Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan organisme
patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005). Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius,
yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium
tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri yang tahan asam
(Suriadi, 2001). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Tuberculosis Paru
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis suatu basil yang
tahan asam yang menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia. Klasifikasi
Tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologist dan
mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberculosis
3. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :
a. TB paru tersangka yang diobati ( sputum BTA negatif, tapi tanda – tanda lain
positif )TB paru tersangka yang tidak dapat diobati (sputum BTA negatif dan tanda –
tanda lain meragukan).

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi
insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61,000 kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan
epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemic
terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua yang
prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka
estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%. Sejumlah 12 provinsi telah
dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan
HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000- 400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada
pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB
baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan

1
pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan Negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.
Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian,
Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%).
Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90%
dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan
tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.

Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia.
Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia
sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis. Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke
tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di
Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.

Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru
dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat
menjadi prioritas penting. Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer
di seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan
Tuberculosis - Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia
resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2%.

2
B. Rumusan Masalah
Bagaimana cara menurunkan prevalence TB di Kecamatan Sukamandi?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui cara penurunan prevalence TB
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui apakah ada hubungan kurangnya penyuluhan TB dengan tingginya
prevalence TB
b. Mengetahui apakah ada hubungan rendahnya PMO dengan tingginya
prevalence TB
c. Mengetahui apakah ada hubungan kondisi lingkungan dengan tingginya
prevalence TB
d. Mengetahui apakah ada hubungan kepadatan hunian dengan tingginya
prevalence TB
e. Mengetahui apakah ada hubungan rendahnya pengertian PHBS dengan
tingginya prevalence TB
f. Mengetahui apakah ada hubungan rendahnya pendidikan dengan tingginya
prevalence TB
g. Mengetahui apakah ada hubungan kondisi social ekonomi dengan tingginya
prevalence TB

3
BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis
SKENARIO 1

TINGGINYA PREVALENCE TB

I. SKENARIO

Dokter dari Puskesmas Sukamandi ingin melaksanakan program Menekan


tingginya prevalensi diwilayahnya. Prevalensi Tb didaerahnya termasuk tertinggi di
Kabupaten. Angka prevalensi Kecamatan Sumandi 455/100.000 penduduk sedangkan
angka prevalensi Kabupaten keseluruhan sekitar 385/100.000 penduduk.

Dokter Puskesmas tersebut ingin membuat program yang mungkin dapat


menurunkan angka prevalensi dengan menggunakan beberapa factor risiko terjadinya
kejadian tingginya angka prevalensi Tb tersebut.

Dalam analisis odds ratio dari penelitian yang dilakukan terlihat sebagai berikut:

Table 1: Beberapa jenis factor risiko dan odds ratio penyakit Tb.

Factor risiko Odds Ratio Keterangan

1.Kurangnya penyuluhan Tb 2
2.Rendahnya PMO 9
3.Kondisi lingkungan 5
4.Kepadatan hunian 6
5.Rendahnya pengertian 0.2
PHBS
6.Rendahnya pendidikan 1
7.Kondisi social ekonomi 4

4
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penelitian menggunakan case control study.
2. Mahasiswa dapat mengartikan arti Odds Ratio (OR)
OR< 1, 𝑂𝑅 = 1 𝑑𝑎𝑛 𝑂𝑅 > 1
3. Mahasiswa dapat membuat rencana program berdasarkan hasil dari table odds ratio
diatas.

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling
serius. Saat ini TB merupakan masalah keehatan di dunia dan penyebab dan penyebab
utama kematian di negara berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh beberapa fakta bahwa Indonesia
meruapak negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian n0 5 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran nafas pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi
(Luthfi, 2012).

Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang masih menjadi
masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar manusia atau sepertiga
penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. Setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru
TB dengan kematian sebesar 3 juta orang. Di negara berkembang kematian mencakup
25% dari keseluruhan kasus yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan telah
ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan
karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan. Data Program
Pemberantasan Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan kasus
dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang telah
diupayakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan
angka kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah kesulitan penemuan

5
penderita TB paru BTA(+), ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus
TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber penularan (Ratnasari, 2012).

Prevalensi TB di Kecamatan Sukamandi termasuk tertinggi di Kabupaten.


