Anda di halaman 1dari 50

5

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sistem Transportasi


2.1.1 Pengertian Transportasi
Perangkutan/transportasi adalah usaha memindahkan orang dan/atau barang dari
satu tempat ke tempat yang lain (Warpani, 1990). Morlock (1991) mendefinisikan
transportasi sebagai suatu tindakan, proses atau hal mentransportasikan atau memindahkan
dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Terdapat lima unsur yang perlu dipertimbangkan dalam menelaah sistem
transportasi yakni: (1) manusia, yang membutuhkan; (2) barang, yang dibutuhkan; (3)
kendaraan, sebagai alat angkut; (4) jalan, sebagai prasarana angkutan dan (5) organisasi,
yaitu pengelola angkutan (Warpani, 1990).
2.1.2 Elemen Transportasi
Seperti dijelaskan di atas kegiatan transportasi dapat berlangsung karena adanya
unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, yaitu manusia, barang, kendaraan/alat angkut, jalan
dan organisasi pengelola transportasi. Kelima unsur tersebut memiliki karakteristik yang
spesifik yang perlu dipertimbangkan dalam upaya pemecahan masalah transportasi.
A. Manusia
Menurut Gunawan (1995) kondisi ekonomi setiap orang memiliki pengaruh
terhadap pemilihan sistem perangkutan, baik itu disesuaikan dengan kemampuan
membayar, kebutuhan maupun penilaiannya tentang sistem perangkutan. Secara
keseluruhan karakter manusia tersebut akan mempengaruhi rancangan geometrik prasarana,
kendaraan, sistem sirkulasi dan sebagainya.
B. Barang
Gunawan (1995) menjelaskan bahwa karakter komoditi yang beraneka ragam dalam
hubungannya dengan perangkutan, baik secara fisik maupun finansial mempengaruhi
bentuk kendaraan dan cara pengangkutan yang dilakukan supaya prinsip perangkutan
(selamat sampai tujuan) dapat tercapai.
6

Ciri mata niaga sangat beraneka ragam dan dapat dikelompokkan menjadi enam
parameter, yaitu keutuhan atau mutu, tahap pengolahan, kesiapan angkut, ukuran barang,
berat jenis dan nilai barang

C. Sarana
Secara alami banyak cara untuk melakukan pergerakan, namun tuntutan masyarakat
modern membuat manusia merancang alat yang mempermudah pergerakan. Dengan fungsi
pokok perangkutan sebagai sarana memindahkan orang dan/atau barang yang harus
menjamin keselamatan memerlukan penerapan teknologi yang tepat.
Menurut Warpani (1990) teknologi perangkutan yang tepat harus memenuhi syarat
berikut :
1. Menjamin muatan tidak rusak akibat cara pengangkutan yang tidak tepat.
2. Menjaga agar penggunaan tenaga yang diperlukan untuk mempercepat atau
memperlambat berada pada kecepatan yang wajar.
3. Melindungi muatan dari kerusakan akibat suhu, tekanan udara, kelembaban dll.

D. Prasarana
Jalan sebagai komponen sistem perangkutan yang paling pokok haruslah ada
sebelum adanya sarana transportasi. Hal ini menjamin bahwa setiap sistem perangkutan
harus dapat mengangkut muatan dan membongkarnya lagi pada akhir perjalanan.
Adanya kemungkinan dibutuhkannya lebih dari satu moda dalam satu perjalanan
maka perlu adanya terminal sebagai prasarana untuk mengakomodasi kebutuhan pergantian
moda tersebut.

E. Organisasi
Kegiatan perangkutan terwujud ketika terjadi orang atau kendaraan dari tempat asal
menuju tempat tujuan. Dalam hal ini barang atau orang yang menjadi muatan merupakan
obyek perangkutan. Untuk menjamin perangkutan berjalan lancar, aman dan nyaman
diperlukan organisasi perangkutan. Hal ini seiring semakin kompleksnya masalah
transportasi dengan berkembangnya sarana dan prasarana transportasi.
7

2.2 Guna Lahan dan Transportasi

Pergerakan orang dan barang yang disebut arus lalu lintas (traffic flow) merupakan
konsekuensi gabungan dari aktivitas lahan (permintaan) dan kemampuan sistem
transportasi mengatasi masalah arus lalu lintas/penawaran (Khisty, 2003). Penduduk serta
kegiatannya merupakan pembangkit pergerakan (Trip Generation) yang paling signifikan.
Kebutuhan manusia untuk dapat melakukan kegiatan di tempat tujuan berupa satu
tata guna lahan tertentu menimbulkan arus pergerakan baik oleh manusia itu sendiri, barang
maupun kendaraan yang memerlukan suatu jaringan transportasi. Potensi tata guna lahan
adalah ukuran skala aktivitas ekonomi yang terjadi pada suatu lahan tertentu dengan
kemampuannya membangkitkan lalu lintas. Dalam suatu wilayah, kebutuhan akan
pergerakan ini berkaitan dengan sistem aktivitas pada wilayah tersebut.
Permasalahan transportasi bisa muncul karena adanya perubahan land use akibat
adanya pusat kegiatan baru. Solusi untuk masalah tersebut dapat mencakup beberapa
tindakan, diantaranya pengelolaan lalu lintas lokal (Local Traffic Management), pembuatan
jalan baru, pengadaan sarana transportasi atau peninjauan terhadap perencanaan land use
(Harnen, 1996). Salah satu yang bisa diterapkan adalah Land Use-Transport System, setiap
komponen tidak berhubungan langsung namun perubahan pada salah satu komponen (Land
Use) akan menyebabkan perubahan pada komponen lain (lalu lintas).

2.2.1 Konsep Dasar Jaringan Transportasi

Permintaan akan transportasi dapat diketahui melalui kuantitas permintaan di antara


dua daerah yang disebut zona. Setiap zona mempunyai sebuah simpul yang disebut pusat,
di mana lalu lintas dianggap memulai dan mengakhiri pergerakannya di seluruh jaringan
transportasi tadi. Jaringan atau sistem yang menghubungkan zona-zona ini terdiri dari
simpul (node) dan ruas (link), di mana ada ruas yang tidak searah, sehingga arus kendaraan
dapat bergerak dalam dua arah, dan ruas yang searah (busur), di mana arus hanya dapat
bergerak dalam satu arah (Paquette etal, 1982).
Untuk mengakomodasi permintaan akan transportasi yang diakibatkan adanya
kegiatan antar zona diperlukan suatu sistem transportasi. Sedangkan konsep jaringan
digunakan untuk menunjukkan komponen sarana yang berperan dalam pergerakan.
8

Penggambaran jaringan transportasi ini juga merupakan suatu cara yang mudah untuk
menyusun informasi mengenai karakteristik dari berbagai sarana tetap dan arus lalu lintas
yang dilayani. Sehingga jaringan berfungsi untuk menerangkan keseluruhan karakteristik
sistem seperti biaya, sarana dan prasarananya (Tamin, 1997).

2.2.2 Keterkaitan Sistem dalam Masalah Transportasi

Komponen utama yang mempengaruhi masalah transportasi adalah sistem jaringan,


sistem pergerakan dan sistem aktivitas. Ketiga sistem itu akan saling mempengaruhi dan
memberi pengaruh terhadap munculnya masalah transportasi. Sehingga diperlukan
pembahasan yang integral atas tiga sistem tersebut dalam penyelesaian masalah
transportasi.
Pergerakan dari dan meuju pusat aktivitas dipengaruhi oleh sistem jaringan yang
tersedia di sekitar pusat-pusat aktivitas tersebut. Ketersediaan sistem jaringan (transportasi
dan komunikasi) di samping melayani kebutuhan pergerakan juga mempengaruhi sistem
pergerakan serta sistem aktivitas. Sebagai contoh, pembangunan jalan baru di samping
mengurangi kepadatan lalu-lintas juga menimbulkan bangkitan pergerakan baru karena
kemudahan yang diciptakan, serta merupakan daya tarik bagi penduduk dengan
kegiatannya.
Secara singkat masalah lalu lintas merupakan akibat yang terlihat di permukaan
saja. Terdapat berbagai sistem terkait yang mendasari sistem transportasi tersebut. Dengan
demikian dalam penanganan masalah transportasi, pemilihan rencana pemecahan serta
pengelolaannya tidak lepas dari tiga sistem di atas. Keterkaitan antar sistem ini ditunjukkan
pada Gambar 2.1.
9

SISTEM AKTIVITAS SISTEM JARINGAN


Land Use Prasarana Transportasi
Kependudukan Komunikasi

PERGERAKAN
KENDARAAN

SISTEM
INSTITUSI
Organisasi
Peraturan
Keuangan

Gambar 2.1 Diagram Keterkaitan Antar Sistem

2.3 Karakteristik Lalu Lintas


Menurut Alamsyah (2005), arus lalu lintas merupakan interaksi yang unik antara
pengemudi, kendaraan dan jalan. Tidak ada arus lalu lintas yang sama bahkan dalam
kondisi serupa. Walaupun demikian, terdapat karakteristik utama yang menunjukkan
kondisi ruas jalan. Karakteristik lalu lintas kendaraan yang melintas pada ruas jalan terdiri
dari tiga komponen yaitu kecepatan, volume dan kepadatan.

