Anda di halaman 1dari 12

KELOMPOK 12

Nurazizah Rahmi R
Andi Fitri Suci Isman
Muhammad Fadly
BENTUK GERAKAN SOSIAL
Gerakan Sosial Dan Kebijakan Publik
Giddens (2009: 1010) mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar
kepentingan bersama atau gerakkan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui
tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Gerakan sosial adalah tindakan kolektif
(Tilly, 1978; Giugni, McAdam dan Tilly, 1999; dan Opp, 2009). Bahkan secara tegas, Opp (2009: 91)
menguatkan teori tindakan kolektif ini dapat diaplikasikan sebagai protes politik yang merupakan
kontribusi terhadap barang publik dan tujuan utama dari sosial adalah untuk menyediakan barang
publik.
Merujuk kaitan antara politik dan gerakan sosial, maka konsep gerakan sosial ala Tarrow yang
dianut Giugni (Giugni, McAdam, dan Tilly, 1999: xxi-xxii) menjadi relevan yaitu sebagai tantangan
kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang sama, dalam
konteks interaksi berkelanjutan melawan kelompok elit, lawan, dan penguasa.
Bagi Snow, Soule, dan Kriesi (2004: 6) setidaknya gerakan sosial akan selalu membawa
prasyarat untuk dipenuhi (setidaknya harus terpenuhi tiga dari lima syarat) yaitu kolektif bersama atau
join; tujuan yang berorientasi perubahan atau klaim; beberapa tindakan kolektif yang berbentuk
ekstraparlementer atau nonkelembagaan; beberapa derajat organisasi dan beberapa kontinuitas
sementara.
Sementara Tarrow dalam Subarko (2006: 5-7) menekankan konsep gerakan sosial harus
mempunyai empat properti dasar yaitu a) tantangan kolektif gerakan sosial yang membedakannya
dengan tindakan kolektif lainnya sebab kenyataan gerakan sosial biasa kurang sumber daya yang stabil.
Tantangan kolektif menjadi mungkin sebagai satusatunya sumber daya yang dikuasai sebagai focal
point bagi pendukung, memperoleh perhatian dari kubu yang dilawan dan pihak ketiga serta
menciptakan konstituen untuk diwakili; b) tujuan utama gerakan sosial. Tujuan yang paling jelas
berfokus pada alasan untuk menyusun klaim menentang pihak lawan, pemegang otoritas atau para elit;
c) solidaritas dan identitas kolektif dari gerakan sosial dimunculkan dari Pertimbangan partisipan
tentang kepentingan bersama yang kemudian mengantarai perubahan dari sekadar potensi gerakan
menjadi aksi nyata. Konsensus menjadi penting dalam menciptakan gerakan sosial; d) memelihara
politik perlawanan terhadap pihak musuh karena cara tersebut dapat mengubah perlawanan menjadi
gerakan sosial. Tujuan kolektif, identitas bersama dan tantangan dapat diidentifikasi membantu gerakan
untuk memelihara politik perlawanan ini.
Jenkins dan Klandermars (1995: 3-5) secara lebih komprehensif menjelaskan hubungan yang
lebih luas antara gerakan sosial dan sistem kenegaraan dalam ranah demokrasi. Jenkins dan Kladermas
menggunakan empat domain yang saling terkait yaitu negara, gerakan sosial, warga negara, dan sistem
perwakilan politik. Hubungan-hubungan yan terbangun terlihat pada gambar segi berlian. Jenkins dan
Klandermas menjelaskan hubungan warga negara dengan negara melalui sistem politik perwakilan.
Tentu saja, sistem perwakilan politik yang dimaksud merupakan sistem politik yang solid-terdapat
partai-partai politik, berbagai asosiasi kepentingan formal dan lembaga lain yang mengklaim dirinya
sebagai representasi kepentingan publik pada sisi kanan dan tengah merupakan perhatian Jenkins dan
Klandermars karena berpusat pada upaya gerakan dan dampak protes sosial pada sistem politik maupun
sebaliknya dampak sistem politik terhadap gerakan sosial.
Studi gerakan sosial dikaitkan dengan sistem politik juga merujuk situasi konfliktual atau
suasana perlawanan (contentious politics) yang bisa saja bersifat spontan atau terorganisir. Ciri utama
gerakan sosial dalam ranah politik adalah gerakan sosial berada di luar sistem Politik secara formal.
Gidden (200B9: 1010) menempatkan gerakan sosial sebagai “the most common type of non-orthodox
political activity”. Hal ini adalah cara lain rakyat untuk menunjukkan suaranya karena saluran yang
selama ini dianggap saluran politik formal-berkisar ketika pemilihan umum digelar, rakyat
berpartisipasi dalam pemilihan perwakilan rakyat dan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah-tidak
efektif. Untuk hal ini, gerakan sosial lebih sering dikaitkan sebagai cara menunjukkan adanya missing
link dari kegagalan demokrasi menciptakan kesejahteraan umum.
Gerakan sosial dan kebijakan publik berhubungan erat menyangkut hajat hidup orang banyak.
Meyer (2005: 1-22) menganalogikan gerakan Sosial dan kebijakan publik sebagai telur dan ayam.
Gerakan sosial tidak akan ada tanpa kebijakan publik dan kebijakan publik tidak akan ada tanpa gerakan
sosial. Keduanya saling kait-mengait. Namun para pengkaji kebijakan publik maupun gerakan sosial
menurut Meyer (2005: 2/3) masih belum berada dalam kotak masing-masing saling terisolasi dan belum
saling terhubung.
