REFERAT
SPINAL ANASTESI
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Dr.Sylvia Sukmadewi, Sp.An
REFERAT
SMF ILMU BEDAH BAGIAN ANASTESI
JUDUL
“SPINAL ANASTESI”
Disusun Oleh :
Dokter Pembimbing
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan berkatNya, saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Spinal Anastesi” sesuai
waktu yang telah ditentukan.
Tugas referat ini merupakan tugaskepaniteraan klinik dari SMF Ilmu Bedah
Bagian Anastesi di RSUD. dr. Mohamad Saleh Probolinggo.
Didalam proses penyusunan referat ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan dan
dukungannya kepada saya sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena
itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr.Sylvia Sukmadewi, Sp.An selaku pembimbing, atas bimbingannya kepada
saya sehingga referat ini dapat diselesaikan.
2. Orang tua saya yang telah memberikan dukungan moral dan spiritual kepada
saya.
3. Teman-teman sejawat dokter muda Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma
Surabaya untuk masukan-masukan yang membangun.
Saya menyadari bahwa tugas referat ini masih banyak kekurangan, untuk itu saya
memohon maaf atas kekurangan dan saya mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan tugas ini. Untuk itu saya ucapkan terima kasih. Saya berharap semoga
referat ini dapat berguna bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah ‘anestesi’ berasal dari Bahasa Yunani an yang artinya tidak, dan
aisthesis yang artinya perasaan. Secara umum anestesi berarti kehilangan perasaan
atau sensasi. Walaupun demikian, istilah ini terutama digunakan untuk kehilangan
perasaan nyeri yang diinduksi untuk memungkinkan dilakukannya pembedahan
atau prosedur lain yang menimbulkan rasa nyeri.1
Tipe anestesia dibagi menjadi 3 yaitu anestesia umum, anestesia lokal dan
anestesia regional. Anestesia regional dibagi lagi menjadi 2 teknik yaitu teknik
pusat (central technique) seperti anestesia epidural serta anestesia spinal dan
teknik tepi ( peripheral technique) seperti blok plexus serta blok saraf tunggal.2
Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang paling
sering digunakan terutama untuk prosedur bedah pada daerah abdomen bawah
serta ekstremitas bagian bawah. Banyak keuntungan yang diperoleh dari teknik
anestesia regional terutama anestesia spinal, antara lain adalah prosedur
pelaksanaan yang lebih singkat, mula kerja cepat, kualitas blokade sensorik dan
motorik yang lebih baik, mampu mencegah respons stres lebih sempurna, serta
dapat menurunkan perdarahan intraoperatif.3
1.2 TUJUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi spinal 6,3.
Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul,
tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi,
2. Bedah panggul
5. Bedah urologi
1. Hipotensi berat akibat blok simpatik terjadi venous pooling dan dapat
menurunkan curah balik ke jantung sehingga menyebabka penurunan
curah jantung dan tekanan darah.
2. Bradikardia terjadi akibat blok sampai T2-3 dan dapat terjadi tanpa
disertai hippotensi atau hipoksia.
3. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas.
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual dan muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi, atau spinal total
2.6. Anatomi
Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral
(Gambar 16–1). Ada 7 cervical (bhb.dg.tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, dan 5
ruas verbrae lumbalis dan 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu
satu sama lain (Gambar 16–2). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi
sebagai tulang penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang
belakang juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya9.
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masing–masing
radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil),yang
terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix
mempunyai sebuah ganglion radix posterior, yang axon sel–selnya memberikan
serabut–serabutsaraf perifer dan pusat10.
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis
tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah
lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu
turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf
spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung
tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan10.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang
saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5
pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co)10.
