Anda di halaman 1dari 18

STRATEGI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN PICT

MAKALAH

Oleh
Inka Mawardi Putri NIM 152310101059
Tantia Ismi Nitalia NIM 152310101064
Kresna Ade Saputra NIM 152310101071
Dwi Ayu Sita Rasmi NIM 152310101155
Dema Billy Lorenza NIM 152310101159
Mifta Irma Mei Liani NIM 152310101162
M. Zainul Samsul Muarif NIM 152310101166

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERRAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dengan PICT”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS
Program Studi Sarjana Fakultas Keperawatan Universitas Jember.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Jember, 28 Maret 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI HALAMAN

HALAMAN JUDUL.....................................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

ISI MAKALAH............................................................................................

A. DEFINISI.................................................................................................

B. CAKUPAN PROGRAM/SASARAN......................................................

C. MEKANISME PELAKSANAAN PROGRAM....................................

D. KETERCAPAIAN PROGRAM.............................................................

E. ARTIKEL/JOURNAL TERKAIT EFEKTIVITAS PELAKSANAAN


PROGRAM PADA POPULASI KUNCI......................................................

KESIMPULAN.............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................

iii
ISI MAKALAH

A. Definisi

Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) adalah suatu


tes HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada
pengunjung sarana layanan kesehatan sebagai bagian dari standar pelayanan
medis (Kemenkes RI, 2010). Provider-Initiated Testing and Counselling
(PITC) merupakan suatu program yang memiliki penatalaksanaan terapi yang
memiliki kemudahan atau ketercapaian tinggi dalam mengidentivikasi pasien
HIV, PICT itu sendiri berupa konseling dan tes HIV yang disarankan oleh
penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada seseorang yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu komponen standart dari pelayanan
medis. Seseorang yang datang ke pelayanan kesehatan dengan tandan dan
gejala terinfeksi HIV, sudah menjadi tanggung jawab penyelenggara
pelayanan kesehatan, selain itu juga akan dilakukan tes konseling sebagai
bagian dari standart rutin dari menajemen klinis, termasuk penyaranan
konseling dan tes pada pasien TB, HIV atau penyakit menular lainnya ( Nasir,
2013).

Menurut Kemenkes RI, tujuan utamanya adalah untuk membuat


keputusan klinis atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak
mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang seperti
misalnya ART. Apabila seseorang yang datang ke sarana layanan kesehatan
menunjukkan adanya gejala yang mengarah ke HIV maka tanggung jawab
dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV
kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalakasana klinis. Sebagai contoh
petugas kesehatan memprakarsai tes dan konseling HIV kepada pasien TB
dan pasien suspek TB, pasien IMS, pasien gizi buruk, pasien dengan gejala
atau tanda IO lainnya. PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi
HIV yang tidak nampak pada pasien dan pengunjung sarana layanan
kesehatan. Oleh karenannya kadang‐kadang tes dan konseling HIV juga
ditawarkan kepada pasien dengan gejala yang mungkin tidak terkait dengan
HIV sekalipun. Pasien tersebut dapat mendapatkan manfaat dari pengetahuan
tentang status HIV positifnya guna mendapatkan layanan pencegahan dan
terapi yang diperlukan secara lebih dini. Dalam hal ini tes dan konseling HIV
ditawarkan kepada semua pasien yang berkunjung ke sarana layanan
kesehatan selama brinteraksi dengan petugas kesehatan.

B. Cakupan Program/Sasaran
PICT memiliki beberapa cakupan program sesuai dengan jenisnya, antara
lain:
Cakupan program atau sasaran PICT sesuai dengan Epideminya, antara
lain:
1. Penerapan PITC pada semua Jenis Epidemi (Secara Umum)
Petugas kesehatan dianjurkan untuk menawarkan tes HIV dan
konseling sebagai bagian dari prosedur baku perawatan kepada semua
pasien seperti berikut tanpa memandang tingkat epidemi daerahnya:
1) Semua pasien dewasa atau anak yang berkunjung ke sarana kesehatan
dengan gejala dan tanda atau kondisi medis yang mengindikasikan pada
AIDS. Seperti misalnya, meskipun tidak selalu atau terbatas pada
tuberkulosis dan kondisi khusus lainnya terutama kelompok kondisi
medis yang ada dalam sistem pentahapan klinis infeksi HIV (stadium
klinis).
2) Bayi yang baru lahir dari ibu HIV positif sebagai perawatan lanjutan
yang rutin pada bayi tersebut
3) Anak yang dibawa ke sarana kesehatan dengan menunjukkan tanda
tumbuh kembang yang kurang optimal atau gizi kurang dan tidak
memberikan respon pada terapi gizi yang memadai.

