
mencederai kepala dianjurkan untuk memakai pelindung wajah atau helm
 Hindari lingkungan yang panas dan kering, jika berada pada lingkungan ini
gunakan saline spray dan salep antibiotik pada area Kiesselbach
 Hindari makanan yang panas dan pedas
 Hindari kebiasaan mengorek hidung karena dapat menyebabkan trauma akibat
jari, usahakan kuku jari tangan jangan dibiarkan panjang terutama pada anak-
anak
 Jika bersin jangan melalui hidung, tetapi bersin perlahan melalui mulut

3.8 Prognosis

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk(6)

BAB 4

KESIMPULAN

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 15
FEBRINA HERTANTI BAKRI - EPISTAKSIS
406151069

Epistaksis atau perdarahan dari hidung bukan merupakan suatu penyakit, melainkan
adalah suatu gejala yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi yakni, kelainan struktur
pembuluh darah hidung, trauma atau adanya penyakit lain yang mendasari. Epistaksis bisa
bersifat ringan sampai berat hingga dapat berakibat fatal. Epistaksis dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yang dapat dibagi menjadi penyebab lokal dan sistemik. Epistaksis dibedakan
menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior.
Umumnya epistaksis anterior lebih sering terjadi dan dapat berhenti dengan sendirinya,
namun pada beberapa kasus dapat terjadi epistaksis berulang hingga epistaksis dengan
perdarahan massif sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara teliti dan cermat serta
penanganan yang tepat.(1-4)
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dilakukan untuk
memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior. Jika
terdapat kecurigaan adanya koagulopati maupun keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut seperti foto rontgen sinus, CT-Scan atau MRI, endoskopi, pemeriksaan darah
lengkap dan profil hemostasis dan menggali riwayat penyakit pasien. Penatalaksanaan pada
epistaksis disesuaikan dengan lokasi perdarahan, dengan prinsip: (5,6,8)
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnya epistaksis
Pencegahan epistaksis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain tidak
memasukkan benda keras ke dalam hidung seperti jari, hindari kebiasaan mengorek hidung,
jangan meniup melalui hidung dengan keras, jika bersin melalui mulut, menghindari obat-
obatan yang dapat meningkatkan resiko perdarahan.

RSUD Ciawi
Periode 5 Oktober – 7 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 16

Anda mungkin juga menyukai