Angka prevalensi Kecamatan Sukamandi yaitu 455/100.000 penduduk, sedangkan
angka prevalensi Kabupaten keseluruhan sekitar 385/100.000 penduduk. Hal ini harus
segera ditangani untuk menurunkan prevalensi TB pada Kecamatan Sukamandi. Jika
hal ini dibiarkan terus menerus maka dalam jangka waktu panjang akan menyababkan
kasus TB semakin meningkat. Beberapa jenis faktor risiko pada TB dapat dilihat pada
fish bone berikut:

Skema Fish Bone

Kondisi Rendahnya Kurangnya


Kepadatan hunian PMO penyuluhan Tb
lingkungan

Tingginya
prevalensi
Tb

Kondisi social Rendahnya Rendahnya


pendidikan pengertian
ekonomi
PHBS

B. Pembahasan

1. Kurangnya penyuluhan TB

6
Karena kurangnya penyuluhan TB pada masyarakat di Kecamatan Sukamandi
mengakibatkan kurangnya pengetahuan tentang TB sehingga prevalensi TB terus
meningkat.
2. Rendahnya PMO
Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan dan ketaatan berobat bagi
setiap penderita, oleh karena itu doperlukan pengawasan menelan obat yang dapat
dilakukan oleh keluarga. Sebagian besar PMO akan membujuk dan menasehati
penderita bila tidak mauminum obat lagi, sedangkan hambatan utama dalam
pelaksaan tugas PMO adalah menghadapi penderita yang merasa bosan / jenuh
minum obat.
3. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan terjadinya
proses interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya
penyakit TB. Parameter faktor lingkungan yang mendukung terjadinya penularan
penyakit TB meliputi tingkat kepadatan penghuni rumah, lantai, pencahayaan,
ventilasi, serta faktor kelembaban. Faktor lingkungan yang sangat padat akan
mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah
kasus TB.
4. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu rasio luas
lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar
tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu
ruang tidur. Kepadatan hunian merupakan suatu proses penularan penyakit.
Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit menular melalui
udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang
menderita TB paru dengan BTA (+).
5. Rendahnya pengertian PHBS
Penerapan PHBS bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, juga peran
serta masyarakat dalam penanggulangan dan TB, terutama dalam kepatuhan
pengobatan, sehingga penderita menyadari dan mau menerapkan, hasilnya
diharapkan terjadi perbaikan kondisi fisik yang sehat sehingga mendukung
kesembuhan dan menekan rantai penularan ke lingkungan sekitar.
6. Rendahnya pendidikan

7
Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap informasi baru
yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikannya, semakin mudah seseorang menerima informasi tentang TB yang
didapatnya.
7. Kondisi social ekonomi
Kondisi sosial ekonomi dapat mengakibatkan penyebab tidak langsung seperti
adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, akses terhadap
pelayanan kesehatan dan menurunnya kemampuan sehingga dapat meningkatkan
tingginya prevalensi TB.

8
BAB III

RENCANA PROGRAM

EFEKTIFITAS EFISIENSI HASIL


No MASALAH
MxIxV
M I V C P=
C

1 Sosialisasi 4 4 5 4 20
PMO
2 Kerja bakti 4 3 4 3 16

3 Penyuluhan 3 3 4 4 9
TB
4 Pembukaan 3 3 3 4 6,75
lapangan
pekerjaan
Tabel 3.1 Prioritas penyelesaian masalah (Subur Prayitno, 1971)

Keterangan :
P : Prioritas jalan keluar

M :Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini dilaksanakan
(turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)

I :Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.

V :Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah

C :Cost, biaya yang diperlukan.

