Anda di halaman 1dari 10

A.

Cara Sujud
Ada dua hadis yang seringkali diungkap ketika membahas mengenai gerakan menuju
sujud dalam shalat. Hadis pertama menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut lebih
dahulu sebelum kedua tangan, sedangkan hadis kedua menuntunkan untuk meletakkan
kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut.

Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan didasarkan pada hadis dari Wâ’il bin
Hujr ra bahwa ia melihat Nabi saw:

‫ض ترفتتع يتتدييهه قتيبتل رريكبتتتييهه‬


‫ضرع رريكبتتتييهه قتيبتل يتتدييهه توإهتذاَ نتهت ت‬
‫إهتذاَ تستجتد يت ت‬

“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan
apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Al-
Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud)[1]

Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut
didasarkan pada riwayat dari Abu Hurayrah ra.:

‫ك اَيلبتهعيرر تويليت ت‬
‫ضيع يتتدييهه قتيبتل رريكبتتتييهه‬ ‫إهتذاَ تستجتد أتتحردركيم تفلَ يتيبرريك تكتماَ يتيبرر ر‬

Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti mendekamnya
onta, hendaklah meletakkan kedua tangannya lebih dahulu sebelum kedua lututnya. (HR.
Abu Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan al-Dârimi)[2]

Bagi kita yang belum mengetahui kualitas dari hadis-hadis tersebut maka untuk
sementara, tidak mengapa memilih salah satu dari keduanya, yang penting keduanya
masih ada sandaran dalilnya. Dan yang lebih penting, jangan pernah mendahulukan
kepala, karena sama sekali tidak ada dalilnya.

Menurut Syekh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni bahwa hadis pertama dari Wâ’il
berkualitas daif karena di samping Syarîk yang banyak kesalahannya ini sendirian dan
jalur ‘Ashîm bin Kulayb dari Bapaknya bermasalah, juga karena bertentangan dengan
riwayat Abu Hurayrah yang dipeganginya yang menuntunkan untuk meletakkan kedua
tangan lebih dahulu dari pada kedua lutut.[3] Sebaliknya, menurut Ibn al-Qayyim bahwa
justru matan hadis dari Abu Hurayrah inilah yang kacau dan ada kesalahan (wahm)
sehingga terjadi syâdz (kejanggalan) berupa keterbalikan (maqlûb) dan ketidaksinkronan
pada kalimat awal dengan kalimat akhir. Pada kalimat awal melarang sujud seperti onta,
sedangkan pada kalimat akhir justru menganjurkan supaya meletakkan kedua tangan
lebih dahulu sebelum kedua lutut, padahal jika dicermati, cara onta sujud dengan
meletakkan dan menekuk kaki depannya baru kemudian kaki belakangnya. Inilah yang
dikritik habis oleh Ibn al-Qayyim sebagai kejanggalan dalam matan hadis ini, seharusnya
hadis ini berbunyi: hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan.[4]
Sayangnya redaksi usulan Ibn al-Qayyim inipun tidak ada hadisnya.[5] Tetapi ahli hadis
lainnya mencoba mengkompromikannya dengan menyatakan bahwa itu tidaklah salah
dan tidak bertentangan karena menurutnya lutut onta itu terdapat di kaki depannya. Di
sinilah masalahnya menjadi kacau dan membingungkan karena perdebatan selanjutnya
beralih kepada struktur anatomi onta yakni mana sebenarnya yang disebut lutut onta dan
mana tangan onta yang kemudian mana yang tidak boleh dilakukan oleh manusia karena
menyerupai cara sujud onta.[6]

Bagi Imam Ahmad, karena kedua cara tersebut masing-masing ada dasar hadisnya maka
beliau mempersilahkan untuk dipilih salah satunya dan tidak usah dipertentangkan satu
sama lain. Memang bisa jadi Nabi saw melakukan keduanya, misal: beliau mendahulukan
lututnya dari pada tangannya ketika masih muda dan kuat bertumpu pada lututnya,
namun ketika sudah mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada kedua lututnya, maka
beliau mendahulukan kedua tangannya dari pada kedua lututnya.

Bagaimana sesungguhnya kualitas kedua hadis tersebut?

Sebagaimana kaidah penelitian hadis bahwa sebelum membahas matan hadis, maka harus
diawali dengan penelitian sanad, walaupun pemicu awal kenapa hadis tersebut diteliti
muncul dari matan yang tidak singkron, tidak logis dan meragukan sebagai hadis Nabi
saw.

