Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus
hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia
20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya
misalnya diabetes mellitus tipe 1 (Fumarola et al, 2010). Graves’ disease merupakan gangguan
autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini
disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan
mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb 7 memicu perkembangan
dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi
normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan antigen. Namun
pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid
sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte
antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa
TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA. Pada pasien
Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada
rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat
adalah arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut
berupa glutamine (Jacobson et al, 2008). Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien
menderita Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis
Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine
radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves’ disease,
kadar TSH ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan
dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik
scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran
iodine pada Graves’ disease 8 berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya
pada penderita Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease. Selain itu TRAb dapat
digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya kondisi remisi pasien
(Okamoto et al, 2006). Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat
berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine
radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di
Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan
iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya
ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan. Selain pemberian terapi di atas,
pasien Graves’ disease perlu mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan
untuk mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-
blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme
umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar
hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-
tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin
stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan
meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar
hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di
kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif
terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi
kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan
diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin.