Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Pikiran Ruminasi Pada Depresi

Disusun oleh:
Isabella Ruth
1765050148

Dosen Pembimbing:
dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ (K), S.H.
dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked (KJ), Sp.KJ
dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 25 FEBRUARI – 30 MARET 2019
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR
JAKARTA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala limpahan
kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini sebagai salah satu
pemenuhan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur,
Jakarta.. Referat yang berjudul “Pikiran Ruminasi Pada Depresi” diharapkan dapat
memiliki manfaat bagi penulis dan pembaca referat ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam melaksanaan pendidikan kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Jiwa, banyak kesulitan dan hambatan yang dihadapi, namun berkat
bimbingan dan arahan dari para dokter, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan
referat ini.
Maka dari itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang tak
terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat dr.
Gerald Mario Semen, Sp. KJ, S.H., dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ, dan dr. Herny Taruli
Tambunan, M.Ked(KJ), Sp. KJ selaku dosen pembimbing referat, atas kesediaan
waktu, berbagi pikir, memberi arahan dan pandangan dalam sudut tinjau ilmiah demi
terselesaikannya refarat ini. Serta teman-teman kepaniteraan FK UKI yang saling
mendukung dan membantu satu sama lain dalam program kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Jiwa RSKO Cibubur.

Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna dan memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat menerima kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi bekal yang baik dalam penulisan berikutnya.

Cibubur, 16/03/ 2019

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4-5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 6

2. 1. Definisi...................................................................................................................... 6

2. 2. Model-model Ruminasi ........................................................................................ 7-9

2.3 . Hubungan Dengan Perilaku Lainnya ................................................................ 10-11

2.4 Gejala Lain Yang Menyerupai Ruminasi ................................................................... 8

2.5 Hubungan Antara Perenungan dan Berbagai Gangguan Jiwa...................…13

2.6 Hubungan Antara Perenungan dan Kesehatan / Penyakit Fisik .......................... 13-14

2.7 Penilaian Ruminasi ............................................................................................. 14-15

2.8 Terapi Ruminasi .................................................................................................. 15-19

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 21-23

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1.LATAR BELAKANG

Ruminasi seperti rekaman yang macet dan terus mengulangi lirik yang
sama. Seperti mengulang argumen dengan teman di benakmu. Seperti
menelusuri kesalahan masa lalu. Ketika orang merenung, mereka terlalu
memikirkan atau terobsesi dengan situasi atau peristiwa kehidupan, seperti
pekerjaan atau hubungan. Para peneliti telah menunjukkan bahwa ruminasi
dikaitkan dengan berbagai konsekuensi negatif, termasuk depresi, kegelisahan,
gangguan stres pasca-trauma1.

Ruminasi telah dipelajari secara luas dan merupakan komponen penting


dalam studi kerentanan kognitif terhadap depresi. Namun, ruminasi memiliki
arti yang berbeda dalam konteks teori yang berbeda, dan belum didefinisikan
atau diukur secara seragam. Ruminasi dapat di kelompokkan, dengan berbagai
cara penilaiannya1.

Selama dua dekade terakhir, ruminasi telah berkembang sebagai konstruksi


kritis dalam memahami perkembangan dan suasana hati yang tertekan.
Beberapa penelitian di Amerika telah menunjukkan bahwa individu yang
mengalami depresi atau simtom depresi cenderung memiliki tingkat
mindfulness yang rendah, dibuktikan dengan aktivitas neural yang bertolak
belakang pada individu yang depresi dan individu yang memiliki tingkat
mindfulness yang tinggi2.

Individu yang depresif cenderung untuk melakukan ruminasi pada diri


sendiri dalam setiap pengalaman yang dirasakan, dan perilaku tersebut
membuat individu semakin terjerumus dalam depresi. Kebanyakan orang tidak
berencana untuk merenungkan masalah mereka. Sebagian besar dari kita ingin
bahagia dan ingin fokus pada pemikiran yang membuat kita bahagia.

