Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ pengaruh obat
pada lansia ”
Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan bantuan serta masukan dan dukungan demi
terciptanya makalah ini.
Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat
kekurangan baik dari segi materi maupun tata bahasa. Oleh karena itu kami sangata
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang tingkatan dalam komunikasi ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi bagi para pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006)
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena
beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi
obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada
seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan
diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi
interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi
atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut
yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia
ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus,
gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu
lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan
pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang
banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
A. Definisi Lansia
Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan
normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan
merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalah kelompok orang
yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu
beberapa dekade. Menurut WHO (1989), dikatakan usia lanjut tergantung dari
konteks kebutuhan yang tidak dipisah-pisahkan. Konteks kebutuhan tersebut
dihubungkan secara biologis, sosial, dan ekonomi dan dikatakan usia lanjut dimulai
paling tidak saat masa puber dan prosesnya berlansung sampai kehidupan dewasa
(Depkes RI, 1999). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), lanjut usia
adalah tahap masa tua dalam perkembanganindividu dengan batas usia 60 tahun ke
atas. Lebih rinci, batasan penduduk lansia dapat dilihat dari aspek-aspek biologi,
ekonomi, sosial, dan usia atau batasan usia, yaitu (Notoadmodjo, 2007):
a) Aspek Biologi
Penduduk lansia ditinjau dari aspek biologi adalah penduduk yang telah
menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai
dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagaipenyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan seiring meningkatnya usia, sehingga
terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Proses
penuaan berbeda dengan ‘pikun’ (senile dementia) yaitu perilaku aneh atau sifat
pelupa dari seseorang di usia tua. Pikun merupakan akibat dari tidak berfungsinya
beberapa organ otak, yang dikenal dengan penyakit Alzheimer.
b) Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi menjelaskan bahwa penduduk lansia dipandang lebih sebagai
beban daripada potensi sumber daya bagi pembangunan. Warga tua dianggap sebagai
warga yang tidak produktif dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih
muda. Bagi penduduk lansia yang masih memasuki lapangan pekerjaan,
produktivitasnya sudah menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan
pekerja usia produktif. Akan tetapi, tidak semua penduduk yang termasuk dalam
kelompok umur lansia ini tidak memiliki kualitas dan produktivitas rendah.
c) Aspek Sosial
Dari sudut pandang sosial, penduduk lansia merupakan kelompok social
tersendiri. Di negara Barat, penduduk lansia menduduki strata sosial dibawah kaum
muda. Di masyarakat tradisional di Asia, penduduk lansia menduduki kelas sosial
yang tinggi yang harus dihormati oleh masyarakat.
d) Aspek Umur
Dari ketiga aspek di atas, pendekatan umur adalah yang paling memungkinkan
untuk mendefinisikan penduduk usia lanjut. Batasan usia lanjut didasarkan atas
Undang-Undang No.13 Tahun 1998 adalah 60 tahun. Namun, berdasarkan pendapat
beberapa ahli dalam program kesehatan Usia Lanjut, Departemen Kesehatan membuat
pengelompokan seperti di bawah ini (Notoadmodjo, 2007) :
Kelompok usia dalam masa verilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).
Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia
lanjut (55-64 tahun).
Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang
hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.
(Notoadmodjo, 2007) :
1. Farmakokinetik
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah
absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus
akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan
gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak
berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan
prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh
dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa
obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan
jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti
pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan
penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang
sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau
sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan
aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi
eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh
kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan
ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati,
antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme
sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada
usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan
ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya
obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya
berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga
dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan
aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran
darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 %
dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan
banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga
memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang
secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan
tubulus (Bustami, 2001).
2. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia
secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon
homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara
kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun
misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar,
padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index
terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses
biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi
homeostatismelemah(Boedi2006).
D. Obat yang sering diresepkan dokter pada usia lanjut dan pertimbangan
pemakaiannya
Tekanan darah tinggi biasa ditemui pada pasien yang sudah berusia lanjut
(lansia). Hal ini erat hubungannya dengan proses menua pada seseorang. Di sini
terjadi perubahan berupa berkurangnya elastisitas pembuluh darah, sehingga
terjadi kekakuan pembuluh darah. Keadaan ini diperberat dengan terjadinya
penimbunan lemak di lapisan dalam pembuluh darah. Ini karena terjadinya
pengapuran pada dinding pembuluh darah bagian dalam. Tekanan darah tinggi
pada orang lansia yang sering tampak adalah bagian sistol, atau yang terekam
paling atas dari alat pengukur tekanan darah.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah tinggi pada lansia
3. Selain itu fungsi ginjal juga sudah menurun. Ginjal dalam keadaan normal
juga berperan pada pengaturan tekanan darah, yaitu lewat sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Jika tekanan darah sistemik turun, ginjal menghasilkan
renin lebih banyak untuk mengubah angiotensinogen (angiotensin I) menjadi
angiotensin II, zat yang dapat menimbulkan vasokonstriksi pada pembuluh
darah. Akibatnya tekanan darah akan meningkat. Pada lansia, regulasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron sudah kurang baik.
