Anda di halaman 1dari 29

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

MATA
RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
NOMOR : 563.3/PER/RSISA/V/2019

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................. 1


Daftar Isi ....................................................................................................................... 2
Penyusun ...................................................................................................................... 3
Peraturan Direktur Nomor : 563.3/PER/RSISA/V/2019 tentang Panduan
Praktik Klinis (PPK) Ilmu Kesehatan Mata .................................................................... 4
Pendahuluan ................................................................................................................ 7
Panduan Praktik Klinik Keratitis dan Ulkus Kornea ....................................................... 8
Panduan Praktik Klinik Konjungtivitis ........................................................................... 11
Panduan Praktik Klinik Pterygium ................................................................................ 14
Panduan Praktik Klinik Dakriostenosis ......................................................................... 15
Panduan Praktik Klinik Kelainan Refraksi ..................................................................... 18
Panduan Praktik Klinik Katarak ..................................................................................... 21
Panduan Praktik Klinik Diabetik Retinopati................................................................... 26
Disclaimer ..................................................................................................................... 28
Penutup ........................................................................................................................ 29

2
PENYUSUN
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) MATA

1. dr. H. Harka Prasetya, Sp.M (K) KSM MATA

2. dr. Hj. Alteriana Mydriati Sita Pritasari, Sp.M (K) KSM MATA

3. dr. Hj. Christina Indrajati, Sp.M KSM MATA

4. dr. Nika Bellarinatasari, Sp.M, MSc KSM MATA

5. dr. Irastri Anggraini, Sp.M KSM MATA

6. dr. Atik Rahmawati, Sp.M KSM MATA

7. dr. Imam Tiharyo,M.Kes,Sp.M(K) KSM MATA

3
SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 563.3/PER/RSISA/V/2019
tentang
PANDUAN PRAKTIK KLINIS MATA
DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

bismillahirrahmanirrahim

DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG


MENIMBANG : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit Islam Sultan Agung perlu disusun Panduan Praktik Klinis bagi dokter
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
b. bahwa dalam Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit Islam
Sultan Agung bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter dalam
memberikan pelayanan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
sekaligus menurunkan angka rujukan
c. bahwa buku panduan praktik klinis tersebut digunakan sebagai bahan
acuan kegiatan pelayanan medis
d. bahwa untuk kepentingan tersebut diatas perlu ditetapkan dalam surat
keputusan

MENGINGAT : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang


Rumah Sakit;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang
Praktik Kedokteran;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Jabatan Fungsional Umum Di Lingkungan Kementerian
Kesehatan;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 /Menkes/PER/IV/2011
tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010
tentang Standar Pelayanan Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menker/SK II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;

4
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis
(Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit;
9. Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 445/01/BPMD/07/2014 tentang Perpanjangan Izin Operasional
Rumah Sakit Islam Sultan Agung;
10. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor :
107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit
Berdasarkan Prinsip Syariah;
11. Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor
: 008.55.09/DSN-MUI/VIII/2017 tentang Penetapan Layanan dan
Manajemen Rumah Sakit Islam Sultan Agung telah memenuhi prinsip
syariah;
12. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM, M.Kes
sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Masa Bakti 2018
– 2022.
13. Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
70/SK/YBW-SA/VI/2018 tentang Pengesahan Struktur Oragnisasi RSI
Sultan Agung
14. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor :
12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama RSI Sultan
Agung Masa Bhakti 2018 – 2022;

MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :

KESATU : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Nomor : 3424/
PER/RSI-SA/I/2017 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) Mata Rumah Sakit

5
6
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
NOMOR : 563.3/PER/RSISA/V/2019
TANGGAL : 16 Mei 2019

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan; lingkup pelayanan
adalah segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Substansi pelayanan medis adalah pratik ilmu pengetahuan
dan teknologi medis yang telah ditapis secara sosio – ekonomi – budaya yang mengacu pada
aspek pemerataan, mutu dan efsiensi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan
masyarakat akan pelayanan medis.
Untuk menyelenggarakan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien
dan berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas,
prafasilitas, peralatan, dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai
Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan
disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan
Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/ dokter IPD, serta
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/ dokter IPD
Panduan praktik klinis (Clinical practice guidelines) merupakan panduan yang
berupa rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter IPD dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Panduan ini berbasis bukti (berdasarkan penelitian saat ini) dan tidak menyediakan
langkah-pendekatan untuk perawatan dan pengobatan, namun memberikan informasi tentang
pelayanan yang paling efektif. Dokter atau dokter IPD menggunakan panduan ini sesuai
dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana pelayanan yang
tepat kepada pasien
B. Dasar Hukum
1. Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 44 ayat ( 1 ) ,
pasal 50 dan 51
2. Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang – undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan No 147/MENKES/PER/2010 tentang Perizinan RS
5. PERMENKES No 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
6. PERMENKES No 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik.
C. Tujuan
1. Meningkatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Mamberikan tata laksana dengan biaya yang memadai

7
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
KERATITIS dan ULKUS KORNEA

I. PENGERTIAN
Keratitis dan ulkus kornea adalah peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu proses alergi-imunologi. Infeksi kornea pada
umumnya didahului oleh trauma, penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid
topikal yang tidak terkontrol. Kelainan ini merupakan penyebab kebutaan ketiga
terbanyak di Indonesia.

