Anda di halaman 1dari 26

AKUNTABILITAS PEMERINTAH

(Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi)

Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik


pada Pemerintahan Provinsi Jawa Barat

Pengarang Buku : Ika Mardiah

Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Syamsir, M.Si

Disusun Oleh :

Kelas B Semester 4

No Absen 23 - (1178010067) - Elvira Sekar Sujono

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2019 M / 1440 H
Pembukaan Dokumen Penawaran

Panitia, dokumen yang telah dibuka setelah memasuki tahap evaluasi akan
dimuat oleh panitia pada aplikasi SPSE untuk harga penawaran dan terkoreksi
dengan hasil yang dapat dilihat dari sisi peserta. Pada lelang yang telah memasuki
pembukaan dokumen penawaran selanjutnya dilakukan evaluasi akan diikuti
dengan tahap penetapan calon pemenang, biasanya tiga pada leleang pertama, dan
dilanjutkan dengan pembuktian kualifikasi. Pengumuman pemenang lelang panitia
akan memberikan keputusan pada aplikasi SPSE, dan akan dikirm ke e-mail
masing-masing. (Ika Mardiah, 2014: 131)

Transparansi dalam pengadaan publik dimulai sejak pengumuman rencama


umum pengadaan, sampai dengan proses pemilihan penyedia barang dan jasa.
Transparansi merupakan Rencana Umum Pengadaan, sampai dengan proses
pemilihan penyedia barang dan jasa. Transparansi merupakan arena bagi
pemerintah untuk dipantau oleh warga negara dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan publik akan meingkatkan
hubungan yang positif antara pemerintah dan warga negaranya dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. (Ika Mardiah, 2014: 134)

Untuk menyampaikan ketidak puasan peserta lelang dapat dilakukan melalui


sanggah dan sanggah banding serta dapat dilanjutkan dengan proses pengawasan
internal panitia. Institusi pengawasan merupakan representasi dari kepentingan
publik. Asumsinya pengawas menjalankan tugasnya, dan yang timbul sekarang
seolah-olah informasi lelang harus diketahui dan menjadi informasi publik. (Ika
Mardiah, 2014: 135)

Pengawasan yang dilakukan masyarakat sipil atau media dalam proses


pengadaan dapat meningkatkan transparansi dari sisi permintaan. Teknologi
informasi dan komunikasi memiliki manfaat baik untuk proses maupun
transparansi. Mengenai informasi yang dimuat dalam website LPSE dinilai oleh
informan LSM dan pers sudah cukup baik, karena di satu sisi menampilkan
informasi agar pengguna mampu bersaing secara sehat. (Ika Mardiah, 2014: 136)

1
Penggunaan SPSE telah mengubah tata cara pelelangan secara elektronik yang
dulu dilakukan secara manual oleh pengusaha. Sekarang para pengusaha di tuntut
untuk lebih familiar dengan teknologi informasi. Maka akan sulit juga untuk
mendapatkan pekerjaan. Informan tersebut masih melihat banyak terjadi penolakan
dari sisi pengusaha dengan adanya SPSE, karena keterbatasan beberapa pengusaha
yang menilai dengan adanya SPSE menjadi rumit untuk mendapatkan pekerjaan
dari pemerintah khususnya di lingkungan pemerintahan Provinsi Jawa Barat. (Ika
Mardiah, 2014: 136)

Kekhawatiran terhadap pemboblan sistem oleh hacker selalu menjadi topik


yang dibahas pada FGD ataupun lokakarya. Tampaknya masih dipertanyakan
kehandalan SPSE, baik dari hacking maupun upaya lainnya dalam megelabui
sistem. hal ini sejalan dengan pendapat Ives, Wals & Scheneider, (2004), Karr,
Dobra, dan Sansil, (2003) dan Pierce, (2004) dalam Norris, (2007) bahwa keamanan
dalam penggunaan TIK merupakan hal yang utama dan SPSE telah memenuhi
persyaratan tersebut. (Ives, Wals & Scheneider, (2004), Karr, Dobra, dan Sansil,
(2003) dan Pierce, (2004) dalam Norris, (2007) dikutip dalam buku Ika Mardiah,
2014 hlm 138)

Sistemnya seolah-olah dibuat transaparan tapi keputusan akhirnya tetap ada di


panitia lelang. Diharapkan melalui SPSE menjadi lebih transparan mulai dari awal
sampai proses pengambilan keputusan. Panitia lelang sebagai pihak yang memiliki
kewenangan dalam proses tender yang menjadi sorotan dari kelompok pers, yang
masih menyatakan ketidakpercayaan dalam penggunaan SPSE. Pendapat tersebut
menunjukkan kelompok pers belum memahami proses tender menggunakan SPSE
dan tidak mengetahui informasi yang dimuat pada LPSE. (Ika Mardiah, 2014: 139)

Fungsi pengelola LPSE, didalam aplikasi antara lain sebagai Admin PPE,
Verifikator dan Helpdesk yang memiliki fungsi dan akses berbeda terhadap sistem.
Disamping akses terhadap sistem dan jaringan untuk menjamin bahwa sistem dan
jaringan yang disediakan dapat diakses dengan baik oleh seluruh pengguna. (Ika
Mardiah, 2014: 139)

2
Pada halaman Admin PPE ini terdapat fitur-fitur antara lain:

1. FAQ atau frequently ask question yaitu forum tanya jawab yang digunakan
oleh para pengguna yang menanyakan hal ihwal SPSE forum FAQ ini
terdapat pada halaman utama aplikasi LPSE Nasional.
2. Agency, yaitu daftar agency atau unit organisasi yang terdaftar
menggunakan SPSE pada LPSE tersebut, PPE melakukan pendaftaran
agency sehingga agency tersebut dapat menggunakan aplikasi Layanan
Pengadaan Secara Elektronik Nasional untuk meng-entry paket, kode
rekening dan nama-nama panitia pengadaan yang akan bertugas pada paket
tertentu.
3. Penyedia dengan informasi nama perusahaan, NPWP, dan alamat email.
4. Pegawai, PPE mempunyai wewenang untuk mengelola data pegawai yang
terlibat dalam aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik Nasional
5. Auditor, nama-nama auditor yang mendapat kode akses untuk melakukan
e-Audit
6. Utility, melihat kiriman dari sistem kepada pengguna
7. Log Akses, untuk memeriksa PPE login.
8. Ganti password, fasilitas untuk mengganti password. (Ika Mardiah, 2014:
139-140)

Selain satu tugas pokok Admin PPE adalah untuk memberikan kode akses
kepada para pengguna internal seperti verifikator, dan helpdesk bila diperlukan dan
kepada pengguna dari unsur satuan kerja perangkat daerah atau instansi lainnya,
dalam hal ini pada LPSE Provinsi Jawa Barat kepada Admin Agency sebagai
petugas yang memberikan kode akses kepada anggota kelompok kerja ULP. Tugas
lainnya adalah melakukan perubahan jadwal lelang sesuai permintaan panitian atau
ULP, apabila jadwal yang telah disusun panitia sudah melewati batas waktunya.
Setiap permintaan kode akses bagi Admin Agency dan permintaan perubahan jadwal
lelang dilakukan secara tertulis untuk dokumentasi bagi kedua belah pihak. (Ika
Mardiah, 2014: 141)

