Anda di halaman 1dari 71

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya

sehingga buku Model – Model Self Regulated Learning Dalam Meningkat Prestasi

Akademik Siswa telah dapat diselesaikan. Dari model-model Self regulated learning

yang konstruktivisme ini penulis menggambarkan beberapa model-model teoritis

pembelajaran regulasi diri yang memberikan petunjuk para pembaca khususnya para

peneliti dan para pendidik, peran penting dalam pengembangan kompetensi belajar

sepanjang hayat dengan harapan bisa membantu siswa membuat suatu kebiasaan

dalam belajar yang baik, memperkuat kemampuan belajar dan menerapkan strategi

pembelajaran dalam meningkatkan hasil akademik, memantau perkembangan prestasi

dan mengevaluasi kemajuan akademik para siswa.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik

dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini

dapat memberi maanfaat bagi para peneliti, guru atau pendidik, para pembaca dan

bagi semua pihak yang membutuhkan.

Tegal, Mei 2019

Dr. Rahmad Agung Nugraha, S,Psi, M.Si


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... v

DAFTAR ISI..................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii

BAB I Pendahuluan.................................................................................... 1

BAB II Self Regulated Learning Secara Umum......................................... 5

BAB III Model Fungsi Eksekutif Pengaturan Diri....................................... 12

A. Model Fungsi Eksekutif............................................................. 12

B. Fungsi Eksekutif dan Prestasi Akademik................................... 14

BAB IV Model Metakognisi Pengaturan Diri.............................................. 19

A. Definisi Metakognisi ............................................................... 19


B. Model Metakognisi................................................................... 30
C. Metakognisi dan Prestasi Akademik......................................... 34

BAB V Model Kognitif Sosial Pengaturan Diri.......................................... 40

BAB VI Model Manajemen Waktu Dari Regulasi Diri................................ 53

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 56


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1. Model Formal Pemantauan Metakognitif Flavell, J. H. (1979).................27


1

BAB I

PENDAHULUAN

Cara seseorang dalam mengatur proses kognitifnya telah menjadi fokus dan

isu bagi para peneliti psikologi pendidikan. Self regulated learning atau

pembelajaran regulasi diri telah mengalami suatu perubahan yang sangat besar,

regulasi diri dianggap memainkan peran penting dalam pengembangan kompetensi

belajar sepanjang hayat yang membantu siswa membuat suatu kebiasaan dalam

belajar yang baik, memperkuat kemampuan belajar dan menerapkan strategi

pembelajaran dalam meningkatkan hasil akademik, memantau perkembangan prestasi

dan mengevaluasi kemajuan akademik siswa.

Perkembangan regulasi diri bisa dilihat dari perkembangan manusia sejak

lahir dan tahapan perkembangan individu berikutnya. Ada dua periode

perkembangan yang jelas di mana keterampilan pengaturan diri meningkat secara

dramatis karena mendasari perubahan neurobiologis. Periode perkembangan tersebut

adalah periode pada anak usia dini dan periode masa remaja. Pada dua periode

perkembangan inilah merupakan masa yang menunjukkan peluang tertentu untuk

diintervensi (Office of Planning, Research and Evaluation Administration for

Children and Families U.S. Department of Health and Human Services, 2015).

Kondisi pendidikan di Indonesia selama ini berdasarkan pada pemetaan The

Learning Curve Pearson tentang akses dan mutu pendidikan dan laporan dari
2

beberapa studi internasional tentang kualitas pendidikan di Indonesia yang masih

rendah dan tertinggal dengan negara lain menjadikan keprihatinan dan perhatian

yang serius. Faktor utama yang menghambat daya saing Indonesia, salah satunya

adalah kualitas dan kuantitas SDM yang belum meningkat, Hal ini dipengaruhi oleh

beberapa hal, diantaranya pendidikan di Indonesia dengan pertumbuhan populasi

yang tidak merata (Asean Productivity Organization, 2015).

Self regulated Learning merupakan suatu proses sosial dimana individu

merefleksikan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan lingkungan dengan cara

yang memungkinkan mereka untuk memenuhi tuntutan situasional (Zimmerman &

Schunk 2011;Vassallo, 2012). Ada beberapa domain dan alasan pengembangan

kemampuan berdasarkan regulasi diri. Self regulated Learning mengacu pada

proses yang digunakan siswa secara sistematis untuk memfokuskan pikiran,

perasaan, dan tindakan pada pencapaian tujuan (Heum Cho & Heron, 2015). Secara

garis besar, mengacu pada pembelajaran yang dipandu dengan metakognisi (berpikir

tentang pemikiran seseorang), aksi strategis (perencanaan, monitoring, dan evaluasi

kemajuan pribadi terhadap standar, dan motivasi belajar (Burman & Shankar, 2015).

Aktivitas regulasi diri yang dilaksanakan secara teratur, sangat penting bagi

kesehatan fisik dan psikologis yang optimal (Buckley, dkk., 2014). Kantor

Perencanaan, Penelitian dan Evaluasi, Administrasi untuk Anak dan Keluarga,

Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat menyatakan ada

beberapa prinsip utama yang terangkum dalam konteks pengembangan regulasi diri.

Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :


3

Pertama, regulasi diri berfungsi sebagai landasan berfungsinya seseorang

selama sepanjang hayat di berbagai domain, baik kesehatan mental, kesejahteraan

emosional, prestasi akademik, kesehatan fisik, dan keberhasilan sosial ekonomi. Hal

ini membuktikan sebagai respons terhadap kendala-kendala yang ada, sehingga

menjadi sasaran yang kuat untuk melakukan perubahan.

Kedua, Perspektif regulasi diri mendefinisikan sebagai tindakan pengelolaan

kognisi dan emosi untuk mengaktifkan tindakan yang diarahkan pada tujuan seperti

mengatur perilaku, mengendalikan impuls, dan memecahkan masalah secara

konstruktif.

Ketiga, Regulasi diri dipengaruhi oleh kombinasi faktor individu dan

eksternal termasuk kondisi fisik, keterampilan, motivasi, dukungan pengasuhan, dan

konteks lingkungan. Faktor-faktor ini berinteraksi satu sama lain untuk mendukung

regulasi diri dan menciptakan peluang tindakan.

Ke-empat, Pengaturan diri dapat diperkuat untuk mengajar, dengan fokus

pada perhatian, dukungan, dan kesempatan praktek yang disediakan di seluruh

konteks. Keterampilan yang tidak dikembangkan sejak dini dapat diperoleh

kemudian, dengan beberapa peluang tindakan.

Ke-lima, Pengembangan regulasi diri tergantung pada kerja sama

pengaturan yang diberikan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya melalui

interaksi yang hangat dan responsif di mana dukungan, pembinaan, dan pemodelan

disediakan untuk memfasilitasi kemampuan seorang anak untuk memahami,

mengungkapkan, dan memodulasi pikiran, perasaan, dan perilaku mereka.


4

Ke-enam, regulasi diri dapat terganggu dengan adanya stres yang

berkepanjangan, kesulitan (kemiskinan) dan pengalaman traumatis. Penggelolan

stres dapat membentuk keterampilan dalam menguasai keterampilan stres maupun

dukungan terhadap anak-anak yang dapat membuat efek serta menghasilkan

perubahan jangka yang panjang dalam neurobiologi.

Sejumlah minat yang besar tentang regulasi diri yang ada sekarang ini

terdapat batasan-batasan konsep yang mengemuka namun tetap saja kabur. Self

regulated learning dapat merujuk pada kognitif, emosional, atau kontrol perilaku,

termasuk strategi metakognitif, pemahaman pemantauan, strategi, pengaturan usaha,

ketekunan, strategi perilaku, kontrol diri. Terjadinya tumpang tindih yang signifikan

dengan banyaknya konstruks yang lainnya dalam proses psikologis sangat diyakini

terlibat dalam regulasi diri (Rosen, dkk., 2010).


5

BAB II

Self Regulated Learning Secara Umum

Penekanan pada Self regulated Learning dalam pendidikan dimulai sebagai

hasil dari penelitian yang berorientasi pada perilaku (Ekeke, & Telu, 2015). Banyak

perubahan dalam konsep psikologi pendidikan dalam tiga dekade terakhir ini

sehingga Self regulated Learning telah menjadi fokus utama dalam penelitian.

Terdapat beberapa kesamaan yang muncul dari konsep teoritis yang berbeda yang ada

pada Self regulated Learning (Tavakolizadeha, dkk., 2011).

Dari awal munculnya istilah Self regulated Learning menjadi pembicaraan

yang cukup menarik di kalangan psikolog pendidikan, hal ini dikarenakan

menekankan tanggung jawab siswa dalam belajar. Baumeister & Vohs (2013)

menjelaskan bahwa pengaturan diri sebagai kemampuan untuk :

• mencapai, mempertahankan, dan mengubah tingkat energi seseorang untuk

menyesuaikan tuntutan tugas atau situasi;

• memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi emosi ;

• mempertahankan dan mengalihkan perhatian seseorang ketika diperlukan dan

mengabaikan suatu gangguan;


6

• memahami cara interaksi sosial dan keterlibatan bagaimana terhubung dengan

kepedulian apa yang dipikirkan orang lain dan sesuai perasaan berempati dan

bertindak.

Boekaerts & Corno menyatakan bahwa Self regulated Learning dipandang

sebagai aktivitas konstruktif kognitif individu yang mencakup interaksi antara

strategi kognitif, metakognisi dan motivasi. Namun, Self regulated Learning

dipandang sebagai hal yang statis, disposisi individu, kemandirian dari konteks

pembelajaran (Malmberg, 2014). Selanjutnya Malmberg menyebutkan bahwa,

beberapa penelitian terakhir telah membuktikan bahwa Self regulated Learning

tidak bertahan lebih dari situasi belajar yang berbeda, bahkan topik yang berbeda.

Selama dua dekade terakhir, sebuah penelitian empiris dan pengembangan teoritis

model self regulated learning telah meningkatkan pemahaman kita tentang apa yang

menjadi ciri khas self regulated learning .

Perbedaan individu dan kelompok dalam self regulated learning berkaitan

dengan tingkat prestasi pada siswa (Pintrich & Schunk, 2002). Zimmerman dan

Labuhn (2012) mengemukakan bahwa siswa yang mampu mengatur diri sendiri

mampu:

(a) menghasilkan strategi metakognitif yang tepat,

(b) mengembangkan motif efikasi diri yang positif, dan

(c) memodifikasi tindakan yang tidak efektif untuk mencapai tujuan

pembelajarannya.
7

Wolters, dkk. (2003) menyatakan bahwa, semua model self regulated

learning, merupakan asumsi bahwa peserta didik dapat berpotensi untuk memantau,

mengendalikan, dan mengatur aspek-aspek tertentu dari kognisi, motivasi, dan

perilakunya serta beberapa hal mengenai lingkungannya.

Ada tiga fokus dalam self regulated learning

1. Fokus pertama dalam self regulated learning dan prestasi akademik

telah menyoroti proses kognitif, seperti keterampilan metakognitif

siswa sebagai prediktor fungsi eksekutif prestasi akademik.

2. Fokus yang kedua pada proses regulasi diri yang paling umum

bersifat memotivasi yaitu efikasi diri (self-efficacy).

3. Fokus yang ketiga dalam pengaturan diri adalah penggunaan strategi

belajar siswa, seperti manajemen waktu. Pada gilirannya,

pemahaman tentang mekanisme dan faktor-faktor yang mendasari

prestasi akademik dapat digunakan untuk memperkaya pendekatan

bimbingan belajar bagi siswa yang kurang berprestasi sehingga

memunculnya beberapa implikasi pendidikan dengan mempraktikkan

dikelas.

Penelitian-penelitian sekarang ini, mempunyai asumsi bahwa fungsi

eksekutif (kemampuan eksekusi) siswa, strategi metakognitif, manajemen waktu, dan

efikasi diri akademik merupakan komponen kunci dari proses self regulated

learning yang berkontribusi pada pemahaman tentang perbedaan antara siswa

berprestasi dan siswa yang tidak berprestasi walaupun ada tumpang tindih di antara
8

komponen tersebut. Strategi metakognitif merupakan keterlibatan kognitif saat siswa

terlibat dalam kegiatan akademik dan menjadi fokus dari beberapa peneliti yang

menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif merupakan kesadaran siswa dalam

mengontrol proses kognitif. Fungsi eksekutif/kemampuan eksekusi dapat

didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan serangkain penyelesaian

masalah yang tepat untuk pencapaian tujuan masa depan, memainkan peran penting

dalam proses pembelajaran. Selain fungsi metakognisi dan fungsi eksekutif siswa,

efikasi diri akademik yang dirasakan oleh siswa merupakan variabel motivasi yang

penting dalam prestasi akademik.

Manajemen waktu dalam belajar adalah salah satu strategi penelitian perilaku

yang meningkatkan prestasi dalam tugas yang dihadapi, dan dapat digeneralisasi di

luar konteks pembelajaran (Zimmerman & Schunk, 2011). Berdasarkan penelitian

sebelumnya, manajemen waktu merupakan proses self regulated learning kaitannya

dengan prestasi akademik (Zulauf & Gortner, 1999). Penggunaan perencanaan dan

manajemen waktu membantu siswa untuk mengatur dirinya lebih baik dalam

penggunaan waktu belajarnya .

Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa strategi metakognitif

dipandang sebagai strategi yang diadopsi oleh siswa dalam situasi, seperti:

(a) pemantauan, atau monitoring

(b) mengetahui apa yang mereka ketahui terkait dengan tugas akademik,

(c) mengetahui prosedural, dan

(d) pengetahuan deklaratif siswa


9

Konstruksi neuropsikologis fungsi eksekutif melibatkan proses kognitif yang

mirip dengan metakognisi, seperti perencanaan dan pemantauan diri, akan tetapi

dalam literatur psikologis adanya tumpang tindih konseptual antara faktor-faktor

metakognisi, fungsi eksekutif, dan manajemen waktu.