Menurut penelitian penulis bahwa jika al-Albâni menyatakan hadis dari Wâ’il bin Hujr
yang menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut lebih dahulu adalah lemah sedangkan
hadis dari Abu Hurayrah yang menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu
adalah sahih, justru hasil penelitian penulis membuktikan sebaliknya. Jalur hadis dari
Wâ’il yang melalui Syarîk dari ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya dikritik habis dan
didaifkan oleh al-Albâni, padahal berdasarkan penelitian penulis terhadap jalur Syarîk
dari ‘Âshim dari Bapaknya masih bisa ditolerir jika ada pendukungnya dari jalur sanad
yang lain. Periwayat Syarîk menurut Ahmad: ia jujur, Ibn Ma‘în: jujur terpercaya, Abu
Dâwud: terpercaya namun kadang salah, Abu Hâtim al-Râzi dan Ibn Hajar adalah jujur
namun cukup banyak kesalahannya. Sementara itu ‘Âshim ini dinilai tsiqah oleh Ibn
Ma’în & al-Nasâi sehingga Muhammad bin Sa’ad menilainya bisa dijadikan hujjah.
Imam Ahmad: Tidak ada masalah dengannya. Ibn Hajar menilainya shadûq/jujur
meskipun dituduh murji’ah. Menurut al-Tirmidzi, hadis ini hasan gharîb (hasan namun
hanya punya satu jalur), padahal ‘Ali bin al-Madini memberikan catatan penting tentang
jalur ‘Âshim bahwa bila sendirian maka hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi
ternyata dalam Sunan Abi Dâwud: 383, selain menyebutkan jalur Syarîk dst., juga
menyebutkan hadis senada:

‫ض قتيبتل أتين تتقتتع تكففاَهر‬


‫فتلتفماَ تستجتد توقتتعتتاَ رريكبتتتاَهر إهتلىَ اَيلتير ه‬
“…maka tatkala sujud, beliau meletakkan kedua lututnya ke tanah sebelum meletakkan
kedua telapaknya.” (HR. Abu Dâwud)

Hadis ini melalui Hammâm, dari Muhammad bin Juhâdah, dari ‘Abd al-Jabbâr bin Wâ’il
(w. 112 H), dari Bapaknya dengan sanad bersambung. Meskipun ‘Abd al-Jabbâr tidak
mendengar langsung dari Wâil bapaknya karena Wâ’il wafat ketika ia masih kecil, namun
ia mendengar hadis Wâ’il melalui keluarganya, seperti: ‘Alqamah kakaknya, Ummi
Yahya ibunya dan mawlâ/pengasuhnya. Meskipun hadis ini juga ditolak al-Albâni karena
menurutnya sanadnya lemah dan matannya bertentangan dengan hadis Abu Hurayrah
yang dipeganginya, namun karena ada jalur lain yang bisa menjadi pendukungnya
sehingga hadis ini maqbûl yakni bisa dijadikan hujjah.[7]

Adapun hadis Abu Hurayrah yang disahihkan al-Albâni tentang larangan sujud seperti
onta dan menganjurkan untuk mendahulukan kedua tangan lebih dahulu ( ‫ضيع يتتدييهه قتيبتل‬ ‫تويليت ت‬
‫ي‬
‫)رركبتتتييهه‬, berdasarkan penelitian penulis justru daif. Kedaifan hadis ini karena semua
periwayatnya mesti melalui ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad bin ‘Ubayd al-Darâwurdi (w.
187 H) dari Muhammad bin ‘Abdullah. Menurut Al-Thabrâni: banyak hadis ‘Abd
al-’Azîz Al-Darâwurdi yang salah (al-Thabrâni, al-Thabaqât al-Kubra, juz 5 hlm 424).
Ahmad dan Abu Zur‘ah juga menilai: hapalannya buruk, meragukan, dan kadang
kebolak-balik dalam meriwayatkan hadis. Al-Nasa’i menilainya: bukan orang kuat, tapi
di waktu lain ia & Ibn Ma‘în juga menilainya tidak ada masalah dengannya (Ibn Hajar,
Tahdzîb, juz 6, hlm 315). Meskipun al-Albâni menilai hadis ini sahih, tapi melihat ‘Abd
al-’Azîz al-Darâwurdi yang kacau hapalannya dan cuma sendirian (gharîb), maka hadis
ini harus ditolak sebagai hujjah. Inilah sebabnya hadis ini dinilai daif oleh Ibn al-Qayyim
karena kebolak-balik matannya, bahkan diduga kuat kalimat kedua sebagai tambahan.
Hadis yang biasa dijadikan pendukung yakni hadis yang melalui ‘Abdullah bin Nâfi’ al-
Shâ’igh (w. 206 H) –meskipun cukup kontroversial–,[8] ternyata tidak dapat dijadikan
sebagai pendukung hadis di atas karena tidak merinci bagaimana cara sujud onta tapi
Nabi saw hanya menyebutkan:

‫ك اَيلتجتمرل‬ ‫يتيعهمرد أتتحردركيم هفىَ ت‬


‫صلَتتههه فتيتيبرر ر‬
‫ك تكتماَ يتيبرر ر‬

“Seorang di antara kalian telah bertopang dalam shalatnya lalu sujud seperti sujudnya
onta.” (HR. al-Nasâ’i, al-Tirmidzi, Abu Dâwud, al-Bayhaqi).

