Anda di halaman 1dari 29

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki – laki
Tanggal lahir : 7 Juni 1999
Alamat : Jl. Tansie RT 3/3, Sulawesi Selatan
Satus pernikahan : Belum Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Swasta

II. Anamnesis (telah dilakukan autoanamnesis pada tanggal 23 – 05 – 2018)


Keluhan Utama:
Demam sejak 4 hari SMRS
Keluhan Tambahan:
Mual, muntah, nyeri otot, gusi berdarah, BAB mencret.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RS POLRI dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan naik turun, demam tinggi terutama pada siang hingga malam hari.
Demam disertai menggigil dan keringat dingin. Pasien juga mengeluh mual dan muntah, mual
sesudah dan sebelum makan dan muntah 1x berisi makanan, darah (-). Pasien mengeluh pegal
linu pada seluruh tubuh. Pasien mengeluh gusi berdarah pada pagi hari, mimisan (-), dan ptekie
(-). Sebelum ke rumah sakit pasien sudah mengonsumsi obat paracetamol dan amoxicillin yang
dibeli di warung. Pasien mengatakan setelah meminum obat tersebut, demam yang dirasakan
menurun, namun jika obat habis demam muncul kembali. BAK dalam batas normal, BAB cair
3x, tidak ada lendir, ampas, darah berwarna kemerahan atau kehitaman. Pilek dan batuk
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes, dan alergi.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan
diabetes.
Riwayat Sosial dan Ekonomi:
Menurut pengakuan pasien, Ia tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol.

1
Pemeriksaan fisik

Tanggal 23-04-2018
• KU: Tampak sakit sedang
• Kesadaran: Composmentis
• TTV:
TD: 110/70 mmHg RR: 20 x/menit
HR: 80 x/menit Suhu: 37,80C
• Kepala: Normocephal
• Mata: CA-/-, SI-/-, pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+
• Leher: Tidak ada pembesaran KGB –
• Thorax:
• Inspeksi: Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis
• Palpasi: Fremitus taktil dan vokal simetris bilateral
• Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
• Auskultasi: Vesikular +/+, wh -, rh-, murmur –
• Cor: S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen:
• Inspeksi: Jejas -, sikatrik –
• Palpasi : Nyeri tekan –
• Perkusi: Timpani di seluruh kuadran abdomen
• Auskultas: BU (+) di seluruh kuadran abdomen
• Ekstremitas: akral hangat, edema (-), CRT < 2”

III. Pemeriksaan Penunjang


• Laboratorium: 22-05-2018 pukul 21:11
Hematologi I
• Hemoglobin : 15,2 g/dl
• Leukosit : 2.900 u/l
• Hematokrit : 42%
• Trombosit: 88.000 /ul

IV. Follow up
• Tanggal 23-04-2018, pasien di ruang Mahoni 1
• Keluhan yang dirasakan: Mual (+), demam (-)

2
• TTV:
TD: 120/80 mmHg RR: 20 x/menit
HR: 80 x/ menit Suhu: 360C
• Input cairan: 800 ml
• Output cairan: 400 ml
• Diagnosis: DHF gr. I
• Obat yang diberikan:
• Rantin 500 mg 2x1 (IV)
• PCT 500 mg 3x1 (oral)
• Sucralfat 500 mg 3x1 (oral)
• Dexamethason 1 tab
• Domperidone 3 x 1
• Pemeriksaan Penunjang
A. Hematologi I
• Hemoglobin : 14,8 g/dl
• Leukosit : 2.600 u/l
• Hematokrit : 41%
• Trombosit : 78.000 /ul
B. Urine Lengkap
• Warna : Kuning
• Kejernihan : Agak Keruh
• Reaksi / pH : 5,0
• Berat Jenis : 1,025
• Protein :-
• Bilirubin :-
• Glukosa :-
• Keton :-
• Darah / Hb :-
• Nitrit :-
• Urobilonogen : 0,1
• Leukosit :-
• Sedimen
• Leukosit :1–2

3
• Eritrosit :1–2
• Sel Epitel :+
• Silinder :-
• Kristal :-
• Lain – lain :-
C. Pemeriksaan Immunologi
• Typhi O :-
• Paratyphi AO :-
• Paratyphi BO :-
• Paratyphi OO : + 1/80
• Typhi H : + 1/80
• Paratyphi AH :-
• Paratyphi BH :-
• Paratyphi OH :-

