Anda di halaman 1dari 31

1

PRAKTIK JUAL BELI BUAH-BUAHAN DI POHON DITINJAU DARI


FIQH MU’AMALAH
(Studi Kasus di Desa Tanjung bugis jalan Akhmad Marzuki Kec. Sambas)
A. Latar Belakang Masalah

Praktek jual-beli telah ada lebih dahulu sebelum adanya konsepsi

Mu’amalah (ekonomi Islam), sebab usaha manusia dalam bentuk

perdagangan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia telah ada

semenjak manusia itu ada. Baik berupa tukar menukar barang (barter),

Jual-beli maupun kegiatan mu’amalah yang lain. Usaha ini berkembang

sesuai dengan perkembangan budaya manusia, sampai timbulnya pikiran-

pikiran untuk menerapkan kaidah-kaidah dasar tentang mu’amalah.1

Masalah mu’amalah senantiasa terus berkembang, dan sedapat

mungkin diupayakan agar perkembangan tersebut tidak menimbulkan

kesulitan-kesulitan hidup pada pihak lain. Sehubungan dengan hal ini

Islam sangat menekankan agar dalam transaksi harus didasari dengan

i’tikad yang baik, karena hal ini memberikan pedoman kepada umatnya

maksimal dalam usahanya, seperti di antara kedua pihak tidak ada yang

merasa dirugikan. Di dasari atau tidak, untuk mencukupi segala

kebutuhannya, satu sama lain saling membutuhkan.

Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab

tegaknya kemaslahatan manusia di dunia, untuk mewujudkan

kemaslahatan tersebut,
1
Mahmud Muhammad Bablily, Etika Berbisnis Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut Al-
Quran Dan As-Sunnah, (Solo: Ramadhani,1990) hlm 15.
2

Allah SWT telah mensyari’atkan cara perdagangan (jual beli)

tertentu, sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak dengan

mudah diwujudkan setiap saat, dan untuk yang mendapatkannya dengan

menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang

merusak, sehingga harus ada cara yang memungkinkan tiap orang untuk

mendapatkan apa saja yang dia butuhkan, tanpa harus menggunakan

kekerasan dan penindasan, seperti hal terakhir ini praktek perdagangan dan

hukum jual beli yang dibenarkan atau yang disyari’atkan.2

Dimasa sekarang ini banyak sekali permasalahan dalam ekonomi

islam, salah satunya adalah jual beli buah-buahan yang masih berada di

pohon yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Salah satunya antara

lain jual beli di pohon yang belum diketahui jumlah dan kadarnya,

misalnya dalam jual beli buah-buahan, saat dilakukan pembeli buah

dengan sistem mengambil semua barang tersebut, buahbuahan yang masih

berada di atas pohon dan belum dipanen sehingga belum tau kadar dan

takaran yang pasti, ini hanya menggunakan sistem taksiran sehingga hal

tersebut menimbulkan ketidak jelasan kadarnya, sedangkan syarat sah jual

beli harus terhindar dari dua macam, salah satunya yaitu ketidak jelasan

kadarnya.

2
Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,(
surabaya:Risalah Gusti, 1996) hlm 149.
3

Keberagaman pola dagang dan berbagai faktor yang mendasari

baik dari segi faktor intern maupun ekstern menjadikan prilaku dagang

berbeda-beda, mulai dari pengambilan keuntungan, cara menawarkan

barang, kejujuran tentang kualitas barang, dan lain sebagainya.3 Di dalam

pelaksanaan perdagangan (jual-beli) selain ada penjual, pembeli, juga

harus sesuai dengan syarat rukun jual-beli, dan yang paling penting yaitu

tidak adanya unsur penipuaan, dan unsur ketidakjelasan, disamping harus

suka sama suka atau saling ridha

Pada dasarnya jual beli tidak hanya dilakukan dengan jual beli

pola eceran saja melainkan ada juga jual beli langsung di pohonnya,

seperti yang dilihat pada praktek jual beli di tanjung bugis jalan akhmad

marzuki kec. Sambas.

. Pada umumnya pedagang di sana melakukan transaksi jual beli

langsung di pohon, dengan maksud membeli semua buah-buahan yang

masih berada di pohon tersebut. Terkait konsep bai’ sebagai salah satu

bentuk kerja sama dalam sistem perekonomian Islami sangat menarik bila

konsep ini dijadikan sebagai alat untuk memotret sistem perekonomian,

sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam pelaksanaan jual beli

yang dilakukan oleh masyarakat didesa tanjung bugs jalan akhmad marzuk

kec. Sambas.

3
Mahmud Muhammad Bablily, Etika Berbisnis Studi Kajian Konsep Perekonomian MenurutAl-
Quran Dan As-Sunnah, (Solo: Ramadhani,1990) hlm 16.
4

Praktek mu’amalah khususnya jual-beli yang dilakukan oleh

masyarakat di tanjung bugs sangat bervariasi, guna untuk mendapatkan

barang yang diinginkannya. Khususnya dalam pembahasan ini dimana

mayoritas masyarakat di tanjung bugs dalam transaksi jual-beli buah-

buahan langsung di pohon.