3
Fitur e-Audit

Sejak tahun 2010 aplikasi SPSE telah dilengkapi dengan Fitur e-Audit sebagai
salah satu fasilitas untuk para Auditor melakukan audit proses lelang. Menurut
Arens et.al (2001) mendefinisikan auditing ditinjau dari segi proses dan penekanan
pada pelaksana audit itu sendiri. Mereka mengungkapkan bahwa “Auditing adalah
pengumpulan serta pengevaluasian bukti-bukti atas informasi untuk menentukan
serta melaporkan tingkat kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-krieria yang
telah ditetapkan. Auditing harus dilaksanakan oleh seseorang yang kompeten dan
independen”. (Ika Mardiah, 2014: 141-142)

Dari sisi auditor bila masuk ke Menu e-Audit, setelah diberi akses oleh
Administrator LPSE atau admin PPE, maka auditor dapat mengakses seluruh fitur
yang ada halaman panitia lelang seperti Dokumen Penawaran, Jadwal dan
Perubahannya, Histori Aanwijzin, hasil evaluasi, summary report (Ringkasan
proses PBJ) serta dokumen lain yang diunggah panitia misalnya Berita Acara Hasil
Pelelangan (BAHP). Dengan akses informasi yang sama dengan panitia
memungkinkan auditor untuk melakukan audit secara lengkap. (Ika Mardiah, 2014:
142)

Informasi lelang juga memuat Tabel Kualifikasi yang dikirim oleh peserta
sebelum mengirim bekas penawaran pada Tabel Kualifikasi tersebut dapat dilihat
seluruh persyaratan yang ditentukan oleh panitia, yaitu ijin usaha, dukungan bank,
bukti pajak, tenaga ahli, pengalaman, pekerjaan sedang berjalan, peralatan, neraca,
akta perusahaan. Fasilitas e-Audit ini merupakan salah satu kelebihan SPSE
dibandingkan sistem e-Procurement lain yang telah lebih dahulu ada misalnya, e-
Procurement Kota Surabaya atau pu.go.id. Fasilitas tersebut memudahkan auditor
untuk melakukan audit dengan informasi yang lengkap dan langsung masuk
kedalam aplikasi SPSE. Keberadaan fitur e-Audit ini yang mendorong panitia
pengadaan (ULP) untuk mengikuti aturan pengadaan yang berlaku. (Ika Mardiah,
2014: 144)

4
Pada sisi lain, SPSE masih diragukan dalam meminimalkan terjadinya KKN
antara peserta lelang dengan panitia tender. Pada tahap penelitian dokumen lelang
dengan panitia lelang. Namun infoman lainnya menyatakan, celah untuk melakukan
KKN, dengan mendekati panitia pengadaan sangat sulit karena proses ini melalui
proses elektronik. Kamu karena dengan SPSE ini panitia dengan peserta tidak
terlalu banyak berinteraksi atau tatap muka, mulai dari pendaftaran dan proses
pemasukan dokumen melalui dengan via elektronik tidak diserahkan langsung,
sehingga kemungkinan kecil menimbulkan adanya persengkongkolan. (Ika
Mardiah, 2014: 145)

Penggunaan SPSE merupakan hal yang harus dijaga kontinuitasnya karena ini
bergantung pada anggota ULP atau panitia yang ada di lingkungan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat untuk menjaga kredibilitas LPSE itu sendiri. Dikhawatirkan
LPSE ke depannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Bahkan
terdapat tuduhan bahwa bila tidak membawa bendera organisasi kemasyarakatan
(ormas) atau partai politik tertentu sulit masuk dan menang. Pandangan tersebut
muncul dari berbagai pihak yang menghubungkan pelaksanaan tender dengan elite
tertentu. Namun dengan memperhatikan pemenang tender yang tersimpan dan
dapat diakses semua pihak, sulit membuktikan tuduhan tersebut. (Ika Mardiah,
2014: 146-147)

Praktek persengkongkolan dapat terjadi diantara penyedia (horisontal)


misalnya dalam tender barang, distributor ikut bermain dengan memberikan
dukungan hanya kepada penyedia tertentu. Hal tersebut menyebabkan kerugian
bagi pihak penyedia lainnya, karena distributor ikut bermain curang. Disisi lain
lelang dilaksanakan dengan fair pada akhirnya dapat menimbulkan kecurangan
ketika pemenang lelang melaksanakan penandatanganan kontrak dengan pemilik
pekerjaan. Pada saat itu antara pengusaha dan pemilik pekerjaan bertemu dan pada
beberapa dinas pemilik pekerjaan tetap meminta return fee untuk pengurusan
pekerjaan dalam rangka melancarkan aktivitas paket pekerjaan yang didapat.
Namun beberapa penyedia menolak memberikan return fee, dengan alasan mereka
menang tender secara fair. Dengan demikian dari sisi peserta lelang sudah

5
terbangun kemampuan untuk bersikap jujur dan mengikuti aturan serta
mempercayai penggunaan SPSE bertujuan untuk menghilangkan KKN. (Ika
Mardiah, 2014: 147)

Bagi penyedia barang dan jasa, penggunaan SPSE cukup transparan dan
akuntabel karena pelelangan dibuka untuk umum bagi perusahaan yang akan
mengikuti lelang dan telah terdaftar di LPSE, dan informan paket tercantum pada
website LPSE, sehingga tidak terjadi informasi yang ditutupi oleh panitia.
Masyarakat memperoleh informasi yang cukup mengenai proses pengadaan barang
dan jasa. (Ika Mardiah, 2014: 147-148)

Mengenai kemungkinan melakukan persekongkolan tender, menurut informan


penyedia lebih baik langsung ke Panitia melalui ULP nya, karena LPSE hanya
sebagai penyelenggara keputusan tetap ada di panitia. Persekongkolan selama ini
terjadi karena pemenang pada akhirnya akan bertemu muka dengan pemilik
pekerjaan. Namun karena pekerjaan didapat bukan di hulu jadi perusahaan punya
bargaining yang lebih kuat untuk menego return fee yang biasa diminta pemilik
pekerjaan. (Ika Mardiah, 2014: 148)

Dari aspek teknis, fasilitas yang diberikan LPSE dinilai sudah fokus, hanya ada
beberapa masalah yang dikeluhkan oleh informan penyedia barang dan jasa
diantaranya data perusahaan yang diunggah di SPSE setiap ikut lelang harus
diunggah lagi. Hal tersebut akan menyulitkan pengusaha mengingat ukuran file
yang dikirimkan menjadi besar. Apabila jumlah dokumen yang diunggah tidak
terlalu besar maka prosesnya akan lebih cepat. Dalam menu data kualifikasi tidak
perlu diunggah dokumen perusahaan bahkan dilarang dalam aturan mengenai tata
cara e-Tendering. Hal tersebut akan dilakukan pada saat peserta yang menjadi
calon pemenang dibuktikan kualifikasinya oleh panitia dengan membawa dokuemn
aslinya. Pendapat bahwa SPSE masih kurang akuntabel dikemukakan oleh
informan Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Barat yang menyampaikan
bahwa PPK di OPD bisa bermain. (Ika Mardiah, 2014: 149-150)

6
Dalam beberapa acara publikasi tatap muka, tampaknya meminjam bendera
penyedia lain sudah biasa dilakukan oleh para penyedia di Jawa Barat. Namun hal
tersebut di luar panitia tender. Bagi panitia, penawaran yang masuk dan sesuai
dengan persyaratan baik aspek teknis dan administratif, maka perusahaan tersebut
yang menang. Proses di belakang atau di luar sistem tidak dapat dijangkau oleh
panitia pengadaan. Walaupun sudah diatur oleh PPK atau pihak lain, bisa terjadi
keluar dari skenario tersebut, karena penawaran dari peserta lain di luar yang
bersekongkol lebih baik. (Ika Mardiah, 2014 : 151)

Penyedia barang dan jasa yang terlibat secara langsung dalam proses
penggunaan SPSE menyatakan, perbedaan lelang sebelum dan sesudah
menggunakan SPSE bahwa peserta lelang harus lebih siap dalam penggunaan
teknologi informasi dan terbiasa dengan aplikasi tersebut. Penyedia barang dan jasa
yang tidak siap akan tersaring dengan sendirinya. Pada sistem lelang sesudah
menggunakan SPSE menjadi lebih praktis, efektif dan efisien karena tidak harus
datang ke tempat. Pada proses pengiriman dokumen penawaran, menjadi lebih
nyaman mengingat dengan menggunakan sistem ini pengadaan menjadi paperless
tidak seperti lelang manual yang harus mencetak banyak dokumen dan itu biasanya
diulang-ulang terlebih jika ada kesalahan. (Ika Mardiah, 2014: 152)

Munculnya berbagai ketidakpuasan, ketidakpercayaan dan kecurigaan dalam


proses tender disebabkan praktik yang berlangsung sebelumnya diwarnai praktik
yang melanggar aturan atau tidak sesuai dengan prinsip pengadaan, premanisme,
dan persekongkolan. Karena itu dalam proses pemilihan penyedia barang dan jasa
yang pertama adalah mengubah mindset untuk berprasangka baik. (Ika Mardiah,
2014: 156)

Kepatuhan pihak yang terlibat dalam pengadaan terhadap aturan, prinsip dan
etika pengadaan aspek yang dibenahi. Jika ada kewenangan yang dipegang panitia
pengadaan maka kewenangan tersebut perlu dibagi-bagi, biasanya dalam suatu unit
organisasi, operator dan finance dipisah, pengelolaan keuangan berbeda dengan
pengelolaan kegiatan, yang mengelola kontrak bukan yang memilih rekanan, yang
memilih rekanan bukan yang menyetujui penyerahannya. (Ika Mardiah, 2014: 157)

7
Salah satu informan dari PPK menyatakan bahwa penggunaan SPSE telah
melindungi dirinya dari serangan penyedia barang dan jasa yang kalah. Lebih lanjut
ia mengatakan bahwa dengan menggunakan SPSE, PPK tidak dapat meminta
panitia pengadaan untuk mengatur pemenang. Hal yang dialaminya ketika terdapat
paket pekerjaan yang diklaim telah di-create bersama pihak tertentu dan merasa
bahwa pihaknya harus menang. Namun panitia pengadaan pun tidak berani untuk
melakukan manipulasi, dan melaksanakan proses lelang sesuai prosedur dan
persyaratan yang ditetapkan.1 Hal tersebut telah membebaskan PPK dari tekanan,
dan ia lebih berani menghadapi penyedia barang dan jasa yang mengancam, karena
yakin bahwa sistem dapat membuktikan prosedur yang dilaksanakan telah
ditempuh dengan benar. (Ika Mardiah, 2014: 158)

Pada proses lelang secara elektronik manipulasi dokumen tak akan terjadi
tanpa melibatkan pengelolaan sistem. Korupsi dalam pengadaan banyak terjadi
dengan melakukan manipulasi dokumen. Namun dalam SPSE, otoritas masing-
masing sangat jelas dan disekat-sekat, sehingga tidak dapat masuk ke halaman
lainnya.2 Karena itu akuntabilitas dalam berbagai pengertian tidak akan tercapai
bila proses pengadaan dilaksanakan dengan manual dan itu sudah terbukti. Dengan
ada sistem yang informatif dengan elektronik yaitu SPSE maka proses pengadaan
menjadi lebih baik. Semua data akan terekam dan tidak dapat diutak-atik di luar
sistem jika itu dipaksakan maka akan dengan mudah diketahui. (Ika Mardiah, 2014:
158-159)

Memperluas akses merupakan upaya untuk memecahkan persekongkolan yang


terjadi di lingkungan sistem pengadaan. Dengan membuka akses secara luas dan
meningkatkan jumlah peserta lelang dapat memecah upaya persekongkolan. Tema
yang dibawakan WTO untuk membuka masuk pelaku usaha asing ke dalam sistem
pengadaan nasional, akan berdampak baik dan bahkan dapat mendobrak
persekongkolan yang sering terjadi. Karena di Indonesia banyak sekali asosiasi

1
Berdasarkan wawancara dengan PPK tanggal 27 Juni 2011 dan anggota Pokja ULP tanggal 30
Juni 2011
2
Berdasarkan wawancara dengan pimpinan LKPP tanggal 16 Juni 2011

8
usaha yang berujung pada tindakan untuk membentuk persekongkolan pelaku usaha
dan kartel dagang. Dengan membuka peluang asing ke depannya walau ini hanya
wacana dapat memperbaiki sistem yang ada. Mewujudkan akuntabilitas dimulai
dari pembenahan sumberdaya manusia, dan menciptakan inovasi-inovasi dalam
sistem pengadaan yang ada dan mendorong persaingan yang sehat. (Ika Mardiah,
2014: 159)

Dari sisi pengumuman lelang dengan SPSE sulit untuk berbuat curang.
Pengumuman pada SPSE dapat diakses oleh semua orang. Berbeda dengan masa
lalu yang masih konvensional dengan menggunakan media cetak, pengumuman
bisa dicetak khusus, hanya ada pada edisi terbatas, tidak dimuat pada edisi yang
sama pada hari yang sama, karena masih ada persekongkolan dengan media
tersebut. Syarat-syarat pekerjaan yang juga dapat dilihat di website LPSE akan
memudahkan untuk mengetahui kualifikasi peserta yang diperbolehkan untuk
mengikuti lelang, yang akan berkaitan pula dengan pengumuman pemenang
pekerjaan tersebut, sehingga akan sulit untuk melakukan pengaturan pemenang.
Dengan demikian transparansi pada pengumuman merupakan salah satu pendorong
untuk akuntabilitas pada proses tender. Namun di sisi lain karena tenaga auditor
terbatas, kemampuan auditor dalam menggunakan komputer dan internet terbatas.
(Ika Mardiah, 2014: 160)

Keterbatasan jumlah auditor dengan tugas yang cukup banyak, menyebabkan


pemeriksaan dilakukan secara sampling. Di samping itu pemilihan pekerjaan yang
diperiksa secara utuh dan fokus apabila dilihat pagunya paling besar, tingkat
kemudahan untuk mencapai lokasi objek yang diperiksa. Pada beberapa OPD yang
memiliki tingkat pengendalian internal cukup bagus, memudahkan auditor dalam
melaksanakan pemerintahan dan tingkat kepercayaan auditor meningkat,
sedangkan apabila ditemukan administrasi kegiatan yang kurang bagus dan
pengaduan dari masyarakat tinggi, auditor lebih detail dalam melakukan
pemeriksaan pada OPD tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan pengawas cenderung
formal, berbeda dengan penyidikan terhadap suatu kasus dengan mencari
pembuktian. (Ika Mardiah, 2014: 161)

9
Auditor dalam meminta pertanggungjawaban panitia lelang di ULP mengalami
kesulitan karena organisasinya yang bersifat ad hoc, menyebabkan personel
tersebut tidak berada di ULP secara tetap, tetapi berada di OPD-nya yang
kemungkinan ketika diperlukan oleh auditor sedang melaksanakan tugas ke luar
kota. Dengan demikian auditor tidak mendapatkan laporan secara utuh mengenai
hasil kerja panitia pengadaan untuk paket yang diperiksanya. ULP sendiri dinilai
informan auditor kondisinya tidak steril, karena terjadi komunikasi langsung antara
peserta dengan anggota Pokja ULP. Peserta lelang bisa dengan mudah keluar masuk
kantor ULP. Padahal dengan menggunakan SPSE dimaksudkan untuk mengurangi
tatap muka lelang dengan panitia peserta. Diharapkan ke depan ULP menjadi
organisasi yang mandiri, sehingga memudahkan proses pemeriksaan dan
pertanggungjawaban hasil lelang yang telah dilakukannya. (Ika Mardiah, 2014:
162)

Upaya untuk menjadikan ULP suatu organisasi struktural telah diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah, yang menetapkan bahwa sekurang-kurangnya pada tahun 2014 ULP
menjadi organisasi struktural. Proses ke arah tersebut pada Pemerintah Provinsi
Jawa Barat telah dirintis sejak tahun 2008 dengan membentuk ULP yang terpusat
di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat. Tujuan memutuskan proses tender di
ULP untuk memudahkan semua pihak dan menetapkan panitia pengadaan bekerja
secara independen. (Ika Mardiah, 2014: 162)

Kondisi mengenai kesulitan yang dikemukakan informan auditor , disebabkan


auditor belum memiliki kemampuan yang memadai dalam memanfaatkan aplikasi
SPSE. Auditor masih meminta dokumen pemilihan penyedia barang dan jasa
berupa Hardcopy panitia atau PPK. Padahal hasil kerja dan keputusan panitia sudah
tersimpan didalam SPSE, tapi harus pakai hal tersebut kurang, memberikan
informasi yang sesuai dengan kebutuhan audit. Pemahaman auditor terhadap
aturan pengadaan dan SPSE masih kurang, sehingga masih mengandalkan
dokumen hardcopy yang disediakan panitia tender atau PPK. Informan pada ULP
menyatakan bahwa kelompok kerja atau panitia pengadaan pada ULP sangat

10
independen, sehingga tidak ada garis komando dari Kepala ULP. Setiap keputusan
dalam proses tender menjadi tanggung jawab kolektif anggota kelompok kerja.
Keputusan panitia itu kolegial dan pertanggungjawabannya kolektif bukan
tanggung jawab ketua Pokja. (Ika Mardiah,2014 :162-163)

Dengan organisasi kerja seperti itu panitia tender mematuhi seluruh aturan
pengadaan dan sangat berhati-hati dalam bekerja dan mengambil keputusan. Panitia
pengadaan (ULP) sangat memahami bila melakukan pelanggaran, karena akan
berhadapan dengan hukum. Seperti dikemukakan (Behn, 2001:8) bahwa hukuman
administratif maupun hukuman pidana merupakan sebagian dari upaya negara agar
pihak yang menjalankan proses akuntabilitas terdorong untuk bekerja dengan
benar, baik secara prosedur maupun secara substantif. Hukuman pidana merupakan
yang paling berat, dan prosesnya sangat melelahkan. Karena itu bagi ULP
kepatuhan terhadap aturan dan prinsip pengadaan merupakan hal yang utama,
karena mereka yakin dengan SPSE semua proses akan tersimpan dengan baik dan
dapat di audit dengan mudah. (Ika Mardiah,2014 :164)

Dalam penggunaan SPSE, pengumuman sangat transparan, sehingga panitia


tidak dapat membuat keputusan yang tidak berdasar apabila peserta menyampaikan
berkas penawaran yang lengkap, tentunya panitia pengadaan tidak bisa mengatakan
sebaliknya dengan menggugurkan peserta tersebut. Dengan menggunakan SPSE,
sudah tidak ada pesanan ataupun apabila ada, akan sulit di diakomodir. Hasil lelang
menggunakan SPSE, benar-benar hasil kompetisi dan pesertanya benar-benar
profesional.73 Salah satu contoh untuk paket pengadaan meubelair terdapat peserta
yang menyampaikan penawaran 70% dibawah HPS, peserta tersebut sudah
menyampaikan protes sebelum pemenang paket tersebut diumumkan. Ternyata
peserta yang menyampaikan protes menjadi pemenang ketika ULP melakukan
klarifikasi ke bengkel kerjanya sangat bagus dan siap. Pada pelaksanaan pekerjaan,
penyedia dapat memenuhi kewajibannya sesuai kontrak dan menunjukkan penyedia
tersebut sangat profesional dan kompetitif. (Ika Mardiah,2014 :164)

11
Pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan SPSE dinilai telah
menyebabkan peserta menyampaikan penawaran dengan harga sangat rendah dan
menyebabkan kualitas pekerjaan rendah merupakan pendapat yang keliru. Karena
dalam lelang yang dicari adalah harga terendah dengan kualitas yang baik Agar
negara tidak dirugikan. Menurut informan ULP, Sesuai dengan prinsip pemilihan
penyedia barang dan jasa serta di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010
yang mendorong kompetisi penawaran terendah tidak dapat digugurkan bahkan
ekstrimnya apabila penawarannya Rp.0, dan peserta tersebut menyanggupinya. 74
Namun kondisi demikian yang perlu kerja keras dalam PPK dalam melakukan
pengawasan pada saat pekerjaan berlangsung dan harus berani bertindak, misalnya
menghentikan kontrak apabila penyedia melakukan kesalahan atau tidak sesuai
dengan kontrak. (Ika Mardiah,2014 :164-165)

