Anda di halaman 1dari 39

1

LAPORAN PELAKSANAAN
KULIAH KERJA LAPANGAN

Oleh :

Indri Aprilia 23040114120028


Putri Krisna Sekarmurti 23040114120032
Mirza Andrian Syah 23040114120038
Agnia Azka Amalia 23040114130044

PROGRAM STUDI S1 AGRIBISNIS


DEPARTEMEN PERTANIAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan

Kuliah Kerja Lapangan ini dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Wahyu Dyah Prastiwi, S.Pt., M.M.,

M.Sc. selaku dosen wali yang telah memberikan pengarahan dan saran selama kegiatan

KKL berlangsung dan penyusunan laporan ini serta kepada pihak dari Balitjestro,

Balitkabi, Alovebali, Panglipuran, dan Museum Subak yang telah membagi ilmu

selama kegiatan KKL berlangsung dan berbagai pihak yang telah mendukung proses

pembuatan laporan ini.

Penyusun juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini,

baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan

pengalaman penulis, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna

penyempurnaan laporan ini. Penyusun berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat

bagi seluruh pembaca.

Semarang, April 2017

Penyusun
3

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II. METODE KULIAH KERJA LAPANGAN ...................................... 2

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 3

3.1. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Sub Tropika ........................... 3


3.2. Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi-umbian..................... 8
3.3. Alove................................................................................................ 13
3.4. Desa Adat Panglipuran .................................................................... 20
3.5. Museum Subak ................................................................................ 24

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 28

4.1. Simpulan .......................................................................................... 28


4.2. Saran ................................................................................................ 29

LAMPIRAN ..................................................................................................... 30
4

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komoditas Mandat ............................................................................... 11

2. Varietas Unggulan ............................................................................... 11


5

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Dokumentasi ........................................................................................ 30
1

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1. Pendahuluan

Sebagai negara agraris Indonesia memiliki kekayaan alam dan hayati yang sangat

beragam. Kondisi agroklimat diwilayah Indonesia sangat sesuai untuk pengembangan

komoditas tropis dan sebagian komoditas subtropis. Komoditas pertanian (mencakup

tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan dan peternakan) dengan

keragaman dan keunikannya yang bernilai tinggi serta diperkuat oleh kekayaan kultural

yang sangat beragam mempunyai daya tarik kuat sebagai Wisata Agro.

Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan salah satu bentuk pembelajaran

berbasis lapangan. KKL merupakan jawaban atas tuntutan ilmu pengetahuan dan

teknologi berbasis lapangan yang dapat memfasilitasi mahasiswa dalam memenuhi

pembelajaran. Kegiatan KKL dilaksanakan dalam rangka mengikuti mata kuliah KKL

yang berbobot 1 SKS, dengan dilaksanakan KKL ini diharapkan mahasiswa dapat

memenuhi mata kuliah yang berstatus wajib dan mahasiswa dapat menambah ilmu

serta wawasan di bidang kewirausahaan pertanian.

1.2. Tujuan

Kegiatan KKL ini, bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara teori yang

diterima diperkuliahan dengan praktek yang ada dilapangan dan untuk memberikan

penilaian atas kinerja dari institusi atau lokasi yang dikunjungi.


2

BAB II

METODE KULIAH KERJA LAPANGAN

Kuliah Kerja Lapang (KKL) dilaksanakan pada tanggal 19 Februari – 25 Februari

2017. Tempat yang dikunjungi selama kegiatan KKL adalah Balai Penelitian Tanaman

Jeruk dan Sub Tropika di Kota Batu, Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Aneka

Umbi di Kabupaten Malang, PT. Alove Bali IND di Kabupaten Karang Asem, Desa

Adat Penglipuran di Kabupaten Bangli, dan Museum Subak di Kabupaten Tabanan.

Materi yang digunakan dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan adalah Balitjestro,

Balitkabi, Alove, Panglipuran, dan Museum Subak sebagai lokasi kunjungan untuk

pencarian informasi. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Kuliah Kerja

Lapangan ini adalah memahami penjelasan narasumber dari lembaga terkait dan

mencatat informasi penting yang disampaikan.


3

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika

Balitjestro adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) penelitian dan

pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berada di bawah

dan bertanggungjawab langsung kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hortikultura. Balitjestro memiliki tugas melaksanakan kegiatan penelitian tanaman

jeruk dan buah subtropika seperti apel, anggur, kelengkeng, stroberi dan buah

subtropika lain. Komoditas mandat Balitjestro yaitu komoditas prioritas dan komoditas

prospektif. Komoditas prioritas terdiri dari jeruk, apel dan anggur dan komoditas

prospektifnya yaitu kelengkeng.

3.1.1. Deskripsi Lokasi

Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) terletak

di Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Batu, Jawa Timur. Posisi Balitjestro berada

pada 4 km dari Kota Batu dan pada ketinggian tempat ± 950 m di atas permukaan laut.

Jumlah staf Balitjestro mencapai 104 orang pegawai yang berstatus sebagai Pegawai

Negeri Sipil meliputi 26 tenaga peneliti dan 78 non peneliti yang diantaranya

merupakan teknisi litkayasa. Sarana dan prasarana yang dimiliki terdiri dari

laboratorium kultur jaringan, fitopatologi, virologi, entomologi, pemuliaan tanaman


4

dan perbenihan serta laboratorium pengelolaan dan analisis data. Balitjestro memiliki

5 kebun percobaan koleksi plasma nutfah yang terdiri dari koleksi 242 varietas jeruk,

47 varietas apel, 51 varietas anggur, 37 varietas kelengkeng dan 23 varietas stroberi.

Penggunaan varietas ini terbatas untuk penelitian dan pengelolaan plasma nutfah

(Balitjestro).

Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) telah

menghasilkan beberapa karakteristik khusus pada buah hasil penelitian dan rekayasa

genetik seperti jeruk tanpa biji yang merupakan hasil persilangan. Balitjestro

membudidayakan beberapa jenis jeruk yaitu Jeruk Pamelo, Jeruk Manis, Jeruk

Siam, dan Jeruk Keprok. Jeruk Keprok yang banyak di budidayakan yaitu Jeruk

Keprok Batu 55 karena rasanya manis, produksinya lebih banyak dan mudah untuk

di budidayakan (Balitjestro, 2017).

