Preskas Anemia Aplasia Irna

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 41

Presentasi Kasus

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 13 TAHUN DENGAN ANEMIA


APLASTIK

Oleh:
dr. Fadhilah Al Hijjah

Pembimbing:
dr. Nur Hidayani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT ISLAM PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
KEBUMEN - JAWA TENGAH
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Program Internsip Dokter
Indonesia di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Presentasi kasus dengan judul:

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 13 TAHUN DENGAN IMUN


TROMBOSITOPENIA PURPURA

Hari/tanggal : Juli 2019

Oleh:
dr. Fadhilah Al Hijjah

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Nur Hidayani

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AM
Usia : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Klopogodo, Gombong
No RM : 355447
Tanggal masuk : 12 Mei 2019
Tanggal periksa : 13 Mei 2019
Berat Badan : 40 kg

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Demam disertai badan lemas

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, terus
menerus, turun hanya jika meminum obat penurun panas, tidak menggigil,
tidak berkeringat, tidak disertai kejang. Mual dan muntah sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit, isi apa yang dimakan, frekuensi 2-3x/ hari. Sariawan di
bibir sejak 5 hari sebelum masuk RS sampai berwarna biru tua kehitaman.
Muncul bintik-bintik di tungkai bawah kiri sejak 2 hari sebelum masuk RS,
hanya meluas di sekitar tungkai bawah.
Tidak ditemukan batuk, pilek ataupun sesak nafas sebelumnya. Anak
tidak mengalami gusi bedarah, mimisan ataupun muntah darah. Buang air
kecil warna dan frekuensi biasa, Buang air besar juga dengan warna dan
konsistensi biasa. Nafsu makan anak dirasakan masih baik.

3
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaami keluhan yang sama sekitar 1 bulan yang lalu. 1
bulan yang lalu anak mengalami demam tinggi disertai munculnya bintik-
bintik merah di seuruh tubuh. Pasien dirawat di RS PKU Gombong 1 bulan
yang lalu karena keluhan tersebut dan dari hasil pemeriksaan diagnosis
dengan Anemia Aplasia, dalam perawatan pasien mendapatkan transfusi sel
darah merah serta trombosit dikarenakan jumlahnya yang menurun. Pasien
kemudian dirujuk ke RS Sardjito untuk penatalaksanaan lebih lanjut dan baru
pulang dari perawatan sekitar ±2 minggu yang lalu.
Riwayat alergi disangkal. Riwayat batuk dan pilek berulang disangkal.
Riwayat mudah memar kebiruan saat jatuh disnagkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
Riwayat alergi dalam keluarga disangkal.

E. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Selama hamil, ibu pasien rajin melakukan pemeriksaan kehamilan di
bidan. Pada trimester I ibu pasien melakukan kontrol sebanyak1x dalam 2
bulan. Pada trimester II ibu pasien melakukan kontrol sebanyak 1x/bulan dan
pada trimester ke III juga melakukan kontrol 1x/minggu. Tidak ada keluhan
selama kehamilan berupa mual, muntah pada awal usia kehamilan. Obat-
obatan yang diminum selama masa kehamilan meliputi vitamin dan tablet
penambah darah. Kesan kehamilan dalam batas normal.

F. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 29 tahun dengan umur kehamilan cukup
bulan secara pervaginam dengan berat badan lahir 3200 gram dan panjang 49
cm, langsung menangis kuat segera setelah lahir dan tidak ada kebiruan.

4
G. Riwayat Imunisasi
a. Dasar:
Hep B0 : 0 bulan
BCG : 1 bulan
Polio : 0,2,4,6 bulan
DPT : 2,4,6 bulan
Campak : 9 bulan
Kesimpulan : imunisasi lengkap sesuai Kemenkes 2006.

J. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan air susu ibu(ASI) eksklusif sejak lahir hingga usia
6 bulan.Pada usia 6 bulan, pasien mulai diberikan mendapatkan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) berupa bubur bayi instan namun jarang, serta
air; kuantitas makan sehari porsi kecil tetapi sering sesuka pasien. Pada usia
8 bulan, pasien masih diberikan MP-ASI berupa bubur bayi instan dan
belum mendapat MP-ASI sayur dan lauk makanan (seperti tempe, tahu,
ikan) seadanya. Pasien mulai makan makanan dewasa pada usia 1 tahun
dengan sayur dan lauk yang beragam

Kesan: kualitas asupan gizi cukup baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK(14/5/2019)


1. Status Generalis
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kompos mentis (GCS:E4V5M6), gizi kesan baik
b. Tanda vital
Laju nadi : 108x/menit, isi cukup, tegangan cukup
Laju napas : 24x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 38,7° C (per axiller)

5
c. Mata : Konjungtiva anemis (+/+),sklera ikterik (-/-),refleks cahaya
(+/+), pupil isokor diameter 2mm/2mm.
d. Hidung : napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-) sedikit
e. Mulut : mukosa bibir kering (+), ulkus aphtosa perioral (+) sianosis(-)
faring hiperemis (+), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
f. Telinga : sekret (-/-)
g. Leher : kelenjar getah bening membesar (-).
h. Toraks : retraksi (-)
i. Cor
I : iktus cordis tidak tampak
P : iktus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea midklavikularis
sinistra
P : batas jantung kesan tidak melebar
A :bunyi jantung I-II interval normal, reguler, bising (-)
j. Pulmo
I :pengembangan dinding dada simetris
P: fremitus raba simetris
P: sonor / sonor di seluruh lapang pulmo
A: suara dasar vesikuler +/+ , suara tambahan -/-
k. Abdomen
I : dinding perut sejajardinding dada
A : bising usus (+) normal
P : timpani
P : nyeri tekan (-),supel
l. Ekstremitas :
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -
Arteri dorsalis pedis teraba kuat
Capillary Refill Timekurang dari 2 detik

6
Tampak ptekie dan purpura di tungkai bawah

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium 12/5/2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH LENGKAP
AL 3.49 rb/ul 3.8-10.6
AE 3.11 juta/L 4.4-5.9
Hb 8.6 gr/dl 13.2-17.3
Hct 25.3 % 40-52
MCV 81.4 fL 80-100
MCH 27.8 Pg 26-34
MCHC 34.1 g/dl 32-36
AT 12 rb/ul 150-440
HITUNG JENIS
Basofil 0.3 % 0.0-1.0
Eosinofil 3.1 % 2.0-4.0
Neutrofil 46.5 % 50.00-70.00
Limfosit 44 % 25.0-40.0
Monosit 6.1 % 2.0-8.0
GDS 122 Mg/dl 70-105

Morfologi darah tepi


Eritrosit : Normositik normokrom
Leukosit : Jumlah kurang, limfosit > PMN, limfosit atipik
Trombosit : Jumlah sangat kurang, penyebaran merata, morfologi normal
Kesan : - Anemia normositik normokrom
- Leukopenia dengan atypical limfosit
- Trombositopenia

7
Kesimpulan : Observasi pansitopenia dengan gambaran infeksi viral
Saran : Evaluasi klinis riwayat penyakit yang menyertai, mnitor darah
lengkap, EADT post terapi

IV. DAFTAR MASALAH


Anak laki-laki umur 13 tahun dengan :
- Demam sejak 5 hari
- Muncul bintik-bintik merah di tungkai bawah
- Muntah-muntah
- Sariawan di peri oral
- Keadaan umum tampak sakit sedang
- Suhu febris
- Ptekie dan purpura di tungkai bawah

V. DIAGNOSIS KERJA
a. Anemia Aplasia

VI. PENATALAKSANAAN
a. Inj paracetamol 500mg/ 8 jam
b. Inj ranitidin 25mg/12 jam
c. Inj ondancentron 2mg/8 jam
d. Inj cefotaxim 1g/8 jam
e. Inj lasix 20 mg pre transfusi
f. Ketricin
g. Transfusi TC 7 kolf

VII. MONITORING
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital, tanda-tanda perdarahan
spontan

8
VIII. EDUKASI
a. Edukasi keluarga tentang penyakit pasien, edukasi untuk menambah
intake makanan dan minuman pasien
b. Pantau jika terdapat perdarahan spontan segera lapor

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP
1. 14 Mei 2019; pukul 08.00 (dalam perawatan hari II)
S: demam (+) berkurang makan (+)
Batuk (-) minum (+)
Mual(+) BAK (+)
muntah (-) BAB (+) warna biasa