4
Masalahnya muncul ketika sesuatu yang benar-benar membuat frustrasi,
mengancam, atau menghina terjadi pada kita - sesuatu yang sulit diterima2.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi

Ruminasi adalah bentuk respons diri terhadap suatu stres yang dilakukan
dengan cara memikirkan kejadian yang membuat kita stres secara berulang-
ulang. Kita memikirkan saat dikecewakan oleh teman, kemudian muncul rasa
frustrasi dan kecewa. Kemudian kita berpikiran buruk tentang teman itu secara
berulang-ulang. Baiknya kita mulai menyadari kalau sedang terjebak dalam
lingkaran “setan”. Penyadaran membuat kita menghentikan siklus lingkaran
“setan” tersebut. Penyadaran diibaratkan jadi langkah awal dalam menghadapi
emosi negatif yang muncul2.

Menurut kamus Merriam-Webster online, kata "ruminasi" didefinisikan


sebagai "refleksi obsesif atau abnormal pada suatu ide atau pertimbangan atas
suatu pilihan." Ruminasi merupakan proses instropeksi individu mengenai diri
sendiri dan pengalamannya. Ruminasi dan refleksi memiliki kemiripan, namun
ada perbedaan mendasar pada motivasi, orientasi pemecahan masalah, dan
kondisi psikologis yang terkait. Ruminasi dimotivasi oleh ancaman terhadap
diri dan dikaitkan dengan neurotisisme. Ketika orang melakukan ruminasi,
mereka terjebak dalam pikiran yang berulang-ulang dan menghasilkan
kecemasan, bahkan bisa mengarah pada depresi2.

6
2. 2. Model-model Ruminasi

Beberapa model ruminasi dapat dikelompokkan. Tabel 1 mengklarifikasi


bagaimana model ini mendefinisikan ruminasi, mengidentifikasi ukuran yang
sesuai mengingat konstruksi, dan meringkas secara singkat temuan terkait
dengan model3.

Tabel 1. Models Of Rumination

Context Conceptualization of Findings


Rumination

 Linked to longer and


Response Cognitive Repetitively thinking about more severe depression,
Styles Vulnerability the causes, consequences, delayed recovery from
Theory to Depression and symptoms of current depression, increases in
negative affect. suicidal ideation,
impairments in problem
solving, motivation and
concentration

Rumination Cognitive Repetitive thinking  Related to scores on the


on Sadness Vulnerability regarding present distress Automatic Thoughts
to Depression and the circumstances Questionnaire,
surrounding the sadness likelihood of using
imagery, self-disclosure,
agreeableness, self-
reflectiveness, low self-
deception, neuroticism,

7
Context Conceptualization of Findings
Rumination

and femininity (Conway


et al., 2000).

Stress Cognitive Rumination on negative  Moderated relationship


Reactive Vulnerability inferences associated with of cognitive
Rumination to Depression stressful life events vulnerability to
depression and onset,
number, and duration of
depressive episodes

Post-Event Cognitive Continued processing of (a  Prevalent in social


Rumination Models of “postmortem”), or brooding phobia (in community
Social Phobia about, a social interaction and clinical samples)
 Post event ruminations
are recurrent, intrusive,
and disruptive to
concentration
 Linked to avoidance of
social situations and
recall of negative self-
related information
 Decreases with treatment
for social anxiety

8
Teori ruminasi yang paling produktif adalah Teori Response Styles Nolen-
Hoeksema (RST, Tabel 1). Dalam RST, perenungan terdiri dari pemikiran
berulang tentang penyebab, konsekuensi, dan gejala dari pengaruh negatif
seseorang. Meskipun ini adalah konseptualisasi ruminasi yang paling banyak
digunakan dan didukung secara empiris, beberapa aspek teori, seperti
komponen gangguan, telah menerima dukungan campuran. Selain itu, Response
Styles Questionnaire (RSQ) telah dikritik karena tumpang tindihnya dengan
Beck’s Depression Inventory, tumpang tindihnya dengan kekhawatiran, dan
tumpang tindihnya dengan bentuk positif dari pemikiran berulang seperti
refleksi. RST juga tidak membahas bagaimana perenungan cocok dengan
proses biologis atau kognitif lainnya seperti perhatian atau keyakinan
metakognitif3.