Jeruk Keprok Batu 55 cocok ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi

sekitar 700 meter dari permukaan laut. Bibit jeruk yang digunakan bermutu adalah bibit

jeruk bebas dari patogen sistemik tertentu, sama seperti induknya, serta tahapan proses

produksinya berdasarkan program pengawasan dan sertifikasi bibit yang berlaku. Bibit

yang bermutu berlabel bebas penyakit, diproduksi dalam polibag, batang atas dan

bawah lurus, diameter batang bawah ± 1cm, tinggi tanaman dari dasar polibag 75 – 100

cm, dan perakarannya normal. Pada saat pengolahan tanah harus terbebas dari batuan

dan pohon besar agar tidak mengganggu pengolahan tanah dan penyebaran cahaya

matahari. Lubang tanam yang digunakan yaitu (dalam ± 0,75 m, panjang 0,6 m dan

lebar 0,6 m) dan jarak tanam 5 m x 6 m atau 5 m x 5 m. Baris tanam yang digunakan
5

harus sejajar dengan arah timur – barat agar penyebaran sinar matahari optimal.

Penanaman dilakukan pada awal musim hujan agar tanaman cepat beradaptasi dan

perlu pemasangan ajir pada setiap pohon agar tanaman tetap tegak saat diterpa angin

kencang (Balitjestro, 2017).

Pada saat pertumbuhan vegetatif baru, pembungaan dan pembentukan buah

memerlukan pengairan yang cukup. Setelah panen perlu adanya pengeringan lahan

sekitar 3 bulan guna merangsang pembungaan. Pemupukan dilakukan untuk

menambah unsur hara ke dalam kebun (pupuk kimia, bahan organik, kapur) melalui

tanah dan daun agar diperoleh keuntungan maksimal tanpa menimbulkan kemerosotan

mutu lingkungan. Penjarangan buah dilakukan untuk menyeleksi dan mengurangi

jumlah buah di pohon untuk menghasilkan buah bermutu tinggi dan menjaga stabilitas

produksi tanaman dengan caranya menyisakan 2 buah per tandan menggunakan

gunting pangkas. Kriteria buah yang dibuang yaitu cacat, terserang hama penyakit, dan

ukurannya paling kecil. Hama dan penyakit pada buah jeruk dapat dikendalikan dengan

memangkas cabang dan ranting yang terlalu rimbun dan penyemprotan pestisida secara

selektif. Panen dilakukan ketika buah mencapai kematangan optimal, sekitar 8 bulan

dari pembungaan. Karakter buah siap panen yaitu buah ketika ditekan dengan ibu jari

dan telunjuk tidak terasa keras, kulit buah berwarna kekuningan, kadar sari buah telah

mencapai sekitar 35 – 40% (Balitjestro, 2017).

Selain buah jeruk yang menjadi produk utama, Balitjestro juga

membudidayakan buah apel. Rome Beauty, Manalagi dan Ana. Ciri-ciri benih apel

yang baik antara lain diperbanyak dengan cara okulasi, batang bawah maupun
6

batang atas lurus dan sehat, akar serabutnya lebat, daunnya subur dan sehat, berumur 6

bulan atau lebih dari saat okulasi, serta bersertifikat. Agar awal musim hujan

bisa dilakukan penanaman, pada musim kemarau perlu dilakukan pembersihan

lahan, pembuatan teras (lahan berlereng) dan lubang tanam. Ukuran lubang

yang dianjurkan adalah panjang, lebar dan dalam masing-masing 60 cm. Jarak tanam

untuk Varietas Manalagi adalah 3 - 3,5 m x 3,5 m, sedangkan untuk Ana dan Rome

Beauty adalah 2 - 3 m x 2,5 - 3 m. Awal musim hujan murapakan waktu tanam yang

ideal karena ketersediaan air dan suhu udara mendukung untuk adaptasi benih di

lapangan. Penanaman dilakukan dengan memasukkan benih ke dalam lubang dan

akarnya perlu diatur agar menyebar kesegala arah. Selanjutnya, akar ditimbun tanah

sampai setinggi leher akar sambil dipadatkan agar tanaman berdiri tegak dan tidak

mudah roboh. Untuk menahan gangguan angin kencang, setiap tanaman perlu

dipasang ajir dan diikat secara longgar. Paling sedikit tanaman apel membutuhkan

unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg dan S) dan unsur hara mikro (Fe, Zn, Mn,

Cu, B, Mo). Sumber utama unsur hara makro adalah pupuk kimia sedangkan sumber

unsur mikro berasal dari bahan organik dan pupuk kimia (Balitjestro, 2017).

Di Indonesia yang tidak memiliki periode dingin yang panjang, perlakuan

perompesan daun (defoliasi buatan) disertai pelengkungan cabang dan pemangkasan

bagian ujungnya dapat memecahkan tunas generatif terutama tunas lateral yang diikuti

dengan keluarnya bunga. Idealnya perompesan daun dilakukan ketika tunas generatif

sudah padat, biasanya sekitar 2 minggu setelah panen. Penjarangan buah apel secara

tepat dapat meningkatkan mutu panen dan menjaga stabilitas produksi. Khusus apel
7

Manalagi, ketika buah berumur sekitar 3 bulan dari bunga mekar perlu dibungkus

dengan kertas yang bersih dan tahan air. Jika tidak dibungkus, bagian buah buah yang

terpapar cahaya matahari langsung akan berwarna kemerahan dan bagian lainnya tetap

kuning kehijauan sehingga penampilannya menjadi kurang menarik (Balitjestro,

2017).

Selama pertumbuhan cukup banyak jenis hama dan penyakit yang menyerang

tanaman apel. Setelah daun dirompes hingga sekitar 3 bulan berikutnya merupakan

masa kritis serangan hama dan penyakit. Beberapa hama yang sering menyerang adalah

kutu daun, kutu sisik, tungau, trips dan ulat. Sedangkan penyakit utamanya adalah

embun tepung atau Powdery Mildew dan Marsonina Coronaria. Apel Rome Beauty

dapat dipanen ketika buah berumur sekitar 120 – 140 hari, Manalagi sekitar 115 dan

Ana sekitar 100 hari dari bunga mekar. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi hari saat

cuaca cerah. Balitjestro melaksanakan kegiatan pemasaran, promosi, seminar dan

pertemuan yang bersifat nasional maupun Internasional untuk mensosialisasikan hasil

keluarannya (Balitjestro, 2017).

3.1.2. Permasalahan yang dihadapi dan Solusi

Berdasarkan info dari Balitjestro masalah yang sering dihadapi dalam

pengembangan agribisnis pada saat ini oleh Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah

Subtropika (Balitjestro) yaitu penurunan mutu lahan, serangan hama penyakit,

harga buah yang sangat fluktuatif, akses permodalan bagi petani kecil lebih

sulit, dan kelembagaan belum optimal. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
8

pengendalian hama penyakit, mencegah erosi, membuat terasering pada lahan miring,

membuat pematang dan saluran air, menanam tanaman secara permanen, memberi

akses kemudahan bagi petani buah dalam mendapatkan modal dari koperasi, dan

menggiatkan promosi dan sosialisai mengenai hasil penelitiannya melalui pameran,

leaflet, poster, promosi lewat sosial media dan lain-lain.