Jual beli buah-buaan di pohon bermula ketika seorang pedagang

atau penjual ingin mendapatkan barang yang akan dijualnya nanti, maka

para penjual mencari barang dagangannya itu dengan cara melakukan akad

jual beli buah-buahan di pohon jadi sekali akad dan sekali pengambilan

saja. Jual-beli buah-buahan di pohon ini dapat dicontohkan semisal; ada

pedagang membeli buah mangga milik petani, maka pedagang itu akan

membeli buah mangga yang masih berada di pohon semuanya sampai

habis, seperti yang diketahui umumnya buah-buahan itu kualitasnya

berbeda-beda, ada yang belum tentu matangnya (masaknya), besar

kecilnya pun berbeda dan ternyata ada sebagian kualitas buah tersebut

kurang bagus atau sudah busuk. Sementara si penjual dan si pembeli tidak

mengetahuinya.

Persoalan yang lain adalah tentang kualitas barang atau isi buah di

pohon, dalam pengamatan penyusun, ketika ada seorang pedagang ingin

membeli semua buah-buahan yang masih berada di pohon, ketika buah-

buahan itu masih di pohon maka para pedagang menaksirkan harga dan

jumlah buah-buahan tersebut, setelah buah itu dipetik semuanya sampai

habis ternyata jumlah buah-buahan tidak sama lagi ketika pada saat
5

pedagang menaksir buah-buahan yang masih berada di pohon. Ini

disebabkan karena kualitas buah-buahan banyak yang tidak layak untuk

dipakai lagi.

Hal ini akan merugikan pembeli yang akan menjual kembali

buah-buahan tersebut. Pembeli biasanya membeli buah-buahan di pohon

dalam jumlah banyak bahkan buah-buahan yang ada dipohon itu di beli

sampai habis dan tidak meninggalkan sisa sedikitpun.4

Pada dasarnya di dalam mu’amalah sudah dijelaskan bahwa jual

beli itu haruslah jelas kualitas barangnya, dan antara penjual dan pembeli

pun harus samasama mengetahui bagaimana keadaan kualitas barang

tersebut.5

Beberapa macam jual-beli buah-buahan di pohon yang

kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Tanjung Bugis yang mana

pelaksanaan dari transaksi jual-beli buah-buahan di pohon sebenarnya

masih diperdebatkan, karena adanya unsur spekulasi (perkiraan saja), Jadi

kebenarannya masih perlu dibuktikan. Padahal yang diketahui bahwa

sistem jual-beli yang baik adalah barangnya bisa diketahui atau jelas,

bermanfaat dan saling menguntungkan satu sama lain serta tidak adanya

penipuan.6

4
Wawancara dengan Bapak Agus, pedagang buah didesa Tanjung Bugis ,24 Januari 2019.
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif,1987) hlm 85.
6
Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam.”Hukum Fiqih Lengkap”,(Jakarta: Attahiriyah1976) hlm 268.
6

Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa proses jual beli buah-

buahan di pohon dapat dikatakan terdapat unsur ketidakpastian yang dapat

menimbulkan kerugian pada pembeli. Dalam hal ini terkait dengan jual

beli buah-buahan di pohon pada dasarnya hukum jual beli di pohon ini

diperbolehkan asalkan jelas unsurunsurnya serta ada ijab qabul antara

penjual dan pembeli dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.

Pelaksanaan jual–beli buah-buahan di pohon di tanjung Terbangan itu

terjadi dari kebiasaan/tradisi atau memang ada dalam aturan

perniagaan/strategi perdagangan Islami. Jawaban inilah yang ingin dicari

dalam penelitian fenomena kasus di atas, maka penulis tergugah untuk

mengadakan penelitian yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi

yang berjudul: Praktik Jual Beli Buah-Buahan Di Pohon Ditinjau dari

Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Desa Tanjung Bugis Jalan Akhmad

marzuki Kec. Sambas)

B. Fokus Masalah

1. Bagaimana praktik jual beli buah-buahan di pohon di Desa Tanjung bugis

jalan Akhmad Marzuki Kec. Sambas ?

2. Bagaimana Tinjauan Fiqh Mu’amalah tentang akad dan praktik jual beli

buah-buahan di pohon di Desa Tanjung bugis jalan Akhmad Marzuki Kec.

Sambas ?
7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Praktek Jual Beli Buah – buahan di pohon di desa tanjung

bugis Jln Akhmad Marzuki Kec. Sambas.

2. Untuk Mengetahui tinjauan Fiqh Muamalah tentang akad dan praktik jual

beli buah buahan di pohon desa tanjung bugis Jln Akhmad Marzuki Kec.

Sambas.

Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui praktek jual beli buah-buahan di di desa tanjung bugis Jln

Akhmad Marzuki Kec. Sambas.