• Tanggal 24-04-2018
• Keluhan yang dirasakan: Demam (-), BAB cair (-), Gusi Berdarah (-)
• TTV:
TD: 120/90 mmHg HR: 85 x/ menit
Suhu: 360C RR: 21x/menit
• Input cairan: 800 ml
• Output cairan: 400 ml
• Diagnosis: DHF gr. I
• Obat yang diberikan:
• Rantin 500 mg 2x1 (IV)
• PCT 500 mg 3x1 (oral)
• Sucralfat 500 mg 3x1 (oral)
• Dexamethason 1 tab
• Domperidone 3 x 1
• Pemeriksaan Penunjang
1. Hematologi I
• Hemoglobin : 15,3 g/dl
• Leukosit : 5.400 u/l

4
• Hematokrit : 43%
• Trombosit : 89.000 /ul
2. Serologi/immunologi
Anti dengue IgG – IgM
 IgG : POSITIF
 IgM : Negatif

• Tanggal 25-05-2018, ruang Mahoni 1


• Keluhan yang dirasakan : demam (-)
• TTV:
TD: 120/80 mmHg RR: 20x/menit
HR: 86 x/ menit T: 36,40C
• Input cairan: 460 ml
• Output cairan: 300 ml
• Diagnosis: DHF gr. I
• Obat yang diberikan:
• Rantin 500 mg 2x1 (IV)
• PCT 500 mg 3x1 (oral)
• Sucralfat 500 mg 3x1 (oral)
• Dexamethason 1 tab
• Domperidone 3 x 1

5
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Demam berdarah dengue adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositpenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. (Suhendro, dkk. 2014)

2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 peduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
(Suhendro, dkk. 2014)
Incidence rate DBD berdasarkan provinsi pada tahun 2015, 3 (tiga) provinsi tertinggi
adalah Provinsi Bali, yaitu 208,7 per 100.000 penduduk, Provinsi Kalimantan Timur yaitu
183,12 per 100.000 penduduk dan Provinsi Kalimantan Tenggara sebesar 120,08 per 100.000
penduduk. Sedangkan 3 (tiga) dengan insiden rate terendah adalah provinsi Nusa Tenggara
Timur adalah 0,68 per 100.000 penduduk, Provinsi Maluku sebesar4, 63 per 100.000 penduduk
da Provinsi Papua Barat sebesar 7,57 per 100.000 penduduk. (Kemenkes RI, 2016)

6
Sepanjang Januari 2016 Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis
Kementerian Kesehatan mencatat 3.298 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 50
kasus di Indonesia. Sementara di daerah KLB tercatat 492 kasus, 25 kasus diantaranya
meninggal. KLB terjadi di 11 Kabupaten/Kota di 7 Provinsi. (Kemenkes RI, 2016)

3. Etiologi
Deman berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. (Suhendro, dkk. 2014)
Terdapat 4 seriotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese encephalitis, dan West Nile virus. (Suhendro,
dkk. 2014)
Genom virus dengue terdiri dari tiga gen protein struktural yang mengkodekan
nukleokapsid dari protein inti, protein terkait membran (M), protein amplop (E) dan tujuh
protein non-struktural (NS) - NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan NS5. Fungsi untuk
semua individu NS-protein tidak dikarakterisasi dengan baik. Namun, Protein NS1 telah
terbukti berinteraksi dengan sistem imun host, dan dikenal untuk membangkitkan sel T-helper.

7
Pada infeksi virus dengue, pasien memiliki kadar protein NS1 yang dapat diukur darah, yang
digunakan sebagai penanda diagnostik infeksi. (Suhendro, dkk. 2014; WHO, 2009)
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar, dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan
antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada arthropoda
menujukan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites. (Suhendro, dkk. 2014)

4. Penularan
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. Aegepty dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air, seperti bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya. Beberapa faktor
yang diketahui berkaitan dengan transmisi virus dengue, yaitu:
a. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.

8
b. Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk,
usia dan jenis kelamin;
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk, dan ketinggian di bawah
1000 di atas permukaan laut (Suhendro, 2014).