3.1.3. Kesimpulan

Balitjestro sebagai Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika telah

berhasil mengembangkan beberapa varietas buah unggulan serta teknologi

pengendalian hama terpadu termutakhir. Namun hasil penelitian itu belum menyeluruh

sampai ke petani sehingga Balitjestro perlu untuk lebih menggiatkan promosi dan

sosialisasinya melalui berbagai media. Peran dan fungsi Balitjestro sebagai Balai

Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika belum dapat maksimal karena

kekurangan pegawai peneliti, untuk itu Balitjestro sebaiknya melakukan rekruitmen

pegawai peneliti dan promosi agar para peneliti seperti dosen dan mahasiswa lebih

tertarik untuk melakukan penelitian di Balitjesro.

3.2. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

3.2.1. Deskripsi lokasi  pendekatan agribisnis  hulu – hilir

Balitkabi merupakan singkatan dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang

dan Umbi yang berlokasi Jln. Raya Kedapayaj No. 66, Kendalpayak, Pakisaji, Kota
9

Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1968 pemerintah mendirikan Lembaga Pusat

Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor, dan KP tersebut diintegrasikan dalam LP3

Perwakilan Jawa Timur. Bersamaan dengan perubahan LP3 menjadi Pusat Penelitian

dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) pada tahun 1980, LP3

Perwakilan Jawa Timur berganti nama menjadi Balai Penelitian Tanaman Pangan

(Balittan) Malang dengan mandat melaksanakan penelitian tanaman pangan (padi dan

palawija), dengan wilayah kerja Jawa Timur dan Indonesia Timur. Sejak tanggal 13

Desember 1994 Balittan Malang berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Kacang-

kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi). Dengan status baru ini, komoditas yang

ditangani Balitkabi fokus pada tanaman aneka kacang dan umbi, namun wilayah

kerjanya menjadi nasional.

Visi dan misi yakni menjadi lembaga rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan sumber inovasi teknologi tanaman aneka kacang dan ubi yang bermanfaat sesuai

kebutuhan pengguna.

1. Menghasilkan dan menyediakan iptek tinggi, strategis, dan unggul tanaman aneka

kacang dan ubi sesuai kebutuhan pengguna.

2. Melaksanakan diseminasi inovasi teknologi secara cepat dan efektif kepada

pengguna.

3. Mengembangkan kerjasama nasional dan internasional dalam rangka

peningkatan profesionalisme dalam penguasaan iptek, serta peran Balitkabi

dalam pengembangan teknologi dan pembangunan pertanian.


10

4. Memperbaiki sumberdaya penelitian guna meningkatkan kapasitas Balai agar

semakin profesional dalam melakukan penelitian, serta meningkatkan

kemampuannya dalam menghasilkan dan mendiseminasi inovasi teknologi.

5. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya untuk penelitian dan pengembangan,

serta mendorong keterkaitan fungsional antar pemangku kepentingan dan

pengguna teknologi.

Pada tanggal 11 Maret 2013, melalui Peraturan Menteri Pertanian No.

23/Permentan/OT.140/3/2013, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-

umbian berganti nama menjadi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

dengan singkatan sama yaitu Balitkabi. Komoditas mandat dan wilayah kerjanya tidak

mengalami perubahan. Berdasarkan Permentan Nomor: 23/Permentan/OT.140/3/2013

maka tugas Balitkabi yang berhubungan dengan pendekatan agribisnis sebagai

lembaga yang melaksanakan penelitian tanaman aneka kacang dan umbi. Hal tersebut

mencakup penelitian genetika, pemuliaan, pembenihan dan pemanfaatan plasma nutfah

tanaman aneka kacang umbi. Selain itu Balitkabi juga dapat berfungsi untuk penelitian

komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis tanaman aneka kacang dan umbi.

Pemberian pelayanan teknis penelitian tanarnan aneka kacang dan umbi

Balitkabi juga melakukan penyiapan kerja sama, informasi dan dokumentasi

serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil penelitian tanarnan aneka kacang dan

umbi kepada petani yang lainnya. Hal tersebut untuk demi terwujudnya visi Presiden

RI program penelitian Balitkabi periode tahun 2015-2019 yaitu Balitkabi diarahkan

pada program penciptaan teknologi dan inovasi pertanian bio-industri berkelanjutan.


11

Komoditas madat Balitkabi adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Komoditas Mandat


Aneka Kacang Aneka Umbi
Komoditas Utama Kedelai Ubi kayu
Kacang Tanah Ubi jalar
Kacang Hijau
Komoditas Potensial Kacang Tunggak Garut
Kacang Gude Ganyong
Komak Talas
koro Kelado, dll
Sumber : Data Sekunder Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 2017.

Balitkabi dalam perananya dalam alur agribisnis dari hulu sampai hilir adalah

sebagai pelatih yang bertugas melatih petani dalam mengolah dan mendiversifikasikan

produknya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Selain itu Balitkabi juga

memproduksi benih-benih unggul dan memuliakan tanaman yang termasuk komoditas

mandat sehingga dapat di pasarkan dan untuk sebagai bahan penelitian. Berikut adalah

kontribusi Balitkabi dalamam perakitan varietas unggul nasional 1981-2016

Tabel 2. Varietas Unggul


Komoditas Total dilepas Kontribusi Balitbangtan
menteri jumlah %
Kedelai 89 67 77
Kacang tanah 44 37 84
Kacang hijau 22 21 95
Ubi kayu 11 8 73
Ubi jalar 34 32 94
Kacang tunggak 9 9 100
Kacang gude 1 1 100
Sumber : Data Sekunder Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Aneka Umbi, 2017.
12

3.2.2. Permasalahan yang dihadapi dan solusi

Permasalahan yang dihadapi oleh Balitkabi adalah adopsi petani relatif masih

lambat (harga, ketersediaan benih, pupuk dan lain lain), pengrajin dan konsumen

olahan kedelai terbiasa dengan kedelai impor, penrajin tempe dan tahu cenderung

memilih kedelai impor. Solusi dari permasalahan tersebut adalah diperlukan sosialisasi

penggunaan varietas unggul kedelai oleh industri olahan seiring dengan upaya

peningkatan produksi kedelai domestik.

3.2.3. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah Balitkabi merupakan singkatan dari

Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi memiliki fokus pada tanaman

aneka kacang dan umbi dengan wilayah kerjanya seluruh Indonesia. Lembaga bertugas

untuk melakukan penelitian tanaman aneka kacang dan umbi. Komoditasnya terbagi

dua yaitu komoditas utama dan komoditas potensial. Komoditas utama terdiri dari

kedelai, kacang tanah, kacang hijau, uikayu dan ubijalar. Sedangkan komoditas

potensial terdriri dar kacang tunggak, kacang gude, komak, koro, garut, ganyong, talas,

keladi dan lain lain. Masalah yang diahadapi oleh Balit kabi adalah adopsi petani yang

rendah serta ketergantungan masyarakat terhadap kedelai impor. Solusi dari

permasalahan itu adalah diperlukan sosialisasi penggunaan varietas unggul kedelai

oleh industri olahan seiring dengan upaya peningkatan produksi kedelai domestik
13

3.3. Alove

Alove Bali merupakan perusahaan yang bergerak di sektor pertanian yang aktif

di Dinas Pertanian Provinsi Bali. didirikan pada tahun 2003 oleh investor dari Belanda

bernama Mr Hank. Komoditas yang dikelola yaitu lidah buaya dengan bahan baku yang

diperoleh dari hasil budidaya sendiri serta dengan sistem plasma yang telah bekerja

sama dengan petani di kawasan Bali Timur dan Utara.

3.3.1. Deskripsi lokasi

PT Alove Bali IND merupakan perusahaan yang bergerak dibidang sub sektor

pertanian dengan komoditas andalan yaitu Aloevera atau lidah buaya. Perusahaan ini

terletak di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali yang turut berpartisipasi aktif di bawah

naungan Dinas Pertanian Provinsi Bali. Sejarah awal perusahaan yaitu Mr. Hank selaku

pemilik lahan mendirikan perusahaan pada tahun 2003 dengan luas lahan awal yaitu

80 are. Varietas lidah buaya yang dibudidayakan yaitu varietas papanengsis yang

didatangkan langsung dari Belanda. Berdasarkan profil perusahaan dan daftar petani

PT Alove Bali (2016) diketahui bahwa hingga saat ini luas lahan yang dimiliki

perusahaan adalah 30 ha serta pengembangan budidaya dengan sistem plasma yang

dikelola oleh petani seluas 70 ha yang tersebar di Kabupaten Buleleng, Kabupaten

Karang Asem, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung,

Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Tabanan.


14

Budidaya lidah buaya terdiri atas pengolahan lahan, penanaman, pembibitan,

pengairan, pemupukan, penyiangan, panen, dan pasca panen. Lahan yang dapat

digunakan untuk kegiatan budidaya lidah buaya yaitu lahan baru bekas hutan, lahan

sawah atau bekas lahan sawah, dan lahan bebas campuran kimia. Lahan baru bekas

hutan dapat langsung menjadi lahan kebun lidah buaya organik. Lahan sawah atau

bekas lahan sawah membutuhkan waktu 2-3 tahun konversi. Lahan yang terlah

berturut-turut 2 tahun bebas asupan kimia siap dijadikan lahan lidah buaya organik.

Tanah yang cocok untuk budidaya lidah buaya yaitu tanah berpasir. Tanaman

ini tidak memerlukan air yang banyak. Berdasarkan profil perusahaan dan daftar petani

PT Alove Bali (2016) diketahui bahwa lahan yang telah disiapkan perlu dibajak dan

membuat parit untuk drainase selebar 60-75 cm dan sedalam 100 cm yang dibuat

mengelilingi lahan. Pembuatan pagar hidup di lahan berupa rumput gajah dan lainnya

bertujuan untuk menghindari serangan hama tanaman lidah buaya. Proses penanaman

dilakukan dengan membuat lubang tanam sedalam 20 cm dengan jarak tanam 75-80

cm x 50-60 cm. Selanjutnya setiap lubang tanam diberi pupuk organik dasar sebanyak

3-5 kg pada waktu 1-2 minggu sebelum tanam. Bibit kemudian dapat ditanam pada

kedalaman 10 cm. Pada pH tanah yang rendah perlu ditambahkan kapur demi menjaga

pH tanah yang cocok untuk proses budidaya. Rata-rata suhu udara yang cocok dalam

kegiatan budidaya tanaman lidah buaya yaitu 26oC. Usia tanaman lidah buaya hingga

menghasilkan dapat mencapai umur 15 tahun.

Berdasarkan profil perusahaan dan daftar petani PT Alove Bali (2016) diketahui

bahwa anakan tanaman lidah buaya yang siap untuk dibudidayakan yaitu tanaman
15

anakan berumur 6 bulan. Keseragaman tinggi dipilih berkisar 10-20 cm dengan jumlah

daun 5-7 helai. Hal ini dilakukan untuk memperlakukan setiap tanaman yang telah

ditanam juga seragam. Pengairan dalam kegiatan budidaya perlu diperhatikan.

Penyiraman pertama dilakukan saat setelah tanam, selanjutnya disesuaikan keadaan

tanaman sampai tanaman berumur 1 bulan. Kegiatan budidaya pada lahan

kering/tegalan perlu memperhatikan persediaan air selama persediaan. Budidaya pada

lahan sawah perlu dibuatkan bedengan/ guludan yang berfungsi untuk menghindari air

tergenang. Pemberian air pada tanah sawah tidak diperkenankan menggenang terlalu

lama. Tanaman lidah buaya jika terendam air terlalu lama dapat menyebabkan tanaman

menjadi busuk. Selain itu penularan akan bakteri dan cendaman dapat mempengaruhi

kegiatan budidaya. Tanaman lidah buaya yang telah terjangkit tidak dapat digunakan

untuk kegiatan budidaya selanjutnya.

Berdasarkan profil perusahaan dan daftar petani PT Alove Bali (2016) diketahui

bahwa pemupukan tanaman lidah buaya diberikan saat sebelum tanam dengan 3-5 kg

per lubang tanam. Pemupukan susulan selanjutnya dilakukan dengan interval 4 bulan

sekali dengan dosis minimal 2 ton/ hektar. Pemupukan dengan pupuk organik

dilakukan pada 6 bulan awal sebanyak dua kali pemberian pupuk. Pemberian pupuk

dengan cara membuat lubang/ alur melingkar sekitar perakaran tanaman yang

kemudian ditutup kembali dengan tanah setelah pupuk ditaburkan. Waktu pemupukan

dapat dilakukan setelah panen atau bersamaan pada saat pembumbunan/ penggeburan

tanah. Pupuk yang diberikan dapat berasal dari kotoran hewan dan pupuk hijau/ sisa

tanaman yang terdekomposisi sempurna.