ULP tidak boleh membuat persyaratan yang mengada- ada. Berkas penawaran
yang diminta kepada peserta hanya yang diperlukan saja. Agar dokumen penawaran
tidak terlalu besar. Dokumen perusahaan tidak perlu diminta dilampirkan. Tingkat
independensi, profesionalisme dan akuntabilitas Pokja ULP sudah terbukti. Hanya
3 paket lelang yang telah ditetapkan yang tidak diterima oleh PPK.75 ULP harus
berhati-hati dalam membuat dokumen lelang. Apabila terdapat spesifikasi barang
atau jasa yang belum lengkap akan menerima banyak pertanyaan dan akan
memunculkan masalah di kemudian hari. Sekecil apapun kelemahan yang terdapat
dalam dokumen pengadaan akan langsung diserang. Ketika akan dilemparkan
melelangkan yang harus clear adalah HPS, spesifikasi dan rancangan kontrak
termasuk cara pembayaran harus tersampaikan kepada rekanan. (Ika Mardiah,2014
:165)

Mengenai terjadinya persekongkolan, menurut informan ULP, dapat terjadi


di antara penyedia barang dan jasa. Misalnya distributor atau Principal hanya
memberikan dukungan kepada satu penyedia, sehingga si penyedia menawar tinggi
dan yakin akan menang. Untuk mengatasi hal tersebut panitia membebaskan surat
dukungan dari manapun, sehingga tidak dibatasi dari salah satu distributor saja.
Dengan demikian harga penawaran yang diperoleh tetap menguntungkan keuangan

12
negara. Upaya persekongkolan lainnya, misalnya mereka melakukan monopoli
dalam jasa travel, yang hanya dikuasai oleh 6 perusahaan dan terbagi dalam dua
blok. Monopoli tersebut terlihat dari data yang menunjukkan pemenang lelang
hanya ada 6 perusahaan tersebut, apabila ada peserta yang menang di luar kedua
kubu tersebut. ULP diprotes bahwa penyedia tersebut sebagai pemain baru tidak
memiliki pengalaman dalam bidang tersebut. 76 (Ika Mardiah,2014 :165-166)

Proses tersebut disampaikan kepada asisten administrasi dengan tuduhan


bahwa ULP membuat persyaratan yang mengada-ada yang menyebabkan mereka
gugur. Namun protes dari penyedia tersebut tidak dihiraukan oleh ULP dan tetap
mengakui prosedur yang berlaku karena ULP, lebih patuh terhadap aturan daripada
tekanan penyedia. Tuduhan bahwa ULP tidak steril karena banyak penyedia barang
dan jasa yang datang langsung, dibantah oleh informan ULP bahwa yang datang ke
ULP bukan untuk menemui panitia untuk kolusi, tetapi karena mereka diundang
untuk membuktikan kualifikasi calon pemenang.77 Jadi kehadiran mereka untuk
kepentingan partai Selain itu sendiri yang diperlukan. Sedangkan pendapat yang
mendiskreditkan ULP merupakan upaya mengembalikan fungsi panitia ke masing-
masing OPD agar memudahkan persekongkolan, namun hal tersebut sudah tidak
dimungkinkan, mengingat dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010
mewajibkan ULP menjadi lembaga struktural. (Ika Mardiah,2014 :166-167)

Keluhan DPRD mengenai pemilihan penyedia barang dan jasa dinilai sudah
tidak murni lagi. Banyak muatannya, karena mereka merupakan para pengusaha
konstruksi atau penyedia barang dan jasa lainnya. 78 Keluhan yang sering
disampaikan adalah penawaran terendah yang menang, sehingga kualitas pekerjaan
rendah, atau penyedia barang dan jasa yang menang di luar Jawa Barat, dan peserta
yang menang penyedia yang sama. Keluhan mengenai harga penawaran terendah
yang menang tentunya sangat aneh, mengingat dalam prinsip-prinsip pengadaan
dan peraturannya yang mengutamakan kompetisi dan efisiensi, penawaran terendah
bila sesuai secara teknis dan administrasi layak untuk menang. Tuduhan bahwa
dengan memenangkan penawaran terendah berarti akan korupsi, sulit diterima,
karena pada penawaran terendah selain negara diuntungkan dengan efisiensi, akan

13
sulit menyediakan biaya untuk Korupsi atau gratifikasi kepada pemilik pekerjaan
atau kepada panitia.Praktek monopoli atau kolusi antar peserta lelang seperti calon
pemenang yang mundur dan akhirnya panitia menetapkan pemenang urutan
berikutnya dengan penawaran tinggi merupakan salah satu praktek korupsi. (Ika
Mardiah,2014 :167)

Dengan demikian dalam proses pemilihan penyedia barang dan jasa melalui
tender, tidak hanya panitia pengadaan yang harus bebas korupsi tapi juga dari sisi
peserta. Upaya untuk mempengaruhi keputusan panitia pengadaan dilakukan
berbagai pihak, dan dari sisi peserta dengan melakukan persekongkolan antar
peserta yang sudah jelas dilarang dalam undang-undang nomor 5 tahun 1995
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
didalamnya termasuk melanggar praktek monopoli dan persekongkolan dalam
tender hal tersebut menunjukkan bahwa dalam proses tidak hanya regulasi
mengenai tender yang diperhatikan oleh semua pihak, yang terlibat tetapi juga
peraturan perundangan lainnya serta etika dan norma yang berlaku pada masyarakat
mengingat SPSE cukup transparan dan mudah diakses oleh semua pihak secara luas
seperti pendapat Stigler (Albano dkk, 2006 :347) hal tersebut dapat mencegah
persekongkolan ataupun perilaku monopoli. (Ika Mardiah,2014 :167-168)

Penggunaan SPSE yang menyediakan informasi secara transparan, dapat


diakses publik dengan mudah, sehingga meningkatkan partisipasi, serta tersedianya
fitur e-audit untuk memudahkan audit atau bahkan penyidikan, telah mendorong
panitia pengadaan (ULP) untuk patuh dan mengikuti prosedur yang berlaku.
Aplikasi SPSE juga telah meningkatkan ahli pengadaan yang bersertifikat untuk
menjadi panitia lelang karena adanya jaminan keamanan informasi terhadap hasil
kerjanya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Behn (2000) bahwa publik menuntut
akuntabilitas keadilan dari pemerintah dalam hal memilih penyedia barang dan jasa.
Akuntabilitas tidak hanya berkaitan dengan penggunaan keuangan, tetapi lebih
menyangkut penyelesaian tugas secara lebih terbuka, efisien, efektif. Namun
kepatuhan penggunaan SPSE belum diikuti dengan kepatuhan terhadap prosedur
dan hukum yang berlaku.Tekanan dari pemimpin unit kerja ataupun elit politik