2. Penerapan PITC di Daerah Epidemi Meluas


Penerapan PITC pada daerah epidemi meluas ini biasanya sudah
memiliki lingkungan yang sudah tersedia akan yang memungkinkan atau
kondusif serta tersedia sumber daya yang memadai, memungkinkan dan
kondusif termasuk ketersediaan paket layanan pencegahan, pengobatan
dan perawatan HIV. Oleh karena itu petugas kesehatan memprakarsai tes
HIV dan konseling kepada semua pasien yang berkunjung/berobat di

2
semua sarana kesehatan. Untuk mengatasi kendala dalam hal sumber daya
maka perlu pentahapan dalam penerapan PITC.

3. Penerapan PITC di Epidemi Terkonsentrasi atau Tingkat Rendah


Penerapan PITC pada Epidemi tingkat rendah ini tidak semua
pasien ditawari tes dan konseling HIV, karena pada umumnya orang
berisiko rendah untuk tertular HIV. Di daerah tersebut prioritas ditujukan
hanya pada semua pasien dewasa atau anak yang berobat di sarana
kesehatan dengan menunjukkan gejala atau tanda klinis yang
mengindikasikan AIDS, termasuk tuberkulosis dan pada pasien anak yang
diketahui terlahir dari ibu HIV‐positif. Bila tersedia data yang
menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada pasien TB sangat rendah, maka
tawaran tes‐HIV dan konseling pada pasien TB pun bukan merupakan
prioritas. Keputusan atau pemilihan sarana kesehatan untuk menerapkan
PITC di aerah dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi atau
rendah harus didasarkan atas penilaian epidemiologi dan konteks sosial.

C. Mekanisme Pelaksanaan Program


Penyelenggaraan Tes HIV dan Konseling oleh Petugas Kesehatan
memiliki beberapa langkah, yaitu:
1. Langkah 1: sarankan untuk menjalani test HIV. Garis bawahi tanda
dan gejala yang disajikan pasien, hubungkan dengan gaya hidup
dirinya atau pasangannya. Bawa pasien kearah menghubungkan
tanda dan gejala tadi dengan infeksi oportunistik terkait AIDS.
Untuk meyakinkan adanya hubungan, perlu dilakukan tes HIV.
Tekankan pentingnya pertimbangan medis petugas kesehatan, dan
betapa bermanfaatnya untuk bertukar pikiran dengan pasien.
2. Langkah 2: Diberikan penjelasan ringkas mengenai informasi
pra‐tes, petugas kesehatan memberi jaminan kerahasiaan dan
memperoleh pernyataan tidak berkeberatan (informed consent).
Katakan bahwa pada Langkah 2, diharapkan agar mereka
memberikan penjelasan mengenai penularan HIV, tes HIV, dan cara
pencegahannya. Catatlah bahwa hal ini merupakan intervensi yang

3
lebih sederhana dibandingkan dengan konseling pra‐tes yang
biasanya dilaksanakan pada KTS/ VCT. Juga, untuk beberapa
lingkungan tertentu, informasi pra‐test ini dapat diberikan oleh
para petugas kesehatan lainnya di klinik atau dalam sesi edukasi
kelompok. Ingatkan para peserta mengenai 3 C’s dengan
menekankan bahwa pada tahapan ini petugas kesehatan
memusatkan perhatian kepada pernyataan tidak keberatan secara
suka rela (informed consent) dan dengan menjamin
konfidensialitas .Catatlah bahwa setidak‐tidaknya petugas
kesehatan menjalankan Langkah 1.
3. Langkah 3: Pengambilan contoh darah untuk tes HIV. Pelatihan ini
mengasumsikan bahwa tes cepat memang dapat dilakukan, dan
bahwa sampel yang diambil adalah sampel dalam bentuk serum
yang diambil melalui tusukan pada jari tangan. Perlu dicatat bahwa
semakin sempurnanya teknologi telah memungkinkan adanya tes
cepat yang efektif .