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal
tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar
saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna
vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan
sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang),
sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari
kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai
kauda ekuina ”ekor kuda”karena penampakannya10.
gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau
otot-otot antigravitasi.
kembali dari rantai simpatis menuju saraf-saraf spinal melalui rami abu-abu.srabut
simpatis ini semuanya menrupakan serabut tipe C yang sangat kecil,dan serabut
Serabut ini mengatur pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot piloerktal
rambut. Kira-kira 8 persen serabut dan saraf skeletal adalah serabut simpatis, hal
Jaras simpatis yang berasal dari berbagai segmen medula spinalis tak perlu
somatik dari segmen yang sama. Justru saraf simpatis dari medula pada segmen
T-1 umumnya melewati rantai simpatis naik untuk berakhir di daerah kepala, dari
T-2 untuk berakhir di daerah leher dari T-3,T-4,T-5 dan T-6 di daerah thoraks,
dari T-7,T-8, T-9,T-10, dan T-11 ke abdomen, dan dari T-12, L-1 dan L-2 ke
daerah tungkai. Pembagian ini kuran lebih demikian dan sebagian besar tumpang
tindih.Di medula adrenal serabut-serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel
darah11.
Gambar 9. Target organ saraf simpatis dan parasimpatis
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal
• Kulit
• Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah mengidentifikasi ruang
intervertebra pada pasien kurus
• Ligament Supraspinosa
• Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara prosesus spinosus
• Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang berjalan secara
vertical dari lamina ke lamina.
• Duramater
• Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang dikelilingi oleh CSF.
Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF dan secara cepat memblok akar syaraf
yang berkontak.
Gambar 10.Sagital section through lumbar vertebra9
Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan7,17.
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan
Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya adalah analgesia spinal, analgesia
Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Anestesi spinal mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan dengan anestesia umum, khususnya untuk tindakan
operasi abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat
menumpulkan respons stress terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif,
menurunkan kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien bedah dengan risiko tinggi14.
Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat
yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan
pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat
dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah14.
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan alkaloid larut
lemak dan garam larut air14. Rumus bangun terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak
jenuh bersifat lipofilik, bagian badan cincin hidrokarbon sebagai penghubung, bagian ekor
amino tersier bersifat hidrofilik7,14.
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni golongan ester
seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan amida
seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain,
levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester
mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil.
Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan golongan
7.
amida dimetabolisme di hati Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan
ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering ialah Lidokain dan Bupivakain5,9.
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada aliran
darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
3. Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat
terjadi absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsic yang dimilikinya.
2.9.2 Distribusi5
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal,
dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti
redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran
cerna).
3. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi local karena
massa dari otot yang besar.
2.9.3 Fiksasi5
Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat. Hal ini
menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma mengurangi
toksisitasnya karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma yang bebas berdifusi
ke dalam jaringan yang dapat menghasilkan efek toksik. Namun obat yang berikatan
dengan protein juga masih mampu berdifusi kedalam plasma mengikuti gradien
konsentrasi, karena bagian yang terikat protein memiliki keseimbangan yang sama
dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan demikian, ikatan dengan protein tidak
berhubungan dengan efek toksisitas akut obat.
1. Golongan ester
2. Golongan amida
Setelah penyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid maka akan
terjadi proses difusi obat ke dalam cairan serebrospinal sebelum menuju target lokal sel
saraf8. Selanjutnya obat akan diabsorbsi ke dalam sel saraf (akar saraf spinal dan medulla
spinalis)17. Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal di ruang subarakhnoid,
yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan.
Akar saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) luas
permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal, semakin luas
daerah sel saraf yang terpajan dengan anestetik lokal maka akan semakin besar juga absorbsi
anestetik lokal oleh sel saraf. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari
tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi
ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lemak pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf
17,18
.
Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh
banyak faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien17.
Medula spinalis mempunyai dua mekanisme untuk absorbsi anestetik local yakni (1) difusi dari
dairan serbrospinal ke pia meter lalu masuk ke medulla spinalis, dimana proses difusi ini
terjadi lambat. Hanya area superfisial atau permukaan dari medulla spinalis yang
dipengaruhi oleh anestetik lokal. (2) absorbsi terjadi ruang Virchow-Robin, dimana daerah
piameter banyak dikelilingi oleh pembuluh darah yang berpenetrasi ke sistem saraf pusat. Ruang
VirchowRobin terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di
medulla spinalis dan menembus sampai ke daerah terdalam medulla spinalis17.
A. Faktor utama7.
anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta posisi pasien.
Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat
melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan
serbrospinal bersifat menetap pada tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah
larutan yang lebih berat daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah
pemberian. Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik lokal:
- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar kearah cephalad,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal.
- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah kaudal,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi lateral
dan sebaliknya untuk larutan hipobarik.
- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar
penyuntikkan.
- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan hiperbarik,
anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti
lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin singkat durasi
blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi obat di daerah injeksi18.
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka akan semakin tinggi juga
area hambatan 7,14.
B. Faktor Tambahan
1. Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arachnoid dan epidural menjadi
lebih kecil dengan bertambahnya umur yang membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih
besar atau luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak
sehingga level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis
hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah melakukan penelitian pengaruh umut
pada penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur
dan level analgesia.
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubuh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang tinggi
memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek.
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural yang akan
mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa kegemukan
berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal.
4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah vertebral
meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal. Akibatnya hasil anastetik
lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen.
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat anastetik lokal dalam
cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada
posisi terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah
penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad dan mencapai kurvatura
T4.
6. Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4
memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan pada lumbal 4-5 karena
bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah sacral.
7. Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan terbatas dibandingkan
dengan penyuntikkan kearah cephalad.
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat analgesia yang
dicapai rendah.
Selain itu, volume dan berat jenis cairan serebrospinal juga mempengaruhi penyebaran
atau tingginya blok saraf. Dimana volume cairan serebrospinal yang menurun akan meninggikan
tingkat blok saraf, sedangkan bila volume cairan serebrospinal yang meningkat akan
menurunkan tingkat blok saraf. Kedua yaitu berat jenis cairan serebrospinal yang tinggi akan
mengurangi penyebaran tingkat blok saraf, sedangkan berat jenis cairan sererbospinal yang
rendah akan menghasilkan penyebaran obat anestetik lokal yang besar18.
Ketika pemberian obat anestetik lokal diberikan secara spinal, obat memiliki akses
bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf
serta sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan
serebrospinal ini tidak berikatan dengan protein, karena konsentrasi protein di cairan
serebrospinal rendah18.
Eliminasi anestetik lokal dari ruang subarakhnoid terjadi melalui absorbs oleh pembuluh
darah di ruang subarakhnoid dan ruang epidural. Anestetik local juga berdifusi ke dalam ruang
epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural
sama seperti halnya pada ruang subarakhnoid17,18.
Aliran darah menentukan laju eliminasi anestetik lokal dari medula spinalis.
Semakin cepat aliran darah di medula spinalis, maka akan semakin cepat juga anestetik
lokal dieliminasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa konsentrasi anestetik lokal lebih
besar pada bagian posterior medulla spinalis dibandingkan dengan anterior medula spinalis,
walaupun bagian anterior lebih banyak terhubung dengan ruang Virchow-Robin. Setelah
anestetik local diberikan, aliran darah dapat ditingkatkan atau diturunkan ke medula spinalis,
bergantung pada sifat anestetik lokal tersebut, sebagai contoh tetrakain meningkatkan aliran
darah medula spinalis tapi lidokain dan bupivakain menurunkan aliran darah, yang akan
berpengaruh terhadap eliminasi dari anestetik lokal17.
Vaskularisasi medula spinalis terdiri dari pembuluh darah yang ada di medula spinalis
dan di pia meter. Absorbsi anestetik ini terjadi pada pembuluh darah di piameter dan medulla
spinalis. Akibat perfusi ke medula spinalis bervariasi, maka laju eliminasi anestetik lokal juga
bervariasi17.18.
2.11 Farmakodinamik
Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls saraf atau blokade
konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membran saraf5.
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan
permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya tak terjadi konduksi
saraf7.
Obat anestesi lokal setelah masuk cairan serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung
saraf dan membran, tetapi hanya yang dalam bentuk basa yang bias menembus membran lipid
ini. Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang bermuatan bisa
mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi blokade saluran natrium,
hambatan konduksi natrium, penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi
potensial, dan terjadi blokade saraf15.
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-
methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak semua serabut saraf
dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari
diameter aksonal dan derajat mielinisasi serta berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain5.
Pada umumnya, serabut saraf kecil dan bermielin lebih mudah diblok dibandingkan
serabut saraf besar tak bermielin17.