14
merupakan salah satu penyebab panitia pengadaan tidak akun tabel dalam
melaksanakan tugasnya. Demikian pula partisipasi warga masih rendah, disebabkan
SPSE belum cukup dikenal oleh warga (Civil Society) untuk melakukan
pengawasan. Demikian pula pengawasan oleh aparat pemeriksa internal pemerintah
(APIP) juga masih rendah, karena jumlah dan kualitas auditor sangat terbatas, tidak
sebanding dengan jumlah paket yang dilelang kan menggunakan SPSE. Disamping
itu penegakan hukum yang lemah merupakan penyebab lemahnya akuntabilitas.
(Ika Mardiah,2014 :168-169)

15
Analisis
Buku yang berjudul Akuntabilitas Pemerintah Berbasis Teknologi dan
Komunikasi ini adalah buku yang menggambarkan mengenai bagaimana
pemerintah melakukan tanggungjawabnya namun didasarkan dengan penggunaan
teknologi, yaitu salah satunya dengan adanya Sistem Pengadaan Secara Elektronik
(SPSE). Dengan adanya SPSE ini dapat memudahkan pemerintah dalam melakukan
pertanggungjawabannya, dengan adanya SPSE ini pemerintah memberikan
transaparansi kepada masyarakat, karena dengan SPSE ini dapat memudahkan
masyarakat mengetahui kinerja pemerintah apakah kinerja pemerintah itu sudah
baik atau belum.

SPSE adalah salah satu bentuk wujud pemerintah agar dapat menjalankan e-
Governance, dimana di era yang sudah modern ini penggunaan teknologi
merupakan hal yang sangat penting, agar dapat memeprmudah akses untuk
mendapatkan informasi dan dapat membuat masyarakat merasakan pelayanan yang
lebih mudah.

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) melalui penggunaan aplikasi


Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) belum sepenuhnya mampu
mewujudkan akuntabilitas pemerintah provinsi Jawa Barat dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Hal tersebut disebabkan beberapa panitia pengadaan
belum memahami konsekuensi penggunaan SPSE yang memberi jaminan
transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi yang luas kepada warga.
Transparansi pada akuntabilitas dan merupakan ciri dari teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) transparensi juga memudahkan partisipasi warga untuk
melakukan pemantauan pelaksanaan pengadaan dengan informasi yang tersedia
pada siswa SD dan mudah diakses secara luas Melalui penggunaan internet.

Akuntabilitas lalu paralel dengan transparansi yang memudahkan partisipasi


warga, sehingga mendorong perubahan perilaku aparatur Pemerintah dalam hal ini
panitia pengadaan barang dan jasa, untuk mematuhi norma, bertanggung jawab,
mematuhi standar profesional, mematuhi moral, hukum yang berlaku, dan yang
paling utama adalah kepentingan publik.

16
Namun partisipasi warga masih rendah, disebabkan SPSE belum cukup dikenal
oleh warga untuk melakukan pengawasan. Demikian pula pengawasan oleh aparat
pemeriksa internal pemerintah (APIP) juga masih rendah, karena jumlah dan litas
auditor sangat terbatas tidak sebanding dengan jumlah paket yang dihilangkan
menggunakan SPSE. Disamping itu penegakan hukum yang lemah merupakan
penyebab lemahnya akuntabilitas.

Jaminan akuntabilitas penggunaan SPSE didukung oleh kolaborasi


pengelolaan tik antar instansi pada pemerintah, dalam hal ini KPP lembaga Sandi
Negara dan BPKP dengan pemerintah daerah, LKPP sebagai pengembang dan
penjaga sistem, lembaga sandi negara sebagai pengembang certificate authority
dan penjamin keamanan sistem PPKS sebagai penjamin fungsi E-audit serta daerah
sebagai pengelola layanan sedangkan pada sisi lain, para akademisi di bidang teknik
melakukan tugas uji coba keamanan dan kewilayahan dalam sistem hal tersebut
sejalan dengan paradigma new public service yang bercirikan kolaborasi antar
instansi akan antar stakeholders.

Sejalan dengan hasil studinya bahwa dalam penggunaan TIK, leadership


memegang peran penting bahkan sangat menentukan, sedangkan aspek teknis
memiliki peran yang kecil. Komitmen pimpinan daerah dalam penggunaan SPSE
sangat tinggi sehingga mendorong kepatuhan panitia pengadaan untuk
menggunakan aplikasi tersebut. Namun kepatuhan penggunaan SPSS belum diikuti
dengan kepatuhan terhadap prosedur dan hukum yang berlaku. Tekanan dari
pimpinan unit kerja atau politik merupakan salah satu penyebab panitia pengadaan
tidak akuntabel dalam melaksanakan tugasnya.

Kesenjangan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi antar satuan


kerja di lingkungan pemerintah provinsi Jawa Barat, berakibat pada tidak
meratanya penggunaan TIK dalam proses pemerintahan di Jawa Barat
implikasinya, akuntabilitas dan transparansi masih sulit diwujudkan secara merata
pada semua aspek dan lini.

17
Konsep baru yang dapat dikemukakan yaitu teknologi informasi dan
komunikasi dengan transparansi sebagai karakternya, pendorong partisipasi warga
dalam pengambilan keputusan pemerintah yang didukung oleh penegakkan hukum
mampu mewujudkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Salah satu contoh penerapan dari akuntabilitas pemerintah berbasis teknologi


adalah penerapan SPSE dalam bidang barang dan jasa.

Dalam rangka mendapatkan barang dan jasa, dengan penawaran harganya


dilakukan satu kali pada hari, tanggal, dan waktu yang telah ditentukan dalam
dokumen pengadaan. Proses pemilihan penyedia barang dan jasa adalah untuk
mencari harga terendah tanpa mengabaikan kualitas dan sasaran yang telah
ditetapkan, dengan mempergunakan media elektronik yang berbasis pada web atau
internet dengan memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi. Selain
itu di dalam SPSE juga telah ditetapkan fasilitas untuk proses audit secara online
(e-Audit). SPSE mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sejak tanggal 6 Agustus 2010 telah ditetapkan aturan baru dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Bab I Ketentuan Umum Bagian Pertama, Pengertian dan Istilah, Pasal 1, disebutkan
bahwa:

“Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan


Baran/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/jasa oleh
Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang
prosesnya dimulai sejak perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya
seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”

Dengan demikian proses pengadaan bukan hanya terbatas pada proses


pemilihan penyedia barang dan jasa atau tender/lelang, tetapi merupakan rangkaian
proses sejak perencanaan kebutuhan, melalui identifikasi pada masing-masing unit

18
kerja, proses pengusulannya, penganggaran, penetapan, dan proses memperoleh
barang dan jasa tersebut melalui berbagai metode. Bahkan sesungguhnya yang
disebut pengadaan menurut teorinya sampai dengan penghapusan. Sedangkan
dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Bab I Ketentuan Umum Bagian Pertama,
Pengertian dan Istilah , Pasal 1, agak sedikit berbeda dan lebih bersifat umum serta
dibatasi hanya yang bersumber dari APBN/APBD, yaitu:

“Pengadaan Barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa


yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara
swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.”