II. ANAMNESIS
a. Penurunan tajam penglihatan,
b. Mata merah, berair, silau dan nyeri,
c. Tampak lesi / kekeruhan di kornea.
d. Riwayat trauma (kelilipan, benda asing di kornea, khusus riwayat trauma tumbuh-
tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan dapat dicurigai disebabkan oleh jamur, penggunaan lensa kontak), pemakaian
kortikosteroid topikal.

III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


a. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan
pin-hole.
b. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen anterior lainnya
:
 Melihat gambaran sekret (serosa, mukopurulen, purulen).
 Bentuk ulkud (pungtata, filamen, dendritik, geografik, oval, intersisial, dll).
 Kedalaman ulkus (superfisial, dalam, apakah ada kecenderungan untuk perforasi
(impending perforation) dan perforasi.
 Hipopion dapat ada atau tidak ada.
c. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan cara palpasi.
d. Tes fluoreseins untuk melihat adanya infiltrat dan defek
e. Tes seidel untuk melihat adanya perforasi kornea

IV. DIAGNOSIS KERJA


Keratitis
V. DIAGNOSIS BANDING
Keratitis
Konjungtivitis
Glaukoma akut
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan Gram, Giemsa dan pemeriksaan
langsung dengan KOH 10%.
b. Pemeriksaan kultur kerokan kornea dengan agar darah domba, tioglikolat dan agar
sabouraud dekstrosa.

8
c. Tes sensitivitas
d. Bila segmen posterior sulit dinilai, lakukan pemeriksaan ultrasonografi.

VII. TERAPI
- Antibiotika tetes mata :
- secara empiris : ofloxacin tetes mata tiap 2-4 jam 1 tetes
artificial tear tiap 2-4 jam 1 tetes
- sesuai hasil kultur dan tes sensitivitas obat
a. Pasien sebaiknya dirawat apabila :
 Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi.
 Pasien dianggap kurang patuh untuk pemberian obat tiap jam.
 Diperlukan follow up untuk menilai keberhasilan terapi.
b. Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea dendritik, geografik atau stroma, dapat
diberikan salep mata asiklovir 5 kali sehari atau tetes mata idoksuridin tiap jam.
c. Bila pada pemeriksaan kerokan kornea didapatkan hasil Gram positif atau negatif
diberikan antibiotika tetes mata golongan aminoglikosida (gentamisin, dibekasin,
tobramisin) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified) tiap jam atau golongan
quinolone (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dan
dilanjutkan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya
kemajuan pengobatan, yang kemudian frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga 2
minggu.
d. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur, berikan tetes mata Natamisin 5% tiap jam dan
salep mata Natamisin 5% tiga kali sehari atau bila pasien mampu, berikan tetes mata
amfoterisin B 0,l5% tiap jam (tetes mata amfoterisin B 0,l5% dapat dibuat dengan
modifikasi sediaan bubuk untuk pemberian intravena). Keadaan kornea diperiksa tiap hari
hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekuensi pemberian
dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
e. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti-glaukoma
apabila didapatkan peningkatan TIO. Pemberian analgetik apabila diperlukan.
f. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam setelah makan sebagai salah satu faktor
risiko ulkus kornea.
g. Tindakan bedah:
 Keratektomi superfisial tanpa membuat perlukaan pada membran Bowman, dengan
indikasi:
o Keratitis virus epitelial.
o Erosi kornea rekuren.
 Keratektomi superfisial hingga membran Bowman atau stroma anterior, dengan
indikasi:
o Untuk menegakkan diagnosis, terutama pada ulkus kornea jamur.
o Menghilangkan materi infeksi, terutama jamur.
 Tarsorafi lateral atau medial, dengan indikasi:
o Keratitis terpapar
o Keratitis neuroparalitik
 Tissue adhessive atau graft amnion multilayer, dengan indikasi:

9
o Ulkus kornea dengan tissue loss berukuran kecil
o Perforasi kornea perifer berukuran kecil
 Flap konjungtiva, dengan indikasi:.
o Kecenderungan perforasi/descematocele
o Perforasi kornea di perifer
 Periosteal graft dengan flap konjungtiva, dengan indikasi:
o Kecenderungan perforasi/descematocele
o Perforasi kornea
 Keratoplasi tembus, dengan indikasi:
o Mempertahankan integritas bola mata
o Mengganti jaringan kornea yang terinfeksi dengan donor kornea
 Fascia lata atau periosteal graft, dengan indikasi:
o Mempertahankan integritas bola mata, dimana sulit untuk mendapatkan
donor kornea
VIII. EDUKASI
- Kebersihan mata
- Tidak menggunakan lensa kontak
- Menghindari debu dan air kotor
- Tidak menggosok-gosokkan mata

IX. PROGNOSIS
Dubia bonam

X. KEPUSTAKAAN
- Standar pelayanan medik Perdami 2006
- AAO 2011-2012

10
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
KONJUNGTIVITIS

I. PENGERTIAN
Konjungtivitis adalah suatu inflamasi atau peradangan pada konjungtiva, yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, iritasi atau reaksi alergi/hipersensitivitas. Peradangan
dapat terjadi akut dan kronis. Akut bila peradangan terjadi dalam beberapa hari sampai 2
minggu, umumnya disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Kronis bila peradangan terus
berlangsung dan tidak sembuh lebih dari 2 minggu. Umumnya disebabkan infeksi bakteri yang
resisten terhadap pengobatan, reaksi alergi / hipersensitivitas. atau iritasi kronis (dry eye).
Konjungtivitis merupakan salah satu masalah penyakit mata tersering yang ditemukan di
negara berkembang.