Anestetik lokal lebih mudah menyekat serabut yang berukuran kecil karena jarak
propragasi pasif suatu impuls listrik melalui serabut tadi lebih pendek. Semakin besar dan tebal
suatu serabut saraf (misalnya, neuron motorik), nodusnya makin terpisah jauh satu sama lain
sehingga sulit diblokade19.
Diameter yang kecil dan sedikit atau tidak memiliki mielin meningkatkan sensitivitas
terhadap anestesi lokal dan akan lebih mudah untuk diblok. Sedangkan diameter yang besar dan
mielin yang tebal seperti pada saraf motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf simpatis dan
sensoris mempunyai lebih sedikit mielin dibandingkan saraf motorik. Dengan demikian,
sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi local mulai dari autonom, sensorik, dan motorik5.
Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas dengan lama
kerja 20-30 menit.
2. Prokain
Digunakan untuk infiltrasi dengan konsentrasi 0,25-0,5%, penggunaan untuk blok saraf
degan konsentrasi 1-2%. Dosis 15 mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit.
4. Lidokain
Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja 10menit dan relaksasi
otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan. Larutan
standar 1 atau 1,5% untuk blok perifer. 0,25%-0,5% ditambah adrenalin 200.000 untuk
infiltrasi, 0,5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk blok motorik dan sensorik,
2,0% untuk blok motorik pasien berotot, 4,0% atau 10% untuk topikal semprot faring-laring
(pump spray), 5,0% bentuk jeli yang dioleskan pada pipa trakea, 5,0% lidokain dicampur 5,0%
prilokain untuk topical kulit, 5,0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subarakhnoid).
5. Bupivakain
Konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat disbanding lidokain tetapi lama
kerja sampai 8 jam. Setelah suntikan kaudal epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai
dalam 45 menit, kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk anestesia spinal 0,5%
volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan
0,75%.
2.13 Patofisiologi
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di region vertebra.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, durameter, dan
arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada diantara arakhnoid dan piameter, sedangakan ruang
antara ligamentum flavum dan durameter merupakan ruang epidural15.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok
impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan posterior yang melewati
cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi
spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion
dorsal. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal
memiliki efek yang minimal pada medula spinalis16.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang subarakhnoid,
yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar
saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) daerah
permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh
karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan
semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan
lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal
setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan
barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke
jaringan medula spinalis danbekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta
sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal
initidak berikatan dengan protein terlebih dahulu16.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal disuntikkan
ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan kaudal) dan menggenangi
akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke
CSF untuk anestesi spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal
untuk mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi
pada akar saraf memerlukanvolumedan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan
untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf
(konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik dan viseral,
sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom9.
2.14 Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh
1. Sistem kardiovaskular
-Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat termasuk hippotensi,
blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia yang dapa mengancam jiwa seperti
takikardia ventricular dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan
- Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis intercostal atau depresi langsung
pusat pengaturan nafas.
- Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya berpengaruh kecil
pada volume tidak karena adanya kompensasi diafragma, tapi hal ini akan menimbulkan
penurunan kapasitas vital akibat penurunan signifikan dari expiratory reserve volume. Pasien
iniakan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal
juga memicu penurunan cardiac output dan tekanan arteri pulmonal serta peningkatan
ventilasi atau ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan
oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi
untuk membantu pernafasan.
3. Sistem pencernaan
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat blokade simpatis, maka
kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus.
Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena
blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya.
Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik usus
yang memicu mual. Dengan demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade
spinal yang tinggi
4. Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan tanda-tanda awal rasa
kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda
eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem
saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak
sadar, koma.
5. Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan derivat para-amino-
benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
6. Sistem muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi, hiperkontraksi miofibril
menyebabkan degenerasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4
minggu.
Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi vasokonstriksi di ginjal
maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai tekanan arteri rata-rata menurun
dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal
serta urin output masih dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar
akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi.
Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stress metabolik yang
berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin,
norepinefrin dan vasopresin serta renin angiotensin aldosteron.