Jadi dapat disimpulkan urutan prioritas, yaitu :

1. Penyuluhan PMO
2. Kerja bakti
3. Penyuluhan TB
4. Pembukaan lapangan pekerjaan

9
A. Sosialisasi PMO (Pengawas Menelan Obat)
Penderita TB paru yang tidak berobat atau minum obat tapi tidak sesuai
pedoman akan berisiko penyakitnya makin parah dan menulari orang di sekitarnya saat
yang bersangkutan batuk atau bersin. Akibatnya jumlah penderita TB makin banyak
dan program pemberantasan TB jadi semakin berat. Salah satu usaha untuk menjamin
pasien tetap semangat menelan obat sampai sembuh adalah menyiapkan seseorang
untuk mendampingi pasien TB, disebut PMO (Pengawas Menelan Obat) (Subagyo,
2013).
PMO sebaiknya sudah ditetapkan sebelum pengobatan TB dimulai. Bila pasien
mampu datang berobat teratur maka paramedic atau petugas sosial dapat berfungsi
sebagai PMO, namun bila sulit datang berobat rutin maka PMO sebaiknya seseorang
yang tinggal serumah atau dekat rumah pasien. Beberapa pilihan yang dapat menjadi
PMO yaitu :
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat, dll)
3. Suami, istri, keluarga, orang serumah
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas
rumah sakit. Syarat PMO yaitu Bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai
sembuh selama pengobatan dengan obat anti TB (OAT) dan menjaga kerahasiaan bila
penderita juga HIV/AIDS
Diutamakan petugas kesehatan, pilihan lain adalah kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI , kader PKK atau anggota keluarga yang disegani pasien. Tugas
PMO yaitu :
1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur sampai selesai
5. Mengenali efek samping ringan obat dan menasehati pasien agar tetap mau menelan
obat
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat

10
7. Melakukan kunjungan rumah
8. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
Sosialisasi PMO diharapkan dapat meningkatkan pengobatan pada penderita
TB serta bisa mengurangi kekambuhan penyakit. Sosialisasi ini secara tidak langsung
telah menolong para pasien TB agar selalu rajin meninum obatnya dan melakukan
pemeriksaan ulang di rumah sakit maupun puskesmas. Tujuan dari sosialiasasi ini
adalah salah satunya untuk mengupdate ilmu dari calon PMO sendiri dan agar selalu
bertanggung jawab terhadap tugas nya sebagai PMO utnuk selalu mendampingi
penderita TB dalam meminum obat.

B. Kerja Bakti
Berbagai masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan perumahan masih
sangat menonjol terutama yang berkaitan dengan masalah air bersih, pembuangan
kotoran manusia (dahak penderita TB) , pengelolaan sampah, kualitas udara dan
pencahayaan dalam rumah serta kelembaban . Salah satu penyakit yang terkait dengan
masalah perumahan adalah TB (Depkes RI, 2005, memantau kebiasaan masyarakat
yang Pada umumnya kondisi rumah yang kumuh, tanpa ventilasi, tidak membuka
jendela, sehingga menyebabkan matahari tidak bisa masuk, dapat sebagai penyebab
penyakit TB mengingat sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan
penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik akan
menyulitkan pertumbuhan kuman,. ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai
mempunyai peluang menderita TB dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi ≥
10% dari luas lantainya, Kepadatan hunian kamar juga dapat menjadi salah satu
penyebab dari penyakit TB, Hasil analisis bivariate menunjukkan ada pengaruh
kepadatan penghuni terhadap terjadinya infeksi TB Kepadatan hunian ruang tidur
adalah luas ruang tidur minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2
orang tidur dalam satu ruang tidur; kecuali anak dibawah umur 5 tahun .Kepadatan
penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota
keluarga dalam satu rumah tinggal (Depkes RI, 2005). Apabila ada anggota keluarga
yang menjadi penderita penyakit TB sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga
lainnya. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi

11
oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama TB
akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Diharapkan masyarakat sekitar bisa saling bekerja sama atau mengadakan kerja
bakti dalam memberantas pertumbuhan kuman TB, seperti membersihkan selokan,
menjaga lingkungan sekitar rumah tetap bersih dan mejaga kondisi rumah dengan
membuat ventilasi rumah yang sesuai standar, kepadatan hunian kamar yang sesuai
standar serta menjaga kelembabannya, dan membuat orang yang menderita TB tidak
berdahak sembarangan.

C. Penyuluhan TB
Penyuluhan kesehatan menurut Azwar yang dikutip oleh Maulana (2009)
adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, sehingga
masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan
suatu anjuran yang ada hubungannya dengan pengobatan dan pencegahan penyakit TB.

Penyuluhan untuk Penderita Tuberkulosis

1. Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara
berkala memberikan penyuluhan kepada masyarakat bias melalui tatap muka,
ceramah dan mediamassa yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan
TB-paru.

2. Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu


kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya
mengurangi penyebaran penyakit.

3. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar


penderita mau rajin berobat secara teratur untuk mencegah penyebaran penyakit
kepada orang lain.

4. Menganjurkan,untuk melakukan perubahan sikap hidup masyarakat dan


perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat.

12
5. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang
mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru.

6. Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB


bukan bukan penyakit yang memalukan, tapi masih dapat dicegah dan
disembuhkan seperti halnya penyakit lain.

7. Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada


koordinatornya sesuai formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader.

D. Pembukaan Lapangan Pekerjaan


Pemerintah seharusnya membuat lapangan pekerjaan yang tidak beresiko terhadap
TB, tetapi dari Suatu penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien TB tidak
memiliki pekerjaan berisiko TB. Pekerjaan tidak berisiko tersebut antara lain Pegawai
Negeri Sipil (PNS), petani, pelajar, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Pekerjaan
berisiko yang ditemukan peneliti hanya jenis pekerjaan swasta dan buruh. Studi di
Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten OAT adalah bekerja
sebagai pedagang/ wiraswasta . Menurut Dimitrova di Rusia, semua jenis pekerjaan
yang menyebabkan subyek penelitian terpapar oleh zat-zat yang dapat mengganggu
fungsi paru dan pekerjaan yang memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan
pasien TB dianggap sebagai pekerjaan yang berisiko, sedangkan jenis pekerjaan yang
lain dianggap tidak berisiko. Jenis pekerjaan sopir, tukang parkir, pekerja pabrik tekstil,
montir, pekerja bengkel las, penjahit, dan buruh bangunan pada penelitian ini
dikelompokkan sebagai jenis pekerjaan yang berisiko. bagi pekerja pelayanan
kesehatan yang bekerja di laboratorium, klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan
dengan angka prevalensi kejadian MDR TB tinggi untuk melakukan pemeriksaan Tes
Kepekaan Obat(DST), mengingat pekerja tersebut memiliki risiko tinggi untuk menjadi
pasienMDR TB.
Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi seharusnya
dapat bekerja sama dengan Departemen Kesehatan untuk melakukan program
penanggulangan TB di tempat kerja. Program tersebut antara lain: Penemuan pasien
TB di tempat kerja, pengobatan, kepatuhan berobat, pelaporan efek samping obat,
penyediaan OAT dan distribusi OAT serta alat kesehatan, pencatatan dan pelaporan,

13
upaya promosi kesehatan dan pencegahan. Upaya pemerintah ini dilakukan dengan
harapan bahwa pasien TB resisten OAT dapat memperoleh perhatian kesehatan baik
dari fasilitas pelayanan kesehatan maupun tempat kerja. Dengan demikian angka
success rate terhadap penyakit ini dapat meningkat dengan peasat.

Beberapa upaya rencana program dapat di perjelas dalam tabel berikut ini :
Tabel Gant Chart

Terlampir 1 : Tabel Gant Chart

14
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

Subagyo, Ahmad. 2013. Pengawas Menelan Obat (PMO), (Online)


http://www.klikparu.com/2013/02/pengawas-menelan-obat-pmo.html, (diakses
tanggal 19 September 2015)
Prasetyowati, Wahyuni. 2009. Hubungan Antara Pencahayaan Rumah, Kepadatan
Penghuni danbKelembaban, dan Risiko Terjadinya Infeksi TB. Jurnal kedokteran
Indonesia , vol.1, no.1, 1januari

Rukmini, Chatarina UW, 2012. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap kejadian TB


Paru dewasa di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan Dasar di Indonesia). Bulletin
penelitian sistem kesehatan. Penerbit Airlangga Vol. 14 No. 2, April 2011 University Press
Surabaya

Luthfi, Amir., Sardikin, Giri, Putro, 2012. Tuberkulosis Nosokomial. Jurnal tuberkulosis
Indonesia. Volume 8, Maret 2012.

Ratnasari, Nita, Yunianti, 2012. HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN


KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI
PENGOBATAN PENYAKIT PARU (BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN. Jurnal
tuberkulosis Indonesia. Volume 8, Maret 2012.

16

Anda mungkin juga menyukai