Perubahan kebijakan yang didorong gerakan sosial menunjukkan bahwa kebijakan tersebut
memiliki responsivitas. Studi Schumaker tahun 1975 yang dikutip Della Porta dan Diani (2006: 230-
231) untuk menjelaskan perubahan yang dibawa oleh gerakan sosial dapat dievaluasi dengan melihat
berbagai tahapan proses pengambilan keputusan. Terdapat lima tingkat responsivitas kebijakan
terhadap tuntutan kolektif dalam sistem politik, yaitu: pertama, terbukanya akses mengindikasikan
derajat ketika pemilik otoritas (target) bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan. Kedua,
respon di tingkat agenda ketika target rela mcnempatkan tuntutan gerakan pada agenda politiknya.
Ketiga, respon kebijakan, ketika target mengadopsi kebijakan barn (khususnya legislasi) yang kongruen
dengan manifestasi tuntutan gerakan. Kempat, hasil yang dicapai jika target secara efektif
mcngimplementasikan kebijakan barn. Kelima, dampak yang terjadi, tingkat ketika aksi maupun respon
sistem politik meredakan dan menjawab tuntutan gerakan.
Gerakan Rakyat Untuk Kebijakan Agraria: General Indonesia
Masalah agraria di Indonesia tak pernah lekang oleh waktu. Berkaitan dengan gerakan rakyat
vis-a-vis (tidak saling memihak) masalah agraria maka merujuk pada reformasi agraria digagas dan
dilaksanakan selama ini di Indonesia. Tanah negara dan hutan negara merupakan konsep penting dalam
hukum agraria Indonesia yang mencerminkan dominasi negara dalam sistem kepemilikan lahan
nasional (Bachriadi, 2010: 40). Keberadaan tanah negara dan kontrol negara terhadap penggunaan tanah
negara berlandaskan pasal 33 UUD 1945 yang oleh pemerintah Orde Baru telah dimanipulasi
sedemikian hingga masih berjalan sampai sekarang. Manipulasi yang dimaksud adalah pemerintah
memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya demi kesejahteraan rakyat, namun dalam pelaksanaannya
justru berkebalikan. Bachriadi (2010: 45) justru hal ini dimaksudkan untuk digunakan untuk
kepentingan bisnis komersial atau hanya untuk keuntungan ekonomi, apalagi untuk menciptakan
monopoli sumber-sumber agraria.
Catatan Bachriadi (2010: 61-62) menunjukkan program pembangunan berbiaya mahal justru
menciptakan konflik di seluruh bagian Indonesia bahkan di beberapa wilayah, wilayah hutan yang
digunakan sebagai lahan bisnis, menipulasi hukum untuk menolak keberadaan tanah adat. masyarakat
lokal dan indigenous people: berkehidupan di area hutan yang diklaim sebagai tanah negara selama
bertahun-tahun. Secara umum, Bachriadi dalam disertasinya (2010) berkesimpulan bahwa
pembangunan dan kebijakan agraria selama masa Orde Baru hingga tahun 2006 telah menyebabkan
masalah agraria di Indonesia." Implementasi program reformasi agraria pada tahun 1961 hingga 1965
diberhentikan setelah perubahan rezim penguasa pada tahun 1966. Inisiatif untuk advokasi kebijakan
dipimpin oleh akademisi selama tahun 1970-80an ternyata gagal untuk menghidupkan kembali Program
ini. Selama masa kekuasaan Orde Baru, gerakan rakyat baik perkotaan dan pedesaan melawan
pemerintah dan menjadi kendaraan untuk menghidupkan kembali politik massa dalam rangka reformasi
agraria. Terdapat juga masa bagi para pegiat agraria untuk membentuk koalisi secara nasional bagi
gerakan petani. Titik poin dari studi Bachriadi ini adalah meskipun tidak langsung mencantumkan hasil
perubahan kebijakan pada Tabel Dinamika Perubahan Pro Reformasi Agraria Dan Gerakan Sosial
Pedesaan di Indonesia l980-2000an di bawah ini, studi Bachriadi telah memberi gambaran terhadap
jatuh-bangunnya gerakan rakyat baik di pedesaan maupun perkotaan dalam rangka memperjuangkan
reformasi agraria.

Kasus Gerakan Rakyat Pulau Padang


Asal-usul gerakan sosial adalah dalam koeksistensi sistem nilai kontras dan dalam konflik
kelompok satu sama lain (Della Porta dan Diani, 2006:13). Karakter gerakan sosial ini dijumpai pada
kasus Pulau Padang yang menjadi topik nasional yang hangat pada bulan Desember 2011 hingga
sekarang. Hal ini dikarenakan media memberitakan 27 warga melakukan jahit mulut di depan gedung
DPR RI. Penyebab utamanya adalah masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi
Riau menuntut pencabutan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 327 Tahun 2009-SK izin
operasional Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikantongi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)
di Pulau Padang.“ Baik Sutarno maupun Yuwono (2012) dalam penjelasan masing-masing menyebut
SK 327/Menhut-II/2009 telah membuat masyarakat Pulau Padang sejak Desember 2009 lalu hingga
saat ini melakukan penolakan atas beroperasinya PT RAPP secara berkesinambungan. Yuwono (2012)
mencatat temuan yang menjadi bumerang masyarakat Pulau Padang dan PT RAPP antara lain proses
penyusunan AMDAL yang bertentangan dengan amanah PP 27/1999 pasal 16 ayat 4 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya ketidaksesuaian peruntukan kawasan hutan yang
dicadangkan sebagai areal HTI (hutan tanaman industri) dengan dokumen TGHK, RTRWN, RTRWP
Riau (Perda No. 10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004) hingga
permasalahan Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan
peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data
biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara.
