Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Myelodysplastic/myeloproliferative neoplasm (MD/MPN) adalah suatu

neoplasma sumsum tulang dimana dapat ditemukan keadaan displasia dan/atau

proliferasi dalam sumsum tulang. Beberapa kepustakaan menyebutkan keadaan ini

sebagai MDS/MPN atau MD/MPNs. Myelodysplastic/myeloproliferative neoplasm

dapat menunjukkan beberapa gejala klinis yang beragam, dan dalam kurun waktu

yang sama bisa didapatkan dua keadaan yang berbeda, yakni: gambaran persisten

sitopenia dan displasia yang melibatkan satu atau lebih galur dari mieloid dan lebih

menyerupai gambaran dari suatu myelodysplastic syndrome (MDS), dan pada saat

yang sama juga dapat menunjukkan gambaran proliferatif (splenomegali,

neutrophilia, monositosis, dan trombositosis) yang sesuai dengan suatu gambaran

suatu myeloproliferative neoplasm (MPN).1,2

Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) merupakan salah satu dari

manifestasi klinis dari MD/MPN. Keadaan ini ditandai dengan ditemukan adanya

mieloblast, monoblast dan promonosit pada darah perifer dan sumsum tulang.

Penanganan pada kasus CMML menjadi sulit karena rata-rata kasus terjadi pada

pasien dengan usia lanjut (median umur 65-70 tahun), disertai dengan penyakit

komorbid non hematologi yang lain, relatif tidak dapat menoleransi terapi yang

diberikan, dan memiliki prognosis yang buruk.3 Oleh karena itu, penegakan

diagnosis secara dini dan pemantauan dari hasil terapi menjadi sangatlah penting.

1
Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai klasifikasi MDS/MPN, CMML,

dan peranan laboratorium dalam penatalaksanaan kasus CMML.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Myelodysplastic-Myeloproliferative Neoplasm

Myelodysplastic/myeloproliferative neoplasm (MD/MPN) adalah suatu

neoplasma sumsum tulang dimana ditemukan keadaan displasia dan/atau proliferasi

sumsum tulang. Beberapa kepustakaan menyebutkan keadaan ini sebagai

MDS/MPN atau MD/MPNs. Myelodysplastic/myeloproliferative neoplasm dapat

menunjukkan beberapa gejala klinis yang beragam, dan dalam kurun waktu yang

sama bisa didapatkan dua keadaan yang berbeda, yakni: gambaran persisten

sitopenia dan displasia yang melibatkan satu atau lebih galur myeloid, yang lebih

menyerupai gambaran myelodysplastic syndrome (MDS) dan pada saat yang sama

juga dapat menunjukkan gambaran proliferatif (splenomegali, neutrophilia,

monositosis, dan atau trombositosis) yang sesuai dengan gambaran

myeloproliferative neoplasm (MPN).1,2

Pada kebanyakan kasus MD/MPN, terjadi hiperselularitas dari sumsum tulang

sebagai akibat proliferasi pada setidaknya satu galur mieloid. Blast yang ditemukan

selalu kurang dari 20% leukosit darah perifer dan kurang dari 20% dari sel-sel

berinti dalam sumsum tulang. Sama halnya dengan MDS, penyakit ini dapat

berkembang menjadi suatu acute myeloid leukemia (AML).2

3
2.1.1 Klasifikasi CMML

Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML) adalah salah satu sindrom

myelodisplastik/myeloproliferatif yang paling sering ditemukan4 Sebelum adanya

klasifikasi WHO, FAB (seperti yang terlihat pada Tabel 2.1) mengklasifikasikan

CMML sebagai MDS dan membedakan displastik dengan varian proliferasi,

berdasarkan jumlah sel darah putih (di bawah atau di atas 13.000 /mm3).5

Tabel 2.1 Klasifikasi Myelodisplastic Syndrome berdasarkan French-


American-British (FAB)
Bone
Peripheral Likelihood Proportion
Marrow Median
Blood Blast of of FAB
MDS Subtype Blasts Survival
Proportion Progression MDS
Proportion (years)
(%) to AML Diagnoses
(%)
Refractory 10% to
≤1 <5 Low 4-5
anemia (RA) 40%
Refractory
anemia with
ring(ed) ≤1 <5 Very low 7-10 5% to 25%
sideroblasts
(RARS)
Refractory
20% to
anemia with <5 5-20 High 1-2
40%
excess blasts
Refractory
anemia with
10% to
excess blasts in ≤5 21-29 Very High <1
30%
transformation to
AML (RAEB-t)
Chronic
Myelomonocytic 10% to
<5 ≤ 20 Moderate 1-3
Leukemia 20%
(CMML)
Dikutip dari: Abeloff6