Hanten, dkk. (2000) membahas fungsi eksekutif dan metakognisi sebagai hal

yang hampir sama. Poin lain yang menjadi tumpang tindih antara metakognisi dan

fungsi eksekutif adalah hubungannya dalam proses pengaturan diri. Ini terbukti dalam

model metakognisi Borkowski (1996), yang menyarankan bahwa metakognisi

merupakan salah satu komponen kunci dari regulasi diri. Borkowski berpendapat

bahwa kunci pengaturan diri adalah fungsi eksekutif dan menyatakan bahwa

keterampilan metakognitif didorong oleh fungsi eksekutif. Barkley (1996)

mengusulkan bahwa fungsi eksekutif dan metakognisi digunakan secara bergantian

dalam psikologi kognitif dan psikologi perkembangan.

Dilihat dari Manajemen waktu, beberapa proses seperti tujuan mengatur,

perencanaan, dan penjadwalan memungkinkan adanya tumpang tindih dengan kedua

fungsi eksekutif dan metakognisi. Dengan demikian fungsi eksekutif, strategi

metakognitif, manajemen waktu, dan efikasi diri (self-efficacy) masing-masing dapat

menjelaskan perbedaan antara siswa yang kurang berprestasi dengan siswa yang

berprestasi. Menurut Zimmerman (1989), siswa dapat mengatur dirinya sendiri jika

metakognitif, motivasi, dan perilaku aktif dalam proses belajarnya. Siswa tersebut

memulai dan mengarahkan usahanya untuk memperoleh pengetahuan dan

keterampilan daripada mengandalkan guru, orang tua, atau instruksi orang lain. Oleh
10

karena itu, tingkat penggunaan fungsi eksekutif oleh para siswa, strategi metakognitif,

self-efficacy, dan manajemen waktu dapat menjadi indikator kegiatan siswa dalam

konteks akademik.

Penelitian terbaru mengatakan bahwa salah satu kunci untuk keberhasilan

siswa adalah regulasi diri, yaitu kemampuan untuk memonitor dan memodifikasi

emosi, fokus atau mengalihkan perhatian, untuk mengendalikan impuls, untuk

mentolerir frustrasi atau menunda kepuasan / delayed gratification (Shankar, 2012).

Siswa dapat belajar dan berkembang di sekolah dengan komunitasnya.

Adanya dukungan sosial siswa baik dari guru, orang tua dan teman sebaya dirasa

sangat penting dalam pembelajaran dan perkembangan siswa yang sehat. Kerja sama

guru dan orang dewasa sangatlah mendukung dalam menumbuhkan regulasi diri

pada siswa untuk merubah hidup dan membangun kelanjutan masyarakat yang lebih

baik dan lebih sehat, untuk itu pentingnya menciptakan lingkungan pembelajaran

regulasi diri. self regulated learning merambah ke dunia psikoneurosains yang

mengintegrasikan wawasan dari ilmu saraf, kesehatan, pendidikan dan psikologi

perkembangan (Shankar, 2012)

Beberapa penelitian di psikologi pendidikan telah difokuskan pada hubungan

pemahaman antara self regulated learning dengan stres dalam belajar, tingkat

kecemasan, kompetensi, ancaman dalam bentuk evaluasi (Kadzikavska, & Wrzosek,

2012). Siswa yang memiliki masalah dengan regulasi diri cenderung mengalami

hasil belajar yang lebih negatif dan siswa tersebut mengalami penundaan kepuasaan

yang lebih tinggi dan rendahnya efikasi diri (Strunk, & Steele, 2011). Penelitian ini
11

menunjukkan bahwa siswa yang memiliki regulasi diri yang rendah juga cenderung

memiliki efikasi diri yang rendah dan terlibat dalam penundaan dan kendala pada

prestasi akademik (Sitzmann & Ely, 2011; Strunk, & Steele, 2011). Regulasi

diri mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi, perilaku, dan

kognisi. Regulasi diri mencakup keterampilan regulasi emosional yaitu kemampuan

emosi melalui strategi kognitif dan perilaku dan keterampilan fungsi eksekutif yaitu

bekerjanya memori, penghambat kontrol dan fleksibilitas kognitif. Komponen-

komponen regulasi diri ini bersama-sama bekerja dan telah terbukti untuk

memprediksi kesiapan sekolah dan prestasi akademik. Banyaknya

penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kesulitan mengatur

emosi dan perilaku memiliki prestasi akademik yang kurang dalam menerima

instruksi dan kurang terlibat dalam pembelajaran (Lawrence, 2015)

Beberapa penulis seperti Garner (2009) dan Zimmerman, (2000) menyatakan

bahwa dalam bidang psikologi pendidikan telah banyak diskusi tentang konstruk

fungsi eksekutif, strategi metakognitif, manajemen waktu dan efikasi diri (self-

efficacy) dalam proses self regulated learning. Dari banyaknya definisi dan model

Self regulated learning secara umum dan bersifat konstruktivisme maka dapat

simpulkankan bahwa Self regulated learning merupakan domain pengaturan diri

siswa sebagai agen dalam mencapai kepercayaan motivasi (motivational belief)

yaitu perasaan efikasi diri akademik (academic self efficacy) yang tetap terpelihara.

Dari kesimpulan mengenai self regulated learning tersebut, Dalam

perkembangan literatur psikologi pendidikan, self regulated learning terkait dengan


12

pemberdayaan, lembaga, dan partisipasi demokratis literasi dimana seseorang dalam

pembelajaran yang dipandu dengan metakognisi (berpikir tentang pemikiran

seseorang), aksi strategis (perencanaan, monitoring, dan evaluasi kemajuan pribadi

terhadap standar, dan motivasi belajar.


13

BAB III

Model Fungsi Eksekutif Pengaturan Diri

A. Model Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif atau sering disebut sebagai kontrol kognitif merupakan

serangkaian proses kognitif yang diperlukan untuk kontrol kognitif perilaku, memilih

dan memonitor keberhasilan perilaku yang memfasilitasi pencapaian tujuan yang

dipilih. Fungsi eksekutif meliputi proses kognitif dasar seperti kontrol

atensi, hambatan kognitif , hambatan pengendalian diri , working memory ,

dan fleksibilitas kognitif. Fungsi eksekutif tingkat tinggi memerlukan penggunaan

simultan dari berbagai fungsi eksekutif dasar dan

termasuk perencanaan dan pemecahan masalah (Diamond, 2013 ).

Fungsi eksekutif dan pengaturan diri merupakan proses mental yang

memungkinkan seseorang untuk merencanakan, memusatkan perhatian, mengingat

instruksi, dan membantu banyak tugas dengan baik. Banyak peneliti seperti Garner

(2009), Hofmann, dkk., (2012) berpendapat dan berdiskusi tentang fungsi eksekutif

dalam self regulated learning sehingga memunculkan berbagai perspektif

bagaimana seharusnya fungsi eksekutif dioperasionalkan berkaitan dengan self

regulated learning (Garner, 2009). Hofmann dkk., (2012) menyatakan bahwa fungsi
14

eksekutif (EF) merupakan mekanisme yang penting dalam pengaturan diri, Fungsi

eksekutif memberikan empat asumsi:

1. Pertama, tiga aspek luas fungsi eksekutif (EF) yaitu memperbarui, menghambat,

mengalihkan, mengubah atau mendukung mekanisme tujuan dari self regulated

learning.

2. Kedua, fungsi eksekutif (EF) seperti working memory, secara umum dipandang

sebagai konsep terbaru tentang kognitif yang terlibat dalam proses regulasi

seperti pengalaman emosional yang diinginkan maupun tidak diinginkan.

3. Ketiga, fungsi eksekutif (EF) sebagai mekanisme penting faktor risiko

situasional yang berkontribusi terhadap kegagalan dalam regulasi diri.

4. Keempat, fungsi eksekutif (EF) dapat dilatih, setidaknya sampai pada taraf

tertentu, atau mengalami peningkatan yang dapat diartikan menjadi perilaku

pengaturan diri yang lebih baik.

Dengan demikian, self regulated learning dapat menjadi domain terapan

dari fungsi eksekutif. Dalam konteks hubungan antara fungsi eksekutif dan self

regulated learning , Garner (2009) mengemukakan bahwa self regulated learning

dan fungsi eksekutif dapat dipandang sebagai kelompok konstruksi yang tumpang

tindih dan terpisah, di mana konstruk self regulated learning dapat diharapkan

berkorelasi dengan komponen fungsi eksekutif. Jika hal ini terjadi, fungsi eksekutif

dipandang sebagai kerangka teoritis, dan itu relevan untuk para peneliti yang

mempelajari basis pembelajaran neuropsikologis; sedangkan, self-regulated learning

yang menyoroti proses fungsi eksekutif tentu saja terlibat dalam self regulated
15

learning terapan (Harris, dkk., 2012). Jadi, dalam penerapan fungsi eksekutif untuk

konteks terapan self-regulated learning merupakan hal yang baru sedangkan

metakognisi secara umum telah dipahami sebagai proses kognitif dalam konstruksi

regulasi diri yang lebih luas (Efklides, 2006).

B. Fungsi Eksekutif dan Prestasi Akademik

Garner (2009) menyatakan bahwa fungsi eksekutif adalah proses

neurokognitif yang diarahkan pada tujuan yang memungkinkan mengontrol dan

mengkoordinasi kognisi dan perilaku. Penggunaan fungsi-fungsi ini memfasilitasi

penetapan tujuan, di mana, respon individu yang tidak pantas dihambat atau dialihkan

secara umum, melibatkan perilaku yang terencana, fleksibel, berorientasi pada masa

depan (Alvarez & Emory, 2006). Beberapa atribut utama tentang keterampilan-

ketrampilan telah diidentifikasi dalam definisi fungsi eksekutif, yaitu :

(a) perencanaan,

(b) organisasi,

(c) penghambatan,

(d) pemantauan, dan

(e) pengalihan (Barkley, 2001; Perner & Lang, 2000)

Perencanaan mengacu pada kemampuan internal yang mewakili hubungan

antara perilaku saat ini dan hasil akan masa depan, serta kapasitas untuk

merencanakan, yang memungkinkan individu untuk menetapkan dan

mempertahankan suatu tujuan (Barkley, 2001). Penggunaan perencanaan jangka

pendek dan jangka panjang dapat memfasilitasi keberhasilan akademik untuk


16

meningkatkan prioritas tugas belajar misalnya perencanaan jangka pendek dan

memilih jurusan, keputusan akan kelulusan ( Garner, 2009)

Organisasi kognitif adalah komponen kunci kedua dari fungsi eksekutif.

Adanya suatu keterampilan mengorganisasi memungkinkan individu untuk: (a)

mengendalikan perhatian dan content working memory ; dan (b) menentukan

prioritas, mengatur waktu secara efektif, dan melacak tugas. Menurut Mayer (1991),

penggunaan proses tersebut meningkatkan kesuksesan di dalam kelas.

Penghambatan atau pengalihan merupakan komponen kunci ketiga dari

fungsi eksekutif yang memungkinkan individu untuk mengontrol dan menghambat

respon yang tidak perlu (Garner, 2009). Jika impuls tidak dihambat, sulit bagi

seseorang untuk mengendalikan emosinya, terutama ketika frustrasi, yang dapat

mengarah pada:

(a) pengambilan keputusan yang buruk,

(b) tugas yang belum selesai, dan

(c) gangguan hubungan sosial.

Penghambatan yang buruk Juga berkaitan dengan prestasi akademis yang

buruk (Zentall, 2005), dan ini sebagai manisfestasi tanggapan yang tidak sesuai

untuk pertanyaan atau pengambilan keputusan yang buruk terkait praktik akademik.

Akhirnya, penggunaan penghambatan memungkinkan individu untuk mengadopsi

pemikiran dan perilaku yang fleksibel (Latzman , dkk., 2010).

Pengalihan atau pergeseran menurut Monsell (1996), adalah kemampuan

untuk berubah antara banyak tugas, mental, atau operasi, ini disebut sebagai peralihan
17

perhatian. Kemampuan ini telah diuji dalam konteks prestasi pada pasien yang

mengalami kerusakan otak secara umum di laboratorium yang dirancang khusus, di

mana individu tidak dapat beralih di antara tugas-tugas (Monsell, 1996). Kemampuan

untuk bergeser diperlukan untuk banyak tugas akademik, sehingga individu dapat

berhasil memperbarui informasi dan mengubah prosedur.

Blair (2002) meneliti hubungan antara aspek fungsi eksekutif dan prestasi

akademik pada kelompok umur yang berbeda. Keterampilan yang berkorelasi dengan

kemampuan berprestasi baik secara akademis sangat tergantung pada kemampuan

fungsi eksekutif. Mercer (2005) meneliti fungsi eksekutif dalam hubungannya dengan

keterampilan menulis, , memori kerja, dan produksi teks, yang saling berkaitan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa fungsi eksekutif mempunyai kontribusi dalam

prestasi menulis. Fokus penelitian Mercer (2005) pada siswa yang tidak terdiagnosis /

tipikal untuk menguji kontribusi fungsi eksekutif terhadap aspek prestasi akademik

misalnya, Ekspresi dalam tulisan.

Untuk siswa remaja, hubungan antara fungsi eksekutif dan prestasi

akademik masih terbatas. selain aspek fungsi eksekutif, metakognisi adalah

komponen lain yang dianggap berkontribusi terhadap kompetensi siswa dalam

pencapaian akademik. Dalam argumen teoretis yang membahas adanya tumpang

tindih antara fungsi eksekutif dan metakognisi serta model teoretis, metakognisi dapat

beroperasi sebagai proses pengaturan yang memantau dan mengontrol proses kognitif

yang lebih mendasar (Hanten, dkk., 2000; Nelson & Narens, 1990). Selain itu, bukti

dari penelitian neuroimaging menunjukkan bahwa kedua proses berbagi elemen saraf
18

umum di lobus frontal (Chiou, 2009). Karena kesamaan teoretis dan fisiologis ini,

telah dihipotesiskan bahwa kedua proses tersebut mungkin saling berkaitan.