Penolakan masyarakat Pulau Padang terhadap keberadaan PT RAPP dilakukan dengan
berbagai cara, Sutarno (2012) mencatat setidaknya masyarakat Pulau Padang melakukan aksi tergabung
dalam Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMPPP) maupun Serikat Tani Riau
(STR) terhadap pemerintah Kecamatan Merbau, Pemerintah Kabupaten Meranti,” Pemerintah Propinsi
Riau, dan Pemerintah Pusat. Dalam aksinya, masyarakat Pulau Padang juga didampingi oleh LSM dan
organisasi lain seperti Walhi, Meranti Center, Walhi, Mahasiswa Bengkalis, masyarakat Padang Lawas,
dan sebagainya. Masyarakat Pulau Padang tidak hanya melakukan aksi demonstrasi tetapi juga
melakukan aksi jahit mulut dan kemah massal (Sutarno, 2012):
a. Pengaduan. Pengaduan dalam bentuk Pengiriman surat dan/ atau mendatangi kantor pihak
berwenang baik dari pemerintah maupun PT RAPP. Cara ini bertujuan untuk berdialog guna
menyampaikan permasalahan yang dihadapi dan mendapat respon dari pihak yang bersangkutan.
Dalam cara langsung dengan mendatangi/menemui pihak berwenang ini, jumlah perwakilan dari
masyarakat dalam skala kecil/perwakilan.
b. Aksi demonstrasi dan protes yang melibatkan massa (puluhan, ratusan hingga ribuan orang). Sejak
2010 tercatat massa berdemonstrasi dengan frekuensi yang sering sekali.17
c. Diskursus publik yaitu pada tanggal 15 Desember 2010 seminar terbuka “Dampak HTI terhadap
Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat” dihadiri oleh 2500 orang masyarakat Pulau Padang dan
Pulau Rangsang tanpa ada perwakilan Pemerintah Kabupaten Meranti dan Manajemen PT RAPP
d. Aksi radikal yaitu aksi stempel darah, mogok makan“ dan jahit mulut masyarakat Pulau Padang
yang tidak dilakukan sekali saja. Mogok makan pertama dilakukan pada tanggal 25-28 April 2011.”
Lalu pada tanggal l November 2011 terdapat aksi jahit mulut di Masjid Kompleks DPRD Provinsi
Riau; aksi demonstrasi pada tanggal 16 Desember 2011 juga diikuti dengan aksi jahit mulut pada
tanggal 20, 21, dan 22 Desember 2011. Aksi radikal terakhir ini berjalan hingga akhir tahun 2011,
namun aksi menginap di Gedung DPR RI mencapai lebih dari 1bulan.
Berbagai bentuk aksi tersebut mampu membuat pemerintah di tiga level melakukan tindakan
baik positif maupun negatif terhadap tuntutan masyarakat Pulau Padang. Sutarno (2012) dan Yuwono
(2012) mencatat beberapa respon pemerintah, beberapa antara lain:
a. Penerbitan SK 327/menhut-II/2009 sebagai pemicu gerakan rakyat Pulau Padang karena substansi
dari SK 327/menhut II/2009 adalah menghilangkan sumber penghidupan bagi 35.224 jiwa. Namun
setelah ditelusur ternyata perizinan dan penyusunan AMDAL juga bermasalah. Bupati terdahulu
sempat mengirim surat Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan untuk peninjauan ulang
terhadap semua IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPP di Kabupaten Kepualauan
Meranti.
b. Dialog masyarakat dengan DPRD Kabupaten Meranti pada 26 Juli 2010 menghasilkan janji bahwa
DPRD akan meninjau lapangan, bahkan DPRD dan Bupati Kabupaten Meranti juga mengajukan
surat permohonan peninjauan ulang izin operasional PT SRL, PT LUM, dan PT RAPP kepada
Kemenhut pada waktu yang bersamaan. Namun di sisi lain Gubernur Riau mengeluarkan Surat No.
223/ IX/ 2010 tanggal 8 September 2010, tentang Izin Pembuatan Koridor pada IUPHHK-HT, PT
RAPP Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti. Balasan surat Direktorat Jenderal Bina
Usaha Kehutanan tertanggal 3 November 2010 adalah IUPHHK-HTI ketiga perusahaan tersebut
adalah sah dan aktif dan area operasi IUPHHK-HTI tersebut berada dalam Kawasan Hutan
Produksi. Oleh karena itu, Pemda Kabupaten Meranti mengikuti surat tersebut melalui sosialisasi
PT RAPP.
c. Setelah terjadi aksi penolakan terhadap PT RAPP dan dialog antara masyarakat dan DPRD Provinsi
Riau pada 11 Februari 2011, diputuskan pembentukan Pansus HTI Riau yang agar pansus tersebut
dapat mengkaji dampak operasional PT RAPP di Pulau Padang maupun secara umum di Riau pada
tanggal 23 Februari 2011. sementara di tingkat kabupaten memang terdapat pembentukan Tim
Pengkaji Kelayakan Operasional PT RAPP di Pulau Padang namun berubah menjadi tim pengawas
operasional PT RAPP di Pulau Padang (16 Maret 2011). Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten
Meranti tidak berkomitmen terhadap kesepakatan dengan masyarakat.
d. DPRD Provinsi Riau tampak tidak responsif bahkan mempingpong masyarakat Pulau Padang. Hal
ini karena Komisi A, Komisi B, bahkan Ketua DPRD tidak memberi jawaban yang tegas dan
terkesan melempar tanggung jawab.” Terdapat dialog antara masyarakat Pulau Padang dengan
PemProv Riau terkait “tim terpadu” bentukan Pemkab Meranti pada tanggal 4 November 2011.