Tidak ada batasan khusus tekanan darah dikatakan tinggi pada lansia. Batasan
tekanan darah untuk lansia sama dengan untuk orang dewasa (di atas 18 tahun).
Pada bagan berikut dapat dilihat batasan tekanan darah yang disebut hipertensi
dan bukan pada dewasa berusia di atas 18 tahun, menurut JNC VII (2003), dan
perubahannya dibandingkan dengan JNC VI.
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik
terisolasi (HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya
hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor
risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia.
Mengapa yang dipilih adalah dua obat ini? Diuretik tiazid yang umum yaitu
HCT (hidroklorotiazid), terkenal sering menyebabkan gangguan keseimbangan
kalium (potasium), yaitu hipokalemia. Hal ini dapat menyebabkan aritmia fatal
pada lansia. Kombinasinya dengan ACE-inhibitor dapat menetralkan efek
hipokalemia ini, karena ACE-inhibitor dapat menghambat ekskresi ion kalium.
Indapamid juga tidak menyebabkan hiperglikemia dan hiperlipidemia, seperti
halnya HCT.
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah obat yang
diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak jenis obat yang
diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula kemungkinan
terjadinya efek samping.Secara epidemiologis, 1 dari 10 orang (10%) akan mengalami efek
samping setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat mencapai100% jika jumlah obat
yang diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat
pada usia lanjutmencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obat yang sering
menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain analgetika, antihipertensi,
antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat gastrointestinal. Sedangkan
efek samping yang paling banyak dialami antaralain hipotensi postural, ataksia,
kebingungan, retensi urin, dan konstipasi.Tingginya angka kejadian efek samping obat ini
nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan peresepan oleh dokter maupunkesalahan
pemakaian oleh pasien.
a. Kesalahan peresepan
Kesalahan peresepan sering kali terjadi akibat dokter kurang memahami
adanya perubahan farmakokinetika/farmakodinamika karena usialanjut. Sebagai
contoh adalah simetidin yang acap kali diberikan pada kelompok usia ini, ternyata memberi
dampak efek samping yang cukupsering (misalnya halusinasi dan reaksi psikotik),
jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat ini juga menghambat metabolisme
berbagai obatseperti warfarin, fenitoin dan beta blocker. Sehingga pada pemberian
bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan penetapan dosis yangsesuai, akan
menimbulkan efek toksik yang kadang fatal karena meningkatnya kadar obat dalam darah
secara mendadak.
b. Kesalahan pasien
Secara konsisten, kelompok usia lanjut banyak mengkonsumsi obat-obat yang dijual
bebas/tanpa resep (OTC). Pemakaian obat-obatOTC pada penderita usia lanjut bukannya
tidak memberi resiko, mengingat kandungan zat-zat aktif dalam satu obat OTC kadang-
kadangbelum jelas efek farmakologiknya atau malah bersifat membahayakan. Sebagai
contoh adalah beberapa antihistamin yang mempunyai efeksedasi, yang jika diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan memberi efek samping yang serius. Demikian
pula obat-obatdengan kandungan zat yang mempunyai aksi antimuskarinik akan
menyebabkan retensi urin (pada penderita laki-laki) atau glaukoma, yang penanganannya
akan jauh lebih sulit dibanding penyakitnya semula.
d. Pasien sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan berapa
lama obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetikyang optimal.
Untuk antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa hilangnya simptom memberi
tanda untuk menghentikanpemakaian obat.e. Pada penderita yang tremor,
mengalami gangguan visual atau menderita artritis, jangan diberi obat cairan
yang harus ditakar dengan sendok.f. Untuk pasien usia lanjut dengan katarak
atau gangguan visual karena degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar
mudah dibaca.
F. OBAT-OBAT YANG SERING DIRESEPKAN PADA USIA LANJUT DAN
PERTIMBANGAN PEMAKAIAN
Anastetik
· opiod menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat
Antidepresan trisiklik
·amitriptyline, amoxapine, imipramine, lofepramine, iprindole, protriptyline, dan
trimipramine menyebabkandapat menimbulkan hipotensiortostatik.