2. Untuk mengetahui tinjauan fiqh mu’amalah tentang akad dan praktek

jualbeli buah-buahan di pohon desa tanjung bugis Jln Akhmad Marzuki

Kec. Sambas.

D. Tinjauan Pustaka

Judul penelitian ini “Praktik Jual Beli Buah-Buahan Di Pohon

Ditinjau dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Desa Tanjung Bugis Jalan

Akhmad marzuki Kec. Sambas)”. Untuk mengetahui lebih jelas bahwa

penelitian yang dibahas oleh peneliti mempunyai perbedaan secara

substantif dengan peneliti yang sudah melakukan penelitian terlebih

dahulu tentang tema Muamalah, khususnya pada bab jual-beli, maka

kiranya sangat penting untuk mengkaji hasil penelitian terdahulu. Yaitu

penelitian yang dilakukan.


8

1. Indri Septyarani Fakultas Syariah UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta dengan judul Pandangan Hukum Islam

Terhadap Jual Beli Bahan Kaos Kiloan Di Yogyakarta.“ Skripsi ini

membahas tentang praktek penjualan bahan kaos kiloan yang terjadi

di toko bahan kaos kiloan jalan kol.sugiono Yogyakarta berbeda

dengan penjualan bahan kain selain bahan kaos. Adapun

perbedaannya terletak pada alat ukur penjualannya, biasanya bahan

kain dijual dengan menggunakan alat ukur meteran, namun pada jual

beli bahan kaos penjualannya dengan menggunakan timbangan atau

kiloan. Jika konsumen ingin membeli bahan kaos maka bahan kaos

ditimbang sesuai dengan permintaan pembeli akan tetapi bahan kaos

tersebut belum dipotong melainkan masih berupa gulungan bahan

(roll). Setelah ditimbang kemudian bahan kaos baru dipotong dan

ditimbang lagi. Setelah bahan terpotong dan ditimbang lagi biasanya

berat bahan tersebut tidak sesuai dengan akad awal pembelian, bisa

kurang atau lebih, ini terjadi karena pemotongan dilakukan setelah

ditimbang. Hal ini sangat merugikan pembeli karena tidak sesuai

dengan permintaannya, pembeli pun mau tidak mau harus membeli

bahan kaos sesuai dengan timbangan akhir.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian

lapangan (fieldresearch), adapun langkah-langkah yang digunakan

dalam pengumpulan data dengan observasi, dan interview

(wawancara) kepada pihak penjual dan pembeli.


9

2. Penelitian yang dilakukan Muhammad Wildan Fakultas Syari’ah IAIN

Sunan Ampel Surabaya dengan judul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Pelaksanaan Jual-Beli Dengan Sistem Lelang (Studi Kasus

di Desa Jabung Kec. Talun Kab. Blitar).” Dalam penelitian tersebut

bisa diketahui bahwa jual-beli dengan sistem lelang tidak bertentangan

dengan fiqih muamalah, karena hukum dari jual-beli sistem ini adalah

seperti pada dasarnya hukum jual-beli yaitu, mubah. Metode penelitian

yang dipakai yaitu pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dan

Penelitian ini memakai pola fikir induktif.


10

E. Kajian Pustaka

1) Pengertian Jual Beli

Jual beli dalam bahasa Arab yaitu al-bai, menurut etimologi

dapat diartikan dengan menukar sesutau dengna sesuatu yang lain.

Pengertian jual beli secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia

yaitu, kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan

tatacara tertentu. Termasuk dalam hal ini dalah jasa dan juga

penggunaan alat tukar seperti uang.7

Pengertian jual beli dari sisi istilah atau terminologi hukum

Islam, berikut beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama

dan ahli ekonomi Islam antara adalah sebagai berikut:

1. Menurut Ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa jual beli memiliki

dua arti yaitu arti khusus dan arti umum.

a. Arti khusus yaitu, jual beli adalah menukar benda dengan dua

mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar-

menukar barang dengan uang atau semacamnyamenurut cara

yang khusus.
7
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001), h. 124.
11

b. Arti umum yaitu, jual beli adalah tukar-menukar harta dengan

harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang)

atau uang8

2. Menurut Ulama’ Malikiyah mendefinisikan jual beli dalam dua

pengertian, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang

bersifat khusus.

a. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar

sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan

adalah akad yang mengikat kedua belah pihak. Tukar menukar

yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu

yang yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan

manfaat adalah bahwa benda yang ditukarkan adalah bukan

dzat, ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan

manfaatnya atau bukan hasilnya.

b. Jual beli dalam arti khusus adalah ikatan tukar menukar sesuatu

yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang

mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas dan juga bukan

perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika, tidak

merupakan utang baik barang itu ada dihadapan pembeli

ataupun tidak, barang-barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya

atau sudah diketahui terlebih dahulu.9

8
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 175
9
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 68-69.
12

3. Menurut Ulama Syafi’iyah memberikan definisi jual beli sebagai

suatu akad yang mengandung tukar-menukar harta dengan harta

dengan syarat yang akandiuraikan nanti untk memperoleh

kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.10

4. Menurut Ulama Hanabilah memberikan pengertian jual beli

sebagai tukar menukar harta dengan harta, atau tukar menukar

manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu

selamanya, bukan riba dan bukan utang.