Gubernur Riau urung Rekomendasi Pencabutan SK No. 327 Menhut Tahun 2009 Blok
PulauPadang.
e. Pada pertengahan November 2011 terdapat dialog bersama di gedung DPRD Provinsi Riau antara
Bupati dan seluruh pejabat Pemda Meranti, Ketua DPRD Provinsi Riau, Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi Riau, Masyarakat Pulau Padang, dan lain-lain. Dialog ini yang difasilitasi oleh DPD RI
dapil Riau, namun lagi-lagi hasilnya sangat-sangat mengecewakan warga Pulau Padang.
f. Bersamaan dengan berakhirnya aksi jahit mulut, Menhut membentuk tim mediasi untuk
menyelesaikan masalah antara masyarakat Pulau Padang dan PT RAPP. Menhut, tim mediasi, dan
masyarakat Pulau Padang membuat kesepakatan pada 5 Januari 2012 Surat Keputusan Revisi SK
Mcnhut No 327 Tahun 2009, dengan mengeluarkan seluruh hamparan blok Pulau Padang seluas
41.205 ha Dari SK 327.
Selain itu, pemerintah masih menggunakan cara kekerasan dalam menghadapi aksi
masyarakat Pulau Padang karena masih menggunakan aparat keamanan untuk melakukan
pengeroyokan dan penculikan terhadap warga Pulau Padang. Kejadian ini terjadi pada tanggal 9 Juni
2011. Sementara catatan Sutarno (2012) yang berkaitan dengan PT RAPP adalah masyarakat beberapa
kali melakukan aksi terhadap PT RAPP namun ditanggapi dengan mengecewakan. Selain itu, PT RAPP
melakukan pembentukan opini berkaitan dengan tingkat deforestasi di kawasan Pulau Padang yang
dilakukan saat forum sosialisasi kepada komponen masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal
30 Oktober 2010 dan mengelak menunjukkan dokumen AMDAL yang menjadi dasar perijinan HTI-
nya.
PENUTUP
Aksi kolektif yang ditunjukkan masyarakat Pulau Padang secara terus-menerus menunjukkan
bahwa masyarakat membutuhkan sumber daya yang luar biasa agar mampu membuat pemerintah
mengubah kebijakannya. Pasca-aksi jahit mulut, masyarakat Pulau Padang masih melanjutkan aksi
massa terhadap pemerintah hingga saat ini. Menhut membuat tim mediasi guna menyelesaikan
persoalan tersebut. Dalam hal ini, gerakan rakyat memengaruhi pembentukan opini publik. Melalui
media, masyarakat umum yang tadinya tidak mengetahui, menjadi tahu atas peristiwa yang terjadi
termasuk pro dan kontra. Berbagai elemen masyarakat salah satunya perwakilan dari masyarakat sipil,
turut serta mendukung proses penyelesaian masalah Pulau Padang. Masukan dari organisasi masyarakat
sipil yang terdiri dari LSM, ORMAS dan Organisasi Mahasiswa adalah bahwa Kementerian Kehutanan
bukan sebatas membentuk tim mediasi namun membentuk Tim Verifikasi Independen dan multipihak,
untuk meninjau kembali perizinan SK No. 327/Menhut-II/2009 (Yuwono, 2012).
Tim mediasi telah bekerja dan memberi dua rekomendasi khusus terkait penyelesaian Kasus
Pulau Padang yaitu pertama, revisi keputusan Menhut Nomor 327/Menhut-II/2009, dengan
mengeluarkan selumh blok Pulau Padang dari areal konsesi. Rekomendasi kedua, revisi keputusan
Menhut Nomor 327/Menhut-II/2009, dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang.
Menhut memilih opsi yang kedua. Namun menurut rakyat Pulau Padang tuntutan mereka belum
dipenuhi oleh Menhut. Karena Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sudah mengeluarkan solusi untuk
Pulau Padang dengan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sejak Juni 2012, wacana warga akan
melakukan aksi aksi bakar diri di depan istana. Hal ini dikarenakan Surat Keputusan Revisi SK Menhut
No 327 Tahun 2009, dengan mengeluarkan seluruh hamparan blok Pulau Padang seluas 41.205 ha dari
SK No. 327 belum sesuai kesepakatan 5 Januari 2012.
Saat ini, perjalanan masyarakat Pulau Padang masih panjang melanjutkan aksinya menuntut
revisi SK Menhut No 327 Tahun 2009 yang sesuai dengan tuntutan mereka. Selama pemerintah
membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, maka rakyat tidak akan pernah berhenti
bergerak Ironisnya, penyebab yang ditengarai memicu konflik masyarakat Pulau Padang belum menjadi
pedoman pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik.