Analgesik antipretik
· Aspirin menambah intensitas perdarahan· waspadai penggunaan tramadol tablet pada lansia
2. OBAT-OBAT KARDIOVASKULER
Antihipertensi
Pengobatan hipertensi pada usia lanjut sering menjadi masalah, tidak saja dalam hal pemilihan obat,
penentuan dosis dan lamanyapemberian, tetapi juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus
menerus dalam proses terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka panjang.
Jika terapi non-obat dirasa masih memungkinkan, pembatasan masukan
garam, latihan (exercise), dan penurunan beratbadan, serta pencegahan terhadap faktor-
faktor risiko hipertensi (misalnya merokok dan hiperkholesterolemia) perlu dianjurkan
bagi pasiendengan hipertensi ringan. Namun jika yang dipilih adalah alternatif pengobatan, maka
hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal berikut:
• penyakit lain yang diderita (associated illness)
• obat - obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
• biaya obat (medication cost), dan
• ketaatan pasien (patient compliance).
Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat
yang tinggi terjadi padalabetolol, lidokain, dan propanolol. Antihipertensi (penghambat adrenergic)
menyebabkan Sinkope akibat hipotensi postural, insufisiensi koroner. Diuretik tiazid, furosemid
menyebabkan Hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia,
hiperurikemia.Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika dengan dosis yang sekecil mungkin.
Efek samping hipokalemia dapat diatasi dengan pemberian suplemen kaliumatau pemberian
diuretika potassium-sparing seperti triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya
hipotensi postural dan dehidrasihendaknya selalu diamati. Jika diuretika ternyata
kurang efektif, pilihan selanjutnya adalah obat-obat antagonis beta-adrenoseptor
(=betabloker). Untuk penderita angina atau aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat
tunggal, tetapi jangan diberikan pada pasien dengankegagalan ginjal kongestif, bronkhospasmus, dan
penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan beta-1-selektif yang mempunyai waktu paruhpendek
seperti metoprolol 50 mg 1-2x sehari juga cukup efektif bagi pasien yang tidak
mempunyai kontraindikasi terhadap pemakaian beta-blocker. Dosis awal dan rumat
hendaknya ditetapkan secara hati-hati atas dasar respons pasien secara individual.Vasodilator perifer
seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin juga ditoleransi dengan baik pada
usia lanjut, meskipunpengamatan yang seksama terhadap kemungkinan terjadinya
hipotensi ortostatik perlu dilakukan. Meskipun beberapa peneliti akhir-akhir
inimenganjurkan kalsium antagonis, seperti verapamil dan diltiazem untuk usia
lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi mengingat harganya relatif mahal dengan frekuensi
pemberian yang lebih sering, maka dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien. Prazosin, suatu
α1 adrenergicblocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.
3. Obat-obat antiaritmia
Pengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini semakin sering dilakukan
mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok
ini. Namun demikian obat-obat seperti disopiramida sangat tidak dianjurkan, mengingat
efek antikholinergiknyayang antara lain berupa takhikardi, mulut kering, retensi urin, konstipasi,
dan kebingungan. Pemberian kuinidin dan prokainamid hendaknyamempertimbangkan dosis dan
frekuensi pemberian, karena terjadinya penurunan klirens dan pemanjangan waktu paruh.
Glikosida jantung
Digoksin merupakan obat yang diberikan pada penderita usia lanjut dengan kegagalan jantung atau
aritmia jantung. Intoksikasidigoksin tidak jarang dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, khususnya jika kepadapasien yang bersangkutan juga diberidiuretika. Gejala intoksikasi digoksin
sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan penglihatan, dan psikosis hingga gangguan irama
jantungyang serius. Meskipun digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan memberi efek
inotropik yang menguntungkan, tetapikemanfaatannya untuk kegagalan jantung kronis tanpa
disertai fibrilasi atrial masih diragukan. Oleh sebab itu, mengingat
kemungkinankecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut dan efek samping digoksin
sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi lainnya perludipetimbangkan lebih
dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer sebetulnya cukup efektif sebagian besar penderita.
4. ANTIBIOTIKA
Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak berbeda dengan kelompok usia
lainnya. Yang perlu diwaspadaiadalah pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam,
yang ekskresi utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usialanjut akan mempengaruhi
eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu paruh
gentasimin, kanamisin,dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik
pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain
(misalnyaototoksisitas). Kotrimoksazol dewasa tablet menyebabkan pasien berpotensi tinggi untuk k
ekurangan folat(lanjut usia).· Streptomisin menyebabkan ototoksisitas.· Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin yang secara aktif
disekresi oleh tubulus ginjal,mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus.