II. ANAMNESIS
III. GEJALA KLINIS
a. Mata merah,
b. Rasa mengganjal, gatal dan berair / sekret,
c. Umumnya tidak ada penurunan tajam penglihatan.

IV. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


a. Riwayat trauma / kelilipan, kontak dengan penderita mata merah, riwayat iritasi dan
alergi hipersensitivitas (udara, debu, obat, makanan dll).
b. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dan koreksi terbaik menggunakan
pinhole.
c. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat, konjungtiva bulbi dan tarsal,
dan memastikan pada kornea tidak ditemukan kelainan akibat peradangan konjungtiva.
d. Konjungtivitis bakteri bila ditemukan konjungtiva hiperemis, sekret mukopurulen atau
purulen, dapat disertai membran atau pseudomembran pada konjungtiva tarsalis.
e. Konjungtivitis virus bila ditemukan konjungtiva hiperemis, sekret umumnya mukoserosa
dan pembesaran kelenjar limfe preaurikuler.
f. Konjungtivitis alergi bila mempunyai riwayat alergi atau atopi dan ditemukan keluhan
gatal, dan hiperemis konjungtiva.
g. Curigai Steven Johnson syndrome jika terjadi konjungtivitis pada kedua mata yang timbul
setelah minum atau mendapatkan terapi obat-obatan.
h. Curigai konjungtivitis gonore, terutama pada bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitis
pada dua mata dengan sekret purulen yang sangat banyak
i. Pemeriksaan komposisi air mata dengan melakukan pemeriksaan Schirmer, BUT dan
Feming, uji anel melalui pungtum lakrimalis untuk menilai ada atau tidak sumbatan.
j. Pemeriksaan dengan slitlamp untuk menilai keadaan konjungtiva bulbi, tarsal, forniks dan
kornea.
 Melihat gambaran sekret (mukoserosa, mukopurulen, purulen).
 Melihat gambaran folikel, papil, membran pada konjungtivitis tarsal superior dan
inferior, dan konjungtiva forniks.
 Melihat gambaran injeksi dan nodul pada konjungtivits bulbi.
 Memastikan tidak ditemukan kelainan pada kornea.

11
 Melihat kelainan pada komposisi air mata, obstruksi kelenjar meibom.
k. Pemeriksaan swab sekret dengan pewarnaan gram bila dicurigai infeksi bakteri, Giemsa
bila dicurigai virus.
l. Pemeriksaan kultur swab sekret konjungtiva pada agar darah domba, agar tioglikolat, dan
uji resistensi anti mikroba.
V. DIAGNOSIS KERJA
Konjungtivitis akut

VI. DIAGNOSIS BANDING


a. Episcleritis
b. Scleritis
c. Iridosklitis

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan swab sekret dengan pewarnaan gram bila dicurigai infeksi bakteri, Giemsa
bila dicurigai virus.
b. Pemeriksaan kultur swab sekret konjungtiva pada agar darah domba, agar tioglikolat, dan
uji resistensi anti mikroba.

VIII. TERAPI
a. Berikan tetes mata antibiotik spektrum luas 6 kali sehari dan atau salep mata 3 kali sehari
bila dicurigai infeksi bakteri.
b. Berikan tetes mata anti alergi (kromolin glikat) dan/atau anti inflamasi steroid bila
dicurigai reaksi alergi/hipersensitivitas.
c. Berikan tetes/gel lubrikan atau air mata buatan bila ditemukan iritasi.
d. Dicari faktor predisposisi penyakit yaitu sistemik (diabetes mellitus, TBC, kondisi imunitas
yang rendah, cacingan, kondisi immuno compromis ed).
e. Berikan tetes anti virus idoksuridin atau asiklovir bila infeksi virus.
f. Bila ditemukan komplikasi pada kornea, penatalaksanaan sesuai dengan penatalaksanaan
keratitis/ ulkus kornea.
g. Pada Steven Johnson syndrome, berikan terapi anti inflamasi (steroid) topikal dan
lubrikan/air mata buatan, disertai terapi dari bagian spesialis kulit.
h. Pada konjungtivitis gonore, diberikan gentamisin / ciprofloxacin salep mata, injeksi
ceftriaxon 1 gr single dose intravena, jika ada ulkus berikan ceftriaxon 1 gr intravenatiap
12 jam selama 3 hari. Bila alergi diberikan ciprofloxacin 500 mg oral 2 kali selama 5 hari.
Pada bayi berikan gentamisin / ciprofloxacin salep mata injeksi ceftriaxon 25-50 mg/kg bb
atau cefotaxim 100 mg/kg bb intravena atau intramuskular.
i. Pemeriksaan klinis faktor predisposisi lokal (dry eye, obstruksi duktus nasolakrimalis dll),
dilanjutkan penatalaksanaan terhadap kelainan tersebut. Pemeriksaan laboratorium
lengkap darah, urin, feses bila dicurigai faktor predisposisi penyakit sistemik.
j. Berikan terapi oral/parenteral sistemik bila ditemukan faktor predisposisi sistemik sesuai
hasil konsultasi bagian yang bersangkutan.
k. Keadaan konjungtiva di periksa tiap 3 hari hingga didapatkan perbaikan klinis dan evaluasi
pengobatan terhadap faktor predisposisi sistemik dan lokal.