5. Menurut Hasby Ash-Shidiqy memberikan definisi jual beli

sebagai pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling

merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada

penggantinya dengan cara yang dibolehkan. Akad yang tegak

atas dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah

penukaran hak milik secara tetap.11

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian yang

dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga

keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah

penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan

oleh syara’.

10
Imam Syafi’i, dalam Al Farizi, “Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik Tentang Jual
Beli Sperma Binatang (Studi Komparasi)” skripsi (Fak. Syariah Institut Agama Islam
Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2009), h. 21-22.
11
Hasby Ash-Shidiki, Fiqih Muamalah, (Jakarta: CV. Bumi Aksara, 2006), h. 97.
13

Yang dimaksud sesuai dengan syara’ adalah memenuhi

rukun dan syarat dari jual beli.

2. Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi

sehingga jual beli tersebut dapat dikatakan sah menurut syara’.

Berikut akan dipaparkan rukun dan syarat jual beli dalam Islam:

1. Rukun jual beli

a. Akad (ijab dan qabul): Akad adalah munculnya sesuatu yang

menunjukkan keridhaan dari kedua belah pihak dengan

menumbuhkan (membuat) ketetapan diantara keduanya. Dan

inilah yang dikenal dikalangan para para ulama sebagai sighat

akad. Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa ijab dan qabul

adalah pernyataan yang disampaikan oleh penjual ataupun

pembeli yang menunjukkan kerelaaan untuk melakukan

transaksi jual beli diantara keduanya.

b. Orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli): Rukun jual

beli yang kedua adalah akid atau orang yang melakukan akad

yaitu penjual dan pembeli.

c. Objek akad (mabi’ dan tsaman): Ma’qud alaih atau objek akad

jual beli adalah barang yang dijual (mabi’) dan harga/uang

(tsaman)12

12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Cet. I; Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.
70.
14

Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat

para ulama hanfiyah dengan jumhur ulama. Menurut ulama Hanafiyah

rukun jual beli hanya satu yaitu, ijab dan qabul yang menunjukkan

sikap saling tukar menukar, atau saling memberi. Atau dengan redaksi

yang lain, ijab qabul adalah perbuatan yang menunjukkan kedsediaan

dua pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak

lain, dengan menggunakan perkataan atau perbuatan. Sedangkan

menurut Jumhur ulama meyatakan bahwa rukun jual beli itu ada

empat, yaitu:

1) Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan

pembeli)

2) Ada sighat (lafal ijab dan qabul)

3) Ada barang yang dibeli

4) Ada nilai tukar pengganti barang

Dalam suatu transaksi jual beli, semua rukun tersebut hendaklah

dipenuhi, apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka transaksi jual

beli yang dilakukan tidak akan sah menurut syara’

2. Syarat-syarat jual beli

Adapun syarat-syarat jual beli yang harus dipenuhi agar

transaksi jual beli yang dilakukan sah, yaitu sebagai berikut:

a. Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua

belah pihak untuk melakukan transaksi adalah syarat mutlak

keabsahannya suatu transaksi jual beli. jika seseorang dipaksa


15

menjual barang miliknya dengan cara yang tidak dibenarkan

hukum, maka penjualan yang dilakukan batal dan tidak terjadi

peralihan kepemilikan. Demikian pula halnya jika seseorang

dipaksa membeli.

b. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad,

yaitu orangorang yang berakal, maka akad yang dilakukan oleh

orang gila atau idiot, tidak sah kecuali dengan seijin walinya.

c. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya

oleh kedua belah pihak maksudnya penjual memiliki harta

berupa barang yang ingin dijual dan pembeli memiliki harta

berupa uang.

d. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama, maka

tidak diperbolehkan menjual barang haram misalnya minuman

keras dan video porno.

e. Objek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan.

f. Objek transaksi diketahui oleh kedua belah pihak saat akad.

Objek transaksi dapat diketahui dengan dua cara, yaitu:

1) Barang dilihat langsung pada saat akad atau beberapa saat

sebelumnya yang di perkirakan barang tersebut tidak berubah

dalam jangka waktu itu.

2) Spesifikasi barang dijelaskan dengan sejelas-jelasnya seakan-

akan orang yang mendengar melihat barang tersebut.


16

g. Harga harus jelas pada saat transaksi dilakukan.

Maksud dari rukun dan syarat ini secara global adalah

mencegah terjadinya perselisihan dikalangan masyarakat, dan

menjaga kemaslahatan pihakpihak yang berakad, dan menhindari

terjadinya penipuan. Dan apabila rukun dan syarat tidak terpenuhi

pada saat mengadakan akad maka akadnya batal.

