Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemen selular. Inflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas saluran
napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit yang kronis1.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema1.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu
alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus),
diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Penyakit asma merupakan proses
inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi
jalan napas1,2.

1
BAB II
ISI
I. DEFINISI
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemen selular. Inflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas saluran
napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit yang kronis.
Episode ini biasanya terkait dengan obtruksi aliran udara dalam paru yang reversible baik
secara spontan ataupun pengobatan1
II. EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/
1000 dan obstruksi paru 2/ 10001.
Gambar 1. Prevalensi Penyakit Asma, PPOK, dan kanker menurut provinsi,
Indonesia 20132.

2
III.FAKTOR RESIKO
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya
keluarga1,3.
Gambar 2. Faktor Host dan Pajanan Lingkungan3

Gambar 3. Faktor Risiko Pada Asma4

3
IV.

PATOFISIOLOGI
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan
mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf
otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses
hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya
inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi
sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas
tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang1.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah
yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk
IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta

4
limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien
(LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini
bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos
saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran
napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan,
udara dingin, dan stress. Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf
otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus
vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan
seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf memegang
peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi1
Gambar 4. Faktor Pembatasan Aliran Udara Pada Asma Akut dan Persisten3

Gambar 5. Patogenesis Asma3

5
V. KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai3

Gambar 6. Klasifikasi Asma pada Anak Umur 0 – 4 Tahun3

6
7
Gambar 7. Klasifikasi Asma Pada Anak Umur 5 – 11 Tahun3

Gambar 8. Klasifikasi Asma Pada umur ≥12 Tahun3

8
Gambar 9. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut3

9
VI. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
DIAGNOSIS
Asma dapat didiagnosis dari gejala yang dialami dan riwayat penyakit pasien5

Anamnesis
Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa berat di dada, terutama saat
malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah terpapar allergen atau terkena
udara dingin atau setelah olahraga. Gejala membaik dengan obat asma riwayat asma pada
keluarga dan penyakit atopi dapat membantu diagnosis5.

Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik paling sering adalah megi pada auskultasi, pada eksaserbasi berat,
mengi dapat tidak ditemuka namun pasien mengalami tanda lain seperti sianosis,
mengantuk, kesulitan bicara, takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot pernapasan
tambahan, dan retraksi intercostal5.

Pemeriksaan penunjang
Spirometry (terutama pengukuran VEP [volume ekspirasi paksa dalam satu detik] dan
KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE 9arus puncak ekspirasi) adalah
pemeriksaan yang penting5

 Spirometry: peningkatan VEP ≥12% dan 200cc setelah pemberian bronkodilator


menandakan reversibilitas jalan napas yang sesuai denan asma.
 Pengukuran APE idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik APE pasien sendiri
sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow meter sendiri. Peningkata 60
L/menit atau ≥ 20% dari APAE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi
bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20% (lebih dari 10% dengan
pemeriksaabn dua kali sehari) medukung diagnosis asma5.
Pemeriksaan IgE serum total dan igE spesifik terhadap allergen hirup
[radioallergigosorben test (RAST)] dapat dilakukan pada beberapa pasie. Foto toraks
dan uji tusuk kulit (skin prick test/SPT) dapat membantu walaupun tidak menegakkan
diagnosis asma. Selain itu, dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes
provokasi bronkus atas indikasi, dan analisis gas dara atas indikasi5.
DIAGNOSIS BANDING
 Sindrom hiperventilasi dan serangan panik
 Obstruksi saluran napas atas dan terhirupnya benda asing
 Disfungsi pita suara
 Penyakit paru obstruksi kronik
 Penyakit paru parenkim difus
 Gagal jantung

VII. TATALAKSANA

10
Non farmakologis
Menghindari paparan terhadap allergen dan penggunaan obat yang menjadi pemicu
asma, penurunan berat badan pada pasien yang obese5.

Farmakologis
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai control5 :
1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan
Menggunakan agonis-β2 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya adalah antikolinergik
inhalasi, agonis- β 2 oral kerja singkat dan teofilin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilag sesak ditambah kortikosteroid inhalasi dosis rendah
(budesonide 200 -400 µg atau ekivalennya). Alternatif obat pengendalai adalah
leukotriene modifier teofilin lepas-lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan dengan agonis- β 2 inhalasi kerja panjang
(LABA). Alternative pengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang
(budesonide 400-800 µg atau ekuivalennya) atau kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis rendah dengan leukotriene modifier atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis
rendah dengan teofilin lepas-lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Meggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi (budesonide 800-1600 µg atau
ekivalennya) dengan LABA. Alternatif pengen dali adalah kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis sedang/tinggi dengan leukotriene modifier atau kombinasi inhalasi
dosis sedang/tinggi dengan leukotriene modifier atau kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis sedang/tingi dengan teofilin lepas-lambat
5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Meggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah
kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah ditambah terapi anti-IgE.