12
IX. EDUKASI
- Kebersihan mata
- Tidak menggosok-gosokkan mata

X. PROGNOSIS
Bonam

XI. KEPUSTAKAAN
- Standar pelayanan medik Perdami 2006

13
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
PTERYGIUM

I. PENGERTIAN
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari
arah konjungtiva menuju komea pada daerah interpalpebra.

II. ANAMNESIS
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :
a. Mata sering berair dan tampak merah
b. Merasa seperti ada benda asing.
c. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut,
biasanya astigmatisme "with the rule" ataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan.
d. Tambahi derajat 1&2
e. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan juga menurun.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segment anterior serta ditentukan derajat
pertumbuhan pterygium.
b. Tajam penglihatan diperiksa dengan karfu Snellen, lalu dikoreksi dengan
menggunakan trial frame.
c. Astigmatisme kornea diperiksa dengan keratometer baik secara manual maupun
menggunakan alat auto-refrakto-keratometer

IV. KRITERIA DIAGNOSTIK


a. Pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dari arah konjungtiva ke kornea
b. Dengan/tanpa penurunan tajam penglihatan
c. Dapat disertai dengan astigmatisme

V. DIAGNOSIS KERJA
Pterygium
VI. DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterygium

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


-
VIII. TERAPI
a. Penatalaksanaan bersifat non bedah pada pterygium derajat 1 dan 2, yaitu edukasi
terhadap pasien untuk mengurangi iritasi dan paparan ultra-violet. Jika pterygium
mengalami inflamasi, dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid seperti C-Xitrol @ 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa

14
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi
ataupu mengalami kelainan kornea.
b. Pada pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
(pengangkatan) pterygium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterygium maka bagian
konjungtiva bekas pterygium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang
diambil dari bagian konjungtiva superior untuk menurunkan angka kekambuhan
IX. EDUKASI
Mengurangi iritasi dan paparan sinar ultra violet (kaca mata,payung,topi)

X. PROGNOSIS
Baik

XI. KEPUSTAKAAN
Panduan Manajemen Klinis Perdami

15
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
DAKRIOSTENOSIS

I. PENGERTIAN
Dakriostenosis adalah obstruksi duktus nasolakrimalis yang terjadi sejak lahir
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dari orang tua pasien adalah mata nrocos/berair dan keluar kotoran sejak
lahir
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Didapatkan sekret berwarna putih kekuningan
b. Pada saat daerah sakus lakrimalis ditekan dengan jari/cotton bud akan tampak regurgitasi
sekret dari pungtum lakrimal
IV. KRITERIA DIAGNOSTIK
a. Mata berair/nrocos
b. Sekret (+)
V. DIAGNOSIS KERJA
c. Dakriostenosis
VI. DIAGNOSIS BANDING
-
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan dengan senter dan lup tampak mata berair
b. Saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan jari/cotton bud tampak regurgitasi sekret dari
pungtum lakrimal
c. Anel test

VIII. TERAPI
a. Bila bayi di bawah 3 bulan, beri tetes antibiotik topical selama 5-7 hari.
b. Pengasuh dan/atau orang tuanya diberitahu cara melakukan massage pada sakus
lakrimal.
c. Bila bayi sudah berumur di atas 3 bulan, lakukan irigasi dari pungtum lakrimal
superior/inferior agar membrane Hassner terbuka. Beri tetes antibiotika dengan steroid
selama 3-5 hari.
d. Bila setelah dilakukan 3 kali tindakan di atas berturut-turut tiap 2 minggu tetapi masih
berair dan banyak sekret, lakukan probing dalam narkose.
e. Bila tes Anel masih menunjukkan regurgitasi, lakukan pematahan konkha inferior.
f. Bila sakus belum dilatasi, lakukan probing pematahan konkha inferior.
- Bila sakus sudah dilatasi akan tetapi sekret masih banyak, lakukan dacryocystor-hinostomi
(DCR).
- Bila terdapat kelainan pada kanalikulus atau mukosa hidung tidak dapat dijahit dengan
dinding sakus sewaktu melakukan operasi, pasang silicon lakrimal tube.
- Sesudah operasi beri antibiotika oral, antobiotika dengan steroid tetes mata, analgetika,
dan dekongestan tetes hidung. Antikoagulan diberikan bila perlu.
- Silikon tube diangkat 2 - 3 bulan sesudah operasi.