2.3.1 Kecepatan

Kecepatan didefinisikan sebagai suatu laju pergerakan seperti jarak dibagi waktu.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan adalah hambatan (delay), yang terdiri dari hambatan
tetap dan hambatan bergerak. Alamsyah (2005) mengklasifikasikan kecepatan sebagai
berikut:
10

1. Kecepatan titik/sesaat (spot speed)


Kecepatan titik/sesaat adalah kecepatan kendaraan sesaat pada waktu kendaraan tersebut
melintasi suatu titik tetap tertentu di jalan.
2. Kecepatan perjalanan (overall travel speed)
Kecepatan perjalanan adalah kecepatan rata-rata kendaraan antara dua titik tertentu di
jalan, yang dapat ditentukan dari jarak perjalanan dibagi dengan total waktu perjalanan
(termasuk berhenti dan tertunda) yang dihitung dengan persamaan sederhana sebagai
berikut:
s
V  (2.1)
t

Dimana : V = kecepatan perjalanan, km/jam


s = jarak perjalanan, km
t = total waktu perjalanan, jam
3. Kecepatan bergerak (running speed)
Kecepatan bergerak adalah kecepatan rata-rata kendaraan untuk melintasi suatu jarak
tertentu dalam kondisi kendaraan tetap berjalan, yaitu kondisi setelah dikurangi oleh
waktu hambatan yang terjadi (misalnya hambatan pada persimpangan). Kecepatan
bergerak ini dapat ditentukan dari jarak perjalanan dibagi total waktu perjalanan yang
telah dikurangi dengan waktu berhenti karena adanya hambatan yang disebabkan
gangguan yang terjadi pada lintas.
s
V 
t  t '

(2.2)
dimana : t’ = waktu berhenti karena gangguan lalu lintas

2.3.2 Kepadatan
Kepadatan didefinisikan sebagai jumlah kendaraan persatuan panjang jalan. Secara
sederhana kepadatan menunjukan tingkat kemudahan untuk bergerak, seperti pindah lajur
atau memilih kecepatan yang diinginkan (Alamsyah, 2005). Kepadatan dapat dihitung
sebagai berikut:
11

n 1
k  atau k  (2.3)
1 s
dimana : k = kepadatan lalu lintas (kendaraan/hari)
n = jumlah kendaraan pada lintasan sepanjang l (kendaraan)
l = panjang lintasan (km)
s = jarak antara

2.3.3 Volume

Volume adalah jumlah kendaraan yang melalui satu titik yang tetap pada jalan dalam
suatu satuan waktu. Volume lalu lintas merupakan penjabaran dari kebutuhan lalu lintas dan
kebutuhan terhadap pengguna jalan raya, biasanya berubah-ubah menurut kuantitas dan
menunjukkan berbagai macam variabel. Volume dan arus adalah dua ukuran yang berbeda,
volume adalah jumlah sebenarnya dari kendaraan yang diamati selama rentang waktu
tertentu, sedangkan arus adalah jumlah kendaraan melalui satu titik kurang dari satu jam
namun diekuivalenkan ke tingkat rata-rata per jam (Khisty, 2003).
Fluktuasi volume lalu lintas dipengaruhi faktor sosial ekonomi yang terkait sifat
kegiatan angkutan dan maksud perjalanan serta faktor yang berhubungan dengan musim,
cuaca dan periode waktu (siang/malam). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi
terbentuknya variasi volume lalu lintas dari waktu ke waktu. Menurut Alik (2005) volume
lalu lintas mempunyai nama khusus berdasarkan bagaimana data tersebut diperoleh.
a) Lalu lintas harian rata-rata (Average Daily Traffic).
Total volume lalu lintas rata-rata harian berdasarkan pengumpulan data selama x hari,
dengan ketentuan 1 < x < 365.
b) Lalu lintas harian rata-rata tahunan (Average Annual Daily Traffic)
Total volume rata-rata harian dengan pengumpulan data lebih dari 365 hari.
c) Average Annual Weekday Traffic (AAWT)
Volume rata-rata harian selama hari kerja berdasarkan pengumpulan data > 365 hari.
d) Volume jam puncak (Maximum Annual Hourly Traffic)
Volume tiap jam yang terbesar untuk suatu tahun tertentu.
Sedangkan yang dipakai dalam analisis adalah Volume jam puncak (Maximum
Annual Hourly Traffic)
12

2.3.4 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) Ruas Jalan


Nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan
arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total)
dikonversikan menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi
mobil penumpang (emp). Yang diturunkan secara empiris untuk tipe-tipe kendaraan sebagai
berikut :
 Kendaraan ringan (mobil penumpang, pick up, jeep, minibus, sedan dll)
 Kendaraan berat menengah (truk dua gandar dan bus kecil)
 Bus Besar
 Truk Besar (truk tiga gandar dan truk gandengan)
 Sepeda motor
Pengaruh kendaraan tak bermotor diperhitungkan sebagai hambatan samping.
Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk tiap tipe kendaraan bergantung pada tipe jalan,
tipe alinyemen dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam kendaraan/jam. Nilai emp
kendaraan yang berbeda pada alinyemen datar, bukit dan gunung disajikan dalam Tabel 2.1
dan 2.1 sebagai berikut.
Tabel 2.1 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Jalan Tipe 2/2 UD
emp
Tipe Arus Total MC
Alinyemen (Kend/Jam) MHV LB LT Lebar Jalur Lalu Lintas (m)
<6m 6-8 m >8m
0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
Datar
1350 1,5 1,5 2,5 0,9 0,7 0,5
>2150 1,3 1,5 2,5 0,8 0,5 0,4
0 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3
800 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5
Bukit
1350 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4
>2150 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3
0 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2
800 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4
Gunung
1350 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3
>2150 1,9 2,2 4,0 0,5 0,4 0,3
13

Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.2 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Jalan Tipe 4/2


Arus Total (Kend/Jam) emp
Tipe Jalan Tak
Jalan Terbagi
Alinyemen Terbagi
per Arah MHV LB LT MC
Total
(Kend/Jam)
(Kend/Jam)
0 0 1,2 1,2 1,,6 0,5
1000 1700 1,4 1,4 2,0 0,6
Datar
1800 3250 1,6 1,7 2,5 0,8
>2150 >3950 1,3 1,5 4,0 0,5
0 0 1,8 1,6 4,8 0,4
750 1350 2,0 2,0 4,6 0,5
Bukit
1400 2500 2,2 2,3 4,3 0,7
>1750 >3150 1,8 1,9 3,5 0,4
0 0 3,2 2,2 5,5 0,3
550 1000 2,9 2,6 5,1 0,4
Gunung
1100 2000 2,6 2,9 4,8 0,6
>1500 >2700 2,0 2,4 3,8 0,3
Sumber : MKJI, 1997
2.3.5 Volume Jam Rencana
Untuk keperluan analisa dan perencanaan, diperlukan data lalu lintas harian dengan
ketelitian sampai kendaraan per jam. Apabila hanya tersedia data lalu lintas harian tanpa
diketahui volume pada jam puncak, diberikan pedoman awal yang sesuai dengan
karakteristik lalu lintas di Indonesia dengan menggunakan nilai normal faktor-k. Arus
rencana per jam dapat diperkirakan dengan mengalikan faktor-k terhadap LHRT. Nilai
faktor-k untuk berbagai tipe kota dan jalan ditampilkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Faktor-k Untuk Berbagai Tipe Jalan
Faktor Persen k
No Tipe Kota dan Jalan

1 Kota-kota > 1 juta penduduk


- Jalan pada daerah komersial dan arteri 7-8%
- Jalan pada daerah pemukiman 8-9%

2 Kota-kota < 1 juta penduduk


- Jalan pada daerah komersial dan arteri 8-10%
- Jalan pada daerah pemukiman 9-12%

Sumber: MKJI, 1997


14

2.4 Karakteristik Jalan


Jenis jalan menurut Undang-undang No. 13 Tahun 1980 jalan adalah suatu prasarana
perhubungan dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas, dikelompokkan
menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Jalan Arteri (jalan mayor)
Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor (jalan minor)
Jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan kecepatan
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal (jalan minor)
Jalan yang melayani angkutan setempat dengan perjalanan jarak dekat, kecepatan
rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Sedangkan klasifikasi tipe jalan yang dipakai sebagai acuan penentuan kapasitas
dasar dipengaruhi oleh jumlah jalur yang tersedia dan jumlah arah yang diijinkan. Tabel 2.4
menampilkan penentuan tipe jalan berdasarkan jumlah jalur dan arah.:

Tabel 2.4. Tipe Jalan Berdasarkan Jumlah Jalur dan Arah

Jumlah Jalur Jumlah Arah Tipe Jalan


2 2 2/2
4 2 4/2
2 1 2/1
Sumber: MKJI, 1997
2.5 Kinerja Ruas Jalan
Pembahasan untuk kinerja jaringan jalan dilakukan berdasarkan pada analisis jalan
perkotaan dan jalan luar kota. Sedangkan ciri utama pembagian segmen jalan luar kota
adalah di antara dan tidak terpengaruh simpang utama serta mempunyai geometrik dan
komposisi kendaraan yang relatif sama sepanjang segmen.
Oleh karena itu perubahan karakteristik secara otomatis akan memunculkan batas
segmen. Namun segmen jalan luar kota diharapkan jauh lebih panjang dari jalan perkotaan,
15

karena karakteristik geometrik tidak sering berubah dan jarak antar simpang utama tidak
berdekatan. Perubahan kecil pada geometrik (perubahan lebar < 0,5 m) tidak perlu
dipermasalahkan, namun perubahan kelandaian harus benar-benar diperhatikan.
2.5.1 Kapasitas Jalan
Menurut MKJI 1997 kapasitas jalan adalah jumlah lalu lintas kendaraan maksimum
yang dapat ditampung pada ruas jalan selama kondisi tertentu (desain geometri),
lingkungan dan komposisi lalu lintas yang dapat ditentukan dalam satuan masa penumpang
(smp/jam). Faktor-faktor yang berpengaruh pada kapasitas ruas jalan diantaranya adalah
tipe jalan, lebar jalan dan bahu jalan, hambatan samping dan pemisahan arah.
A. Kapasitas Jalan Luar Kota
1) Tipe jalan
Tipe jalan mempengaruhi kapasitas dasar jalan sebelum dikalikan dengan faktor
penyesuaian. Tabel 2.5-2.6 menampilkan kapasitas dasar jalan luar kota sesuai dengan
tipe jalan dan kondisi medan :
Tabel 2.5. Kapasitas Dasar (Co) Jalan Luar Kota 4 Lajur 2 Arah

