Anda di halaman 1dari 35

1

SKENARIO 1
NYERI DADA
Seorang mahasiswa berusia 35 tahun dibawa keluarganya ke instalasi Gawat Darurat
RS dengan keluhan nyeri dada mendadak saat sedang bekerja, nyeri dada dirasakan
seperti ditusuk, menjalalar hingga lengan, keluhan disertai dengan keringat dingin.
Pasien adalah seorang perokok berat dengan obesitas. Pada pemeriksaan fisik tanda
vital didapatkan TD 120/80 mmhg, nadi 80 kali permenit, nafas 28 kali/menit suhu
36,6. Pada pemeriksaan EKG didapatkan adanya kelainan. Hasil pemeriksaan enzim
jantung belum diketahui. Sebagai penatalaksanaan awal dokter memberikan oksigen
dan nitrogliserin sublingual.

STEP 1
1. Obesitas : Penumpukan lemak dalam tubuh yang kesehatan dengan 1 MT > 30
2. Enzim jantung : Mengukur kadar enzim dan protein yang biasanya kreatinin
3. Nitrogen sublingual : Obat anti iskemik untuk menangani syndrome coroner
akut

STEP 2
1. Pasien mengalami nyeri dada, keringat dingin, menjalar kebagian lengan
dihubungkan dengan faktor resikonya? Mekanisme
2. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
3. Bagaimana penatalaksanaan kasus tersebut?
4. Kenapa dokter tersebut memberikan nitrogliseri sublingual?

STEP 3
1. Faktor resiko :
Obesitas – peningkatan lemak darah – asteroklenosis – iskemik jantung .
Merokok – bahan kimia – penurunan O2.
Berkeringat: komponensasi tubuh terhadap O2
Merokok
2

Olahraga berlebih
2. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Nyeri dada: Tertusuk
Istirahat menjadi lebih baik atau tidak .
Waktu: Sudah berapa lama
Faktor resiko
RPK: diabetes
RPS: pekerja berat
Lokasi: dibawah mamae
Menjalar / tidak
Pencetus nyeri.
 Pemeriksaan fisik
TTV: TD, nafas, suhu
Thorax: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
 PP
EKG
Darah
Radiologi
Pemeriksaan enzim jantung: troponin1, myoglobin, laktat
dehidrogenasi.
Pemeriksaaan atreografii koroner
Test exercise
 DD
Angina pectoris stabil: nyeri saat bekerja
Syndrome koroner aukut; infarkl miokard
3. Penatalaksanaan
Sesak nafas: Aspin O2
Adenosinediposhfat
Ngt spray
3

Morfin surfat
Menurunkan f resiko
Medikamentasa: nitrat, betabloker, antiplaktaret, CABG
4. Mekanisme kerja
Memasuki otot pembuluh darah dan dikonveksi menjadi antioksida (NO)
yang menginduksi sintesis CGMP dan vasodilatasi.
Farmakokinetik: waktu penuh

STEP 4
1. Nyeri dada
Obesitas – hiperkalsinema – antiskalosis – iskemik – penurunan o2 – anaerob
– asam laktat- aktivasi rangasang nyeri.
Rokok – nikotin dan TAR mempengaruhi elastisitas pd.
A coronary memperdarahi jantung- mengalami ateroklorosis- iskemia.
Nyeri dada:
Infark miokard: tertekan.
Faktor resiko : HT DM dislipedemia.
2. Nyeri dada
Pleuntik: posterior, tajam, batuk
Non pleuntik: central menyebar
Pericardial: nyeri sterna
Nyeri dada pada penyakit jantung
Nyeri dada saat aktivitas
Suhu
Emosi
Terus menerus
Ringan jika istirahat
 Macam macam PJK :
Iskemik
Sistem EKG: ST elevasi peristeminal
4

Enzim jantung : kenaikan kebermakna


Instemi : stdepresi, tinvesi
Wap : EKG
 Ekg
Gel P; depolarisasi atrium
Gel QR: sistem konddukssi
ST elevasi: kematian otot jantung
St depresi: sumbatan
 Enzim jantung
Sel otot jantung: myosin, troponin aktin
 CKMB
3. Anti Platelet
Bisopnol
Nitroglisin