16

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

diketahui bahwa kegiatan penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut atau

memotong di areal sekitar tanaman lidah buaya untuk pembersihan gulma. Bersama

dengan penyiangan dapat dilakukan penyulaman pada tanaman yang sakit, rusak, atau

mati. Pembumbunan tanam dilakukan dengan cara tanah di saluran irigasi/ drainase

dinaikkan di sekitar batang dan pekarangan tanaman. Pembumbunan dilakukan pada

tanah yang telah berumur diatas 2 bulan, yang selanjutnya dilakukan sesuai dengan

kondisi lahan dan tanaman. Penyiangan rumput tidak perlu dilakukan pada musim

kemarau/ kering apabila kelembaban tanah kurang atau tidak tersedia air untuk

penyiraman. Pemberian mulsa dilakukan setelah selesai penanaman, dengan tujuan

untuk menekan pertumbuhan gulma, memperbaiki kondisi fisik permukaan tanah,

mengurangi erosi/ aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah yang ideal dan

menekan tumbuhnya tunas/ anakan baru. Mulsa dapat berupa seresah sisa tanaman,

cacahan batang pisang, jerami kering/ rumput kering atau sekam yang dihamparkan di

sekitar pertanaman. Tidak diperkenankan jerami dari tanaman yang dikelola secara non

organik.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

diketahui bahwa hama yang sering menyerang berupa ulat daun, bekicot, dan belalang.

Pengendalian dengan cara manual, mekanik, pestisida nabati dan atau agensia hayati,

dan penggunaan musuh alami. Penyakit yang sering menyerang tanaman yaitu bercak

daun, busuk batang, cendawan, dan layu fusarium. Cara pengendalian penyakit

tanaman dilakukan secara mekanik dengan memotong bagian yang sakit dana tau
17

mencabut tanaman yang sakit dan mengganti dengan tanaman yang sehat. Hal ini

dilakukan untuk mencegah penularan penyakit ke tanaman lainnya. Pengendalian

lainnya dapat menggunakan pestisida nabati dana tau agensi hayati. Sebelum dilakukan

penyulaman dengan tanaman baru, lubang tanam perlu ditaburi dengan abu dapur.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

diketahui bahwa kegiatan panen dapat dilakukan pada tanaman lidah buaya yang telah

berumur 2 tahun dan untuk panen selanjutnya dilakukan dengan interval 4 bulan sekali,

sehingga dalam satu tahun dapat berlangsung tiga kali panen. Ciri daun yang siap panen

yaitu daun telah memiliki panjang 50-60 cm, lebar 7-10 cm, tebal 2-3 cm, dan

setidaknya memiliki bobot minimal 500 gram. Umumnya berat satu helai daun lidah

buaya yang dipanen kurang lebih 800 gram. Daun yang dipanen adalah dari tanaman

yang sehat dan tidak terdapat tanda-tanda busuk, serangan jamur, atau infeksi akibat

pathogen penyakit tanaman. Kematangan daun ditandai dengan bentuk fifik yang padat

keras dan kenyal. Panen dilakukan dengan cara sobek pelepas tepi bawah dengan pisau

panen kemudian ditarik perlahan ke samping sampai lepas dari batang. Posisi daun

harus pada kemiringan 45 derajat dari batang tanaman induk. Pada kegiatan panen

pertama dapat diperoleh 7-10 helai daun per pohon. Hingga saat ini kegiatan panen

dapat menghasilkan 140.000 helai daun/ha. Daun yang telah dipanen kemudian

dimasukkan ke dalam keranjang dengan rapi dan hati-hati agar tidak rusak. Keranjang

yang penuh senantiasa diletakkan pada tempat yang teduh sebelum diangkut.

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

diketahui bahwa lidah buaya yang telah dipanen kemudian dikirim ke pabrik yang
18

terletak di Kabupaten Gianyar. PT Alove Bali IND menjalin kemitraan dengan petani

dengan harga jual yang telah disepakati yaitu Rp 1.800/kg. Keranjang yang telah terisi

oleh daun lidah buaya dinaikkan ke dalam truk dan disusun rapi. Truk pengangkut

harus dalam kondisi steril serta tertutup dan bersih dari sisa bahan kimia. Jarak/interval

pengiriman tidak boleh lebih dari 6 jam. Hingga saat ini petani dapat memperoleh hasil

panen sebesar Rp 1.800.000/ton. PT Alove Bali IND juga memproduksi pupuk organik

dan hayati cair, dengan kapasitas terpasang saat ini 500.000 liter per bulan.

3.3.2. Permasalahan yang dihadapi dan solusi

Berdasarkan hasil diskusi dengan petani dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

diketahui bahwa kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh petani lidah buaya

diantaranya yaitu perubahan iklim yang menyebabkan pergeseran musim hujan,

kendala pengangkutan hasil panen, penggunaan pupuk organik yang memiliki efek

samping, serta harga jual yang dianggap petani rendah. Pergeseran musim hujan

menyebabkan lama musim hujan di Provinsi Bali menjadi lebih panjang. Hal ini

menyebabkan rumput menjadi cepat tumbuh yang menyebabkan kompetisi lahan

antara tanaman lidah buaya dengan rumput. Semakin cepat dan lebat rumput yang

tumbuh menyebabkan frekuensi kegiatan pembersihan lahan menjadi lebih sering

terjadi. Akibatnya biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk pembersihan lahan

menjadi semakin besar. Hal tersebut tentunya membuat pendapatan yang nantinya

diperoleh akan semakin berkurang karena harga jual yang telah terpatok dan tidak

berubah. Solusi yang dapat digunakan yaitu pemberian cuka atau garam pada rumput
19

liar. Namun perlu dipastikan cuka dan garam tidak sampai mengenai tanaman lidah

buaya karena akar tanaman sensitif terhadap cuka. Pemberian cuka dapat dilakukan

ketika rumput tanaman masih muda dan belum menjalar terlalu luas.

Kendala yang kedua yaitu proses pengangkutan hasil panen yang belum bisa

dikelola dengan baik. Truk pengangkut hasil panen tidak dapat menjangkau lokasi

perkebunan yang terpencil. Hal ini menyebabkan petani perlu mengangkut sendiri hasil

panennya untuk dikumpulkan ke truk pengangkut yang kemudian menyebabkan biaya

yang perlu dikeluarkan oleh petani juga semakin tinggi. Solusi yang dapat dilakukan

yaitu adanya pengangkutan yang terintegrasi di tiap-tiap pos lahan setelah panen untuk

disalurkan ke truk pengangkut. Sehingga petani yang memiliki lokasi lahan terjauh

tidak perlu membawa sendiri hasil panennya ke truk pengangkut.

