Anda di halaman 1dari 4

NEGARA-NEGARA TELUK DAN DAMPAK POLITIK MULTI DIMENSIONAL

Ada dua faktor utama yang menjadi penyebab utama konflik yang terjadi di kawasan
Teluk Persia. konflik tersebut disebabkan factor eksternal dan factor internal. Salah satu
penyebab eksternalnya adalah letak Teluk Persia yang berada pada kawasan yang strategis dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yakni adanya minyak bumi yang melimpah. Dua
hal itulah yang menyebabkan Negara-negara asing tertarik untuk menguasai Teluk Persia.
bahkan negara-negara yang mempunyai industry maju juga tertearik untuk menguasainya, salah
satunya adalah negara Jepang. Sejak awal XVI telah terjadi persaingan antara Portugis, Belanda,
Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Perebutan kekuasaan itu berakhir dengan
ditempatkannya negara-negara (Syeikdom) di kawasan teluk itu di bawah perlindungan Inggris.
Seusai perang dunia I, bekas wilayah kekuasaan Turki dipecah-pecah dan diambil oleh Inggris
dan Perancis.
Adapun factor internal yang menjadi penyebab konflik di Teluk Persia adalah adanya
perebutan tahta, wilayah, dan kepemimpinan antara wangsa-wangsa pemegang kekuasaan.
Dalam perebutan tahta antara Ibn Su’ud yang berada di Dar’iyah dengan wangsa Ibn al-Rasyid
dan Hasyimiyah, masing-masing mendapat dukungan dan bantuan dari Inggris . Inggris
memainkan peran dengan baik untuk memecah wilayah Penanjung Arab dan wilayah di utaranya
menjadi negeri-negeri Saudi Arabia yang diperintah oleh dinasti Ibn Su’ud. Yordania dan Iraq
dikuasai oleh wangsa Hasyimi. Kuwait, Qatar, Bahrain, dan negeri-negeri di sekitarnya
bergabung dengan Uni Emirat Arab. Semua negara kaya minyak ini berada di bawah pengaruh
Inggris.
Setelah Perang Dunia II, negara-negara di bawah kekuasaan Inggris merdeka. Konflik-
konflik internal beralih pada masalah-masalah bentuk negara dan sistem pemerintah, ideology,
kekayaan, dan agama. Ada negara berbentuk republik dengan sistem demokrasi, ada juga yang
monarkhi absolut. Ada yang beragama islam dan ada pula yang beragama Kristen. Ada yang
Nasionalisme, Sosialisme, bahkan Komunisme, da nada pula yang menjadikan agama islam
sebagai dasar negara. Pada saat perang dingin masih berlangsung, negara-negara republik
berorientasi ke Rusia dan negara-negara monarkhi berorientasi ke Amerika Serikat. Pertarungan
dua kubu ini yang menjadi penyebab lahirnya konflik internal.
Negara-negara republic terpecah menjadi 2 yaitu Nasseriyah (pengikut Gamal Abdel
Nasser) dan partai Ba’ath. Nasseriyah dan partai Ba’ath mempunyai kesamaan ide dan cita-cita
perjuangan yang sama, namun mereka berbenturan karena berebut kepemimpinan. Kaum
Nasseriyah diusir oleh Saddam husein yang merupakan pendukung Ba’ath. Hafez Al-Asad,
anggota Ba’ath Suriah tidak berpihak pada Saddam, bahkan mendukung Saudi yang monarkhi.
Para pendukung Republik terpecah menjadi penganut garis keras dan garis moderat. Negara-
negara monarkhi merasa terancam dengan paham nasionalisme dan sosialisme yang mereka
kembangkan. Ba’ath anti monarkhi dan menghendaki seluruh kekayaan negara adalah milik
rakyat, bukan hanya milik raja dan keluarganya. Untuk mencapai cita-citanya ini, mereka tidak
menggunakan kekerasan terhadap siapapun yang menghalangi cita-cita mereka. hanya
Konflik agama merupakan warisan sejarah, konflik yang terjadi tidak hanya antara
Muslin dan Non Muslim, tetapi juga antara sesame Muslim, misalnya konflik Sunni – Syiah.
Antara Syiah dan Sunni walaupun berada dalam satu negara namun mereka tidak hidup rukun.