4
Pada tahun 2001, WHO mengklasifikasikan CMML dalam kategori MDS/MPD

dan masih termasuk dalam klasifikasi MDS (Tabel 2.2). Pada tahun 2008,

dikeluarkan revisi mengenai klasifikasi kasus CMML ini, dengan menggolongkan

MDS/MPD sebagai klasifikasi di luar dari klasifikasi MDS (Tabel 2.3).4,7

Tabel 2.2 Klasifikasi MDS WHO 2001


MDS Subtype
Refractory Anemia (RA) / Refractory Anemia with Ring Sideroblast (RARS)
Refractory cytopenia with Multi-lineage Dysplasia (RCMD)
Refractory Anemia with Excess Blasts (RAEB)
1. RAEB 1
2. RAEB2
MDS/MPD
5q-syndrome
Unclassified MDS
Dikutip dari: Vardiman4

Tabel 2.3 Klasifikasi WHO 2008 dari Myeloid Neoplasm dan Leukemia Akut
Myeloproliferative neoplasm (MPN)
Chronic myelogenous leukemia
Polycythemia vera
Primary myelofibrosis
Essential thrombocythemia
Chronic eosinophilic leukemia, not otherwise specified
Mastocytosis
Myeloproliferative neoplasms, unclassifiable
Myeloid and lymphoid neoplasm associated with eosinophillia and
abnormalities of PDGFRA, PDGFRB, or FGFR1
Myeloid and lymphoid neoplasms associated with PDGFRA rearrangement
Myeloid neoplasms associated with PDGFRB rearrangement
Myeloid and lymphoid neoplasms associated with FGFR1 abnormalities
Myelodysplastic/Myeloproliferative neoplasm (MDS/MPN)
Chronic myelomonocytic leukemia
Atypical chronic myeloid leukemia, BCR-ABL1-negative
Juvenile myelomonocytic leukemia
Myelodysplastic/myeloproliferative neoplasm, unclassifiable
Provosional entity: refractory anemia with ring sideroblasts and
thrombocytosis
Myelodysplastic syndrome (MDS)
Refractory cytopenia with unilineage dysplasia
 Refractory anemia
 Refractory neutropenia
 Refractory thrombocytopenia

5
Refractory anemia with ring sideroblasts
Refractory cytopenia with multilineage dysplasia
Refractory anemia with excess blasts
Myelodysplastic syndrome with isolated del(5q)
Myelodysplastic syndrome, unclassifiable
Childhood myelodysplastic syndrome
Provisional entity: refractory cytopenia of childhood
Acute myeloid leukemia and related neoplasms
Acute myeloid leukemia with recurrent genetic abnormalities
 AML with t(8;21)(q22;q22); RUNX1-RUNX1T1
 AML with inv(16)(p13.1q22) or t(16;16)(p13.1;q22); CBFB-MYH11
 APL with t(15;17)(q22;q12); PML-RARA
 AML with t(9;11)(p22;q23); MLLT3-MLL
 AML with t(6;9)(p23;q34); DEK-NUP214
 AML with inv(3)(q21q26.2) or t(3;3)(q21;q26.2); RPN1-EVI1
 AML (megakaryoblastic) with t(1;22)(p12;q13); RBM15-MKL1
 Provisional entity: AML with mutated NPM1
 Provisional entitu: AML with mutated CEBPA
Acute myeloid leukemia with myelodysplasia-related changes
Therapy-related myeloid neoplasms
Acute myeloid leukemia, not otherwise specified
 AML with minimal differentiation
 AML without maturation
 AML with maturation
 Acute myelomonocytic leukemia
 Acute monoblastic/monocytic leukemia
 Acute erythroid leukemia
-. Pure erythroid leukemia
-. Erythroleukemia, erythroid/myeloid
 Acute megakaryoblastic leukemia
 Acute basophilic leukemia
 Acute panmyelosis with myelofibrosis
Myeloid sarcoma
Myeloid proliferations related to Down syndrome
 Transient abnormal myelopoesis
 Myeloid leukemia associated with Down syndrome
Blastic plasmacytoid dendritic cell neoplasm
Acute leukemias of ambiguous lineage
Acute undifferentiated leukemia
Mixed phenotype acute leukemia with t(9;22)(q34;q11.2); BCR-ABL1
Mixed phenotype acute leukemia with t(v;11q23);MLL rearranged
Mixed phenotype acute leukemia, B-myeloid, NOS
Mixed phenotype acute leukemia. T-myeloid, NOS
Provisional entity: natural killer (NK) cell lymphoblastic leukemia/lymphoma
B lymphoblastic leukemia/lymphoma