Kapasitas Dasar
No Tipe Jalan/Tipe Alinyemen (Total 2 arah)
smp/jam/lajur
1 Empat Lajur Terbagi
- Datar 1900
- Bukit 1850
- Gunung 1800
2 Empat Lajur Tak Terbagi
- Datar 1700
- Bukit 1650
- Gunung 1600
Sumber: MKJI 1997

Tabel 2.6. Kapasitas Dasar (Co) Jalan Luar Kota 2 Lajur 2 Arah
Kapasitas Dasar
Tipe Jalan/Tipe
No (Total 2 arah)
Alinyemen
smp/jam/lajur
1Dua lajur Tak terbagi
- Datar 3100
- Bukit 3000
- Gunung 2900
Sumber: MKJI 1997
2) Lebar Efektif
16

Lebar efektif jalan akan mempengaruhi kapasitas jalan, semakin lebar jalur efektif yang
bisa dimanfaatkan semakin besar pula kapasitasnya. Faktor penyesuaian lebar
perkerasan jalan (FCw) ditentukan sesuai Tabel 2.7 sebagai berikut:

Tabel 2.7. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Perkerasan Jalan (FCW)

Tipe Jalan/Tipe Alinyemen Lebar FCW


Per Lajur Sumber:
MKJI 1997 3 0,91
Empat & Enam Lajur Terbagi 3,25 0,96
3) Lebar 3,5 1.00 Efektif Bahu
dan Kerb 3,75 1,03 Jalan (FCSF)
Per Lajur
Lebar bahu 3 0,91 jalan dan
Empat Lajur Tak Terbagi 3,25 0,96
hambatan akibat
3,5 1.00
aktivitas 3,75 1,03 samping jalan
Total
merupakan faktor yang
5 0,69
6 0,91
7 1.00
Dua Lajur Tak Terbagi
8 1,08
9 1,15
10 1,21
11 1,27
mempengaruhi kapasitas ruas jalan. Semakin tinggi aktivitas samping suatu ruas jalan
maka potensial menurunkan kapasitas jalan. Tabel 2.8 menampilkan faktor penyesuaian
kapasitas akibat kelas hambatan samping dan lebar bahu jalan.

Tabel 2.8. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Kelas Hambatan Samping (FCSF)
FCSF
Kelas Hambatan
Tipe Jalan Lebar Bahu
Samping
< 0.5 m 1m 1.5 m >2 m
4/2 D Sangat Rendah 0,99 1,00 1,01 1,03
Rendah 0,96 0,97 0,99 1,01
17

Sedang 0,93 0,95 0,96 0,99


Tinggi 0,9 0,92 0,95 0,97
Sangat tinggi 0,88 0,9 0,93 0,96
Sangat Rendah 0,97 0,99 1,00 1,02
Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
4/2 UD dan 2/2
Sedang 0,88 0,91 0,94 0,98
UD
Tinggi 0,84 0,87 0,91 0,95
Sangat tinggi 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber : MKJI 1997

4) Kondisi lalu lintas


Faktor arah adalah besarnya perbandingan pemisahan arah dari jumlah dua arah arus
pergerakan. Pada jalan tanpa menggunakan pemisah, maka besarnya faktor penyesuaian
untuk jalan tersebut tergantung pada besarnya split kedua arah ditampilkan pada Tabel 2.9 :
Tabel 2.9. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah
Pemisahan Arah
50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
(%)
2/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88
(FCSP)
4/2 1.00 0.975 0.95 0.925 0.90
Sumber : MKJI 1997

Apabila sudah diketahui karakteristik suatu jalan, penentuan kapasitas bisa dilakukan
dengan mengalikan kapasitas dasar terhadap faktor–faktor penyesuaian kapasitas sesuai
keadaan ruas jalan tersebut. Persamaan untuk menghitung besarnya kapasitas jalan adalah
sebagai berikut.

C = CO x FCW x FCSP x FCSF (2.4)

Dimana :
C : Kapasitas aktual (smp/jam)
CO : Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW : Faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP : Faktor arah (hanya untuk undivided road)
FCSF : Hambatan samping dan faktor penyesuaian bahu/kerb jalan
B. Kapasitas Jalan Perkotaan
1) Tipe jalan
Tipe jalan mempengaruhi kapasitas dasar jalan sebelum dikalikan dengan faktor
penyesuaian. Tabel 2.10 menampilkan kapasitas dasar untuk jalan perkotaan
18

Tabel 2.10. Kapasitas Dasar (Co) Jalan Perkotaan

Sumber : MKJI 1997


2) Lebar Efektif
Lebar efektif jalan akan mempengaruhi kapasitas jalan, semakin lebar jalur efektif yang
bisa dimanfaatkan semakin besar pula kapasitasnya. Faktor penyesuaian lebar
perkerasan jalan (FCw) ditentukan sesuai Tabel 2.11 sebagai berikut:

Tabel 2.11. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Perkerasan (FCw)

Sumber : MKJI 1997


19

3) Lebar Efektif Bahu dan Kerb Jalan (FCSF)

Lebar bahu jalan dan hambatan akibat aktivitas samping jalan merupakan faktor yang
mempengaruhi kapasitas ruas jalan. Semakin tinggi aktivitas samping suatu ruas jalan
maka potensial menurunkan kapasitas jalan. Tabel 2.12 menampilkan faktor penyesuaian
kapasitas akibat kelas hambatan samping dan lebar bahu jalan.

Tabel 2.12. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Kelas Hambatan Samping (FCSF)

Sumber : MKJI 1997


20

4) Kondisi lalu lintas


Faktor arah adalah besarnya perbandingan pemisahan arah dari jumlah dua arah arus
pergerakan. Pada jalan tanpa menggunakan pemisah, maka besarnya faktor penyesuaian
untuk jalan tersebut tergantung pada besarnya split kedua arah ditampilkan pada Tabel 2.12:
Tabel 2.13. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah

Sumber : MKJI 1997


5) Ukuran Kota
Faktor penyesuaian ukuran kota sebagai fungsi dari jumlah penduduk. Tabel 2.13
menampilkan faktor penyesuaian ukuran kota.
Tabel 2.14. Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Ukuran Kota

Sumber : MKJI 1997


Apabila sudah diketahui karakteristik suatu jalan, penentuan kapasitas bisa dilakukan
dengan mengalikan kapasitas dasar terhadap faktor–faktor penyesuaian kapasitas sesuai
keadaan ruas jalan tersebut. Persamaan untuk menghitung besarnya kapasitas jalan adalah
sebagai berikut.

C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS (2.5)

Dimana :
C : Kapasitas aktual (smp/jam)
CO : Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW : Faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP : Faktor arah (hanya untuk undivided road)
21

FCSF : Hambatan samping dan faktor penyesuaian bahu/kerb jalan


FCCS : Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Ukuran Kota.

2.5.2 Kecepatan Perjalanan


Faktor lain yang juga cukup berpengaruh dalam menggambarkan kualitas dari suatu
ruas jalan dalam menampung arus lalu lintas adalah kecepatan perjalanan. Kecepatan
perjalanan dalam suatu ruas jalan adalah kecepatan rata-rata yang ditempuh kendaraan
selama melalui ruas jalan tersebut. Faktor yang berpengaruh dalam kecepatan perjalanan
adalah tipe dan alinyemen jalan, lebar efektif, kelas fungsional jalan serta hambatan
samping (guna lahan).
1) Tipe jalan
Tipe jalan mempengaruhi kecepatan arus bebas dasar ruas jalan. Selain tipe jalan
kecepatan arus bebas dasar juga dipengaruhi tipe kendaraan dan tipe alinyemen jalan.
Tabel 2.15 menampilkan kecepatan arus bebas dasar jalan luar kota sesuai dengan tipe
jalan, kondisi medan dan jenis kendaraan.

Tabel 2.15. Kecepatan Arus Bebas Dasar Jalan Perkotaan

Sumber : MKJI, 1997

2) Lebar Efektif
22

Lebar efektif jalan akan mempengaruhi kecepatan arus bebas ruas jalan, semakin lebar
jalur efektif yang bisa dimanfaatkan akan menambah nilaikecepatan arus bebas dasar.
Begitu juga sebaliknya bila lebar efektifnya kecil akan mengurangi nilai kecepatan arus
bebas dasar. Faktor penyesuaian kecepatan akibat lebar perkerasan jalan (FVw)
ditentukan sesuai Tabel 2.16.

Tabel 2.16. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Lebar Lajur (FVW)

Sumber : MKJI, 1997

3) Hambatan Samping dan Lebar Bahu JAlan


Lebar bahu jalan dan hambatan akibat aktivitas samping jalan merupakan faktor yang
mempengaruhi kecepatan arus bebas dasar ruas jalan. Semakin rendah aktivitas samping
suatu ruas jalan maka pengaruhnya terhadap kecepatan semakin kecil. Tabel 2.17
23

menampilkan faktor penyesuaian kapasitas akibat kelas hambatan samping dan lebar
bahu jalan.
Tabel 2.17. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Hambatan Samping
dan Bahu Jalan (FFVSF)

Sumber : MKJI, 1997


4) Ukuran Kota
Selain tiga faktor diatas kecepatan arus bebas dasar juga dipengaruhi faktor ukuran kota.
Faktor ukuran kota ditampilkan pada Tabel 2.18.
Tabel 2.18. Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Ukuran Kota
(FFVCS)

Sumber : MKJI, 1997


24

Kecepatan arus bebas ditentukan setelah diketahui kecepatan arus bebas dasar dan
faktor penyesuaian kecepatan sesuai Tabel 2.10-2.14. Kecepatan arus bebas kendaraan
ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar untuk penilaian kinerja segmen jalan. Menurut
MKJI 1997 persamaan untuk penentuan arus bebas mempunyai bentuk umum sebagai
berikut.

