Anda di halaman 1dari 23

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

A. Defenisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara
saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan
berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap
gas atau partikel yang berbahaya (Brunner & Suddarth, 2009)
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (COPD) merupaka suatu istiah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma
bronkial membentuk kesatuan yang disebut COPD (Price, 2006)

B. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum
selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut
(Bruner & Suddarth, 2009).
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll

1
c. Manifestasi klinis
1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi
besar, yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.
2) Mukus lebih kental
3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari
paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan
untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar
mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi
mukus akan meningkat.
4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua
kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus
kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang
banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula
mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh
saluran nafas akan terkena.
5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi
jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami
kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-
paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi
perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan
PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit
memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya
karena infeksi pulmonary.
8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak

2
ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju
penyakit cor pulmonal dan CHF
2. Emfisema
a. Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding
alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner &
Suddarth, 2009).
b. Etiologi
1) Faktor tidak diketahui
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara
c. Manifestasi klinis
1) Dispnea
2) Takipnea
3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang
paru
5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
6) Hipoksemia
7) Hiperkapnia
8) Anoreksia
9) Penurunan BB
10) Kelemahan
3. Asthma Bronchiale
a. Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat
dari trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
dengan manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh
peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth,
2002).

3
b. Etiologi
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
2) Infeksi saluran nafas
3) Stress
4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
5) Obat-obatan
6) Polusi udara
7) Lingkungan kerja
8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
c. Manifestasi Klinis
1) Dispnea
2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa
berat),
3) wheezing,
4) batuk non produktif
5) takikardi
6) takipnea

C. Etiologi
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah
partikl gas yang dihirup oleh seorang inividu selama hidupnya. Partikel gas
ini termasuk:
1. Asap rokok
a. Perokok aktif
b. Perokok paif
2. Polusi udara
a. Polusi dalam ruangan asap rokok- asap kompor
b. Polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu jalanan
3. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
a. Infeksi saluran nafas bawah berulang

4
D. Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan
kecil bahkan unit repiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi
pada PPOK yang menjadi dasar patologi yatu bronkitis kronis dengan
hipersekresi muurnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran
permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis
diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempetin saluran nafas tampak apda saluran nafas yang besar dan
kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas
terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk
oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mngalami atropi
dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan
terjadinya remodelling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodelling
ini justru akan merangsang mempertahankan inflmasi yang terjadi dimana T
CD8 dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya termasuk
hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa,
peningkatan otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar
dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (
sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar (
perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan
emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran
nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara
pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi
terfiksasi pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon
inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.
Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada
emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta
defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi

5
yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-
mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran
nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran
nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap
meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan
beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit,
diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan
TGFß. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas
antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan
memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi
faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari
faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta
disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan
diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian
akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang
pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa
hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana
abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri
pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling
arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi
Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi
terhadap hipertensi pulmonal (Price, 2006).

6
E. Pathway

(Price, 2006)

1
F. Tanda dan Gejala
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau
produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK
sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui
pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan
dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi
seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK
(Price, 2006).
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK.
Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat
kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai
sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan
sentral sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema tungkai
bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang
membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan
mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi
sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya
mengi.
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di
lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih
memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit.
Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif,
terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas.
Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume
Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan,
jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa
paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan
berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK.
Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali
adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya
tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada

1
rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru.
Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran
gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang
peranan penting.

G. Akibat yang Ditimbulkan


1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa

2
diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
1) Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
b) VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
c) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan
sore, tidak lebih dari 20%.
2) Uji bronkodilator
a) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml.
b) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.

3
Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Diafragma mendatar
5) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
1) Normal
2) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
1) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,
2) VR/KPT meningkat
3) DLCO menurun pada emfisema
4) Raw meningkat pada bronkitis kronik
5) Sgaw meningkat
6) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
1) Sepeda statis (ergocycle)
2) Jentera (treadmill)
3) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %

4
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai:
1) Gagal napas kronik stabil
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
1) CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
2) Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.