19

BAB IV

Model Metakognisi Pengaturan Diri

A. Definisi Metakognisi
Metakognisi adalah sebuah konsep yang telah digunakan untuk merujuk

kepada berbagai epistemologis proses. "Metakognisi" pada dasarnya berarti kognisi

tentang kognisi, yaitu, mengacu pada kognisi urutan kedua: pikiran tentang pikiran,

pengetahuan tentang pengetahuan atau refleksi tentang tindakan. Jadi jika kognisi

melibatkan mengamati, memahami, mengingat, dan aktivitas lainnya, maka individu

tersebut mengamati dirinya sendiri, mengerti akan dirinya dan selalu mengingat.

kognisi tentang kognisi dapat diberi label sebagai metaperception,

metacomprehension dan Metamemory dengan metakognisi sebagai superordinat.

(Eleonora Papaleontiou-Louca,2008)

Metakognisi awalnya disebut sebagai pengetahuan tentang dan kegiatan

regulasi kognitif seseorang dalam proses pembelajaran (Veenman V. J. dkk, 2006).

Istilah metakognitif pertama kalinya diperkenalkan oleh J.H Flavell (1976) yang

mengartikan metacognition sebagai knowing about knowing (pengetahuan tentang

pengetahuan). Flavell (1971) menggunakan istilah metamemory berkenaan

dengan kemampuan individu untuk mengelola dan memantau masukan,

penyimpanan, pencarian dan pengambilan isi memorinya. Flavell juga

menyatakan bahwa metakognisi terdiri dari kedua aspek yaitu monitoring dan
20

regulasi sehingga metakognisi didefinikan sebagai berikut:

In any kind of cognitive transaction with the human or non-


human environment, a variety of information processing activities
may go on. Metacognition refers, among other things, to the
active monitoring and consequent regulation and orchestration of
these processes in relation to the cognitive objects or data on which
they bear, usually in service of some concrete goal or objective.
(1976:.232).

Pengertian metakognisi juga dikemukakan oleh Hacker (2003) yang

mendefinisikan :

“ Metacognition is include the knowledge of one's own cognitive


andaffective processes and states as well as the ability to
consciously anddeliberately monitor and regulate those processes and
states.”

Margaret W.Matlin (1994) mendefinisikan metakognitif sebagai :


“knowledge and awareness about cognitive process-or out
thoughts about thinking, Metaconition is an intriguing process
because we use our cognitiveprocesses to contemplate our
cognitive processes. Metacognition is important because our
knowledgeabout our cognitive processes can guide in arranging
circumstances and selecting strategies to improve future cognitive
performance.”

Sedangkan Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking

about thinking atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi, menurut Livingstone

Metakognisi adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya

adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Ada pula beberapa ahli yang

mengartikan metakognisi sebagai thinking about thinking,, learning to think, learning

to study, learning how to learn, learnig to learn, learning about learning (NSIN

Research Matters No. 13, 2001).


21

William Peirce mendefinisikan metakognisi secara umum dan secara khusus.

Menurut Peirce (2003), secara umum metakognisi adalah berpikir tentang berpikir.

Sedangkan secara khusus, dia mengutip definisi metakognisi yang dibuat oleh Taylor,

yaitu :

“an appreciation of what one already knows, together with a correct


apprehension of the learning task and what knowledge and skills it
requires, combined with the ability to make correct inferences about
how to apply one’s strategic knowledge to a particular situation, and
to do so efficiently and reliably.” (Peirce, 2003).

Moore (1982) mendefinisikan sebagai pengetahuan individu mengenai

berbagai aspek berpikir dan juga menggambarkan sebagai kemampuan individu untuk

menyesuaikan kognitifnya untuk meningkatkan pemahaman yang lebih efektif.

Dalam review terbaru dari Flavell (2000), Flavel membagi teori metakognitif dalam

dua bidang penelitian yaitu pengetahuan dan proses. Metakognitif pengetahuan

termasuk pemahaman tentang bagaimana pikiran bekerja secara umum dan

bagaimana pikiran bekerja secara khusus. Proses perencanaan, pemantauan, dan

mengatur pikiran secara umum dikenal sebagai proses eksekutif, yang

melibatkan interaksi dari dua tingkat: tingkatan pertama adalah kreatif,

asosiatif, menjelajah pikiran dan tingkatan kedua adalah eksekutif, mencoba untuk

tetap pada tugas (Eleonora Papaleontiou-Louca,2008).

Meichenbaum mendefinisikan metakognisi mengacu pada kesadaran

seseorang akan pengetahuannya, apa yang akan dilakukan serta ketidaktahuanya

akan kemampuannya untuk memahami, mengendalikan, dan memanipulasi suatu


22

proses kognitif (Teaching Exellence in Adult Literacy No.4,2010) .

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa metakognitif adalah

pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognitif, atau pengetahuan tentang pikiran

dan cara kerjanya. Metakognitif merupakan suatu proses menggugah rasa ingin

tahu karena menggunakan proses kognitif untuk merenungkan proses kognitif.

Metakognitif memiliki arti penting dalam sebuah proses pembelajaran, karena

pengetahuan tentang proses kognitif dapat memandu dalam menata suasana

dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif di masa yang

akan datang.

Flavell (1976) mengidentifikasikan bahwa anak- anak secara bertahap akan

memperoleh, menyimpan dan mengambil informasi, tahapan-tahapan itu terdiri

dari:

(a) Anak belajar untuk mengidentifikasi situasi dengan secara sadar

menyimpan informasi tertentu yang dapat digunakan pada waktu yang

akan datang.

(b) anak belajar untuk menjaga informasi yang diperolehnya saat ini yang

mungkin berkaitan dengan pemecahan masalah sesuai kebutuhannya,

dan

(c) anak belajar bagaimana membuat pencarian informasi secara

sistematis yang dapat membantunya dalam memecahkan masalah,

bahkan ketika kebutuhan untuk itu belum diramalkan.

Selanjutnya, Flavell memberikan empat model formal pemantauan


23

metakognitif dengan memasukkan empat bagian yang meliputi

(a) pengetahuan metakognitif,

(b) pengalaman metakognitif,

(c) tugas-tugas atau tujuan, dan

(d) strategi atau kegiatan.

(Model metakognitif Flavell dapat dilihat pada gambar 4.1).

Menurut Flavell (1976), pengetahuan kognitif secara umum dapat

dibedakan menjadi tiga variabel, yaitu:

a) Variabel Individu yang mencakup pengetahuan tentang persons,

manusia(diri sendiri dan juga orang lain) yang berarti bahwa manusia

memiliki keterbatasan dalam jumlah informasi yang dapat diproses. Dalam

variabel ini tercakup pula pengetahuan kita tentang kelemahan dan

kekuatan diri dalam suatu bidang.

b) Variabel tugas yang mencakup pengetahuan tentang tugas-tugas yang

mengandung arti bahwa beberapa kondisi sering menyebabkan kita lebih

sulit atau lebih mudah memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan

suatu tugas.

c) Variabel strategi yang mencakup pengetahuan tentang bagaimana

melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi kesulitan. Variabel ini

mengandung wawasan seperti ; beberapa langkah kognitif akan menolong

menyelesaikan sejumlah besar tugas kognitif (mengingat,

mengomunikasikan, membaca, dan lain sebagainya) akan tetapi beberapa


24

strategi akan membantu menyelesaikan beberapa tugas yang lebih baik

daripada tugas-tugas yang lainnya.

Flavell (1987) menguraikan beberapa aspek teori yang diusulkan pada tahun

1979. Dalam kategori pengetahuan metakognitif, Flavell menyarankan subkategori

variabel ; Flavell mendefinisikan variabel intra-individu seperti pengetahuan atau

keyakinan tentang kepentingan, kecenderungan, bakat, kemampuan, dan

sejenisnya, dari diri sendiri atau orang lain. variabel Inter - individu memberikan

perbandingan antara diri dan orang lain dengan cara relativistik. Kesepakatan

subkategori universal dengan generalisasi sebuah bentuk pengetahuan orang

tentang belajar dan peserta didik secara umum. Flavell menggarisbawahi

pentingnya pengaruh budaya pada pembentukan keyakinan tentang belajar.

Flavell (1987) menawarkan deskripsi tambahan variabel tugas,

mencerminkan bahwa individu belajar tentang implikasi bahwa berbagai tugas

memiliki ciri masing-masing. Pengalaman pribadi membangun serangkaian

harapan tentang tugas-tugas yang sulit dan berat. Berbagai tugas memerlukan

berbagai strategi pengolahan dan tuntutan yang berbeda pada individu. Variabel

Strategi yang saling berhubungan dengan tujuan individu dan tujuan dalam

pembelajaran (Flavell, 1987).

Penting untuk membedakan antara strategi kognitif, seperti menjumlahkan

kolom angka, dan strategi metakognitif, seperti mengevaluasi apakah jawaban

yang benar telah diperoleh. Pengalaman metakognitif, menurut Flavell (1979)

adalah tentang fenomena termasuk tanggapan internal subyektif dari seorang individu
25

untuk pengetahuan, tujuan, atau strategi metakognitifnya sendiri . Pengalaman ini

dapat memberikan umpan balik internal tentang kemajuan saat ini, harapan akan

masa depan, tingkat pemahaman, dan menghubungkan informasi baru dengan yang

lama. Tugas baru yang sulit dilakukan di bawah tekanan cenderung

mempengaruhi hubungan pengalaman metakognitif.

Menurut Flavell (1979) pengalaman metakognitif bisa menjadi proses

kesadaran informasi, memori atau pengalaman mengiingat sebagai sumber dalam

proses pemecahan masalah kognitif. Pengalaman metakognitif juga mencakup

respon afektif terhadap tugas. kesuksesan atau kegagalan, frustrasi atau kepuasan, dan

banyak efek tanggapan lainnya terhadap tahapan pelaksanaan tugas bagi individu

yang mungkin sebenarnya akan menentukan minatnya atau keinginan untuk

mengejar tugas-tugas serupa di masa yang akan datang.

Flavell (1987) menklarifikasikan pada pengalaman metakognitif jangka

panjang. Ia mendefinisikan pengalaman metakognitif sebagai kesadaran afektif atau

kognitif yang relevan dengan proses berpikir seseorang. Dia menggambarkan

berbagai contoh seperti perasaan bahwa seseorang tidak memahami sesuatu,

merasakan sesuatu yang sulit atau mudah diingat, memecahkan, atau memahami,

dan merasa bahwa seseorang mendekati atau gagal untuk mendekati tujuan

kognitif. Pengalaman metakognitif muncul ketika mereka secara eksplisit dituntut

oleh situasi, seperti ketika seseorang ditanya mengapa ia memilih jawaban

tertentu atau cara tertentu melakukan sesuatu. Situasi yang berbeda yang baru dikenal

serta harapan yang menghasilkan pengalaman metakognitif. Situasi memiliki


26

konsekuensi yang penting yang dapat merangsang dengan kuat pengalaman

metakognitif . Jika hasilnya sangat penting, individu cenderung untuk memantau

penilaian dan pengambilan keputusan lebih hati-hati. Konflik dan paradoks juga

memicu pengalaman metakognitif. Menyadari inkonsistensi, perbedaan cenderung

menghasilkan respon afektif yang kuat. Pengalaman subyektif lebih kearah

emosional pengalaman metakognitif yang lebih kuat.

Tujuan dan tugas-tugas metakognitif adalah hasil yang diinginkan atau

tujuan dari sebuah usaha kognitif. Tujuan dan tugas meliputi pemahaman akan tugas

dan menghasilkan target tujuan yang meningkatkan pengetahuan seseorang

tentang sesuatu. Pencapaian tujuan pengetahuan dan pengalaman metakognitif

sangat menarik untuk penyelesaian masalah yang sukses (Flavell, 1979).

Strategi metakognitif dirancang untuk memantau perkembangan kognitif

dan mengontrol aktivitas kognitifnya untuk memastikan bahwa tujuan kognitif

telah terpenuhi. Seseorang dengan keterampilan metakognitif dan kesadaran

metakognitif yang baik digunakan untuk mengawasi proses belajarnya,

merencanakan dan memantau kegiatan kognitif yang sedang berlangsung, dan

untuk membandingkan hasil kognitif dengan standar internal maupun eksternal.

Flavell (1979) menunjukkan bahwa strategi tunggal dapat berjalan lebih baik

untuk tujuan kognitif atau metakognitif dan untuk bergerak ke arah tujuan dalam

domain kognitif atau metakognitif. Flavel memberi contoh menanyakan pertanyaan

kepada diri sendiri di akhir unit pembelajaran dengan tujuan meningkatkan

konten pengetahuan, atau untuk memantau pemahaman dan penilaian terhadap


27

pengetahuan baru. Berikut dibawah ini adalah gambar tentang empat kelas

pemantauan metakognitif dari Flavell (1979).