Perbedaan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dengan Peraturan


Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagai aturan penggantinya, cukup banyak dengan
memperjelas fungsi dan tugas pokok masing-masing pihak dalam pengadaan
barang/jasa. Di samping itu pada aturan terbaru, juga mengatur pemilihan penyedia
barang dan jasa yang berasal dari hibah/hutang luar negeri atau dana masyarakat.

Dalam proses pengadaan barang dan jasa terdapat beberapa pihak yang terlibat.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dengan Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 cukup banyak perbedaan. Perbedaan paling signifikan
adalah peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sebagai pejabat yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan barang dan jasa. Pada Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003, PPK memiliki kewenangan menyetujui calon pemenang
tender, sedangkan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, kewenangan
tersebut berada sepenuhnya pada ULP/Panitia Pengadaan.

Perbedaan lainnya dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010,


diwajibkan semua instansi untuk membentuk LPSE dan melaksanakan pemilihan
penyedia barang dan jasa dilakukan secara elektronik dengan menggunakan SPSE.
Kewajiban tersebut merupakan salah satu dari sepuluh agenda penerapan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pemerintahan yang ditetapkan dalam Program
Strategis Dewan TIK Nasional (DeTIKNas) disamping National Single Window,

19
e-Pendidikan, Palapa Ring, Software Legal, e-Anggaran, Single Identity Number,
e-Health, e-Cultural Hetitage dan e-Agriculture.

Aktivitas yang dilakukan pada proses pelaksanaan lelang dalam Sistem


Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang dimuat pada website LPSE Provinsi
Jawa Barat pada Fitur Persyaratan dan Ketentuan adalah sebagai berikut:

a. Pendaftaran Penyedia
b. Melengkapi data Penyedia
c. Mendaftar untuk ikut lelang
d. Melakukan penjelasan lelang (aanwijzing)
e. Men-download dokumen lelang
f. Mengirim dokumen kualifikasi
g. Mengirim dokumen penawaran
h. Melakukan sanggah.

e-Procurement di Jawa Barat

Pemerintah Provinsi jawa Barat telah melaksanakan pemilihan penyedia


barang dan jasa secara elektronik dengan menggunakan SPSE secara luas sejak
tahun 2009. LPSE Jawa Barat diresmikan pada 1 Juli 2008. Jumlah penyedia yang
berdomisili d Jawa Barat yang mendapat kode akses pada Tahun 2009 sebanyak
2684 penyedia. Sedangkan jumlah penyedia yang mendapat kode akses pada Tahun
2010 sebanyak 1925. Jumlah penyedia yang mendapat kode akses sejak Tahun
2008 sampai 2010 sebanyak 4609.

Untuk penyedia barang dan jasa yang berdomisili di Kabupaten dan Kota di
Jawa Barat, yang paling benyak berasal dari Kota Bandung dan kedua dari
Kabupaten Bandung. Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian besar penyedia
berkumpul di ibukota provinsi dan sekitarnya. Kondisi tersebut disebabkan
ketergantungan penyedia terhadap anggaran pemerintah cukup besar dan peluang
untuk membuat perusahaan yang cukup dekat dengan kantor pemerintah lebih
besar. Penyedi yang berada di Kabupaten dan kota lain yang jauh dari ibukota
provinsi lebih banyak mengikuti lelang di daerahnya. Hal tersebut juga berkaitan

20
dengan adanya asumsi bahwa hanya penyedia setempat yang berhak untuk
mendapatkan pekerjaan di daerahnya, yang tentunya bertentangan dengan prinsip
pengadaan yang tidak membatasi domisili penyedia, dan bersifat nasional.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencanangkan 75% pemilihan penyedia


barang dan jasa untuk Tahun 2009 menggunakan SPSE atau sekitar 725 paket dari
912 paket yang harus dilelangkan. Sepanjang tahun 2009 telah dilaksanakan lelang
untuk 682 paket, sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melelangkan 623
paket yang terdiri dari pemilihan penyedia barang, jasa konstruksi, dan jasa lainnya
(kecuali jasa konsultasi).

Dari uji coba yang penulis lakukan dengan mengikuti pelatihan pada website
pelatihan LPSE Provinsi Jawa Barat, proses penggunaan aplikasi pengaman
dokumen (Apendo) yang dikembangkan oleh Lembaga Sandi Negara cukup mudah
dan mampu memperkecil besaran file, sehingga memudahkan untuk pengiriman
data penyedia. Fungsi aplikasi pengaman dokumen tersebut adalah untuk
menyampul file dengan kunci publik yang tersedia pada paket yang diikuti dan
sekaligus memperkecil file yang dikirim. File yang telah disampul akan berubah
menjadi file rhs (rahasia) yang hanya dapat dibuka oleh panitia pengadaan yang
memiliki kewenangan pada paket tersebut dan membukanya dengan menggunakan
kunci privat.

Apabila file yang dikirim tidak menggunakan aplikasi pengaman dokumen,


maka sistem akan menolak dan mengingatkan peserta lelang untuk melakukan
proses penyampulan tersebut. Dari uji coba tersebut menunjukan bahwa SPSE telah
menyediakan jaminan keamanan data seperti yang dikemukakan pada prinsi-prinsip
e-Procurement. Jaminan keamanan data ini yang menumbuhkan perasaan aman
bagi para pengguna SPSE, sehingga pengiriman file oleh peserta dapat berlangsung
dengan aman dan file hanya dapat dibuka pada waktunya serta oleh personil yang
ditugaskan dan terdaftar pada paket tersebut sebagai panitia pengadaan.

21
Jumlah penyedia yang menjadi pemenang dari 564 paket adalah 412 penyedia
barang dan jasa. Hal tersebut berarti terdapat beberapa penyedia yang menang lebih
dari satu paket. Dari data yang diperoleh dari Pakar Report LPSE Provinsi Jawa
Barat, penyedia yang memenangkan lebih dari satu paket rentangnya antara 2
sampai dengan 10 paket. Seperti PT. Mulus Natausaha mencapai 10 paket. Pada
tahun kedua yaitu Tahun 2010 mencapai 1.562 paket dengan pagu RP. 2,4 Triliyun
dan efisiensi sebesar RP. 320.500.771 (13,60%).

Data tersebut mencakup paket lelang Satuan Kerja pada Pemerintah Provinsi
Jawa Barat, tujuh instansi vertikal, tiga belas Pemerintah Kabupaten dan Kota, serta
tiga Perguruan Tinggi di Jawa Barat.

