Anda di halaman 1dari 5

1.

Refleks Miksi
Refleks Miksi, atau berkemih, proses pengosongan kandung kemih, diatur oleh dua
mekanisme: refleks berkemih dan kontrol volunter. Refleks berkemih dimulai ketika reseptor
regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih pada orang dewasa dapat
menampung hingga 250 hingga 400 mL urine sebelum tegangan di dindingnya mulai cukup
meningkat untuk mengaktifkan reseptor regang. Semakin besar tegangan yang melebihi ukuran
ini, semakin besar tingkat aktivasi reseptor. Serat-serat aferen dari reseptor regang membawa
impuls ke korda spinalis dan akhirnya, melalui antarneuron, merangsang saraf parasimpatis
untuk kandung kemih dan menghambat neuron motorik ke sfingter eksternum. (Sherwood,
2014)
Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi. Tidak
ada mekanisme khusus yang dibutuhkan untuk membuka sfingter internum; perubahan bentuk
kandung kemih selama kontraksi secara mekanis akan menarik terbuka sfingter internum.
Secara bersamaan, sfingter eksternum melemas karena neuron-neuron motoriknya dihambat.
Kini kedua sfingter terbuka dan urine terdorong melalui uretra oleh gaya yang ditimbulkan oleh
kontraksi kandung kemih. Refleks berkemih ini, yang seluruhnya adalah refleks spinal,
mengatur pengosongan kandung kemih pada bayi. Segera setelah kandung kemih terisi cukup
untuk memicu refleks, bayi secara otomatis berkemih. (Sherwood, 2014)

Kontrol Volunter Berkemih


Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga menyadarkan yang
bersangkutan terhadap keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya kandung kemih muncul
sebelum sfingter eksternum secara refleks melemas, memberi peringatan bahwa miksi akan
segera terjadi. Akibatnya, kontrol volunter berkemih, yang dipelajari selama toilet training pada
masa anak-anak dini, dapat mengalahkan refleks berkemih sehingga pengosongan kandung
kemih dapat berlangsung sesuai keinginan yang bersangkutan dan bukan ketika pengisian
kandung kemih pertama kali mengaktifkan reseptor regang. (Sherwood, 2014)
Jika waktu refleks miksi yang dimulai tersebut kurang sesuai untuk berkemih, yang
bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah pengosongan kandung kemih dengan
mengencangkan sfingter eksternum dan diafragma pelvis. Impuls eksitatorik volunter dari
korteks serebrum mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron
motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan tidak ada urine yang keluar.
(Sherwood, 2014)
Berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena kandung kemih terus terisi, sinyal refleks
dari reseptor regang meningkat seiring waktu. Akhirnya, sinyal inhibitorik refleks ke neuron
motorik sfingter eksternum menjadi sedemikian kuat yang tidak lagi dapat diatasi oleh sinyal
eksitatorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak-terkontrol
mengosongkan isinya. (Sherwood, 2014)
Berkemih dapat juga dimulai dengan sengaja walaupun kandung kemih tidak teregang,
yaitu dengan secara sadar melemaskan sfingter uretra eksternal dan diafragma pelvis. Dengan
merendahkan rongga dasar pelvis, kandung kemih jatuh ke bawah, yang secara bersamaan
menarik sfingter uretra interna terbuka dan meregangkan dinding kandung kemih. Aktivasi
lebih lanjut reseptor regang menyebabkan kontraksi kandung kemih melalui refleks berkemih.
Pengosongan kandung kemih yang disadari juga dibantu oleh kontraksi dinding abdomen dan
diafragma pernapasan. Hasil dari peningkatan tekanan intraabdominal memeras kandung kemih
untuk memudahkan pengosongannya. (Sherwood, 2014)
Gambar 2.1 Kontrol refleks dan volunter berkemih. (Sherwood, 2014)
Gambar 2.2 Kandung kemih dan persarafannya. (Guyton, 2016)

Kandung kemih mendapat persarafan utama dari nervus pelvikus, yang berhubungan dengan
medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama dengan segmen S-2 dan S-3 medula spinalis.
Dalam nervus pelvikus terdapat dua jenis saraf yaitu serat saraf sensorik dan serat saraf motorik.
Serat sensorik mendeteksi derajat regangan dalam dinding kandung kemih. Sinyal-sinyal regangan
khususnya dari uretra posterior merupakan sinyal yang kuat dan terutama berperan untuk memicu
refleks pengosongan kandung kemih. Persarafan motorik yang dibawa dalam nervus pelvikus
merupakan serat parasimpatis. Saraf ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding
kandung kemih. Kemudian saraf-saraf postganglionik yang pendek akan mempersarafi otot
detrusor. (Guyton, 2016)
Selain saraf pelvis, terdapat dua jenis persarafan lain yang penting untuk mengatur fungsi
kandung kemih. Saraf yang paling penting adalah serat motorik skeletal yang dibawa melalui
nervus pudendus ke sfingter eksterna kandung kemih. Saraf ini merupakan serat saraf somatik
yang mempersarafi dan mengatur otot rangka volunter sfingter tersebut. Kandung kemih juga
mendapatkan persarafan simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrik, yang
terutama berhubungan dengan segmen L-2 medula spinalis. Serat simpatis ini terutama
merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap proses kontraksi kandung kemih.
(Guyton, 2016)
Fasilitasi atau Inhibisi Proses Miksi oleh Otak
Refleks miksi adalah refleks medula spinalis yang bersifat otonom, tetapi dapat dihambat atau
difasilitasi oleh pusat di otak. Pusat ini meliputi (1) pusat fasilitasi dan inhibisi kuat di batang otak,
terutama terletak di pons, dan (2) beberapa pusat yang terletak di korteks serebri yang terutama
bersifat inhibisi tetapi dapat berubah menjadi eksitasi. Refleks miksi merupakan penyebab dasar
berkemih, tetapi biasanya pusat yang lebih tinggi yang akan melakukan kendali akhir untuk proses
miksi sebagai berikut.
1) Pusat yang lebih tinggi menjaga agar refleks miksi tetap terhambat sebagian, kecuali bila
miksi diinginkan.
2) Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah miksi, bahkan jika terjadi refleks miksi, dengan
cara sfingter kandung kemih eksterna melakukan kontraksi tonik hingga saat yang tepat
datang.
3) Jika waktu berkemih tiba, pusat kortikal dapat memfasilitasi pusat miksi sakral untuk
membantu memulai refleks miksi dan pada saat yang sama menghambat sfingter eksterna
sehingga pengeluaran urine dapat terjadi. (Guyton, 2016)

Anda mungkin juga menyukai