MIND MAP

ASIMTOMATIK ANGINA
KLASIFIKASI PEKTORIS STABIL STEMI
SIMTOMATIK
SINDROM
KORONARIA NSTEMI
PENYAKIT JANTUNG

AKUT
UAP
KORONER

- ANAMNESIS
PENEGAKAN
- PEMERIKSAAN FISIK
DIAGNOSIS
- PEMERIKSAAN PENUNJANG

SUPORTIF
PENATALAKSANAAN
FARMAKOKINETIK
KOMPLIKASI
5

STEP 5
1. Jelaskan Faktor resiko yang terjadi pada jantung koroner serta
patomekanismenya?
2. Jelaskan Jenis jenis sindrom coroner akut dan perbedaannya?
3. Bagaimana Pembacaan EKG dan interpretasinya sindrom koroner akut?
4. Jelaskan Tata laksana pasien SKA dan mekanismenya kerja obat?
5. Jelaskan Komplikasi SKA yang dapat terjadi?

STEP 6
Belajar mandiri

STEP 7
1. Faktor resiko pada penyakit sindrom koroner akut
Terdapat 2 jenis faktor resiko yang dapa menyebabkan seseorang mengalami
penyakit jantung coroner diantaranya adalah:

A. Tidak dapat di kendalikan


a. Keturunan
Anak-anak dari orang tua yang memiliki penyakit jantung memiliki risiko
PJK yang lebih tinggi. Peningkatan risiko ini terkait dengan prediposisi
genetik pada hipertensi, penigkatan lemak darah, diabetes, dan obesitas.1

b. Usia
Usia memengaruhi risiko dan keparahan PJK. PJK simtomatis
tampaknya lebih banyak pada orang berusia lebih dari 40 tahun.1

c. Jenis Kelamin
Pria memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami serangan jantung pada
usia yang lebih muda, risiko pada wanita menigkat signifikan pada masa
6

menopause, sehingga angka PJK pada wanita setelah menopause dua atau
tiga kali lipat pada usisa yang sama sebelum menopause.1
B. Faktor resiko yang dapat dikenalikan
a. Merokok
Perokok aktif maupun pasif merupakan faktor risiko yang berpengaruh
kuat pada perkembangan PJK. Merokok memperbesar risiko menjadi tiga kali
lipat untuk mengalami serangan jantung pada wanita dan dua kali lipat pada
pria. Kandungan zat racun pada rokok antara lain tar, nikotin, dan karbon
monoksida Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan kadar kolesterol HDL,
peningkatan penggumpalan darah dan kerusakan endotel pembuluh darah
koroner. Merokok meningkatkan risiko terkena PJK sebanyak 2-6 kali lebih
besar dibandingkan dengan bukan perokok. Rokok menurunkan kadar level
estrogen. Risiko juga sesuai dengan jumlah rokok yang dihisap, dan
penggunaan rokok dengan nikotin rendah dan berfilter tidak menurunkan
risiko. Seseorang yang terkena paparan kronik terhadap rokok meningkatkan
terkena PJK. Nikotin dalam tembakau menyebabkan katekolamin seperti
epineprin, norepineprin dikeluarkan. Hal ini menyebabkan peningkatan dari
denyut jantung, periperal kontriksi dan peningkatan tekanan darah dan
meningkatkan peningkatan kerja jantung, akibatnya terjadi peningkatan
konsumsi oksigen pada miokardium. Nikotin meningkatkan adhesi platelet
yang akan meningkatkan resiko pembentukan emboli. Karbonmonoksida
sebagai produk dari pembakaran pada saat merokok, berpengaruh pada
pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Selain itu juga karbon monoksida
merupakan zat kimia yang bersifat iritasi yang menyebabkan injuri pada
bagian endotel pembuluh darah.2

b. Hipertensi
Hipertensi akan meningkatkan beban jantung, sehingga dinding jantung
akan menebal, akibatnya jantung semakin lama semakin membesar, kondisi
7

ini membuat kerja jantung melemah. Tekanan darah dikatakan normal jika
kurang dari 140 mmHg (sistolik) dan 90 mmHg (diastolik). Hipertensi bukan
faktor risiko yang berdiri sendiri. Hipertensi yang disertai dengan kegemukan,
merokok, kadar kolesterol yang tinggi atau penyakit kencing manis akan
meningkatkan risiko serangan jantung beberapa kali. Hipertensi memicu
terjadinya ateroskerosis, dengan merusak endotel dan menyebabkan efek
berbahaya lain pada dinding arteri besar. Semakin tinggi beban kerja jantung,
ditambah dengan tekanan arteri yang meningkat juga dapat menyebabkan
penebalan diding ventrikel kiri, atau disebut dengan hipertropi ventrikel kiri,
yang merupakan penyebab sekaligus penanda kerusakan kardiovaskular.
Hipertropi ventrikel kiri menjadi predisposisi bagi miokardium untuk
mengalami aritmia dan iskemia, serta menjadi kontributor utama terjadinya
gagal jantung, infark miokard dan kematian mendadak.2

