PENDAHULUAN
Dari hal tersebut diatas maka sangatlah penting untuk mempelajari sistem
emulsi karena dengan tahu banyak tentang sistem emulsi ini maka akan lebih
mudah juga untuk mengetahui zat – zat pengemulsi apa saja yang cocok untuk
menstabilkan emulsi selain itu juga dapat diketahui faktor – faktor yang
menentukan stabilnya emulsi tersebut karena selain faktor zat pengemulsi
tersebut juga dipengaruhi gaya sebagai penstabil emulsi.
Sistem emulsi termasuk jenis koloid dengan fase terdispersinya berupa zat
cair namun dalam makalah ini kita hanya akan membahas mengenai sistem
emulsi saja diantaranya dari defenisi emulsi, mekanisme secara kimia dan
fisika, teori dan persamaannya dan serta penerapannya dalam kehidupan sehari
– hari dan industri.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.3 Bentuk – Bentuk Ketidakstabilan Dari Emulsi Ada Beberapa Macam Yaitu:
Flokulasi, karena kurangnya adanya zat pengemulsi sehingga kedua fase
tidak tertutupi oleh lapisan pelindung sehingga terbentuklah flok –flok
atau sebuah agregat.
Koalescens, yang disebabkan hilangnya lapisan film dan globul sehingga
terjadi pencampuran.
Kriming, adanya pengaruh gravitasi membuat emulsi memekat pada
daerah permukaan dan dasar.
Inversi massa (pembalikan massa ) yang terjadi karena adannya
perubahan viskositas
Breaking/demulsifikasi, lapisan film mengalami pemecahan sehingga
hilang karena pengaruh suhu.
3
Emulsi dapat mengalami kestabilan namun juga dapat mengalami
kerusakan (Demulsifikasi) dimana rusaknya emulsi ini disebabkan faktor
suhu, rusaknya emulgator sendiri, penambahan elektrolit sehingga semua
ini akan dapat menyebabkan timbulnya endapan atau terjadi sedimentasi
atau membentuk krim. Contoh penggunaan proses demulsifikasi dengan
menambahkan elektrolit guna pemisahan karet dalam lateks yaitu
menambahkan asam format asam asetat. Bila dua larutan murni yang tidak
saling campur / larut seperti minyak dan air, dicampurkan, lalu dikocok
kuat-kuat, maka keduanya akan membentuk sistem dispersi yang disebut
emulsi. Secara fisik terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah
dalam fasa yang lainnya. Bila proses pengocokkan dihentikan, maka dengan
sangat cepat akan terjadi pemisahan kembali, sehingga kondisi emulsi yang
sesungguhnya muncul dan teramati pada sistem dispersi terjadi dalam waktu
yang sangat singkat.
4
dan koalesensi. Dalam agregasi (flokulasi) tetesan yang terdispersi datang
bersama namun tidak bercampur. Koalaesensi komplit penyatuan tetesan,
diarahkan untuk mengurangi jumlah tetesan dan pemisahan dua fase yang
tidak saling bercampur. Agregasi mendahului koalesensi dalam emulsi.
Namun demikian, koalesensi tidak perlu mengikuti agregasi. Agregasi
dalam beberapa jumlah bersifat reversible. Walaupun tidak seserius
koalesensi, ini akan mempercepat creaming atau sedimentasi ketika agregat
bertindak sebagai tetesan tunggal.Sementara agregasi dihubungkan dengan
potensial elektrikal. Tetesan, koalesensi tergantung pada sifat struktur
lapisan interfase. Emulsi distabilkan dengan emulgator. Tipe surfaktan
membbentuk lapisan monomolekuler. Koalesensi dilawan dengan elastisitas
dan juga gaya kohesif lapisan film antara dua tetesan.
3. Inversi Emulsi
Dikatakan membalik ketika perubahan emulsi dari M/A ke A/M atau
sebaliknya. Inversi kadang-kadang terjadi dengan penambahan elektrolit
atau dengan mengubah rasio fase volume. Sebagai contoh emulsi M/A yang
mengandung natrium stearat sebagai pengemulsi dapat ditambahkan
kalsium klorida karena kalsium stearat dibentuk sebagai bahan pengemulsi
lipofilik dan mengubah pembentukan produk A/M.Inversi dapat dilihat
ketika emulsi disiapkan dengan pemanasan dan pencampuran dua fase
kemudian didinginkan. Hal ini terjadi kira-kira karena adanya daya larut
bahan pengemulsi tergantung pada perubahan temperatur. Temperatur pada
fase inversi. Telah ditunjukkan bahwa nilai dipengaruhi oleh nilai HLB dari
surfaktan. Semakin tinggi nilai ALT, semakin besar tahanan untuk berubah
(inversi)
5
perubahan yang terjadi terhadap emulsi. Alat yang digunakan adalah tabung
reaksi beserta raknya. Emusi setiap formula 6 dimasukkan ke dalam tabung,
formula 1 ke dalam tabung 1, formula 2 ke dalam tabung 2 dan seterusnya
sampai tabung ke-4.
