Nurazizah Rahmi R
Andi Fitri Suci Isman
Muhammad Fadly
BENTUK GERAKAN SOSIAL
Gerakan Sosial Dan Kebijakan Publik
Giddens (2009: 1010) mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar
kepentingan bersama atau gerakkan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui
tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Gerakan sosial adalah tindakan kolektif
(Tilly, 1978; Giugni, McAdam dan Tilly, 1999; dan Opp, 2009). Bahkan secara tegas, Opp (2009: 91)
menguatkan teori tindakan kolektif ini dapat diaplikasikan sebagai protes politik yang merupakan
kontribusi terhadap barang publik dan tujuan utama dari sosial adalah untuk menyediakan barang
publik.
Merujuk kaitan antara politik dan gerakan sosial, maka konsep gerakan sosial ala Tarrow yang
dianut Giugni (Giugni, McAdam, dan Tilly, 1999: xxi-xxii) menjadi relevan yaitu sebagai tantangan
kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang sama, dalam
konteks interaksi berkelanjutan melawan kelompok elit, lawan, dan penguasa.
Bagi Snow, Soule, dan Kriesi (2004: 6) setidaknya gerakan sosial akan selalu membawa
prasyarat untuk dipenuhi (setidaknya harus terpenuhi tiga dari lima syarat) yaitu kolektif bersama atau
join; tujuan yang berorientasi perubahan atau klaim; beberapa tindakan kolektif yang berbentuk
ekstraparlementer atau nonkelembagaan; beberapa derajat organisasi dan beberapa kontinuitas
sementara.
Sementara Tarrow dalam Subarko (2006: 5-7) menekankan konsep gerakan sosial harus
mempunyai empat properti dasar yaitu a) tantangan kolektif gerakan sosial yang membedakannya
dengan tindakan kolektif lainnya sebab kenyataan gerakan sosial biasa kurang sumber daya yang stabil.
Tantangan kolektif menjadi mungkin sebagai satusatunya sumber daya yang dikuasai sebagai focal
point bagi pendukung, memperoleh perhatian dari kubu yang dilawan dan pihak ketiga serta
menciptakan konstituen untuk diwakili; b) tujuan utama gerakan sosial. Tujuan yang paling jelas
berfokus pada alasan untuk menyusun klaim menentang pihak lawan, pemegang otoritas atau para elit;
c) solidaritas dan identitas kolektif dari gerakan sosial dimunculkan dari Pertimbangan partisipan
tentang kepentingan bersama yang kemudian mengantarai perubahan dari sekadar potensi gerakan
menjadi aksi nyata. Konsensus menjadi penting dalam menciptakan gerakan sosial; d) memelihara
politik perlawanan terhadap pihak musuh karena cara tersebut dapat mengubah perlawanan menjadi
gerakan sosial. Tujuan kolektif, identitas bersama dan tantangan dapat diidentifikasi membantu gerakan
untuk memelihara politik perlawanan ini.
Jenkins dan Klandermars (1995: 3-5) secara lebih komprehensif menjelaskan hubungan yang
lebih luas antara gerakan sosial dan sistem kenegaraan dalam ranah demokrasi. Jenkins dan Kladermas
menggunakan empat domain yang saling terkait yaitu negara, gerakan sosial, warga negara, dan sistem
perwakilan politik. Hubungan-hubungan yan terbangun terlihat pada gambar segi berlian. Jenkins dan
Klandermas menjelaskan hubungan warga negara dengan negara melalui sistem politik perwakilan.
Tentu saja, sistem perwakilan politik yang dimaksud merupakan sistem politik yang solid-terdapat
partai-partai politik, berbagai asosiasi kepentingan formal dan lembaga lain yang mengklaim dirinya
sebagai representasi kepentingan publik pada sisi kanan dan tengah merupakan perhatian Jenkins dan
Klandermars karena berpusat pada upaya gerakan dan dampak protes sosial pada sistem politik maupun
sebaliknya dampak sistem politik terhadap gerakan sosial.
Studi gerakan sosial dikaitkan dengan sistem politik juga merujuk situasi konfliktual atau
suasana perlawanan (contentious politics) yang bisa saja bersifat spontan atau terorganisir. Ciri utama
gerakan sosial dalam ranah politik adalah gerakan sosial berada di luar sistem Politik secara formal.
Gidden (200B9: 1010) menempatkan gerakan sosial sebagai “the most common type of non-orthodox
political activity”. Hal ini adalah cara lain rakyat untuk menunjukkan suaranya karena saluran yang
selama ini dianggap saluran politik formal-berkisar ketika pemilihan umum digelar, rakyat
berpartisipasi dalam pemilihan perwakilan rakyat dan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah-tidak
efektif. Untuk hal ini, gerakan sosial lebih sering dikaitkan sebagai cara menunjukkan adanya missing
link dari kegagalan demokrasi menciptakan kesejahteraan umum.