Saudi merasa ngeri terhadap revolusi Iran yang telah menumbangkan monarkhi dan hendak
mengekspor revolusinya atas dasar Syiah Itsna ‘Asyari yang berpendapat bahwa hanya ada satu
Imam di dunia Muslim.
Akibat wilayah Arab pada masa Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah terbentang dari
pantai barat Teluk Persia samapai ke pesisir Barat Laut Atlantik di Afrika Utara dipecah-pecah
oleh Inggris dan Perancis , maka lahirlah Negara kaya dan miskin di kawasan Timur Tengah.
Berdasarkan persetujuan Sykes – Picot, wilayah Turki yang dirampas dibagi menjadi 3. Pertama,
pantai Lavant diambil oleh Perancis dengan dalih melindungi orang-orang Kristen. Kedua, Iraq
termasuk Yordania untuk Inggris. Ketiga, Palestina dijadikan wilayah administrasi yang
administratornya terdiri atas Sekutu dan Syarif Makkah. Untuk memberi peluang kepada Inggris
agar mudah bergerak dalam melaksanakan Politik Timurnya, khususnya Palestina, maka dalam
Konferensi San Remo diputuskan mengesahkan Palestina menjadi mandat inggris yang akan
yang akan dilangsungkan pada tanggal 24 Juli 1922.
Dengan mandat di tangan, mulailah Inggris memainkan politiknya yang telah
direncanakan terhadap Palestina. Komisaris yang diangkat oleh Inggris dengan kekauasaan
absolut walaupun didampingi oleh sebuah badan legislatif. Walaupun Inggris mengatakan bahwa
konstitusi itu tidak dimaksudkan untuk mendirikan sebuah negeri Yahudi, tetapi nyatanya
Komisaris tinggi yang diangkat adalah berdarah Yahudi. Kekhawatiran orang Arab bahwa
Inggris sedang menjalankan politik Yahudisasi di Palestina menjadi kenyataan. Orang-orang
Arab, Muslim, dan Kristen bahu membahu menolak politik Yahudisasi Inggris dan menuntut
hak-hak berpemerintahan sendiri.
Sementara masalah Palestina dalam penggarapan, Inggris tidak tinggal diam untuk
tidak memecah wilayah Arab yang berada di bawah mandatnya. Setelah menginspeksi wilayah,
Winston Churchill menyelenggarakan sebuah konferensi di Kairo pada tahun 1921 yang
memutuskan, wilayah mandate Inggris itu dipecah atas dua, yaitu Iraq dan Amirat Trans-Jordan
yang sepanjang sejarahnya bagian dari Suriah. Untuk raja di Iraq diangkat Faisal dan Trans-
Jordan diangkat Abdullah. Keduanya adalah putra Syarif Husein wangsa Hasyimi penguasa
Hijaz. Husein terpaksa melepaskan Hijaz ke tangan Abdul Aziz ibn Abdur Rahman yang lebih
dikenal dengan nama Ibn Su’ud dari wangsa Su’udi pendiri kerajaan Arab Saudi. Karena Husein
dan Abdul Aziz sama-sama teman Inggris melawan Turki, maka Inggris menyelesaikan sengketa
Husein dan Abdul Aziz dengan membiarkan Hijaz dikuasai oleh Abdul Aziz. Sedangkan Husein
dijanjikan akan diangkat menjadi raja di Suriah yang kemudian menjadi mandat Perancis maka
Husein pun turun dari jabatannya.
Perancis tak kalah pintarnya dari Inggris dalam menerapkan teori devide and rule,
teori keseimbangan kekuatan dan menanam bom-bom waktu di wilayah jajahannya. Wilayah
Lavant yang dimandatnya dipecah menjadi 4 buah negeri yaitu Libanon Besar, Damaskus,
Aleppo, dan alawi, yang satu sama lainnya dibuat saling bertentangan walaupun tetap dipegang
oleh Perancis. Dari keempat negeri itu, Libanonlah yang terbesar sehingga dinamakan Libanon
Besar. Perancis punya harapan karena Libanon banyak dihuni orang-orang KristenMaronit yang
memang mengabdi kepada Perancis, maka Libanon akan loyak pada Perancis. Pada tahun 1922,
ketiga negeri yang telah dipisah disatukan kembali dalam suatu federasi yang diberi nama
federasi Suriah.