Konsep Rumination on Sadness yang mendefinisikan ruminasi sebagai


pemikiran berulang tentang kesedihan, dan keadaan yang berkaitan dengan
kesedihan seseorang. Model ini berguna karena ukuran perenungan secara
khusus memprediksi kesedihan. Namun, Rumination on Sadness Scale belum
banyak digunakan; oleh karena itu, tidak jelas seberapa baik untuk menentukan
ruminasi hanya dalam menanggapi kesedihan, dan apakah itu berguna dalam
prediksi depresi atau psikopatologi lainnya3

Model ruminasi Stres-Reaktif mungkin merupakan tambahan yang berguna


untuk RST dalam ruminasi itu (pada negatif, kejadian-terkait, kesimpulan)
terjadi setelah pengalaman peristiwa stres. Satu keuntungan dari model ini
adalah sangat mirip dengan RST, tetapi mungkin menangkap fenomena
ruminatif sebelum adanya pengaruh negatif. Salah satu keterbatasan potensial
dari model ini adalah bahwa ia mengusulkan bahwa konten ruminatif terdiri
dari pemikiran yang berkaitan dengan stresor, dan mungkin tidak menangkap
tema ruminatif penting lainnya seperti ingatan dari stresor lain, atau pikiran
mencela diri sendiri yang tidak terkait dengan stresor3.

9
2. 3. Hubugan Dengan Perilaku Lainnya

2. 3. 1. Pikiran negative secara otomatis

Ruminasi telah dibandingkan dengan pikiran otomatis negatif,


didefinisikan sebagai pikiran berulang yang mengandung tema kehilangan atau
kegagalan pribadi. Nolen-Hoeksema (2004) berpendapat bahwa ruminasi
(sebagaimana didefinisikan dalam RST) berbeda dari pikiran otomatis negatif,
tetapi menunjukkan bahwa ruminasi dapat terjadi seperti itu, selain analisis
gejala, penyebab, dan konsekuensi, mengandung tema negatif seperti yang ada
dalam pikiran otomatis. Demikian pula, Papageorgiou dan Wells (2004)
menunjukkan bahwa ruminasi berbeda dari pikiran otomatis negatif dalam
perenungan yang merupakan siklus pemikiran berulang yang panjang,
sedangkan pikiran otomatis lebih bersifat sementara dan lebih terpusat pada
tema kerugian dan kegagalan5.

2. 3. 2. Kesadaran diri pribadi

Kesadaran diri pribadi biasanya didefinisikan sebagai kecenderungan sifat-


seperti untuk fokus pada diri sendiri terlepas dari keadaan mood6. Menurut
definisi ini, kesadaran diri pribadi secara konseptual tumpang tindih dengan
konstruksi lain seperti perhatian yang berfokus pada diri sendiri. Meskipun
beberapa peneliti telah mengusulkan bahwa perenungan mungkin merupakan
subtipe kesadaran diri pribadi, yang lain berpendapat untuk perbedaan antara
dua proses. Sebagai contoh, di RST, perenungan dan kesadaran diri pribadi
dipandang terkait, tetapi berbeda, karena meramalkan depresi secara berbeda
(perenungan adalah prediktor yang lebih kuat7.

Papageorgiou dan Wells (2004) juga membedakan antara perenungan dan


kesadaran diri pribadi; penulis mengusulkan bahwa kesadaran diri pribadi
adalah keadaan suasana hati yang independen dan terfokus pada diri, sedangkan
perenungan difokuskan pada mengatasi dalam menanggapi informasi yang
berkaitan dan tidak harus sepenuhnya relevan dengan diri sendiri tetapi dapat

10
mengandung pemikiran tentang stres, mengatasi, keadaan, suasana hati, dll.
Dalam mendukung ini, perenungan adalah prediktor yang lebih baik dari
depresi daripada kesadaran diri pribadi, sekali lagi mendukung diferensiasi
konstruk7.

