Preskas Anemia Aplasia Irna
Preskas Anemia Aplasia Irna
Preskas Anemia Aplasia Irna
Oleh:
dr. Fadhilah Al Hijjah
Pembimbing:
dr. Nur Hidayani
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Program Internsip Dokter
Indonesia di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Presentasi kasus dengan judul:
Oleh:
dr. Fadhilah Al Hijjah
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AM
Usia : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Klopogodo, Gombong
No RM : 355447
Tanggal masuk : 12 Mei 2019
Tanggal periksa : 13 Mei 2019
Berat Badan : 40 kg
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Demam disertai badan lemas
3
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaami keluhan yang sama sekitar 1 bulan yang lalu. 1
bulan yang lalu anak mengalami demam tinggi disertai munculnya bintik-
bintik merah di seuruh tubuh. Pasien dirawat di RS PKU Gombong 1 bulan
yang lalu karena keluhan tersebut dan dari hasil pemeriksaan diagnosis
dengan Anemia Aplasia, dalam perawatan pasien mendapatkan transfusi sel
darah merah serta trombosit dikarenakan jumlahnya yang menurun. Pasien
kemudian dirujuk ke RS Sardjito untuk penatalaksanaan lebih lanjut dan baru
pulang dari perawatan sekitar ±2 minggu yang lalu.
Riwayat alergi disangkal. Riwayat batuk dan pilek berulang disangkal.
Riwayat mudah memar kebiruan saat jatuh disnagkal.
F. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 29 tahun dengan umur kehamilan cukup
bulan secara pervaginam dengan berat badan lahir 3200 gram dan panjang 49
cm, langsung menangis kuat segera setelah lahir dan tidak ada kebiruan.
4
G. Riwayat Imunisasi
a. Dasar:
Hep B0 : 0 bulan
BCG : 1 bulan
Polio : 0,2,4,6 bulan
DPT : 2,4,6 bulan
Campak : 9 bulan
Kesimpulan : imunisasi lengkap sesuai Kemenkes 2006.
J. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan air susu ibu(ASI) eksklusif sejak lahir hingga usia
6 bulan.Pada usia 6 bulan, pasien mulai diberikan mendapatkan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) berupa bubur bayi instan namun jarang, serta
air; kuantitas makan sehari porsi kecil tetapi sering sesuka pasien. Pada usia
8 bulan, pasien masih diberikan MP-ASI berupa bubur bayi instan dan
belum mendapat MP-ASI sayur dan lauk makanan (seperti tempe, tahu,
ikan) seadanya. Pasien mulai makan makanan dewasa pada usia 1 tahun
dengan sayur dan lauk yang beragam
5
c. Mata : Konjungtiva anemis (+/+),sklera ikterik (-/-),refleks cahaya
(+/+), pupil isokor diameter 2mm/2mm.
d. Hidung : napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-) sedikit
e. Mulut : mukosa bibir kering (+), ulkus aphtosa perioral (+) sianosis(-)
faring hiperemis (+), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
f. Telinga : sekret (-/-)
g. Leher : kelenjar getah bening membesar (-).
h. Toraks : retraksi (-)
i. Cor
I : iktus cordis tidak tampak
P : iktus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea midklavikularis
sinistra
P : batas jantung kesan tidak melebar
A :bunyi jantung I-II interval normal, reguler, bising (-)
j. Pulmo
I :pengembangan dinding dada simetris
P: fremitus raba simetris
P: sonor / sonor di seluruh lapang pulmo
A: suara dasar vesikuler +/+ , suara tambahan -/-
k. Abdomen
I : dinding perut sejajardinding dada
A : bising usus (+) normal
P : timpani
P : nyeri tekan (-),supel
l. Ekstremitas :
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -
Arteri dorsalis pedis teraba kuat
Capillary Refill Timekurang dari 2 detik
6
Tampak ptekie dan purpura di tungkai bawah
7
Kesimpulan : Observasi pansitopenia dengan gambaran infeksi viral
Saran : Evaluasi klinis riwayat penyakit yang menyertai, mnitor darah
lengkap, EADT post terapi
V. DIAGNOSIS KERJA
a. Anemia Aplasia
VI. PENATALAKSANAAN
a. Inj paracetamol 500mg/ 8 jam
b. Inj ranitidin 25mg/12 jam
c. Inj ondancentron 2mg/8 jam
d. Inj cefotaxim 1g/8 jam
e. Inj lasix 20 mg pre transfusi
f. Ketricin
g. Transfusi TC 7 kolf
VII. MONITORING
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital, tanda-tanda perdarahan
spontan
8
VIII. EDUKASI
a. Edukasi keluarga tentang penyakit pasien, edukasi untuk menambah
intake makanan dan minuman pasien
b. Pantau jika terdapat perdarahan spontan segera lapor
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
1. 14 Mei 2019; pukul 08.00 (dalam perawatan hari II)
S: demam (+) berkurang makan (+)
Batuk (-) minum (+)
Mual(+) BAK (+)
muntah (-) BAB (+) warna biasa
O:
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kesadaran kualitatif compos mentis, kesadaran
kuantitatif GCS E4V5M6, gizi kesan baik.