Kendala yang ketiga yaitu penggunaan pupuk organik berupa kotoran ayam

dirasa sudah cocok oleh petani untuk pertumbuhan daun tanaman yang lebih baik,

namun terdapat efek samping atas penggunaan kotoran ayam sebagai pupuk organik.

Akar tanaman lidah buaya terlalu sensitif sehingga menyebabkan daun tanaman

menjadi layu dan membuat tanaman menjadi mati. Solusi yang dapat digunakan yaitu

dapat menggunakan pupuk organik lainnya seperti kotoran sapi atau kambing.

Kendala yang keempat yaitu harga jual yang dirasa masih rendah. Harga jual

lidah buaya saat ini adalah Rp 1.800/kg. Harga jual saat ini dirasa oleh petani tidak

mampu mencukupi segala kebutuhan hidup yang terus meningkat. Terlebih biaya yang

dikeluarkan siap tahunnya juga terus meningkat. Penerimaan yang tidak berubah serta

biaya dan taraf hidup yang terus meningkat membuat petani merasa terbebani. Harapan
20

dari petani lidah buaya kedepannya adalah harga jual untuk kedepannya bisa

ditingkatkan hingga Rp 2.500.000/ton. Solusi yang dapat digunakan yaitu adanya

perundingan satu meja antara petani dengan pihak perusahaan untuk kesepakatan harga

yang baru, agar kedua belah pihak tetap diuntungkan dan tidak merugikan salah satu

pihak.

3.3.3. Kesimpulan

PT Alove Bali IND merupakan perusahaan yang berdiri sejak tahun 2003.

Perusahaan ini memiliki lahan perkebunan seluas 30 ha serta pengembangan budidaya

sistem plasma seluas 70ha yang tersebar di Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karang

Asem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten

Tabanan dan Kabupaten Bangli. Tahapan budidaya lidah buaya terdiri atas pembibitan,

persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Permasalahan

yang dihadapi oleh petani lidah buaya yaitu yaitu perubahan iklim yang menyebabkan

pergeseran musim hujan, kendala pengangkutan hasil panen, penggunaan pupuk

organik yang memiliki efek samping, serta harga jual yang dianggap petani rendah.

3.4. Desa Adat Panglipuran

Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat yang telah berkembang

menjadi desa wisata yang sangat ramai dikunjungi para wisatawan lokal maupun

mancanegara. Bahkan pada awal penetapannya desa ini sebagai desa wisata, turis asing
21

yang sering memadati desa yang terletak di Bangli ini. Desa Penglipuran berasal dari

akronim kata pengeling dan pura yang berarti mengingat tempat suci (para leluhur).

3.4.1. Deskripsi lokasi

Desa Penglipuran adalah sebuah desa di Kabupaten Bangli Provinsi Bali,

tepatnya di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Desa Penglipuran terletak pada jalur

wisata Kintamani, sejauh 5 km dari pusat kota Bangli, dan 45 km dari pusat kota

Denpasar. Desa ini berudara sejuk karena terletak 700 m di atas permukaan laut. Luas

Desa Adat Penglipuran mencapai 112 hektare, terdiri atas 37 hektare hutan bambu,

ladang seluas 49 hektare, dan untuk perumahan penduduk seluas 12 hektar dengan

batas wilayah Desa Adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan Desa Adat Gunaksa,

dan di sebelah barat Desa Adat Tukad, sedangkan di sebelah utara Desa Adat Kayang.

Jumlah penduduknya 743 orang, kebanyakan dari mereka hidup sebagai petani dan

hanya sebagian kecil sebagai pegawai negeri.

Asal mula keberadaan Desa Penglipuran sudah ada sejak dahulu, konon pada

zaman Kerajaan Bangli. Para leluhur penduduk desa ini datang dari Desa Bayung Gede

dan menetap sampai sekarang, sementara nama “Penglipuran” sendiri mempunyai

makna sebagai penghibur/penglipur hati raja yang pada saat itu raja sedih karena tidak

ada orang yang dapat dipercaya dan beliau mencari orang yang jujur, yang pada

akhirnya beliau temukan ketika sedang merenung sambil mengamati penduduk desa

yang kini bernama penglipuran ini. Berdasarkan sudut pandang sejarah, kata

panglipuran berasal dari kata “pengling pura” yang memiliki makna eling/ingat akan
22

tempat suci atau pura untuk mengenang para leluhur. Desa ini sangat berarti bagi

penduduk sejak leluhur mereka datang dari Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani

yang jaraknya cukup jauh dari desa panglipuran, oleh karena itu masyarakat Desa

Penglipuran mendirikan tempat suci atau pura yang sama sebagaimana yang ada di

Desa Bayung Gede. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Penglipuran masih

mengenal asal-usul mereka.

Sistem pemerintahan Desa Penglipuran terdapat dua sistem yaitu menurut

sistem pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang

otonom atau desa adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri sendiri-

sendiri dan setara. Sistem yang otonom atau desa adat mempunyai aturan-aturan

tersendiri menurut adat istiadat di daerah penglipuran dengan catatan aturan tersebut

tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang pemerintah. Undang-

undang atau aturan yang ada di Desa Penglipuran disebut dengan awig-awig. Awig-

awig tersebut merupakan implementasi dari landasan operasional masyarakat

penglipuran yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Prahyangan, yaitu hubungan manusia dan tuhan. Meliputi penentuan hari suci,

tempat suci dan lain-lain.

2. Pawongan, yaitu hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan

masyarakat penglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan

dengan orang yang beda agama. Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi

sistem perkawinan,organisasi, perwarisan dan lain-lain.


23

3. Palemahan yaitu hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa

penglipuran diajarkan untuk mencintai alam lingkungannya dan selalu

merawatnya, tidak heran kalau desa penglipuran terlihat begitu asri.

Pemerintahan desa adatnya terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adat.

Prajuru hulu apad terdiri dari jero kubayan, jero kubahu, jero singgukan, jero cacar,

jero balung dan jero pati. Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling

senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang belum ngelad. Ngelad atau pensiun

terjadi bila semua anak sudah menikah atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka

yang baru menikah duduk pada posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan

desa adat. Pimpinan tertinggi di Desa Penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat

yang diberi gelar I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang ditentukan.