FV = (FVo + FVW) x FFVSF x FFVCS (2.6)


FV = kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
FVo = kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVW = faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (km/jam)
FFVSF = faktor penyesuaian kondisi hambatan samping
FFVCS = faktor penyesuaian ukuran kota

Kecepatan kendaraan rata-rata (VLV) diperlukan untuk penentuan kinerja jalan


berdasarkan kecepatan. Semakin besar rasio kecepatan kecepatan hasil survey terhadap
kecepatan rata-rata (VLV) maka semakin baik pula kinerja jalan. Kecepatan rata-rata
kendaraan ringan (VLV) ditentukan berdasarkan nilai derajat kejenuhan (DS) dan kecepatan
arus bebas (FVLV) yang diplotkan pada grafik kecepatan sebagai fungsi dari DS
(MKJI,1997). Grafik kecepatan sebagai fungsi dari derajat kejenuhan ditampilkan pada
Gambar 2.3.
25

Gambar 2.3 Kecepatan Sebagai Fungsi Dari Derajat Kejenuhan Pada Jalan 2/2 UD

2.5.3 Level of Service (LOS)


Tingkat pelayanan jalan adalah ukuran kualitatif yang menjelaskan kondisi
operasional dari ruas jalan. Penilaian tingkat pelayanan bisa didasarkan pada parameter
derajat kejenuhan dan kecepatan. Menurut Morlok (1991) tingkat pelayanan jalan
ditentukan dalam skala interval yang terdiri atas 6 tingkatan. Tingkatan ini adalah A, B, C,
D, E dan F. Dimana A merupakan tingkatan yang paling tinggi. Titik dimana suatu
perubahan dibuat dalam tingkat pelayanan, misalnya dari A ke B, ditentukan berdasarkan
pertimbangan teknis secara kolektif.
Derajat kejenuhan/volume capacity ratio (VCR) adalah parameter yang umum
digunakan untuk menilai tingkat pelayanan ruas jalan. Derajat kejenuhan/volume capacity
ratio (VCR) dihitung dengan membandingkan volume kendaraan terhadap kapasitas ruas
jalan. Perhitungan derajat kejenuhan disesuaikan dengan persamaan 2.4.
V
VCR = (2.7)
C

Dimana :
VCR : volume/capacity ratio
26

V : volume lalu lintas


C : kapasitas lalu lintas

Terdapat enam batasan lingkup penentuan tingkat pelayanan yang didasarkan pada
nilai VCR. Tabel 2.19 menampilkan batas lingkup dan karakteristik umum untuk setiap
tingkat pelayanan jalan.

Tabel 2.19 Standar Tingkat Pelayanan Jalan


Batas
Tingkat
Karakteristik-karakteristik lingkup
pelayanan
(V/C)
Kondisi arus bebas dengan tinggi dan volume arus lalu
A lintas rendah. Pengemudi dapat memilih kecepatan yang 0,00-0,19
diinginkannya tanpa hambatan
Dalam zone arus stabil. Pengemudi memiliki kebebasan
B 0,20-0,44
yang cukup untuk memilih kecepatannya
Dalam zone arus stabil. Pengemudi dibatasi dalam memilih
C 0,45-0,74
kecepatannya
Mendekati arus tidak stabil dimana hampir seluruh
D pengemudi akan dibatasi volume pelayanan berkaitan 0,75-0,84
dengan kapasitas yang dapat ditolerir (diterima)
Volume arus lalu lintas mendekati atau berada pada
E kapasitasnya. Arus adalah tidak stabil dengan kondisi yang 0,85-1,0
sering berhenti
Arus yang dipaksakan atau macet pada kecepatan-
kecepatan yang rendah. Antrian yang panjang dan terjadi > 1,0
hambatan-hambatan yang besar
Sumber : Ditjen Perhubungan Darat

Sedangkan untuk menentukan tingkat pelayanan jalan berdasarkan kecepatan,


dilakukan perbandingan antara kecepatan perjalanan terhadap kecepatan arus bebas ruas
jalan. Semakin besar rasio terhadap kecepatan arus bebas maka semakin baik tingkat
pelayanan jalan. Hal ini dikarenakan pengendara bisa memilih kecepatan dengan nyaman
dalam kondisi geometrik, lingkungan, dan pengaturan lalu lintas yang ada. Tabel 2.20
menampilkan indeks tingkat pelayanan jalan berdasarkan kecepatan.
27

Tabel 2.20 Indeks Tingkat Pelayanan (ITP) Berdasarkan Kecepatan


Tingkat % Dari Kecepatan
Pelayanan Arus Bebas
A > 90
B > 70
C > 50
D > 40
E > 33
F < 33
Sumber: Tamin, 2000

Dengan tipe pendekatan VCR dan kecepatan dalam penentuan tingkat


pelayanan ruas jalan didapat batasan-batasan untuk mengklasifikasikan kinerja ruas
jalan. Gambar 2.4 memperlihatkan kombinasi batasan penilaian tingkat pelayanan jalan
berdasarkan VCr dan kecepatan.

Gambar 2.4. Tingkat Pelayanan Jalan

2.6 Kinerja Persimpangan/Intersection


Tamin (1997) menyebutkan bahwa kapasitas sistem jaringan jalan tidak saja
dipengaruhi oleh kapasitas ruas jalannya, tetapi juga kapasitas persimpangannya.
Bagaimana pun juga baiknya kinerja ruas jalan dari suatu sistem jaringan jalan, jika kinerja
persimpangannya sangat rendah maka kinerja seluruh sistem jaringan jalan tersebut akan
menjadi rendah pula. (Tamin, 1997).
28

Tujuan pengaturan lalu lintas pada simpang adalah untuk menjaga keselamatan
dengan memberikan petunjuk yang jelas dan terarah. Data arus lalu lintas tiap pendekat
menentukan pengaturan yang tepat untuk simpang, Penentuan tipe pengaturan simpang
berdasarkan arus ditampilkan pada Gambar 2.5.

Sumber : Alik, 2005


Gambar 2.5. Penentuan Pengaturan Simpang

2.6.1 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) Simpang


Data lalu lintas memberikan informasi tentang komposisi jenis dan kuantitas
kendaraan yang menggunakan ruas jalan. Klasifikasi kendaraan dapat digolongkan
berdasarkan beban sumbu, dimensi maupun karakteristik kecepatan. Dengan karakteristik
yang berbeda untuk tiap jenis kendaraan maka perlu dilakukan konversi menjadi satuan
mobil penumpang (smp).
Pada simpang bersinyal kendaraan dipisahkan menjadi Kendaraan Ringan (LV),
Kendaraan Berat (HV), dan Sepeda Motor (MC). Perbedaan yang signifikan dalam
penggolongan ini adalah untuk tipe pendekat yang berbeda, pada pendekat terlawan yang
memungkinkan terjadinya konflik antar arus yang berlawanan, memiliki emp yang lebih
besar dibandingkan pendekat tipe terlindung. Pendekat tipe terlindung ini tidak
29

mengijinkan terjadinya konflik antar arus yang berlawanan dan dipisahkan dengan fase
tersendiri.

Sedangkan pada simpang tidak bersinyal konversi menjadi lebih sederhana lagi
karena pada simpang tak bersinyal hanya tipe terdapat satu tipe pendekat yaitu tipe
terlawan. Faktor emp kendaraan pada simpang berdasarkan rekomendasi MKJI 1997
ditampilkan pada tabel 2.21.

Tabel 2.21 Ekivalensi Mobil Penumpang Untuk Simpang


emp Untuk Tipe Pendekat
Jenis Kendaraan Simpang Bersinyal Simpang
Terlindung Terlawan Tak Bersinyal
Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0 1,0
Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3 1,3
Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4 0,5
Sumber : MKJI, 1997

2.6.2 Kinerja Persimpangan Bersinyal


Kinerja simpang bersinyal menggunakan tundaan sebagai parameter penilaiannya.
Waktu siklus merupakan faktor penting dalam membentuk karakteristik simpang. Derajat
kejenuhan bisa ditekan dengan menambah waktu siklus, namun semakin lama waktu siklus
akan berakibat semakin lamanya tundaan kendaraan pada simpang.
A. Kapasitas Persimpangan Bersinyal
MKJI 1997 menyebutkan bahwa kapasitas lengan persimpangan berlampu lalu lintas
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu nilai arus jenuh, waktu hijau efektif dan waktu
siklus. Persamaan untuk menentukan kapasitas suatau pendekat pada simpang
bersinyal adalah sebagai berikut.
S.g
C  (smp/jam) (2.8)
c
Dimana :
C : Kapasitas (smp/jam)
S : Arus jenuh
G : Waktu hijau efektif
c : Waktu siklus
30

Namun untuk menentukan kapasitas simpang perlu diketahui nilai beberapa variabel
penyusunnya terlebih dahulu. Langkah-langkah yang dilakukan sebelum penentuan
kapasitas simpang bersinyal adalah sebagai berikut.
1) Penentuan Faktor Koreksi Arus Jenuh
 Arus Jenuh Dasar (S0)
Merupakan besarnya keberangkatan antrian dalam suatu pendekatan selama kondisi
ideal (smp/jam hijau). Perhitungan arus jenuh dasar untuk pendekat terlindung (P)
adalah (MKJI, 1997) :
SO = 600 x We, dimana (We = lebar efektif) (2.9)

Untuk pendekat tipe terlawan (O), nilai SO ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif
pendekat (We) dan arus lalu lintas belok kanan pada pendekat tersebut (QRT) dan juga
pendekat terlawan (QRTO).