3. Landasan Hukum Jual Beli

Asas dalam segala tindakan-tindakan muamalat pada

dasarnya yaitu, bahwa segala sesusatu itu sah dilakukan sepanjang

tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan

tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa

tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh itu tidak

ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.13

Pada dasarnya, jual beli itu merupakan hal yang hukumnya

mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Imam Asy-Syafi'i

yaitu “pada dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah,

yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak, kecuali

apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW, atau yang

maknanya termasuk yang dilarang Beliau.”.14 Adapun dasar hukum

jual beli dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma para ulama adalah

sebagai berikut:

13
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad Dalam FiqhMuamalat
(Cet. II; Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 84.
14
Ahmad Sarwat, Kitab Muamalat (Cet. I; t.t. Kampus Syariah, 2009), h. 10.
17

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu (kata-kata) Allah

SWT, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan

perantara malaikat Jibril selama beliau menjadi Rasul dan

merupakan sumber hukum pertama dalam Islam yang berisikan

perintah-perintah serta larangan-larangannnya.15 Landasan hukum

diperbolehkannya jual beli dalam al-Qur’an adalah sebagaimana

firman Allah swt. dalam QS.al-Baqarah/2: 275.

  
 
 ....  
Terjemahnya: Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.16

Kandungan ayat tersebut menegaskan bahwa Allah SWT telah

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang

membolehkan riba dapat diartikan sebagai pembantahan hukum-

hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Yang Maha

Mengatahui lagi Maha Bijaksana. Dan barang siapa yang melanggar

hukum Allah SWT, maka meraka adalah penghuni neraka dan mereka

kekal di dalamnya.17

15
Idris Romulyo, Asas-Asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya eduddukanHukum
Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Cet. I; Jakarta, Sinar Grafika, 1995), h. 62.
16
Departemen Agama RI, Al-Jumanatul Ali Al-Qur,an dan Terjemahannya (Bandung: CV.
penerbit J-Art, 2004).
17
Ar-rifa,i, Muhammad Nasib, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid
1,(Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 387.
18

Kemudian ditegaskan kembali dalam firman Allah SWT. Dalam

QS. An-Nisa/4: 29.

 
  
 
  
   
   
   
   
Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.)

Kandungan ayat tersebut menerangkan tentang adanya larangan

memakan harta dengan cara yang batil serta kebolehan melakukan

kegiatan perniagaan diantaranya adalah praktik jual beli dengan syarat

suka rela dan saling ridho diantara kedua pihak. Dari keterangan

tersebut, jelaslah bahwa Allah memberi peraturan kepada kedua belah

pihak yang bertransaksi orang yang membeli ataupun yang menjual,

orang yang memberi hutang ataupun orang yang berhutang. Orang-

orang yang bertransaksi dilarang mengambil riba dari setiap transaksi

yang dilakukannnya, serta tidak mendzalimi salah satu pihak yang

melakukan transaksi.

2. As-Sunnah

Sunnah menurut istilah syara’ adalah sesuatu dari Rasulullah

SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).


19

Umat Islam telah sepakat bahwasanya apa yang keluar dari Rasulullah

SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan dan hal itu

dimaksudkan sebagai pembentukan hukum Islam dan sebagai

tuntunan.

Maksud mabrur dalam jual beli tersebut adalah jual beli yang

terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.

Merugikan orang lain disini dapat diartikan sebagai merugikan pihak-

pihak yang berakad dan pihak-pihak yang terkait dalam akad. Ulama

telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa

manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri,

tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik

orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang

lainnya yang sesuai.

3. Ijma

Menurut ilmu bahasa, ijma artinya mengumpulkan. Sedangkan

Menurut ilmu fiqh, ijma artinya kesatuan pendapat dari ahli-ahli

hukum (ulama-ulama fiqh) Islam dalam suatu masalah dalam satu

masa dan wilayah tertentu (teritorial tertentu serta tidak boleh

bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw18 Para

fuqaha mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah

(boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, hukum jual beli bisa

berubah.
20

18
Idris Romulyo, Asas-Asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya
KeduddukanHukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Cet. I; Jakarta, Sinar Grafika, 1995),
h. 74.
Jual beli bisa menjadi wajib ketika dalam keadaan mendesak,

bisa menjadi mandub pada waktu harga mahal, bisa menjadi makruh

seperti menjual mushaf. Berbeda dengan Imam Ghazali sebagaimana

dikutip dalam bukunya Abdul Aziz Muhammad Azzam yang berjudul

Fiqih Muamalat bahwa bisa juga menjadi haram jika menjual anggur

kepada orang yang biasa membuat arak, atau menjual kurma basah

kepada orang yang biasa membuat minuman arak walaupun si

pembeli adalah orang kafir. Termasuk jual beli menjadi wajib jika

seseorang memiliki stok barang yang lebih untuk keperluannya selama

setahun dan orang lain membutuhkannya, penguasa berhak

memaksanya untuk menjual dan tidak makruh menyimpan makanan

jika diperlukan dan termasuk diharamkan adalah menentukan harga

oleh penguasa walaupun bukan dalam kebutuhan pokok. Jadi, hukum

asal jual beli adalah boleh, akan tetapi hukumnya bisa berubah

menjadi wajib, mahdub, makruh bahkan bisa menjadi haram pada

situasi-situasi tertentu.19

Sedangkan menurut Imam Asy-Syatibi (ahli Fiqih Mazhab

Maliki) hukum jual beli bisa menjadi wajib ketika situasi tertentu,

beliau mencontohkan dengan situasi ketika terjadi praktek ihtikar

(penimbunan barang)