2.15 Managemen efek samping pada anestesi spinal
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini
diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/ kg pada pasien sehat akan
secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun denganusaha ini hipotensi
masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan
autotransfusi dapat dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih
dan simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi
menggunakan vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus
vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik
vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan
denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan beberapa
vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan meskipun telah intervensi ini,
epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera. Untuk mencegah terjadinya hipotensi maka
sebaiknya tetap membatasi ketinggian blokade simpatis dibawah T1-5 karena saraf simpatis yang
keluar dari segmen tersebut menginervasi simpatis jantung. Bila terjadi hipotensi maka
penyebab dari hipotensi tersebut harus ditangani dengan baik. Penurunan cardiac output dan
aliran balik vena harus ditangani dan bolus kristaloid sering digunakan untuk meningkatkan
volume vena.
Untuk meminimalkan hipotensi saat anestesi spinal maka diberikan cairan kristaloid 500-
1000 ml intravena sebelum atau saat blokade saraf. Penanganan hipotensi sangat penting agar
miokardium dan otak tetap mendapatkan perfusi yang baik. Pemantauan hati-hati terhadap
tekanan darah seperti pemberian oksigen tambahan harus dilakukan saat anestesi spinal.
Pemberian cairan juga harus diawasi dari kelebihan cairan yang akan memicu terjadinya
penyakit jantung kongestif, edema paru yang memerlukan pemasangan kateter setelah
pembedahan. Kateter kandung kemih sendiri juga dapat menimbulkan masalah infeksi
saluran kemih. Penanganan farmakologi terhadap hipotensi yang utama adalah menggunakan
vasopresor. Gabungan alfa dan beta adrenergik akan lebih baik dibandingkan hanya alfa
adrenergik untuk penanganan hipotensi dan ephedrine adalah salah satu pilihannya14.
Selain itu, cara yang paling efektif dan praktis adalah dengan memposisikan pasien
Trendelenburg atau kepala lebih rendah. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20º karena dengan
Trendelenburg yang ekstrim akan memicu penurunan perfusi serebral dan aliran darah
karena meningkatnya tekanan vena jugular. Posisi Trendelenburg ini juga mengubah
ketinggian blok anestesi spinal pada pasien dengan larutan hiperbarik. Hal ini dapat ditangani
dengan meninggikan bagian atas tubuh dengan bantal yang diletakkan dibawah bahu
sementara tetap menjaga bagian bawah tubuh lebih tinggi dari jantung.
2.16 Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest dan retensi urin.
1. Hipotensi
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik. Ketinggian
dari blokade saraf akan meninggikan blockade simpatis, yang dapat dilihat dari perubahan
kardiovaskular terutama blockade simpatis T1-L2. Hipotensi dan bradikardia adalah efek
samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain
hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia diatas 40 tahun, obesitas,
kombinasi anestesia umum dan regional. Konsumsi alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI
lebih, ketinggian blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan meningkatkan hipotensi
setelah anestesi spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi non obstetri. Dilatasi arteri
dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi. Dilatasi arteri tidak terjadi
maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh darah akan tetap mempertahankan
tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena pertahanan tonus otonom masih ada tersebut,
maka resistensi total pembuluh darah perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun
15-18% bila cardiac output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi
pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal. Sebaliknya setelah
anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang maksimal bergantung pada letak vena tersebut.
Jika vena terletak dibawah atrium kanan, gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena
perifer. Sedangkan jika vena terletak diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung
akan meningkat. Aliran balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat
anestesi spinal. Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang
signifikan setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1
mempunyai risiko tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga meningkatkan risiko
bradikardia. Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri berkisar 13%. Serabut saraf
simpatis yang mengatur denyut jantung keluar dari segmen T1-T4 dan blokade pada serabut
saraf ini akan menimbulkan bradikardia. Penurunan aliran balik vena juga akan
menyebabkan bradikardia karena tekanan pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor
regangan intracardiac untuk menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap
pasien dengan anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat
dan tepat.
2. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung kemih
dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada pembedahan
yang cukup lama. Penilaian postoperative terhadap retensi urin sangat berguna karena bila
terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang serius.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon peradangan
yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri
punggung ini bisa merupakan tanda awal dari komplikasi hematoma spinal dan abses.