KEMISKINAN DAN PERLAWANAN KAUM NELAYAN


Konsep Perlawanan Nelayan
Scott, dengan konsep perlawanan sehari-hari (everyday forms ofresistance), mengartikan
perlawanan sebagai perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus menerus, dari kaum tani
terhadap orang-orang yang berupaya menarik tenaga kerja, makanan, pajak, sewa dan keuntungan dari
mereka (Scott, 1985: 303). Kebanyakan perlawanan bentuk ini tidak sampai pada taraf pembangkangan
terang-terangan secara kolektif. Senjata yang biasa digunakan oleh kelompok orang yang tidak berdaya,
adalah seperti mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak
tahu, mengumpat di belakang, membakar, melakukan sabotase, menolak sewa dan pajak (Scott, 1993:
302).
Menurut Scott, tujuan perlawanan petani bukannya secara langsung menggulingkan atau
mengubah sistem dominasi, melainkan lebih terarah untuk tetap hidup dalam sistem itu. Adapun sifat
perlawanan sehari-hari adalah informal dan sering tidak terbuka. Scott juga menjelaskan perbedaan
antara perlawanan sungguh-sungguh dengan perlawanan yang bersifat insidental. Perlawanan yang
sungguh-sungguh bersifatkan: terorganisasi, sistematis; berprinsip atau tanpa pamrih; mempunyai
akibat-akibat revolusioner; dan mengandung tujuan meniadakan dominasi. Sebaliknya, perlawanan
insidental bersifat: tidak terorganisasi, tidak sistematis, individual, bersifat untung-untungan, tidak
berakibat revolusioner, dan menyesuaikan sistem dominan.
Esekan: Model Perlawanan Terbuka
Nelayan Prigi mengenal kebiasaan/tradisi esekan (dahulu disebut pethetan atau krintilan).
Esekan adalah tindakan awak kapal memasukkan sejumlah ikan hasil tangkapan ke kresek (tas plastik)
secara sembunyi-sembunyi untuk -umumnya dijual ke bakul (pedagang kecil) dan dibawa pulang. Ikan
yang diambil dan dimasukkan ke tas kresek umumnya antara 20-30 kg setiap orang sehingga apabila
yang mengambil 20 orang, maka jumlahnya bisa mencapai 400-600 kg (lebih dari seperdua ton). Ikan
esekan tidak dihitung dalam bagi hasil. Yang dihitung adalah ikan ”sisa" yang ada di kapal yang
jumlahnya kurang dari seperduab ton dan ini harus dibagi dengan perbandingan 2:1. Semula esekan
hanya sekedar membawa ikan dalam pethet/kresek/wadah apapun yang berukuran kecil atau tanpa
(persiapan) wadah untuk lawuhan (lauk pauk keluarga nelayan di rumah) dan dilakukan atas kerelaan
juragan (karena jumlahnya sedikit atau tidak berarti). Pethet adalah bagian jaring yang robek dan tidak
terpakai lalu dijahit atau dirajut sendiri dan dibentuk menjadi semacam tas kecil. Kresek adalah tas
terbuat dari pastik tipis. Juragan dengan jumlah pengambilan yang sedikit itu mengetahui dan tidak
pernah mempermasalahkannya. Lama-kelamaan eselcan berkembang menjadi tindakan berbau
kriminal. Esekan dilakukan sepihak, sembunyi-sembunyi, tidak lagi terang-terangan. Ikan yang
dimasukkan kresek cukup banyak, lebih dari sekedar lawuhan. Juru mudi dan ABK sengaja
menyiapkan/membawa kresek ukuran besar untuk mengambil ikan hasil tangkapan yang belum dibagi.
Ikan ini lebih banyak dijual, hanya sebagian kecil yang dibawa pulang untuk lauk. Ini berbeda dengan
niat semula atau sejarah mulakala dari esekan yaitu untuk lauk pauk keluarga di rumah. Sebagian esekan
diolah sendiri oleh nelayan (umumnya oleh istrinya) dengan cara. diasap lalu dijual ke wisatawan atau
bakul ikan asap_ Orientasi esekan berubah dari sosial (untuk keperluan keluarga) menjadi ekonomi
(komoditas yang ikut diperjualbelikan di TPI oleh juru mudi dan ABK atau isteri mereka yang
menjemput setiap pagi di pantai). Saat ini esekan telah menjadi tradisi atau kebiasaan yang mengakar
kuat di kalangan nelayan Prigi. Esekan dipandang sebagai keharusan. Jika tidak mengesek mereka
merasa rugi.

Ketidakharmonisan Hubungan Nelayan, Pedagang, Dan Juragan


Keharmonisan Semu
Struktur pengusahaan ikan di Prigi muncul fenomena yang unik dan rumit dalam hubungan
sosial dan ekonomi antar nelayan dan antara nelayan dengan tengkulak. Hubungan sosial dan ekonomi
antar nelayan pada dasarnya berlangsung dalam keharmonisan semu. Pada tingkat permukaan seperti
tidak ada masalah apa-apa. Tidak ada perselisihan terbuka dan keributan yang dipertontonkan di depan
publik. Tetapi pada tingkat kesadaran terdalam atau di jagat mikro komunitas nelayan terdapat
ketegangan di antara mereka. Berkaitan esekan, misalnya juragan menuding juru mudi dan ABK
memanfaatkan kesempatan, keterlaluan dan tidak mau tahu dengan kesulitan dan besarnya beban biaya
yang harus ditanggung juragan. Sebaliknya juru mudi dan ABK menilai juragan dan pengurus kapal
kurang jujur (curang) dalam menghitung jumlah ikan dan ongkos pemeliharaan/perbaikan kapal.