2. 3. 3. Pemikiran berulang

Perenungan juga telah ditandai sebagai salah satu dari banyak jenis
pemikiran berulang, yang didefinisikan sebagai, "berpikir dengan penuh
perhatian, berulang, atau sering tentang diri sendiri dan dunia seseorang,".
Menurut konseptualisasi ini, pemikiran berulang dapat mencakup respons
kognitif adaptif dan maladaptif seperti kekhawatiran, perenungan depresi,
refleksi, proses emosional trauma, perencanaan, latihan, bekerja, dan pikiran-
pikiran yang mengganggu8.

2. 4. Gejala Lain Yang Menyerupai Ruminasi

Obsesi

Obsesi adalah komponen yang menentukan Obsesif Kompulsif dan bentuk


lain dari pemikiran berulang. Obsesi didefinisikan sebagai, "ide-ide, pikiran,
impuls, atau gambar yang gigih yang dialami sebagai mengganggu dan tidak
pantas dan yang menyebabkan kecemasan atau kesusahan yang nyata" dan
diikuti oleh beberapa strategi kompensasi untuk mengurangi kesulitan.
Berdasarkan definisi ini, beberapa perbedaan dari perenungan depresi dapat
dibuat: 1) perenungan biasanya dikonseptualisasikan sebagai terjadi sebagai
tanggapan terhadap pengaruh negatif, sedangkan, obsesi diyakini menghasilkan
tekanan, dan 2) perenungan depresi terkait dengan kurangnya perilaku
instrumental, sedangkan obsesi biasanya diikuti oleh beberapa tindakan yang
dirancang untuk menetralisir obsesi10.

Lebih lanjut, obsesi dihipotesiskan berbahaya karena mereka melebih-


lebihkan pentingnya pemikiran obsesif, sedangkan perenungan depresi sering

11
dikonseptualisasikan sebagai berbahaya karena gangguannya dalam pemecahan
masalah.10.

Kuatir

Ruminasi juga telah dibandingkan dengan kekhawatiran, dan dalam


beberapa model. Penelitian lain menunjukkan bahwa isi dari kekhawatiran dan
ruminasi berbeda; pikiran yang khawatir sering kali difokuskan pada
penyelesaian masalah dan memiliki orientasi masa depan, sedangkan pikiran
ruminatif memperhatikan tema kehilangan dan lebih fokus pada masa lalu.
Ruminasi, dibandingkan dengan khawatir, juga telah dikaitkan dengan kurang
upaya dan kurang percaya diri dalam pemecahan masalah11.

Sangat mungkin bahwa ruminasi dan kekhawatiran, seperti dengan


perenungan dan refleksi, adalah jenis pemikiran berulang yang terkait yang
mungkin lebih baik ditangkap sebagai subtipe dari beberapa konstruksi yang
lebih besar, seperti strategi koping yang menghindar11.

Neurotisisme

Neurotisisme adalah kecenderungan jangka panjang untuk berada dalam


keadaan emosional yang negatif atau cemas. Ini bukan kondisi medis tetapi
sifat kepribadian. Neurotisisme adalah salah satu sifat kepribadian big five
bersama dengan extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness.
Model ini kerap digunakan dalam evaluasi kepribadian dan tes di berbagai
budaya12.

Menurut Dr. Benjamin B. Lahey dari Departemen Studi Kesehatan dan


Psikiatri dan Perilaku Neuroscience di University of Chicago, walaupun
neurotisisme bukan diagnosis medis atau masalah dalam kepribadian yang
seimbang, memilikinya bisa memicu berbagai masalah kesehatan mental dan
fisik. Karena mudah stres dan cenderung panik lantaran masalah-masalah kecil,
orang neurotik juga cenderung khawatir. Frustrasi karena suatu hal yang bagi
orang lain dianggap hal sepele bisa jadi masalah dan menyebabkan orang

12
neurotik sampai merasa putus asa. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
orang neurotik cenderung memiliki gangguan psikologis tertentu. Bisa depresi,
kecemasan, hingga menyalahgunakan zat. Menjadi neurotik tidak berarti
memiliki kelainan kepribadian, namun riset menemukan kaitan erat di antara
keduanya12.

2. 5. Hubungan antara Ruminasi dan Berbagai Gangguan Jiwa

Ruminasi telah dikaitkan dengan sejumlah sindrom dan gangguan kejiwaan.


Dari ulasan kami tentang literatur psikologis, ruminasi tampaknya paling
banyak dipelajari dalam hubungannya dengan stres akut13,14 dan sindrom
depresi. Namun, ruminasi juga telah dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol
serta gejala kecemasan, kecemasan umum, kecemasan umum kelainan, kelainan
kecemasan sosial, kelainan obsesif-kompulsif, kelainan stres pasca trauma, dan
bulimia nervosa. Ruminasi yang muncul dalam sejumlah sindrom kejiwaan
yang berbeda telah membuat beberapa peneliti menyimpulkan bahwa proses
ruminatif merupakan proses transdiagnostik — yaitu, ruminasi itu suatu ciri
psikologis yang melintasi sejumlah fenomena kejiwaan yang berbeda. Oleh
karena itu, perenungan tidak bersifat patognomonik atau secara unik terkait
dengan sindrom atau gangguan kejiwaan tertentu15.

2. 6. Hubungan Antara Ruminasi dan Kesehatan / Penyakit Fisik

Peran ruminasi dalam kesehatan somatik.

Para peneliti telah melaporkan sejumlah asosiasi antara perenungan dan


gangguan kesehatan somatik. Hogan dan Linden telah melaporkan bahwa
perenungan menunjukkan efek buruk pada istirahat dan tekanan darah rawat
jalan. Singkatnya, perenungan dapat memiliki berbagai efek negatif pada
kesehatan yang dirasakan atau aktual, baik melalui pembesaran gejala yang
tidak disengaja dan / atau efek terkait dari stres biologis yang diinduksi
perenungan, masing-masing16.

13
Hubungan antara ruminasi dan gangguan yang dirasakan dalam
kesehatan somatik umum.

Sejumlah penelitian telah mengkonfirmasi hubungan antara perenungan


dan persepsi kesehatan fisik yang buruk. Misalnya, perenungan telah dikaitkan
dengan kecemasan kesehatan pada mahasiswa, tekanan emosional pada
penyakit kronis, keluhan somatik yang dilaporkan sendiri di antara anak-anak
Inggris dan Belanda, dan hypochondriasis17.

Ruminasi dan rasa sakit

Jumlah terbesar studi klinis di bidang somatik ini adalah yang meneliti
hubungan antara perenungan dan nyeri, dan sebagian besar telah mempelajari
populasi nyeri dengan Pain Catastrophizing Scale (PCS) . PCS memiliki tiga
komponen yang mendasarinya — perenungan, ketidakberdayaan, dan
pembesaran— dalam penelitian, perenungan seringkali merupakan hal yang
paling erat hubungannya17.

2. 7. Penilaian Ruminasi

Ada sejumlah langkah yang tersedia untuk penilaian ruminasi, termasuk


Scale Styles Kuisioner - Tanggapan Ruminatif, Kuesioner Ruminasi,
Inventarisasi Ruminasi, dan PCS. Dari jumlah tersebut, PCS mungkin memiliki
utilitas yang paling potensial dalam pengaturan perawatan primer17.

PCS adalah inventaris laporan diri 13-item dengan skala respons gaya
likert 5 poin (peringkat berkisar dari "tidak sama sekali" hingga "selalu") yang
menilai bencana yang menyakitkan pada populasi klinis dan nonklinis. Item
individu menilai sejauh mana responden mengalami pikiran atau perasaan
dalam menanggapi rasa sakit, dan skor berkisar dari 0 hingga 52. Ketiga item
mewakili tiga komponen: perenungan, pembesaran, dan ketidakberdayaan.
Subskala subsinasi terdiri dari item 8 hingga 1117.

14
2. 8. Terapi Ruminasi

Non-farmakologi

Perawatan ruminasi dalam pengaturan klinis tampaknya masih dalam masa


pertumbuhan. Nolan-Hoeksema et al menyarankan kemungkinan intervensi
berikut: 1) kegiatan alternatif seperti sosialisasi atau aktivitas fisik; 2) berbagai
terapi perhatian; 3) terapi kognitif; dan 4) terapi interpersonal18.