19
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Islam, terj.Nadirsyah
Hawari (Jakarta: Amzah, 2010), h. 89-90.
21

sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik, ketika

hal ini terjadi maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk

menjual barang-barang dengan harga pasar sebelum terjadi kenaikan

harga, dan pedagang wajib menjual barangnya sesuai dengan

ketentuan pemerintah.

4. Macam-Macam Jual Beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu jual beli dari

segi pertukarnnya, harganya, obyeknya,dan akadnya. Berikut akan

dijabarkan macammacam dari jual beli, diantaranya yaitu:

1. Jual beli dari segi pertukarannya

a. Jual beli muqayadhah (barter); yaitu jual beli muqayadhah adalah

jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti

menukar baju dengan sepatu.

b. Jual beli muthaq; yaitu jual beli muthaq adalah jual beli barang

dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran seperti

uang.

c. Jual beli ash-sharf; yaitu jual beli alat penukar dengan alat penukar

adalah jual beli yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat

penukar lainnya, seperti uang rupiah denga uang dollar.20

20
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq ‘Ardh wa Istidlal (juz 3 dan 4),
terj. Abu Zainab, Fiqh Imam Ja’far Shadiq (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2009), h. 46.
22

2. Ditinjau dari segi harganya

a. Jual beli al-murabbahah; yaitu jual beli dengan keuntungan tertentu

(sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak)

b. Jual beli wadhi’ah; yaitu jual beli dengan harga asal dengan

pengurangan sejumlah harga atau diskon.

c. Jual beli al-musawah; yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya,

tetapi kedua orang yang berakad saling meridhai. Jual beli seperti

inilah yang berkembang sekarang.

3. Ditinjau dari segi benda

a. Jual beli benda yang kelihatan berarti pada waktu melakukan akad

jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan

penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan

boleh dilakukan seperti membeli beras dipasar.

b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian adalah jual

beli salam (pesanan). Yaitu perjanjian yang penyerahan barang-

barangnya ditanggguhkan hingga masa tertentu sebagai imbalan

harga yang telah ditetapkan ketika akad.

4. Ditinjau dari segi akad

a. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang

dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan

isyarat karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam

menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah


23

maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan atau

pernyataan.

b. Jual beli dengan perantara (tulisan dan utusan), Jual beli dengan

tulisan dan utusan dipandang sah sebagaiman jual beli dengan lisan.

Jual beli dengan tulisan sah dengan syarat orang yang berakad

berjauhan atau orang yang berakad dengan tulisan adalah orang yang

tidak bisa bicara.

c. Jual beli dengan perbuatan atau dikenal dengan mu’athah, yaitu

mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan qabul. Seperti

jual beli yang di supermarket atau mall.21

5. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam

Suatu akad jual beli secara syara’ sah atau tidak bergantung pada

pemenuhan syarat dan rukunnya. Akad dapat diartikan sebagai

pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau

lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.22

Rasulullah SAW. Melarang sejumlah jual beli, itu karena di

dalamnya terdapat unsur gharar yang dapat membuat manusia memakan

harta orang lain dengan bathil dan di dalamanya terdapat unsur penipuan

yang menimbulkan dengki, konflik, dan permusuhan diantara kaum

muslimin.

21
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 77-78.
22
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Tudi Tentang Teori Akad dalam FiqihMuamalat
(Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 68.
24

Jual beli yang dilarang dalam Islam terbagi menjadi dua yaitu, jual

beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (bathil) dan jual beli yang

hukumnya sah tetapi dilarang karena beberapa faktor yang menghalangi

kebolehannya (fasid). Berikut akan dijelaska tentang contoh-contoh jual

beli bathil dan fasid.23

1. Jual Beli Bathil

Jual beli bathil merupakan segala jenis jual beli yang terdapat

kekurangan baik rukunnya maupun syaratnya, tempatnya atau jual

beli yang tidak disyariatkan baik aslinya atau sifatnya, seperti orang

yang berakad bukan ahlinya atau tempat akad tidak zhahir walaupun

bentuknya ada, tetapi tidak menjadikan hak kepemilikan sedikitpun

seperti anak kecil, orang gila, jual beli yang tak berupa harta seperti

bangkai atau sesuatu yang tidak berharga seperti minuman keras dan

babi. Berikut beberapa contoh jual beli yang bathil, yaitu:

a. Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh di perjual

belikan Barang yang najis atau haram atau haram dimakan, haram

juga untuk diperjualbelikan, seperti babi, berhala, bangkai dan khamar

(minuman yang memabukkan). Termasuk dalam kategori ini, yaitu

jual beli anggur dengan maksud untuk untuk dijadikan khamar (arak).

b. Jual beli yang belum jelas (gharar) Sesuatu yang bersifat spekulasi

atau samar-samar haram untuk diperjualbelikan, karena dapat

merugikan salah satu pihak baik penjual maupun pembeli.