Esekan merupakan masalah besar yang mengganggu keharmonisan, keakraban dan ikatan kekeluargaan
nelaya. Indikasi lain dari keharmonisan semu itu adalah saling curiga di antara sesama juragan akibat
seringnya pembajakan juru mudi. Ini menunjukkan bahwa kehidupan harmonis dan penuh kekeluargaan
dalam masyarakat desa (termasuk pesisir yang dihuni nelayan) sebagaimana bayangan selama ini, tidak
sepenuhnya benar.
Keharmonisan semu di kalangan nelayan ini serupa dengan ungkapan Rogers (1969: 26)
tentang salah satu karakteristik masyarakat desa yaitu ”mutual distrust in interpersonal relations” (saling
tidak percaya dalam hubungan interpersonal). Berbeda dengan temuan Danardono dan Brata (2004)
dengan kasus nelayan Saptosari, Gunungkidul, bahwa sistem kerja nelayan dan pola relasi antar nelayan
dan dengan pihak lain yang berkepentingan di bidang itu terjalin baik.
Kenyataan itu juga mengisyaratkan bahwa potensi konflik dalam kehidupan masyarat nelayan
cukup tinggi. Konflik dipicu oleh masalah dalam hubungan sosial ekonomi antar sesama nelayan dan
perebutan sumber daya (ikan dan manusia). Penelitian Kusnadi (2002: 79-92) pada sejumlah daerah
nelayan di pesisir utara Jawa dan Madura menunjukkan bahwa konflik telah menjadi bagian dari
kehidupan kalangan komunitas nelayan. Konflik umumnya terjadi karena memperebutkan sumber daya
perikanan. Setidaknya ada dua persoalan kritis yang dihadapi masyarakat pesisir. Pertama,
pembangunan nasional khususnya di sektor perikanan belum berhasil meningliatkan taraf kesejahteraan
masyarakat. Umumnya Komunitas nelayan masih bergulat melawan kemiskinan, bahkan mereka
termasuk golongan sosial termiskin di ant ra para petani miskin. Kedua, dampak sampingan
Pembangunan telah menurunkan mutu lingkungan laut dan pesisir beserta beragam sumber daya yang
terkandung di dalamnya. Konflik yang terjadi di dalam komunitas nelayan Prigi bukan karena perebutan
sumber daya ikan yang cenderung semakin berkurang atau menjauh dari sekitar teluk. Konflik lebih
bersumber pada pola kerjasama dan hubungan sosial ekonomi antar nelayan. Praktik bagi hasil yang
diwarnai oleh tindakan curang juragan (dalam kalkulasi biaya operasional) mendapat perlawanan dari
juru mudi dan ABK (berupa penggelapan ikan sebelum dibagi dengan formula yang disepakati). Model
perlawanan ini agaknya serupa dengan perlawanan petani kecil dan lemah sebagaimana penelitian Scott
(1985) di perdesaan Malaysia. Esekan merupakan senjata perlawanan juru mudi dan ABK terhadap
juragan. Mereka melawan dengan cara halus, tidak berpikir dengan cara lain yang mungkin lebih keras
dan kasar.
Lebih lanjut, saling curiga dan menggunjing tidak meledak sebagai konflik terbuka dan
dipertontonkan di depan publik. Hal ini lebih karena nelayan cukup kuat memegang prinsip dalam
kultur Jawa yang bercorak ]awa Mataraman. Masyarakat Jawa Mataraman cukup dipengaruhi oleh
kultur kerajaan Mataram (Solo dan Yogyakarta). Dalam komunitas nelayan Prigi masih kental tradisi
kejawen. Aspek “rasa" menjadi cukup menonjol sebagai pertimbangan tindakan meskipun tidak
menggambarkan totalitas budaya Jawa. Stange (1998) menyebutkan, bahwa dalam kejawen dalam
istilah kebudayaan Jawa tradisional, logika yang melatarbelakangi gagasan kekuasaan adalah ”rasa".
Dalam istilah jawa ”rasa" merupakan sebuah organ kognitif Yang digunakan secara aktif dalam praktik
mistik, tidak hanya istilah yang diterapkan pada pengalaman inderawi Yang menggiring pada estetika.
Bagi nelayan Prigi "rasa" (seperti jengkel, tidak senang, ingin marah dan lain-lain) lebih sebagai suatu
yang harus dipendam atau disimpan dalam diri atau dalam hati. Mereka malu dan menganggap tidak
patut (ora ilok) mempertontonkan perselisihan dengan tetangga atau orang sekampung.
Konflik yang dilatarbelakangi oleh perebutan sumber daya manusia bukan sumber daya perikanan
berupa pembajakan juru mudi oleh juragan lain yang memunculkan rasa tidak senang juga tidak
meledak sebagai ”perang" terbuka antar juragan. Juragan sebatas saling bergunjing dan saling kurang
percaya. Dampaknya adalah munculnya jarak sosial (social distance) tertentu dalam persahabatan
mereka.

Membangkitkan Aksi Perlawanan


Membangkitkan aksi perlawanan yang masif atas kontrol dan dominasi tidak mudah.