Watkins telah mengembangkan bentuk terapi perilaku kognitif yang


disebut Rumination-Focused Cognitive-Behavioral Therapy (RFCBT) .
Pendekatan terapi ini cukup rumit, tetapi didasarkan pada konsep bahwa
perenungan dapat membantu atau tidak membantu. Gagasan di balik perawatan
ini adalah untuk menggeser pasien dari pemrosesan kognitif yang tidak
membantu menjadi membantu. Untuk melakukan hal itu, terapis menganalisis
tingkat ruminasi yang bermanfaat dan tidak membantu, mengidentifikasi
perilaku yang terkait dengan setiap bentuk perenungan, dan kemudian
memasukkan perilaku kontra-ruminatif ke dalam perawatan, seperti gangguan.
Pasien juga diajarkan tanda-tanda peringatan akan perenungan yang tidak
membantu serta rencana tindakan untuk gangguan. Jika pendekatan perawatan
ini pada akhirnya disesuaikan dengan pengaturan perawatan primer, baik dalam
bentuk manual atau DVD, RFCBT bisa menjadi pendekatan praktis untuk
mengekang perenungan dalam pengaturan tersebut18.

5 Cara untuk Memutus Siklus Perenungan19

1. Mengalihkan perhatian. Sadari kapan Anda mulai merenung dan


mengambil langkah aktif menemukan cara untuk mengalihkan perhatian Anda.
Ini bisa termasuk melakukan pekerjaan rumah, berbicara dengan teman,
menonton film, atau bahkan tidur.

2. Buat rencana tindakan. Mulailah dengan mengambil langkah-langkah


kecil untuk menyelesaikan masalah yang Anda pikirkan berulang kali. Ini akan
menghentikan perenungan di jalurnya.

15
3. Pertanyakan validitas pemikiran dan interpretasi Anda. Ketika Anda
mengenali kurangnya keakuratan dalam apa yang Anda pikirkan, Anda
cenderung berhenti merenung.

4. Melepaskan tujuan perfeksionis yang tidak dapat dicapai dalam


kehidupan dan fokus pada apa yang lebih dapat dicapai. Ini akan mengurangi
perenungan pada mengapa, bagaimana, dan apa yang harus dilakukan.

5. Kembangkan sumber harga diri tambahan. Jika Anda merasa nyaman


dengan diri sendiri hanya di satu atau dua bidang, seperti pekerjaan atau anak-
anak Anda, Anda berisiko kehilangan harga diri jika Anda berhenti bekerja atau
anak-anak Anda pindah. Jelajahi lebih banyak area yang cenderung memberi
Anda kepuasan dan memengaruhi harga diri Anda secara positif. Ini juga akan
menyebabkan kurang perenungan, yang membuat Anda dalam suasana hati
yang jauh lebih baik.

Farmakologi

Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan golongan obat yang


secara spesifik menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di dalam otak.
SSRI memiliki efikasi yang setara dengan TCA pada penderita depresi mayor.
SSRI dapat diberikan kepada pasien depresi yang tidak berespon terhadap TCA.
Untuk kasus depresi mayor yang parah atau depresi melankolis, efikasi TCA lebih
tinggi daripada SSRI, namun untuk kasus depresi bipolar, SSRI lebih tinggi
efikasinya daripada TCA karena TCA dapat memicu terjadinya mania atau
hipomania. Antidepresan yang termasuk golongan SSRI antara lain fluoksetin
dosis lazim 20-40 mg/hari, paroksetin 20-40 mg/hari, sertralin 50-150 mg/hari,
fluvoksamin 100-250 mg/hari, citalopram 20-40 mg/hari, escitalopram 10-20
mg/hari. Diantara antidepresan SSRI, metabolit aktif fluosektin mempunyai waktu
paro yang paling panjang, sehingga dapat digunakan hanya satu kali sehari. Efek
samping yang sering ditimbulkan oleh SSRI yaitu berupa gejala-gejala

16
gastrointestinal seperti nausea, muntah, dan diare. Juga menyebabkan disfungsi
seksual pada pria maupun wanita, sakit kepala, insomnia, dan fatigue. Efek
samping ini bersifat sementara dan ringan20

Tabel 2. Antidepresan yang Biasa Digunakan Dalam Terapi

17
Terapi tambahan

Terapi tambahan sering digunakan untuk meningkatkan efek antidepresan, serta


mencegah terjadinya manik. Obat-obatan yang digunakan sebagai tambahan pada
pengobatan depresi yaitu mood stabilizer dan antipsikotik20.

