Anda di halaman 1dari 21

A.

PENDAHULUAN
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian
besar kasus perjalananya kronik kematian dini.1
Menurut Mclnnes, Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem
muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara
keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi
jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian
prematur.2
Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah dan
menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,
Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar
1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan
wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta
laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkat menjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita
RA pada tahun 2010.3
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas.
Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa
jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA.
Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor
sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti
merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi.4
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif
sehingga apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan

1
menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan
kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh
pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah
10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis
RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status
fungsional, dan derajat kerusakan sendi.5
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun
masih merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab
secara fisik, biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat
dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang
onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas
masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi
imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun
angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup
kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan adanya
berbagai faktor risiko yang saling berkaitan. Banyak upaya yang dapat
dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan pengobatan secara
cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salahsatunya dengan melakukan
deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria
yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah
berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi
tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang
direvisi tahun 2010.

2
B. LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Mina Tutu


Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Alamat : Bangkeng Kajang
Masuk RS : 14 Juni 2019
Tgl periksa : 17 Juni 2019

2. ANAMNESIS ( Autoanamnesis)
Keluhan utama:
Demam dan nyeri pada persendian
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien MRS dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien mengeluh nyeri sendi terutama pada pagi hari dan berangsur
berkurang yang dirasakan hampir 2 bulan. Nyeri dirasakan pada persendian
siku di kedua tangan serta nyeri pada kedua pergelangan sendi kaki. Pasien
mengeluh bengkak pada pergelangan kaki sampai punggung kaki serta
terdapat bengkak pada kelopak mata. Nyeri kepala (-), mual dan muntah (-
), nyeri perut (-). Tidak ada keluhan BAK dan BAB.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat infeksi sebelumnya (-)
- Hipertensi (-)
- DM (-)
- Asma (-)
- Penyakit Jantung (-)
- Riwayat minum obat TB (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga pasien dengan keluhan yang sama

3
3. PEMERIKSAAN UMUM
- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : composmentis (E4M6V5)

4. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Pasien
K.U : Sakit Sedang/ Gizi Baik/ Compos Mentis
BB : 50 kg
TB : 152 cm
IMT : 21.7
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/90 mmHg
Suhu : 39,50 C
Nadi : 98 kali/menit
Pernapasan : 18 kali/menit
3. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk Kepala : Normochepal
Rambut : Hitam-putih, tidak rontok
Deformitas : Tidak ada
b. Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : Tidak ada
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-), Perdarahan (-)
Pupil : Bulat, Isokor kiri – kanan
Palpebra : Udem pada kedua palpebra
c. Telinga
Pendengaran : Dalam Batas Normal

4
Nyeri Tekan : Tidak ada
d. Hidung
Bentuk : Simetris
Perdarahan : Tidak ada
e. Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Lidah kotor : (-)
f. Leher
DVS : R-4
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar Tiroid : Tidak ada pembesaran
Kaku Kuduk : (-)
g. Thorax
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Vocal Fremitus Kiri = Kanan, Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Sonor D/S, Batas Paru – Hepar ICS 5-6
Auskultasi : Vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
h. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas Kanan: ICS VI Parasternal Dextra
Batas Kiri: ICS V line midclavicularis kiri
Auskultasi : Bunyi Jantung I/II, murni regular
i. Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Hepar tidak teraba, nyeri tekan (-). Lien tidak
teraba, Massa Tumor (-), Nyeri tekan epigastrium (-
), nyeri tekan regio abdomen lainnya(-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

5
j. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
k. Ekstremitas : Edema punggung kaki (+), Hangat
l. Kulit : Peteki (-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium :
a. Darah Rutin
WBC : 4.8x103/uL
HB : 13.8 gr/dl
PLT : 121x103 /uL
b. Kimia Darah
GDS : 73 mg/dL
Kolesterol Total : 153 mg/dl
Ureum Darah : 20 u/L
Kreatinin Darah : 0.5 u/L
c. Urin
WBC : (-)
Keton : (-)
Nitrit : (-)
Urobilinogen : (+3)
Biliirubin : (+1)
Protein : (+2)
Glukosa : (-)
2. Radiologi foto Thoraks : (-)

F. DIAGNOSA KERJA
1. Rheumatoid Arthritis
2. Observasi Febris

G. PENATALAKSANAAN
- Diet Lunak

6
- Infus RL 24 tpm
- Meloxicam 7,5 mg 2x1
- Furosemid 1-0-0
- Cefoperazon 1gr/12jam/iv
- Dexamethason 1gr/12jam/iv
- Lanzoprazole 1x1

H. FOLLOW UP
TANGGAL PERJALANAN INSTRUKSI

PENYAKIT DOKTER

15/06/2019 S: P:

- Riw Demam semalam dan - Diet Lunak


sulit tidur - Infus RL 24 tpm
T: 90/60 mmHg
- Nyeri sendi pada kedua siku - Meloxicam 7,5 mg
N: 88x/m (+) dan nyeri pada 2x1
pergelangan sendi kaki (+) - Furosemid 1-0-0
P: 18x/m
- Bengkak pada pergelangan - Cefoperazon
S: 36,5oC kaki sampai punggung kaki 1gr/12jam/iv
(+) - Dexamethason
- Kedua Kelopak Mata 1gr/12jam/iv
bengkak (+) - Lanzoprazole 1x1
O: -

- SS/GC/CM
- Kepala : Anemis (-),
ikterus (-), sianosis(-),
palpebra edema (+)
- Paru : Vesikuler, Rh -/-,
Wh (-)/(-)
- Cor: BJ I/II murni, regular

7
- Abdomen : peristaltik (+)
kesan normal
Ekstremitas: edema
pungung kaki (+)

A:

- Rheumatoid Artritis

- Observasi Febris

16/06/2019 S: P

- Demam (-), Sulit tidur (+) - Diet Lunak


- Nyeri sendi pada kedua siku - Infus RL 24 tpm
T: 90/60 mmHg
(+) dan nyeri pada - Meloxicam 7,5 mg
N: 80x/m pergelangan sendi kaki (+) 2x1
- Bengkak pada pergelangan - Furosemid 1-0-0
P: 18x/m
kaki sampai punggung kaki - Cefoperazon
S: 36,8oC (+) 1gr/12jam/iv
- Kedua Kelopak Mata - Dexamethason
bengkak (+) 1gr/12jam/iv
- Lanzoprazole 1x1
O: SS/GC/CM

- Kepala : Anemis (-),


ikterus (-), sianosis(-),
palpebra edema (+)
- Paru : Vesikuler, Rh -/-,
Wh (-)/(-)
- Cor: BJ I/II murni, regular

8
- Abdomen : peristaltik (+)
kesan normal
- Ekstremitas : edema
punggung kaki(+)
A:

- Rheumatoid Artritis

- Observasi Febris

17/06/2019 S: P:

- Demam (-) - Diet Lunak


- Nyeri sendi pada kedua siku - Infus RL 24 tpm
T:110/60 mmHg
dan nyeri pergelangan sendi - Meloxicam 7,5 mg
N: 80x/m kedua kaki mulai berkurang 2x1
- Bengkak pada pergelangan - Furosemid 1-0-0
P: 20x/m
kaki sampai punggung kaki - Cefoperazon
o
S: 36,6 C mulai berkurang 1gr/12jam/iv
- Kedua Kelopak Mata - Dexamethason
bengkak (-) 1gr/12jam/iv
- Lanzoprazole 1x1
O: SS/GC/CM

- Kepala : Anemis (-),


ikterus (-), sianosis(-),
palpebra udem (+)
- Paru : Vesikuler, Rh -/-,
Wh (-)/(-)
- Cor: BJ I/II murni, regular
- Abdomen : peristaltik (+)
kesan normal

9
- Ekstremitas : edema
punggung kaki (-)
A:

- Rheumatoid Artritis

- Febris

18/06/2019 S: P:

- Demam (-) - Aff infus


- Nyeri sendi pada kedua siku - Boleh pulang
T:110/60 mmHg
dan nyeri pada pergelangan - Meloxicam 7,5 mg
N: 82x/m sendi kaki berkurang 2x1
- Bengkak pada pergelangan
P: 20x/m
sampai punggung kaki (-)
o
S: 36,5 C - Kedua Kelopak Mata
bengkak (-)

O: SS/GC/CM

- Kepala : Anemis (-),


ikterus (-), sianosis(-),
palpebra udem (-)

10
- Paru : Vesikuler, Rh -/-,
Wh (-)/(-)
- Cor: BJ I/II murni, regular
- Abdomen : peristaltik (+)
kesan normal
- Ekstremitas: edema
pungung kaki (-)
A:

- Rheumatoid Artritis

- ISPA

11
RESUME

Pasien MRS dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu. Pasien
mengeluh nyeri sendi terutama pada pagi hari dan berangsur berkurang yang
dirasakan hampir 2 bulan. Nyeri dirasakan pada persendian siku di kedua tangan
serta nyeri pada kedua pergelangan sendi kaki. Pasien mengeluh bengkak pada
pergelangan kaki sampai punggung kaki serta terdapat bengkak pada kelopak mata.
Nyeri kepala (-), mual dan muntah (-), nyeri perut (-). Tidak ada keluhan BAK dan
BAB.
Riwayat penyakit tidak ada. Riwayat hipertensi tidak ada. Riwayat Penyakit
jantung tidak ada. Riwayat pengobtan OAT disangkal. Riwayat penyakit DM
disangkal. Riwayat infeksi sebelumnya disangkal. Riwayat minum obat-obatan
tidak ada.Riwayat penyakit yang sama pada keluarga tidak ada. .Dari hasil
pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan peningkatan suhu saat pasien datang.
Kepala: anemis (-), icterus (-), edema palpebra (+). Leher : Kaku kuduk (-) Massa
(-). Thorax Paru : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/- Jantung : BJ I & II murni reguler.
Abdomen Auskultasi: peristaltik (+) kesan normal. Extremitas : edema pada
punggung kedua kaki (+).
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang maka,
pasien didiagnosis dengan Rheumatoid Arthritis. Pada pasien ini maka diberikan
pengobatan Infus RL 24 tpm, Meloxicam 7,5 mg 2x1, Furosemid 1-0-0,
Cefoperazon 1gr/12jam/iv, Dexamethason 1gr/12jam/iv dan Lanzoprazole 1x1.

12
DISKUSI

Kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah


berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun
1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi tahun
2010.6
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1
jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi
yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas
dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Pada pasien ini dari
hasil anamnesis mengeluh nyeri sendi yang dirasakan terutama pada pagi hari dan
berangsur berkurang, nyeri dirasakan pada persendian kedua siku dan kedua
pergelangan kaki. Pada pemeriksaan fisis didapatkan edema pada pergelangan kaki
sampai punggung kaki. Gejala yang pasien rasakan sudah sekitar 2 bulan yang lalu.
Dari hasil yang didapakan ini sesuai dengan kriteria untuk mendiagnosa

13
Rheumatoid Arthritis menurut kriteria ARA (American Rheumatism Association)
1987.
Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA
berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika
skor =6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin
memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif
(data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit).7

Pada pasien ini didapatkan keterlibatan 4 sendi besar yaitu sendi siku kiri
dan kanan serta sendi pada pergelangan kaki kiri dan kanan yang dialami sejak
kurang lebih 2 bulan yang lalu. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan
laboratorium tambahan dikarenakan tidak tersedianya di rumah sakit ini.
The American College of Rheumatology Subcommitte on Rheumatoid
Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk
evaluasi antara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell count), factor
rheumatoid (RF), laju endap darah atau C-reactive protein (CRP). Pemeriksaan
fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan membantu dalam
pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti CCP negative bias dilanjutkan

14
dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita Rheumatoid Arhritis
yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk.8
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan
Rheumatoid Arthritis. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1, pada pasien ini
dari hasil anamnesis tidak ditemukan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
Rheumatoid Arthritis jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas.
Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh. Rheumatoid
Arthritis biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Dari semua faktor
risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan
beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Pada pasien ini
memiliki faktor resiko tersebut dengan jenis kelamin perempuan dan usia 54 tahun.6
Pasien ini datang dengan keluhan demam. Salah satu manifestasi klinis dari
Rheumatoid Arthritis yaitu adanya gejala konstitusional : penurunan berat badan,
malaise, depresi, demam dan kakesia. Demam dapat terjadi karena infeksi virus,
infeksi bakteri, kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun.6,8
Proses autoimun dalam patogenesis Rheumatoid Arthritis masih belum
tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai
peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran
imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua
peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan
keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ
lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai
sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF a, IL-1, yang terutama
dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim
seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran
enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs). Pada keadaan
awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah sinovium,
poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah
oleh sel radang dan thrombus.8

15
Selain nyeri sendi pasien juga datang dengan keluhan bengkak pada kedua
mata. Edema dapat terjadi pada kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotic
kapiler atau penurunan tekanan osmotic plasma. Pada pasien ini edema yang terjadi
dicurigai karena penurunan tekanan osmotic plasma yang di lihat dari hasil urinalisa
di temukannya protein dalam urin (proteinuria). Sebagaiman kita tahu fungsi
protein dalam darah atau albumin yang mempertahankan tekanan osmotic plasma,
jika kurang albumin atau protein, maka terjadi penurunan tekanan osmotic yang
mengakibatkan cairan pergi ke jaringan interstisial terutama jaringan ikat longgar.9
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.6
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Pada pasien ini diberikan meloxicam yaitu obat golongan NSAID dengan
dosis 7,5 mg dengan dua kali pemberian dalam sehari, diberikan sejak awal
untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. Namun NSAID tidak
melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Pada pasien ini tidak diberikan obat golongan DMARD dikarenakan
keterbatasan kesediaan obat di rumah sakit. DMARD digunakan untuk
melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin.
DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi.