 Faktor Koreksi Arus Jenuh Akibat Ukuran Kota (FCS)


Merupakan faktor koreksi kapasitas berdasar jumlah penduduk kota yang
bersangkutan. Faktor penyesuaian kapasitas berdasarkan ukuran kota ditampilkan
pada Tabel 2.22.

Tabel 2.22. Faktor Penyesuaian Kapasitas Simpang Akibat Ukuran Kota


Penduduk kota Faktor penyesuaian
(Juta Jiwa) ukuran Kota (FCS)
> 3,0 1,05
1,0 – 3,0 1,00
0,5 – 1,0 0,94
0,1 – 0,5 0,83
< 0,1 0,82
Sumber : MKJI, 1997

 Faktor Koreksi Arus Jenuh Akibat Gangguan Samping (FSF)


Hambatan samping memiliki pengaruh yang besar terhadap kapasitas baik simpang
maupun ruas. Kombinasi antara kondisi lingkungan, hambatan samping dan rasio
kendaraan tak bermotor dalam kaitannya dengan pengaruh terhadap kapasitas simpang
bersinyal ditampilkan pada Tabel 2.23.
31

Tabel 2.23 Faktor Penyesuaian Kapasitas Simpang Bersinyal Akibat


Hambatan Samping
Linkungan Hambatan Rasio kendaraan tak bermotor
Tipe fase
Jalan samping
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25
Komersil Tinggi Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
(COM) Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81
Sedang Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71
Terlindung 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82
Rendah Terlawan 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72
Terlindung 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83
Pemukiman Tinggi Terlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72
(RES) Terlindung 0,96 0,94 0,92 0,99 0,86 0,84
Sedang Terlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73
Terlindung 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85
Rendah Terlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74
Terlindung 0,98 0,96 0,94 0,94 0,88 0,86
Akses Terlawan 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Terbatas Terlindung 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88
Sumber : MKJI, 1997

 Faktor Koreksi Arus Jenuh Akibat Kelandaian (FG)

Adanya tanjakan atau turunan pada pendekat simpang akan mempengaruhi waktu
untuk bermanuver saat lalmpu lalu lintas menyala hijau. Faktor koreksi arus jenuh
akibat kelandaian ditampilkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Faktor Penyesuaian Kapasitas Simpang Akibat Kelandaian (FG)


32

 Faktor Koreksi Arus Jenuh Akibat Kegiatan Parkir Dekat Lengan Simpang (FP)
Adanya penyempitan baik akibat geometrik maupun karena adanya parkir di dekat
simpang mempengaruhi arus jenuh simpang. Dengan lebar masuk pendekat yang
berkurang pada jarak kurang dari 80 meter dari simpang akan mereduksi narus jenuh
simpang. Faktor koreksi akibat bkegiatan parkir atau penyempitan pendekat
ditentukan dari grafik 2.7.

Gambar 2.7. Faktor Penyesuaian Kapasitas Simpang Untuk Pengaruh Parkir dan
Lajur Belok Kiri yang Pendek (FP)

 Faktor penyesuaian belok kiri (FLT)


Faktor penyesuaian akibat pergerakan belok kiri khusus untuk pendekat Tipe P
ditentukan dengan persamaan sebagai berikut.
FLT = 1,0 – PLT x 0,16 (2.10)

 Faktor penyesuaian belok kanan (FRT)


Faktor penyesuaian akibat pergerakan belok kiri khusus untuk pendekat P ditentukan
dengan persamaan sebagai berikut. (2.11)
FRT = 1,0 –PRT x 0,26
33

2) Penentuan Arus Jenuh


Berdasarkan MKJI 1997 nilai arus jenuh suatu persimpangan berlampu lalu lintas
dipengaruhi oleh geometrik simpang, hambatan samping, gerakan membelok dan parkir
di dekat simpang. Setelah diketahui faktor koreksi arus jenuh yang diakibatkab berbagai
variabel, arus jenuh simpang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

S = S0 x FCS x FSF x FG x FP x FLT x FRT (smp/waktu hijau efektif) (2.12)


Dimana :
S : Arus jenuh (smp/waktu hijau efektif)
SO : Arus jenuh dasar (smp/waktu hijau efektif)
FCS : Faktor koreksi arus jenuh akibat ukuran kota (jumlah penduduk)
FSF : Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya gangguan samping yang meliputi
faktor tipe lingkungan jalan dan kendaraan tidak bermotor
FG : Faktor koreksi arus jenuh akibat kelandaian jalan
FP : Faktor koreksi dengan arus jenuh akibat adanya kegiatan perparkiran dekat
lengan persimpangan
FLT : Faktor koreksi kapasitas akibat adanya pergerakan belok kiri
FRT : Faktor koreksi kapasitas akibat adanya pergerakan belok kanan

3) Penentuan Waktu Sinyal


 Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang
Waktu antar hijau (IG) merupakan waktu dimana periode kuning + merah semua
antar dua fase sinyal yang berurutan (detik). Sedangkan waktu merah semua adalah
waktu dimana sinyal merah menyala bersamaan dalam pendekat-pendekat yang
dilayani oleh dua fase sinyal yang berurutan (det).
 (L EV  I EV ) L AV 
Merah semua =    (2.13)
 VEV VAV  max

Dimana :
LEV, LAV = jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan
berangkat dan datang (m)
IEV = panjang kendaraan yang berangkat (m)
34

VEV, VAV = kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang
datang (m/det)

Waktu hilang (LTI) merupakan jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang
lengkap (det). Waktu hilang dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus
dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase yang berurutan.
LTI =  ( Merahsemua  kuning ) =  IG (2.14)
 Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua)
Cua = (1,5 x LTI +5)/(1-IFR) (2.15)
 Waktu Hijau (g)
Gi = (Cua – LTI) x Pri (2.16)
 Waktu siklus yang disesuaiakan sebagai berikut.
C=  g  LTI
4) Penentuan Rasio Arus/Rasio Arus Jenuh
Sesuai MKJI 1997 penentuan rasio arus berguna untuk menentukan waktu hijau agar
terdistribusi merata untukl semua simpang.
 Rasio Arus (FR) ditentukan dengan persamaan sebagai berikut.
FR = Q/S (2.17)
 Rasio arus simpang (IFR) ditentukan dengan persamaan sebagai berikut.
IFR =  (FRcrit ) (2.18)
Dimana FRcrit merupakan rasio arus kritis (tertinggi) pada masing-masing fase
 Rasio Fase (PR), ditentukan dengan persamaan sebagai berikut.
PR = FRcrit/IFR (2.19)

B. Derajat Kejenuhan (DS)


Variabel yang mempengaruhi nilai derajat kejenuhan simpang adalah kapasitas
simpang dan arus lalu lintas yang memebebaninya. Arus lalu lintas yang terdiri dari
berbagai tipe kendaraan perlu dikonversikan dalam satuan mobil penumpang (smp)
sebelum dibebankan pada simpang. Sesuai MKJI 1997 derajat kejenuhan untuk simpang
bersinyal dihitung untuk tiap pendekat. dengan persamaan berikut.
35

DS = Q/C =(Q x c)/(S x g) (2.20)


Dimana :
Q = jumlah unsur lalu lintas yang melalui titik terganggu di hulu, pendekat per
satuan waktu
C = Kapasitas (smp/jam)
S = arus jenuh (smp/jam hijau)
c = waktu siklus sinyal (det)
g = waktu hijau (det)

C. Panjang Antrian
Menurut MKJI 1997 panjang antrian (QL) merupakan jumlah rata-rata antrian smp
pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah smp yang tersisa dari fase hijau
sebelumnya (NQ1) ditambah dengan jumlah smp yang datang selama fase merah (NQ2).
NQ = NQ1 + NQ2 (2.21)
Dengan :
 8 x ( DS  0,5) 
NQ1 = 0,25 x C x ( DS  1  (DS  1) 2   (2.22)
 C 
1  GR Q
NQ2 = c x x (2.23)
1  GR  DS 3600
NQmax  20
QL = (2.24)
Wmasuk

Untuk keperluan perencanaan diperlukan perhitungan NQMAX yang merupakan nilai


penyesuaian dari NQ akibat adanya kemungkinan pembebanan lebih. Gambar 2.8
menunjukkan hubungan jumlah antrian rata-rata dengan peluang untuk pembebanan lebih
(POL) dalam penentuan nilai NQMAX. Menurut MKJI 1997 untuk perancangan dan
perencanaan disarankan POL  5% sedangkan untuk operasi suatu nilai POL = 5 – 10%
mungkin dapat diterima .
36

Gambar 2.8. Perhitungan Jumlah Antrian Untuk Pembebanan Lebih (Nqmax)

D. Kendaraan Terhenti
Laju henti (NS) merupakan jumlah rata-rata berhenti per smp (termasuk berhenti
berulang dalam antrian) untuk tiap pendekat simpang. Perkalian antara arus per jam (Q)
terhadap NS akan menghasilkan jumlah kendaraaan terhenti (NSV). Persamaan untuk
menghitung variabel terkait kendaraan terhenti sesuai MKJI 1997 adalah sebagai
berikut.
NQ
NS = 0,9 x x 3600 (2.25)
Q XC

Jumlah kendaraan terhenti (NSV)


NSV = Q x NS (2.26)
Angka Henti Total (NSTOT)

NSTOT =
N sv
(2.27)
Q tot

E. Tundaan
Tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang
apabila dibandingkan lintasan tanpa melalui simpang. MKJI 1997 memberikan persamaan
untuk menghitung tundaan pada simpang sebagai berikut.
37

1. Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung sebagai sebagai berikut.


