Anda di halaman 1dari 26

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup tinggi
dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang
muda, sehat dan produktif.1
Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta
organ-organ di dalamnya baik secara langsung ataupun tidak langsung, dimana kerusakan tersebut
bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga
timbul gangguan fisik, kognitif maupun psikososial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan
tingkat kesadaran, baik permanen ataupun temporer (PERDOSSI, 2006).2
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun di Amerika Serikat.
Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun dengan
insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1. Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana pada setiap tahun
diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera.3
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma capitis adalah yang tertinggi, yaitu
sekitar lebih atau sama dengan 80%. Insiden trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal
sebelum tiba di RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan.
Trauma kapitis memiliki dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab
penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah
perawatan rumah sakit membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang.1
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun
pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis
(75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan berat
dalam jumlah yang sama.1
Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada barulah data dari beberapa
rumah sakit (sporadis).1

1|Trauma Capitis
PEMBAHASAN

Definisi Trauma Kapitis

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen.2

Anatomi3

Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS-2004), anatomi yang bersangkutan antara
lain :

1. Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit Kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis cranii berbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa media, dan
fossa posterior. Fossa anterior adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah tempat lobus
temporalis, dan fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan cerebellum.

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada

2|Trauma Capitis
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang
terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fossa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid.

4. Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medulla oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang
terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak
sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat,
Cerebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak, dan juga kedua
hemisfer serebri.

3|Trauma Capitis
5. Liquor Cerebrospinal
Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral menuju foramen monro menuju
ventrikel III kemudian menuju aquadustus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya LCS keluar
dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan
otak dan medulla spinalis. LCS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili arakhnoid.

6. Tentorium
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii
posterior)

Epidemiologi

Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan
teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia
produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum
laki-laki. 3

Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu
ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi
saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala
primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat
terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal,
hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata
telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi
otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.2-4
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi

4|Trauma Capitis
kontusio. Lesi kontusio dibawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, diseberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear,
bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.2-4

Gambar 1. Mekanisme terjadinya Kontusio


Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebihi cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat berlawanan
dari benturan (countercoup).2-4
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala sekunder dapat
mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder terhadap otak
disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade,
yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.2-4
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk

5|Trauma Capitis
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu
dalam otak.2-4

Klasifikasi Trauma Kapitis


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:


A. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Gambar 2. Mekanisme Cedera Tertutup

B. Cedera tembus, disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


A. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone
window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur

6|Trauma Capitis
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :
i. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
ii. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

B. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. 2,3,4,5

Gambar 3. Lesi Intrakranial

a. Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras
atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak,
termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan
cedera pada kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran,
sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening,
lemah, pandangan ganda.

7|Trauma Capitis
b. Kontusio Serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan
oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan
pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan
perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari
hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang
luka dan luasnya lesi:
 Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan
intracranial yang dapat menyebabkan kematian.
 Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes,
pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal
(kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
sikap fleksi)
 Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya
tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi
(tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).

c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-
parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya
tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun
pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang
perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio
parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan
epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari
penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena
memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan
epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena

8|Trauma Capitis
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung
dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukkan intervallucid yang klasik atau keadaan
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and
die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

Gambar 4. Perdarahan Epidural

d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural
(kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus
venosus tempat vena tadi bermuara. Namun dapat juga terjadi akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak
dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih
buruk daripada perdarahan epidural. Angka kematian yang tinggi pada
perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang cepat
dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif. 2,3,4,5

9|Trauma Capitis
Gambar 5. Perdarahan Subdural

Subdural hematom dibagi menjadi:


1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah. Gejala klinis dari subdural hematom akut tergantun
dari ukuran hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural
hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul
adalah :
 Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan
kesadaran
 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema

2. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari
48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma

10 | T r a u m a C a p i t i s
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran
isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma
ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran
atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk
dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

11 | T r a u m a C a p i t i s
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

e. Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang
memisahkan antara membrana arachnoid dan piamater). Selain karena trauma,
perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s
Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit
kepala berat yang mendadak (“thunderclap headache”), penurunan kesadaran,
mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah
onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya
menunjukkan adanya herniasi otak akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas
N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak mampu
mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan
perdarahan berasal dari a.communicating posterior.
Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan
meningkatkan tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan
subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral, kebanyakan terletak di
sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak
juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang
sekitar atau kontusio intraserebral.

Gambar 6. Perdarahan Subarachnoid pada CT-Scan

12 | T r a u m a C a p i t i s
f. Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam
pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan
perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral
traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu
beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral.

g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap
tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara
dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap
kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali
tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai
amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-
peristiwa sebelum dan sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera
yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu
disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa
waktu lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun
pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu.
Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan
depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi (Diffuse Axonal Injury,

13 | T r a u m a C a p i t i s
DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak
karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan.

h. Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di
dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.Gejala-
gejala yang ditemukan adalah :
 Hemiplegi
 Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat.
 Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri
serebri media yang tidak normal.