Demikian pula riwayat dari Nâfi’ tentang Ibn ‘Umar yang meletakkan kedua lututnya
lebih dahulu, juga tidak dapat dijadikan sebagai saksi pendukung (syâhid) karena di
samping hanya merupakan hadis mawqûf yang disandarkan pada Ibn ‘Umar,[9] juga Ibn
‘Umar sendiri ada kendala pada kakinya sehingga beliau tidak bisa sujud dan duduk
sebagaimana sunnah mestinya.[10] Sebaliknya, Ibn Abi Syaybah dalam Mushannaf-nya
(juz 1/263) justru menyebutkan bahwa ‘Umar, Ibn ‘Umar, Abu Hurayrah, dan para tâbi’în
lainnya mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.[11]
Penjelasan Matan Hadis

Menurut hemat penulis bahwa Rasulullah saw pada umumnya melarang sujud
menyerupai binatang seperti onta, anjing, dan binatang lainnya karena kita adalah
manusia yang memiliki struktur anatomi tersendiri. Lebih baik memilih dan
melaksanakan yang lebih mudah dan lebih sesuai dengan struktur manusia dari pada
menyerupai binatang. Jika dicermati, maka posisi berdiri binatang berkaki empat sudah
siap menuju sujud, yakni kaki depan sebagai perlambang tangan sudah lebih dahulu
menyentuh tanah, lalu menyusul lutut depan onta. Kalaupun diartikan bahwa lutut onta
ada di kaki depan maka pertanyaannya adalah mana bagian onta yang akan diposisikan
sebagai kedua tangan manusia? Jika dijawab bahwa onta tidak bertangan, padahal
manusia bertangan? Tetapi kalau diartikan bahwa kaki depan onta diumpamakan sebagai
“tangan” manusia maka akan lebih mudah dipahami bahwa semua bagian kaki depan
termasuk “lutut depan” (siku untuk manusia) adalah bagian dari tangan manusia. Dan
Nabi saw melarang sujud seperti binatang, seperti onta yang mendahulukan “kedua
tangan”nya (yakni kaki depan onta), melarang sujud seperti anjing yang menjadikan
sikunya sebagai alas (firasy) menempel di tanah dan memasukkannya ke dalam kedua
ketiak. Posisi inilah yang dilarang karena lebih menyerupai posisi binatang berlutut.
Sementara bagi manusia lebih mudah sujud jika menurunkan kedua lutut sebagai bagian
anggota badan terdekat dengan tanah, lalu menyusul kedua telapak tangan baru kemudian
wajah (yakni kening dan hidung). Cara seperti inilah yang ternyata lebih banyak dipilih
para pengikut Mazhab Hanafiyah dan Syafi‘iyah dari pada tangan dahulu yang dipegangi
Mazhab Maliki.

Posisi saat sujud yang benar adalah dengan menempelkan 7 tulang (sab’at a’dzum) di
tanah yaitu wajah (yakni dahi dan hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kakinya
(Muttafaq ‘alayh). Kedua siku tidak masuk bagian yang menempel karena akan
menyerupai binatang dan melanggar hadis yang hanya menyebutkan 7 tulang yang
menempel di tanah. Kedua telapak tangan diletakkan sejajar dengan kedua telinga ( ‫توتستجتد‬
‫ضتع يتتدييهه تحيذتو أررذنتييهه‬
‫فتتو ت‬. HR. Ahmad) atau dalam redaksi yang lain: wajahnya diletakkan di
antara kedua telapak tangannya (‫ضتع تويجهتهر بتييتن تكففييهه‬ ‫ تو ت‬HR. Ibn Hibbân, atau: / ‫يتيسرجرد بتييتن تكففييهه‬
‫ تستجتد‬HR. Ahmad, Muslim) di mana jari-jemarinya dirapatkan (‫ضفم أصاَبهتعه‬ ‫ ت‬HR. Ibn Hibbân,
al-Thabrâni, Ibn Khuzaymah) dan dihadapkan ke arah qiblat (HR. Al-Bayhaqi dan Ibn
Abi Syaybah). Nabi saw juga tidak menjadikan kedua lengannya sebagai alas dan tidak
pula menggemgam kedua tangannya ( َ‫ضههتما‬ ‫ضتع يتتدييهه تغييتر رميفتتهر ش‬
‫ش تولت تقاَبه ه‬ ‫ تو ت‬. HR. Al-Bukhâri, al-
Bayhaqi), tapi menuntunkan agar mengangkat kedua siku dari lantai (‫ك‬ ‫واَيرفتيع هميرفقتيي ت‬. HR.
Muslim, Ahmad, dan Abu ‘Awwânah) dan merenggangkan keduanya (‫ )فتفرتج بتييتن يتتدييهه‬dari
ketiak dan lambungnya (Muttafaq ‘alayh), dan juga merenggangkan kedua pahanya ( ‫فتفرتج‬
‫)بتييتن فتهختذييهه‬, tapi tidak menempelkan perutnya pada kedua pahanya (HR. Abu Daud dan al-
Bayhaqi, dari Abu Humayd). Nabi saw menuntunkan supaya mengangkat pantatnya ( ‫ترفتتع‬
‫تعهجيتزتته‬. HR. Ahmad, dari al-Barrâ’), namun tidak boleh berlebih-lebihan dengan
memanjangkan sujud hingga perutnya mendekati lantai (َّ‫)تجفخي‬.[12] Yang jelas, Nabi saw
menganjurkan supaya proporsional pada saat sujud (‫)اَيعتتهدرلواَ فهيَّ اَلسسرجود‬, dan jangan seperti
binatang buas atau anjing (Muttafaq ‘alayh). Adapun posisi kedua telapak kaki,
‫ف أت ت‬
ditegakkan di mana ujung jari kedua kaki dihadapkan ke qiblat ( ‫صاَبههع هريجلتييهه‬ ‫تواَيستتيقبتتل بهأ ت ي‬
‫طتراَ ه‬
‫اَيلقهيبلةتت‬. HR. Al-Bukhâri, al-Bayhaqi), tanpa dirapatkan.[13]