Dj = DTj + DGj (2.28)
Dimana :
Dj = tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DTj = tundaan lalu lintas rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DGj = tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j (det/smp)

2. Tundaan lalu lintas rata-rata pada suatu pendekat j dapat ditentukan dari persamaan
berikut.
0,5 x (1  GR ) 2 NQ1 x 3600
DTj = c x  (2.29)
(1  GR x DS) C

Dimana :
DTj = tundaan lalu lintas rata-rata pada pendekat j (det/smp)
GR = rasio hijau (g/c)
DS = derajat kejenuhan
C = kapasitas (smp/jam)
NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya.
3. Tundaan geometrik rata-rata pada suatu pendekatan j dapat diperkirakan sebagai
berikut.
DGj = (1- PSV) x PT x 6 + (PSV x 4) (2.30)
Dimana :
DGj = tundaan geometrik rata-rata pada pendekat j (det/smp)
PSV = rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat
PT = rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat
4. Tundaan rata-rata simpang total sebagai indikator tingkat pelayanan simpang dihitung
dengan membagi total tundaan semua pendekat dengan arus lalu lintas total (QTOT).
D = DTOT/QTOT (2.31)
Dimana :
DTOT = ∑ tundaan semua pendekat
QTOT = ∑ arus lalu lintas semua pendekat
38

F. Tingkat pelayanan persimpangan bersinyal


Tingkat pelayanan persimpangan bersinyal dapat dilihat dari tundaan. Lamanya
waktu tundaan untuk melewati simpang bila dibandingkan kondisi simpang tanpa lampu
lalu lintas menunjukkan efektifitas kinerja simpang. Tabel 2.24 menampilkan tingkat
pelayanan simpang bersinyal berdasarkan tundaan yang dihasilkan simpang.
Tabel 2.24. Tingkat Pelayanan Persimpangan Bersinyal
Tundaan per
ITP
kendaraan (detik)
A  5,0
B 5,1 – 15,0
C 15,1 – 25,0
D 25,1- 40,0
E 40,1 –60,0
F > 60,0
Sumber : Tamin, 2000

2.7 Analisis Lalu Lintas Akibat Diversi

Analisis lalu lintas akibat diversi dilakukan dengan menganalisis hasil survey asal tujuan
serta membandingkan rata-rata waktu perjalanan antara rute jalan eksisting dengan rute
jalan lingkar selatan. Hasil perbandingan waktu tempuh diplotkan pada kurva diversi
(diversion curve) yang ditampilkan pada Gambar 2.9.

Sumber : Studi Kelayakan Jalan Lingkar Timur Sampang

Gambar 2.9 Kurva Diversi Lalu Lintas Pada Jalan Perkotaan


39

2.8 Metode Peramalan


Metode analisis yang dipergunakan untuk meramalkan volume maupun bangkitan
untuk masa mendatang yaitu menggunakan cara analisis data time series. Karena untuk
mengetahui perkembangan dan perubahan sesuatu dalam hal ini adalah volume lalu lintas,
maka perlu adanya data terdahulu sehingga dapat diketahui bagaimana tingkat
pertumbuhannya.
Metode linier digunakan apabila prosentase pertumbuhan relatif tetap namun untuk
perkiraan jangka panjang kurang akurat ketepatannya.

y = a + bx

Vn = V0 + b (x)

Gambar 2.10. Grafik Regresi Linier


Dimana :
Vn = volume pada tahun ke-n
V0 = volume pada tahun dasar
b = rata-rata jumlah pertumbuhan
x = selisih tahun dari tahun dasar t ke tahun n
Dengan pertimbangan digunakannya metode ini adalah karena merupakan model
pertumbuhan yang paling maksimal, perkembangan jumlah dianggap akan berganda
dengan sendirinya. Metode ini memiliki kelemahan yakni tidak mempertimbangkan adanya
kenyataan empiris bahwa sesudah kurun waktu tertentu derajat pertumbuhan akan relatif
menurun.
40

2.9 Biaya Operasional Kendaraan


Biaya operasi kendaraan adalah biaya total dalam mengoperasikan kendaraan pada
suatu kondisi lalu lintas dan jalan untuk suatu jenis kendaraan per kilometer jarak tempuh.
Ada dua metode yang biasa dipakai untuk menghitung biaya operasional kendaraan yaitu
metode yang dikembangkan LAPI ITB dan yang dikembangkan Puslitbang Prasarana
Transportasi. Perhitungan biaya operasional kendaraan dalam penelitian ini menggunakan
metode dari Puslitbang Prasarana Transportasi Tahun 2001. Puslitbang Prasarana
Transportasi, Balitbang Kimpraswil telah melakukan studi BOK untuk berbagai jenis
kendaraan, bekerja sama dengan (TRL-Transport Research La(oratory) UK. Dari studi--
studi yang dilakukan menghasilkan beberapa model perhitungan komponen BOK yang
telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
perhitungan BOK.
2.9.1 Dasar- Dasar Perhitungan Biaya Operasional Kendaraan
Dasar perhitungan ini terdiri dari dua komponen yaitu :
a. Biaya Tidak Tetap, yaitu biaya operasi kendaraan yang dibutuhkan untuk
menjalankan kendaraan pada suatu kondisi lalu lintas dan jalan untuk suatu
jenis kendaraan per kilometer jarak tempuh. Komponen - komponen yang
mempengaruhi biaya tidak tetap antara lain biaya konsumsi bahan bakar, biaya oli,
biaya konsumsi suku cadang, biaya upah tenaga pemeliharaan, dan biaya ban.
b. Biaya Tetap, yaitu biaya yang dikeluarkan secara rutin untuk jangka waktu
tertentu dan tidak dipengaruhi oleh operasional kendaraan seperti kecepatan,
karakteristik pengemudi dan bentuk geometri. Biaya tidak tetap ini terdiri dari biaya
asuransi, biaya bunga dan biaya penyusutan.
2.9.2 Persamaan Biaya Operasional Kendaraan
Persamaan yang digunakan untuk tiap jenis kendaraan memiliki koefisien yang
berbeda-beda akibat dari dimensi dan karakteristik kendaraan. Model perhitungan biaya operasi
kendaraan disajikan oleh Puslitbang Prasarana Transportasi merupakan model dengan
pendekatan empiris.
BOK = (BBT) BOK + (BT) BOK ……………………………. (2.32)
dimana,
41

BBT = Biaya tidak tetap, dalam rupiah/km


BT = Biaya tetap, rupiah/km
2.9.3 Perhitungan Biaya Operasional Kendaraan
Perhitungaan yang digunakan untuk tiap jenis kendaraan tergantung dari fungsi
kendaraan tersebut.
1) Biaya Operasional Kendaraan
a. Biaya Tidak Tetap
Biaya tidak tetap (running cost) merupakan salah satu komponen biaya operasi
kendaraan (Vehicle Operating Cost). Biaya tidak tetap dihitung dengan
menjumlahkan biaya konsumsi bahan bakar, biaya konsumsi oli, biaya konsumsi
suku cadang, biaya upah pemeliharaan, dan biaya konsumsi ban seperti pada
persamaan (1) dalam satuan Rupiah per kilometer.
BTT = BiBBMj+ Bpi + BPi + BUi + Bbi …………..(2.33)
dengan pengertian,
BTT = besaran biaya tidak tetap, dalam rupiah/km
BiBBMj = biaya konsumsi bahan bakar minyak, dalam rupiah/km
BOi = biaya konsumsi oli, dalam rupiah/km
Bpi = biaya konsumsi suku cadang, dalam rupiah/km
Bui = biaya upah tenaga pemeliharaan, dalam rupiah/km
BBi = biaya konsumsi ban, dalam rupiah/km
 Biaya Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BiBBM)
Adalah biaya yang dibutuhkan untuk konsumsi bahan bakar minyak dalam
pengoperasian suatu jenis kendaraan perkilometer jarak tempuh. Satuannya
rupiah perkilometer
BiBBMj = KBBMi x HBBMj ………………… (2.34)
dengan pengertian,
BiBBMj = Biaya konsumsi BBM jenis kendaraan i,(Rp/km)
KBBMi = Konsumsi BBM untuk jenis kendaraan i, (ltr/km)
HBBMi = Harga bahan bakar untuk jenis BBMj dalam rupiah/liter
i = Jenis kendaraan sedan, truk, minibus
42

j = Jenis bahan bakar minyak solar atau premium


Untuk dapat menyelesaikan persamaan (2.34), terlebih dahulu dicari
variabel-variabel yang mempengaruhinya:
- Kecepatan rata-rata lalu lintas
Data kecepatan lalu lintas dapat diperoleh dengan melakukan
pengukuran langsung dengan metode "jour ney speed' dan selanjutnya
dilakukan perhitungan kecepatan rata-rata ruang.
- Percepatan rata-rata
Percepatan rata - rata lalu lintas dalam suatu ruas jalan dapat
dihitung dengan persamaan sbb:
AR = 0.0128 x (V/C) …………………………… (2.35)
dengan pengertian,
AR = Percepatan rata-rata
V = Volume kendaraan (smp/jam)
C = Kapasitas jalan (smp/jam)
- Simpangan baku percepatan
Simpangan baku percepatan lalu lintas dalam suatu ruas jalan dapat
dihitung dengan persamaan sbb:
 
 1.04 
SA  SA maz   ……………….. (2.36)
 V 
 (1  e (   1 ) x 
 C 

dengan pengertian,
SA = Simpangan baku percepatan (m/s2)
SA max = Simpangan baku percepatan maksimum (m/2)
(tipikal/default= 0.75)
a 0 ,a 1 = Koefisien parameter (tipikal/default α0= 5.140 ; α1 =8.164)
V = Volume kendaraan (smp/jam)
C = Kapasitas jalan (smp/jam)