16
3. Kortikosteroid
Pasien ini diberikan Dexamethason yaitu obat golongan kortikosteroid
dengan dosis 1gr dengan dua kali pemberian yang diberikan secara
intravena. Diberikan kortikosteroid sebagai “bridge” terapi untuk
mengurangi keluhan pasien.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya
dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian
tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri
berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi,
contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya.

17
Pada pasien ini diberikan Furosemid tablet dengan satu kali pemberian (1-
0-0) dengan tujuan mengurangi edema. Furosemide merupakan obat golongan loop
diuretic. Furosemid disukai penggunaannya karena memiliki awal mula kerja cepat
dengan durasi agak pendek. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat
reabsorbsi natrium dan klorida di tubulus proksimal pada bagian naik yang tebal
pada loop of Henle. Bagian ini memiliki kapasitas reabsorbsi NaCl tinggi sehingga
furosemid memiliki efek diuresis yang lebih besar dibandingkan diuretik lain.10
Pemberian Cefoperazone bertujuan untuk mengatasi infeksi bakteri yang
terjadi pada pasien ini. Cefoperazone adalah obat golongan antibiotik sefalosporin
generasi ke tiga, mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah menghambat
sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga
dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin aktif terhadap
kuman Gram posistif maupun Gram Negatif, tetapi spectrum anti-mikroba masing-
masing derivate bervariasi. Cefoperazone tersedia dalam bentuk suntik yang
pemakaiannya hanya diberikan oleh dokter.10
Lansoprazole diberikan secara oral dengan dosis 30 mg diberikan satu kali
selama satu hari. Obat ini merupakan golongan Proton Pump Inhibitor, mekanisme
kerja obat ini adalah dengan mengontrol sekresi asam lambung dengan
menghambat pompa proton yang mentransfer ion H+ keluar dari sel pariental
lambung.11
Dalam penelitian dibuktikan bahwa terdapat hubungan pemberian
deksametason dengan kerusakan mukosa lambung. Deksametason merupakan salah
satu contoh obat golongan glukokortikoid sintetik dengan kerja lama.
Deksametason memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif. Kerusakan mukosa
lambung tersebut dapat disebabkan karena glukokortikoid menurunkan
prostaglandin. Glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara
menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien, dan platelet-activating factor
yang dihasilkan dari aktivasi phospholipase A. Pada akhirnya, glukokortikoid
menurunkan ekspresi cyclooxygenase 11 sehingga mengurangi jumlah enzim yang
tersedia untuk memproduksi prostaglandin. Prostaglandin yang banyak ditemukan
pada mukosa lambung memiliki peran utama dalam pertahanan sel epitel lambung

18
dan dalam menghasilkan mukus bikarbonat yang berfungsi dalam pertahanan
mukosa lambung.12

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan


Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
2. McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis.
NEngl J Med, vol. 365, pp. 2205-19
3. Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And
Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10
4. Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment,
GeoEpidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
5. Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
6. Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta:
Media Aesculapius, pp 835-839
7. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.
2010 Rematoid Arthritis Collaborative Initiative. Arthritis Rheum 2010; 62:
2569 – 81
8. Suarjana IN. Arthritis Reumatoid. Dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
SImadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting.Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
9. Edema patofisiologi & penanganan. Ian effendi, Restu pasaribu (ed). BAIPD.
Jilid I. Edisi IV. Jakarta : FKUI ; 2009
10. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2007.Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
11. Wells, BG, J.Dipiro, T. Schwinghammer, C. Dipiro, 2009, Pharmacotherapy
Handbook Seventh Edition. The McGraw- Hill Componies, Inc, US
12. Zaki Mita Kusumaadhi, Ahmad Ismail. 2010. PENGARUH PEMBERIAN
DEKSAMETASON DOSIS BERTINGKAT PER ORAL 30 HARI TERHADAP
KERUSAKAN MUKOSA LAMBUNG TIKUS WISTAR. FK Undip.

20
21

Anda mungkin juga menyukai