Untuk sujud perempuan, memang ada hadis riwayat Abu Dâwud dalam Kitab al-Marâsîl
(87/117) dari Yazîd bin Abi Habîb bahwa Nabi saw pernah menyuruh seorang wanita
untuk merapatkan tangannya ke lambungnya. Namun hadis ini munqathi‘ (terputus
sanadnya) karena mursal.[14]

Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri pada rakaat genap,
disunnahkan untuk duduk istirahat sejenak[15] dengan cara iftirâsy[16] kemudian baru
berdiri (HR. al-Jama`ah kecuali Muslim) dengan menekankan telapak tangan (tanpa
dikepalkan)[17] pada tanah lalu berpegangan pada kedua paha untuk berdiri tanpa
mengangkat tangan dan langsung sedekap. Selanjutnya kerjakanlah raka’at kedua ini,
seperti raka’at yang pertama, hanya saja tidak membaca doa iftitah.

B. Hadis menggerak-gerakkan jari telunjuk saat tasyahhud

Mengenai menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud atau tahiyyat didasarkan pada


hadis dari Wâ’il yang berbunyi: َ‫صبتتعهر فتترأتييترهر يكهحررككههاَ يتيدرعو بهتها‬
‫ ثرفم ترفتتع إه ي‬: “Kemudian beliau
mengangkat telunjuknya lalu aku melihat beliau menggerak-gerakkannya (untuk) berdoa
dengannya.” (HR. Al-Nasâ’i, Ahmad, dari Wâ’il bin Hujr).[18] Tetapi ada hadis yang
berbunyi sebaliknya dari ‘Abdullah bin al-Zubayr bahwa justru Nabi saw tidak
menggerak-gerakkan telunjuk saat tahiyyat: َ‫صبرهعهه إهتذاَ تدتعاَ هولَ يكهحررككهها‬ ‫ تكاَتن يرهشيرر بهأ ر ي‬: “Beliau
menunjuk dengan telunjuknya bila berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya” (HR. Al-
Nasâi, Abu Dâwud, al-Bayhaqi, ‘Abd al-Razzâq, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr).[19]

Sebagian ulama berupaya mengkompromikan kedua hadis tersebut. Al-Bayhaqi


misalnya, berusaha mengkompromikan hadis ini dengan membahas makna َ‫ يرتحررركتها‬dalam
hadis Wâ’il yang tidak selalu bermakna lit-tikrâr (untuk pengulangan) sehingga berarti
menggerak-gerakkannya, tapi bisa juga berarti menggerakkannya saja yakni untuk
menunjuk. Jika diartikan demikian maka –menurut al-Bayhaqi– sudah tidak lagi
bertentangan dengan hadis tidak menggerakkan telunjuknya riwayat ‘Abdullah bin al-
Zubayr.[20]