1. Metacognitive knowledge
2. Metacognitive Stared knowledge & belief
Experiences about people as cognitive
creature cognitive tasks, goals,
actions, experiences beliefs
about self as learner & thinker

Consious Consious
Affective cognition Person Task Strategy
experiences
variables variables variables

Cognitive monitoring
(four classes of
metacognitive
phenomena)
adaptep from Flavel
(1979)

3.Tasks & Goals 4.Strategis (Actions)


The actives of cognitive Cognition & other
enterprise & information behaviours employed to
avaluable during a cognitive enterprise achieve goals & tasks

Manner of Delivery
Match strategis & goals
to information avaluable
Pacing

Aboundant of mesenger information

Well or poorly organized

Trustworthy or untrustworthy

Familiar or unfamiliar
Gambar 5.1. Model Formal Pemantauan Metakognitif Flavell, J. H. (1979)
28

Para ahli yang memfokuskan perhatiannya pada metakognisi, seperti John

Flavel (Livington, 1997), menyatakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen,

yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan

monitoring kognitif. Sedang Flavell (Livingston, 1997) mengemukakan bahwa

metakognisi meliputi dua komponen, yaitu pengetahuan metakognisi (metacognitive

knowledge), dan pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or

regulation). Kedua komponen metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan

regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen

sebagai-mana disebutkan berikut ini (OLRC News. 2004)

1) Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition)

Pengetahuan metakognitif terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai

berikut :

a) declarative knowledge,

b) procedural knowledge,

c) conditional knowledge

2) Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition)

Regulasi metakognitif terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan :

a) planning,

b) information management strategies,

c) comprehension monitoring,
29

d) debugging strategies, dan

e) evaluation.

Pengetahuan tentang kognisi adalah pengetahuan tentang hal-hal yang

berhubungan dengan kognisinya, yang mencakup tiga sub komponen.

Komponen pertama, declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri

sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar

yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar.

Komponen kedua, procedural knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana

menggunakan apa saja yang telah diketahui dalam declarative knowledge tersebut

dalam aktivitas belajarnya.

Komponen ketiga, conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana

menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal

tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi

yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada

prosedur-prosedur yang lain.

Regulasi kognisi terdari dari sub komponen-sub komponen sebagai berikut:

1. Planning adalah kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya.

2. Information management strategies, adalah kemampuan strategi

mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan.

3. Comprehension monitoring, merupakan kemampuan dalam memonitor

proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut.

4. Debugging strategies, adalah kemampuan strategi-strategi yang


30

digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam

belajar.

5. Evaluation adalah kemampuan mengevaluasi efektivits strategi

belajarnya, apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah pada

keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut.

B. Model Metakognisi

Borkowski dkk. (1989) memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang

keberhasilan dan kegagalan siswa dalam mengeneralisasi strategi dan telah

mendefinisikan karakteristik yang baik dalam penggunaan strategi atau informasi

prosesor. Menurut definisi ini, keberhasilan integrasi kognitif, motivasi, pribadi dan

komponen situasional mendasari pengolahan informasi yang baik.

Lebih lanjut Borkowski & Thorpe (1994) mengintegrasikan model dalam

proses yang berorientasi metakognisi yang menggambarkan perkembangan regulasi

diri, ada kemiripan sebagai fungsi eksekutif, seperti secara bertahap melanjutkan dari

pembelajaran keterampilan kognitif tingkat yang lebih rendah dan menjadi secara

bertahap terkait dengan keadaan motivasi positif.

Perkembangan regulasi diri dimulai ketika anak-anak diajarkan penggunaan

strategi pembelajaran. Anak akan semakin menambah pengetahuan tentang atribut

strategi tertentu. Dengan perkembangan waktu, anak-anak belajar untuk mengetahui

strategi pembelajaran lainnya. Anak anak akan menerapkannya dalam konteks yang

beragam dan akan memberikan kontribusi untuk memperluas dan memperkaya

pengetahuan strategi belajarnya. Regulasi diri muncul ketika anak-anak mampu


31

memilih strategi yang tepat dan memantau prestasi akademiknya sehingga proses

strategis akan membentuk :

1. Regulasi diri, anak-anak akan mengenali fungsinya dalam berperilaku

strategis dalam belajar.

2. Menciptakan dan mengembangkan persepsi efikasi diri dan keyakinan

atribusi sehingga menghubungkan penggunaan strategi secara pribadi

dan motivasi

Tindakan kognitif dirasa sangat penting karena dapat menyebabkan umpan

balik tentang keberhasilan atau kegagalan dan penyebab terkait. umpan balik ini

diasumsikan memiliki peran penting dalam membentuk keadaan pribadi-motivasi

yang pada gilirannya memberikan energi pada proses eksekutif yang diperlukan

untuk seleksi strategi masa depan (Borkowski, 1996).

Selanjutnya, pengetahuan umum anak-anak tentang dunia dan pengetahuan

domain-spesifiknya berkembang. Domain-spesifik pengetahuan sering cukup untuk

memecahkan masalah sendiri, tanpa strategi pembelajaran sehingga membentuk

model yang mencakup sistem self, yang terdiri dari orientasi tugas, harga diri,

personal dan tujuan pembelajaran (Borkowski, 1996).

Borkowski telah melakukan banyak penelitian pada pelatihan strategi atau

instruksi dan transfer keterampilan strategis, paling sering pada anak-anak dengan

prestasi yang rendah, hiperaktif atau impulsif. Borkowski (1996) meneliti pengaruh

pelatihan atribusi dan kontrol diri terhadap pemeliharaan dan perilaku strategis

secara umum di kelas kedua, ketiga dan keempat dengan prestasi dan hiperaktif. Tiga
32

kondisi percobaan diciptakan: kelompok kontrol diri, kontrol diri ditambah kelompok

atribusi dan kelompok kontrol strategi. Semua kelompok menerima pelatihan strategi

memori tertentu. Selain itu, kelompok kontrol diri menerima urutan pelatihan kontrol

diri melalui pemodelan dan praktek langsung. Kontrol diri ditambah atribusi

kelompok menerima, di samping pelatihan khusus strategi memori dan pelatihan

pengendalian diri, atribusi diri meningkatkan pelatihan, yang dirancang untuk

mempengaruhi keyakinan siswa tentang pentingnya upaya dalam meningkatkan

prestasi. Kelompok kontrol hanya menerima latihan strategi memori tertentu. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa siswa dalam kontrol diri ditambah atribusi kelompok

meningkat lebih dari yang lain: pada post-test tiga minggu mereka menunjukkan skor

membaik di atribusi, pengendalian diri dan penggunaan strategi dan mereka tetap

ditingkatkan digunakan strategi pada panjang suatu istilah post-test selesai 10 bulan

kemudian. Dengan demikian disimpulkan bahwa atribusi dan pelatihan pengendalian

diri harus dimasukkan sebagai langkah untuk menanggulangi minimnya strategis

pada anak-anak dengan keterbelakangan dan hiperaktif.

Borkowski (1996) memberikan contoh lain dari penelitian pelatihan strategi

yang meneliti peran faktor-faktor kontekstual dalam pengembangan penggunaan

strategi. Sebuah metode penemuan terbimbing dibandingkan dengan instruksi strategi

langsung matematika di kelas ketiga. pembelajaran penemuan didasarkan pada

perspektif konstruktivis dan dengan demikian pada keterlibatan aktif siswa dalam

proses pembelajaran; siswa tidak secara eksplisit diajarkan strategi belajar tertentu

tetapi memiliki kesempatan untuk menciptakannya. Peran Guru mengevaluasi dan


33

mengarahkan siswa dalam proses berpikir. instruksi strategi langsung, selain

mengajar strategi eksplisit. Dengan hipotesis instruksi berbasis penemuan akan

mengakibatkan prestasi akademik yang lebih baik, kapasitas yang lebih baik untuk

memecahkan masalah yang disajikan dalam bentuk yang berbeda atau konteks dan

kemampuan yang lebih baik untuk berpikir dan berkomunikasi secara pengolahan

strategi dari instruksi strategi langsung. Lebih lanjut berhipotesis bahwa,

dibandingkan dengan instruksi strategi langsung, dipandu penemuan akan

berkontribusi pada pengembangan keyakinan dan tujuan tentang alasan untuk sukses

lebih kuat. Penelitian ini terdiri dari lima fase: pra-tes, intervensi (penemuan belajar,

mengajar strategi langsung, pengajaran langsung ditambah penemuan atau kontrol),

sebuah post-test langsung, tes pemeliharaan jangka pendek empat minggu kemudian

dan jangka panjang pemeliharaan tes sembilan minggu setelah intervensi awal. Hasil

mengkonfirmasi hipotesis bahwa kondisi pembelajaran penemuan menyebabkan

prestasi yang lebih baik dalam pasca-tes dan uji pemeliharaan jangka panjang

daripada instruksi strategi langsung dalam tugas-tugas yang disajikan dalam bentuk

yang berbeda daripada selama instruksi. Kondisi Penemuan ini menyatakan bahwa

lebih penting pengetahuan metakognitif dalam fase perencanaan self regulated

learning dengan penggunaan strategi tujuan motivasi daripada faktor tugas

ekstrinsik dan strategi langsung (Garner, 2009). Demikian pula, Zimmerman (1998)

mengusulkan tiga fase untuk pengaturan diri, yang melibatkan Metakognisi. Fase

pertama meliputi penetapan tujuan, perencanaan strategis, dan self-efficacy, di mana

siswa mengidentifikasi tujuan mereka, membuat rencana untuk mencapainya, dan


34

mempertimbangkan seberapa besar kemungkinan mereka akan mencapai tujuan

mereka. Fase kedua adalah kontrol prestasi atau kehendak, yang meliputi perhatian:

(a) fokus, (b) instruksi mandiri, dan (c) pemantauan diri. Pada fase ini, siswa

mencoba tugas belajar dan memantau apa yang mereka pelajari. Akhirnya, fase

refleksi diri difokuskan pada perbandingan informasi yang dipantau sendiri dengan

standar atau tujuan dan reaksi terhadap hasilnya. Selama tahap refleksi, siswa: (a)

menilai keberhasilan atau kegagalan mereka, (b) memodifikasi efikasi dirinya, (c)

membuat atribusi kausal, dan (d) beradaptasi untuk pembelajaran di masa depan.

Singkatnya, strategi metakognitif di lingkungan pendidikan merupakan aspek dari

proses kemandirian dalam belajar. Disarankan di sini bahwa komponen metakognisi

termasuk dalam konstruksi self regulated learning yang lebih luas. Di Selain

metakognisi, konstruk lain dari self regulated learning yang penting untuk

keberhasilan akademik adalah keyakinan motivasi siswa, yaitu self-efficacy

akademik.

B. Metakognisi dan Prestasi Akademik

Strategi metakognitif yang diadopsi siswa mewakili keterlibatan kognitifnya

dalam kegiatan akademik. Flavell (1979) mendefinisikan metakognisi sebagai

pengetahuan dan kognisi tentang fenomena kognitif. Berdasarkan literature dalam

bidang ini, ada dua aspek berbeda dari metakognisi yaitu :

(a) pengetahuan tentang kognisi dan

(b) regulasi kognisi.


35

Keduanya dipandang penting untuk pembelajaran yang efektif (Tobias &

Everson, 2002). Dunslosky & Thiede (1998) memandang metakognisi sebagai proses

mental tingkat tinggi yang terlibat dalam pembelajaran yang mencakup membuat

rencana belajar. Pentingnya mengadaptasi strategi kognitif seseorang untuk tuntutan

tugas telah menjadi fokus dari beberapa model pengaturan diri. Biggs (1985)

mengatakan bahwa, untuk pembelajaran yang efektif, siswa harus menyadari

persyaratan tugas dan dapat melakukan kontrol atas proses kognitif yang digunakan

untuk memenuhi ini.

Persyaratan. Meta-learning, menurut Biggs, terjadi ketika siswa menggunakan

strategi kognitifnya untuk memenuhi persyaratan tugas. Demikian juga, dalam

penelitian Winne dan Hadwin (Abd-El-Fattah, 2011) tentang self regulated learning ,

metakognisi mencakup empat tahap dasar yaitu definisi tugas, penetapan tujuan dan

perencanaan, berlakunya strategi, dan adaptasi.

Winne dan Hadwin menyarankan agar pelajar mengembangkan persepsi

tentang apa tugas itu dan sumber daya yang tersedia, menyusun rencana untuk

mengatasi tugas itu, mengadaptasi strategi penelitian, dan membuat perubahan untuk

struktur kognitifnya tergantung pada persepsi prestasi.

Model kontemporer self regulated learning mengusulkan bahwa self

regulated learning dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan kontekstual, oleh

karena pembelajaran regulasi diri bervariasi tergantung pada situasi belajar (Hadwin,

dkk., 2011). Salah satunya model Boekaerts yaitu belajar adaptasi yang
36

memfokuskan siswa di dalam ruangan kelas. premis dasarnya adalah bahwa peserta

didik berusaha untuk menyeimbangkan dua prioritas, yaitu

1. Memperluas pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan sumber daya

pribadi mereka dalam penguasaan pembelajaran, dan

2. Menetapkan apa yang diketahui dan dipercayai para peserta didik untuk

menghindari dan mengatasi atau cara belajar.

Sesuai dengan dua cara, siswa mengacu pada konstelasi: (1) strategi

pembelajaran yang membangun sumber daya dan (2) strategi coping yang melindungi

sumber daya. Dengan demikian, model Boekaerts memadukan unsur kognitif dan

unsur motivasi. Kesuksessan ini tergantung pada kapasitas peserta didik untuk

menilai situasi secara keseluruhan dan mengendalikan elemen pendekatan tugas

untuk belajar.