Masyarakat Desa Penglipuran yang berumur 13 tahun diwaajibkan untuk masuk

organisasi yang dinamakan Karang Taruna dan harus masuk organisasi ini sampai

mereka menikah.

Desa Panglipuran penggunaan sebagian lahannya ditanami hutan bambu yaitu

sebesar 37 hektar dan digunakan untuk ladang sebesar 49 hektar. Mayoritas penduduk

Desa Panglipuran bermata pencaharian sebagai petani. Sawah menjadi tumpuan

harapan mereka. Penduduk desa ini dilimpahi hujan yang lebat tiap tahunnya, sehingga

memudahkan penduduknya dalam bercocok tanam dan masalah irigasi.

Desa Penglipuran mempunyai aturan yaitu laki-laki diharuskan menerapkan

hidup monogami yakni hanya memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur

dalam peraturan (awig-awig) desa adat. Jika ada lelaki Penglipuran beristri yang coba-
24

coba merasa bisa berlaku adil dan menikahi wanita lain, maka lelaki tersebut akan

dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang artinya tempat

dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk

tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu merupakan sebidang lahan

kosong di ujung Selatan desa. Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi

tetangga disebelah kanan dan sebelah kiri juga sebelah depan dari rumahnya karena

tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Jika ada orang

asing yang ingin tinggal di Desa Penglipuran (untuk menetap atau hanya sementara),

maka harus ada seorang warga asli Penglipuran yang bertanggung jawab atas

keberadaan orang tersebut selama berada di dalam lingkungan Desa Adat Penglipuran.

Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya perusakan budaya setempat oleh kehadiran

orang asing yang tinggal di dalam desa.

3.4.2. Permasalahan yang dihadapi dan Solusi

Masalah yang dihadapi oleh masyarakat Panglipuran yaitu kebanyakan

masyarakat Desa Adat Penglipuran masih tetap bergelut dalam bidang pertaninan yang

merupakan profesi yang telah ditekuni bertahun-tahun dan warisan nenek moyangnya.

Penghasilan dari hasil pertanian mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari saja. Sekarang ini, hasil pertanian sangat tidak sesuai dengan harapan

masyarakat lokal dan bahkan cendrung merugi apabila dihitung antara biaya yang

dikeluarkan oleh petani untuk mengolah lahannya dengan hasil penjualan hasil

pertaniannya.
25

Solusinya yaitu masyarakat Desa Adat Penglipuran memanfaatkan sumber

daya yang ada di desanya yaitu hutan bambu yang berada di utara desa dimana bambu

yang biasanya dipakai sebagai atap rumah kini juga dikembangkan sebagai kerjinan-

kerajinan yang yang dijajakan didalam area perumahan yang tentunya memiliki nilai

ekonomi dan bisa menambah penghasilan masyarakat desa penglipuran. Agar tidak

terjadi perebutan dalam penjualan souvenir, ada aturan yang mengatur dimana

wisatawan harus membeli kerajinan tangan dirumah penduduk yang ditujukan oleh

pecalang setempat.

3.4.3. Kesimpulan

Desa Adat Panglipuran berlokasi di Kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari

Kota Denpasar. Letaknya berada di jalan utama Kintamani (Bangli). Luas Desa Adat

Panglipuran kurang lebih 112 km. Jumlah penduduknya mencapai 743 orang,

mayoritas mata pencahariannya sebagai petani. Pendekatan agribisnis dari Desa

Panglipuran yaitu adanya penggunaan sebagian lahan sebesar 37 hektare untuk

ditanami hutan bambu, yang kemudian dimanfaatkan masyarakat setempat untuk

kerajinan tangan, kemudian mereka jual kepada para wisatawan yang berkunjung ke

desa mereka. Selain itu, masyarakat Panglipuran juga menggunakan tanah mereka

sebesar 49 hektare untuk ladang. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat Panglipuran

adalah masyarakat Desa Adat Penglipuran masih tetap bergelut dalam bidang

pertaninan dengan penghasilan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari


26

saja. Masyarakat Desa Adat Penglipuran memanfaatkan sumber daya yang ada di

desanya sebagai kerajinan tangan.

3.5. Museum Subak

3.5.1. Deskripsi lokasi

Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur tentang sistem

pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Dalam

pengelolaan irigasi subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri Hita Karana yaitu

artinya yang memiliki hubungan timbal balik antara Parahyangan yakni hubungan yang

harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa, pawongan

hubungan yang harmonis antara anggota subak dengan masyarakat setempat, serta

Palemahan yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan. Tri Hita

Karana menunjukkan bahwa dengan bersatunya ketiga subsistem dalam irigasi Subak,

maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik

antar subak yang terkait dalam satu system irigasi dapat dihindari. Hal ini bisa terjadi

karena adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh

anggota subak.

Jaringan Irigasi Subak

Fasilitas yang utama dari irigasi subak (palemahan) untuk setiap petani anggota

subak adalah berupa pengalapan (bendungan air), jelinjing (parit), dan sebuah
27

cakangan (satu tempat/alat untuk memasukkan air ke bidang sawah garapan). Jika di

suatu lokasi bidang sawah terdapat dua atau lebih cakangan yang saling berdekatan

maka ketinggian cakangan-cakangan tersebut adalah sama (kemudahan dan kelancaran

air mengalir masuk ke sawah masing-masing petani sama), tetapi perbedaan lebar

lubang cakangan masih dapat ditoleransi yang disesuaikan dengan perbedaan luas

bidang sawah garapan petani. Pembuatan, pemeliharaan, serta pengelolaan dari

penggunaan fasilitas irigasi subak dilakukan bersama oleh anggota (krama) subak.

Jaringan sistem pengairan dalam subak jika diurut dari sumber air terdiri dari:

1. Empelan/empangan sebagai sumber aliran air/bendungan.

2. Bungas/Buka adalah sebagai pemasukan (in take).

3. Aungan adalah saluran air yang tertutup atau terowongan.

4. Telabah aya (gede), adalah saluran utama.

5. Tembuku aya (gede), adalah bangunan untuk pembagian air utama.

6. Telabah tempek (munduk/dahanan/kanca), adalah sebagai saluran air cabang.

7. Telabah cerik, sebagai saluran air ranting.

8. Telabah panyacah (tali kunda), dibeberapa tempat dikenal dengan istilah

Penasan (untuk 10 bagian), Panca (untuk 5 orang), dan Pamijian (untuk sendiri/1

orang).