Gambar 7. Hematom Intraserebral pada gambaran CT-Scan

i. Fraktura Basis Cranii


Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah

14 | T r a u m a C a p i t i s
sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan
koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogad
dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes),
rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous
sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika.3-6

3. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri
 Skor GCS 13-15
 Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
 Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
 Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
 Skor GCS 9-12
 Ada pingsan lebih dari 10 menit
 Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
 Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
 Skor GCS < 8
 Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
 Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
 Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas

15 | T r a u m a C a p i t i s
2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002), antara lain:

A. Glasgow Coma Scale (GCS)


Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik (Eyes, Verbal, Movement).

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

 Secara spontan 4
 Atas perintah 3
 Rangsangan nyeri 2
 Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)

 Orientasi baik 5
 Jawaban kacau 4
 Kata-kata tidak berarti 3
 Mengerang 2
 Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)

 Kemampuan menurut perintah 6


 Reaksi setempat 5
 Menghindar 4
 Fleksi abnormal 3
 Ekstensi 2
 Tidak bereaksi 1
Catatan :

1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak
dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi,
skor GCS maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye
closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen
motoriknya.

Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan


neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun
pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan
di unit gawat darurat, yaitu:

16 | T r a u m a C a p i t i s
1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta


(lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoon’s eyes
(ekhimosis periorbital), atau Battle’s sign (ekhimosis retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung
(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS
(Acute Respiratory Distress Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan
ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas
dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian
kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi
secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf,
pembuluh darah). 1,3-5

B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon
yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

17 | T r a u m a C a p i t i s
Tabel 1. Nervus Cranialis dan Fungsinya.

D. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar. Kedalaman laserasi
dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar.

Diagnosis6-10

1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
e. Gangguan fokal neurologis
f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis
h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye phenomen

18 | T r a u m a C a p i t i s
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation,
apneusitic breath, ataxic breath
j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur linier, impresi,
terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa gambaran
kontusio, gambaran edema otak, gambaran perdarahan(hiperdens), hematoma
epidural, hematoma subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma
f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi6,10

Penatalaksanaan

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah dibersihkan
dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya
infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)
berdasarkan urutan:

1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan seperti berikut,
yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan
gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang collar
cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial
mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika
tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada
berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi untuk
menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan
terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg serta

19 | T r a u m a C a p i t i s
saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Menghentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan adanya cedera intra abdomen
atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.
Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan larutan koloid sedangkan larutan
kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan
cepat status umum dan neurologi.
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien stabil.
A. Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu,
analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
B. Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sedar (pantauan dilakukan
tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai
berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38˚C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
1. Elevasi kepala 30

20 | T r a u m a C a p i t i s
2. Hiperventilasi
1
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu /2 jam-1jam, drip cept,
dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam
dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan 24
jam dari pemberian pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

d. Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure pada
kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi intrakranial
selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut, yaitu:

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20
cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda
fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

21 | T r a u m a C a p i t i s
ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN11
Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 14-15)

1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan, kecuali
bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS

1. CT scan tidak ada


2. CT scan abnormal
 Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
 Sakit kepala sedang-berat
 Intoksikasi alkohol/obat-obatan
 Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera
9. Amnesia

22 | T r a u m a C a p i t i s
Dipulangkan dari RS

1. Tidak memenuhi kriteria rawat


2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG


Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti
perintah-perintah sederhana (GCS: 9-13).

1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akandipulangkan

Bila kondisi membaik (90%)

1. Pasien dapat pulang


2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik

Bila kondisi memburuk (10%)


Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan
CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT


Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang
menurun (GCS 3-8)
•Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE
•Primary Sunny dan resusitasi

•Secondary Survey dan riwayat AMPLE 22

•Re-evaluasi neurologic

•Respon buka mata

23 | T r a u m a C a p i t i s
• Reaksi Cahaya pupil

•Respon motorik

• Refleksokulosefalik (Doll's eyes)

•Respon verbal

• RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)

•Obat-obatan

•Manitol

•Antikonvulsan

•Hiperventilasisedang

•TesDiagnostik (sesuaiurutan)

•CT Scan (semuapenderita)

•Ventrikulografiudara

•Angiogram

2.9. Prognosis

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala ringan,
sebagian besar penderita sembuh dengan baik.
Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana
tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita mungkin
dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang
sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai
resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.12

24 | T r a u m a C a p i t i s
PENUTUP

Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan mulai
dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tegkorak, duramater, vaskuler otak,
sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik, fungsi kognitif dan psikosial baik
temporer maupun permanen. Trauma Kapitis dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa
benturan langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma Kapitis dibagi menjadi
Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan
dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera dapat
dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal,
Movement)
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala ringan,
sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih
dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit
neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat
mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua
penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

25 | T r a u m a C a p i t i s
Daftar Pustaka
1. IT Maria.Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.Perhimpunan Dokter
Saraf Indonesia (PERDO).Jakarta,2011.hal 2-3.
2. PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
PERDOSSI. Jakarta.
3. Advance Trauma Life Support, hal 196-2352.
4. Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit Erlangga. Jakarta, hal 44-
51.
5. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon LearningSystem LLC, 2003
6. Diunduh dari http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact, 19 Agustus
2014.
7. Diunduh dari http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf, 19 november
2013.
8. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge University Press.
Cambridge.2009
9. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
10. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
11. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition. 199125
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd
edition. New York: McGraw Hill, 1996.

26 | T r a u m a C a p i t i s

Anda mungkin juga menyukai