O:
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kesadaran kualitatif compos mentis, kesadaran
kuantitatif GCS E4V5M6, gizi kesan baik.
b. Tanda Vital:
Suhu : 37.5° C (per axilla)
Nadi : 105 kali/menit, kuat
Frekuensi napas : 24 kali/menit
c. Mata:
Conjunctiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokhor dengan diameter 2 mm/ 2 mm.
d. Telinga:

9
Sekret (-/-).
e. Hidung:
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-).
f. Mulut:
Mukosa basah (+), sianosis (-), sariawan(+)
g. Tenggorok:
Pharynx hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-/-).
h. Leher:
Kelenjar getah bening tidak membesar.
i. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I dan II interval normal, regular, bising (-)
j. Pulmo:
Inspeksi : pengembangan dinding thorax simetris
Palpasi : fremitus raba simetris
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
k. Abdomen:
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding thorax
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
l. Extremitas:
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -
Arteria dorsalis pedis teraba kuat

10
CRT < 2 detik
Ptekie (+) purpura(+)

Lab post transfusi 7 kantong TC


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH LENGKAP
AL 2.62 rb/ul 3.8-10.6
AE 2.25 juta/L 4.4-5.9
Hb 6.4 gr/dl 13.2-17.3
Hct 17.6 % 40-52
MCV 78.2 fL 80-100
MCH 28.5 Pg 26-34
MCHC 36.4 g/dl 32-36
AT 36 rb/ul 150-440

A: Anemia Aplasia
P:
a. Inj paracetamol 500mg/ 8 jam
b. Inj ranitidin 25mg/12 jam
c. Inj ondancentron 2mg/8 jam
d. Inj cefotaxim 1g/8 jam
e. Inj lasix 20 mg pre transfusi
f. Ketricin
g. Transfusi PRC 2 kolf, masuk 1 kolf per hari

a. Pemantauan:
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital
b. Mengawasi jika ada perdarahan spontan

2. 17 Mei 2019; pukul 08.00 (dalam perawatan hari V)


S: demam (-) makan (+)
Batuk (-) minum (+)

11
Mual(-) BAK (+)
muntah (-) BAB (+) warna biasa
sariawan membaik

O:
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kesadaran kualitatif compos mentis, kesadaran
kuantitatif GCS E4V5M6, gizi kesan baik.
b. Tanda Vital:
Suhu : 36.5° C (per axilla)
Nadi : 95 kali/menit, kuat
Frekuensi napas : 23 kali/menit
c. Mata:
Conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokhor dengan diameter 2 mm/ 2 mm.
d. Telinga:
Sekret (-/-).
e. Hidung:
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-).
f. Mulut:
Mukosa basah (+), sianosis (-), sariawan(+) berkurang
g. Tenggorok:
Pharynx hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-/-).
h. Leher:
Kelenjar getah bening tidak membesar.
i. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar

12
Auskultasi: bunyi jantung I dan II interval normal, regular, bising (-)
j. Pulmo:
Inspeksi : pengembangan dinding thorax simetris
Palpasi : fremitus raba simetris
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
k. Abdomen:
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding thorax
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
l. Extremitas:
Edema Akral dingin
- - - -
- - - -
Arteria dorsalis pedis teraba kuat
CRT < 2 detik
Ptekie(+) purpura(-)

Lab post transfusi 2 kantong PRC


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH LENGKAP
AL 2.95 rb/ul 3.8-10.6
AE 4.16 juta/L 4.4-5.9
Hb 11.3 gr/dl 13.2-17.3
Hct 33.9 % 40-52
MCV 81.6 fL 80-100
MCH 27.1 Pg 26-34
MCHC 33.2 g/dl 32-36
AT 16 rb/ul 150-440

13
A: Anemia Aplasia
P:
h. Inj paracetamol 500mg/ 8 jam
i. Inj ranitidin 25mg/12 jam
j. Inj ondancentron 2mg/8 jam
k. Inj cefotaxim 1g/8 jam
l. Inj lasix 20 mg pre transfusi
m. Ketricin
n. Transfusi TC 4 kantong

b. Pemantauan:
a. Mengawasi keadaan umum, tanda-tanda vital
b. Mengawasi jika ada perdarahan spontan

3. 19 Mei 2019; pukul 08.00 (dalam perawatan hari VII)