b. Tanda Vital:
Suhu : 37.5° C (per axilla)
Nadi : 105 kali/menit, kuat
Frekuensi napas : 24 kali/menit
c. Mata:
Conjunctiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokhor dengan diameter 2 mm/ 2 mm.
d. Telinga:
9
Sekret (-/-).
e. Hidung:
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-).
f. Mulut:
Mukosa basah (+), sianosis (-), sariawan(+)
g. Tenggorok:
Pharynx hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-/-).
h. Leher:
Kelenjar getah bening tidak membesar.
i. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I dan II interval normal, regular, bising (-)
j. Pulmo:
Inspeksi : pengembangan dinding thorax simetris
Palpasi : fremitus raba simetris
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
k. Abdomen:
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding thorax
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
l. Extremitas:
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -
Arteria dorsalis pedis teraba kuat
10
CRT < 2 detik
Ptekie (+) purpura(+)
A: Anemia Aplasia
P:
a. Inj paracetamol 500mg/ 8 jam
b. Inj ranitidin 25mg/12 jam
c. Inj ondancentron 2mg/8 jam
d. Inj cefotaxim 1g/8 jam
e. Inj lasix 20 mg pre transfusi
f. Ketricin
g. Transfusi PRC 2 kolf, masuk 1 kolf per hari
a. Pemantauan:
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital
b. Mengawasi jika ada perdarahan spontan
11
Mual(-) BAK (+)
muntah (-) BAB (+) warna biasa
sariawan membaik
O:
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kesadaran kualitatif compos mentis, kesadaran
kuantitatif GCS E4V5M6, gizi kesan baik.
b. Tanda Vital:
Suhu : 36.5° C (per axilla)
Nadi : 95 kali/menit, kuat
Frekuensi napas : 23 kali/menit
c. Mata:
Conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokhor dengan diameter 2 mm/ 2 mm.
d. Telinga:
Sekret (-/-).
e. Hidung:
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-).
f. Mulut:
Mukosa basah (+), sianosis (-), sariawan(+) berkurang
g. Tenggorok:
Pharynx hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-/-).
h. Leher:
Kelenjar getah bening tidak membesar.
i. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
12
Auskultasi: bunyi jantung I dan II interval normal, regular, bising (-)
j. Pulmo:
Inspeksi : pengembangan dinding thorax simetris
Palpasi : fremitus raba simetris
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
k. Abdomen:
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding thorax
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
l. Extremitas:
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -
Arteria dorsalis pedis teraba kuat
CRT < 2 detik
Ptekie(+) purpura(-)
13
A: Anemia Aplasia
P:
h. Inj paracetamol 500mg/ 8 jam
i. Inj ranitidin 25mg/12 jam
j. Inj ondancentron 2mg/8 jam
k. Inj cefotaxim 1g/8 jam
l. Inj lasix 20 mg pre transfusi
m. Ketricin
n. Transfusi TC 4 kantong
b. Pemantauan:
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital
b. Mengawasi jika ada perdarahan spontan
O:
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kesadaran kualitatif compos mentis, kesadaran
kuantitatif GCS E4V5M6, gizi kesan baik.
m. Tanda Vital:
Suhu : 36.5° C (per axilla)
Nadi : 90 kali/menit, kuat
Frekuensi napas : 22 kali/menit
n. Mata:
14
Conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokhor dengan diameter 2 mm/ 2 mm.
o. Telinga:
Sekret (-/-).
p. Hidung:
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-).
q. Mulut:
Mukosa basah (+), sianosis (-), sariawan(+)
r. Tenggorok:
Pharynx hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-/-).
s. Leher:
Kelenjar getah bening tidak membesar.
t. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I dan II interval normal, regular, bising (-)
u. Pulmo:
Inspeksi : pengembangan dinding thorax simetris
Palpasi : fremitus raba simetris
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
v. Abdomen:
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding thorax
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
w. Extremitas:
Edema Akral dingin
15
- - - -
- - - -
Arteria dorsalis pedis teraba kuat
CRT < 2 detik
Ptekie(-)
A: Anemia Aplasia
P:
a. Boleh pulang dengan edukasi penyakit, dengan trombositopenia berat
resiko terjadinya perdarahan. Terus awasi adanya tanda-tanda perdarahan
spontan
b. Elkana 1x1
c. cotrimoxazol 2x480
d. mps 2x8 mg
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat berat
pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian insidens pada laki-laki lebih banyak
dibanding wanita.4
The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French
Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,5 Frekuensi tertinggi
anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua
terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur
Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta
penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan
kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.2
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti
peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang
tinggal di Amerika.5 Faktor lingkungan mungkin infeksi virus antara lain virus
hepatitis diduga memegang peranan penting1,6
17
2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa5 :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50%
kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).
18
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui.1,9 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi
virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).
19
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat
sensitif.1,11 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik.
Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan
fibrosis.5
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum
tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang.
Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis
yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv
(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.
Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis
20
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan
anemia aplastik.12
2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang
dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran
atau nitrosourea.5
21
Anti inflamasi Penisillamin, Diklofenak, ibuprofen,
fenilbutazon, indometasin, naproxen,
oksifenbutazon sulindac
Anti mikroba
Anti bakteri Kloramfenikol Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
β-lactam antibiotik
Anti fungal Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Obat Anti neoplasma
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Anti metabolit Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet Tiklopidin
Anti tiroid Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat,
propiltiourasil, sodium
thiosianat
Sedative dan Klordiazepoxide,
tranquilizer Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Sulfonamid dan turunannya
Anti bakteri Numerous sulfonamides
Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,
furosemide
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
22
Lain-lain Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko
rendah.
2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi
hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat
hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus
B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik
kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang
imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.1,11,12
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat
menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan
sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,
inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel
atau destruksi jaringan stroma penunjang.1
23
2.4.7 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia
dengan hipoplasia sumsum tulang.5
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat
bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia
mengkin termasuk kelainan PNH.5
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi
hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan
mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan
membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama
kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.2
2.5 Patogenesis9
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik
yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen
toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang
paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka.
Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami
perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia
Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan
akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu
kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan
perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan
24
gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen
dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini
dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA
dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun
mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi
antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,
yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
25
bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan.
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.5
26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0
27
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya
trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin
ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.5
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe
serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi
Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.2
28
2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya
memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan
digantikan oleh jaringan lemak.
2.8 Diagnosa2,7,8
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai
sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut
dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1).
29
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan
anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat
morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan
anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia
menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering
ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).2
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan
adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.13,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan
sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum
tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien
(lihat tabel 7).2
30
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik2
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.2 Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat
dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15
31
Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15
a. Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok
HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif
32
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah metylprednisolon,
antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A
(CsA). ATG atau ALG diindikasikan pada15 :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Metilprednisolon16
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilpred-nisolon dosis rendah 2-4
mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan gejala
serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons pengobatan yang
baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/ berat badan secara
intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan dosis 1mg/kg berat
badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari. Pemakaian
kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin tidak tersedia atau terlalu
mahal. Efek samping antara lain ulkus peptikum, edem, hiperglikemia, dan
osteonekrosis.
33
badan /hari selama 4-6 jam dengan infus intravena selama 8 hari berturut-turut yang
dikombinasikan dengan prednison 40mg/ m2/hari selama 5 hari dimulai pada hari
terakhir pemberian ALG. ALG dapat menyebabkan perasaan panas dingin,
kemerahan, trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan terapi menggunakan
ALG tunggal sekitar 50%.
Siklosporin A (CsA) 16
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral, sebagai
inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan interleukin-2 dan
interferon-y. Dan dapat menghambat reaksi imun seperti penolakan jaringan
transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8 mg/kg berat badan /hari
peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg berat badan /hari pada
anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis kemudian dipertahankan pada
kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek toksik. Bila ditemukan efek toksik, terapi
dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah.
34
Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin
dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi sistem hematopoetik sekitar 70%.
Siklofosfamid (CPA) 16
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada saat
penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum tulang.
Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard.
Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin berhubungan
dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma. Sejumlah peneliti menyatakan dosis
terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan / hari selama 4 hari berturut-turut.
Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang diberikan akan meningkatkan efek tosik yang
serius dan efek terapi yang ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi
kombinasi. Penelitian yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia aplastik berat
dengan CPA 45mg/kg berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif
dibandingkan dengan imunosupresan konvensional lainnya, dalam hal memperbaiki
hematopoesis normal dan pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal sekunder,
meskipun tanpa dilakukan TST.21 Penelitian yang dilakukan terhadap 19 pasien yang
diberikan CPA dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan
hasil terapi CPA dosis tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia
aplastik berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
transplantasi sumsum tulang.
35
hari dan 10-12 mg/kg berat badan /hari, siklosporin A selama 6 bulan dan pemberian
jangka pendek kortikosteroid didapatkan kurang lebih setengah dan pasien anemia
aplastik berat mempunyai waktu penyembuhan yang lebih baik dengan hasil jangka
panjang yang memuaskan.
Penelitian terbaru yang mengkombinasikan ATG dengan siklosporin pada
pasien anemia aplastik berat didapatkan hasil peningkatan angka kesintasan 7 tahun
yang memuaskan pada 55% kasus. Kom-binasi ATG dan CsA merupakan terapi
imuno-supresan lini pertama untuk pasien dengan anemia aplastik berat.
36
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,
namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.2,8
37
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.2,8
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat
mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal
ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
2.11 Prognosis2
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah
absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang
dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah
netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap
imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik
tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa.
Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan
glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan
sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien
yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita
gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada
38
pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi
stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi
dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom
myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada
mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama
15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38%
yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang
sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki
toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun
memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
12. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2005.
13. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
16. Isyanto, Abdulsalam M. Sari Pediatri, Vol 7, No.1, Juni 2005; 26-33.
41