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma


terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (asma
terkontrol, lihat program penatalaksanaan)

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3 faktor yang perlu
dipertimbangkan :
 Medikasi (obat-obatan)
 Tahapan pengobatan
 Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

Medikasi Asma Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

11
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol1 :
 Kortikosteroid inhalasi
 Kortikosteroid sistemik
 Sodium kromoglikat
 Nedokromil sodium
 Metilsantin
 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
 Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Leukotrien modifiers
 Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
 Lain-lain

Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas1.

Termasuk pelega adalah :


 Agonis beta2 kerja singkat
 Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
 Antikolinergik
 Aminofillin
 Adrenalin
Gambar 10. Pengobatan Sesuai Berat Asma1.

12
Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaan sebagai berikut5 :
1. Oksigen (target saturasi 95%)
2. Menggunakan agonis- β 2 inhalasi kerja cepat dengan dosis adekuat (pemberian tiap
20 menit selama satu jam pertama, selanjutnya setiap jam)
3. Dapat juga meggunakan kombinasi ipratropium bromide dengan agonis- β 2 ihalasi
kerja cepat
4. Kortikoseroid oral dengan dosis 0,5-1 mg prednisolone/kg atau ekuivalen dalam
periode 24 jam.
5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika agonis- β 2
inhalasi tidak tersedia.
6. Dapat menggunakan 2 g magnesium sulfat IV pada pasien dengan eksaserbasi berat
yang tidak respon dengan bronkodilator dan kortikosteroid sistemik.
7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
8. Pasien diobservasi 1-2 jam kemudian. Jika respon baik dan teteap baik 60 menit
sesudah pemberian agonis- β 2 terakir, tidak ada distress pernapasan, APE>70%
saturasi oksigen >90%, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari):
inhalasi agonis β -2 diteruskan, steroid oral dipertimbangkan, penyuluhan dan
pengobatan lebih lanjutan, antibiotika diberikan bila ada indikasi, perjanjian control
berobat.

13
9. Bila setelah diobservasi 1-2 jam respons kurang baik atau pasien termasuk golongan
risiko tinggi, gejala dan tanda tetap ada, APE<60% dan tidak ada perbaikan saturasi
oksigen, pasien harus dirawat.
10. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan
resiko tinggi, gejala bertambah berat, APE <30%, PCO2>45 mmHg, PO2 <60
mmHg, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif.

14
Gambar 11. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit1
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi dari Asma
adalah5 :
1. Penyakit Paru
Obstruksi Kronik
2. Gagal jantung
3. Pada keadaan
eksaserbasi akut dapat
terjadi gagal
napas dan

pneumotoraks

IX. PROGNOSIS
Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lai asma tidak terkontrol
secara klinis, eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir, mejalani perawatan kritis
karena asma. VEP1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, pengobatan dosis tinggi5.

15
BAB III
PENUTUP
Dengan semakin meningkatnya prevalensi Asma di Indonesia diharapkan meningkat
juga kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap cara pencegahan asma yaitu menghindari
allergen dan meningkatkan kesadaran masyarakat pengenai pentingnya pengobatan asma, serta
meningkat juga fasilitas kesehatan sehingga penatalaksana Asma di Indonesia menjadi lebih
komprehensif.

Komplikasi dari Asma dapat menyebabkan gagal napas. Penanganan utama untuk asma
adalah oksigenasi yang adekuat serta nebulisasi, yang diharapkan dengan penanganan yang tepat
dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut.

16
DAFTAR PUSTAKA
[1] PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Konsensus Asma.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
[2] Trihono. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. BPPK Kemenkes RI. 2013.
[3] Andrea, et al. (2007). Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis and
Management of Asthma. U.S. Departement of Health and uman Services. National Heart,
Lung, and Blood Institute.
[4] KEMENKES RI. You Can Control Your Asthma. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia 2013
[5] Idrus, et al. (2015). Asma Bronkial. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Panduan Praktik Klinis. Jakarta, Interna Publising : 5–11.

17

Anda mungkin juga menyukai