23
Minhajuddin, Hikmah dan Filsafat Fikih Muamalah dalam Islam (Cet. I; Makassar:Alauddin
University Press, 2011), h. 118.
25

Yang dimaksud dengan samar-samar adalah tidak jelas, baik barnganya,

harganya, kadarnya, masa pembayarannya, maupun ketidakjelasan

yang lainnya. Jual beli yang dilarang karena samar-samar antara lain:

1) Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya. Misalnya,

menjual putik mangga untuk dipetik dikemudian hari saat

buahnya telah tua/masak nanti. Termasuk dalam hal ini larangan

menjual pohon secara tahunan

2) Jual beli barang yang belum tampak. Misalnya, menjual ikan

dikolam/laut, menjual singkong/ubi yang masih berada dalam

tanah/ditanam, menjual anak ternak yamng masih dalam

kandungan induknya dan menjual pakaian dalam karung.

c. Jual beli bersyarat

Jual beli yang ijab qabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat

tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli atau ada unsur-

unsur yang merugikan yang dilarang oleh agama. Contoh jual beli

yang bersyarat yang dilarang, misalnya ketika terjadi ijab dan qabul si

pembeli berkata: “baik, mobilmu akan kubeli sekian dengan syarat

anak gadismu harus menjadi istriku”. Atau sebaliknya si penjual

berkata: “ya, saya jual mobil ini kepadamu sekian, asalkan anak

gadismu menjadi istriku”. 24

24
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat (Cet. I; Jakarata: Kencana Prenada Media Group,
2010), h. 80-83.
26

d. Jual beli yang menimbulkan kemudaratan.

Segala sesuatu yang menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan

bahkan kemusyrikan dilarang untuk diperjual belikan, seperti jual beli

patung berhala, salib, dan buku-buku bacaan porno. Memperjual

belikan barangbarang ini dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan

maksiat. Sebaliknya dengan dilarangnya jual beli barang ini maka

hikmahnya minimal dapat mencegah dan menjauhkan manusia dari

perbuatan dosa dan maksiat.

e. Jual beli yang dilarang karena dianiaya

Segala bentuk jual beli yang dapat mengakibatkan

penganiayaan hukumnya adalah haram, seperti menjual anak binatang

yang masih membutuhkan (bergantung) kepeda induknya. Menjual

binatang seperti ini, selain memisahkan anak binatang ini dari

induknya juga melakukan penganiayaan terhadap anak binatang ini.

f. Jual beli muzabanah dan muhaqalah

Seorang muslim tidak boleh menjual anggur atau buah-

buahan lainnya yang masih berada dipohonnya secara perkiraan

dengan anggur kering atau buah-buahan kering lainnya yang ditakar.

Atau menjual tanaman di mayangnya secara perkiraan dengan biji-

bijian yang ditakar, atau menjual kurma di pohonnya dengan kurma

matang yang ditakar, kecuali jual beli araya yang diperbolehkan oleh

Rasulullah SAW. Jual beli araya adalah seorang muslim yang

menghibahkan satu pohon kurma, atau beberapa pohon kurma yang


27

kurmanya tidak lebih dari lima wasak (satu wasak sama dengan 60

gantang) kepada saudara seagamanya, karena penerima hibah tidak

bisa memasuki kebun itu untuk memanen kurmanya, pemberi hibah

membeli pohon kurma itu dari penerima hibah dengan kurma matang

berdasarakan perkiraan.

g. Jual beli mukhadharah

Jual beli mukhadarah yaitu menjual buah-buahan yang masih

hijau (belum pantas dipanen). Seperti menjual rambutan yang masih

hijau, mangga yang masih kecil-kecil (masih mentah). Hal ini dilarang

dalam agama karena objeknya masih samar (tidak jelas), dalam artian

mungkin saja buah ini jatuh tertiup angin kencang atau layu sebelum

diambil oleh pembelinya.

F. Metode Peneltian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan

metode deskriptif, karena peneliti ingin mendapatkan informasi

dan gambaran yang sebenarnya tentang : Praktik Jual Beli Buah-

Buahan Di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di Desa

Tanjung bugis jalan Akhmad Marzuki Kec. Sambas)

Penelitian Deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan

untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai fakta -fakta,

sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Sedangkan Penelitian Kualitatif adalah adalah penelitian yang


28

bertujuan memahami realitas sosial, yaitu melihat dunia dari apa

adanya, bukan dunia yang seharusnya, maka seorang peneliti

kualitatif haruslah orang yang memiliki sifat open minded yakni

bertujuan untuk menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata

lisan atau dari orang-orang dan prilaku mereka yang dapat diamati.

