Untung atau rugi perusahaan sebenarnya bukan murni dihitung dari penjualan
vs HPP, tapi ada faktor konversi kelayakan usaha yang besarnya 1,4 (140%).
Analisa B/C ratio diatas diterapkan pada ambang psikologis harga CPO, yaitu Rp
8.065.500/ton
HPP = Rp 8.065.500/ton = Rp 5.761.072/ton CPO ~ Rp 5.761/kg CPO
1,4
Untuk menghasilkan 1 kg CPO, perlu faktor konversi dari TBS yang disebut OER
(Oil Extraction Rate) atau rendemen.
OER = kg CPO dihasilkan atau Kg TBS diolah = kg CPO dihasilkan
Kg TBS diolah OER
Jika harga beli TBS naik diatas ambang psikologis, misalkan naik menjadi
Rp 1.150/kg TBS, maka biaya HPP 1 kg CPO
• Biaya olah TBS = Rp 160/kg TBS x 4,55 kg TBS = Rp 728
• Biaya beli TBS = Rp 1.120/kg x 4,55 kg TBS = Rp 5.096
Total biaya untuk 1 kg CPO = Rp 5.824
→ diatas harga jual CPO (perusahaan rugi).
HPP CPO diatas belum termasuk biaya transportasi dari PKS ke bulking dan biaya
administrasi untuk penjualan CPO.
Sampai pada titik ini kita sudah melihat hubungan saling keterkaitan antara
HARGA CPO (down) vs OER (down) vs BIAYA PABRIK (up) vs HARGA TBS (up)
→ BISNIS SAWIT (down)
Contoh :
Mandor panen mengelola 15 orang pemanen.
A. Potensi income
= 15 pemanen x produktivitas Panen 1.700 kg/hari x 25 hari/bulan x @ Rp
1.000/kg = Rp 637,5 juta /bulan
B. Biaya Kerja
= 15 pemanen x 25 hari/bulan x @ 120.000/orang/hari = Rp 45 juta/bulan.
Contoh :
Mandor pupuk mengelola 15 orang pekerja.
A. Potensi income = 0.
B. Biaya Kerja
Tenaga kerja
= 15 pekerja x 25 hari/bulan x @100.000/orang/hari = Rp 37,5 juta/bulan.
Material
= 700 kg/orang x 15 orang/hari x 25 hari/bulan x @5.000/kg = 1.312,5
juta/bulan
Angkutan
= 2 HK/hari x 25 hari/bulan x @ 100.000/oranghari = 5 juta/bulan
= 1 truk/hari x 2 rit/truk x 25 hari/bulan x @ 500.000/rit = 25 juta/bulan
Total biaya kerja = 1.380 juta/bulan → target perusahaan
Perbandingan upahnya :
(11 + 2) pekerja x 25 hari/bulan x @ 100.000/orang/hari = Rp 32,5 juta/bulan.
Ide untuk terobosan ini berbeda – beda tergantung situasi yang dihadapi,
tergantung level jabatan dan tergantung tingkat pemahaman pekerjaannya.
Seringkali ide untuk terobosan ini dianggap aneh bahkan nyeleneh diawalnya,
selama bisa memberikan hitungan dan argument yang benar maka idenya bisa
diterapkan ditempat kerja perusahaan.
Untuk bisa memiliki jiwa bisnis dikebun sawit (business leadership) tidak
diperoleh dengan cara instan, tapi melalui proses pemahaman dan olah pikiran
agar menciptakan sebuah terobosan. Prinsipnya adalah ATM (Amati, Tiru,
Modifikasi).
Jika SDM kebun berpuas diri dengan SOP (Standart Operation Prosedur)
perusahaan, dan malas melihat perkembangan kebun sawit yang dikelola
perusahaan lain, maka siap – siap begitu keluar kebun akan tercengang ketika
melihat orang diluar sudah berlari, sedangkan kita masih berjalan.
Rajin-rajinlah update informasi mengenai perkembangan kebun, baik melalui
media social, surfing di internet maupun ikut seminar dan pelatihan yang
menambah pengetahuan serta meningkatkan kapasitas diri.
Semoga artikel singkat ini bisa menjadi inspirasi bagi para Planters dan
bermanfaat untuk kemajuan Planter Indonesia Hebat.