Sementara itu Al-Albâni menilai hadis menggerak-gerakkan telunjuk ini sahih padahal
hadis ini melalui ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya yang telah ia daifkan saat
menolak hadis sujud dengan mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan (Lihat
al-Silsilat al-Dla‘îfah, juz 2/426). Di sini tampak jelas inkonsistensi al-Albâni dalam
menilai jalur sanad ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya. Setelah melakukan penelitian
berulangkali terhadap sanad ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya ini, penulis sepakat
dengan penilaian ‘Ali bin al-Madîni bahwa sanad ini bisa menjadi maqbûl jika memang
ada pendukungnya. Karena itulah, al-Albâni mencari pendukung hadis menggerak-
gerakkan tersebut dengan mengutip hadis aneh dalam Shifat al-Shalâh bahwa
menunjuk/menggerak-gerakkan telunjuk saat duduk dalam shalat: ‫طاَهن همن‬ ‫لتههتيَّ أتتشسد تعتلىَ اَلفشيي ت‬
‫ اَيلتحهديهد‬: ”Sungguh hal ini lebih keras dirasakan Syaithan dari pada (cambukan) besi.”
(HR. Ahmad, Musnad, tahqîq al-Arna’ûth, juz 2, no: 6000 & al-Bazzâr: 2/249). Tapi
hadis ini ternyata daif sekali karena selain matannya aneh dan mustahil, juga karena jalur
hadis ini melalui Katsîr bin Zayd yang hampir semua ulama mendaifkannya kecuali Ibn
Hibbân (Lihat al-Haytsami, Majma‘., juz 2, hlm 334, no: 2850).

Karena tidak ada jalur lain yang mendukungnya, maka hadis ini tetap daif karena syâdz
(menyimpang). Al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad (juz 4/318, no: 18890) menilai hadis
ini sahih kecuali kalimat َ‫ يرتحررركتهاَ يتيدرعو بهتها‬adalah syâdz karena hanya Zâ’idah bin Qudâmah
(161 H) sendiri yang meriwayatkannya demikian. Tetapi kalaupun hadis ini maqbûl
khususnya bagi yang meyakini hadis ini sahih, maka pada matan al-Nasa’i yang kedua
‫( رميختت ت‬diringkas)
(no: 1268) setelah kalimat َ‫ يرتحررركتهاَ يتيدرعو بهتها‬akan ditemukan kalimat : ‫صرَر‬
karena memang sebenarnya hadis dari Wâ’il ini masih ada tambahan komentar dari Wa’il
sendiri sebagaimana disebutkan Ahmad, al-Thabrâni, dan Ibn Hibbân. Kata Wa’il
selanjutnya:

‫ب همين اَيلبتيرهد‬ ‫ك أتييهديههيم همين تتيح ه‬


‫ت اَلثرتياَ ه‬ ‫س تعلتييههيم اَلثرتياَ ر‬
‫ب ترتحفر ر‬ ‫ك هفيَّ تزتماَشن هفيهه بتيررَد فتترأتيي ر‬
‫ت اَلفناَ ت‬ ‫… ثرفم هجيئ ر‬
‫ت بتيعتد تذله ت‬

”…Kemudian setelah itu aku datang pada suatu musim yang dingin, lalu aku melihat
orang-orang yang memakai kain menggerak-gerakkan tangan mereka dari bawah kain
karena kedinginan.” (HR. Ahmad, juz 4/318: 18890; al-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr,
juz 22/35; Ibn Hibbân, Shahîh, juz 5/170-171)

Membaca lanjutan hadis di atas, tampaknya Wâ’il ingin mengatakan bahwa Nabi saw
menggerak-gerakkan telunjuknya disebabkan karena kedinginan sebagaimana umumnya
orang menggerak-gerakkan tangannya bila kedinginan, bukan sebagai tuntunan yang
disyari’atkan.

Adapun hadis dari ‘Abdullah bin al-Zubayr yang mengatakan bahwa justru Nabi saw
‫ تكاَتن يرهشيرر بهأ ر ي‬:
tidak menggerak-gerakkan telunjuk ssaat tahiyyat: َ‫صبرهعهه إهتذاَ تدتعاَ هولَ يكهحررككهها‬
“Beliau menunjuk dengan telunjuknya bila berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya”
(HR. Al-Nasâi, Abu Dâwud, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr)[21] adalah sahih. Semua ahli
hadis –tanpa kecuali– sepakat akan kesahihannya, sedang al-Albâni hanya menilainya
hasan itupun dengan komentar: tidak menggerak-gerakkan adalah tambahan yang
syâdz/munkar/menyimpang.[22] Hanya saja al-Albâni tidak mampu membuktikan secara
sahih bukti penyimpangannya. Inilah yang dikritik oleh al-Yamâni terhadap Shifat al-
Shalâh-nya al-Albâni dalam al-Bisyârah fî Syudzûdz Tahrîk al-Ishba’ fi al-Tasyahhud
dengan disertai bukti yang rinci bahwa dari total 12 jalur sanad hadis yang menyebutkan
tentang hal ini, 11 hadis menyebutkan tidak menggerak-gerakkan, dan hanya 1 hadis
yang menyebutkan menggerak-gerakkan telunjuk & ternyata satu inipun bermasalah.