Ada tiga sumber utama informasi. Ketika peserta didik terlibat dalam

belajar, yang pertama adalah persepsi dari lingkungan. Ini adalah gabungan dari

tugas, instruksi guru, dan harapan dari konteks fisik dan sosial. Sumber kedua

informasi adalah spektrum pengetahuan dan keterampilan khusus untuk domain tugas

yang terdiri rencana aksi. Rencana tersebut meliputi: sebelum pengetahuan deklaratif

dan prosedural, keberhasilan taktik dan strategi yang telah digunakan sebelumnya,

ditambah pengetahuan metakognitif. Sumber ketiga adalah kekurangan tingkatan

informasi tujuan siswa, motivasi, dan nilai-nilai. Model Boekaerts menekankan

peserta didik menetapkan tujuan dan cara mengontrol untuk keberhasilan dan

kegagalan. Hasil regulasi diri merencanakan bagaimana mereka dapat menerima


37

umpan balik tentang tujuan. Ketika tujuan tidak terpenuhi, peserta didik berusaha

untuk menyeimbangkan tujuan yang berkaitan dengan penguasaan dan beradaptasi

untuk mempertahankan keseimbangan perasaan dan memuaskan dirinya. (Vohs, &

Baumeister., 2016 ; Aukrust, 2011)

Pintrich (2000) mengemukakan bahwa siswa: (a) mengembangkan persepsi

tentang tuntutan tugas, (b) terlibat dalam pemantauan metakognitif, (c) memilih dan

menerapkan strategi kognitif yang sesuai untuk tuntutan tugas, dan (d) mengevaluasi

tugas. Prestasi merupakan refleksi dari efektivitas strategi kognitif. Pintrich

menyatakan bahwa strategi pembelajaran yang diatur sendiri yang agak beragam ini

mewakili interaksi antara faktor-faktor pribadi dan situasi belajar seperti: (a) tuntutan

tugas, (b) koordinasi penetapan tujuan dan metakognisi, (c) penggunaan strategi

pembelajaran kognitif, dan (d) refleksi diri.

Peneliti metakognisi berikutnya telah menawarkan kerangka kerja yang

sedikit berbeda untuk kategorisasi pengetahuan kognitif. Misalnya, beberapa peneliti

Cross & Paris, (1988), Kuhn,(2000), Schraw dkk., (2006), Schraw & Moshman,

(1995) yang telah menggunakan konsep-konsep pengetahuan deklaratif dan

prosedural untuk membedakan kognitif jenis pengetahuan. Kuhn & Dean (2004)

mengkarakterisasi pengetahuan kognitif deklaratif secara luas sebagai pemahaman

epistemologis, atau pemahaman siswa tentang berpikir dan mengetahui secara umum.

Lebih lanjut Schraw dkk., (2006) menggambarkan pengetahuan kognitif deklaratif

sebagai pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar dan faktor-faktor apa

yang mungkin memengaruhi prestasi siswa. Paris & Winograd (1990) membahas
38

proses penilaian diri sebagai refleksi tentang keadaan pengetahuan pribadi untuk

menjawab pertanyaan, "Apakah saya tahu ini?" Selain itu, Cross dan Paris

mendefinisikan pengetahuan kognitif deklaratif sebagai khusus dalam konteks

membaca sebagai kesadaran akan faktor-faktor yang mungkin memengaruhi

kemampuan membaca. Di sisi lain, pengetahuan prosedural melibatkan kesadaran dan

manajemen kognisi, termasuk pengetahuan tentang strategi (Cross & Paris, 1988;

Kuhn & Dean, 2004; Schraw dkk., 2006). Lebih lanjut Schraw dkk., mendefinisikan

pengetahuan kognitif bersyarat yang merupakan pengetahuan tentang mengapa dan

kapan harus menggunakan strategi yang diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang

akurasi pemantauan adalah kemampuan yang terlibat dalam aspek metakognitif

regulasi kognisi (Schraw & Dennison, 1994). Hal Ini berkaitan dengan pembelajaran

di lingkungan yang kompleks dan tercermin dalam indeks prestasi akademik. Dengan

demikian siswa dapat secara akurat membedakan antara apa yang telah mereka

ketahui dan apa yang belum dipelajari, memiliki keuntungan dalam menangani

tuntutan akademis, terutama, mereka yang sering membutuhkan pembaruan dan

dibangun berdasarkan pengetahuan sebelumnya (Tobias & Everson, 2002).

Dalam konteks hubungan antara metakognisi dan pretasi akademik, Vrugt &

Oort (2008) bekerja dengan sampel mahasiswa untuk menyelidiki sejauh mana

strategi metakognitif berkontribusi terhadap kinerja akademik. Dalam sampel 952

mahasiswa tahun pertama, Vrugt & Oort menggunakan jalur analisis untuk

menyelidiki hubungan timbal balik antara: (a) tujuan pencapaian; (b) strategi studi;

(c) metakognisi (mis., pengetahuan metakognitif, regulasi, dan pengalaman); dan (d)
39

prestasi akademik. Para penulis menemukan bahwa penggunaan strategi manajemen

sumber daya metakognitif dan siswa memiliki efek positif pada prestasi akademik

mereka yang diukur dengan skor ujian. Sebaliknya, penggunaan strategi kognitif

permukaan memiliki a efek negatif pada prestasi akademik mereka. Sehubungan

dengan penyelidikan mereka tentang pengaruh akurasi pemantauan pengetahuan

terhadap kinerja akademik, Tobias & Everson (2000, 2002) menguji kemampuan

peserta didik untuk membedakan antara apa yang mereka ketahui dan tidak ketahui

dalam sampel mahasiswa.

Temuan Tobias & Everson menunjukkan bahwa kemampuan pemantauan

pengetahuan merupakan faktor penting bagi peserta didik dari semua tingkat

kemampuan dan tahap perkembangan. Dalam peninjauan naratif dari puluhan studi

dengan siswa dari segala usia dan kemampuan, Tobias dan Everson menemukan

bahwa siswa, yang mampu membedakan antara apa yang mereka tahu dan apa yang

tidak mereka ketahui, lebih cenderung unggul daripada siswa yang tidak mampu.

untuk membedakan tingkat pemahaman mereka. Kemampuan pemantauan

pengetahuan telah ditemukan terkait dengan kinerja akademik di berbagai kelompok

umur (Tobias & Everson, 2002). Namun masih ada kebutuhan untuk mengatasi

hubungan ini untuk siswa dengan penekanan pada perbedaan individu antara yang

berprestasi tinggi dan rendah. Selain kontribusi fungsi eksekutif dan strategi

metakognitif terhadap prestasi akademik, efikasi diri siswa sebagai harapan motivasi

positif, telah ditemukan terkait dengan prestasi akademik pada siswa.


40

BAB V

Model Kognitif Sosial Pengaturan Diri

Penelitian mengenai self-regulated learning sebagai bagian dari teori

kognitif sosial secara umum mengintegrasi beberapa proses yang meliputi Penetapan

tujuan, Pemodelan sosial, Umpan balik atribusi, Instruksi strategi, Verbalisasi diri,

dan Evaluasi diri (Harris, dkk., 2012). Dalam penelitian saat ini, model teori

kognitif sosial Bandura (1986) tentang self regulated learning sebagai kerangka teori

yang menghubungkan variabel-variabel yang diminati para peneliti. Konsep Bandura

tentang hubungan timbal balik triadik merupakan pusat teori kognitif sosial.

Zimmerman (1989) membahas self regulated learning dalam konteks gagasan timbal

balik triadik yang menerangkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara personal,

perilaku dan lingkungan.

Zimmerman menyatakan bahwa self regulated learning tidak ditentukan

hanya oleh proses pribadi, melainkan, proses ini diasumsikan dipengaruhi oleh proses

lingkungan dan perilaku dalam pola timbal balik. Sehubungan dengan proses ini, ada

tiga bagian yang menarik untuk didiskusikan mengenai self regulated learning yaitu

pengamatan diri, penilaian diri, dan reaksi diri.

Pengamatan diri sebagai perhatian dari aspek perilaku seseorang (Schunk,

1994). Pengamatan perilaku dapat memberikan pengetahuan yang berguna tentang


41

seberapa baik seseorang berkembang menuju tujuannya. Pengamatan diri dipengaruhi

oleh proses personal seperti self efficacy (efikasi diri), penetapan tujuan, dan

perencanaan metakognitif, serta oleh pengaruh perilaku (Zimmerman, 1989). Lebih

lanjut, Schunk menggambarkan pengamatan diri sebagai cara penilaian perilaku dan

pola motivasi bagi siswa. Schunk menyarankan bahwa, melalui proses self-recording,

siswa dapat menilai perilakunya pada berbagai dimensi prestasinya serta dapat

memantau kemajuannya dalam mencapai tujuan.

Selanjutnya adalah penilaian diri. Penilaian diri adalah evaluasi siswa

terhadap prestasi siswa dibandingkan dengan tujuan dan standar siswa (Zimmerman,

1989). Dalam definisi ini, evaluasi diri bergantung pada proses pribadi seperti efikasi

diri, penetapan tujuan, dan pengetahuan standar, serta tanggapan yang diamati

sendiri. Pengetahuan tentang standar atau tujuan mungkin dihasilkan dari norma

sosial atau tingkat kinerja sebelumnya (Bandura, 1986). Dua cara umum di mana

siswa dapat mengevaluasi diri prestasinya yaitu

(a) untuk mengetahui prosedur secara perilaku, seperti pemeriksaan ulang

jawaban mereka pada ujian tertentu dan

(b) untuk membandingkan jawaban mereka dalam kaitannya dengan orang-

orang dari siswa lain atau lembar jawaban (Zimmerman, 1989).

Reaksi diri adalah bagian terakhir dari kemandirian belajar yang melibatkan

pengaturan diri siswa berdasarkan teori kognitif sosial. Reaksi diri adalah reaksi

siswa terhadap kemajuannya menuju tujuan (Schunk, 1994). Seperti halnya dengan
42

pengamatan diri dan evaluasi diri, reaksi diri peserta didik melibatkan proses pribadi

seperti:

(a) personal persepsi efikasi,

(b) penetapan tujuan,

(c) perencanaan metakognitif, serta

(d) hasil perilaku.

Hubungan antara proses-proses ini bersifat timbal balik. Sebagai contoh,

tingkat awal efikasi diri akan memengaruhi siswa untuk mengadopsi strategi

penelitian tertentu (Zimmerman, 1989). Berdasarkan teori kognitif sosial, ada tiga

regulasi diri dari strategi reaksi diri yang diberikan:

(a) reaksi diri perilaku yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respons

belajar spesifik mereka,

(b) reaksi diri pribadi yang dengannya mereka meningkatkan proses pribadi

selama belajar, dan

(c) lingkungan diri

Sehingga munculnya reaksi siswa untuk meningkatkan lingkungan belajarnya

(Zimmerman & Martinez-Pons, 1986). Selain perspektif 3 hal di atas mengenai self

regulated learning, Pintrich (2004) mengemukakan bahwa ada empat dimensi proses

belajar mandiri. Dimensi pertama adalah kognisi, yang menyangkut berbagai proses

mental yang digunakan siswa untuk menyandikan proses ketika terlibat dalam tugas

akademik. Proses-proses ini mencakup penggunaan strategi pembelajaran kognitif


43

dan metakognitif siswa. Misalnya, siswa dapat memonitor dan mengontrol

penggunaan: (a) latihan, (b) teknik organisasi, dan (c) strategi elaborasi.

Motivasi dan pengaruh merupakan dimensi kedua dari pembelajaran yang

dapat diatur sendiri oleh siswa (Pintrich, 2004). Artinya, tingkat motivasi siswa

mewakili target penting untuk pengelolaan pembelajaran mereka. Wolters (2003)

mengidentifikasi banyak strategi yang digunakan siswa untuk mempertahankan atau

meningkatkan motivasi mereka, yaitu :

(a) imbalan yang disediakan sendiri,

(b) diskusi diri /pembicaraan sendiri tentang pentingnya atau kegunaan

materi, dan

(c) menjadikan kegiatan belajar menjadi permainan sehingga lebih

menyenangkan.

Dimensi ketiga yang dapat diatur oleh siswa adalah perilaku atau partisipasi

aktualnya, perilaku atau tindakan fisik lainnya yang diberlakukan sebagai bagian dari

proses pembelajaran (Wolters, 2003). Misalnya, siswa menggunakan strategi

manajemen waktu untuk mengatur dan mengendalikan saat kapan dan di mana siswa

harus belajar.

Akhirnya, dimensi keempat pembelajaran yang diidentifikasi oleh Pintrich

(2004) sebagai target potensial regulasi siswa adalah konteks atau lingkungan. Area

ini mencakup aspek-aspek dari: tugas langsung, ruang kelas, atau bahkan lingkungan

value budaya tertentu . Misalnya, siswa dapat memantau dan mengontrol:

pencahayaan, suhu, dan kebisingan di lingkungannya. Selain itu, siswa dapat


44

menggunakan strategi pencarian bantuan untuk mengelola pembelajaran mereka

dengan secara efektif memanfaatkan guru, orang tua, teman sebaya, atau orang lain

dalam lingkungan sosialnya.

Singkatnya, dimensi yang melibatkan pengamatan diri, penilaian diri, dan

reaksi diri selaras dengan fungsi eksekutif, strategi metakognitif, efikasi diri, dan

manajemen waktu, dalam hal itu, semua dimensi ini mewujudkan berbagai pola

pemantauan diri, perencanaan, serta kepercayaan motivasi siswa. Misalnya,

keberadaan pola motivasi dan kognitif memfasilitasi keterlibatan siswa dalam tugas

akademik yang pada gilirannya, mengarah pada prestasi akademik yang lebih baik.

Tugas pendidikan adalah mengupayakan agar siswa bisa mengenal potensi

dirinya, sedangkan pendidikan berperan memberikan fasilitas agar para siswa dapat

mengembangkan potensinya. Lunenburg (2011) menyatakan bahwa konsep self

regulated learning mengintegrasikan tentang belajar efektif dan motivasi dalam hal

ini adalah efikasi diri. Efikasi diri mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dalam

tiga cara, yaitu

Pertama. Efikasi diri mempengaruhi siswa untuk memilih tujuan sendiri.