Apa yang dilakukan Inggris, Perancis, dan kemudian Amerika mendukung Israel telah
meninggalkan luka yang sangat dalam di hati para nasionalis Arab. Sejak awal abad XX, mereka
menghembus-hembuskan nasionalisme Arab agar mereka melepaskan diri dari Turki. Agar orang
arab mau menerima kedatangan mereka, maka pada tanggal 8 November 1918, Inggris dan
Perancis mengeluarkan pernyataan bahwa tujuan militer mereka di dunia Arab untuk
membebaskan arab dari tindasan Turki. Setelah mereka datang dan diterima, ternyata apa yang
mereka lakukan sama seperti semua penjajah.
Inggris dan Perancis sangat lihai dalam membuat peta baru bagi wilayah Arab.
Negara-negara yang diduga berpotensi menjadi kuat dijadikan negeri yang dikepung oleh
daratan, yang akan menjadi kendala bagi laju perkembangan ekonominya. Begitulah peta yang
dibuat Perancis untuk Suriah dan peta Iraq yang dibuat oleh Inggris. Garis air peta Iraq hanyalah
pertemuan muara-muara sunagi Eufrat dan Tigris.
Peta Iraq yang tela dibuat menjadi biang sengketa antara Iraq dan Iran yang berakibat
terjadinya perang selama 8 tahun (1980-1988). Dari tahun 1936 – 1975, batas Iraq sampai ke tepi
Timur Shatt Al- Arab, sehingga seluruh perairan muara sunagi Tigris-Eufrat termasuk wilayah
Iraq. Akan tetapi Iran menghendaki garis batas Iran-Iraq sesuai Protokol Istanbul 1913 yang
dikenal dengan sebutan “Garis Thalweg” yang menetapkan garis batas Iraq-Iran adalah di
tengah-tengah muara sungai itu. Karena Syah Iran pada tahun 1975 sedang berada dipuncak dan
anak emas Amerika Serikat, maka tuntutan Iran dipenuhi. Shatt Al-arab yang pernah direbut oleh
Iraq kini terpaksa dikembalikan kepada Iran sebagai konsesi atas sikap abstain Iran terhadap
penyerbuan Iraq ke Kuwait.
Setiap negara ingin memiliki pelabuhan bebas dan akses ke laut lepas demi
pertumbuhan ekonominya dan ketidaktergantungannya pada Negara lain. Untuk mendapatkan
akses ke Lautan Hindia, Rusia menyerbu Afganistan pada tahun 1978. Iraq yang hanya memiliki
pelabuhan di Basrah terpaksa menanam pipa menembus Turki dan akses ke Laut Merah terpaksa
menanam pipa untuk mengekspor minyak buminya menembus Arab Saudi. Itulah alasan
mengapa Iraq menyerbu Kuwait. Adapun alasan yang disebutkan adalah karena Kuwait mencuri
minyak Iraq dari sumur Ramlah senilai dan sebanding dengan bantuan Kuwait kepada Iraq dan
karena Kuwait melanggar kuota OPEC yang berakibat harga minyak di pasaran dunia menjadi
jatuh.
Karena pentingnya alur perairan Teluk Persia, maka sejak abad XIX Amerika Serikat
telah 3 kali berkecimpung di perairan itu. Pertama, dengan alasan untuk mencegah perdagangan
budak. Kedua, untuk menghambat ekspor revolusi Iran yang disebut Perang Teluk I. Ketiga,
untuk menggempur Iraq yang disebut Perang Teluk II.
Konflik-konflik yang terjadi di Teluk jelas memberi dampak yang luas yakni di bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sisi politik dapat diharapkan akan terjadi perubahan-
perubahan. Negara-negara monarkhi absolut akan membuka diri ke arah demokrasi karena
desakan yang datang dari dalam dan dari luar. Kekayaan Negara harus diperlakukan sebagai
milik milik rakyat bukan lagi milik raja semata dan harus dipergunakan untuk kesejahteraan
rakyat. Kekayaan Emir Kuwait yang telah diinvestasikan di Amerika Serikat dan eropa barat
tidak diteruskan kembali. Dari bidang sosial, hak kaum perempuan di negeri-negeri monarkhi
absolut akan mendapat perhatian. Selain itu, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang
masih hidup di tenda-tenda tanpa pendidikan akan dipersempit.

Anda mungkin juga menyukai