Anda di halaman 1dari 16

Hukum Acara Perdata

Pengertian Hukum Acara Perdata

Mertokusumo mendefinisikan hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang


mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan
hakim.1 Lebih konkret lagi dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan
daripada putusannya.
Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting (main
hakim sendiri).2 Tindakan main hakim sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak
menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak
lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan
main hakim sendiri tidak dibenarkan dalam hal kita hendak memperjuangkan atau
melaksanakan hak kita.
Asas Hukum Acara Perdata

Asas hukum acara perdata menurut Mertokusumo (2009) adalah:3


1. Hakim bersifat menunggu, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak
diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap
menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Artinya bahwa kalau
tdk ada tuntutan hak atau penuntutan maka tdk ada hakim (Judex sine actore).

2. Hakim bersifat pasif, artinya bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak
yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan.

1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Kedelapan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2009), halaman 2
2
R. Suroso, Praktik Hukum Acara Perdata "Tata Cara Dan Proses Persidangan" Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), halaman 5
3
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. Halaman 10

1
3. Peradilan terbuka untuk umum (openbaarheid Van rechtspraak), yaitu sidang
pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang artinya
bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di
persidangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan
yang adil kepada masyarakat.

4. Mendengar kedua belah pihak, artinya bahwa kedua belah pihak yang bersengketa
(penggugat dan tergugat) haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar
bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang.

5. Putusan disertai alasan, artinya bahwa alasan-alasan atau argumentasi itu


dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab Hakim dari pada putusannya terhadap
masyarakat, para pihak, penadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum, sehingga oleh
karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka
putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang
menjatuhkannya.

6. Beracara dikenai biaya, biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, biaya
panggilan dan pemberitahuan para pihak, serta jika menggunakan jasa bantuan
advokat. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat
mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi, namun pada prakteknya
cukup dibuat oleh camat.

7. Tidak ada keharusan mewakilkan, HIR tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara
langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak
dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya (advokat) kalau dikehendaki.

Gugatan

Gugatan dalam perkara perdata terdiri dari gugatan yang mengandung sengketa
(contentieus) dan gugatan yang tidak mengandung sengketa (voluntair). Pada dasarnya dalam

2
mengajukan tuntutan dalam perkara perdata berlaku asas "point d'interest, point d'action" yaitu
jika tidak ada kepentingan, maka tidak ada tuntutan. 4
Pada asasnya, para pihak harus menghadap sendiri dalam mengajukan gugatan. Tetapi
mereka dapat diwakili oleh seorang kuasa. Berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR dan pasal 147
ayat (1) RBg, kuasa ini dapat diberikan secara lisan, yaitu apabila pihak yang bersangkutan
atau pemberi kuasa hadir juga secara pribadi di persidangan. Atau para pihak dapat memberi
kuasa kepada wakilnya secara tertulis dengan surat kuasa khusus. Surat kuasa yang bersifat
umum tidaklah mencukupi, sehingga secara khusus harus dicantumkan pihak-pihak yang
bersengketa serta disebut secara konkrit pokok perselisihan.5
Surat kuasa khusus tersebut dapat dibuat secara otentik yaitu akta yang dibuat di
hadapan notaris atau panitera. Tetapi dapat juga dibuat di bawah tangan. Apabila digunakan
sidik jari atau cap jempol sebagai identitas dari si pemberi kuasa, disahkan oleh Pengadilan
Negeri, Bupati, atau Camat. Surat kuasa khusus tidak diperlukan bagi pegawai negeri yang
bertindak selaku wakil pemerintah di muka pengadilan. Sekalipun sudah ada surat kuasa, tetapi
pengadilan dapat memanggil para pihak yang diwakili untuk menghadap di persidangan.
Selain itu, suatu gugatan bisa diajukan oleh perwakilan kelompok, yang berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara. Gugatan Perwakilan
Kelompok disebut dengan gugatan Class Action yaitu dalam hal ini satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Unsur dari gugatan class action adalah Wakil Kelompok (Class Representatif) adalah
satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili
kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Class Representatif dalam hal ini disebut
dengan penggugat aktif. Sedangkan Anggota Kelompok (Class members) adalah sekelompok
orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh
wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan
dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. 6

4
Ibid, halaman 84
5
bid, halaman 103
6
Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Panduan Tentang Class Action, Legal
Standing, Pra Peradilan dan Judicial Review, diakses tanggal 09 Juli 2014 pukul 16.19 WIB dari
http://pukat.hukum.ugm.ac.id/index.php?action=modul.content&id=3