15
IX. EDUKASI
-
X. PROGNOSIS
Baik

XI. KEPUSTAKA
Panduan Manajemen Klinis Perdami

16
PANDUAN PRAKTEK KLINIK
KELAINAN REFRAKSI

A. MIOPIA
I. DEFINISI
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang
berlebihan, sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina.

II. ANAMNESIS
d. Gejala terpenting adalah melihat jauh buram.
e. Sakit kepala.
f. Kecenderungan terjadinya juling saat melihat jauh.
g. Pasien lebih jelas melihat dekat.

III. PEMERIKSAAN FISIK


h. Pemeriksaan visus dengan memberikan koreksi lensa negatif terkecil untuk
mendapatkan ketajaman penglihatan yang maksimal.

IV.KRITERIA DIAGNOSTIK
i. Melihat jauh buram
V. DIAGNOSIS KERJA
Miopia
VI. DIAGNOSIS BANDING
-
VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
VIII. TERAPI
j. Memberikan koreksi sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal ( kaca mata/ kontak lens )
k. LASIK
IX. EDUKASI
Hendaknya lebih bijaksana dalam menggunakan alat-alat elektronik dalam melakukan
aktivitas melihat dekat ( komputer,laptop,hp,tv )
X. PROGNOSIS
Baik
XI.KEPUSTAKAAN
Panduan Manajemen Klinis Perdami

B. HIPERMETROP
I. DEFINISI
Sinar sejajar yang datang dari obyek terletak jauh tak terhingga dibiaskan di belakang
retina.
II. ANAMNESIS
l. Penglihatan dekat maupun jauh kabur
m. Pusing

17
n. Eyestrain
o. Sensitif terhadap cahaya
III. PEMERIKSAAN FISIK
p. Pemeriksaan visus dengan memberikan koreksi lensa positif terbesar untuk
mendapatkan ketajaman penglihatan yang maksimal.
IV.KRITERIA DIAGNOSTIK
q. Melihat dekat dan jauh buram
V. DIAGNOSIS KERJA
Hipermetrop
VI.DIAGNOSIS BANDING
-
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
VIII. TERAPI
a. Memberikan koreksi sferis positif terbesar yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal ( kaca mata/ kontak lens )
b. LASIK
IX. EDUKASI
-
X. PROGNOSIS
Baik
XI. KEPUSTAKAAN
Panduan Manajemen Klinis Perdami

C. ASTIGMATISMA
I. DEFINISI
Sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian. Pada Astigmatisma
regular terdapat dua meridian utama yang terletak saling tegak lurus.
II. ANAMNESIS
a. Penglihatan kabur
b. Head tilting
c. Menengok untuk melihat jelas
d. Mempersempit palpebra
e. Memegang bahan bacaan lebih dekat
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan visus dengan memberikan koreksi lensa silindris dengan atau tanpa sferis
baik positif maupun negatif untuk mendapatkan ketajaman penglihatan yang maksimal.
IV.KRITERIA DIAGNOSTIK
a. Penglihatan kabur
b. Head tilting
V. DIAGNOSIS KERJA
Astigmatisma
VI.DIAGNOSIS BANDING
-
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

18
-
VIII. TERAPI
Memberikan koreksi lensa silindris dengan atau tanpa sferis baik positif maupun negatif
untuk mendapatkan ketajaman penglihatan yang maksimal.
IX. EDUKASI
-
X. PROGNOSIS
Baik
XI. KEPUSTAKAAN
Panduan Manajemen Klinis Perdami

19
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
KATARAK PADA PENDERITA DEWASA

I. PENGERTIAN
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkan penurunan tajam penglihatan
(visus), dimana paling sering berkaitan proses degenerasi lensa pada penderita berusia
lanjut yaitu diatas usia 40 tahun (katarak senilis). Katarak pada penderita penyakit mata
seperti glaucoma, uveitis, trauma mata dan lain-lain; ataupun menderita kelainan
sistemik seperti diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat-obatan steroid dan lain-
lain. Katarak biasanya ditemukan pada kedua mata (bilateral) tetapi dapat juga terjadi
pada satu mata (katarak monokular).
II. KRITERIA DIAGNOSIS
A. ANAMNESA
1.Penurunan visus secara perlahan-lahan
2.Ukuran kacamata semakin sering mengalami perubahan.
3.Keluhan silau (glare).
4.Kesulitan untuk membaca
B. PEMERIKSAAN FISIK
1.Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen atau Chart projector dengan koreksi
terbaik serta menggunakan pin-hole.
2.Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior.
3.Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan tonometer non-contact, aplanasi atau
schiotz.
4.Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil
dengan tetes mata tropicamide 0,5% setelah pupil cukup lebar, dilakukan
pemeriksaan dengan slit lamp melihat derajat kekeruhan lensa apakah sesuai
dengan tajam penglihatan pasien.
Derajat katarak ditentukan sebagai berikut :
a. Derajat 1 : nucleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak
sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Reflek fundus juga masih
dengan mudah diperoleh dan usia penderita juga biasanya kurang dari 50
tahun.
b. Derajat 2 : nucleus dengan kekerasan ringan, tampak nucleus mulai sedikit
berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30. Reflex
fundus juga masih mudah diperoleh dan katarak jenis ini paling sering
memberikan gambaran seperti subkapsularis posterior.
c. Derajat 3 : nucleus dengan kekerasan medium, dimana nucleus tampak
berwarna kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-
abuan. Visus biasanya antara 6/30 sampai 3/60.
d. Derajat 4 : nucleus keras, dimana nucleus sudah berwarna kuning
kecoklatan dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana reflex
fundus maupun keadaan fundus sulit dinilai.
e. Derajat 5 : nucleus sangat keras, nucleus sudah berwarna cokelat bahkan
ada yang sampai berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau

20
lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat
keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract.
5.Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi langsung ataupun tidak
langsung.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.Darah lengkap
b.Gula darah sewaktu
c. Studi koagulasi (PTT , aPTT)

III. DIANOSA BANDING


Visus turun tanpa mata merah diagnose bandingnya meliputi :
1. Katarak pada orang dewasa
2. Retinopati DM
3. Retinopati hipertensi
4. Glaukoma
IV. DIAGNOSA KERJA
KATARAK PADA ORANG DEWASA
V. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan bersifat bedah, jika visus sudah mengganggu untuk melakukan
kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk
operasi.
2. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan bedah
mikro, pasien dipersiapkan untuk implantasi lensa tanam (IOL : intraocular lens).
3. Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta menggunakan
biometri A-scan.
4. Tekhnik bedah katarak menggunakan tekhnik manual ECCE ataupun
fakoemulsifikasi dengan mempertimbangkan derajat katarak serta tingkat
kemampuan ahli bedah.
5. Operasi katarak hanya dilakukan jika visus sudah mengganggu kegiatan sehari-hari
pasien dimana pasien berkesempatan berdiskusi dengan dokter mengenai
alternative lain selain operasi, risiko operasi, serta perawatan pasca operasi.
6. Pasien mengisi surat ijin tindakan medis (informed consent).
7. Melakukan pemeriksaan pre operasi, yang mencangkup hal-hal berikut :
a. Anamnesa riwayat penyakit mata, penyakit lain ataupun alergi.
b. Visus tanpa koreksi dengan snellen serta refraksi terbaik.
c. Pengukuran tekanan intraocular.
d. Penilaian fungsi pupil (refleks pupil).
e. Pemeriksaan mata luar (external examination) dengan senter dan lup atau slit
lamp bergantung fasilitas.
f. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil (bila memungkinkan).
8. Dokter spesialis mata yang akan melakukan operasi katarak sebaiknya
memperhatikan persiapan pre operasi sebagai berikut :
a.Memeriksa pasien sebelum operasi.

21
b.Memberikan informasi kepada pasien mengenai risiko, keuntungan dan kerugian
operasi serta harapan yang sewajarnya dari hasil operasi.
c. Memperoleh surat ijin tindakan medis (informed consent).
d.Memastikan bahwa hasil keratometri dan biometri A. Scan sesuai dengan mata
yang akan dioperasi, jika pasien direncanakan implantasi lensa tanam.
e.Menentukan kekuatan lensa tanam yang sesuai, jika pasien tersebut
direncanakan untuk implantasi lensa tanam.
f. Membuat rencana pembedahan (jenis anesthesia, penempatan sayatan dan
konstruksi luka, refraksi pasca operasi yang direncanakan serta jadwal
pemeriksaan pasca bedah).
g.Melakukan evaluasi pre-operasi diatas termasuk pemeriksaan laboratorium serta
berdiskusi dengan pasien ataupun keluarga pasien yang dianggap lebih
mengerti dan dapat bertindak atas nama pasiene.
9. Operasi katarak bilateral (operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus secara
berturutan) tidak dianjurkan berkaitan dengan risiko pasca operasi (endoftalmitis)
yang bisa berdampak kebutaan. Tetapi ada beberapa keadaan khusus yang bisa
dijadikan alasan pembenaran dan keputusan tindakan operasi katarak bilateral ini
harus dipikirkan sebaik-baiknya.
10. Operasi tidak boleh dilakukan pada keadaan sebagai berikut :
a.Pasien menolak tindakan operasi.
b.Pemberian kacamata ataupun alat bantu penglihatan lainnya masih cukup
memuaskan bagi pasien.
c. Ada dugaan operasi tidak dapat meningkatkan penglihatan pasien pasca operasi.
d.Kualitas hidup pasien belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang
dialaminya.
e.Pasien tidak dapat menjalani operasi katarak berkaitan dengan penyakit mata lain
ataupun kesehatan akibat penyakit lainnya.
f. Pasien tidak dapat memberikan surat ijin tindakan medis yang sah secara hukum
karena kurang pengertian ataupun kurang informasi.
g.Pasien tidak dapat mengikuti petunjuk pengobatan pasca operasi.
11. Pemeriksaan lanjutan pasca operasi (follow up) meliputi :
a. Frekuensi pemeriksaan pasca bedah ditentukan berdasarkan tingkat
pencapaian visus optimal yang diharapkan.
b. Pada pasien dengan risiko tinggi, seperti pada pasien dengan satu mata,
mengalami komplikasi intra-operasi atau ada riwayat penyakit mata lain
sebelumnya seperti uveitis, glaucoma atau lain-lain, maka pemeriksaan harus
dilakukan satu hari setelah operasi.
c. Pada pasien yang dianggap tidak bermasalah baik keadaan pre operasi maupun
intra operasi serta diduga tidak akan mengalami komplikasi lainnya maka dapat
mengikuti petunjuk pemeriksaan lanjutan (follow-up) sebagai berikut :
 Kunjungan pertama : dijadwalkan dalam waktu 48 jam setelah operasi (untuk
mendeteksi dan mengatasi komplikasi dini seperti kebocoran luka yang
menyebabkan bilik mata dangkal, hipotonus, peningkatan tekanan
intraocular, edema kornea ataupun tanda-tanda peradangan).