c. Obesitas
Obesitas menambah beban ekstra pada jantung memaksa otot jantung
bekerja lebih keras untuk memompa jantung untuk mengantarkan darah ke
jaringan tambahan. Obesitas juga menigkatkan risiko PJK karena sering
berhubungan dengan peningkatan kolestrol serum dan kadar trigliserida,
tekanan darah yang tinggi, dan diabetes.2

d. Diabetes mellitus
kumpulan gejala akibat peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan
hormon insulin baik absolut maupun relatif. Pada Diabetes mellitus akan
timbul proses penebalan membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah
arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke jantung.
Penyakit ini dapat dikendalikan dengan menjaga kadar gula darah agar tetap
normal. Faktor yang berperan pada penigkatan ini antara lain peningkatan
frekuensi obesitas dan gaya hidup, adanya diabetes mencerminkan penigkatan
resiko serangan jantung.2
8

e. Kurang aktifitas fisik


Seseorang yang kurang aktifitas menyebabkan aliran darah di pembuluh
darah kolateral dan arteri koronaria berkurang sehingga aliran darah ke
jantung berkurang. Aktifitas fisik akan memperbaiki sistem kerja jantung dan
pembuluh darah. Dianjurkan melakukan latihan fisik (olah raga) minimal 30
menit setiap hari selama 3–4 hari dalam seminggu sehingga tercapai hasil
yang maksimal.
Program aktifitas fisik harus dirancang untuk meningkatkan kekuatan fisik
dengan menggunakan formula FITT yaitu frequency (berapa sering), Intensity
(berapa lama), Type (isotonic) dan Time (berapa lama).2

f. Dislipidemia
Low Density Lipoprotein (LDL-Cholesterol), atau dikenal dengan sebutan
“kolesterol jahat” karena LDL mempunyai peranan penting dalam
pembentukan plak, jika LDL terlalu banyak menempel di dinding endotel, sel
endotel tersebut akan meregang, lemak akan masuk kedalam darah yang nanti
akan disambut oleh makrofag namun tidak bisa krn lemak banyak berikatan
dengan radikal bebas yang nanti akan terbentuk sel busa yang menyebabkan
ateroskerosis. Dan High Density Lipoprotein (HDL-Cholesterol) atau dikenal
dengan istilah “kolesterol baik” karena HDL mempunyai kemampuan
melepaskan kembali dan mengangkut kolesterol jahat yang berada dalam
darah kembali ke sirkulasi, sehingga tidak terjadi penyumbatan.2

2. Jenis jenis penyakit jantung coroner simtomatik


A. Angina Pektoris Stabil (APS)
Suatu sindrom klinis berupa rasa tida nyaman di dada, rahang, bahu,
punggung, atau lengan yang timbul saat aktifitas atau stress emosional yang
berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin.1
9

a. Etiologi
Angina pektoris stabil terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh
aliran darah coroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium.
Hal ini terjadi bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat atau
berkurang atau keduanya sehingga terjadi iskemik miokardium. Pada
iskemik miokardium dan hipoksia pada APS terjadi keadaan-keadaan
berikut:
- Peningkatan konsentrasi H dan K pada darah vena yang berada di
daerah iskemik.
- Gangguan dari ventrikel dan disfungsi diastolic dan sistolik, serta
abnormalitas gerakan dinding regional.
- Perubahan dari segmen ST
- Nyeri dada iskemik (angina).1
b. Patomekanisme
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada
ketidakadekuatan suply oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan
karena kekauan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner
(aterosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab
aterosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada factor tunggal yang
bertanggungjawab atas perkembangan aterosklerosis. Aterosklerosis
merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering ditemukan.
Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen
juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat
maka arteri coroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan
oksigen ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami
penyempitan akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai
respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi
iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium. Adanya endotel yang
cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat Oksida) yang
berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak
10

adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul
spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai
oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum
menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila
penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan
maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel miokardium
menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi
mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH
miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kenutuhan energy sel-sel
jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot
kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak
menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya asam laktat nyeri pada dada
akan hilang.1
c. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Sifat nyeri dada angina pektoris stabil sebagai berikut:
Lokasi : Retrosternal, substernal pada dada
Kualitas nyeri : Nyeri yang tumpul seperti tertindih/berat di dada, rasa
desakan yang kuat dari dalam atau bawah diafragma seperti diremas-
remas atau dada mau pecah
Penjalaran : Leher, rahang, bahu kiri, lengan, jari-jari ulnar,
punggung/pundak kiri
Onset : ±10 menit
Membaik : Istirahat dan pemberian nitrogliserin
Faktor pencetus : Aktivitas fisik dan stress emosional
Manifestasi klinis lain : Keringat dingin dan sesak nafas.3