6
B lymphoblastic leukemia/lymphoma, NOS
B lymphoblastic leukemia/lymphoma with recurrent genetic abnormalities
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(9;22)(q34;q11.2);BCR-
ABL1
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(v;11q23);MLL rearranged
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(12;21)(p13;q22) TEL-AML1
(ETV6-RUNX1)
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with hyperdiploidy
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with hypodiploidy
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(5;14)(q31;q32) IL3-IGH
 B lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(1;19)(q23;p13.3);TCF3-
PBX1
T lymphoblastic leukemia/lymphoma
Dikutip dari: Blood4

2.2 Chronic Myelomonocytic Leukemia

Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML) merupakan suatu kelainan

myeloproliferative / myelodysplastic yang ditandai dengan adanya monositosis

pada darah perifer ( > 1 × 10 9/L dan paling sedikit 10% dari hasil hitung jenis

leukosit).8-10 Chronic Myelomonocytic Leukemia memiliki karakteristik

menyerupai gambaran suatu leukemia myeloid kronik, namun dibedakan dengan

adanya proliferasi pada mieloid, terutama monositik dan ditemukan adanya

displasia pada seri eritroid dan megakariosit.5,9

2.2.1 Etiologi dan Epidemiologi

Etiologi dari penyakit CMML sampai saat ini masih belum diketahui. Pada dua

puluh sampai empat puluh persen kasus CMML ditemukan adanya kelainan

genetik, yakni terjadi trisomi 8, monosomi 7, delesi pada 12p atau 20q, selain itu

juga tidak ditemukan adanya fusi gen Breakpoint Cluster Region-ABL (BCR-

ABL1), PDGFRA, PDGFRB, atau FGR18-11

7
Sekitar 20 - 60% dari pasien dengan kasus CMML dilaporkan mengalami mutasi

dari Neuroblastoma Rat Sarcoma (NRAS) atau Kirsten Rat Sarcoma (KRAS).4,12

Pada beberapa kasus juga ditemukan adanya mutasi dari Janus Kinase 2 (JAK2)4.

Selain itu juga ditemukan adanya mutasi dan rearangement dari Run Related

Transcription Factor 1 (RUNX1), hal ini sering berkaitan dengan adanya RAS

yang bermutasi, sehingga menimbulkan gagasan bahwa perubahan pada jalur

transduksi sinyal dari RAS dapat menyebabkan terjadinya myeloproliferasi,

sedangkan RUNX1 yang bermutasi dapat mengakibatkan kelainan dari

perkembangan sel dan terjadi displasia.2,13 Kasus CMML terutama ditemukan pada

laki-laki dengan usia >60 tahun, dengan median antara usia 65-70 tahun, insidensi

1 dari 100.000 penduduk.3

2.2.2 Patogenesis

Meskipun CMML jauh lebih umum ditemukan daripada juvenile

myelomonocytic leukemia (JMML), patogenesis dari JMML lebih banyak

dipahami, hal ini disebabkan sel-sel progenitor hematopoietik pada JMML

menunjukkan reaksi hipersensitivitas dengan granulocyte-macrophage colony-

stimulating factor (GM-CSF), tetapi tidak pada faktor pertumbuhan lainnya. Seperti

yang terlihat pada Gambar 2.1, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor

(GM-CSF) berikatan dengan reseptornya dan menyebabkan heterodimerisasi,

menarik kompleks molekul sinyal dan adapter yang mencakup SHC dan Grb2.