Jika langsung menggunakan metode tarjîh, maka hadis yang tidak menggerak-
gerakkannya-lah yang harus dipegangi, sedangkan hadis yang menggerak-gerakkan
karena menyimpang dan bermasalah sehingga harus ditolak (mardûd).
Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa setelah duduk dengan tenang,
Nabi saw menggerakkan telunjuknya untuk menunjuk 1 kali di awal duduk saat mulai
membaca tasyahhud: al-tahiyyâtu…, tidak menunjuk/menggerakkan pada sebagiannya
termasuk saat menyebut illa-llâh karena tidak ada hadisnya, dan tidak juga menggerak-
gerakkannya secara keseluruhan karena di samping hadisnya syâdz (menyimpang & lain
sendiri) juga menyalahi prinsip thuma’ninah (tenang) dalam shalat. Wa-llâhu a‘lam.

* Dosen Mata Kuliah Hadis & Ilmu Hadis pada Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; Kepala LPPI UMY; Anggota Majelis Tabligh & Dakwah
Khusus PP. Muhammadiyah.

[1] Hadis riwayat Al-Tirmidzi: 268; Al-Nasâ’i: 1089, 1154; Abu Dâwud: 838
semuanya melalui Syarîk bin ‘Abdillâh (wafat 177 H), dari ‘Âshim bin Kulayb, dari
Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr ra.

[2] HR. Abu Dâwud: 840; al-Nasâ’i: 1091; Ahmad: 8732: al-Dârimi: 1321.
Sebagian riwayat (seperti: Abu Ya‘la & Ibn Abi Syaybah) menggunakan lafal al-fahl
yang berarti kuda jantan, tapi jalur ini sanadnya dla‘îf (Ibn Hajar, Rawdlat al-
Muhadditsîn, 1/hlm 370). Menurut al-Tirmidzi hadis ini gharîb karena semua periwayat
hadis ini melalui ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad, dari Muhammad bin ‘Abdullah bin
Hasan (w.145 H), dari Abu al-Zinâd (w. 130 H), dari al-A’raj dari Abu Hurayrah ra. Al-
Bukhari dalam al-Târîkh al-Kabîr mengatakan tidak mengetahui persis apakah
Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan mendengarkan hadis dari Abu al-Zinâd. Tetapi
melihat keduanya hidup sezaman dan sama-sama orang Madinah maka diduga kuat
mereka sangat mungkin bertemu. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah periwayat
yang meriwayatkan hadis dari Muhammad bin ‘Abdullah yakni ’Abd al-‘Âziz bin
Muhammad bin ‘Ubayd al-Darâwurdi (w. 187 H) yang semua periwayat hadis ini melalui
dirinya. Pembahasan mengenai ‘Abd al-’Azîz ini akan dibahas secara rinci kemudian.

[3] Al-Albâni, al-Silsilat al-Dla‘îfah, juz 2 hlm 426; al-Albâni, Tamâm al-Minnah, juz
1/193-199.

[4] Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Cara Shalat Rasulullah saw, Jakarta:
Pustaka Al-Akbar, Bab: Cara Sujud; al-Shan‘âni, Subul al-Salâm, juz 2, hlm 164.

[5] Ada hadis yang disebutkan oleh Ibn al-Atsîr (wafat 606 H) dalam Jâmi’ al-Ushûl fi
Ahâdîts al-Rasûl (juz 5/378 no: 3518) dari Abu Hurayrah ra yang justru menjelaskan sifat
sujud onta yang meletakkan kedua tangan lebih dulu sebelum kedua lutut yakni:

َ‫ »إذاَ سجد أحدكم فلَ ييبرريك كما‬: -‫صلىَ ا عليه وسلم‬- ‫ قاَل رسورل ا‬: ‫)د ت س( أبو هريرة – رضيَّ ا عنه – قاَل‬
‫يتيبرر ر‬
.«‫ يضرع يديه قبل ركبتيه‬، ‫ك اَلبعير‬

Kode ( ‫ ) د ت س‬menunjukkan hadis ini bersumber pada Abu Dâwud, al-Tirmidzi dan al-
Nasâ’i yang ternyata setelah diteliti pada kitab Sunan asli milik mereka, tidak ada redaksi
seperti yang dikutip dalam Jâmi’ al-Ushûl. Tampaknya hadis inilah yang dikutip dalam
HPT Muhammadiyah (1976, cet-3, hlm 92) yang ternyata tidak ada sumbernya pada kitab
sumber utama (kitab primer) manapun kecuali disebutkan dalam HPT dikutip dari Kitab
Taysîr al-Wushûl yang belum berhasil penulis temukan kitabnya namun pasti bukan kitab
primer.