Pemeriksaan fisik
Tidak ada hal-hal yang khusus/spesifik pada pemeriksaan fisis, sering
didapatkan hasil yang normal pada kebanyakan pasien. Pemeriksaan yang
11

dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop,


murmur, split S2 paradoksal, ronki basah dibagian basal paru, yang
menghilang lagi pada watu nyeri sudah berhenti. Penemuan adanya
tanda-tanda aterosklerosis seperti sclerosis A carotis, aneurisma
abdominal, nadi dorsalis pedis/tibialis posterior tida teraba, penyakit
valvular karena sclerosis. Adanya Hipertensi, Left Ventrikel Hipertrofi,
xantoma, kelainan fundus mata.1

Pemeriksaan penunjang
1. EKG waktu istirahat
Pemeriksaan dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada
adalah non kardia. Bila angina tida tipikal maka pemeriksaan ini hanya
positif pada 50% pasien. Kelainan EKG yang khas adalah perubahan
segmen ST-T yang sesuai dengan iskemia miokardium.1
2. Foto thoraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi coroner
maupun katup jantung, tanda-tanda lain misalnya pasien menderita gagal
jantung, pericarditis, aneurisma, diseksi, serta kelainan paru. 1
3. EKG waktu aktivitas/latihan
Pasien yang direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ini
adalah pasien dengan abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu
dievaluasi lebih lanjut seperti pasien dengan penyakit jantung coroner
stabil yang mengalami perburukan pada gejala dan pasien post-
revaskularisasi dengan perburukan gejala.3
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini bermanfaat bagi pasien dengan murmur sistolik untuk
memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta yang signifikan atau
kardiomiopati hipertropik.3
12

d. Diagnosis banding
1. Diseksi Aorta
Diseksi aorta dan perikarditis merupakan penyakit kardiovaskuler non
iskemik yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding terhadap
angina pektoris. Diseksi aorta asendens dapat memiliki gejala berupa
nyeri dada substernal sedangkan diseksi aorta desendens umumnya
ditandai dengan nyeri dada posterior di area interskapula. Penjalaran ke
arah pinggang dan panggul dapat terjadi pada diseksi aorta dan
membedakannya dari karakteristik nyeri angina pektoris. Diseksi aorta
sering digambarkan sebagai nyeri dada seperti disayat pisau dan
merupakan nyeri paling berat yang pernah dialami pasien. Pada subtipe
anatomi tertentu yang melibatkan perikardium dan ostium arteri koroner,
diseksi aorta dapat pula disertai instabilitas hemodinamik dan dapat
berujung kematian pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan computed
tomography angiography (CTA) merupakan modalitas diagnostik pilihan
pada kasus diseksi aorta.1
2. Perikarditis Akut
Perikarditis akut ditandai dengan nyeri dada retrosternal yang
memberat dengan posisi berbaring dan membaik ketika posisi badan
tegak serta dapat didahului gejala prodromal berupa demam, lemas, dan
mialgia. Perbedaan lain nyeri dada akibat perikarditis dari angina pektoris
adalah sensasinya yang makin memberat saat inspirasi. Pada pemeriksaan
fisik perikarditis akut dapat ditemukan friksi perikardium saat auskultasi
jantung. Elektrokardiogram dapat menunjukkan perubahan depresi
segmen PR dan elevasi segmen ST yang merata hampir di semua
sandapan, sedangkan foto toraks dapat mengungkap adanya efusi
perikardium.1
3. Emboli Paru
Emboli paru biasanya ditandai dengan sesak napas saat istirahat atau
beraktivitas, nyeri dada pleuritik, nyeri dan pembengkakan betis atau
13