Protein ini, kemudian merekrut Gab2, SHP-2 (yang dikode oleh PTPN11), dan

SOS, yang kemudian mengkatalisis pertukaran nukleotida guanin pada Ras dan

8
meningkatkan tingkat intraselular Ras-guanosin trifosfat (GTP-Ras). Setelah

diaktifkan, Ras-GTP berinteraksi dengan sejumlah efektor. Protein aktivator

GTPase , neurofibromin (dikodekan oleh NF1) dan p120GAP, mengikat Ras-GTP

dan mempercepat konversi activated Ras-GTP menjadi bentuk tidak aktif, yakni

Ras-guanosin difosfat (Ras-PDB). Mutasi pada PTPN11 meningkatan aktivitas

SHP-2 fosfatase dan meningkatkan sinyal Ras.2

Gambar 2.1 Patogenesis JMML


Dikutip dari: Hematopathology2

9
2.2.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari kasus CMML ini menyerupai kasus leukemia mieloid

kronik, terutama ditemukan adanya demam dengan onset yang tiba-tiba, gejala-

gejala klinis yang timbul sebagai akibat adanya sitopenia, episode perdarahan atau

trombosis, dan ditemukan adanya splenomegali, hepatomegali, efusi pleura.14

Selain itu ditemukan juga adanya peningkatan atau dapat juga didapatkan jumlah

leukosit yang normal.8,15

2.3 Peranan Laboratorium Dalam Penatalaksanaan

Peranan laboratorium pada kasus-kasus CMML terutama pada penegakkan

diagnosis dan pada follow up terapi.

2.3.1 Diagnosis

Laboratorium memegang peranan penting dalam membantu penegakan

diagnosis CMML. Pemeriksaan laboratorium yang disarankan berdasarkan

National Comprehensive Cancer Network meliputi pemeriksaan hematologi rutin,

sediaan apus darah dan morfologi darah baik perifer maupun sumsum tulang, kadar

eritropoetin, kadar zat besi, feritin, TIBC dan kadar vitamin B12.16 Diagnosis dari

CMML dapat ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yakni:5,8,10

1. Peningkatan jumlah monosit absolut (>1 × 10 9/L)

2. Tidak adanya Philadelphia chromosome maupun fusi dari gen BCR-ABL

10
3. Tidak adanya Platelet-Derived Growth Factor Receptor Beta gene

(PDGFRB )

4. Persentase jumlah sel blast pada darah perifer dan sumsum tulang < 20%

5. Terdapat displasia sel setidak-tidaknya pada satu galur turunan mieloid

Bila didapatkan adanya displasia minimal atau bahkan tidak ditemukan adanya

displasia, terdapat kriteria alternatif dari WHO:

1. Didapatkan adanya kelainan dari klonal sitogenetik pada sumsum tulang

2. Monositosis persisten lebih dari 3 bulan

3. Bila penyebab lain dari monositosis sudah dapat disingkirkan

Subklasifikasi dari CMML, yakni CMML1 bila didapatkan adanya blast <5 %

pada darah perifer atau <10 % pada sumsum tulang (gambar 2.4), sedangkan

CMML2 bila didapatkan adanya blast antara 5 % sampai dengan 19 % pada darah

perifer atau 10 – 19 % pada sumsum tulang (gambar 2.5).5,8,10 Algoritma untuk

menentukan diagnosis CMML dapat dilihat pada gambar 2.2.7

11
Gambar 2.2 Algoritma CMML
Dikutip dari Parikh7

12
Pada pemeriksaan sediaan apusan darah tepi dapat kita temukan gambaran

neutrofil pseudo-pelger dan agranular, disertai dominansi dari sel-sel monosit

(Gambar2.3).11 Pada laboratorium dapat ditemukan adanya hyperuricemia,

peningkatan kadar plasma vitamin B12, peningkatan lactate dehidrogenase (LDH),

peningkatan lysozyme urine dan serum, dan dapat juga ditemukan adanya

polyclonal hypergammaglobulinemia.5

Gambar 2.3 CMML pada darah tepi


Dikutip dari: Hoffbrand11

13
Gambar 2.4 CMML1 pada sumsum tulang
Dikutip dari: Aster8

Gambar 2.5 CMML2 pada sumsum tulang


Dikutip dari: Aster 8

14
Pemeriksaan menggunakan sitogenetik pada kasus CMML ini seringkali

didapatkan hasil normal. Pada pemeriksaan immunophenotyping dapat ditemukan

adanya aberans pada CD11b/HLA-DR, CD36/CD14, CD13, CD14, CD16, CD33,

CD 36, CD64 dan overekspresi pada CD56, namun dari semua aberansi yang

ditemukan, tidak ada yang spesifik untuk suatu CMML.17

2.3.2 Follow up terapi

Laboratorium dalam hal ini berperanan dalam hal menilai respons terapi yang

diberikan, meliputi terapi suportif (yakni, transfusi komponen darah), kemoterapi,