3
Adanya kerugian yang nyata-nyata diderita untuk dapat mengajukan class action baik
pihak wakil kelompok (class repesentatif ) maupun anggota kelompok (class members) harus
benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties.
Pihak-pihak yang tidak mengalami kerugian secara nyata tidak dapat memiliki kewenangan
untuk mengajukan Class Action.
Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak yang berperkara dalam hukum acara perdata adalah
menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu perkara di pengadilan, agar mau memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang
diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.7 Pemanggilan para pihak yang
berperkara secara sah dan patut hanya bisa dilakukan oleh panitera (jurusita).
Tata cara pelaksanaan dan penerapan pemanggilan kepada penggugat dan tergugat
dalam hukum acara perdata antara lain:8
1. Majelis Memerintahkan Pemanggilan

Setelah menerima pelimpahan berkas dari Ketua PN, majelis segera menetapkan
hari sidang. Penetapan diikuti pencatuman perintah kepada panitera (jurusita) untuk
memanggil kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) supaya hadir di depan sidang
pengadilan pada waktu yang telah ditentukan. Sekaligus juga menghadirkan saksi-saksi
dari kedua belah pihak.

2. Yang Melaksanakan Pemanggilan

a. Berdasarkan Pasal 388, jo Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:

b. Dilakukan oleh jurusita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya


(mengikuti yuridiksi relatif PN);

c. Jika orang yang hendak dipanggil berada di luar yuridiksi relatif yang dimilinya,
maka jurusita yang bersangkutan mendelegasikan pemanggilan kepada jurusita
yang berwenang di wilayah hukum tersebut.

3. Bentuk Panggilan

7
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman 213
8
Ibid, halaman 219

4
Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan
dalam bentuk:

a. Surat tertulis (in writing);

b. Lazim disebut dengan surat panggilan atau relaas panggilan maupun berita acara
panggilan; dan

c. Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan
keabsahannya. Oleh karena itu, panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum.

Menurut Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan yang dilakukan melalui telegram atau surat
tercatat, dianggap sebagai panggilan atau pemberitahuan yang patut (properly). Dari segi
pendekatan hukum yang sempit (strict law) dan formalistic legal thinking, bentuk-bentuk
panggilan elektronik melalui radio, televisi, atau internet dan bentuk iklan melalui media
cetak dianggap bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, berpijak pada pendekatan
perubahan sosial (social change), bentuk-bentuk seperti yang dimaksud dapat
diakomodasi. Bahkan khusus mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass
media, telah dibenarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut PP Nomor 9 Tahun 1975). Meskipun ketentuan Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975
dimaksudkan untuk pemanggilan para pihak dalam perkara perceraian, ketentuan ini dapat
diterapkan secara analogis dalam perkara perdata yang lain.

4. Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv yang
menjelaskan surat panggilan pertama berisi:

a. nama yang dipanggil;

b. hari, dan jam, serta tempat sidang;

c. membawa saksi-saksi yang diperlukan;

d. membawa surat-surat yang hendak digunakan; dan

e. penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat

Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah
imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai
mencantumkannya, mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah.

5
Akan tetapi, untuk menghindari proses peradilan yang terlampau bercorak sempit
dan kaku, jika salah satu di antaranya tidak tercantum, dapat ditolerir, asalkan kelalaian itu
tidak mengenai nama orang yang dipanggil dan hari, serta tempat sidang.

Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal
1 Rv mewajibkan juru sita untuk:

a. melampiri surat panggilan dengan salinan gugatan; dan

b. salinan tersebut dianggap gugatan asli.

5. Cara Panggilan Secara Sah

a. Tempat tinggal tergugat diketahui

Apabila tempat tinggal atau tempat kediaman tergugat atau orang yang
dipanggil diketahui, tata cara pemanggilan yang sah adalah sebagai berikut:

1) Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan tergugat (Pasa 390 ayat
(1), Pasal 1 Rv);

2) Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri (in person) yaitu kepada tergugat atau
keluarganya:

a) Mengenai pengertian in person, diperluas oleh Pasal 3 Rv meliputi keluarganya. Tetapi


sejauh mana pengertian keluarga yang disebut dalam pasal ini, tidak dijelaskan lebih lanjut;

b) Praktek peradilan telah menganggap sah panggilan yang disampaikan kepada keluarga
apabila tergugat secara in person tidak ditemui jurusita di tempat kediamannya.

c) Jangkauan pengertian keluarga dalam praktik peradilan meliputi keluarga tergugat dalam
garis lurus ke atas dan ke bawah, serta termasuk istri atau suami