2. Evaluasi pH sediaan
Kadar keasam-basaan cairan emulsi bisa diukur menggunakan pH
meter. pH meter yang digunakan yaitu pH meter digital. Hasilnya diketahui
dengan nilai kadar yang dimunculkan pada layar, apabila nilai yang
ditunjukkan di bawah 7 maka cairan bersifat asam, sedangkan jika nilai
yang ditunjukkan di atas 7 maka cairan bersifat basa. Sebelum
menggunakan alat pH meter terlebih dahulu elektroda dicelupkan ke dalam
cairan yang netral pH-nya. Ketika siap untuk mengukur, elektroda
dimasukkan ke dalam cairan emulsi, direndam sampai angka pH muncul
pada layar. Masing-masing sediaan emulsi dari formula 1 sampai 4 dengan
volume 7125 mL diukur pH-nya pada selang waktu tertentu menggunakan
pH meter pada suhu ruang. Diamati dengan seksama kemudian dicatat
hasilnya. Pada pengujian ini dilakukan 3 kali replikasi untuk masing-masing
formula.
3. Viskositas sediaan
Viskositas sediaan diukur dengan viskometer Haake 6+ dengan
kecepatan dan Pengukuran viskositas dilakukan menggunakan viskometer
Brookfield dengan kecepatan geser dan nomor spindel yang sesuai.
Viskometer Brookfield adalah alat yang bekerja menggunakan gasing atau
kumparan yang dicelupkan ke dalam cairan, kemudian diukur tahanan gerak
dari bagian yang berputar. Keempat formula diuji dengan menggunakan
viscometer ini. Di masukkan sampel sebanyak 100 mL untuk setiap formula
ke dalam gelas beker. Nomor spindel yang digunakan adalah 2 karena sesuai
dengan wadah beker dengan volume emulsi 125 mL. Spindel pada
viskometer dicelupkan sampai tercelup sempurna. Viskometer kemudian
dinyalakan sehingga spindel akan berputar. Baca dan catat skala yang
6
tertera. Pada pengujian ini dilakukan 5 kali replikasi.omor spindel yang
sesuai.
4. Volume terpindahkan
Uji ini dilakukan sebagai jaminan bahwa larutan oral dan suspensi
yang dikemas dalam wadah dosis ganda, dengan volume yang tertera pada
etiket tidak lebih dari 250 mL, yang tersedia dalam bentuk sediaan cair atau
sediaan cair yang dikonstitusi dari bentuk padat dengan penambahan bahan
pembawa tertentu dengan volume yang ditentukan, jika dipindahkan dari
wadah asli, akan memberikan volume sediaan seperti yang tertera pada
etiket.
5. Stabilitas fisik
Sediaan yang dituang ke dalam gelas ukur pada evaluasi volume
terpindahkan dilanjutkan untuk evaluasi stabilitas fisik sediaan. Ukur tinggi
awal sediaan (ho), tinggi endapan yang terbentuk (hu), dan tinggi flokul
yang terbentuk (hi). Hitung volume sedimentasi (F) dengan rumus:
F=hu/ho. Hitung pula derajat flokulasi dengan rumus: = (Vol sedimentasi
yang terflokulasi) / (Vol sedimentasi yang terdeflokulasi)
6. Berat jenis
Berat jenis sediaan ditentukan dengan menggunakan piknometer
dengan cara membandingkan bobot sediaan dengan bobot air dengan
volume yang sama pada temperatur 25oC.
7. Pengujian Pemisahan
Fase Air dengan Metode Sentrifugasi Emulsi dengan volume 125
mL dalam tabung sentrifugasi dimasukkan ke dalam sentrifugator dengan
kecepatan putaran 3000 rpm selama 10 menit. Uji sentrifugasi bertujuan
untuk mengetahui kestabilan sediaan emulsi dengan cara mengamati
pemisahan fase setelah disentrifugasi. Fase yang diukur oleh peneliti adalah
fase air yang terdapat di bagian bawah. Uji ini diperlukan untuk mengetahui
efek guncangan. Keempat formula dimasukkan ke dalam masing-masing
tabung sentrifugasi. Satu formula dimasukkan ke dalam dua tabung
sentrifugasi, kemudian dimasukkan ke dalam alat secara bersebrangan agar
7
putarannya stabil. Hasil diamati secara seksama, diukur fase pemisahannya
kemudian dicatat. Pada pengujian dilakukan 3 kali replikasi.
8
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
9
1) Faisal saam,universitas syarir hidayattullah,2015,modul 5 tsfi
evaluasi sediaan cair, ,jakarta.
2) Roby barnabasY,dkk,2009,teknik kimia ,yogyakarta,
3) Paulo erisan pereisa,2014,karakteristik pembentukkan dan
estabilitas emulsi pada sebuah produk,universitas unital.
4) Yessy Khoiriyani ,dll,2012,Packaging Pharmaceutical Product
10