Gerakan sosial dan kebijakan publik berhubungan erat menyangkut hajat hidup orang banyak.
Meyer (2005: 1-22) menganalogikan gerakan Sosial dan kebijakan publik sebagai telur dan ayam.
Gerakan sosial tidak akan ada tanpa kebijakan publik dan kebijakan publik tidak akan ada tanpa gerakan
sosial. Keduanya saling kait-mengait. Namun para pengkaji kebijakan publik maupun gerakan sosial
menurut Meyer (2005: 2/3) masih belum berada dalam kotak masing-masing saling terisolasi dan belum
saling terhubung.
Perubahan kebijakan yang didorong gerakan sosial menunjukkan bahwa kebijakan tersebut
memiliki responsivitas. Studi Schumaker tahun 1975 yang dikutip Della Porta dan Diani (2006: 230-
231) untuk menjelaskan perubahan yang dibawa oleh gerakan sosial dapat dievaluasi dengan melihat
berbagai tahapan proses pengambilan keputusan. Terdapat lima tingkat responsivitas kebijakan
terhadap tuntutan kolektif dalam sistem politik, yaitu: pertama, terbukanya akses mengindikasikan
derajat ketika pemilik otoritas (target) bersedia mendengarkan tuntutan organisasi gerakan. Kedua,
respon di tingkat agenda ketika target rela mcnempatkan tuntutan gerakan pada agenda politiknya.
Ketiga, respon kebijakan, ketika target mengadopsi kebijakan barn (khususnya legislasi) yang kongruen
dengan manifestasi tuntutan gerakan. Kempat, hasil yang dicapai jika target secara efektif
mcngimplementasikan kebijakan barn. Kelima, dampak yang terjadi, tingkat ketika aksi maupun respon
sistem politik meredakan dan menjawab tuntutan gerakan.
Gerakan Rakyat Untuk Kebijakan Agraria: General Indonesia
Masalah agraria di Indonesia tak pernah lekang oleh waktu. Berkaitan dengan gerakan rakyat
vis-a-vis (tidak saling memihak) masalah agraria maka merujuk pada reformasi agraria digagas dan
dilaksanakan selama ini di Indonesia. Tanah negara dan hutan negara merupakan konsep penting dalam
hukum agraria Indonesia yang mencerminkan dominasi negara dalam sistem kepemilikan lahan
nasional (Bachriadi, 2010: 40). Keberadaan tanah negara dan kontrol negara terhadap penggunaan tanah
negara berlandaskan pasal 33 UUD 1945 yang oleh pemerintah Orde Baru telah dimanipulasi
sedemikian hingga masih berjalan sampai sekarang. Manipulasi yang dimaksud adalah pemerintah
memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya demi kesejahteraan rakyat, namun dalam pelaksanaannya
justru berkebalikan. Bachriadi (2010: 45) justru hal ini dimaksudkan untuk digunakan untuk
kepentingan bisnis komersial atau hanya untuk keuntungan ekonomi, apalagi untuk menciptakan
monopoli sumber-sumber agraria.
Catatan Bachriadi (2010: 61-62) menunjukkan program pembangunan berbiaya mahal justru
menciptakan konflik di seluruh bagian Indonesia bahkan di beberapa wilayah, wilayah hutan yang
digunakan sebagai lahan bisnis, menipulasi hukum untuk menolak keberadaan tanah adat. masyarakat
lokal dan indigenous people: berkehidupan di area hutan yang diklaim sebagai tanah negara selama
bertahun-tahun. Secara umum, Bachriadi dalam disertasinya (2010) berkesimpulan bahwa
pembangunan dan kebijakan agraria selama masa Orde Baru hingga tahun 2006 telah menyebabkan
masalah agraria di Indonesia." Implementasi program reformasi agraria pada tahun 1961 hingga 1965
diberhentikan setelah perubahan rezim penguasa pada tahun 1966. Inisiatif untuk advokasi kebijakan
dipimpin oleh akademisi selama tahun 1970-80an ternyata gagal untuk menghidupkan kembali Program
ini. Selama masa kekuasaan Orde Baru, gerakan rakyat baik perkotaan dan pedesaan melawan
pemerintah dan menjadi kendaraan untuk menghidupkan kembali politik massa dalam rangka reformasi
agraria. Terdapat juga masa bagi para pegiat agraria untuk membentuk koalisi secara nasional bagi
gerakan petani. Titik poin dari studi Bachriadi ini adalah meskipun tidak langsung mencantumkan hasil
perubahan kebijakan pada Tabel Dinamika Perubahan Pro Reformasi Agraria Dan Gerakan Sosial
Pedesaan di Indonesia l980-2000an di bawah ini, studi Bachriadi telah memberi gambaran terhadap
jatuh-bangunnya gerakan rakyat baik di pedesaan maupun perkotaan dalam rangka memperjuangkan
reformasi agraria.