22
 Kunjungan kedua : dijadwalkan pada hari ke 4 – 7 setelah operasi jika tidak
dijumpai masalah pada kunjungan pertama, yaitu untuk mendeteksi dan
mengatasi kemungkinan endoftalmitis yang paling sering terjadi pada minggu
pertama pasca operasi.
 Kunjungan ketiga : dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan pasien dimana
bertujuan untuk memberikan kacamata sesuai dengan refraksi terbaik yang
diharapkan.
d. Obat-obat yang digunakan pasien pasca operasi bergantung dari keadaan mata
serta disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien (misalnya
analgetika, antibiotika oral, antiglaukoma atau edema kornea, dan lain-lain).
Tetapi penggunaan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid harus
diberikan kepada pasien untuk digunakan setiap hari selama minimal 2 minggu
pasca operasi.

VI. KOMPLIKASI
1. Komplikasi besar intra-operatif yang ditemukan selama operasi katarak, yaitu :
a. Kamera okuli anterior dangkal atau datar.
b. Rupture kapsul
c. Edema kornea
d. Perdarahan atau efusi suprakoroid
e. Perdarahan koroid yang ekspulsif
f. Tertahannya material lensa
g. Gangguan vitreous dan inkarserasi ke dalam luka
h. iridodialisis
2. Komplikasi besar post operatif yang ditemukan segera selama operasi katarak,
yang sering terlihat dalam beberapa hari atau minggu setelah operasi yaitu :
a. Kamera okuli anterior datar atau dangkal karena luka robek.
b. Terlepasnya koroid.
c. Hambatan pupil
d. Hambatan korpus siliar
e. Perdarahan subkoroid
f. Edema stroma dan epitel
g. Hipotoni
h. Sindrom Brown-Mc Lean (edema kornea perifer dengan kornea sentral jernih
sangat sering terlihat mengikuti ICCE)
i. Perlekatan vitreokornea dan edem kornea yang persisten
j. Perdarahan koroid yang lambat
k. Hifema
l. Tekanan intraocular yang meningkat (sering kareba tertahannya viskoelastis)
m. Edena macular kistoid.
n. Terlepasnya retina
o. Endoftalmitis akut
p. Sindrom uveitus-glaukoma-hifema (UGH)
3. Komplikasi besar post operasi yang lambat, terlihat dalam beberapa minggu atau
bulan setelah operasi katarak , yaitu :

23
a. Jahitan yang menginduksi astigmatismus
b. Desentrasi dan dislokasi IOL
c. Edema kornea dan keratopati bullous pseudopakia
d. Uveitis kronis
e. Endoftalmitis kronis
f. Kesalahan penggunaan kekuatan IOL
VII. EDUKASI
Dokter spesialis mata yang akan melakukan operasi ataupun staf dokter tersebut,
berkewajiban mendidik, menjelaskan dan memberi instruksi kepada pasien mengenai
gejala ataupun tanda-tanda mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi pasca
operasi, penggunaan proteksi mata, adanya pembatasan kegiatan, pengobatan, jadwal
kunjungan lanjutan (follow up) dan petunjuk dimana harus mendapatkan perawatan
darurat jika diperlukan. Dokter spesialis mata / staf juga menerangkan mengenai
tanggung jawab pasien untuk mengikuti petunjuk yang harus dilakukan selama
perawatan pasca operasi dan pasien harus segera menghubungi dokter tersebut jika
mengalami masalah.
VIII.PROGNOSIS
Saat operasi yang tidak disertai dengan penyakit mata lain sebelumnya, akan
mempengaruhi hasil secara signifikan seperti degenerasi macula atau atrofi saraf optic.
Standar ECCE yang berhasil tanpa komplikasi atau fakoeemulsifikasi memberikan
prognosis penglihatan yag sangat menjanjikan mencapai perbaikan sekurang-kurangnya
2 baris snellen chart. Penyebab atau factor risiko yang mempengaruhi prognosis visual
adalah adanya diabetes mellitus dan retinopati diabetic.
IX. KEPUSTAKAAN
1. PERDAMI
2. Buku ajar mata sidarta ilyas

24
PANDUAN PRAKTIK KLINIK
DIABETIK RETINOPATI PADA PENDERITA DEWASA

I. PENGERTIAN
Diabetik retinopati adalah suatu mikroangiopati yang mengenai prekapiler retina, kapiler dan
venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat kadar gula
darah yang tinggi dan lama. Terapi yang ada saat ini adalah laser fotokoagulasi lebih kearah
mempertahankan penglihatan dibandingkan memperbaiki. Terapi virektomi lebih kearah
memperbaiki kerusakan yang ada, dengan prognosis tergantung kerusakan yang ada. Control
gula darah penting untuk memperlambat proses. Diabetic retinopati akan timbul, umumnya
setelah menderita DM lebih dari 5 tahun, walaupun gula darah selalu terkontrol.