Siswa dengan efikasi diri yang rendah cenderung menetapkan tujuan yang relatif

rendah untuk dirinya. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri yang tinggi cenderung

menetapkan tujuannya yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang tidak

hanya belajar tetapi juga menunjukkan konsistensi efikasi dirinya

Kedua, Efikasi diri mempengaruhi belajar serta usaha siswa untuk belajar.

Siswa dengan efikasi diri tinggi umumnya bekerja keras untuk belajar bagaimana
45

melakukan tugas-tugas baru, karena mereka yakin bahwa upaya mereka akan

berhasil. Siswa dengan efikasi diri yang kurang pada siswa kurang berusaha dalam

belajar dan melakukan tugas-tugas yang kompleks, karena mereka tidak yakin usaha

akan membawa kesuksesan.

Ketiga, efikasi diri mempengaruhi ketekunan dan usaha siswa melakukan

tugas-tugas yang sulit. Siswa yang berefikasi diri tinggi yakin bahwa mereka dapat

belajar dan melakukan tugas tertentu. Cenderung bertahan, tetap berusaha ketika

muncul masalah, sebaliknya, siswa yang berefikasi diri rendah tidak mampu belajar

dan melakukan tugas yang sulit cenderung menyerah ketika muncul masalah . Dalam

tinjauan literatur yang luas pada efikasi diri, Albert Bandura menyimpulkan bahwa

efikasi diri adalah faktor penentu yang kuat pada prestasi belajar.

Self regulated learning mendukung perspektif sosial-kognitif yang paling

baik dipahami, yaitu adanya hubungan timbal balik, dimana kognitif faktor pribadi,

lingkungan dan perilaku berinteraksi dengan cara timbal balik. Hubungan timbal

balik, yang termasuk lingkungan sosial dan berbagai konteks pembelajaran,

merupakan kognisi sebagai fundamental sosial. Lingkungan memiliki dampak yang

signifikan terhadap pengembangan , dan juga mempengaruhi aktualisasikan self

regulated learning . Pemahaman self regulated learning juga melibatkan bahwa

fitur kontekstual membentuk dan membatasi kualitas belajar siswa. Namun, pada saat

yang sama, bagaimana siswa belajar dipengaruhi oleh apa yang individu membawa

ke situasi belajar tertentu, oleh karena itu, self regulated learning dipandang sebagai

suatu proses aktif, daripada atribut statis pelajar (Panadero, & Tapia, 2014).
46

Perspektif sosial-kognitif menekankan kontrol individu atas belajar dalam berbagai

situasi pembelajaran. Dari perspektif ini, sejauh mana aktualisasi pembelajaran

regulasi diri merupakan asumsi yang ditentukan oleh seseorang dalam

menginterpretasi dari situasi pembelajaran. Untuk menyimpulkannya, meskipun

salah satu pembelajar mungkin tahu bagaimana mengatur diri sendiri dalam belajar,

tidak berarti regulasi diaktifkan. (Hadwin, dkk., 2011). Karena itu, tidak hanya ciri-

ciri siswa seperti bakat yang mempengaruhi kesuksesan belajar atau karakteristik

dari situasi belajar, akan tetapi ketika mengaktifkan untuk melakukan proses

regulasi diri akan memediasi konteks hubungan dan keberhasilan belajar siswa

tersebut, Oleh karena itu, self regulated learning memerlukan lebih sekedar

keterampilan individu, termasuk harapan dan kondisi situasional yang kondusif

untuk self regulated learning .

Melihat perspektif sosial-kognitif tersebut, diperlukan asumsi bahwa

sosial dan diri dipandang sebagai entitas yang terpisah, sedangkan peran sosial dan

faktor lingkungan merupakan faktor untuk mempengaruhi pelajar dan memberikan

kesempatan bagi pengembangan keterampilan self regulated learning . (Hadwin,

dkk., 2010). Lebih lanjut Hadwin, dkk. menyatakan bahwa kerangka teoritis self

regulated learning beranggapan bahwa faktor sosial sebagai faktor yang sentral.

Model sosial kognitif Zimmerman terhadap pembelajaran regulasi diri

mendukung perspektif sosial kognitif yang paling baik dipahami yaitu adanya

hubungan timbal balik, dimana faktor kognitif, pribadi, lingkungan dan perilaku

berinteraksi dengan cara timbal balik. Hubungan timbal balik, yang termasuk
47

lingkungan sosial dan berbagai konteks pembelajaran, merupakan kognisi sebagai

fundamental sosial. Lingkungan memiliki dampak yang signifikan terhadap

pengembangan , dan juga mempengaruhi aktualisasikan self regulated learning.

Pemahaman self regulated learning juga melibatkan bahwa fitur kontekstual

membentuk dan membatasi kualitas belajar siswa. Namun, pada saat yang sama,

bagaimana siswa belajar dipengaruhi oleh apa yang individu bawa ke arah situasi

belajar tertentu, oleh karena itu, self regulated learning dipandang sebagai suatu

proses aktif, daripada atribut statis siswa (Panadero & Tapia, 2014).

Model pembelajaran diri dari model Zimmerman lebih memfokuskan

diskripsi konstruksi motivasi yang mempengaruhi aktualisasi self regulated learning.

Zimmerman mendefinisikan peserta didik mandiri dapat diidentifikasikan

berdasarkan tingkat self regulated learning yang terjadi (Malmberg, 2014).

Self regulated learning merupakan suatu proses sosial dimana individu

merefleksikan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan lingkungan dengan cara

yang memungkinkan mereka untuk memenuhi tuntutan situasional (Vassallo, 2012;

Zimmerman, & Schunk 2011).

Dalam dekade terakhir ini, pembelajaran regulasi telah menjadi kata kunci

dalam bidang pendidikan dan psikologi, dan ada banyak bukti empiris yang terlibat

berbagai aspek self regulated learning (Sun, 2014) Akan tetapi, tidak semua siswa

aspek pengetahuan tentang diri yang berpengaruh dalam kehidupan siswa di sekolah

dan menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan.
48

Efikasi diri yang dirasakan merupakan salah satu penentu yang mengatur

prestasi akademik (Bandura, dkk. 2003; Multon , dkk. 1991), mungkin karena itu

mewakili komponen lain dari self regulated learning. Schunk (1989) menggunakan

self-efficacy yang dirasakan sebagai strategi pengaturan diri, melalui proses :

(a) pengamatan diri,

(b) penilaian diri, dan

(c) reaksi diri.

Selain itu, Zimmerman (2000) menyatakan bahwa efikasi diri memainkan

peran selama fase pemikiran, perencanaan, dan pemantauan prestasi self regulated

learning. Para peneliti seperti Pajares (2008), Zimmerman & Pons, (1990) telah

menemukan bahwa efikasi diri dan penggunaan strategi pengaturan diri memiliki

dampak timbal balik positif satu sama lainnya ; keyakinan efikasi diri yang lebih

tinggi meningkatkan penggunaan strategi pengaturan diri, sebaliknya juga dengan

penggunaan strategi pengaturan diri dapat meningkatkan keyakinan efikasi diri dan

prestasi akademik. Dengan demikian, kunci Self regulated learning ada pada efikasi

diri dengan kata lain menunjukkan bahwa keberadaan efikasi diri meningkatkan

tingkat pengaturan diri dan hal ini merupakan efek kasual bisa dua arah antara efikasi

diri dan regulasi diri.

Menariknya, keyakinan self-efficacy umumnya dapat menjelaskan sekitar

25% dari varian dalam prediksi prestasi akademik (Pajares, 2006). Menurut teori

kognitif sosial Bandura (1986), terdapat interaksi antara perilaku, faktor pribadi, dan

kondisi lingkungan, yang berkontribusi pada prestasi akademik.


49

Siswa mengembangkan keyakinan self-efficacy yang memungkinkan untuk

melakukan kontrol atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka. Keyakinan ini

mempengaruhi proses kognitif, motivasi, afektif, dan pengambilan keputusan dan

menentukan apakah individu akan melihat diri mereka mampu atau tidak mampu.

Selain itu, keyakinan self-efficacy terkait dengan domain akademik tertentu (Klassen,

2002) dan dibentuk oleh pengalaman sebelumnya terutama pengalaman penguasaan,

pesan verbal, dan pengaruh sosial (Mattern & Shaw, 2010).

Bandura (1993) mengusulkan bahwa keyakinan self-efficacy mempengaruhi

hasil sekolah karena kehadiran mereka meningkatkan motivasi dan kegigihan siswa

untuk menguasai tugas akademik yang menantang dan mendorong penggunaan

pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh secara efisien. Self-efficacy telah

terbukti berhubungan dengan pilihan tugas, tingkat motivasi, serta upaya dan

ketekunan dengan tugas. Ada minat yang kuat dalam menemukan sejauh mana efikasi

diri siswa diprediksi prestasi akademiknya. Misalnya, dalam meta-analisis studi

penelitian self-efficacy, yang diterbitkan antara 1977 dan 1988, Multon dkk. (1991)

menemukan hubungan positif antara efikasi diri dengan prestasi akademik. Coutinho

(2008) meneliti hubungan antara self efficacy dengan prestasi akademik menurut

IPK. Siswa tahun pertama tidak dimasukkan dalam penelitian untuk memastikan

bahwa IPK akan didasarkan pada lebih dari dua semester; dengan demikian, ukuran

prestasi akademik akan lebih representative prestasinya. Coutinho menemukan bahwa

self-efficacy berhubungan positif dengan IPK. Demikian pula, Chemers, Hu, &

Garcia (2001) meneliti hubungan antara self-efficacy, kepercayaan diri, harapan


50

akademis, dan kinerja akademik dengan sampel 373 siswa menunjukkan bukti bahwa

peran efikasi diri dalam keberhasilan akademik. Juga, harapan dan kinerja akademik

dikaitkan dengan self-efficacy akademik. Artinya, individu dengan kepercayaan diri,

tampil lebih baik secara akademis daripada individu yang memiliki rasa percaya diri

lebih rendah.

Demikian pula, individu, yang melaporkan harapan yang lebih tinggi untuk

sukses, menunjukkan kinerja akademik yang lebih tinggi. Lane (2004) meneliti

hubungan antara self-efficacy, harga diri, prestasi akademis sebelumnya, dan prestasi

akademik saat ini di antara sampel 205 siswa. Nilai rata-rata setiap siswa dari modul

yang dipelajari digunakan sebagai indikator pencapaian akademik. Hasil dari analisis

regresi berganda menunjukkan bahwa self-efficacy memediasi hubungan antara

prestasi akademik sebelumnya dan prestasi akademik. Temuan ini mendukung

efektivitas efektivitas langkah-langkah efikasi diri dalam pengaturan akademik.

Barber (2009) meneliti kontribusi efikasi diri akademik dan faktor sosio

demografis terhadap prestasi akademik, sebagaimana ditentukan oleh IPK semester

pertama, dengan sampel 250 generasi pertama dan perguruan tinggi komunitas

generasi pertama siswa. Temuan ini mendukung sudut pandang bahwa self-efficacy

akademik tampaknya menjadi faktor signifikan yang berkontribusi terhadap prestasi

akademik; tingkat self-efficacy akademik yang lebih tinggi menyebabkan IPK

semester pertama lebih tinggi untuk generasi pertama dan non-pertama mahasiswa

perguruan tinggi komunitas generasi.


51

Dalam sebuah studi baru-baru ini yang luas, Mattern dan Shaw (2010)

meneliti hubungan antara self-efficacy akademik yang diukur dengan Estimasi Diri

Kemampuan Matematika dan Estimasi Kemampuan Menulis terhadap hasil akademik

seperti yang dilaporkan oleh College Board database. Laporan mencakup skor SAT

dan IPK sekolah menengah yang terdiri dari kuesioner SAT. Sampel dalam penelitian

ini terdiri dari 107.453 mahasiswa dari 110 universitas di seluruh Amerika Serikat.

Hasil penelitian menemukan bahwa mahasiswa dengan akademik yang lebih tinggi

kepercayaan dirinya juga lebih tinggi dilihat dari skor SAT, nilai, dan tingkat retensi

tahun kedua. Berkenaan dengan karakteristik demografi kelompok peserta dengan

kepercayaan diri, Mattern dan Shaw (2010) menemukan bahwa tingkat self-efficacy

yang tinggi lebih cenderung menggunakan strategi belajar yang penting untuk

menyelesaikan tugas akademik, dan salah satu strategi ini adalah manajemen waktu.

Akhirnya, sulit untuk mengetahui arah penyebabnya dan efek antara self-efficacy dan

prestasi akademik, arahnya bisa jalan baik. Karena prestasi akademik yang sukses

dapat mengarah pada self-efficacy yang tinggi, self efficacy yang tinggi juga dapat

mengarah pada prestasi akademik yang tinggi.


52

BAB VI

Model Manajemen Waktu Dari Regulasi Diri

Strategi manajemen waktu dianggap sebagai konstruk perilaku yang telah

dibahas dalam diskusi self regulated learning (Eilam & Aharon, 2003). Selanjutnya

Eilam & Aharon mengatakan bahwa strategi manajemen waktu telah muncul sebagai

aspek kognitif penting self regulated learning, yang mengarah pada pencapaian

akademik yang lebih tinggi. Siswa dapat mengatur sendiri perilaku mereka atau

partisipasi aktual mereka, melakukan, atau tindakan fisik lainnya yang diberlakukan

sebagai bagian dari proses pembelajaran, misalnya, strategi manajemen waktu yang

digunakan siswa untuk mengatur dan mengendalikan di mana dan kapan untuk

kecocokan belajar bidang ini. Eilam dan Aharon mendefinisikan manajemen waktu

sebagai aplikasi proses pengaturan diri dalam domain temporal yang bertujuan

membahas rencana dan efisiensinya (2003).