- Tanjakan dan Turunan


43

Tanjakan rata-rata ruas jalan dapat dihitung berdasarkan data


alinyemen vertical dengan rumus berikut :
R

R t
………………………. (2.37)
RR  t 1
( m / km)
L1
Turunan rata-rata ruas jalan dapat dihitung berdasarkan data alinyemen
vertical dengan rumus berikut :
R

F t
………………………... (2.38)
FR  t 1
(m / km)
L
Apabila data pengukuran tanjakan dan turunan tidak tersedia dapat
digunakan nilai tipikal (default) sebagai berikut:
Tabe1 2.25. Alinemen Vertical yang Direkomendasikan di Berbagai Medan Jalan

Kondisi Turunan rata-rata


No Tanjakan rata-rata [m/km]
medan [m/km]
1 Datar 2,5 -2,5
2 Bukit 12,5 -12,5
3 Pegunungan 22,5 -22,5
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportas
- Konsumsi bahan bakar minyak
Konsumsi bahan bakar minyak untuk masing-masing kendaraan dapat
dihitung dengan rumus persamaan berikut, yaitu:
KBBMi  (   1 / V R   2 xVR2   3 xRR   4 xFR   5 x FR2   6 xDTR 
(
 7 xAR   8 x SA   9 xBK   10 xBKxSA) / 1000 ......

2.39)
dengan pengertian,
α = Konstanta
β1..β12 = KoefLSien-kce6sien parameter
VR = Kecepetan rata-rata
AR = Percepatan rata-rata
SA = Simpangan baku percepatan
44

RR = Tanjakan rata-rata
FR = Turunan rata-rata
DTR = Derajat tikungan rata-rata
BK = Berat kendaraan
Apabila data pengukuran derajat tingkungan untuk suatu ruas
jalan tidak tersedia dapat digunakan nilai tipikal (default) Tabel
2.26. dan berat kendaraan dapat dilihat pada Tabel 2.27.
Tabel 2.26. Nilai Tipikal Derajat Tikungan
No. Kondisi Medan Derajat tikungan [o/km]
1. Datar 15
2. Bukit 115
3. Pegunungan 200
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi
Tabe1 2.27. Berat Jenis Kendaraan
Jenis kendaraan Nilai minimum (ton) Nilai maksimiun (ton)
Sedan 1,3 1,5
Utility 1,5 2,0
Bus Kecil 3,0 4,0
Bus Besar 9,0 12,0
Truk Ringan 3,5 6,0
Truk Sedang 10,0 15,0
Truk Berat 15,0 25,0
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
45

Tabel 2.28. Nilai Konstanta & Koefisien Paramater Model Konsumsi BBM

1/VR VR2 RR FR FR 2 DTR AR SA BK BK x AR BK x SAR


Jenis Kendaraan Α
β11
β1 β2 β3 β4 β5 β6 β7 β8 β9 β10
Sedan 23,78 1181;2 0,0037 1,265 0,634 - - -0,638 36,21 - - -
Utiliti 29,61 1256,8 0,0059 1,765 1,197 - - 132,2 42,84 - - -
Bus Kecil 94,35 1058,9 0,0094 1,607 1,488 - - 166,1 49,58 - - -
Bus Besar 129,6 1912,2 0,0092 7,231 2,79 - - 226,4 13,86 - - -
Truk Ringan 70 524,6 0,002 1,732 0,945 - - 124,4 - - - 50,02
Truk Sedang 97,7 - 0,0135 0,7365 5,706 0,038 -0,0858 - - 6,661 36,46 17,28
Truk Berat 190,3 3829,7 0,0196 14,536 7,225 - - - - - 11,41 10,92
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
46

 Biaya Konsumsi Oli (BO)


Biaya yang dibutuhkan untuk konsumsi oli dalam pengoperasian suatu
jenis kendaraan per kilometer jarak tempuh. Satuannya Rupiah per
kilometer. Biaya konsumsi oli untuk setiap jenis kendaraan
dihitung berdasarkan persamaan berikut :
BOi = KOi x HOi …………………………… (2.40)
dengan pengertian,
BOi = biaya konsumsi oli untuk jenis kendaraan i, dalam rupiah/km
KOi = konsumsi oli untuk jenis kendaraan i, dalam liter/km
Hoi = harga oli untuk jenis oil j, dalam rupiah/liter
i = jenis kendaraan
j = jenis oli
- Konsumsi oli untuk setiap jenis kendaraan dihitung dengan rumus
berikut:
KOi = OHKi + OHOi x KBBMi …………… (2.41)
dengan pengertian,
OHKi = oli hilang akibat kontaminasi (liter/km)
OHOi = oli hilang akibat perasi (liter/km)
KBBMi = konsumsi bahan bakar (liter/km)
- Kehilangan akibat kontaminasi dapat dihitung dengan persamaan :
OHKi = KAPOi/ JPOi ………………….. (2. 42)
dengan pengertian,
KAPOi = kapasitas oli (liter)
JPOi = Jarak penggantian oil (km)
Nilai tipikal (default) untuk persamaan tersebut dapat dilihat pada
tabel 2.29 berikut:
Tabel 2.29. Nilai Tipikal JPOi, KPOi dan OHOi yang
Direkomendasikan
47

KPOi
Jenis kendaraan JPOi (km) OHOi (liter/km)
(liter)
Sedan 2000 3,5 2,8 x 10-6
Utiliti 2000 3,5 2,8 x 10-6
Bus Kecil 2000 6 2,1 x 10-6
Bus Besar 2000 12 2,1 x 10-6
Truk Ringan 2000 6 2,1 x 10-6
Truk Sedang 2000 12 2,1 x 10-6
Truk Berat 2000 24 2,1 x 10-6
Sumber : Puslitbang Prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
 Biaya Konsumsi Suku Cadang (BP)
Biaya konsumsi suku cadang adalah biaya yang dibutuhkan untuk
konsumsi suku cadang kendaraan dalam pengoperasian suatu jenis
kendaraan per kilometer jarak tempuh. Satuannya Rupiah per
kilometer. Biaya konsumsi suku cadang untuk setiap jenis kendaraan
dihitung berdasarkan persamaan berikut :
Bpi = Pi x HKBi /1000000 ………………………. (2.43)
dengan pengertian,
BPi = Biaya pemeliharaan kendaraan jenis kendaraan i,
(Rp/km)
HKBi = Harga kendaraan baru rata-rata untuk jenis
kendaraan i, (RP)
Pi = Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga
kendaraan baru jenis i
I = Jenis kendaraan
Untuk mengetahui besarnya biaya suku cadang, dibutuhkan variabel
kerataan jalan (kekasaran permukaan jalan) dan harga kendaraan baru.
Data kekasaran permukaan jalan dapat diperoleh dari hasil
pengukuran dengan menggunakan Alat Pengukur Kerataan
Permukaan Jalan dengan satuan basil pengukuran meter per kilometer
[IRI] atau dari data sekunder sedangkan harga kendaraan baru dapat
diperoleh melalui survai harga suatu kendaraan baru jenis tertentu
48

dikurangi dengan nilai ban yang digunakan: Survai harga dapat


dilakukan melalui survai langsung di pasar atau mendapatkan data
melalui survai instansional seperti asosiasi pengusaha kendaraan
bermotor.
- Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru (P)
Konsumsi suku cadang relatif terhadap harga kendaraan baru suatu
jenis kendaraan i per juta kilometer. Nilai relatif biaya suku cadang
terhadap harga kendaraan baru atau konsumsi suku cadang untuk
suatu jenis kendaraan i dapat dihitung dengan rumus persamaan
berikut, yaitu :
Pi = (θ + γ1, x IRI) (KJTi/100000) γ1 ……………. (2.44)
dengan pengertian,
Pi = Konsumsi suku cadang kendaraan jenis i per juta kilometer
Θ = Konstanta (lihat Tabel 2.33)
γ1 & γ2 = Koefisien-koefisien parameter (lihat Tabe12.33)
IRI = Kekasaran jalan, dalam m/km
KJTi = Kumulatif jarak tempuh kendaraan jenis i, dalam km
I = Jenis kendaraan
Tabe1 2.30. Nilai tipikal θ, γ1 dan γ 2
Koefisien parameter
Jenis Kendaraan
θ γ1 γ2
Sedan -0,69 0,42 0,10
Utiliti -0,69 0,42 0,10
Bus Kecil A-
-0,73 0,43 0,10
Bus Besar -0,15 0,13 0,10
Truk Ringan -0,64 0,27 0,20
Truk Sedang -1,26 0,46 0,10
Truk Berat -0,86 0,32 0,40
Sumber: Puslitbang prasarana transportasi
 Biaya Upah Tenaga Pemeliharaan (BU)
Biaya upah tenaga pemeliharaan adalah biaya yang dibutuhkan untuk
upah pemeliharaan kendaraan untuk setiap jenis kendaraan yang
49

dioperasikan dalam jarak tertentu. Satuannya Rupiah per km Biaya


Upah Perbaikan Kendaraan untuk masing-masing jenis kendaraan
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
BUi = JPi x UTP/1000 …………………….. (2.45)
dengan pengertian,
Bui = Biaya upah perbaikan kendaraan (Rp/km)
TPi = Jumlah Jam Pemeliharaan (jam/1000km)
UTP = Upah Tenaga Pemeliharaan (Rp/jam)
- Harga satuan upah tenaga pemeliharaan (UTP)
Data upah tenaga pemeliharaan dapat diperoleh melalui survai
penghasilan tenaga perbaikan kendaraan. Survai upah dapat dilakukan
melalui survai langsung di bengkel atau mendapatkan data melalui
instansional seperti Dinas Tenaga Kerja.
- Kebutuhan jam pemeliharaan (JPi)
Kebutuhan jumlah jam pemeliharaan untuk masing-masing jenis
kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
JPi = ao x Pi01 …………………….. (2.46)
dengan pengertian,
JPi = Jumlah jam pemeliharaan (jam/1000km)
Pi = Konsumsi suku cadang kendaraan jenis i
α 0 ,α 1 = konstanta
Nilai tipikal (default) untuk model parameter persamaan jumlah jam
pemeliharaan adalah seperti pada Tabe 2.26.
Tabel 2.31. Nilai tipikal α 0 dan α1
Jenis kendaraan α0 α1
Sedan 77,14 0,547
Utiliti 77,14 0,547
Bus Kecil 242,03 0,519
Bus Besar 293,44 0,517
Truk Ringan 242,03 0,519
Truk Sedang 242,03 0,517
50