2. Postdural puncture headache
3. Hematoma spinal
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau penyakit
yang berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal berulang kali.
Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia
dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah,
hilang rasa dan kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
c. Toksisitas obat
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai bawah. Gejala
umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali menjadi normal. Ini terjadi
antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi setelah beberapa hari. Mekanisme pasti belum dapat
diketahui namun secara teoritis bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak
bermielin dibandingkan anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan anestesi
spinal dan posisi litotomi. Posisi ini membuat peregangan pada serabut akar saraf
lumbosacral, perfusi menurun dan membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari
anestetik lokal. Pecegahan berupa pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya.
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain5%. Sindrom cauda
equina bersifat permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit sensorik-motorik dan parese.
Tingkat neurotoksisitas pada anestetik lokal yakni lidokain = tetrakain > bupivakain >
ropivakain.
BAB III
KESIMPULAN
1. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester
dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme,
dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma
sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati.
2. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah
prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain.
4. Anestetik lokal ini akan memblokade impuls saraf otonom, sensorik dan motorik
secara berurutan. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan
menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah
eferen motorik dan outflow otonom 6. Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan
darah yang disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Blokade
transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade dari simpatik dan parasimpatik.
Blokade serabut simpatik yang muncul dari T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan
vena akan menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan
menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria dapat
menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Hal ini dapat menimbulkan
hipotensi dan bradikardia. Selanjutnya blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada
somatik dan viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka.
5. Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat
timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lainneurologis pada susunan
saraf pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi, muskuloskeletal dan hematologi. Salah satu
komplikasi yang sering terjadi adalah hipotensi dan bradikardia. Persiapan untuk mengatasi
hal tersebut berupa pemberian cairan 10-20 ml/kg, posisi kepala lebih rendah, dan obatobatan
vasopresor yang harus disiapkan sebelum atau saat anestesi spinal. Pemantauan yang ketat
terhadap terjadinya komplikasi harus dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Utama YD. Anestesi Lokal dan Regional Untuk Biopsi Kulit. Kalbe Farma, Vol.
37, Issue 7, Sep. 2010.
4. Sari NK. Perbedaan tekanan darah pasca anestesi spinal dengan pemberian preload dan
tanpa pemberian preload 20cc/kgbb ringer laktat [Karya tulis ilmiah]. Semarang:.
Fakultas Kedokteran UNDIP; 2012.
5. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal. Dalam: Jurnal
Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif FK UNDIP/RSUP
Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.
6. McLure HA, Rubin AP. Review of local anaesthetic agents. Dalam: Anestesia.
Minerva anestesiologica. 2005; 71 (3): 59-74.
8. Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review article
American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94 (5): 888-906.
10. Snell RS. Clinical Anatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010
12. Snell RS. Clinical neuroanatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010
13. Wirawan AY. Perbandingan onset dan durasi blok syaraf spinal antara penambahan fentanyl
12,5μg dengan neostigmin 50 μg pada subarachnoid blok dengan bupivakain 0,5% 12,5 mg
hiperbarik untuk operasi daerah panggul dan ekstremitas bawah [Karya tulis ilmiah akhir].
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM; 2011.
14. Naiborhu FT. Perbandingan penambahan midazolam 1 mg dan midazolam 2 mg pada
bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja blockade sensorik anestesi spinal [Tesis].
Medan: Fakultas Kedokteran USU; 2009.
17. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal anesthesia. 2013. [Diakses 15
November 2013]. (Diakses dari http://www.nysora.com/techniques/neuraxial and-
perineuraxialtechniques/landmark-based/3423-spinal-anesthesia.html).
18. Moos DD. Basic guide to anesthesia for developing countries. Volume 2. 2008. [Diakses 15
November 2013] (Diaksesdari
(http://www.ifnaint.org/ifna/e107_files/downloads/DCAnesthesiaVolume2Final.pdf).
19. Matras PJ, Poulton B, Derman S. Self learning package: Pain physiology and assessment,
patient controlled analgesia, epidural and spinal analgesia, nerve block catheters.
Fraserhealth. 2012: 12-13.
20. Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011: 423-430.