Resistensi cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi, individual, menyangkut/untuk kepentingan
pribadi, anonim, sporadik, kecil-kecilan dan tidak disampaikan langsung. Perlawanan terang-terangan
hanya berani dilakukan secara kolektif dan/ atau apabila yakin akan membuahkan hasil. Kaum miskin
mendahulukan keselamatan, menghindari resiko sanksi yang terkonsekuensikan darinya dan yang bisa
membuat kaum kaya mencabut fasilitas-fasilitas konsumsi yang sudah bisa didapatkan (Scott, 1990:
21). Hukuman dalam berbagi bentuk termasuk penolakan kaum kaya untuk membeli ikan, utang,
tambahan harga, atau kompensasi sosial cukup membuat nelayan berpikir dua kali sebelum melakukan
aksinya. Sebagaimana Scott memahami perlawanan kecilkecilan petani, resistensi kaum miskin
pertama-tama tidak ditujukan untuk menghantam pedagang, tetapi untuk menahan tekanan konsumsi
yang harus mereka tanggung dan memperpanjang kelangsungan hidup (Scott, 2000: 42; Nugroho, 2002:
3). Manifestasinya, nelayan bersiasat dalam perolehan bagi hasil, penjualan dan pembelian
menggunjingkan dan melemparkan sinisme tentang pedagang, melakukan pencurian kecil-kecilan
(esekan, carukan) dan lain-lain. Dan kendati aksi-aksi tersebut tidak banyak mempengaruhi jalannya
perdagangan ikan yang dikendalikan pedagang, bagaimanapun, sedikit banyak merepotkan dan
menimbulkan kekesalan pedagang (dan juragan).
Pedagang menanggapi perlawanan ini dengan setidak. nya dua taktik, yaitu iming-iming
hadiah dan ancaman. Nelayan yang tidak melakukan atau tidak memanifestasikan perlawanannya diberi
kemudahankemudahan misalnya dalam mengutang. Pedagang juga menekan nelayan dengan berbagai
cara, mulai yang halus hingga kasar, misalnya memperalat nelayan lain, ancaman melaporkan ke polisi
dan lain-lain. Yang sering terjadi, taktik-taktik kaum kaya juga dilakukan secara samar, tertutup, tidak
terbuka. Memberitahukan perlawanan atau ”pembangkangan" seseorang atau sekelompok nelayan
kepada sejawatnya adalah sekedar contoh. Akibatnya, konflik yang lahir pun hanya tersamar serupa
yang pernah dikemukakan Scott (1990:21).
Resistensi nelayan bisa pula tidak berhenti di tingkat kecil-kecilan. Keluhan-keluhan,
gunjingan dan sinisme yang terus menerus disampaikan dalam berbagai kesempatan bisa menjadi
Propaganda ekonomi-politik, yang menyebar dan sampai ke telinga pedagang. Tidak sulit untuk
mendapatkan komentar-komentar sinis dan minor dari nelayan tentang pedagang dan pada tingkat yang
lebih rendah gunjingan perihal pedagang yang pelit atau tidak mau mengerti kesulitan nelayan.
Meskipun tidak semuanya benar, karena disampaikan terus-menerus, isi ”propaganda" ini bisa dianggap
benar, menjadi bagian kesadaran kolektif nelayan dan masyarakat dan memicu gerakan sosial
perlawanan yang lebih besar. Mengikuti Scott (1990: 21), nelayan seperti hanya menunggu kesempatan
yang memungkinkan untuk meledakkan timbunan konflik dalam transkrip gelap menjadi aksi kolektif
yang terbuka. Apabila menjadi aksi kolektif, perlawanan ini sulit dipadamkan. Nelayan bisa bertindak
berani, nekat dan anarkhis disebabkan secara individual mereka tidak dikenali. Aksa jadi sasaran
antaranya kelompok lain, bukan pedagang yang sebenarnya sasaran utama sebagaimana kasus
pembakaran kapal nelayan dai Pasuruan. Lebih lanjut, aksi kolektif kaum miskin ini tidak akan pernah
maujud tanpa adanya kepemimpinan di kalangan mereka. Mereka hanya menggunjing, menggerutu,
berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan; tidak ada hal nyata yang dilakukan. Sementara
itu perilaku pedagang tidak berubah. Ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang menyuarakan
aspirasi nelayan ("menyambung lidah"), mengorganisasikan dan berani menunjukkan perlawanan
secara terbuka, barulah nelayan berani. Mereka berdiri di belakang pemimpin ini, mendukung
sepenuhnya perlawanan dan kadang dengan manifestasi yang jauh lebih keras.
Yang perlu diketahui, pemimpin itu justru lazimnya tidak dari kaum nelayan. Bisa jadi ia atau
mereka adalah pedagang, kaum kaya, kelas menengah, atau pernah miskin. Yang sangat jelas adalah
bahwa pemimpin itu (pernah) merasakan penderitaan nelayan dan ingin melepaskan nelayan dari
belenggu dominasi. Sebagian dari pemimpin perlawanan (atau penumpang gelap perlawanan nelayan)
adalah orang-orang yang ingin mengambil keuntungan,l pribadi, misalnya ingin “memasang muka" atau
mempertinggi posisi tawar di hadapan pedagang, kaum kaya, atau birokrat lokal. Sangat jarang terjadi,
perlawanan dipimpin oleh nelayan sendiri. Menurut peneliti, ini berhubungan dengan beberapa
keterbatasan yang membelenggu mereka.