paha. Pada kasus emboli paru masif, infark paru yang luas dapat terjadi
dan biasanya disertai dengan hipotensi yang dapat berakibat fatal.
4. Pneumothorax
Lokasi nyeri dada pada pneumothorax biasanya bersesuaian dengan
hemitoraks yang terkena dampak penyakit tersebut dan karakteristiknya
atipikal. Pneumothorax dengan mudah dapat dibedakan dari angina
pektoris dengan adanya beberapa temuan pemeriksaan fisik yang
membantu, seperti penurunan hemithorax saat inspirasi, hiperresonansi
saat perkusi dinding dada, dan penurunan bunyi napas pokok pada
auskultasi.1
5. Pneumonia
Pneumonia biasanya diawali dengan gejala sesak napas yang
menyertai batuk produktif, demam, dan nyeri dada pleuritik. Pada
pemeriksaan fisik pasien dengan pneumonia dapat ditemukan penurunan
bunyi napas pokok serta ronkhi pada hemitoraks yang terinfeksi.1

B. Infark Miokard Akut Dengen Elevasi ST (STEMI)


Merupakan Bagian dari spectrum sindrom coroner akut yang terdiri dari
angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi
ST. STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia
miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang
persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.1
a. Etiologi
Kelainan ini terjadi karena sumbatan total secara tiba-tiba dari pembuluh
darah koroner yang memberikan supply darah untuk otot-otot jantung.
Karena tidak mendapatkan supply darah dimana membawa oksigen dan
nutrisi yang penting untuk kelangsungan hidupnya, otot-otot jantung dapat
mengalami kematian dan kerusakan.1
14

b. Patomekanisme
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang
bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel
yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel
dan masuk kelapisan dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin
banyak akan membuat lapisan pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal
dan jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama jaringan penghubung
yang menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan sikatrik, yang
mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama semakin banyak plaque yang
terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil.1
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak
kolateral sepanjang waktu.1
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis
mengalami fisura, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada
STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.1
Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan
serotonin) memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas
trombosit juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi
faktor VII dan X sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan
fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi
akan menyebabkan oklusi oleh trombus sehinga menyebabkan aliran darah
berhenti secara mendadak dan mengakibatkan STEMI.1
15

c. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Sifat nyeri dada STEMI sebagai berikut:
Lokasi : Retrosternal, substernal, precordial
Kualitas nyeri : Rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir
Penjalaran : Lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi, interskapula, perut dan
lengan kanan
Onset : ±20 menit
Membaik : Istirahat dan pemberian nitrat
Faktor pencetus: Aktivitas fisik, stress emosional, udara dingin, sesudah
makan
Gejala yang menyertai : Mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas
dan lemas.3

Pemeriksaan fisik
Seringkali ektremitas pucat disertai keringat dingin, kombinasi nyeri dada
substernal ≥ 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.
Adanya takikardi dan/atau hipotensi, bradikardi dan/atau hipotensi. Tanda
fisis lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksial bunyi jantung kedua.3

Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Didapatkan gambaran elevasi segmen ST, segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q disebut juga infark miokard gelombang Q,
sedangkan tanpa berkembang elevasi ST disebut infark non Q.3
2. Enzim jantung
- CKMB (Creatinin Kinase Myocardial Band)
16

Meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard, puncak 10-24 jam,
normal 2-4 hari
- CK (Creatinin Kinase)
Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard, puncak 10-36 jam,
normal 3-4 hari
- LDH (Laktat Dehidrogenase)
Meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, puncak 3-6 hari,
normal 8-14 hari
- Mioglobin
Dapat dideteksi 1 ja setelah infark dan mencapai punca dalam 4-8 jam
- Troponin T
Meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard, puncak 10-24 jam,
normal 5-10 hari.3
d. Diagnosis banding
1. Perikarditis Akut
Perikarditis akut ditandai dengan nyeri dada retrosternal yang
memberat dengan posisi berbaring dan membaik ketika posisi badan
tegak serta dapat didahului gejala prodromal berupa demam, lemas, dan
mialgia. Perbedaan lain nyeri dada akibat perikarditis dari angina pektoris
adalah sensasinya yang makin memberat saat inspirasi. Pada pemeriksaan
fisik perikarditis akut dapat ditemukan friksi perikardium saat auskultasi
jantung. Elektrokardiogram dapat menunjukkan perubahan depresi
segmen PR dan elevasi segmen ST yang merata hampir di semua
sandapan, sedangkan foto toraks dapat mengungkap adanya efusi
perikardium.1
2. Emboli Paru
Emboli paru biasanya ditandai dengan sesak napas saat istirahat atau
beraktivitas, nyeri dada pleuritik, nyeri dan pembengkakan betis atau
paha. Pada kasus emboli paru masif, infark paru yang luas dapat terjadi
dan biasanya disertai dengan hipotensi yang dapat berakibat fatal.1
17

C. Infark miokard akut tanpa Elevasi ST (NSTEMI)


STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia
miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG dengan hasil tanpa
elevasi ST.
a. Etiologi dan patomekanisme
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard
yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis
akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini
biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah,
fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak
yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan
proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat
dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses
inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF a,
dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.1
b. Gejala klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium
dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering
ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina
berat/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang
memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di
dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas
seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium,
bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada
pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.
18

c. Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa deviasi
segmen ST merupakan hal penting vang menentukan risiko pada pasien.
Pada Thrombolysis in Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi
segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor outcome yang
buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST, dan
baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya
memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan
NSTEMI.1
BIOMARKER KERUSAKAN MIOKARD
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional
seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal
troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2
minggu. Pada gambar di bawah dapat dilihat kinetik biomarker jantung
seperti mioglobin, CKMB dan troponin.1

Gambar 1. Kinetik berbagai pertanda biokimia jantung 1


19

D. Angina pektoralis tak stabil (UAP)


a. Patogenesis
Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris
tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua
pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai
penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil
mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic
cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak
dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak
yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan
lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling
lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara
enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST,
sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan
stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.1
Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos,
makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel
busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor
jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor
jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
20

enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai


reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan
dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.1
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina Printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya
spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran
dalam pembentukan trombus. Erosi pada Plak tanpa Ruptur Terjadinya
penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi
dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan
penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.1

b. Gambaran klinis angina tak stabil


Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi
lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul
karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak
napas, mual, sampai muntah, kadang- kadang disertai keringat dingin. Pada
pemeriksaan jasmani sering kali tidak ada yang khas.1
c. Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST
21

yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut.


Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI.
Perubahan gelombang ST dan T yang non-spesifik seperti depresi
segmen ST kurang dari 0.5 mm dan gelombang T negatif kurang dari
2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal
lain. Pada angina tak stabil 4 % mempunyai EKG normal, dan pada
NSTEMI 1-6 % EKG juga normal. Uji Latih Pasien yang telah stabil
dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi
perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasilnya
negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-
lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai
keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi
(PCI atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular
dalam waktu mendatang cukup besar.1
2. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis
angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya
gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan
abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan
prognosis kurang baik. Ekokardiografi stres juga dapat membantu
menegakkan adanya iskemia miokardium.1
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah
diterima sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA.
Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap
ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin
tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin.1
22

CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di


otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan
meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka
panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum
secara rutin dipakai dalam diagnosis SK.1

3. Pembacaan EKG dan interpretasinya sindrom koroner akut

Gambar 2. Gambaran EKG1


Interprtasi EKG diatas:
a. Irama
Gelombang P yang diikuti oleh gelombang QRS disebut sinus.
b. Frekuensi
Dengan cara menghitung kotak besar dibagi 300, dihitung anatara R ke R =
300:5= 60/s.
c. Aksis jantung
Hitung jumlah resultan defleksi (+) dan (-) kompleks QRS rata-rata di lead 1
dan AVF.
Bila resultan sadapan lead 1 (+) dan AVF (+) maka aksis normal.
Bila resultan sadapan lead 1 (+) dan AVF (-) maka aksis devisiasi kiri.
Bila resultan sadapan lead 1 (-) dan AVF (+) maka aksis devisiasi kanan.
23

Bila resultan sadapan lead 1 (-) dan AVF (-) maka aksis devisiasi kanan
ekstrim. 1
d. Komplek QRS
Kompleks QRS dikatakan normal jika berdurasi 0,08-0,12s yang di tunjukan
dengan 2-3 kotak kecil, dan pada kasus dapat dikatakan normal.
e. Durasi QRS
Normalnya durasi 2-3 kotak kecil, 1 kotak kecil 0,04s dan tinggi tidak lebih
dari 2 kotak.
Pada kasus durasi 3 kotak kecil dan tinggi 1 kotak kecil yang menandakan
normal.
f. Gelobang interfal PR
Normalnya 3-5 kotak kecil.
Pada kasus di dapatkan dalam batas normal karena hasilnya 5 kotak kecil.
g. Segmen ST
Terdapat elevasi setinggi 2 kotak kecil di lead 3.
h. Gelombang T
Normalnya positif di lead1, 2, V3-V6 dan negatif di Avr.
i. Kompleks QRS
Normalnya rS di V1-V2 dan Rs di V5-V6.
Pada kasus di dapatkan normal karena hasilnya didpatkan rS di V1-V2.
Kesimpulan = rhytme sinus dengan frekuensi 60s aksis normal dan terdapat
elevasi segmen ST di lead 3.4

A. Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada
pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik,
LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST
24

yang persisten (=20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan
V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis
kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia =40
tahun adalah =0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah =0,25 mV. Sedangkan
pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah =0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah =0,05 mV, kecuali pria usia <30
tahun nilai ambang =0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-
V9 adalah =0,5 mV.
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali
jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan
elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung
tersedia.4

B. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 = Anterior
V5-V6, I, aVL = Lateral
II, III, aVF = Inferior
V7-V9 = Posterior
V3R, V4R = Ventrikel kanan
25

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST =1
mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST =1 mm
di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk
diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan
dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat
rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan
non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/
UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar =0,05
mV di sadapan V1-V3 dan =0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan
depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris =0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut.4
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.4
26

4. Penatalaksanaan penyakit sindrom coroner akut

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan SKA3


Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
A. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker)
Mempunyai efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Direkomendasikan bagi pasien
UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau
takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra. Beta blocker oral
diberikan dalam 24 jam pertama.
27

Gambar 4. Daftar obat Beta blocker untuk SKA3


b. Nitrat
Nitrat berfungsi untuk mengurangi nyeri dada, menurunkan kebutuhan
oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara mendilatasikan pembuluh dara (terutama
vena).3

Gambar 5. Nitrat untuk SKA3


- Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina
- Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
dapat diberikan nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3
kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan
nitrat intravena
- Nitrat intravena diberikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
- Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat
28

(<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau


infark ventrikel kanan
- Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48
jam.3
c. Calcium channel blockers (CCBs).
Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA.3

Gambar 6. Jenis Ca- channel blockers3

- CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala


bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
- CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI
dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta.
- CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan
sebagai pengganti terapi penyekat beta.
- CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastic.
- Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release)
tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat
beta.3
29

B. Antiplatelet

Gambar 7. Obat – obat anti platelet3


- Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg
setiap harinya untuk jangka panjang.
- Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi
kontra.
- Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada
pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
- Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
- Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin)
dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari.
- Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari.
- Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor.
30

- Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)


perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan
IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat.
- Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara
klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang
tinggi
- Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
- Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat
COX2 selektif dan NSAID non-selektif).3
C. Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin, antikoagulan berfungsi sebagai penghambat bekuan darah.

Gambar 8. Obat – obat antikoagulan3

- Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang


mendapatkan terapi antiplatelet
- Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
31

- Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan


berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg
setiap hari secara subkutan.
- Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,
penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk
mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu
diberikan saat IKP.
- Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
- Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia
- Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi
perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit
- Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.3
D. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
- Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel
meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau
ketat.
- Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat
mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif.
- Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel,
terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target
INR 2- 2,5 lebih terpilih.3
32

5. Komplikasi yang dapat terjadi


A. Fibrilasi Ventrikel
a. Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi
DC shock unsynchoronized dengan energi awal 200 J. Jika tak berhasil
harus diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock
ketiga 360 J.
b. Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refrakter
terhadap syok elektrik diberikan terapi amiodaron 300 mg atau 5
mg/kg, IV bolus dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized.1
B. Fibrilasi Atrium.
Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan
hemodinamik atau ongoing iskemia harus diterapi dengan 1 atau lebih cara
berikut:
a. Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk Fibrilasi atrial dan
50 J untuk fluter atrial, didahului dengan anestesi umum singkat atau
sedasi jika memungkinkan.
b. Fibrilasi atrial yang tak respons terhadap kardioversi elektrik atau
berulang setelah periode ritme sinus, dianjurkan penggunaan terapi
antiaritmia yang ditujukan untuk penurunkan respons ventrikel. Satu
atau lebih obat farmakologi berikut dapat dipakai :
- Amiodaron IV : Digoksin IV untuk pengendalian laju respons
ventrikel (rate control) terutama untuk pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri berat dan gagal jantung.1
c. Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien ongoing iskemia
tetapi tanpa gangguan hemodinamik diberikan terapi dengan satu atau
lebih obat berikut:
- Penyekat beta lebih disukai, kecuali ada kontraindikasi.
- Diltiazem atau verapamil IV.
33

- Kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk fibriiasi atrial


den 50 J untuk fluter, didahuiui anestesi umum singkat atau sedasI
jika memungkinkan.1
d. Fibrilasi atrial atau fluter sustained tanpa gangguan hemodinamik
atau iskemia, diindikasikan rate control pasien dengan fibriiasi atrial
atau fluter sustained harus diberikan antikoagulan.1
C. Aritmia Supraventrikular
Takikardia supraventrikular reentrant diberikan terapi menurut urutan
berikut:
a. Massage sinus karotis.
b. Adenosin IV 6 mg dalam 1-2 detik; jika tak respons setelah 1-2 menit
dapat diberikan 12 mg IV; dIuIang 12 mg jika diperlukan.
c. Penyekat beta IV dengan metoproloi 2, 55 mg tiap 25 menit sampai
dosis total 15 mg lebih dari 10-15 menit atau atenolol 2,5-5 mg lebih
dari menit sampai dosis total 10 mg dalam 10-15 menit.
d. Diltiazem IV 20 mg (0,25 mg/kg) lebih dari menit diianjutkan infus 10
mg/jam Digoksin IV, mungkin ada perlambatan sekurang-kurangnya
ljam sebelum efek farmakologis muncul (8-15 mcg/kg (0,6-1 mg pada
pasien dengan berat badan 70 kg).1
D. Asistol Ventrikel.
Resusitasi segera mencakup kompresi dada, atropIn, vasopresin, epinefrin
dan pacu antung sementara harus diberikan pada asistol ventrikel.
E. Bradiaritmia dan Blok.
Bradikardia sinus simtomatik. sinus pauses >3 detik atau bradikardia
dengan frekuensi jantung <40 kalI/menlt disertai hipotensi dan tanda
gangguan hemodinamik sistemik diberikan terapi atropin 0,5-1 mg. Jika
bradikardia menetap dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, harus
diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.1
F. Stroke Iskemik Embolik.
34

Stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah


penyakit jantung. Stroke infark menduduki 80% jenis stroke saat ini. Satu
dari empat kasus stroke infark adalah stroke kardioemboli dimana hampir
90% emboli yang berasal dari jantung berakhir diotak sehingga defisit
neurologi. Kelainan jantung yang bisa menyebabkan stroke kardioemboli
antara lain kelainan dinding, irama, katup, dan fungsi jantung. Secara
patomekanisme, 20% pasien stroke merupakan pasien stroke perdarahan
dan 80% merupakan pasien stroke iskemik/infark. Subtipe stroke infark
tersebut adalah stroke kardioemboli yang disebabkan oleh emboli karena
kelainan pada jantung. Hampir 90% emboli jantung berakhir di otak
sehingga defisit, dengan kriteria diagnosis dan pemeriksaan penunjang
yang beragam mendapatkan angka stroke kardioemboli antara 15-20% dari
seluruh stroke iskemik. Satu dari empat kasus stroke iskemik adalah stroke
yang berasal dari kardioemboli. Insidensi dari penyakit stroke kardioemboli
pada populasi bisa mencapai 30 kasus dari 100.000 penduduk setiap
tahunnya. Kelainan jantung yang bisa menyebabkan stroke kardioemboli
antara lain kelainan dinding, irama, katup, dan fungsi. Pasien dengan stroke
dan kelainan jantung akan memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan
pasien stroke tanpa kelainan jantung dan juga sebaliknya. Pasien tersebut
juga memiliki kualitas hidup yang buruk serta bisa menyebabkan
komplikasi yang menyebabkan kematian.5
35

Daftar pustaka
1. Setiati siti, ilmu penyakit dalam. Jakarta : interna publishing; 2014
2. Isselbacher, kort, j. Harrison prinsip penyakit dalam. Jakarta : EGC; 2014
3. PERKI. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi ke
– 1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta. 2015.
4. Szar, H. Sistem Kardiovaskular. Edisi 1. Elsevier : Jakarta : 2014
5. Adriana Damayanti, Lisda Amalia, Reza W Sudjud. Characteristics Of
Cardioembolic Stroke Patient In Neurologic Ward. Journal Of Medicine And
Health Characteristic Of Cardioembolic Stroke. Dr. Hasan Sadikin General
Hospital Bandung : Bandung. Vol.2 No.1 February 2018.

Anda mungkin juga menyukai