Manajemen waktu belajar adalah sumber penting lain keterampilan siswa

dalam mengatur diri sendiri atas prestasi akademiknya. Untuk berhasil memenuhi

persyaratan di kelas siswa terhubung dengan tenggat waktu yang eksplisit dan

implisit, dimana siswa harus:

(a) merencanakan mereka waktu belajar,

(b) merasa efikasi akan manajemen waktu mereka, dan

(c) memantau kemajuan mereka (Juvonen & Wentzel, 1996).


53

Namun, khususnya, tidak ada kesepakatan di antara penulis dalam hal definisi

istilah, manajemen waktu. Dalam studi yang diusulkan oleh Britton dan Tesser

(1991) mendefinisikan perilaku manajemen waktu lebih disukai, di mana

mengidentifikasi manajemen waktu sebagai kemampuan siswa untuk mengatur

perencanaan waktu jangka pendek dan panjang.Karena itu, fokusnya adalah pada tiga

komponen manajemen waktu:

(a) Jangka panjang perencanaan, di mana siswa tahu bagaimana mengatur

rencana yang akurat untuk seluruh program studi;

(b) Perencanaan jangka pendek, di mana siswa mengatur waktu mereka

selama satu minggu mengerjakan PR dan ujian

(c) Sikap waktu mengacu pada bagaimana perasaan siswa tentang efisiensi

penggunaan waktunya, kontrol siswa terhadap penggunaan waktu, dan

keterampilannya dalam pemantauan waktunya (Juvonen & Wentzel,

1996).

Mengingat hal ini, perilaku manajemen waktu dan keyakinan manajemen

waktu adalah komponen penting dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, para

peneliti meneliti pentingnya manajemen waktu dalam prestasi akademik untuk

mahasiswa perguruan tinggi. Dalam konteks kontribusi manajemen waktu terhadap

prestasi akademik di perguruan tinggi, Balduf (2009) menggunakan desain penelitian

kualitatif untuk menguji penyebab underachievement dengan sampel tujuh

mahasiswa baru, yang telah mendapatkan akademik peringatan atau masa percobaan

akademik. Balduf menemukan waktu yang buruk itu keterampilan manajemen,


54

keterampilan belajar yang tidak memadai, dan motivasi internal versus eksternal

berkontribusi terhadap prestasi akademik yang rendah. Dalam penelitian lain yang

dilakukan oleh Macan, dkk., (1990) yang meneliti empat faktor manajemen waktu

dalam sampel 123 mahasiswa menunjukkan bahwa Faktor pertama , menetapkan

tujuan dan prioritas; dan factor kedua , mekanik, perencanaan, dan penjadwalan;

Faktor ketiga, kontrol waktu yang dirasakan; dan Faktor keempat, preferensi untuk

disorganisasi diukur dengan Skala Perilaku Manajemen Waktu. Macan dkk.,

mengeksplorasi hubungan antara empat faktor ini dengan prestasi akademik yang

diukur dengan IPK siswa yang dilaporkan sendiri dan penilaian prestasi yang

dilaporkan sendiri dibandingkan dengan siswa lain. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa semua faktor manajemen waktu berkorelasi dengan prestasi akademik;

Namun, kontrol waktu yang dirasakan adalah prediktor terkuat dalam prestasi

akademik.

Manajemen waktu ditemukan terkait dengan prestasi akademik yang buruk

dalam studi Balduf (2009). Tidak hanya manajemen waktu yang buruk kemungkinan

menyebabkan kegagalan akademik bagi para siswa, kurangnya proses motivasi dan

kognitif mungkin telah terlibat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, model

komprehensif komponen manajemen waktu, serta variabel motivasi dan kognitif

diujikan. Menariknya, tidak hanya praktik manajemen waktu yang baik berkontribusi

pada prestasi akademik yang lebih baik, sikap siswa terhadap manajemen waktu

memiliki dampak positif pada prestasi akademiknya seperti hasil penelitian yang

dilakukan oleh Britton dan Tesser (1991), Tanrıögen dan Işcan (2009), Wells (1994).
55

Britton dan Tesser meneliti efek dari praktik manajemen waktu terhadap prestasi

akademik. Pada tahun 1983, 90 siswa sekolah menengah diteliti dalam

menyelesaikan kuesioner manajemen waktu dan mengerjakan test Scholastic

Aptitude Test (SAT). Analisis komponen utama dari 35 item instrumen manajemen

waktu mengidentifikasi tiga komponen yaitu perencanaan jangka panjang,

perencanaan jangka pendek, dan sikap terhadap waktu.

Pada tahun 1987, 4 tahun kemudian, penelitian IPK kumulatif menunjukkan

hasil bahwa sikap akan waktu dan perencanaan jangka pendek memprediksi IPK

siswa sedangkan perencanaan jangka panjang tidak memprediksi IPK siswa.

Demikian juga, penelitian yang dilakukan oleh Wells yang meneliti hubungan antara

perilaku dan sikap manajemen waktu dengan alat ukur kuisioner manajemen waktu

menunjukkan IPK dan prestasi akademiknya. Dengan sampel 88 siswa, perilaku

manajemen waktu, perasaan, dan kepercayaan menunjukkan kontribusi pada IPK

siswa. Tanrıögen dan Işcan (2009) meneliti tentang efek keterampilan manajemen

waktu pada prestasi akademik dengan sampel 375 mahasiswa dari 5 perguruan tinggi

yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan perencanaan waktu

mahasiswa menjelaskan 47% variabilitas dalam prestasi akademik, dan sikap dan

keterampilan manajemen waktunya menjelaskan 38% dari total varians dalam

prestasi akademik. Selain itu, Tanrıögen dan Işcan (2009) menemukan bahwa sikap

positif mahasiswa terhadap manajemen waktu mempengaruhi prestasi akademiknya.

Sikap positif tentang manajemen waktu dapat membantu siswa untuk

mengembangkan keterampilannya dalam manajemen waktu.


56

DAFTAR RUJUKAN

Abd-El-Fattah, S. M. 2011. The Effect Of Test Expectations On Study Strategies


And Test Performance: A Metacognitive Perspective. Educational
Psychology, 31(4), 497511.

Asean Productivity Organization, 2014. APO Productivity Data Book 2014.


Asian Productivity Organization Tokyo, September 2014. (http://www.apo-
tokyo.org)

Alvarez, J. A., & Emory, E. 2006. Executive Functions And The Frontal Lobes: A
Meta Analytic Review. Neuropsychology Review, 16(1), 17-42.

Balduf, M. 2009. Underachievement Among College Students. Journal of


advanced academics, 20(2), 274-294,369.

Baumeister,R K& Vohs,K.D. 2011. Handbook of Self Regulation. Research,


Theory, And Applications. 2nd. ed New York, NY: Guilford Prees.

Bandura, A. 1986. Social Foundations Of Thought And Action: A Social Cognitive


Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bandura, A., Caprara, G. V., Barbaranelli, C., Gerbino, M., & Pastorelli, C. 2003.
Role Of Affective Self-Regulatory Efficacy In Diverse Spheres Of
Psychosocial Functioning. Child Development, 74(3), 769-782.

Barber, M. E. 2009. The Impact Of Academic Self-Efficacy And Socio-


Demographic Factors On Academic Achievement Of First-Generation
Community College Students (Doctoral Dissertation). Retrieved from
http://edl.appstate.edu.

Barkley, R. A. 1996. Linkages Between Attention And Executive Functions. In G.


Lyon & n. Krasnegor (eds.), Attention, Memory, And Executive Function.
Baltimore, MD: Paul H. Brookes.

Buckley, Jude., Cohen, Jason D., Krame Arthur F., & Mullen, Sean P. 2014.
Cognitive Control In The Self Regulation of Physical Activity And Sedentary
Behavior. Review Article Front. Hum. Neurosci. (Online),
(http://journal.frontiersin.org).
57

Biggs, J. H. 1985. The Role Of Metalearning In Study Processes. British Journal


of Educational Psychology, 55(3), 135-212.

Burman, J. T., Green, C. D., & Shankar, S. 2015. On The Meanings of Self-
Regulation: Digital Humanities in Service of Conceptual Clarity. Child
Development, 86(5), 1507-1521. doi:10.1111/cdev.12395. (Online),
(http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/cdev.12395).

Blair, C. 2002. School Readiness: Integrating Cognition And Emotion In A


Neurobiological Conceptualization Of Children’s Functioning At School
Entry. American Psychologist, 57(2), 111-127.

Borkowski, J. G. 1989. General Problem-Solving Skills: Relations Between


Metacognition And Strategic Processing. Learning Disability Quarterly,
12(1), 57-70.

Borkowski, J. G. 1996. Metacognition: Theory or chapter heading? Learning and


Individual Differences, 8(4), 391-402.

Borkowski, J. G., & Thorpe, P. K. 1994. Self-Regulation And Motivation: A Life-


Span Perspective. In D. Schunk & B. Zimmerman (Eds.), Self-regulation
of learning and performance: Issues and educational implications.
Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Chemers, M. M., Hu, L., & Garcia, B. F. 2001. Academic Self-Efficacy And First
Year College Student Performance And Adjustment. Journal of
Educational Psychology, 93(1), 55-64.

Chiou, K. 2009. Executive Functioning And Metacognitive Monitoring In


Moderate To Severe Traumatic Brain Injury (Unpublished Master's
Thesis, Pennsylvania State University). Retrieved from
https://etda.libraries.psu.edu/paper/9991/

Coutinho, S. 2008. Self-Efficacy, Metacognition, And Performance. North


American Journal of Psychology, 10(1), 165-172.

Cross, D. R., & Paris, S. G. 1988. Developmental And Institutional Analyses Of


Children’s Metacognition And Reading Comprehension. Journal of
Educational Psychology, 80(2), 131-142.

Diamond, Adele 2013. "Executive functions". Annual Review of Psychology. 64:


135–168. doi:10.1146/annurev-psych-113011-
143750. PMC 4084861. PMID 23020641
58

Dunslosky, J., & Thiede, K. W. 1998. What Makes People Study More? An
Evaluation Of Factors That Affect Self-Paced Study. Acta Psychological,
98(1), 37-56.

Efklides, A. 2006. Metacognitive Experiences: The Missing Link In The Self-


Regulated Learning Process. Educational Psychology Review, 18(3),
287-291. Retrieved from http://link
.springer.com/article/10.1007/s10648-006-9021-4

Eilam, B., & Aharon, I. 2003. Students' Planning In The Process Of Self-
Regulated Learning. Contemporary Educational Psychology, 28(3), 304-
334.

Eleonora Papaleontiou-Louca, 2008. Metacognition and Theory of Mind.


Cambridge Scholars Publishing 15 Angerton Gardens, Newcastle, NE5 2JA,
UK

Ekeke, Hamilton & Telu Joy. 2015. Improving Self-Regulated Learning Style
Amongst Students. International Journal of Secondary Education,
Volume 3, Issue 6 , December 2015. (Online),
(http://article.sciencepublishinggroup.com).

Flavell, J. H. 1976. Metacognitive Aspects Of Problem Solving. In L. B. Resnick


(Ed.), The nature of intelligence (pp. 231–236). Hillsdale, NJ: Erlbaum

Flavell, J. H. 1979. Metacognition and cognitive monitoring: A New Area Of


Psychological Inquiry. American Psychologist, 34, 906-911.

Flavell, J. H. 1987. Speculation about the nature and development of


metacognition in F.E Weinnert & R.H Kluwe(Eds). Metacognition,
Motivation And Understanding. Hillsdale: Lawrence Erlbum

Garner, J. K. 2009. Conceptualizing The Relations Between Executive Functions


And Self Regulated Learning. Journal of Psychology, 143(4), 405-426.

Hacker, D. J. 1998 . Definitions and empirical foundations. In D. J. Hacker, J.


Dunlosky, & A. C. Graesser (Eds.), Metacognition in educational theory
and practice (pp. 1-23). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Hacker, D.J. & Dunlosky, J. 2003. Not all metacognition is created equal. New
Directions For Teaching And Learning, 95, 73-79.

Hadwin, A. F., Jarvela, S. & Miller, M. 2011. Self Regulated, Co regulated And
Socially Shared Regulation Of Learning, Handbook Of Self Regulation Of
Learning And Performance. New York, NY: Routledge.
59

Hanten, G. S., Bartha, M., & Levin, H. S. 2000. Metacognition Following


Pediatric Traumatic Brain Injury: A Preliminary Study. Developmental
Neuropsychology, 18(3), 383-398.

Harris, K. R., Graham, S., Urdan, T., McCormick, C. B., Sinatra, G. M., &
Sweller, J. 2012. Apa Educational Psychology Handbook, Vol 1:
Theories, Constructs, And Critical Issues. Washington, DC: American
Psychological Association.doi:10.1037/13273-007.

Heum Cho, Moon &. Heron. Michele L. 2015. Self-Regulated Learning: The Role
of Motivation,Emotion, And Use of Learning Strategies Instudents’
Learning Experiences in a Self-Paced Online Mathematics Course. Distance
Education, 2015 Vol. 36, No. 1, 80–99 . (Online), (www.tandfonline.com).

Hofmann, W., Schmeichel, B. J., & Baddeley, A. D. 2012. Executive Functions


And Self-Regulation. Trends in Cognitive Sciences, 16(3), 174-180.

Juvonen, J., & Wentzel, K. R. 1996. Social Motivation: Understanding Children's


School Adjustment. New York, NY: Cambridge University Press.
Retrieved from http://books.google.com/.

Kadzikowska & Wrzosek, R. 2012. Perceived Stress, Emotional Ill Being and
Psychosomatic Symptoms In High School Students : The Moderating Effect
Of Self Regulation Competences. Archives of Psychiatry and
Psychotherapy,14(3),25-33.(Online),
(http://search.proquest.com/docview/1269430713?accountid=15115).

Klassen, R. M. (2002). Writing In Early Adolescence: A Review Of The Role Of


Self Efficacy Beliefs. Educational Psychology Review, 14, 173-203.