3) Disampaikan kepada kepala desa, apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui
jurusita di tempat tinggal atau kediaman. Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 3 Rv menjelaskan,
apabila yang bersangkutan atau keluarganya tidak ditemui oleh jurusita di tempat tinggalnya
maka:

a) Penyampaian kepada kepala desa, diikuti dengan perintah agar segera menyampaiakan
surat panggilan itu kepada yang bersangkutan;

b) Sahnya panggilan dalam hal ini, apabila kepala desa benar-benar menyampaikan panggilan
tersebut kepada yang bersangkutan;

6
c) Untuk menegakkan kepastian hukum dan tata tertib beracara, pengembalian penyampaian
relaas panggilan ke pengadilan, dianggap merupakan syarat formil keabsahan penyampaian
penggilan guna menghindari kerugian kepada pihak yang bersangkutan.

b. Tempat tinggal tergugat tidak diketahui

Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tata cara penyampaian
panggilan kepada tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Secara hukum
tempat tinggal tergugat tidak diketahui berpatokan pada faktor:

1) Surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada identitas tergugat, bahwa
tempat tinggal atau tempat kediamannya tidak diketahui.

2) Atau pada identitas tergugat, surat gugatan menyebutkan dengan jelas tempat
tinggalnya tetapi pada saat juru sita melakukan pemanggilan, ternyata tergugat tidak
ditemukan di tempat tersebut, dan menurut penjelasan kepala desa, yang
bersangkutan sudah meninggalkan tempat itu tanpa menyebut alamat tempat tinggal
baru.

Mengahapi kasus seperti itu, jika secara faktual tidak diketahui tempat tinggal
tergugat di Indonesia maupun di luar negeri, maka undang-undang telah menentukan
cara panggilan yang sah menurut hukum:

1) Surat panggilan (surat jurusita) disampaikan kepada bupati atau walikota, sesuai dengan
yuridiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.

2) Bupati atau walikota tersebut:

a) Mengumumkan atau memaklumkan surat jurusita itu;

b) Caranya, dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan pengadilan negeri
yang bersangkutan.

c) Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv, pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah
satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan
wilayah hukum PN yang bersangkutan. Panggilan seperti itu disebut dengan panggilan umum
atau pemberitahuan (general convocation).

c. Pemanggilan Tergugat yang berada di Luar Negeri

7
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ke-8 Rv diatur pemanggilan terhadap mereka
yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di
Indonesia dengan cara:

1) Panggilan disampaikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) sesuai dengan yuridiksi relatif
yang dimilikinya;

2) JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya;

3) Mengirimkan tuntutannya kepada pemerintah (Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan


kepada yang bersangkutan.

Praktiknya, ketentuan tersebut disederhanakan dengan penetapan sebagai


berikut:

1) Tempat tinggal di luar negeri diketahui

a) Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik; dan

b) Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu), kedutaan, atau konsulat


langsung dilakukan oleh jurusita tanpa melibatkan JPU.

2) Tempat tinggalnya tidak diketahui

Dalam kasus seperti ini, tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal
390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv yaitu disampaikan melalui panggilan umum.

d. Pemanggilan terhadap yang Meninggal

Berdasarkan ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, apabila tergugat
atau orang yang hendak dipanggil meninggal dunia, maka tata cara pemanggilannya
adalah sebagai berikut:

1) Apabila ahli waris dikenal

Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan


nama dan tempat tinggal mereka satu persatu. Dalam hal ini, cukup disebut nama
dan tempat tinggal pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat
tinggal almarhum (pewais) yang terakhir.

2) Apabila ahli waris tidak dikenal

a) Panggilan disampaikan kepada kepala desa di tempat tinggal terakhir almarhum

b) Kepala desa segera menyampaikan panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum

8
c) Jika kepala desa tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan
kepada jurusita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui atau tidak dikenal. Atas
dasar penjelasan kepala desa itu, jurusita dapat menempuh tata cara melalui panggilan umum.

Putusan Verstek dan Upaya Hukum Verzet

Ada kemungkinan pada hari sidang yang telah ditetapkan, tergugat tidak datang dan
tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap di persidangan, walaupun sudah dipanggil dan
diberitahu dengan patut dan sah oleh panitera (jurusita). Apabila tergugat tidak datang setelah
dipanggil dengan patut dan sah, maka gugatan dikabulkan dengan putusan di luar hadir atau
verstek.
Pasal 125 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa:
Jika tergugat, meskipun dipanggil dengan sah tidak datang pada hari yang ditentukan
dan tidak menyuruh orang kain menghadap sebagai wakilnya maka tuntutan itu
diterima dengan putusan tanpa kehadiran (verstek) kecuali kalau nyata bagi
pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan.