II. GEJALA DAN TANDA KLINIS


1. Riwayat kencing manis (NIDDM/IDDM)
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan visus
3. Berubahnya ukuran kacamata dalam waktu yang singkat
4. Bilik Mata Depan (BMD) tenang, tapi dapat ditemukan tanda peradangan ringan seperti
flare dan sel ringan
5. Pada keadaan berat dapat ditemukan neovaskularisasi iris (rubeosis iridis)
6. Reflek cahaya pada pupil normal, pada kerusakan retina yang luas dapat ditemukan RAPD
(Relative Aferen Pupilary Defect), penurunan reflek pupil pada cahaya langsung dan tak
langsung
7. Viterus jernih, dalam keadaan berat dapat ditemukan perdarahan dan jaringan
fibrovaskular
8. Retina dapat ditemukan perdarahan pre, intra dan subretina, eksudat keras dan lunak,
pelebaran vena, mikro aneurisma dan neovaskularisasi di papil atau ditempat lain di
retina
III. EVALUASI
1. Pemeriksaan dilakukan pada semua penderita diabetes pada saat pertama kali datang.
Pemeriksaan meliputi visus, tekanan bola mata, kedudukan bola mata, pergerakan bola
mata, segmen anterior dan segmen posterior.
2. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp untuk melihat apakah ada
epiteliopati kornea, flare dan sel di BMD, RAPD, neovaskularisasi iris, tingkat kekeruhan
lensa, kekeruhan vitreus
3. Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop indirek, untuk melihat
kekeruhan vitreus karena perdarahan atau adanya jaringan fibrovaskuler, perdarahan
retina, eksudat, pelebaran vena, Intra-Retinal Microvascular Abnormalism (IRMA) dan
neovaskularisasi
4. Selain pemeriksaan mata dasar dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain :
a. Fundus Fluorescence Angiography (FFA), dilakukan apabila ada indikasi
b. USG, bila terdapat kekeruhan media dan fundus tidak tembus
c. ERG, bila peralatan tersedia

25
IV. PENATALAKSANAAN
a. Seleksi pasien, ada diabetes mellitus atau tidak. Bila ditemukan adanya diabetes mellitus,
pasien dikonsulkan ke dokter ahli penyakit dalam untuk mengontrol gula darahnya dan
b. Pasien dengan diabetic retinopati stadium non proliferative (NPDR) ringan dan sedang,
dievaluasi setiap 3 bulan control gula darah dilakukan oleh dokter penyakit dalam
c. Terapi foto koagulasi laser dilakukan pada pasien dengan NPDR berat dengan/tanpa
CSME, criteria NPDR berat yaitu apabila ditemukan salah satu dibawah ini :
 Perdarahan intra retina 4 kwadran
 Pelebaran vena 2 kwadran
 Intra retina mikrovaskular abnormalism 1 kwadran
d. Operasi vitrektomi dilakukan pada pasien dengan Proliferative Diabetic Retinopathy
(PDR), yaitu dengan adanya perdarahan vitreus dan pertumbuhan jaringan fibrovaskular
di vitreus, persistent macular edema dan ablasio retina traksi
e. Apabila ditemukan katarak yang mempersulit evaluasi segmen posterior, dapat dilakukan
operasi, dengan penjelasan akan prognosis penglihatan dan kemungkinan retinopati
bertambah berat setelah operasi
V. KEPUSTAKAAN
1. PERDAMI
2. Buku ajar mata sidarta ilyas

26
DISCLAIMER
PANDUAN PRAKTIK KLINIS ILMU PENYAKIT MATA

Dokumen tertulis PPK Ilmu Penyakit Mata serta perangkat implementasi ini disertai dengan
disclaimer (wewanti/ Penyangkalan) untuk:
1. Menghindari kesalah pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang dimaknai
harus melakukan sesuatu tanpa kecuali
2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai orang di
percaya pasien

Adapun disclaimer tersebut:


1. Disclaimer utama yaitu:
a. PPK dibuat untuk average patient
b. PPK dibuat untuk penyakit/ Kondisi patologis tunggal
c. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi
d. PPK dianggap valid pada saat di cetak
e. Praktek kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan keluarga
2. Disclaimer tambahan, yang dapat disertakan pada disclaimer:
a. PPK dimaksudkan untuk tatalaksana pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap
tentang penyakit
b. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila merasa tidak menguasai atau
ragu dalam menegakkan diagnose dan memberikan terapi
c. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apapun yang terjadi akibat penyalah
gunaan PPK dalam tatalaksana pasien

27
PENUTUP

Dengan telah tersusunnya Panduan Praktis Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar Prosedur
Operasional bagi dokter spesialis mata yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan KSM dan
fasilitas pelayanan kesehatan di RSI Sultan Agung.

Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu dan
merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode yang
memadai. Semoga bermanfaat.

28

Anda mungkin juga menyukai