S: demam (-) makan (+)
Batuk (-) minum (+)
Mual(-) BAK (+)
muntah (-) BAB (+) warna biasa

O:
a. Keadaan Umum:
Tampak sakit sedang, kesadaran kualitatif compos mentis, kesadaran
kuantitatif GCS E4V5M6, gizi kesan baik.
m. Tanda Vital:
Suhu : 36.5° C (per axilla)
Nadi : 90 kali/menit, kuat
Frekuensi napas : 22 kali/menit
n. Mata:

14
Conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokhor dengan diameter 2 mm/ 2 mm.
o. Telinga:
Sekret (-/-).
p. Hidung:
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-).
q. Mulut:
Mukosa basah (+), sianosis (-), sariawan(+)
r. Tenggorok:
Pharynx hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-/-).
s. Leher:
Kelenjar getah bening tidak membesar.
t. Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercosta 4 linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I dan II interval normal, regular, bising (-)
u. Pulmo:
Inspeksi : pengembangan dinding thorax simetris
Palpasi : fremitus raba simetris
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang pulmo
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
v. Abdomen:
Inspeksi : dinding abdomen sejajar dinding thorax
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-), supel
w. Extremitas:
Edema Akral dingin

15
- - - -
- - - -
Arteria dorsalis pedis teraba kuat
CRT < 2 detik
Ptekie(-)

Lab post transfusi 4 kantong TC


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH LENGKAP
AL 3.11 rb/ul 3.8-10.6
AE 4.50 juta/L 4.4-5.9
Hb 12.0 gr/dl 13.2-17.3
Hct 36.4 % 40-52
MCV 80.9 fL 80-100
MCH 26.7 Pg 26-34
MCHC 33.0 g/dl 32-36
AT 20 rb/ul 150-440

A: Anemia Aplasia
P:
a. Boleh pulang dengan edukasi penyakit, dengan trombositopenia berat
resiko terjadinya perdarahan. Terus awasi adanya tanda-tanda perdarahan
spontan
b. Elkana 1x1
c. cotrimoxazol 2x480
d. mps 2x8 mg

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia Aplastik


Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.1 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.2 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.3

2.2 Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat berat
pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian insidens pada laki-laki lebih banyak
dibanding wanita.4
The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French
Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,5 Frekuensi tertinggi
anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua
terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur
Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta
penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan
kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.2
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti
peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang
tinggal di Amerika.5 Faktor lingkungan mungkin infeksi virus antara lain virus
hepatitis diduga memegang peranan penting1,6

17
2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa5 :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50%
kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.2,7,8


Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
 netrofil < 0,5x109/l
 trombosit <20x109 /l
 retikulosit < 20x109 /l
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l
Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl

2.4 Etiologi Anemia Aplastik

18
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui.1,9 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi
virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.10,11


Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi

19
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat
sensitif.1,11 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik.
Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan
fibrosis.5
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum
tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang.
Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis
yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv
(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.
Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis

20
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan
anemia aplastik.12

2.4.2 Bahan-bahan Kimia


Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.12

2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang
dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran
atau nitrosourea.5

Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik2

Kategori Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah


Menengah
Analgesik Fenasetin, aspirin,
salisilamide
Anti aritmia Kuinidin, tokainid
Anti artritis Garam Emas Kolkisin
Anti konvulsan Karbamazepin, Etosuksimid,
hidantoin, Fenasemid, primidon,
felbamat trimethadion, sodium
valproate
Anti histamin Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi Captopril, methyldopa

21
Anti inflamasi Penisillamin, Diklofenak, ibuprofen,
fenilbutazon, indometasin, naproxen,
oksifenbutazon sulindac
Anti mikroba
Anti bakteri Kloramfenikol Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
β-lactam antibiotik
Anti fungal Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Obat Anti neoplasma
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Anti metabolit Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet Tiklopidin
Anti tiroid Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat,
propiltiourasil, sodium
thiosianat
Sedative dan Klordiazepoxide,
tranquilizer Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Sulfonamid dan turunannya
Anti bakteri Numerous sulfonamides
Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,
furosemide
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide

22
Lain-lain Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko
rendah.

2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi
hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat
hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus
B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik
kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang
imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.1,11,12
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat
menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan
sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,
inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel
atau destruksi jaringan stroma penunjang.1