a. Diperkirakan bahwa di layanan yang banyak dikunjungi, dan juga


banyak mengambil sample melalui pendekatan PITC adalah
Puskesmas atau layanan kesehatan primer.
b. Catatlah bahwa pelatihan ini akan memberikan sekilas mengenai
tes cepat HIV, tapi bukan merupakan pengganti bagi pelatihan
pemeriksaan laboratorium yang membahas mengenai penjaminan
mutu dan masalahmasalah laboratorium yang HARUS dilakukan
sebelum dapat dijalankannya intervensi tes HIV cepat yang efektif.
Pada langkah ini, dibutuhkan diskusi penurunan risiko. Jadi,
Lakukan diskusi penurunan risiko. Atau lakukan diskusi
komunikasi petugas kesehatan dan pasien tentang risiko dalam
gaya kehidupan pasien. Komunikasi/diskusi petugas kesehatan
perlu dilanjutkan dengan konseling KTS/ VCT. Diskusi petugas
kesehatan dengan pasien akan membuka wawasan pasien tentang
sakitnya, sementara konseling akan mengolah gejolak mental

4
emosional yang seringkali membuat kognisi pasien terhambat
untuk diimplementasikan pada perilaku. Jika petugas kesehatan
tidak memiliki cukup banyak waktu untuk melakukan konseling,
maka konseling dilakukan oleh konselor.

4. Langkah 4: Hasil test HIV disampaikan kepada pasien, dilanjutkan


dengan pemberian konseling paska‐tes, dan diberikan pula
rujukan. Pada langkah 4 ini, kepada pasien diberikan hasil tes HIV
mereka; diberikan penjelasan mengenai hasil tes dan kemungkinan
rujukannya agar pasien memperoleh dukungan secara
berkesinambungan atau keperluan dukungan lainnya. Meski pun
hasil ini dapat saja diberikan oleh petugas kesehatan lainnya,
sangat dianjurkan agar petugas kesehatan pelaku PITC yang
menyampaikan hasil tes HIV ini. Catatlah bahwa setiap tes yang
disarankan petugas kesehatan primer mempunyai dasar
pertimbangan medis yang berbeda. Oleh karenanya akan logis jika
hasil hasil ini perlu ditafsirkan dan diberitahukan pula rencana
kerja tindak lanjutnya oleh petugas kesehatan yang memang
merupakan orang pertama yang memulai proses tersebut. Kegiatan
pelatihan akan beralih ke materi berikutnya, memusatkan perhatian
kepada berbagai keterampilan untuk dapat mencapai Langkah 1:
Menyarankan Tes HIV. Namun untuk menyarankan tes terlebih
dahulu harus mengenali penyakit yang mengindikasikan bahwa
pasien perlu menjalani tes dan konseling HIV.

Mekanisme Pelaksanaan Testing HIV bagi pengambil darah dan


teknisi laboratorium harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Sebelum melakukan testing, harus didahului dengan konseling atau
diskusi antara dokter dan pasien tentang HIV, cara penularan dan
pencegahan, tatalaksana terapi dan keterkaitan penyakit pasien
dengan HIV, dan penandatanganan informed consent.
b. Hasil testing HIV harus diverifikasi oleh dokter patologi klinis atau
dokter terlatih atau dokter penanggung jawab laboratorium.

5
c. Hasil diberikan kepada konselor atau dokter yang merujuk untuk
testing dalam amplop tertutup.
d. Dalam laporan pemeriksaan hanya ditulis nomor atau kode
pengenal atau nomor rekam medis.
e. Jangan memberi tanda berbeda yang mencolok terhadap hasil yang
positif dan negatif.
f. Meskipun spesimen berasal dari sarana kesehatan dan sarana
kesehatan lainnya yang berbeda, tetap harus dipastikan bahwa klien
telah menerima konseling dan menandatangani informed consent.