Jika kita simak makna kalimat terakhir dalam pasal di atas, maka dapat diartikan
bahwa hakim dapat mengabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat jika gugatan tersebut
tidak melawan hak dan beralasan hukum.9
Pasal 78 Rv menyebutkan bahwa:
Jika tergugat tidak datang menghadap setelah tenggang waktu serta tata tertib acara
dipenuhi maka putusan dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat dan gugatan penggugat
dikabulkan kecuali jika hakim menganggap gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar
hukum.

Berdasarkan rumusan pasal di atas, dapat ditarik beberapa elemen penting sebagai
berikut:10
1. Tergugat tidak datang menghadap;
2. Setelah tenggang waktu serta tata tertib acara dipenuhi;
3. Putusan verstek dijatuhkan dengan gugatan dikabulkan; dan
4. Kecuali jika gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar hukum.
Apabila gugatan dikabulkan tanpa kehadiran tergugat, maka putusan pengadilan
diberitahukan kepada tergugat serta dijelaskan bahwa tergugat berhak mengajukan perlawanan

9
D. Y. Witanto, Hukum Acara Perdata tentang Ketidakhadiran Para Pihak dalam Proses Berperkara (Gugur dan
Verstek), (Bandung: Mandar Maju, 2013), halaman 121
10
Ibid

9
(verzet) terhadap putusan verstek itu kepada hakim yang memeriksa perkara itu juga (Pasal 123
ayat (3) jo. 129 HIR dan Pasal 149 ayat (3) jo. 153 RBg).11
Perlawanan dapat diajukan dalam 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan
putusan verstek tersebut kepada tergugat secara pribadi (in person). Apabila pemberitahuan itu
tidak disampaikan kepada tergugat pribadi, maka perlawanan dapat diajukan sampai hari ke-8
(kedelapan) setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu atau apabila tergugat tidak
datang menghadap untuk ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8
(kedelapan) sesudah putusan verstek itu dijalankan (Pasal 129 ayat (2) HIR dan Pasal 153 ayat
(2) RBg). Apabila perlawanan diterima oleh pengadilan, maka pelaksanaan putusan verstek
terhenti, kecuali kalau ada perintah untuk melanjutkan pelaksanaan putusan verstek itu.
Pembuktian

Membuktikan dalam bidang hukum acara perdata berarti memberi kepastian kepada
hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Tujuan pembuktian adalah agar putusan
hakim bersifat objektif berdasarkan pada pembuktian tersebut. Pembuktian dalam ranah
hukum acara perdata merupakan pembuktian formil. Menurut Mertokusumo (2009), alat-alat
bukti hukum acara perdata terdiri dari:
1. Alat bukti tertulis
2. Pembuktian dengan saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
6. Pemeriksaan setempat
7. Keterangan ahli (expertise)

Menurut Soeroso satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain tidak dapat
diterima sebagai pembuktian.12
Suatu peristiwa dalam beberapa hal tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim,
karena peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin
diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan
kebenarannya yaitu misalnya dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak

11
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. halaman 111
12
R. Soeroso, Yurispudensi Hukum Acara Perdata Bagian Keempat Tentang Pembuktian, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), halaman 15

10
datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugatan tanpa
diadakan pembuktian dianggap benar tanpa mendengar konfirmasi dari pihak tergugat.13
Pembatalan Hak Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
Pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 1 butir 14 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 (selanjutnya disebut
Perkaban 9 Tahun 1999) tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan adalah
Pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertipikat hak atas
tanah karena keputusan tersebut mengandung cacad hukum administrasi dalam
penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Perkaban 9 Tahun 1999 mengatur mengenai pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri. Namun Menteri
dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor
Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) Perkaban
9 Tahun 1999.
Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan keputusan pemberian hak, sertipikat
hak atas tanah keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.
Pembatalan hak atas tanah tersebut diterbitkan karena terdapat cacat hukum administrasi dalam
penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertipikat hak atas tanahnya atau melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Cacad hukum yang administratif yang dimaksud berdasarkan Pasal 107 Perkaban 9
Tahun 1999 antara lain:
a. Kesalahan prosedur;
b.Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
c. Kesalahan subjek hak;
d.Kesalahan objek hak;
e. Kesalahan jenis hak;
f. Kesalahan perhitungan luas;
g.Terdapat tumpang tindis hak atas tanah;
h.Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