2.4.5 Faktor Genetik


Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian
dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia
Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia
sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius,
mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.5

23
2.4.7 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia
dengan hipoplasia sumsum tulang.5
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat
bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia
mengkin termasuk kelainan PNH.5
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi
hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan
mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan
membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama
kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.2

2.5 Patogenesis9
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik
yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen
toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang
paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka.
Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami
perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia
Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan
akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu
kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan
perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan

24
gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen
dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini
dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA
dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun
mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi
antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,
yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen
lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi
peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik
bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan
pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.13 Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah
anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga
dikeluhkan.3
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat

25
bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan.

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)5


Jenis Keluhan %
Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.5

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik5


Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Pendarahan 63
Kulit 34
Gusi 26

26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan
bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis.5
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat
pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit
kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang
dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,5
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit
bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic
anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang
berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik
trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan
berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia
aplastik dapat ditegakkan.2

27
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya
trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin
ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.5
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe
serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi
Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.2

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan
daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,
sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini.
Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler
atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.2
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran
hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis
(misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area
fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi
dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.2,11
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30%
sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada
individu yang berumur lebih dari 60 tahun.1
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari
30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.2

28
2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya
memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan
digantikan oleh jaringan lemak.

2.8 Diagnosa2,7,8
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai
sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut
dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1).

2.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.

Table 6 Penyebab Pansitopenia14


Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang

29
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan
anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat
morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan
anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia
menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering
ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).2
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan
adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.13,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan
sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum
tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.

2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien
(lihat tabel 7).2

30
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik2

 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga


menjadi penyebab anemia aplastik.
 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
 Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang
dibutuhkan.
 Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
 Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik
tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan
kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)
pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-
CSF.
 Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.2 Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat
dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15

31
Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15

a. Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok
HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.

b. Terapi Imunosupresif

32
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah metylprednisolon,
antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A
(CsA). ATG atau ALG diindikasikan pada15 :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3

Metilprednisolon16
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilpred-nisolon dosis rendah 2-4
mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan gejala
serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons pengobatan yang
baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/ berat badan secara
intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan dosis 1mg/kg berat
badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari. Pemakaian
kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin tidak tersedia atau terlalu
mahal. Efek samping antara lain ulkus peptikum, edem, hiperglikemia, dan
osteonekrosis.

Antilimfosit globulin (ALG) 16


Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan siklosponin
berperan dalam meng-hambat fungsi sel T, khususnya dalam produksi limfokin-
limfokin supresif. Pemberian ALG secara cepat akan mengurangi limfosit dalam
sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika limfosit total kembali normal berarti
limfosit T aktif jumlahnya berkurang. Sediaan ALG invitro merangsang proliferasi
sel T dan mempromosikan sekresi beberapa faktor pertumbuhan. Antilimfosit
globulin dapat diberikan dengan dosis 40 mg/kg berat badan /hari selama 12 jam
dilanjutkan dengan infus yang dikombinasikan dengan metilprednisolon 1mg/kg
berat badan /hari intravena selama 4 hari. Dapat juga diberikan dosis 20mg/kg berat

33
badan /hari selama 4-6 jam dengan infus intravena selama 8 hari berturut-turut yang
dikombinasikan dengan prednison 40mg/ m2/hari selama 5 hari dimulai pada hari
terakhir pemberian ALG. ALG dapat menyebabkan perasaan panas dingin,
kemerahan, trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan terapi menggunakan
ALG tunggal sekitar 50%.

Antitymocyt Globulin (ATG) 16


Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun dengan mengubah
fungsi sel T atau menghilang-kan sel reaktif antigen. Dosis yang diberikan 100-
200mg/kg berat badan intravena. Kontraindikasi ATG adalah reaksi hipersensitivitas,
keadaan leukopenia dan atau trombositopenia. Penelitian yang membanding-kan hasil
akhir antara tata laksana anemia aplastik dengan ATG dan transplantasi sumsum
tulang (TST) dilaporkan bahwa pada 155 pasien anemia aplastik dewasa yang diterapi
dengan TST lebih baik dibandingkan dengan penggunaan ATG tunggal sesuai
protokol terbaru. The European blood and marrow transplant severe anemia aplastic
working party melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang
diberikan terapi imunosupresan. Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG
dan siklosporin A lebih baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok respons
hematologi, kualitas respons dan kematian awal.