D. Ketercapaian Program
Sesuai tujuan PICT yaitu untuk mengindentifikasi infeksi HIV
terhadap klien yang tidak dikenali dan tidak dicurigai yang datang ke
pelayanan kesehatan. adapun implementasi dari PICT meliputi pengukuran
penyebaran status HIV tanpa ijin dan mengetahui status HIV seseorang. Oleh
karena itu, pelaksanan PITC diharapakan dapat membuat populasi berisiko
HIV dan pasangannya lebih mudah terjangkau hingga melaksanakan
pelayanan PMTCT ( Preventif Mother of Child Transmition) (Muninjaya,
2000).
Program PICT lebih efektif dibanding program VCT, hal tersebut
dijelaskan bahwa sulitnya mempercayai VCT yang disebabkan melalui
mekanisme VCT provider kesehatan seperti rumah sakit, pukesmas, dan
tenaga medis lebih pasit, sehingga program tersebut hanyalah menghimbau
masyarakarat secara sukarela untuk memeriksakan diri ke Rumah sakit dan
menunggu ketersediaan pasien untuk menjalani tes, sehingga sangat sulit
untuk memutus rantai penularan, sebaliknya pada program PICT peran
provider kesehatan lebih efektif. Dokter berperan aktif untuk melihat pasien
bersangkutan yang memiliki gejala penyakit HIV, dengan meilihat faktor
yang berisiko tinggi terpapar HIV, sehingga dokter berhak memberi rujukan
agar pasien melakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium atau klinik HIV.
Oleh karena itu penatalaksanaan penanggulangan HIV lebih mudah tercapai
menggunakan PICT daripada VCT (Nasir, 2013).
Salah satu contoh sebuah penelitian di Los Angeles dan New York
mengenai program VCT dan PICT, menyatakan bahwa manfaat PICT jauh

6
lebih baik. Tes rutin dapat mengidentifikasi HIV positif 4 kali lebih banyak
dan prevelansi yang konsisten pada program PICT (Baroroh, 2017).
Program PICT memiliki daya jangkau yang lebih luas dari VCT
karena inisiatif tes berasal dari petugas kesehatan sehingga mampu
menghindari keterlambatan diagnosis. Peran provider kesehatan dalam PICT
lebih efektif dan aktif untuk melihat pasien bersangkutan memiliki gejala-
gejala terinfeksi HIV maupun faktor risiko tinggi terpapar HIV, sehingga
deteksi dini lebih efektif. Selain itu Program PICT hanya memberikan
alternatif “opt-out” form, dimana pasien berhak menolak melakukan tes HIV.
PICT hanya menyediakan konsultasi setelah tes (post-test counseling) bukan
konsultasi sebelum tes, sehingga keputusan untuk pemeriksaan HIV dapat
lebih cepat dilakukan. Hal ini dikarenakan hak asasi pasien merupakan hal
utama dalam melaksanakan program ini (Baroroh, 2017).

E. Artikel/Journal Terkait Efektivitas Pelaksanaan Program pada


Populasi Kunci
PICT/PITC (Provider Initiated HIV Testing and Counseling) atau
layanan tes dan konseling HIV terintegrasi di saranan kesehatan, yaitu tes
dan konseling HIV diprakarsai oleh petugas kesehatan ketika pasien mencari
layanan kesehatan (Kemenkes RI, 2010). Berbeda dengan VCT, yang mana
pasien lah yang ingin melakukan tes HIV. Pada program PICT petugas
kesehatanlah yang aktif menawarkan diri untuk memberikan tes HIV kepada
pasien yang datang ke pelayanan kesehatan. Pada layanan tes HIV di klinik
Konseling dan testing HIV secara sukarela, pasien datang atas prakarsa
sendiri. Pada layanan KTS tersebut tes HIV harus didahului konseling pra-
test. Kebijakan PBB menyatakan bahwa setiap konseling sukarela diikuti
dengan konseling pra-tes, informed consent sebelum pemeriksaan darah HIV,
testing HIV dan konseling pasca-tes yang keseluruhannya bersifat rahasia
(Kemenkes RI, 2010).
Pada tahun 2007, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan
pedoman merekomendasikan bahwa negara dan organisasi mengadopsi PITC
untuk meningkatkan tingkat tes HIV. Pedoman ini dikembangkan karena