5. Klasifikasi
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue dan untuk menentukan
penatalaksanaanya. (Suhendro, dkk. 2014)

6. Patogenesis dan Patofisiologis


Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. (Suhendro,
dkk. 2014)
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: 1) respon
humoral berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dn
sititoksisitas yang dimedisi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE); b) limfosit T baik T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferongamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL5, IL6, dan IL-10;
c) mososit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengue opsonisasi antibodi. Namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d) selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a. (Suhendro, dkk. 2014)

9
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjad bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi. (Suhendro, dkk. 2014)

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Tejadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma, interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating
factor) , IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dn terkjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yng juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma. (Suhendro, dkk. 2014)
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme; 1) supresi sumsum
tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar rombipoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai

10
mekanisme komponisasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit
selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningatan kadar b-tromboglobulin dan PF4
yang merupakan petanda degranulasi trombosit. (Suhendro, dkk. 2014)
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex). (Suhendro, dkk. 2014)

(Suhendro, dkk. 2014)

11
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok dengue
(SSD) dan sindrom dengue diperluas. (Suhendro, dkk. 2014)
Pada umumnya gejala yang dapat timbul pada pasien demam berdarah dengue; demam
selama 2 – 7 hari yang diikuti fase kritis selama 2 – 3 hari, mialgia, arthralgia, nyeri tulang,
sakit kepala, nyeri peri-orbital, flushing, mual atau muntah tanpa gejala saluran pernapasan
yang jelas atau tanda dan tidak ada gejala organ yang spesifik penyakit menular lainnya.
(Suhendro, dkk. 2014; Tantawichien, 2015)

(Suhendro, dkk. 2014)

8. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien terasangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
(Suhendro, dkk. 2014)
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain
reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
12
antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM atau IgG lebih banyak. (Suhendro,
dkk. 2014)
Parameter laboratoirs yang dapat diperiksa antara lain:
• Leukosit: dapat normal atu menurun. Mulai hari ke-2 dapat ditemui limfositosis relatif
(>45% dari tottal leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari
jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
• Trombosit: umunya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
• Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemuknnya peningkatan
hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umunya dimulai pada hari ke-3 demam.
• Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurgai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
• Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
• SGOT/SGPT: dapat meningkat
• Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
• Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi). Bila akan diberikan transfusi darah
atau komponen darah imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah
60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder
IgG mulai terdeteksi paa hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari
ke-2.
• Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
• NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4% dengan spesifitas 100% sama
tingginya dengan spesifisitas kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak
menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.

13

(WHO, 2009)
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien
tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan
pemeriksaan USG. (Suhendro, dkk. 2014)
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4 – 6 hari (rentang 3 – 14 hari),
timbul gejala prodromal yang tidak khas: nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan
perasaan lelah. (Suhendro, dkk. 2014)

Demam dengue (DD) probable dengue. Penyakit demam akut selama 2 – 7 hari,
ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: (Suhendro, dkk.
2014)

14
• Nyeri kepala
• Nyeri retro-orbital
• Mialgia
• Atralgia
• Ruam kulit
• Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
• Leukopenia (leuko < 5000)
• Trombosit < 150.000
• Hematokrit naik 5 – 10%
• Dan pemeriksaan serologi dengue positif / ditemukan pasien DD/DBD yang sudah
dikonfirmasi lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi: (Suhendro, dkk. 2014)
• Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik.
• Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
a. Uji bendung positif
b. Petekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atu perdarahan gusi), atau perdarahan dari
tempat lain.
d. Hematemesis atau melena.
• Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
• Terdapat minimal satu tanda-tanda plasam leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
• Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya,
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia.

Diagnosis Banding
• Malaria
• Enteric fever
• Pharyngitis
• Tonsillitis
15
• Influenza
• Leptospirosis
• Meningococcal infection
• Chikungunya fever
• Epidemic typhus/ scrub typhus
• Crimean-Congo haemorrhagic fever
• Ebola haemorrhagic fever
(WHO, 2015)

9. Tatalaksana
Prinsip utama dalam tatalaksana demam berdarah dengue adalah terapi suportif.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. (Suhendro, dkk.
2014)
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun
protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria: (Suhendro, dkk.
2014)
a. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.
b. Praktis dalam pelaksanaannya
c. Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori;