[6] Lihat perdebatan panjang lebar mengenai mana lutut onta dalam al-Fatâwa
al-Hadîtsiyah oleh al-Huwayni, juz 1 hlm 54-57.

[7] Lihat Syakir Jamaluddin (2009), Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw, hlm 81.
Mengenai ‘Abd al-Jabbâr bin Wâ’il, lihat Ibn Hajar al-’Asqalâni, Tahdzîb, juz 6 hlm 95.

[8] Kontroversi tentang ‘Abdullah bin Nâfi’ al-Shâ’igh karena Ahmad menilainya bukan
ahli hadis, tapi murid fanatik dan pembela Imam Malik; Abu Hâtim menilai hapalannya
lemah tapi tulisannya lebih baik dari pada hapalannya; Al-Bukhâri menilai ada masalah
pada hapalannya, tapi Abu Zur‘ah & al-Nasâ’i menilai tidak ada masalah dengannya,
bahkan Ibn Ma‘în menilainya tsiqah. Lihat: Ibn Abi Hâtim, al-Jarh., juz 5, hlm 183, no:
856; al-Dzahabi, al-Kâsyif, juz 1 hlm 602, no 3017; al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubalâ’,
juz 10 hlm 371-373.

[9] Al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (1/hlm 276) mengutip hadis mawqûf ini secara
mu’allaq dari Nâfi’ bahwa Ibn ‘Umar ‫ضرع يتتدييهه قتيبتل رريكبتتتييهه‬
‫ يت ت‬: meletakkan kedua tangannya
sebelum kedua lututnya. Tapi al-Bayhaqi (2/100, no: 2744), al-Hâkim (1/348: 821), Ibn
Khuzaymah (1/318: 617) menyebutkannya secara marfû’ bahwa Nabi saw melakukan hal
itu, padahal sanad hadis Ibn ‘Umar ini melalui ‘Abd al-’Azîz al-Darâwurdi yang terkenal
kacau hapalannya sehingga hadis ini sesungguhnya lemah. Sayangnya hadis ini dikutip
pula oleh al-Hâfidz Ibn Hajar dalam Bulûgh al-Marâm sebagai pendukung yang
menguatkan hadis Abu Hurayrah tentang larangan sujud seperti onta.

[10] HSR. al-Bukhâri, 1/284: 793; Mâlik, 1/89: 201

[11] Syakir Jamaluddin, Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw, hlm 82-83, footnote
29.

[12] HR. Ibn Khuzaymah, tahqiq: al-A’dzami juz 1, hlm 326 no: 647; Ibn al-
Mundzir, al-Awsath, juz 4, hlm 396, no: 1397. Jakhkha berarti: tidak memanjangkan
ruku‘ dan sujud. Dalam Mu‘jam Ibn al-Muqri’, juz 2, hlm 316 no: 808, jakhkha berarti
mengangkat perut dari tanah.

[13] Lihat Mahmûd ‘Abd al-Lathîf, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Shalâh, juz 2, hlm
252-256; al-Albâni, Shifat al-Shalâh, hlm 141; Himpunan Putusan Majlis Tarjih, hlm 91-
93. Sebagian HR. al-Bayhaqi, al-Hâkim & Ibn Hibbân yang menceritakan bahwa pada
suatu malam ‘Aisyah kehilangan Rasulullah & menemukan beliau sujud dengan
‫ )تساَهجصداَ تراَ ص‬ternyata janggal & daif karena hanya Yahya bin
merapatkan kedua tumit (‫صاَ تعقهبتييهه‬
Ayyûb al-Ghâfiqi sendiri yang meriwayatkannya demikian, yang lainnya tidak (Lihat
komentar al-Hâkim, 1/353: 832; Abu Zayd, Bakr bin ‘Abdillâh, Lâ Jadîda fî Ahkâm al-
Shalâh, cet ke-3, hlm 36-41). Mengenai Yahya bin Ayyûb, hanya al-Albâni yang
menilainya tsiqah, sementara yang menilainya jujur & shâlih hadisnya hanya datang dari
Ibn ‘Addi & Ibn Ma’în, tapi al-Nasâ’i, Ahmad & al-Dâruquthni menilainya bukan orang
kuat, jelek/kacau hapalannya serta meriwayatkan banyak hadis munkar, Ibn al-Qaththân
& Abu Hâtim: tidak boleh dijadikan hujjah. Lihat al-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl, juz 7/160-
162). Muslim (2/51: 1118) & Ahmad (6/201) misalnya, hanya meriwayatkan bahwa
‫ )تعتلىَ بت ي‬saat sujud,
‘Aisyah menyentuh atas bagian dalam kedua kaki Nabi saw (‫طهن قتتدتمييهه‬
tanpa menyebutkan merapatkan kedua kaki. Dengan demikian, jarak antar kaki saat sujud
sama dengan jarak antar kaki saat berdiri, yakni tidak dirapatkan dan tidak pula terlalu
dilebarkan, tapi proporsional saja sebagaimana yang diharapkan oleh sunnah Nabi saw.