5
d. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan untuk pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema
obstruksif berupa tindakan-tindakan untuk menghilangkan obstruksi saluran
nafas kecil. Meskipun kolaps saluran nafas akibat emfisema bersifat
ireversibel, banyak pasien mengalami bronkospasme, retensi sekret, dan
edema mukosa dalam derajat tertentu yang masih dapat ditanggulangi dengan
pengobatan yang sesuai. Yang penting adalah berhenti meroko dan
menghindari polusi udara lain, atau alergn yang dapat memperberat gejala
yang dialami (Price, 2006).
Pasien diinstruksikan untuk segera mencari pengobatan bila timbul gejala
dispnea atau bila jumlah sputum bertambah. Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenza adalah organisme penyebab tersering. Sehingga
sringkali pilhan antibiotika yang digunakan adalah antibiotika yang dapat
diterima oleh kedua organisme tersebut. Semua pasien harus mendapatkan
vaksin influensa dan penumococcus.
Tindakan lain untuk mengurangi obstruksi saluran napas adalah dengan
memberikan hidrasi yang memadai untuk mengencerkan sekret bronkus;
ekspektoran dan bronkodilator untuk meredakan spasme otot polos. Biasanya
diberikan obat-obatan simpatomimetik seperti albuterol, terbutalin, dan xantin
(seperti aminfillin). Ipratropium bromida (Atrovent) yaitu suatu agen
antikolinergik dalam inhalasi dosis terukur, adalah bronkodilator yang efektif
untuk pasien dengan bronkitis kronik. Pasien-pasien dengan sekret yang
banyak, dilakukan perkusi dan drainase postural untuk membuang sekret
yang menyumbat, yang dapat menjadi prediposisi infeksi. Latihan bernafas
dapat juga membantu. Latihan ini mencegah kolaps bronkiolus-bronkiolu
kecil serta mengurangi jumlah udara yang terperangkap.
Pengobatan tambahan yang penting adalah pemberian suplemen oksigen
(O2) kepada pasien COPD yang mengaali hipoksia bermakna (O2 arteri
(PaOs) 55 hingga 60 mmHg atau kurang). Aliran udara rendah dengan O2
sebesar 1 hingga 2 L/menit yang diberikan dengan ungkup hidung
mengalirkan O2 sebesar 24% hingga 28%, dan nilai tersebut cukup efektif

6
dan dapat ditoleransi. Pengobatan O2 juga menurunkan frekuensi polisitemia
(hematokrit > 50%) pada pasien COPD. Polisitemia merupakan kompensasi
dari hipoksemia kronik pada COPD, namun mengakibatkan peningkatan
viskositas darah dan memperburuk hipertensi pulmonal. Program kerja fisik,
seperti berjalan, berakibat peningkatan toleransi kerja fisik dan rasa nyaman
tapi tidak meningkatkan fungsi paru.
Pengobatan pengganti dengan α1-antitripsin (AAT) untuk
penderitadefisiensi AAT familial, baru baru ini sedang diteliti untuk
menentukan apakah perjalanan penyakit tersebut dapat berubah dengan
pengobatan pengganti ini. Dasar pengobatan ini adalah untuk menggantikan
defisiensi inhibitor protease dan mencegah destruksi proteolitik jaringan
alveolar. AAT dibentuk dari sedikit plasma manusia dan diberikan secara
intravena dengan jarak seminggu atau sebulan. Hasil awal dari pengobatan ini
adalah pasien mengalami angka penurunan yang lebih rendah pada volume
ekspirasi paksa (FEV1) dan angka kematian yang lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok yang tidak diberikan pengobatan namun pengobatan ini
sangat mahal (Price, 2006).

e. Pengkajian Fokus Keperawatan


1. Aktivitas dan Istiraha
Gejala :
a. Keletihan, kelelahan, malaise,
b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena
sulit bernafas
c. Ketidakmampian untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
d. Dispnea pasa saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda :
a. Keletihan
b. Gelisah, insomnia
c. Kelemahan umum/kehilangan massa otot

7
2. Sirkulasi
Gejala :Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda :
a. Peningkatan tekanan darah
b. Peningkatan frekuensi jantung
c. Distensi vena leher
d. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
e. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan
diameterAPdada)
f. Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku tabuh
dansianosis perifer
g. Pucat dapat menunjukkan anemia
3. Integritas Ego
Gejala :
a. Peningkatan factor resiko
b. Perubahan pola hidup
Tanda :
Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan/ cairan
Gejala :
a. Mual/muntah
b. Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
c. ketidakmampuan untuk makankarena distress pernafasan
d. penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis)
Tanda :
a. Turgor kulit buruk
b. Edema dependen
c. Berkeringat

8
5. Hyiegene
Gejala :
Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitassehari-hari
Tanda :
Kebersihan buruk, bau badan
6. Pernafasan
Gejala :
a. Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode
berulangnyasulit nafas (asma); rasa dada tertekan,m ketidakmampuan
untuk bernafas(asma)
b. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada
saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun
sedikitnya 2tahun. Produksi sputum (hijau, puith, atau kuning) dapat
banyak sekali(bronchitis kronis)
c. Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap
dinimeskipun dapat menjadi produktif (emfisema)
d. Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan
pernafasandalam jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau debu/asap
(mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji
e. Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus
Tanda :
a. Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi
memanjangdengan mendengkur, nafas bibir (emfisema)
b. Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
c. Dada: gerakan diafragma minimal.
d. Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi
(emfisema);menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronchitis);
ronki, mengisepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan

9
selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak adanya bunyi
nafas (asma)
e. Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara
denganemfisema); bunyi pekak pada area paru (mis. Konsolidasi,
cairan, mukosa)
f. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
g. Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-
abukeseluruhan; warna merah (bronchitis kronis, “biru
mengembung”). Pasiendengan emfisema sedang sering disebut “pink
puffer” karena warna kulitnormal meskipun pertukaran gas tak normal
dan frekuensi pernafasancepat.
h. Tabuh pada jari-jari (emfisema)
7. Keamanan
Gejala :
a. Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan
b. Adanya/berulang infeksi
c. Kemerahan/berkeringat (asma)
8. Seksualitas
Gejala :
penurunan libido
9. Interaksi Sosial
Gejala :
a. Hubungan ketergantungan Kurang sistem penndukung
b. Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
c. Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda :
a. Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara karena
distress pernafasan
b. Keterbatasan mobilitas fisik
c. Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain

10
10. Diagnosa yang Muncul
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia,
mual muntah.
f. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

11
g. Rencana Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
1. Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan tindakan Airway Management
efektif berhubungan dengan keperawatan selama 2 x 24 jam, 1. Ukur respirasi dan status O2
bronkokontriksi, peningkatan bersihan jalan nafas klien efektif 2. Identifikasi pasien perlunya pemberian suply O2
produksi sputum, batuk tidak dengan kriteria hasil: tambahan
efektif, kelelahan/berkurangnya Respiratory status : Airway patency) 3. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
tenaga dan infeksi 1. Jalan Nafas bersih dengan ditandai penggunaan otot tambahan, retraksi otot
bronkopulmonal. tidak ada bising suara nafas supraclavicular dan intercostal
(Ronkhi). 4. Kaji suara nafas.
2. RR dalam batas normal (16 – 24 5. Kaji pola nafas : bradipena, takipenia, dyspneu,
x/menit). kussmaul, hiperventilasi.Auskultasi suara nafas.
3. Nafas vesikuler. 6. Kaji tanda – tanda adanya sianosis
4. Pasien tidak sianosis. 7. Berikan posisi semi fowler.
Sputum mampu keluar 8. Berikan terapi O2 sesuai kebutuhan
9. Ajarkan batuk efektif untuk membantu
mengeluarkan sekret
10. Kolaborasi dengan dokter terhadap pemberian
bronkodilator
2. Pola napas tidak Respiratory status : Ventilation
efektif berhubungan dengan napas Kriteria Hasil : Airway Management
pendek, mukus, bronkokontriksi 1. Mendemonstrasikan batuk efektif 11. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
dan iritan jalan napas. dan suara nafas yang bersih, tidak jaw thrust bila perlu
ada sianosis dan dyspneu (mampu 12. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
mengeluarkan sputum, mampu 13. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
bernafas dengan mudah, tidak ada jalan nafas buatan