Pedagang menanggapi reaksi nelayan dengan aksi-aksi individual (jarang kolektif) dengan
kekuatan dan/ atau sum. ber daya yang ada pada mereka. Berbeda dengan reaksi nelayan yang bisa
nekat, pedagang menjalankan aksinya dalam cara yang lebih tertutup dan halus. Mereka lebih
mempertimbangkan resiko apabila berhadapan langsung, secara frontal dengan nelayan.
Pertimbangannya, apabila menang, tidak akan menjadikan bangga; apabila kalah maka akan
menanggung malu. Pedagang bisa memobilisasi kekuatan massa kaum miskin lain bahkan nelayan lain
untuk berhadapan dengan nelayan yang dianggap lawannya, bisa menyebarluaskan fitnah atas
pemimpin perlawanan, memanfaatkan aparat, preman, media massa dan lain-lain. Ini adalah bentuk-
bentuk yang lazim. Bentuk lain adalah derma yang diumumkan di media massa, disiarkan corong-
corong tempat ibadah, perkumpulan-perkumpulan atau kegiatan masyarakat dengan liputan yang luas.
Biaya "iklan" ini seringkali lebih tinggi daripada jumlah derma mereka. Kontra prepaganda ini
disampaikan secara terus menerus pula dengan dampak hampir sama: bisa dianggap salah meskipun
benar dan menjadi bagian kesadaran kolektif nelayan. Sebagian nelayan tidak terpengaruh dengan
propaganda ini dan melanjutkan aksi perlawanan.
Sekalipun sangat jarang aksi massa yang luas di Prigi, tetaplah harus dicatat bagaimana
pembakaran kapal nelayan Pasuruan telah turut mencemaskan pedagang. Nelayan ternyata bisa bersatu
apabila menghadapi ”musuh" bersama. Di tengah krisis ekonomi yang parah dan kesengsaraan nelayan
yang tidak tertahankan, yang sebenarnya dipicu perilaku pedagang, sejumlah nelayan Pasuruan datang
dengan perilaku yang membuat mereka risih. Nelayan turun ke jalan menumpahkan amuk yang lama
terpendam. Polisi tidak mampu membendung luapan massa. Peristiwa ini cukup membuat kapok
nelayan Pasuruan sehingga tidak datang lagi ke Prigi. Bisa jadi, apabila tidak segera dibendung, aksi
massa itu akan meluas dan melumpuhkan aktivitas komersial ekonomi pasar yang lumnya didominasi
pedagang.
Memahami manifestasi siasat resistensi nelayan itu, bisa disebutkan bahwa siasat tersebut
adalah bentuk radikalisme kaum miskin. Merujuk pada Barrington Moore. Scott (1990: 92) yang
membedakan tiga tingkat radikalisme: tingkat pertama adalah radikalisme personal, muncul berupa
kritik atas individu-individu kelas atas; tingkat kedua yaitu radikalisme struktural, berupa tudingan
umum terhada p kelas superior atas kegagalan mereka memenuhi harapan ideal; dan yang ketiga adalah
radikalisme habitual, merupakan tingkat paling radikal yang menolak epistemeepisteme dan struktur
epistemik dari suatu institusi atau menolak kelangsungan institusi itu sendiri sebagai tatanan
masyarakat.
Resistensi nelayan Prigi setidaknya telah sampai pada radikalisme tingkat dua: radikalisme
personal dan radikal. isme struktural. Perlawanan mereka mempunyai sasaran personal, yakni individu
pedagang yang biasa dihadapi nelayan. Sasaran resistensi ini terbatas hanya pada beberapa pedagang
yang dianggap bersifat buru k. Radikalisme struktural bisa disebutkan karena aksi-aksi kecil yang
terbaca. itu merupakan bagian dari suatu pertarungan kelas yang lebih besar, yaitu antara nelayan
dengan kaum pedagang Nelayan yang memimpikan kecukupan konsumsi merasa dihalangi oleh
pedagang yang menginginkan keuntungan besar dan tidak menghendaki kerugian betapapun kecilnya
Resistensi itu tidak (atau belum) menjadi suatu radikalisme habitual. Tuntutan nelayan bukan
harga ikan yang sangat tinggi namun kenaikan harga yang wajar, ke tingkat yang secara relatif mampu
mencukupi kebutuhan mereka juga bukan penurunan harga seluruh barang konsumsi, namun terutama
harga bahan kebutuhan pokok yang berpengaruh untuk kelangsungan hidup. Nelayan menginginkan
kemudahan untuk memperoleh fasilitas utang -bukan mendapat pemberian gratis dan bukan
mempersoalkan relasi jual-beli itu sendiri. Mereka tidak menghalangi pembelian dengan harga murah
tetapi tidak menyetujui monopoli pembelian ikan oleh pedagang setempat. Kaum miskin bisa mengerti
bahwa pada saat terjadi pasokan berlebih, harga ikan murah. Juga, pedagang membutuhkan keuntungan
untuk hidup dan menjalankan usaha, asal bukan keuntungan yang terlalu besar sehingga menjerat leher.
Mengikuti Thompson, aksi kaum miskin adalah dalam penentuan harga, bukan meminta roti atau
gandum secara gratis (Thompson, 1993).

Anda mungkin juga menyukai