Kuhn, D. 2000. Metacognitive Development. Current Directions in Psychological


Science, 9(5), 178-181.

Kuhn, D. & Dean, D., 2004. A Bridge Between Cognitive Psychology And
Educational Practice. Theory into Practice, 43(4), 268-273.

Lane, J. 2004. Self-Efficacy, Self-Esteem And Their Impact On Academic


Performance. Social Behavior & Personality: An International Journal,
32(3), 247-256.

Lawrence, Sharmila.2015. Interventions to Promote Young Children's Self


Regulation and Executive Function Skills in Early Childhood Settings. Child
Care and Ealy Education Research Connections. (Online),
(http://www.researchconnections.org/childcare/resources/30796/pdf).
60

Latzman, R. D., Elkovitch, N., Young, J., & Clark, L. A. 2010. The Contribution
Of Executive Functioning To Academic Achievement Among Male
Adolescents. Journal of Clinical and Experimental Neuropsychology,
32(5), 455-462.

Livingstone, Jennifer A. 1997 “Metacognition: An Overview” (http:


//www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.)

Lunenburg, F. 2011. Self-efficacy In The Workplace: Implications For Motivation


And Performance. International Journal of Management, Business, And
Administration, 14(1), Retrieved. (Online),
( http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
ved=0CB4QFjAA&url ).

Macan, T. H., Shahani, C., Dipboye, R. L., & Phillips, A. P. (1990). College
Students' Time Management: Correlations With Academic Performance
And Stress. Journal of Educational Psychology, 82(4), 760-768.
doi:10.1037/0022-0663.82.4.760.

Malmberg, Jonna. 2014, Tracing The Process Of Self Regulated Learning –


Students’ Strategic Activity In g/n Study Learning Environment. University
of Oulu Graduate School ; University of Oulu, Faculty of Education Acta
Univ. Oul. E 142, 2014 University of Oulu, P.O. Box 8000, FI-90014
University of Oulu, Finland. (Online),
(http://jultika.oulu.fi/files/isbn9789526204703.pdf).

Mattern, K. D., & Shaw, E. J.2010. A Look Beyond Cognitive Predictors Of


Academic Success: Understanding The Relationship Between Academic
Self-Beliefs And Outcomes. Journal of College Student Development,
51(6), 665-678. The Johns Hopkins University Press. Retrieved from
Project MUSE database.

Matlin, Margaret W. 1998 Cognition. Philadelphia: Harcourt Brace College


Publisher.

Mayer, R. C. 1991. Thinking, Problem Solving, Cognition. New York, NY:


Freeman.

Mercer, J. G. 2005. Relations Between Isolated Writing Skills, Executive


Functions, Working Memory, And College Students' Production Of
Connected Text. ( Doctoral dissertation, North Carolina State
University). Retrieved from
http://www.search.proquest.com.source.unco.edu/docview/
61

Monsell, S. 1996. Control Of Mental Processes. In V. Bruce (Ed.), Unsolved


mysteries of the mind: Tutorial essays in cognition. Hove, UK: Erlbaum.

Multon, K. D., Brown, S. D., & Lent, R. W. 1991. Relation Of Self-Efficacy


Beliefs To Academic Outcomes: A Meta-Analytic Investigation. Journal
of Counseling Psychology, 18, 30-38.

Nelson, T. O., & Narens, L. 1990. Metamemory: A theoretical Framework And


New Findings. The Psychology of Learning and Motivation, 26(1), 125-
173.

Office of Planning, Research and Evaluation Administration for Children and


Families U.S. Department of Health and Human Services, 2015. Self-
Regulation And Toxic Stress: Foundations for Understanding Self-
Regulation From An Applied Developmental Perspective. OPRE Report #
2015-21 January, 2015.

Pajares, F. 2006. Self-Efficacy During Childhood And Adolescence: Implications


For Teachers And Parents. In F. Pajares & T. Urdan (Eds.), Self-efficacy
beliefs of adolescents. Greenwich, CT: Information Age Publishing.

Panadero, Ernesto dan Tapia, Jesús Alonso. (2014). How Do Students Self-
Regulate ? Review of Zimmerman‟s Cyclical Model Of Self Regulated
Learning. Anales De Psicología, 2014, vol. 30, No 2 (mayo), 450-462.
(Online), (http://dx.doi.org/10.6018/analesps.30.2.167221).

Paris, S. G., & E. Oka. 1986. Children’s Reading Strategies, Metacognition And
Motivation. Developmental Review 6:25–36.

Paris, S. G., & Winograd, P. 1990. Promoting Metacognition And Motivation Of


Exceptional Children. Remedial and Special Education, 11(6), 7-15.

Perner, J., & Lang, B. 2000. Theory Of Mind And Executive Functions: Is There A
Developmental Relationship? In S. Baron-Cohen, H. Tager-Flusberg, &
D. J. Cohen (Eds.), Understanding Others’ Minds: Perspective From
Developmental Cognitive Neuroscience. Oxford, England, UK: Oxford
University Press.

Peirce, William. 2003. “Metacognition: Study Strategies, Monitoring, and


Motivation”. ( http://www.academic.pgcc.edu /wpeirce/MCCCTR
/index.html).

Pintrich, P. R. 2000. Multiple Goals, Multiple Pathways: The Role Of Goal


Orientation In Learning And Achievement. Journal of Educational
Psychology, 92, 544-555.
62

Pintrich, P. 2004. A Conceptual Framework For Assessing Motivation And Self


Regulated Learning In College Students. Educational Psychology
Review, 16, 385-407.

Pintrich, P. R., & Schunk, D. H. 2002. Motivation In Education: Theory,


Research, And Applications. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Rosen, Jeffrey A., Glennie, Elizabeth J., Ben, W. Dalton, Lennon, Jean M., and
Bozick, Robert N. 2010. Noncognitive Skills In the Classroom: New
Perspectives on Educational Research. RTI Press publication No. BK-0004-
1009. Research Triangle Park, NC: RTI International.

Sitzmann, T., & Ely, K. 2011. A Meta-Analysis Of Self-Regulated Learning In


Work-Related Training And Educational Attainment: What We Know And
Where We Need To Go. Psychological Bulletin, 137(3), 421-442.
doi:http://dx.doi.org/10.1037/a0022777. (Online),
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21401218).

Sun, Liping. 2014. Promoting Self Regulation In The Classroom: Effects Of


Teacher, Academic Tasks, And Peers. Thesis. Master’s Degree Programme
in Learning, Education and Technology of University of Oulu. . (Online),
(http://jultika.oulu.fi/files/nbnfioulu-201406041630.pdf)

Schraw, G., & Dennison, R. S. 1994. Assessing Metacognitive Awareness.


Contemporary Educational Psychology, 19, 460-475.

Schraw, G., Crippen, K. J., & Hartley, K. 2006. Promoting Self-Regulation In


Science Education: Metacognition As Part Of A Broader Perspective On
Learning. Research in Science Education, 36(1), 111-139.

Schraw, G., & Moshman, D., 1995. Metacognitive Theories. Educational


Psychology Review, 7(4), 351-371.

Schunk, D. H. 1989. Social Cognitive Theory And Self Regulated Learning. In B.


J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds.), Self-regulated learning and
academic achievement: Theory, research and practice. New York, NY:
Springer-Verlag.

Schunk, D. H. 1994. Self-Regulation Of Self-Efficacy And Attributions In


Academic Setting. In D. H. Schunk & B. J. Zimmerman (Eds.), Self-
regulation of learning and performance: Issues and educational
applications. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
63

Shankar, Stuart. 2012. Thinker in Residence Commissioner for Children and


Young People WA. Report of the 2012 Thinker in Residence Western
Australia.

Strunk, K., & Steele, M. R. 2011. Relative Contributions Of Self Efficacy, Self-
Regulation And Self Handicapping In Predicting Student Procrastination.
Psychological Reports, 109(3), 983-989. (Online),
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22420126).

Tanrıögen, A., & Işcan, S. 2009. Time management skills of Pamukkale


University students and their effects on academic achievement. Eurasian
Journal of Educational Research, 35, 93-108.

Tavakolizadeha, Jahanshir & Qavamb, Soghra Ebrahimi. 2011. Effect of Teaching


Of Self-Regulated Learning Strategies On Self-Efficacy in Students.
Procedia - Social and Behavioral Sciences 29 (2011) 1096 – 1104
International Conference on Education and Educational Psychology
(ICEEPSY 2011). (Online), (http://www.sciencedirect.com)

Teaching Exellence in Adult Literacy No.4. 2010 : Metacognitive Processes.

Tobias, S., & Everson, H. 2000. Assessing Metacognitive Knowledge Monitoring.


In G. Schraw & J. Impara (Eds.), Issues in measurement of
metacognition (pp. 147-222). Lincoln, NE: Buros Institute of Mental
Measurement.

Tobias, S., & Everson, H. 2002. Knowing What You Know And What You Don't:
Further Research On Metacognitive Knowledge Monitoring (College
Board Report No.2002-3). New York, NJ: College Board.

Vassallo, Stephen , 2012. Critical Pedagogy and Neoliberalism: Concerns with


Teaching Self-Regulated Learning. Stud Philos Educ DOI 10.1007/s11217-
012-9337-0. (Online), (http:.springer.com).

Veenman Marcel V. J. Dkk. 2006. Metacognition and learning: conceptual and


methodological considerations Springer Science + Business Media, Inc.
2006

Vohs, Kathleen D & Baumeister, Roy F. 2016. Handbook of Self-Regulation,


Third Edition: Research, Theory, and Applications Third Edition. The
Guilford Press. New York London.
64

Vrugt, A., & Oort, F. 2008. Metacognition, Achievement Goals, Study Strategies
And Academic Achievement: Pathways To Achievement. Metacognition
and Learning,3(2), 123-146. Retrieved from
http://link.springer.com/article10.007 /s11409-0089022-4

Wells, G. D. 1994. Time-management and academic achievement [Paper 4393].


Electronic Theses and Dissertations. Retrieved from
http://scholar.uwindsor.ca/etd/4393

Wolters, C. 2003. Regulation Of Motivation: Evaluating An Underemphasized


Aspect Of Self Regulated Learning. Educational Psychologist, 38, 189-
205.

Zentall, S. S. 2005. Theory And Evidence-Based Strategies For Children With


Attentional Problems. Psychology in the Schools, 42(8), 821-836.

Zimmerman, B. J. 1989. A Social Cognitive View Of Self-Regulated Academic


Learning. Journal of Educational Psychology, 81(3), 329-339.

Zimmerman, B. J. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive To Learn.


Contemporary Educational Psychology, 25(1), 82-91.

Zimmerman, B. J., & Labuhn, A. S. 2012. Self-Regulation Of Learning: Process


Approaches To Personal Development. In K. Harris, S. Graham, T.
Urdan, C. McCormick, & J. Sweller (Eds.), APA educational psychology
handbook: Theories, constructs, and critical issues. Washington, DC:
American Psychological Association.

Zimmerman, B. J., & Martinez-Pons, M. 1986. Development Of Structured


Interview For Assessing Student Use Of Self Regulated Learning
Strategies. American Educational Research Journal, 2, 614-628.

Zimmerman, B. J., & Martinez-Pons, M. 1988. Construct Validation Of A


Strategy Model Of Student Self Regulated Learning. Journal of
Educational Psychology, 80(3), 284 -290.

Zimmerman, B. J., & Schunk, D. H. 2011. Self-Regulation Of Learning And


Performance. New York, NY: Taylor & Francis.

Zimmerman, Barry & Schunk, Dale H. 2011. Handbook of Self-Regulation Of


Learning and Performance. New York : Routledge.

Zulauf, C. R., & Gortner, A. K. 1999. Use Of Time And Academic Performance
Of College Students: Does Studying Matter. Paper presented at 1999
65

Annual meeting of American Agricultural Economics Association,


Milwaukee, MN. Abstract retrieved from
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/. American Psychological
Association.2015. Using the 'Top 20 Principles'These psychological
principles will help your students learn more effectively.
(http://www.apa.org).
66

Rahmad Agung Nugraha, lahir di Pati Jawa Tengah


pada tanggal 11 Oktober 1972. Putra ke-6 dari tujuh
bersaudara almarhum Bapak Drs. Soetedjo
Prawirokusumo dan almarhumah Ibu Hj. Siti Syarifah.
Menikah dengan Renny Kurniawaty, S.Sos dan
dianugerahi dua anak. Anak pertama bernama
Muhammad Aldzikra Rahmanna Nugraha dan Anak
kedua bernama Puan Titian Rahmanny.
Setelah menyelesaikan studi S-1 dari Fakultas Psikologi Universitas
Wisnuwardhana Malang di tahun 1998, bekerja di perusahaan swasta di Jakarta
PT Selaras Cipta Sarana sebagai Personnel Staff. Di tahun 2000 melanjutkan
studi S-2 ilmu kebijakan publik pada magister administrasi publik Universitas
Diponegoro Semarang lulus di tahun 2002. Di tahun 2001 bergabung dengan
OISCA (Organization for Industrial and Cultural Advancement), suatu organisasi
internasional nirlaba yang berpusat di Jepang dan memiliki banyak cabang yang
tersebar diberbagai negara terutama di kawasan Asia Pasifik dan Amerika latin.
Di tahun 2004 bekerja di PT. GS Sawmill and Kilndry sebagai General Affair.
Pada tahun 2012 melanjutkan studi S3 pada Doktor Psikologi Pendidikan
Universitas Negeri Malang dan Lulus di tahun 2017. Ketertarikanya dengan
dunia pendidikan khususnya Psikologi Pendidikan, membuat aktif melakukan
penelitian di bidang psikologi pendidikan selain menjadi dosen pada program
studi bimbingan dan konseling fakultas keguruan dan ilmu pendidikan Universitas
Pancasakti Tegal.

Anda mungkin juga menyukai