[14] Lihat Bab Penutup dalam Agung Danarto, Cara Shalat Menurut HPT., dan
Al-Albâni, Shifat al-Shalât. Hadis mursal adalah hadis yang diriwayatkan tâbi’în
langsung pada Nabi saw.

[15] Duduk istirahat sejenak ini dilakukan setelah bangkit dari sujud kedua
sebelum bangkit berdiri menuju rakaat kedua dan rakaat keempat. Duduk istirahat ini
termasuk sunnah Nabi saw berdasarkan hadis: ‫ي تقاَهعداَص‬ ‫صلَتتههه لتيم يتينهت ي‬
‫ض تحفتىَ يتيستتهو ت‬ ‫فتإ هتذاَ تكاَتن هفيَّ هويتشر همين ت‬
: “Apabila berada pada rakaat ganjil dari shalatnya, beliau tidak langsung bangkit
hingga duduk tegak.” (HSR. Al-Bukhâri, al-Tirmidzi dan Abu Dâwud). Dan hadis dari
Abu Qilâbah bahwa Mâlik bin al-Huwayrits mencontohkan tata cara shalat Nabi saw
‫توإهتذاَ ترفتتع تريأتسهر تعهن اَلفستجتدهة اَلفثاَنهيتهة تجلت ت‬: “Dan apabila mengangkat
‫س تواَيعتتتمتد تعتلىَ ياَلتير ه‬
yakni: ‫ض ثرفم تقاَم‬
kepalanya dari sujud kedua, ia duduk dan bertumpu ke tanah lalu berdiri.” (HSR. al-
Bukhâri, juz 1, 283 no: 790; al-Bayhaqi, juz 2, hlm 135, no: 2631)

[16] Iftirâsy berasal dari kata fa-ra-sya (membentang) dan firâsy (alas tikar,
kasur). Iftirâsy adalah sebuah istilah yang menjelaskan cara duduk dengan beralaskan
bentangan kaki kiri.

[17] Tuntunan mengepalkan tangan ke tanah saat bangkit untuk berdiri didasarkan pada
perbedaan interpretasi pada kata ‫ يتيعهجرن‬yang bersumber pada hadis gharîb/asing dan daif
riwayat al-Thabrâni (al-Awsath, juz 4/213 no: 4007). Kata tersebut disalahartikan dengan
mengepalkan tangan seperti ‫ اَيلتعاَهجرن‬/pembuat roti saat membuat adonan roti, padahal hadis
ini daif, bâthil bahkan tidak ada sumbernya. Menurut Ibn al-Shalâh, inilah yang
diamalkan oleh kebanyakan orang Non-Arab dan dianggap sebagai syari‘at dalam shalat
padahal tidak ada pesan tersebut berdasar hadis yang kuat. Kalaupun hadis ini kuat, maka
maksud al-‘âjin di sini adalah orang tua lemah yang bertopang pada bagian dalam
kedua telapak tangannya di tanah untuk berdiri, dan ini sangat mirip dengan pembuat
roti yang menekankan kedua tangannya di lantai, bukan dengan mengepalkannya. Lihat
Ibn al-Mulaqqin, Badr al-Munîr, juz 3 hlm 678-681; Ibn Hajar, Talkhîsh., juz 1 hlm 625-
626; Ibn Rajab, Fath al-Bâri li Ibn Rajab, juz 5/148.

[18] HR. al-Nasâ’i: 889, 1268; Ahmad: 18391, 18890; al-Dârimi: 1357; Ibn
Hibbân: 1860, melalui ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr. Hadis ini
cukup kontroverisial sanad dan matannya. Analisis tentang periwayat ‘Âshim bin Kulayb
ini sudah disinggung saat menjelaskan hadis tentang sujud dengan meletakkan lutut lebih
dahulu.

[19] HR. Al-Nasâ’i, no: 1270; Abu Dâwud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-
Razzâq: 3242, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr ra.

[20] Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 2, hlm 131-132.

[21] HSR. Al-Nasâ’i: 1270; Abu Dâwud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-
Razzâq: 3242, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr ra. Semua ahli hadis –tanpa kecuali– sepakat
akan kesahihannya, meski al-Albâni menilainya syâdz/menyimpang.

[22] Lihat Sunan al-Nasâ’i, tahqîq: Abu Ghuddah, juz 3 hlm 37 no: 1270; al-Albâni,
Silsilat al-Ahâdîts al-Dla’îfah wal-Mawdlû’ah, juz 12/ 136-138, no: 5572; Al-Albâni,
Dla’îf Abi Dâwûd, juz 1/368-369.

Anda mungkin juga menyukai