Anda di halaman 1dari 4

Sengketa Internasional Ambalat (Indonesia-Malaysia)

SENGKETA BLOK AMBALAT

Adapun faktor-faktor penyebaba timbulnya persengketaan blok perairan ambalat


antara Indonesia dengan Malaysia yaitu :
1. Masing-masing negara baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim bahwa blok perairan
ambalat adalah wilayah toritorial kedaulatan negaranya.
2. Tidak adanya batas negara yang jelas dikawasan perairan ambalat
3. Tidak adanya kesepakatana antar kedua negara atas batas Negara
4. Adanya sumber daya alam yang melimpah ruah yang terkandung dalam perut bumi di
kawasan perairan amabalat yaitu minyak dan gas bumi.
Awal persengketaan

Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis
pertama kali mengenai hukum laut antara indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak
bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat:
Sengketa Sipadan dan Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan
perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas
Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7
November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru
yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini
membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura
tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali
ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun
1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim
dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan
blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah
utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim
itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan
Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya
sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap
wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga
berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah
Internasional.

Kasus Ambalat merupakan permasalahan yang sangat krusial bagi kedua belah pihak baik
bagi Indonesia maupun bagi Malaysia karena masalah Ambalat merupakan masalah
kedaulatan dan konsitusi suatu negara, berarti jika suatu wilayah di rampas (diambil) oleh
negara lain maka pemerintah yang bersangkutan akan mempertahanakan kedaulatan
wilayahnya dengan cara apapun baik secara kekerasan (militer) maupun deplomasi untuk
mempertahanakan kedaulatannya. Apalagi ditambah dengan adanya kandungan sumber
daya alam yang sangat melimpah di wilayah perairan Ambalat yaitu yang berupa minyak dan
gas bumi. Kandungan minyak dan gas bumi di dua lempengan East Ambalat dan Blok East
Ambalat jika dieksploitasi memberi potensi keuangan sebesar Rp 4.200 triliun, jauh lebih
besari dari utang Indonesia yang Rp 1.400 triliun. Sejak tahun 1979, Malaysia telah mengklaim
Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu
sebagai miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya. Dengan klaim
tersebut, melalui Petronas, Malaysia kemudian memberikan konsesi minyak (production
sharing contracts) di Blok Ambalat kepada Shell, perusahaan minyak Inggris-Belanda.
Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi oleh
pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola
kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola
Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia
menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blio East Ambalat sebagai ND 7
atau Balok Z.2

KUALA KLAWANG (Negri Sembilan): Malaysia dan Indonesia tidak akan merujuk sengketa
mereka atas minyak dan gas di Blok Ambalat yang kaya ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Menteri Luar Negeri Datuk Seri Utama Dr Rais Yatim mengatakan ini adalah karena
pemerintah kedua negara telah membentuk sebuah kelompok orang terkemuka untuk
mempelajari sengketa. "Kami telah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara damai.
Kami akan meminta pandangan dari pakar hukum laut dan wilayah untuk solusi, "tambahnya.
"Kami juga akan mendapatkan kelompok netral untuk memberikan pandangan pada sekali ini
kita sudah mendapat rekomendasi dari komite teknis yang memiliki perwakilan dari kedua
negara," katanya usai membuka pertemuan tahunan asosiasi Jelebu mantan polisi yang
umum di sini.Dia mengatakan kedua pemerintah telah memutuskan untuk mengambil
langkah berdasarkan pengalaman masa lalu, ketika ICJ menemukan yang mendukung
Malaysia dalam masalah pulau Sipadan dan Ligitan. Keputusan ICJ yang menyebabkan
beberapa politisi Indonesia dan bagian dari medianya memicu anti-Malaysia sentimen. Itu
dari kemudian bahwa Jakarta mulai mengamankan perbatasan maritim dan pulau-pulau
terpencil kecil.Kata Dr Rais: "Kami yakin bahwa kami akan dapat memecahkan klaim
kepemilikan dengan cara yang ramah. Kami harus melakukan ini karena kami menghargai
hubungan kami. "Pada awal 2005, angkatan laut Malaysia dan Indonesia memiliki perselisihan
dekat blok Ambalat yang dipersengketakan ketika Malaysia diberikan hak eksplorasi minyak
di daerah lepas Laut Sulawesi, yang juga diklaim oleh Indonesia, untuk Shell. Pada saat yang
sama, pemerintah Indonesia memberikan izin kepada Eni Italia untuk eksplorasi minyak dan
gas di blok Ambalat. Indonesia kemudian dikirim kapal perang dan jet tempur ke daerah
tersebut, memaksa para pemimpin dari kedua pemerintah untuk segera menyerukan
penghentian kegiatan. Pada hitungan yang terpisah, Dr Rais mengatakan ia akan singkat
semua anggota parlemen pada hari Rabu pada sengketa Pulau Batu Putih diputuskan oleh ICJ
di Den Haag dua hari kemudian.
Baik Malaysia maupun Singapura mengklaim kepemilikan atas pulau karang yang hampir
seukuran lapangan sepak bola. "Kedua pemerintah akan mematuhi keputusan ICJ karena kita
tidak ingin membahayakan hubungan bilateral kita," katanya, menambahkan bahwa Kuala
Lumpur yakin keputusan akan mendukungnya. "Singapura telah menyatakan keyakinannya
bahwa keputusan akan pergi jalan. Tapi kita positif, "katanya. Sementara itu, Radio Televisi
Malaysia akan siaran televisi hidup putusan di Pulau Batu Putih, kata Menteri Informasi Datuk
Ahmad Shabery Cheek. Ahmad Shabery mengatakan, proses hidup akan memungkinkan
Malaysia untuk melihat sendiri apa yang terjadi bukannya mendapatkan informasi dari
saluran asing seperti CNN.

Anda mungkin juga menyukai