7
tingkat tes HIV secara global tetap rendah, meskipun peningkatan akses ke
layanan perawatan HIV, perawatan, dukungan dan pencegahan, dan sedikit
orang yang hidup dengan HIV menyadari status mereka. Meskipun WHO
merekomendasikan peningkatan skala VCT, PITC juga direkomendasikan
karena kebutuhan untuk tambahan, inovatif, dan beragam pendekatan untuk
pengujian HIV. Pedoman tersebut mengakui bahwa fasilitas perawatan
kesehatan mempunyai peluang hadir untuk kontak dengan individu yang
dapat mengambil manfaat dari tes dan konseling HIV dan memfasilitasi akses
ke layanan terkait HIV. Namun, perhatian difokuskan tentang potensi
pemaksaan pasien dan hasil buruk dari pengungkapan ketika klien tidak
sendiri memulai keputusan untuk menguji HIV (Kennedy dkk, 2013).
HIV / AIDS saat ini merupakan ancaman global terutama di negara
berkembang; melampaui 60 juta terinfeksi virus ini. Di Afrika Sub-Sahara,
HIV / AIDS adalah yang paling banyak penyebab utama dan umum untuk
kematian. Banyak ditemukan kasus HIV di Afrika Sub-Sahara, baik di
negara-negara Afrika Sub-Sahara maupun saat mereka bermigrasi ke negara
lain. Ethiopia salah satunya Prevalensi HIV / AIDS di negara Sub-Sahara
yang tertinggi mengikuti Afrika Selatan dan Nigeria (Waldegabrel dkk, 2015).
Diperlukan tes dan konseling HIV yang diprakarsai oleh Penyedia (PITC)
mengurangi diagnosis HIV yang terlambat di antara para migran Afrika Sub-
Sahara (SAM) yang berada di Eropa. Perawatan primer merupakan titik
masuk yang ideal untuk PITC. Migran Sub-Sahara Afrika (SAM) yang berada
di Eropa adalah kelompok terbesar kedua dipengaruhi oleh HIV di wilayah
Belgia dan lebih mungkin didiagnosis terlambat. Meskipun komunitas SAM
di Belgia kecil (1,6% dari total populasi), mereka menyumbang 34,6% dari
pasien yang baru didiagnosis HIV pada tahun 201. Setengah dari mereka
(51%) didiagnosis dengan Jumlah CD4 di bawah 350 atau penyakit
terdefinisi AIDS. Konsekuensi dari diagnosis terlambat tiga kali lipat (Loos
dkk, 2014).
Berdasarkan jurnal Provider-Initiated HIV Testing and Counseling in
Low- and Middle-Income Countries: A Systematic Review, dilakukan
peninjauan sistematis PITC di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

8
Studi dimasukkan, semuanya dari sub-Saharan Africa dan Asia (Cina, India,
dan Thailand). Studi dilakukan dengan menyalurkan di klinik untuk
antenatal / keluarga berencana / kesehatan anak, tuberkulosi, pasien rawat
jalan, seks penyakit menular. Dilaporkan dari tes HIV menunjukkan
peningkatan terkait dengan pendekatan PITC. Temuan ini mirip dengan hasil
tinjauan sistematis lain dari PITC yang disertakan negara maju dan
berkembang. Secara kolektif, bukti yang tersedia jelas menunjukkan bahwa
PITC meningkatkan tingkat tes HIV, seringkali dengan jumlah yang cukup
besar. Pengujian HIV adalah pintu gerbang untuk perawatan dan pengobatan
dan penggunaan Intervensi PMTCT bagi mereka yang positif, dan penting
dalam pengambilan keputusan tentang pencegahan dan pencegahan HIV
menggunakan beberapa intervensi pencegahan.
Secara keseluruhan, temuan dari tinjauan ini mendukung
kelanjutannya dari pengujian dan konseling yang diprakarsai oleh penyedia.
PITC jelas meningkatkan serapan tes HIV di seluruh tempat penelitian.
Namun PITC tidak terlalu memberi dampak sebesar program VCT, walaupun
tetap memberikan dampak yang banyak. Secara umum, kebanyakan
penelitian termasuk dalam penelitian ini memberikan sedikit deskripsi tentang
konseling pasca tes yang dilakukan. Konseling pasca tes adalah sebuah
bagian penting dari PITC, karena memberikan kesempatan klien untuk belajar
tentang pencegahan, pengobatan, layanan perawatan dan dukungan. Post-test
konseling harus sama mendalamnya dengan PITC seperti halnya untuk VCT.
Lebih lanjut, penyedia layanan harus cukup terlatih dalam hal dasar,
konseling yang berpusat pada klien, atau konselor yang terlatih harus
mengelola kedua sesi konseling pra dan pasca tes. Penelitii
merekomendasikan berbagai pendekatan berbeda untuk pengujian HIV,
termasuk PITC dan VCT, untuk mencapai cakupan yang adil. Pedoman WHO
2007 untuk PITC memberikan hasil panduan yang kuat untuk meluncurkan
PITC dalam berbagai pengaturan. Selanjutnya PITC diperluas di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah, studi lebih lanjut diperlukan
untuk terus memantau efek PITC pada berbagai hasil.