Siklosporin A (CsA) 16
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral, sebagai
inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan interleukin-2 dan
interferon-y. Dan dapat menghambat reaksi imun seperti penolakan jaringan
transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8 mg/kg berat badan /hari
peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg berat badan /hari pada
anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis kemudian dipertahankan pada
kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek toksik. Bila ditemukan efek toksik, terapi
dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah.

34
Respons terapi dengan siklosporin tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin
dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi sistem hematopoetik sekitar 70%.

Siklofosfamid (CPA) 16
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada saat
penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum tulang.
Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard.
Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin berhubungan
dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma. Sejumlah peneliti menyatakan dosis
terapi yang diberikan adalah 50mg/kg berat badan / hari selama 4 hari berturut-turut.
Tetapi perlu diingat dosis tinggi yang diberikan akan meningkatkan efek tosik yang
serius dan efek terapi yang ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi
kombinasi. Penelitian yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia aplastik berat
dengan CPA 45mg/kg berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif
dibandingkan dengan imunosupresan konvensional lainnya, dalam hal memperbaiki
hematopoesis normal dan pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal sekunder,
meskipun tanpa dilakukan TST.21 Penelitian yang dilakukan terhadap 19 pasien yang
diberikan CPA dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama 4 hari didapatkan
hasil terapi CPA dosis tinggi tanpa TST membuat remisi bebas pada pasien anemia
aplastik berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan
transplantasi sumsum tulang.

Terapi obat kombinasi16


Kombinasi obat-obat imunosupresan pada terapi pasien anemia aplastik
hasilnya Iebih memuaskan dibandingkan dengan imunosupresan tunggal. Kombinasi
ALG, metilprednisolon dan siklosporin A menghasilkan remisi parsial atau total
sebesar 65%.vKombinasi lain antara ATG, siklosporin A dan G-CSF dilaporkan
memberikan respon hematopoetik yang memuaskan dengan penurunan angka
kematian. Penelitian yang dilakukan Stephen Rosenfeld dkk, dengan metode kohort
pada 122 pasien yang diberikan 40 mg/kg berat badan /hari dengan ATG selama 4

35
hari dan 10-12 mg/kg berat badan /hari, siklosporin A selama 6 bulan dan pemberian
jangka pendek kortikosteroid didapatkan kurang lebih setengah dan pasien anemia
aplastik berat mempunyai waktu penyembuhan yang lebih baik dengan hasil jangka
panjang yang memuaskan.
Penelitian terbaru yang mengkombinasikan ATG dengan siklosporin pada
pasien anemia aplastik berat didapatkan hasil peningkatan angka kesintasan 7 tahun
yang memuaskan pada 55% kasus. Kom-binasi ATG dan CsA merupakan terapi
imuno-supresan lini pertama untuk pasien dengan anemia aplastik berat.

c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian
faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon
terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang
refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.15
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-
Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan
tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan
neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi
anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan
untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien9,15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin
dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia
aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen
digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi
imunosupresif.2,15

d. Transplantasi sumsum tulang

36
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,
namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.2,8

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum


tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.8

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival


yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.8 Pasien
dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi
survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah

37
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.2,8
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat
mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal
ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

2.11 Prognosis2
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah
absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang
dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah
netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap
imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik
tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa.
Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan
glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan
sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien
yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita
gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada

38
pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi
stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi
dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom
myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada
mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama
15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38%
yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang
sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki
toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun
memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic


Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
2. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
3. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-
London: Lee& Febiger, 1993;911-43.
4. Ugrasena, IDG Anemia aplastik. In: Buku Ajar Hemato – Onkologi Anak Edisi
Kedua. Badan Penerbit IDAI, 2006; 10-16.
5. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
6. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
7. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
8. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al
(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,
2005;190-206.
9. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
10. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik
2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6.
11. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.

40
12. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2005.
13. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
16. Isyanto, Abdulsalam M. Sari Pediatri, Vol 7, No.1, Juni 2005; 26-33.

41

Anda mungkin juga menyukai