12
pursed lips) 14. Pasang mayo bila perlu
2. Menunjukkan jalan nafas yang 15. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
paten (klien tidak merasa tercekik, 16. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
irama nafas, frekuensi pernafasan 17. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
dalam rentang normal, tidak ada tambahan
suara nafas abnormal) 18. Lakukan suction pada mayo
3. Tanda Tanda vital dalam rentang 19. Berikan bronkodilator bila perlu
normal (tekanan darah, nadi, 20. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
pernafasan) Lembab
21. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
22. Monitor respirasi dan status O2
3. Gangguan pertukaran NOC NIC :
gas berhubungan dengan a. Respiratory status : Ventilation Airway Management
ketidaksamaan ventilasi perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
keperawatan selama…. Pasien 2. Pasang mayo bila perlu
menunjukan keefektifan pola napas, 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dibuktikan dengan : 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Kriteria Hasil : 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
4. Mendemonstrasikan batuk efektif tambahan
dan suara nafas yang bersih, tidak 6. Berikan bronkodilator
ada sianosis dan dyspneu (mampu 7. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
mengeluarkan sputum, mampu Lembab
bernafas dengan mudah, tidak ada 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
pursed lips) keseimbangan.
5. Menunjukkan jalan nafas yang 9. Monitor respirasi dan status O2
paten (klien tidak merasa tercekik, 10. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi

13
irama nafas, frekuensi pernafasan 11. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
dalam rentang normal, tidak ada oksigenasi
suara nafas abnormal) 12. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang
6. Tanda Tanda vital dalam rentang teknik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas
normal (tekanan darah, nadi, 13. Ajarkan bagaimana batuk secara efektif
pernafasan) 14. Monitor pola nafas
4. Intoleransi aktivitas berhubungan NOC : Energy Management
dengan penurunan curah jantung a. Energy Conservation 1. Kaji frekuensi jantung, irama, perubahan TD
b. Self Care : ADLs sebelum, selama dan sesudah aktivitas..
Kriteria Hasil : 2. Tingkatkan istirahat, berikan aktivitas senggang
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang tidak berat.
tanpa disertai peningkatan tekanan 3. Anjurkan pasien menghindari peningkatan
darah, nadi dan RR tekanan abdomen contoh mengejan saat defekasi.
2. Mampu melakukan aktivitas sehari 4. Anjurkan untuk meningkatkan tingkat aktivitas
hari (ADLs) secara mandiri secara bertahap.
5. Perubahan nutrisi kurang dari NOC : Nutrition Management
kebutuhan tubuh berhubungan Nutritional Status : food and Fluid 1. Kaji adanya alergi makanan
dengan dispnea, kelamahan, efek Intake 2. Ukur jumlah nutrisi dan kandungan kalori
samping obat, produksi sputum dan Kriteria Hasil : 3. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan
anoreksia, mual muntah. 1. Adanya peningkatan berat badan nutrisi yang dibutuhkan
sesuai dengan tujuan 4. Berikan makanan yang terpilih ( sudah
2. Berat badan ideal sesuai dengan dikonsultasikan dengan ahli gizi)
tinggi badan 5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
3. Mampu mengidentifikasi jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
kebutuhan nutrisi pasien.
4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi 6. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi

14
6. Kurang perawatan Setelah dilakukan tindakan Self Care assistane : ADLs
diri berhubungan dengan keletihan keperawatan selama 1 x 24 jam, 1. Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri
sekunder akibat peningkatan upaya pemenuhan kebutuhan dasar klien yang mandiri.
pernapasan dan insufisiensi terpenuhi dengan kriteria hasil: 2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
ventilasi dan oksigenasi. Self care : Activity of Daily Living untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
(ADLs) toileting dan makan.
Kriteria Hasil : 3. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara
1. Klien terbebas dari bau badan utuh untuk melakukan self-care.
2. Dapat memenuhi kebutuhan 4. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-
toiletting dan bathing dengan hari yang normal sesuai kemampuan yang
bantuan dimiliki.
3. Dapat melakukan ADLS dengan 5. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi
bantuan beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
6. Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

15
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo.Keperawatan Medikal Bedah.


Edisi 8, volume 6.Jakarta : EGC, 2008.

Docterman dan Bullechek. 2009. Nursing Invention Classifications (NIC),


Edition 4, United States Of America: Mosby Elseveir Acadamic Press.

Maas, Morhead, Jhonson dan Swanson. 2012. Nursing Out Comes (NOC),
United States Of America: Mosby Elseveir Acadamic Press.

Mansjoer, Arif & Suprohaita. 2011. Kapita Slekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI: Media Aescullspius.

Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan klassifikasi,


Jakarata: EGC.

Price, et al. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis proses-proses penyakit edisi 4.


Jakarta: EGC

16

Anda mungkin juga menyukai