9
Berdasarkan jurnal yang berjudul Drugs (Alcohol/Khat) Use
Stimulants and as Risk Factor for HIV/AIDS Infection, Among Provider
Initiated Counselling and Testing (PICT) Visitors in Gore Town, Oromia,
Ethiopia, penelitian ini dilakukan oleh institusi pemerintah diklinik pusat
kesehatan yang terletak di kota Gore. Studi kasus kontrol berbasis institusi
dilakukan untuk menilai alkohol dan khat yang digunakan sebagai faktor
risiko infeksi HIV di antara pengunjung PICT yang datang. Kasus adalah
pengguna PICT yang hasil tes HIV-nya positif (HIV+ve) sementara kontrol
adalah pengguna PICT yang tes HIV-nya hasilnya negatif (HIV-ve). Baik
kasus maupun kontrol adalah orang-orang yang mengunjungi PICT di pusat
kesehatan Gore untuk konseling HIV dan menjadi tujuan pengujian selama
penelitian. Data pada faktor sosio-demografi pengunjung PITC di pusat
kesehatan Gore menunjukkan bahwa penyebaran HIV lebih banyak pada
responden usia 20-24 (sekitar 53%), dalam hal penularan melalui seks,
perempuan lebih tinggi (53,91%), pendidikan tingkat dasar (35,16%) diikuti
oleh tidak terdidik (31,25%), Ini menyiratkan kelompok yang tidak terdidik
lebih mungkin terkena HIV/AIDS dari pada yang berpendidikan. Berdasarkan
status perkawinan individu, prevalensi infeksi HIV/AIDS ditemukan lebih
tinggi pada orang menikah dari pada mereka yang hidup lajang. Sebagai
hasilnya menemukan bahwa risiko infeksi cenderung 1,6 kali menikah dan
1,5 kali bercerai dibandingkan yang belum menikah. Salah satu faktor yang
memberikan kontribusi infeksi HIV lebih banyak di antara individu yang
sudah menikah adalah tidak adanya pengungkapan untuk mereka pasangan.
Ini bisa karena privatisasi kasus HIV / AIDS. Pengungkapan kasus HIV /
AIDS sero positif di kalangan perempuan untuk pasangan seks di area studi
Gore, dan Mettu adalah 69%. Dalam kasus di PICT Gore menunjukkan
pengguna alkohol adalah 64% dan bukan pengguna 36% prevalensi. Ini
menunjukkan prevalensi infeksi HIV di kalangan peminum alkohol adalah
dua kali lipat daripada non-peminum. Demikian pula, pengunyah khat
ditemukan lebih berisiko Infeksi HIV / AIDS dibandingkan non-pengunyah.
Ketika ditanya, alasan mengapa responden menggunakan narkoba, tanggapan