Truk Berat 301,46 0,519


Sumber: Puslitbang prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
 Biaya Konsumsi Ban (KB)
Biaya konsumsi ban adalah biaya yang dibutuhkan untuk konsumsi
ban dalam pengoperasian suatu jenis kendaraan per kilometer jarak
tempuh.
Satuannya Rupiah per kilometer. Biaya konsumsi ban untuk masing-
masing jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
BBi = KBi x HBj /1000 …………………… (2.47)
dengan pengertian,
BBi = Biaya konsumsi ban jenis kendaraan i, dalam rupiah/km
KBi = Konsumsi ban jenis kendaraan i, dalam EBB/ 1000km
HBj = Harga ban baru jenis j, dalam rupiah/ban baru
i = Jenis kendaraan
j = Jenis ban
- Konsumsi Ban (KBi)
Konsumsi ban adalah jumlah ban untuk suatu jenis kendataan i, yang
dipakai dalam pengoperasian suatu jenis kendaraan per 1000
kilometer jarak tempuh. Satuannya adalah ekivalen ban baru per 1000
kilometer. Konsumsi ban untuk masing-masing kendaraan dapat
dihitung dengan rumus persamaan berikut, yaitu :
KBi = χ + δ1 x IRI + δ 2 x TTR + δ 3 x DTR …………
(2.48)
dengan pengertian,
χ = Konstanta (lihat Tabe12.35)
δ1,δ2,δ3 = Koefisien-koefisien parameter (lihat Tabel 2.32)
TTR = Tanjakan + turunan rata-rata
DTR = Derajat tikungan rata-rata
Tabel 2.32. Nilai Tipikal χ, δ1, δ2 dan δ3
Jenis kendaraan Χ IRI TTR DTR
51

δ1 δ2 δ3
Sedan -0,01471 0,01489 - -
Utiliti 0,01905 0,01489 - -
Bus Kecil 0,02400 0,02500 0,003500 0,000670
Bus Besar 0,10153 - 0,000963 0,000244
Truk Ringan 0,02400 002500 0,003500 0,000670
Truk Sedang 0095835 - 0 001738 0,000184
Truk Berat 0,158350 - 0,002560 0,000280
Sumber : Puslitbang prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
1
Variabel yang dibutuhkan untuk mengetahui konsumsi ban yaitu:
-Kekasaran
Data kerataan permukaan jalan yang diperlukan dalam satuan hasil
pengukuran meter per kilometer [IRI].
-Tanjakan dan turunan
Perhitungan nilai tanjakan + turunan (TT) merupakan
Penjumlahan nilai tanjakan rata-rata (FR) dan nilai turunan rata-rata
(RR).
TT = FR + [RR] ……………….. (2.49)
Apabila data pengukuran tanjakan + turunan tidak tersedia dapat
digunakan nilai tipikal (default) seperti pada Tabe1 2.33.
Tabel 2.33 Nilai Tipikal Tanjakan & Turunan
Kondisi medan TT (m/km)
Datar 5
Bukit 25
Pegunungan 45
Sumber : Puslitbang prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
-Derajat tikungan
Apabila data pengukuran derajat tikungan untuk suatu ruas jalan
tidak tersedia dapat digunakan nilai tipikal (default) seperti pada
Tabe1 2.34.
Tabel 2.34 Nilai Tipikal Derajat Tikungan pada Berbagai Medan Jalan
Kondisi medan Derajat tikungan [o/km]
Datar 15
Bukit 115
52

Pegunungan 200
Sumber : Puslitbang prasarana Transportasi, Balitbang Kimpraswil
Dengan menjumlahkan variabel-variabel diatas maka didapatkan
biaya tidak tetap kendaraan.
b. Biaya Tetap
Biaya tetap terdiri dari biaya biaya bunga dan biaya asuransi.
Biaya Tetap = Biaya Bunga + Biaya Asuransi ………… (2.50)
 Biaya Bunga
Menurut Road User Cost Model (1991) besarnya biaya bunga
modal per kendaraan per 1000 km ditentukan oleh persamaan berikut;
Bunga modal = 0,22 % x harga kendaraan baru. ……..... (2.51)
 Biaya Asuransi
Biaya asuransi pada penelitian ini menggunakan metode Astra
Credit Company yang menjual kendaraan secara kredit. Perhitungan
asuransi ini dapat dihitung berdasarkan keadaan kendaraan dan harga
kendaraan.

Untuk kendaraan dengan harga antara Rp.150.000.000,-


Rp.300.000.000; dapat menggunakan rumus dibawah ini:
New Car = 2,8 %

Biaya Asuransi = ( % /tahun) x Harga Kendaraan

….... (2.52)

2.12 Penanganan Masalah Transportasi


2.12.1 Penanganan Ruas Jalan
Potensi permasalahan pada ruas jalan mayoritas diakibatkan peningkatan arus
lalu lintas yang tidak diimbangi adanya jaringan jalan baru untuk mendistribusikan
beban lalu lintas. Perbedaan karakteristik yang mendasar antara jalan perkotaan dan
53

jalan luar kota menuntut pola penanganan yang berbeda untuk tiap masalah yang
timbul.
Menurut (Tamin, 1997), kinerja jaringan akan terpengaruh oleh perubahan
permintaan dan sediaan di daerah kajian, dimana sisi permintaan akan meningkat
sesuai dengan intensitas lahan yang dibangun. Tanpa kawasan pengembangan,
permintaan akan tetap meningkat sesuai dengan intensitas lahan apa adanya. Situasi
tersebut merupakan perbandingan dalam masalah memacu pada kriteria evaluasi yang
meliputi VCR dari setiap ruas jalan, selanjutnya akan menentukan jenis penanganan
untuk ruas jalan dan persimpangan dalam daerah pengaruh. Tabel 2.35 menunjukkan
jenis penanganan pada permasalahan transportasi ruas jalan.
Tabel 2.35. Penanganan Masalah Pada Ruas Jalan
Nilai VCR Penanganan masalah
0,6 - 0,8 Manajemen lalu lintas
Pemanfaatan fasilitas ruang jalan yang ada
- Pemanfaatan lebar jalan secara efektif
- Kelengkapan marka dan rambu jalan yang memadai serta
seragam sehingga ruas jalan tersebut dapat dimanfaatkan
dengan optimal dari segi kapasitas maupun keamanan lalu lintas.
> 0,8 Peningkatan ruas jalan
Perubahan fisik ruas jalan yang berupa pelebaran atau penambahan
jalur jalan sehingga kapasitas ruas jalan tersebut dapat ditingkatkan
secara berarti.
>>> 0,8 Pembangunan jalan baru
Penanganan ini dilakukan apabila pelebaran jalan atau penambahan
lajur sudah tidak memungkinkan
Sumber : Tamin

2.12.2 Penanganan Simpang


Penanganan permasalahan pada simpang tidak sesederhana penanganan pada
ruas jalan. Pemilihan jenis pengaturan simpang adalah faktor di luar pertumbuhgan
arus lalu lintas yang potensial menimbulkan masalah pada simpang. Selain untuk
peningkatan kinerja jalan perlu diperhatikan juga aspek keselamatan dalam penentuan
pengaturan pada simpang.
Penanganan masalah persimpangan berlampu dan tidak berlampu lalu lintas
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
54

1. Penanganan lampu lalu lintas baru, penanganan ini dilakukan bagi persimpangan
tanpa lampu lalu lintas yang telah memiliki arus lalu lintas yang telah memiliki
arus lalu lintas dari kaki persimpangan atau ruas jalan yang menuju persimpangan,
dan arus ini cukup tinggi, sehingga titik konfliknya cukup berat dan kompleks.
2. Pengaturan kembali waktu lampu lalu lintas, penanganan ini dilakukan apabila fase
dan waktu yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi volume lalu lintasnya,
yang antara lain ditunjukkan dengan tingginya nilai VCR ruas jalan yang menuju
persimpangan. Pendekatan ini didasarkan pada besarnya nilai VCR ruas jalan yang
sudah mendekati 0,8.
3. Perbaikan geometrik persimpangan, penanganan ini meliputi pelebaran dan
penambahan lajur kaki persimpangan, pelebaran radius sudut tikungan,
pemasangan pulau lalu lintas. Penanganan ini dilakukan bila nilai VCR ruas jalan
yang menuju persimpangan sudah lebih besar dari pada 0,8.
4. Persimpangan tidak sebidang (grade-separate junction), penanganan ini diterapkan
pada ruas jalan kelas arteri dengan kondisi lalu lintas di kaki persimpangannya
atau VCR ruas jalan yang menuju persimpangan tersebut tidak bisa diatasi lagi
dengan penanganan pada nomor 3 dan 4.

Anda mungkin juga menyukai