Melalui sistem Subak inilah, para petani medapatkan bagian air sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan oleh musyawarah dari warga/krama subak dan tetap

dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana. Maka dari itu, kegiatan dalam
28

organisasi/perkumpulan Subak tidak hanya meliputi masalah pertanian atau bercocok

tanam saja, tetapi juga meliputi masalah ritual dan peribadatan untuk memohon rejeki

dan kesuburan.

Budidaya Subak

Pengolahan Tanah

Setelah beberapa hari digenangi air, pekerjaan mengolah tanah dapat dimulai.

Pekerjaan pertama disebut ngendag amacul yaitu tanah dicangkul dan digemburkan

dengan menggunakan tambah (gigi tunggal, giwa, gipat, ginem) kemudian diratakan

dengan menggunakan tulud/peed. Untuk membersihkan rumput diteras sawah

dipergunakan sorok dan untuk pematang sawah menggunakan penampad.

Sawah yang luas diolah dengan mempergunakan tenggala, lampit dan

pemelasah. Tenggala mempunyai fungsi untuk membalikkan tanah, dilanjutkan dengan

ngelampit yaitu menggemburkan tanah dan diakhiri dengan melasah dengan

menggunakan pemelasah. Alat pembajak ini ada dua jenis, yang menggunakan satu

kerbau (dipergunakan pada lahan bertingkat) dan yang menggunakan dua kerbau

(dipergunakan pada sawah datar). Pada sawah terasiring setelah tanah dicangkul dan

dibersihkan, maka tanah digemburkan atau dihaluskan dengan menggunakan grinding

dan diratakan dengan mempergunakan tulud.

Pembibitan Padi

Awal dari kegiatan menanam padi adalah membuat bibit padi. Setelah benih

ditabur di salah satu sudut petakan sawah dilanjutkan dengan suatu upacara yaitu

upacara ngurit/mantenin bulih.


29

Menanam Padi

Setelah pengolahan tanah selesai petani melakukan penanaman padi. Alat-alat

yang digunakan adalah : arit (sabit), suwah bulih, penyepitan bulih, tempeh.

Menyiangi dan Memupuk

Gulma pengganggu tanaman padi disingkirkan dengan cara dicabut atau

menggunakan alat berupa kiskis dan pengerondoan. Pemupukan perlu dilakukan secara

berkala agar tanaman bisa tumbuh dengan subur.

Menunggu Padi

Menjelang panen, petani sering menunggui padinya di sawah. Mereka membuat lelakut

untuk untuk menakut-nakuti dan membuat kepuakan untuk menghalau burung-burung.

Kepuakan dibunyikan disertai teriakan agar burung-burung tidak memakan padi.

Panen

Panen padi dilakukan dengan menggunakan alat-alat berupa : anggapan (memotong

padi), penatapan (meratakan/merapikan ikatan padi), tali panepukan dan arit. Sebelum

panen petani membuat dewa nini dari padi sebagai sarana memuja Tuhan.

2.3.2. Permasalahan dan Solusi

Pemerintah Bali yang ingin menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi wisata

pertanian menjadikan Pertanian Bali terkenal akan landscape pertaniannya.

Meningkatnya wisatawan di Bali berdampak langsung terhadap lahan pertanian


30

maupun lahan lainyya sebagai pembangunan bidang property seperti penginapan dan

hotel. Sehingga lahan pertanian menyusut dan alur air menjadi terhambat. Tidak ada

subak tanpa air, pada dasarnya sistem subak ini hanya mengandalkan air, sebab

pembagian irigasi didasarkan pada sumber air.

Solusi yang dapat dilakukan pemerintah, mengambil kebijakan yang berkaitan

dengan pembangunan pertanian yang berpihak dan melindungi sistem subak.

Pembatasan pembagunan di wilayah yang bersinggungan dengan wilayah pertanian

maupun alur sumber air.

2.3.3. Kesimpulan

Sistem subak sangat bagus dan dapat dijadikan contoh sebagai sistem

pengelolaan pembagunan pertanian yang mengedepankan kearifan lokal dan budaya.

Pemerintah harus melindungi pertanian dengan sistem Subak karena telah terbukti

dapat dijadikan contoh pengelolaan pertanian yang baik dan menjadi asset sebagai

destinasi pariwisata pertanian di Bali.


31

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Kuliah Kerja Lapangan mengunjungi Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Sub

Tropika (BALITJESTRO), Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi-umbian

(BALITKABI), PT Alove Bali IND, Desa Adat Panglipuran, dan Museum Subak.

Balitjestro sebagai Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika telah berhasil

mengembangkan beberapa varietas buah unggulan serta teknologi pengendalian hama

terpadu termutakhir. Namun hasil penelitian itu belum menyeluruh sampai ke petani.

Tahapan budidaya lidah buaya terdiri atas pembibitan, persiapan lahan, penanaman,

pemeliharaan, panen dan pasca panen. Permasalahan yang dihadapi oleh petani lidah

buaya yaitu yaitu perubahan iklim yang menyebabkan pergeseran musim hujan,

kendala pengangkutan hasil panen, penggunaan pupuk organik yang memiliki efek

samping, serta harga jual yang dianggap petani rendah. Desa adat panglipuran berlokasi

di Kabupaten Bangli dengan luas kurang lebih 112 km2. Jumlah penduduknya

mencapai 743 orang, mayoritas mata pencahariannya sebagai petani. Subak adalah

organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur tentang sistem pengairan sawah

yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Sistem subak sangat bagus

dan dapat dijadikan contoh sebagai sistem pengelolaan pembagunan pertanian yang

mengedepankan kearifan lokal dan budaya.


32

4.2. Saran

Dari pelaksanaan KKL yang telah dijalani, penulis memiliki beberapa saran yang

diharapkan dapat menjadi masukan demi perbaikan pelaksanaan program ini di masa

mendatang, diantaranya:

1. Pihak panitia KKL diharapkan dapat mempersiapkan kegiatan ini lebih matang

sehingga apa yang menjadi tujuan dari kegiatan KKL benar-benar dapat

dirasakan oleh mahasiswa.

2. Dalam pemilihan tempat kunjungan, sebaiknya memilih tempat yang sesuai

dengan bidang studi yang dijalani mahasiswa, dalam hal ini bidang pertanian,

sehingga apa yang didapat selama program berlangsung sejalan dengan yang

diharapkan mahasiswa.

3. Sebaiknya pengaturan jadwal kunjungan lebih ditata lebih baik, agar peserta

KKL dapat mengikuti kegiatan kunjungan semaksimal mungkin.


33

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi
34

Lampiran 1. (lanjutan)

Anda mungkin juga menyukai