1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
indikasi rawat. (Suhendro, dkk. 2014)
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila: (Suhendro, dkk. 2014)
• Hb, Ht, dan trombosit antara 100.000 – 150.000, pasien dapat dipulangkan dengan
anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya
16
(dilakukan pemeriksaan HB, Ht, Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan
penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
• Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
• Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

(Suhendro, dkk. 2014)

2. Pemberian cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka
di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut:
volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut: (Suhendro,
dkk. 2014)
1500 + (20 x (BB dalam kg) – 20)
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
• Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >
20%

17
(Suhendro, dkk. 2014)

3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus
cairan kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setalah 3 – 4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda – tanda hematokrit
turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumah
cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah
cairan infus dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 – 48 jam kemudian. (Suhendro,
dkk. 2014)
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun < 30 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah
cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah

18
cairan infus dinaikan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda – tanda syok maka pasien ditangani
sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok maka pasien ditangani sesuai dengan
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal. (Suhendro, dkk.
2014)

(Suhendro, dkk. 2014)

4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberkan tampon hidung.
Perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan

19
jumlah perdarahan sebanyak 4 – 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostasis harus segera
dilakukan dan pemeriksaan HB, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4 – 6 jam.
(Suhendro, dkk. 2014)
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda – tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor – faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai HB kurang dari
10g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan
spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
(Suhendro, dkk. 2014)

(Suhendro, dkk. 2014)

5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera dilatasi dan oleh
karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang segera dilakukan. Angka

20
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD
tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat. (Suhendro, dkk. 2014)
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 – 4 liter/menit. Pemeriksaan darah
perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kreatinin. (Suhendro, dkk. 2014)
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 – 20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15 – 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (dtandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg. Frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat serta diuresis 0,5 – 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24 – 48 jam setelah renjatan teratasi
tanda – tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian
cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
(Suhendro, dkk. 2014)
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setalah 1 jam saat pemberian. Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan episgastrik, serta
jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit. (Suhendro, dkk. 2014)
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB, dan

21
kemudian dievaluasi setalah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun,
berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi
darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. (Suhendro, dkk. 2014)
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat –
sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula – mula diberikan dengan tetesan
cepat 10 – 20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 m/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15 – 18 cm H2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. (Suhendro, dkk. 2014)

22
(Suhendro, dkk. 2014)
9. Komplikasi
 Perdarahan hebat
 Gagal hati
 Gagal ginjal akut
 Encefalopati
 Syok dari kenaikan plasma
 Efusi pleura
(Tantawichien, 2015)
23
10. Pencegahan
Surat Nomor PM.01.11/MENKES/591/2016 tanggal 8 November 2016 mengatur tata
laksana Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus dengan Gerakan satu rumah satu (Juru
Pemantau Jentik) Jumantik. (Kemenkes RI, 2016)
Upaya pencegahan terhadap penularan DBD dilakukan dengan pemutusan rantai
penularan DBD berupa pencegahan terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopicus. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain melakukan pemantauan jentik nyamuk
dan PSN 3M Plus disetiap rumah secara rutin untuk memberantas sarang nyamuk yaitu dengan:
(Kemenkes RI, 2016)
1. Menguras tempat-tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak
mandi, ember air, tempat pemampungan air minum, penampungan air di lemari es, dan
dispenser;
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti drum/gentong air, kendi air dan
lainnya; dan
3. Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menampung air
seperti botol plastik, kaleng, ban bekas karena berpotensi menjad itempat
perkembangbiakan nyamuk aedes.
Selain itu, ditambah dengan Plus pada 3M Plus yang merupakan segala bentuk kegiatan
pencegahan daru gigitan nyamuk, seperti: (Kemenkes RI, 2016)
1. Menaburkan atau meneteskan larvasida pada tempat penampungan yang sulit
dibersihkan
2. Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk
3. Menggunakan kelambu saat tidur
4. Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk
5. Menanam tanaman pengusir nyamuk
6. Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah
7. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang dapat menjadi
tempat istirahat nyamuk, dan
8. Mulai menggunkaan air pancur shower untuk mandi, dengan tujuan mengurangi bak
mandi
Kemenkes juga mengajak masyarakat untuk mengaktifkan kembali Gerakan satu
Rumah Satu Jumantik. Jumantik adalah orang yang melakukan pemerikasaan, pemantauan
dan pemberantasan jentik nyamuk khususnya Aedes aegypti dan Aedes Albopictus. Hal ini
dilakukan dengan: (Kemenkes RI, 2016)