Paket lelang pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri mencapai 858 paket
dengan pagu mencapai Rp. 1,6 Triliyun, dan efisiensi mencapai Rp.
243.346.747.399,45 (15,41%). Jumlah Panitia pengadaan yang terlibat dalam
tender di OPD Provinsi Jawa Barat pada Tahun 2010 sebanyak 277.

Data paket lelang yang menggunakan aplikasi SPSE pada Pemerintahan


Provinsi Jawa Barat selama dua tahun yaitu 2009 dan 2010 merupakan yang
tertinggi di Indonesia. Dibandingkan dengan LPSE lain yang memulai secara
bersamaan pada Tahun 2008. Pada Tahun 2009 Kementrian Keuangan 127 paket
dengan pagu Rp. 1,3 Triliyun, Provinsi Gorontalo sebanyak 82 paket dengan pagu
sebesar Rp. 76 Milyar, Provinsi Jawa Timur sebanyak 64 paket dengan pagu
sebesar Rp. 107 Milyar, Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 13 paket dengan
pagu Rp. 3,9 Milyar, Provinsi Sumatera Barat sebanyak 84 paket dengan pagu
sebesar Rp. 48 Milyar.

Kesungguhan dan keseriusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam


penggunaan SPSE juga didukung dengan menyediakan hardware dan infrastruktur
jaringan dan komunikasi serta fasilitas lainnya. Untuk hardware pada LPSE
Provinsi Jawa Barat disediakan server yang memadai untuk mampu digunakan
dengan aktivitas pengguna yang sangat tinggi. Sedangkan dari sisi infrastruktur
jaringan, selain menyediakan bandwidth yang cukup lebar di LPSE yaitu sebesar

22
10 Mbps, juga menyediakan koneksi Virtual Private Network (VPN) untuk seluruh
OPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat termasuk Badan Koordinasi
Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah yang ada di 4 kabupaten dan kota, yaitu
Kota Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kota Cirebon dan Kabupaten Garut.

Menurut Kepala Bidang Telematika Dinas Komunikasi dan Informatika


Provinsi Jawa Barat, “Selain seluruh OPD, pada tahun 2010 juga terkoneksi dengan
8 kabupaten dan kota, dengan anggaran seluruhnya sebesar Rp. 7,6 Milyar. Pada
tahun 2011 koneksi VPN dengan bandwith yang lebih besar selain untuk seluruh
OPD juga untuk 26 Kabupaten dan Kota, dengan anggaran sekitar Rp. 11 Milyar.

Fasilitas lainnya yang disediakan dengan memanfaatkan VPN tersebut adalah


menyediakan Ruangan Bidding yaitu tempat peserta lelang dapat mengirimkan
berkas atau file penawarannya, dibeberapa tempat antara lain, pada Kantor Balai
LPSE, pada Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika, serta pada Kantor BKPPW
yang terletak di Kota Bogor, Purwakarta, Kota Cirebon dan Garut. Fasilitas tersebut
sudah disediakan sejak tahun 2010 dan digunakan oleh peserta lelang disekitar
wilayah tersebut.

Fasilitas yang disedikaan tersebut menurut Sekretaris Daerah Provinsi Jawa


Barat, “Dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan akses internet bagi peserta
lelang, yang sering dikeluhkan sulit mengunggah file penawaran karena tidak ada
internetnya sangat lambat. Namun fasilitas yang disedikan diakui oleh personil di
Kantor BKPPW belum dimanfaatkan secara optimal, karena peserta banyak yang
belum mengetahui keberadaan Ruang Bidding tersebut, walaupun telah diumumkan
di media massa ataupun website LPSE Provinsi Jawa Barat.

Dukungan lainnya terhadap penggunaan SPSE pada Pemerintah Jawa Barat


yaitu memberikan tunjangan perbaikan penghasilan yang berbeda kepada pengelola
LPSE, yaitu lebih tinggi dari PNS lainnya. Menurut Sekretaris Daerah Provinsi
Jawa Barat, “hal tersebut dilakukan agar pengelola LPSE dapat menjaga sistem
dengan baik dan dalam waktu 24 jam, mampu menjaga integritasnya, serta resiko
pekerjaan ynag cukup tinggi terhadap tekanan dan iming-iming gratifikasi yang

23
dapat mempengaruhi proses lelang”. Demikian pula untuk menjaga integritas,
profesionalisme dan independensi ULP, diberikan honorarium kepada anggota
Pokja ULP berdasarkan paket pekerjaan yang dilaksanakan dengan nilai
honorarium cukup besar diluar tunjangan bulanan yang diterimanya pada tugas
pokok disatuan kerjanya.

Penyediaan Hardware yang memadai, kemudahan akses internet dengan


penyediaan infrastruktur jaringan komunikasi, pemberian tunjangan yang lebih
tinggi,dan honorarium khusus bagi personil yang terlibat dalam proses pemilihan
penyedia barang dan jasa merupakan upaya yang telah dilakukan agar proses
pemilihan penyedia barang dan jasa menggunakan SPSE agar berlangsung dengan
barang dan jasa menggunakan SPSE agar berlangsung dengan bersih dan akuntabel.
Hal tersebut merupakan komitmen pimpinan daerah terhadap proses pemilihan
penyedia barang dan jasa secara elektronik yang didukung dengan kebijakan
lainnya dari aspek infrastruktur dan intensif yang memadai kepada personil yang
terlibat dalam proses tersebut.

Pada sistem pengadaan pemerintah secara elektronik dihasilkan semua


informasi seperti tender, penilaian dan informasi tentang proses penawaran, serta
persyaratan mengikuti tender dalam sebuah portal online. Hal tersebut telah
meningkatkan transparansi untuk partisipasi penyedia barang dan jasa serta
masyarakat umum. Penyedia barang dan jasa dengan mudah mendapatkan
informasi dengan cara login ke SPSE ataupun hanya dari tampilan halaman muka
website LPSE. Demikian pula publik dapat ikut melihat melalui website LPSE
informasi lelang dengan lengkap, kecuali dokumen lelang yang hanya
diperuntukkan bagi peserta yang mendaftar. Kemudahan memperoleh informasi
tersebut memudahkan penyedia barang dan jasa untuk mengikuti lelang dan bagi
publik untuk memantau proses pelelangan tersebut.

Dari salah satu contoh di atas mengenai penggunaan SPSE dalam bidang
barang dan jasa kita dapat mengetahui bahwa dengan adanya bantuan teknologi
dalam pengadaan barang dan jasa dapat memberikan kemudahan bagi para aparatur
negara, sehingga para aparatur negara dapat bekerja secara efektif dan efisien.

24
Dengan bekerja secara efektif dan juga efisien, segala pekerjaan yang
dilakukan akan mendapatkan hasil yang terbaik, misal saja jika pemerintah negara
Indonesia tidak melakukan inovasi dalam bidang teknologi maka dapat dipastikan
bahwa segala hal yang dikerjakan pemerintah akan membutuhkan waktu yang lama.

25

Anda mungkin juga menyukai