13
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. Halaman 134

11
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam
penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat
yang berwenang tanpa permohonan. Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat
yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacad hukum administratif dalam
proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertipikatnya tanpa adanya permohonan.
Kepala Kantor Pertanahan dalam kondisi tersebut mengadakan penelitian data yuridis
dan data fisik terhadap keputusan pemberian dan/atau sertipikat yang diketahui cacad hukum
administratif dalam penerbitannya. Kemudian hasil penelitian disampaikan kepada Kepala
Kantor Wilayah atau kepada Menteri untuk diusulkan pembatalannya disertai dengan pendapat
dan pertimbangannya.
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap diatur Pasal 124 sampai Pasal 133 Perkaban 9 Tahun
1999 yaitu:
Pasal 124 ayat (1) dan (2)

Ayat (1) : Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas
permohonan yang berkepentingan

Ayat (2) : Amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
meliputi dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang
pada intinya sama dengan itu.

Pasal 125 ayat (1) dan (2)

Ayat (1) : Permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan


yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan langsung
kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kepala Kantor
Pertanahan.

Ayat (2) : Satu permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya
untuk satu atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya dalam satu
Kabupaten/Kota.

Pasal 126 ayat (1) dan (2)

Ayat (1) : Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 memuat:
1. Keterangan mengenai Pemohon:
a. apabila perseorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya;
b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya:
a. nomor/ jenis hak atas tanah;
b. letak tanah, batas-batas dan luas tanah.

12
3. Alasan permohonan pembatalan dan bukti-bukti lain yang mendukung.
Ayat (2) : Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 harus
dilampiri dengan:
a. foto copy identitas;
b. foto copy surat keputusan/sertipikat;
c. foto copy akta pendirian badan hukum;
d. foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan terakhir;
e. berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana;
f. atau surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

Pasal 127
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 diajukan melalui
Kepala Kantor Pertanahan, setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor
Pertanahan:
1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
2. Mencatat dalam formulir isian.
3. Memberikan tanda terima berkas permohonan pembatalan.
4. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan fisik jika masih
diperlukan.

Pasal 128 ayat (1) dan (2)

Ayat (1) : Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan


kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan pembatalan hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 serta mencocokkan hak atas
tanah dengan amar putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
124 ayat (2) dengan data yuridis yang terakhir sebelum diproses lebih lanjut
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2) : Apabila berkas dianggap telah lengkap tetapi ternyata terdapat perbedaan
antara data yuridis dan data fisik dengan amar putusan pengadilan, Kepala
Kantor Pertanahan menyampaikan berkas permohonan tersebut disertai
dengan keterangan mengenai perbedaan dimaksud kepada Menteri.
Pasal 129 ayat (1), (2), (3), dan (4)

Ayat (1) : Setelah menerima berkas permohonan dan keterangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2), Menteri memerintahkan kepada Pejabat
yang ditunjuk untuk:
1. Mencatat dalam formulir isian.
2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap
segera meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk melengkapinya.

Ayat (2) : Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
permohonan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 124 dan memeriksa
kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan
pengadilan dilaksanakan.

Ayat (3) : Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan


pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa

13
amar putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan alasan
dan pertimbangannya.

Ayat (4) : Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan,
Menteri dapat mohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan
amar putusan pengadilan dimaksud.

Pasal 130
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 129 berlaku
mutatis mutandis permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan
pengadilan merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah.

Pasal 131 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)


Ayat (1) : Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan langsung
kepada Menteri, setelah berkas permohonan diterima, Menteri
memerintahkan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk :
1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap
segera minta kepada pemohon untuk melengkapinya.
2. Mencatat dalam formulir isian.

Ayat (2) : Selanjutnya Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan
data fisik permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dan
memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar
putusan pengadilan dilaksanakan.

Ayat (3) : Apabila terjadi perubahan data yuridis dan/atau data fisik, Menteri dapat
memerintahkan Kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti
perubahan tersebut dan melaporkan hasilnya untuk dijadikan bahan
pertimbangan untuk menerbitkan keputusan pembatalan hak atau tidak
melaksanakan amar putusan pengadilan.

Ayat (4) : Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan


pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan amar
putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan
pertimbangannya.

Ayat (5) : Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan,
Menteri dapat mohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan
amar putusan pengadilan dimaksud.

Pasal 132
Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan amar putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diajukan langsung
kepada Kepala Kantor Wilayah diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 131.

Pasal 133
Keputusan pembatalan hak atas tanah atau keputusan tidak melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kakuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 129 ayat (3) dan Pasal 132 disampaikan kepada pemohon memalui surat
14
tercatat dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang
berhak.

15
16

Anda mungkin juga menyukai