2. Setting Penelitian

Setting penelitian adalah hal-hal yang berkaitan dengan

lingkungan, tempat atau wilayah yang akan dijadikan lokasi atau

obyek penelitian. Tempat penelitian ini terletak di Desa Tanjung bugis

jalan Akhmad Marzuki Kec. Sambas. Fokus penelitian yakni penjual

buah-buahan di pohon dan pembelinya sekaligus Hukum dalam

Islamnya. Alasan metodologis atas pemilihan adalah dengan adanya

transparansi akan hasil penelitian ini akan memberikan titik terang

kepada peneliti dan juga penjual dan pembeli lainnya agar menjadi

penjual yang sesuai syariat islam dengan memperhatikan beberapa

ketentuan yang telah ditetepkan oleh Allah SWT.

3. Sumber Data

Sumber Data Primer yang akan diperoleh yaitu data yang

diperoleh langsung dari penelitian di lapangan, yang sumbernya

dari responden, dan hasil wawancara dengan pihak yang

bersangkutan. Dari penelitian ini penjual dan pembeli dengan prakti

jual beli buah-buahan di pohon. Data Sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari laporan , hasil wawancara dengan pihak penjual dan


29

warga setempat di jalan Akhmad Marzuki Desa Tanjung Bugis

Kecamatan Sambas tersebut.

4. Teknik dan alat pengumpulan data

Dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk

mengungkapkan masalah yang terdapat pada bagian awal penelitian

ini digunakan ada beberapa teknik yaitu:

a. Observasi

Observasi adalah instrument lain yang sering di jumpai

dalam penelitian. Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan

secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan

gejala-gejala psikis kemudian dilakukan pencatatan. Dalam

obsevasi ini, peneliti lebih banyak menggunakan salah satu panca

indranya yaitu indra penglihatan dan juga pendengaran.

Instrument observasi akan lebih efektif jika informasi yang

hendak di ambil berupa fakta alami, tingkah laku dan hasil kerja

responden dalam situasi alami. Alat yang digunakan dalam

melakukan observasi adalah berupa pedoman observasi dan juga

daptar ceklis.

b. Wawancara

Wawancara adalah menanyakan sesuatu yang di

rencanakan sebelumnya oleh peneliti kepada responden dan

hasilnya di catat sebagai informasi penting dalam sebuah

penelitian. Wawancara ini di lakukan kepada warga Kampung


30

Bugis yang bertujuan untuk mengetahui pendekatan tentang apa

yang sebenarnya di teliti oleh peneliti.Untuk mendapatkan data

primer dilakukan melalui wawancara secara langsung den gan

pihak lainnya yang bersangkutan dengan apa yang hendak di

teliti.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu cara untuk pengumpulan

data melalui profil tertulis yang berupa arsip, buku-buku tentang

teori dan data lainnya yang berhubungan dengan : Praktik Jual Beli

Buah-Buahan Di Pohon Ditinjau Dari Fiqh Mu’amalah (Studi Kasus di

Desa Tanjung bugis jalan Akhmad Marzuki Kec. Sambas) Teknik

dokumentasi di gunakan untuk melengkapi data yang telah ada.

5. Teknik analisa data

Proses analisis data deskriptif kualitatif di lakukan melalui

tahapan yang merupakan analisis terhadap data riil yang diperoleh

dari lapangan dan belum diolah. Pada tahap ini, yang dilakukan

adalah membuat data yang akan diolah (berdasarkan data yang di

peroleh).

6. Teknik pemeriksaan keabsahan data

Karenakan data yang terkumpul tidak selamanya sesuai

dengan fokus masalah, atau memungkinkan terdapat kekurangan

dan kesalahan, untuk itu diperlukan pengecekan ulang atau

pemeriksaan terhadap keabsahan data terhadap kebenaran data yang


31

terkumpul, sehingga data yang diperoleh benar-benar memiliki

kredibilitas yang tinggi. Untuk memeriksa keabsahan data ini

diperlukan teknik pemeriksaan yang tepat.

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk

pengecekan keabsahan data, akan tetapi peneliti hanya

menggunakan beberapa teknik saja, yaitu :

a. Memperpanjang masa observasi.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen

itu sendiri. Oleh sebab itu keterlibatan keikutsertaan peneliti

sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan

tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, akan tetapi

memerlukan perpanjangan waktu penelitian. Perpanjangan masa

observasi menuntut peneliti agar dalam mengumpulkan data

dapat mendeteksi dan memperhitungkan keraguan yang

memungkinkan mengotori data.

b. Triangulasi

Triangulasi dapat diartikan sebagai teknik pengumpulan

data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.

Anda mungkin juga menyukai