24
1. Mengajak keluarga dan tetangga di lingkungan sekitara untuk menjadi Jumantik Rumah
dan melakukan pemantauan jentik nyamuk serta PSN 3M Plus di rumah masing-
masing;
2. Berkoordinasi dengan ketua/Pengurus RT setempat membentuk Jumantik Lingkungan
dan Koordinator Jumantik; dan
3. Berkoordinasi dengan Ketua/Pengurus RT dan RW setempat membentuk Supervisor
Jumantik.

Vaksin Dengue

Vaksin dengue yang ideal diharapkan mampu memberi kekebalan terhadap keempat
serotipe virus (tetravalen), harga murah, dapat memberi kekebalan dengan dosis tunggal,
memberi kekebalan jangka panjang, stabil dalam penyimpanan, dan tanpa efek samping.
Vaksin tetravalen bertujuan membuat perlindungan jangka panjang terhadap 4 serotipe
sekaligus, sehingga mengurangi risiko ADE. Berbagai formulasi vaksin dengue berasal dari:
virus hidup dilemahkan, chimeric (substitusi protein spesifik dari suatu virus pada virus
lainnya), subunit protein,virus inaktif dimurnikan, plasmid DNA, dan lain lain.
Vaksin Dengue belum masuk ke dalam program imunisasi nasional maka saat ini vaksin
tersebut belum terdapat di Puskesmas. Saat ini, vaksin hanya terdapat pada klinik/rumah sakit
terdekat atau pada praktek dokter anak swasta. Harga vaksin masih cukup mahal yaitu sekitar
1 juta rupiah per 1 kali pemberian vaksin. Vaksin Dengue dapat diberikan pada anak usia 9-16
tahun sebanyak 3 kali dengan jarak pemberian 6 bulan. Pemberian vaksin juga dapat dimulai
kapan saja sejak anak berusia 9 hingga 16 tahun.
Beberapa vaksin dengue yang saat ini sedang dikembangkan antara lain: (Purnamasari, 2016;
IDAI, 2017)

A. CYD-TDV

Chimeric Yellow-fever-Dengue Tetravalent Dengue Vaccine merupakan vaksin hidup


dilemahkan, tetravalen, merupakan rekombinan virus yellow fever 17D backbone dengan
premembrane (prM) dan envelope (E) DENV 1-4, diberikan 3 dosis berselang 6 bulan secara
subkutan. Vaksin ini telah dievaluasi melalui uji klinis fase III di 5 negara Asia (Indonesia,
Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam) dan 5 negara Amerika Latin (Brazil, Colombia,
Honduras, Mexico, Puerto Rico) pada peserta berusia 2-16 tahun. Efikasi vaksin melawan

25
dengue simptomatik dan kasus dengue berat setelah dosis ketiga dinilai cukup memuaskan.
(Purnamasari, 2016)
Berdasarkan penelitian di Amerika Latin, efikasi vaksin CYD-TDV mencegah dengue
simptomatik dan kasus rawat inap sekitar 60,8% dan 80,3% dalam observasi 25 bulan. Serupa
dengan penelitian Asia, efikasi mencegah dengue simptomatik dan DHF sebesar 56,5% dan
80,0% dalam 13 bulan setelah pemberian dosis ketiga, serta menurunkan kasus rawat inap
dalam observasi 25 bulan. Usia, status serologi, tingkat keparahan dengue, dan jenis serotipe
dapat mempengaruhi efikasi vaksin. Efikasi vaksin melawan dengue simptomatik dan dengue
berat pada usia ≥9 tahun lebih tinggi (65,6% dan 93,2%) dibandingkan < 9 tahun (44,6% dan
44,5%) selama observasi 25 bulan. Efikasi vaksin melawan serotipe 3 dan 4 cukup tinggi
(74,0% dan 77,7%) dibandingkan serotipe 1 dan 2 (50,3% dan 42,3%) pada penelitian di
Amerika Latin. (Purnamasari, 2016)
Tidak ada efek samping serius berkaitan dengan vaksinasi pada penelitian di India. Efek
samping yang sering berupa nyeri lokal akibat injeksi. Pada penelitian di Amerika Latin,
kejadian serius sebanding antara kelompok vaksin (0,6%) dan kontrol (0,6%), dilaporkan
terjadi dalam 28 hari pasca-vaksinasi berupa serangan asma, kejang, dan urtikaria alergi.
(Purnamasari, 2016)