Mood Stabilizer

Mood stabilizer yang sering digunakan adalah litium dan lamotrigin.


Litium adalah suatu antimanik dan juga berfungsi sebagai mood stabilizer,
digunakan untuk mencegah terjadinya mania atau depresi. Efeknya lebih bagus
pada kasus depresi bipolar daripada kasus depresi mayor. Litium digunakan
sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi tunggal
antidepresan. Lamotrigin adalah suatu antikonvulsan yang mengurangi aktivitas
glutamanergik, dan juga digunakan sebagai agen penguat pada depresi mayor, juga
digunakan untuk menterapi dan mencegah terjadinya relapse pada depresi
bipolar20.

Lamotrigin dapat memicu terjadinya reaksi kulit yang parah, yaitu sindrom
Stevens-Johnson dan ketoksikan necrolisis epidermal, walaupun titrasi dosis dapat
mengurangi resiko tersebut. Mood stabilizer lainnya yaitu asam valproat
(antikonvulsan), divalproex, dan karbamazepin20. 2) Antipsikotik juga digunakan
sebagai terapi tambahan untuk meningkatkan efek antidepresan. Antipsikotik
dibedakan dua jenis yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal.
Antipsikotik tipikal (misalnya, chlorpromazine, fluphenazine, dan haloperidol)
memblokir dopamine D2 receptor. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor D2, hal ini yang
diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat20.

Antipsikotik atipikal (misalnya, clozapine, olanzapine, risperidone,


quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole), seperti nefazodone, bertindak sebagai
5HT2A antagonists. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS= extrapyramidal symptom) yang umum

18
terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Obat
golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap D2,
selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor D4, serotonin, histamin, reseptor
muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikotik atipikal diduga
efektif untuk gejala positif (seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala
negatif (miskin kata-kata, efek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif
menurun) pasien skizofrenia (Gunawan, 2008). Untuk kasus depresi sedang
sampai berat, antidepresan merupakan terapi pilihan. Kombinasi antipsikotik dan
antidepresan atau ECT diberikan pada pasien depresi dengan psikotik20.

19
BAB III

KESIMPULAN

Ruminasi adalah konstruksi multidimensi yang telah dipelajari dalam


berbagai konteks dan dalam kaitannya dengan berbagai hasil psikologis dan
kesehatan. Meskipun jelas bahwa ruminasi penting dalam perkembangan
depresi dan kegelisahan, bisa sulit untuk menentukan bagaimana itu ditandai
terbaik, diukur terbaik, dan paling baik digunakan untuk memprediksi hasil
tertentu.

Beberapa dimensi direkomendasikan untuk dipertimbangkan oleh para


peneliti yang bertujuan untuk memeriksa ruminasi atau konstruksi terkait,
termasuk stabilitas, konten, peristiwa pemicu. Selain itu, disarankan bahwa
ruminasi paling baik dicirikan sebagai cara yang stabil, negatif, ditafsirkan
secara luas untuk menanggapi perbedaan antara status saat ini dan status target.
Secara khusus, ruminasi dapat dipicu oleh kesadaran bahwa seseorang tidak
berada di tempat yang diinginkannya, dan pengaruh negatif yang mungkin
menyertai realisasi itu.