5. OBAT-OBAT ANTIINFLAMASI
Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada usia lanjut,
terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi(osteoaritris). Berbagai studi menunjukkan
bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti misalnya indometasin dan
fenilbutazon,akan mengalami perpanjangan waktu paruh jika diberikan pada usia lanjut,
karena menurunnya kemampuan metabolisme hepatal. Karenameningkatnya
kemungkinan terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea, diare, nyeri
abdominal dan perdarahan lambung (20%pemakai AINS usia lanjut mengalami efek samping
tersebut), maka pemakaian obat-obat golongan ini hendaknya dengan pertimbangan yangseksama.
Efek samping dapat dicegah misalnya dengan memberikan antasida secara bersamaan, tetapi perlu
diingatbahwa antasida justrudapat mengurangi kemampuan absorpsi AINS. Anti inflamasi non steroid
juga perlu diwaspadai penggunaannnya pada lanjut usia adalahMeloxicam, Natrium diklofenak,
Piroxicam.
6. LAKSANSIA
Pada usia lanjut umumnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal, yang
biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi.Pemberian obat-obat laksansia jangka panjang
sangat tidak dianjurkan, karena di samping menimbulkan habituasi juga akan memperlemahmotilitas
usus. Pemberian obat-obat ini hendaknya disertai anjuran agar melakukan diet tinggi serat dan
meningkatkan masukan cairan serta jika mungkin dengan latihan fisik (olah raga).
7. ANTIVIRAL AGENT
· Waspadai penggunaan acyclovir tablet pada lansia
9. ANTI HISTAMINE
· Waspadai penggunaan cetrizine pada lansia· Ctm menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap
susunan saraf pusat
10. ANTI ULCER AGENT
:· Cimetidine tablet (Pasien lansia (> 50 tahun) merupakan faktor risiko untuk berkembangnya
kondisi bingung (confusional) yang berulang /reversible)
14. .OBAT TB
· Isoniazid menyebabkan hepatotoksisitas
17. KORTIKOSTEROID
· Prednisone menyebabkan kejenuhan metabolisme oleh hati
18. .GLUKORTIKOID
· Methylprednisolon menyebabkan kejenuhan metabolisme oleh hati
G. PRINSIP PENGOBATAN PADA USIA LANJUT
Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia lanjut hendaknya mempertimbangkan hal-
hal berikut:
1. Riwayat pemakaian obat
• informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan, mengingat sebelum datang ke
dokter umumnya penderita sudahmelakukan upaya pengobatan sendiri.
• informasi ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah keluhan/penyakitnya ada kaitan dengan
pemakaian obat (efek samping), serta adakaitannya dengan pemakaian obat yang memberi
interaksi.
2. Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat.
Sebagai contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin padakecurigaan
diagnosis ke arah dispepsia
3. Mulai dengan dosis terkecil.
Penyesuaian dosis secara individual perlu dilakukan untuk menghindari
kemungkinan intoksikasi, karenapenanganan terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih
sulit.
4. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi
resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari2 jenis obat. Jika terpaksa
memberikan lebih dari 1 macam obat, pertimbangkan cara pemberian yang bisa dilakukan
pada saat yang bersamaan.
1. PERUBAHAN SOSIOLOGI
2. PERUBAHAN FISIOLOGI
3. PERUBAHAN FARMAKOKINETIK
4. PERUBAHAN FARMAKODINAMIK
1. PERUBAHAN FISIOLOGI
2. PERUBAHAN FARMAKOKINETIK
Absorpsi :
Distribusi :
3. PERUBAHAN FARMAKODINAMIK
2. Jumlah obat yang diberikan, semakin banyak jumlah obat polifarmasi dgn segala
risiko
3. Kepatuhan pasien
Hanya 60 % yang patuh sedangkan 40 % pasien lansia meminum obat kurang dari
yang diberikan dokter.
BAB III
PENUTUP
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006)
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena
beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi
obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah
absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus
akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak
saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada
usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin
(Bustami, 2001).
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia
secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon
homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara
kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun
misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal
jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat
menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler,
pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatismelemah(Boedi2006).
DAFTAR PUSTAKA
Tjay, H.T. & Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, Edisi V, Ditjen Pengawasan
http://pharmaciststreet.blogspot.com/2013/04/penggunaan-obat-pada-anak-dan-lansia.html
http://diaryforberti.blogspot.com/2014/12/farmakoterapi-pada-usia-lanjut.html
https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/pertimbangan-terapi-pada-geriatri-lanjut-usia/
https://dokumen.tips/documents/prinsip-pengobatan-pada-usia-lanjut-5654ae3019e3a.html
https://www.academia.edu/9366209/portofolio_obat-obat_Lansia
Gunawan. 2007.