B. DENVax
Merupakan vaksin hidup dilemahkan, tetravalen, formulasi keseluruhan DENV 2 yang
dilemahkan dengan premembrane (prM) dan envelope (E) DENV 1,3,4. Pemberian intradermal
atau subkutan. Reaksi lokal injeksi lebih sering dilaporkan pada intradermal (95% vs 79%).
Vaksin dinilai cukup aman, tidak dilaporkan efek samping serius. Reaksi lokal injeksi (nyeri,
gatal, dan kemerahan) lebih banyak pada kelompok vaksin dibanding plasebo. Kejadian lain
yang cukup banyak dilaporkan berupa nyeri kepala (52%), lemas (43%), dan mialgia (29%).
(Purnamasari, 2016)
Saat ini vaksin sedang diuji klinis fase II di Colombia, Puerto Rico, Singapore, dan
Thailand sejak tahun 2011. Pada uji klinis fase I di Amerika, serokonversi pada 120 hari pasca-
vaksinasi terhadap DENV 1: 84–100%, DENV 2: 96–100%, DEN 3: 83–100%, DENV 4: 33–
77%.15 Di Columbia, dosis tinggi ataupun rendah mampu menginduksi antibodi terhadap 4
serotipe setelah 30 hari pemberian dosis pertama. Respons antibodi paling tinggi terhadap
DENV 2, diikuti DENV 1, 3, dan 4. Pemberian intradermal atau subkutan. Reaksi lokal injeksi
lebih sering dilaporkan pada intradermal (95% vs 79%). Vaksin dinilai cukup aman, tidak
dilaporkan efek samping serius. Reaksi lokal injeksi (nyeri, gatal, dan kemerahan) lebih banyak

26
pada kelompok vaksin dibanding plasebo. Kejadian lain yang cukup banyak dilaporkan berupa
nyeri kepala (52%), lemas (43%), dan mialgia (29%). (Purnamasari, 2016)
Saat ini vaksin sedang diuji klinis fase II di Colombia, Puerto Rico, Singapore, dan
Thailand sejak tahun 2011.4 Pada uji klinis fase I di Amerika, serokonversi pada 120 hari
pasca-vaksinasi terhadap DENV 1: 84–100%, DENV 2: 96–100%, DEN 3: 83–100%, DENV
4: 33–77%.15 Di Columbia, dosis tinggi ataupun rendah mampu menginduksi antibodi
terhadap 4 serotipe setelah 30 hari pemberian dosis pertama. Respons antibodi paling tinggi
terhadap DENV 2, diikuti DENV 1, 3, dan 4. Pemberian dosis kedua, berselang 3 bulan dari
dosis pertama, dinilai tidak meningkatkan respons antibodi secara bermakna. Infeksi virus
DENVax terdeteksi lebih banyak pada kelompok dosis tinggi (33%) dibandingkan dosis rendah
(25%). (Purnamasari, 2016)

C. TV003/TV005
Merupakan vaksin hidup dilemahkan, tetravalen, rekombinan DENV1-4,
dikembangkan oleh US National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Karena
vaksin monovalen tidak melindungi terhadap 4 serotipe sekaligus, maka dikembangkan
kombinasi dari berbagai vaksin monovalen menjadi 5 campuran tetravalen berbeda (TV001–
TV005). Rute pemberian subkutan dengan dosis tunggal, dapat dilakukan booster setelah 6
bulan.4,7 Dosis kedua hanya sedikit bermanfaat dan dinilai tidak perlu, sebab paparan DENV
pada area endemik mampu mem-boost respons imun setelah vaksinasi. (Purnamasari, 2016)
Pada uji klinis fase I, dosis tunggal TV003/ TV005 menginduksi antibodi tetravalen
sebesar 74% dan 90%. Kecepatan serokonversi DENV 1-4 pada TV003 sebesar 92%, 76%,
97%, dan 100%, sedangkan TV005 92%, 97%, 97%, dan 97%, diukur 3 bulan setelah
vaksinasi.16 Respons antibodi terhadap 4 serotipe masih terdeteksi hingga 1 tahun setelah dosis
pertama. Infeksi dengue masih dapat terjadi pada individu dengan antibodi terdeteksi, tetapi
disebutkan bahwa kadar antibodi tinggi memiliki proteksi lebih baik dibandingkan individu
tanpa antibodi/kadar rendah.17 Keamanan vaksin ini cukup memuaskan. Tak ada kejadian
serius bermakna, efek samping yang dilaporkan meliputi rash ringan (60%), neutropenia ringan
transien, dan peningkatan fungsi hati SGPT (2-5%). Vaksin ini masih dalam uji klinis fase II
di Thailand dan Brazil sejak 2014 dan 2013, dan akan memasuki uji klinis fase III pada Februari
2016 di Sao Paulo, Brazil. (Purnamasari, 2016)