Dalam konteks yang terakhir ini, peran perenungan dalam nyeri dapat
dinilai dengan layak menggunakan PCS, yang berisi subskala perenungan.
Sementara pengobatan ruminasi masih dalam masa pertumbuhan, dan saat ini
tidak ada dalam pengaturan perawatan primer.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbott MJ, Rapee RM. Post-event rumination and negative self-appraisal in


social phobia before and after treatment. Journal of Abnormal Psychology.
2004;113:136–144. [PubMed]

2. Alloy LB, Abramson LY, Hogan ME, Whitehouse WG, Rose DT, Robinson
MS, et al. The Temple–Wisconsin Cognitive Vulnerability to Depression
Project: Lifetime history of Axis I psychopathology in individuals at high and
low cognitive risk for depression. Journal of Abnormal Psychology.
2000;109:403–418. [PubMed]

3. Nolen-Hoeksema S. The role of rumination in depressive disorders and


mixed anxiety/depressive symptoms. Journal of Abnormal Psychology.
2000;109:504–511. [PubMed]

4. Nolen-Hoeksema S. The Response Style Theory. In: Papageorgiou C, Wells


A, editors. Depressive Rumination: Nature, Theory and Treatment. West
Sussex, England: Wiley; 2004.

5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision. Washington, D.C: American
Psychiatric Association; 2000.

6. Appel, H., Crusius, J., Gerlach, A.L., (2015). Social comparison, envy, and
depression on Facebook: A study looking at the effects of high comparison
standards on depressed individuals. Journal of Social and Clinical Psychology ,
Vol. 34, No. 4, 2015, pp. 277- 289. doi: 10.1521/jscp.2015.34.4.277.

7. Beck AT, Brown G, Steer RA, Eidelson JI, Riskind JH. Differentiating
anxiety and depression: A test of the cognitive content-specificity hypothesis.
Journal of Abnormal Psychology. 1987;96:179–183. [PubMed]

21
8. Lynn SJ, Barnes S, Deming A, Accardi M. Hypnosis, rumination, and
depression: catalyzing attention and mindfulness-based treatments. Int J Clin
Exp Hypn. 2010;58:202–221. [PubMed]

9. Koster EHW, de Lissnyder E, Derakshan N, De Raedt R. Understanding


depressive rumination from a cognitive science perspective: the impaired
disengagement hypothesis. Clin Psychol Rev. 2011;31:138–145. [PubMed]

10. Friedberg JP, Adonis MN, VonBergen HA, Suchday S. Short


communication: September 11th related stress and trauma in New Yorkers.
Stress and Health. 2005;21:53–60.

11. McLaughlin KA, Nolen-Hoeksema S. Rumination as a transdiagnostic


factor in depression and anxiety. Behav Res Ther. 2011;49:186–193. [PMC free
article] [PubMed]

12. Zoccala PM. Prolonging the physiological stress response: the role of
rumination and recall. Dissert Abstr Int. 2010;71:3921B.

13. Kuehner C, Huffziger S, Liebsch K. Rumination, distraction and mindful


self-focus: effects on mood, dysfunctional attitudes and cortisol stress response.
Psychol Med. 2009;39:219–228. [PubMed]

14. Devoulyte K, Sullivan MJL. Pain catastrophizing and symptom severity


during upper respiratory tract illness. Clin J Pain. 2003;19:125–133. [PubMed]

15. Johansen SA. Cognitive features, self-management, and disability level


associated with chronic back pain. Dissert Abstr Int. 2008;69:1373B.

16. Len TC, Nouwen A, Sheffield D, Jaumdally R, Lip GYH. Anger rumination,
social support, and cardiac symptoms in patients undergoing angiography. Br J
Health Psychol. 2010;15:841–857. [PubMed]

22
17. Turner JA, Holtzman S, Mancl L. Mediators, moderators, and predictors of
therapeutic change in cognitive-behavioral therapy for chronic pain. Pain.
2007;127:276–286. [PubMed]

18. Nolen-Hoeksema S, Morrow J. A prospective-study of depression and


posttraumatic stress symptoms after a natural disaster—the 1989 Loma-Prieta
earthquake. J Pers Soc Psychol. 1991;61:115–121. [PubMed]

19. Baryla W, Wojciszke B. Rumination Questionnaire. Studia Psychologiczne.


2005;43:5–

20. Watkins ER, Mullan E, Wingrove J, et al. Rumination-focused cognitive-


behavioural therapy for residual depression: phase II randomized controlled
trial. Br J Psychiatry. 2011 Jul 21; E-pub ahead of print. [PubMed]

23

Anda mungkin juga menyukai