10
cenderung untuk alasan yang umum; misalnya, untuk mendapatkan bantuan
dari kemarahan / ketegangan, untuk waspada, untuk menikmati euforia yang
didapat, untuk menghibur selama periode membosankan dan depresi. Risiko
infeksi HIV / AIDS berada dalam hubungan terbalik dengan pendidikan.
Individu yang buta huruf adalah 2 kali dan primer tingkat pendidikan adalah
1,34 kali kemungkinan terinfeksi Virus HIV dibandingkan sekunder dan
tingkat atas. Sesuai dengan temuan ini, di Uganda Zambia dan Thailand
prevalensinya infeksi rendah di masyarakat berpendidikan tinggi.
Secara keseluruhan, di Afrika risiko HIV infeksi dikaitkan dengan
risiko infeksi yang lebih tinggi; selagi kejadian infeksi baru cenderung ke
arah kurang berpendidikan dan pengetahuan terkait HIV untuk itu PITC di
Gore dirasa sangat berpengaruh untuk mendeteksi dini kasus HIV dan
membantu memberikan pengetahuan maupun informasi yang baru kepada
penderita HIV di Gore, Ethiopia dengan tingkat pendidikan dan ekonomi
yang rendah.
Berdasarkan jurnal yang berjudul Hiv Testing In Primary Care:
Feasibility And Acceptability Of Provider Initiated Hiv Testing And
Counseling For Sub-Saharan African Migrants, berfokus pada pelaksaan
PITC oleh tenaga kesehatan terutama dokter. Penelitian dilakukan untuk
mengetahui pelaksanaan PITC pada lingkup perbedaan budaya. Penelitian
melibatkan dokter di Belgia dan pasien dari para migrant Sub Saharan Afrika.
Didapatkan beberapa alasan mengapa para migran jarang datang ke pelayanan
kesehatan, pertama pasien individu terbatas untuk mengakses perawatan dan
perawatan tepat waktu. Kedua, kurangnya kesadaran akan status HIV
seseorang dan peningkatan viral load akan meningkatkan risiko penularan
selanjutnya, dan dengan demikian mendorong wabah. Akhirnya, diagnosis
terlambat diterjemahkan dan biaya perawatan kesehatan akan lebih tinggi
secara signifikan. Untuk mengurangi beban kesehatan masyarakat dari
diagnosis terlambat, campuran pemberian layanan model harus ditawarkan.
Di Flanders (bagian dari Belgia), upaya telah secara tradisional berfokus pada
klien yang dimulai pendekatan, seperti kampanye yang mempromosikan tes
HIV di komunitas SAM, penawaran konseling dan tes HIV (VCT) dan gratis.

11
Sementara diagnosis terlambat di antara SAM menurun, dari 71% pada tahun
2004, menjadi 60% pada tahun 2008, dan 51% pada tahun 2011, hambatan
budaya terhadap tes HIV yang diprakarsai oleh klien tetap tinggi. SAM sering
merasa "lebih baik tidak tahu," dan lebih memilih untuk tetap tidak tahu
tentang status HIV mereka daripada menghadapi konsekuensi dari diagnosis
positif. Bagi banyak orang, HIV dianggap penyebab kematian dini,
memburuknya penyakit, stigma, pengucilan sosial, dan berpotensi deportasi.
Studi observasional ini memberikan bukti bahwa mengadopsi PITC di
pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan SAM dapat
diterima dan layak digunakan dalam pengaturan perawatan primer. Cara
terbaik untuk melakukan PITC adalah analisis darah yang ditunjukkan untuk
alasan medis lainnya. Penelitian dalam jurnal menunjukkan bahwa dokter
menerima PITC untuk digunakan karena manfaat yang akan diterima oleh
pasien asal Afrika Sub-Sahara dan untuk keberlanjutan kesehatan masyarakat
luas. Selain itu, PITC terbukti dapat meningkatkan keterampilan konseling
dokter meningkat selama implementasi. Mengadopsi PITC dalam pengaturan
perawatan primer pada skala yang lebih besar, perlu dilengkapi dengan
langkah-langkah kebijakan yang relevan, untuk mendukung peran perawatan
primer dalam pencegahan HIV.
Berdasarkan ulasan dari ketiga jurnal, maka dapat disimpulkan bahwa
program PITC ini cukup efektif untuk dilaksanakan dalam rangka pencegahan
dan deteksi dini kasus HIV. Program PITC mampu mendeteksi awal
perseorangan maupun kelompok-kelompok tertentu yang mungkin terjangkit
virus HIV. Keefektifan program ini tidak hanya bermanfaat untuk mereka
yang terjangkit HIV, namun juga berguna untuk para tenaga kesehatan.
Program ini menuntut para tenaga kesehatan untuk bisa memberikan
konseling dan promosi kesehatan terkait dengan HIV, selain itu petugas
kesehatan juga dituntut untuk bisa memberikan konseling tanpa menyinggung
perasaan pasien dan pasien mau untuk melakukan tes. Program ini juga sudah
dilakukan di Indonesia sejak wacana WHO pada tahun 2009, dan memang
banyak membantu deteksi awal dari HIV terutama pada populasi kunci.