27
D. Vaksin Lain
Beberapa vaksin dengue yang telah atau masih dalam uji klinis fase I antara lain DPIV
(vaksin dengue inaktif dimurnikan), DEN-80E (subunit protein), TVDV (plasmid DNA), dan
TLAV-TPIV (kombinasi virus hidup dilemahkan dengan inaktif dimurnikan). Vaksin lain yang
masih dikembangkan meliputi DNA, VLP, EDIII, dan virus vektor (berasal dari baculovirus,
alphavirus (VEEV), virus campak, WNV). Masih banyak dikembangkan vaksin dengue lain
dengan berbagai formulasi untuk mendapatkan imunitas yang jangka panjang dan aman
digunakan. (Purnamasari, 2016)
Umumnya efek samping setelah pemberian vaksin berupa reaksi lokal di area injeksi
dan reaksi sistemik seperti rash ringan, sakit kepala, lemas, mialgia, neutropenia ringan, dan
penurunan fungsi hati ringan. Kendala dalam pengembangan vaksin antara lain sulit
menemukan formulasi vaksin yang mampu menginduksi imun seimbang terhadap 4 serotipe
sekaligus. Respons imun yang tidak seimbang dikuatirkan akan memicu dengue berat bila
terpapar infeksi di kemudian hari. Namun, WHO menyatakan bahwa respons imun yang
diinduksi vaksin tidak memberi kecenderungan untuk terjadi dengue berat. Selain itu, risiko
dengue berat tidak meningkat seiring penurunan titer antibodi yang diinduksi vaksin pada
individu yang tidak di-booster alami. (Purnamasari, 2016)

11. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang
didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50%
pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <
1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan
intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok
berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007)

28
DAFTAR PUSTAKA

Halstead, SB. 2007. Dengue. Lancet. Nov 10;370 (9599):1644-52.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2017. Sekilas Tentang Vaksin Dengue. Diakses Online Pada
Tanggal 9 Juni 2018 Jam 22.51 (http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/sekilas-
tentang-vaksin-dengue)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Kemenkes Keluarkan Surat Edaran


Pemberantasan Sarang Nyamuk Dengan 3M Plus Dan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
Diakses Online Pada Tanggal 8 Juni 2018 Jam 16.09 (
Http://Www.Depkes.Go.Id/Article/View/16121400002/Kemenkes-Keluarkan-Surat-
Edaran-Pemberantasan-Sarang-Nyamuk-Dengan-3m-Plus-Dan-Gerakan-1-Rumah-1-
Jum.Html)

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi DBD. InfoDATIN (Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Purnamasari, Lina. 2016. Potensi dan Keamanan Vaksin Dengue. CDK-247/ vol. 43 no. 12
Suhendro, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I. Interna Publishing:
Jakarta

Tantawichien, Terapong. 2015. Dengue Fever And Dengue Hemorrhagic Fever In Adults.
Southeast Asian J Trop Med Public Health Vol 46 (Supplement 1). Diakses Online
Pada Tanggal 9 Juni 2018 Jam 20.46
(Https://Pdfs.Semanticscholar.Org/1a91/Ba16a88aad39886dbe8b7fe74257b769149f.P
df)

World Health Organization. 2015. National Guidelines for Clinical Management of Dengue
Fever. WHO Press; India

World Health Organization. 2009. Dengue: Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention
And Control -- New Edition. WHO Press; Switzerland

29

Anda mungkin juga menyukai