12
Diharapkan kedepannya program ini bisa terus berlanjut dan dilaksanakan
dengan lebih baik lagi, sehingga angka kejadian HIV bisa dikurangi.

KESIMPULAN

Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) adalah suatu


tes dan konseling untuk HIV yang disediakan dan disarankan oleh layanan
kesehatan bagi seseorang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
sebagai suatu komponen standart dari pelayanan medis. Sasaran utama
program PICT adalah orang dewasa dan juga anak-anak yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan dan menunjukkan tanda tumbuh kembang yang
kurang optimal maupun menunjukkan tanda kekurangan gizi. Selain itu, bayi
baru lahir dengan kondidi ibu positif HIV juga termasuk sebagai sasaran
utama pada program. Akan tetapi, terkadang sasaran utama tersebut tidak
akan disarankan melakukan tes, apabila di daerah tertentu epidemi HIV
rendah. Untuk keoptimalan program PICT sendiri, dalam jurnal telah
dijelaskan bahwa penggunaan program PICT terutama di negara berkembang
sangat optimal untuk meningkatkan efektifitas dalam pelaksanakan
pencegahan dan deteksi dini kasus HIV. Keefektifan program ini tidak hanya
bermanfaat untuk mereka yang terjangkit HIV, namun juga berguna untuk
para tenaga kesehatan. Program ini menuntut para tenaga kesehatan untuk
bisa memberikan konseling dan promosi kesehatan terkait dengan HIV.
Meskipun PICT efektif untuk mendeteksi secara dini, akan tetapi PICT tidak
terlalu berpengaruh terhadap pelaksanaan program VCT.

13
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes. 2010. Tes dan Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan/


PITC. Direktur Jenderal PP&PL. Kemenkes RI.

Kemenkes RI. 2010. Tes Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan/PICT


Pelatihan bagi Petugas Kesehatan. [Serial online]
http://www.aidsindonesia.or.id/repo/perpustakaan/PITCpetugaskesehatan.pd
f

Kennedy, C. E., Fonner, V. A., Sweat, M. D., Okero, F. A., Baggaley, R., &
O’Reilly, K. R. (2013). Provider-initiated HIV testing and counseling in
low-and middle-income countries: a systematic review. AIDS and Behavior,
17(5), 1571-1590. Serial online. https://idp.springer.com/authorize/casa?
redirect_uri=https://link.springer.com/article/10.1007/s10461-012-0241-
y&casa_token=7WPBJyIStvUAAAAA:NBKZzpq5x3TGcL7YaPRCovhY
W36NcYmmOyN_IYhy7df8yGDK47_5KfEOlEY3sCAMj-
42QZTmRtUlKX4
Kemenkes RI. 2010. TES DAN KONSELING HIV TERINTEGRASI DI
SARANA KESEHATAN /PITC. Serial online.
http://www.aidsindonesia.or.id/repo/perpustakaan/pitcpedomanpenerapan.pd
f.
Loos, J., Manirankunda, L., Hendrickx, K., Remmen, R., & Nöstlinger, C. (2014).
HIV testing in primary care: feasibility and acceptability of provider
initiated HIV testing and counseling for sub-Saharan African migrants.

14
AIDS Education and Prevention, 26(1), 81-93.
http://guilfordjournals.com/doi/abs/10.1521/aeap.2014.26.1.81
Waldegabrel, T. A., & Wubetie, A. M. (2015). Drugs (Alcohol/Khat) Use
Stimulants and as Risk Factor for HIV/AIDS Infection, Among Provider
Initiated Counselling and Testing (PICT) Visitors in Gore Town, Oromia,
Ethiopia. Am J Health Res, 3(5), 643-649. Serial online.
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?
doi=10.1.1.947.7741&rep=rep1&type=pdf

15

Anda mungkin juga menyukai