pemberian growth factor, dan stem cell transplant (SCT).17

Sama halnya dengan kasus MDS, allogenic stem cell transplantation (ASCT)

masih menjadi satu-satunya pilihan terapi yang potensial pada CMML. Namun,

terapi ini tidak dapat dilakukan pada semua kasus, terutama pada pasien-pasien

CMML yang sudah berusia lanjut. Angka kejadian relaps setelah terapi ini pun

mencapai 35%.5 Pada kasus dimana pasien tidak dapat menjadi kandidat baik terapi

transplantasi maupun kemoterapi, pemantauan hematologi rutin (hemoglobin,

hematokrit, jumlah leukosit, eritrosit dan trombosit) serta sediaan apus darah tepi

dan morfologi dilakukan setiap 1 bulan sekali selama 3 bulan pertama setelah

diagnosis ditegakkan. Setelah itu pemantauan hematologi dapat dilakukan setiap 3

bulan.17

Penggunaan kemoterapi intesif pada kasus-kasus dimana tidak dapat dilakukan

ASCT saat ini masih sangat terbatas, hal ini terkait dengan rendahnya tingkat

kesembuhan.5 Kemoterapi dengan hydroxy urea dan hypomethylating agents, yakni

15
dengan 5-azacitidine dan decitabine masih menjadi pilihan utama.17 Pemantauan

hasil terapi dilakukan setidak-tidaknya 1 bulan setelah pemberian terapi. Respons

dari terapi pada CMML masih mengacu pada pemantauan respons terapi dari MDS,

seperti yang terlihat pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Kriteria respon terapi pada MDS

Kategori Kriteria Respon


Remisi Komplit (RK) Sumsum tulang: ≤5% myeloblast dengan maturasi
normal dari semua turunan sel
Dysplasia persisten akan dicatat
Darah perifer: Hb ≥11 g/dl, trombosit ≥ 100.000
mm3, neutrofil ≥ 1.000 mm3
Remisi Sebagian (RS) Semua kriteria RK bila didapatkan abnormal
sebelum terapi diberikan, kecuali:
Blast pada sumsum tulang berkurang ≥ 50% setelah
terapi awal tetapi masih > 5%
Remisi Komplit Sumsum Sumsum tulang: ≤ 5% myeloblasts dan penurunan
Tulang sampai ≥ 50% setelah terapi awal
Stabil Gagal mencapai keadaan RS, akan tetapi tidak
ditemukan bukti adanya progresifivitas > 8 minggu
Gagal Meninggal dalam pemberian terapi atau adanya
progresifitas penyakit ditandai dengan perburukan
keadaan sitopenia, peningkatan jumlah blast pada
sumsum tulang.
Relaps setelah RK atau RS Setidak-tidaknya 1 dari kriteria berikut ini
ditemukan: persentase blast kembali pada keadaan
seperti sumsum tulang semula sebelum
mendapatkan terapi; reduksi dari konsentrasi Hb ≥
1.5 g/dl atau masih bergantung pada transfusi

16
Respon sitogenetik Komplit: hilangnya dari abnormalitas kromosom
tanpa disertai kemunculan kelainan yang lain.
Parsial: Setidak-tidaknya didapatkan reduksi 50%
dari abnormalitas kromosom.
Progresif Untuk pasien dengan:
Kurang dari 5% blasts: ≥ 50% blast meningkat
menjadi > 5% blasts
5%-10% blasts: ≥ 50% meningkat menjadi > 10%
blasts
10%-20% blasts: ≥ 50% meningkat menjadi > 20%
blasts
20%-30% blasts: ≥ 50% meningkat menjadi > 30%
blasts
Salah satu dibawah ini:
Setidak-tidaknya pengurangan 50% dari remisi
maksimum/respon pada granulosit atau trombosit;
reduksi pada Hb ≥ 2 g/dl; masih memerlukan
transfusi
Dikutip dari: Onida17

2.4 Prognosis

Prognosis pada kasus CMML memiliki median angka harapan hidup antara 20 -

40 bulan, dengan kemungkinan terjadi progresivitas ke arah leukemia mieloid akut

yang terjadi pada 15-30% kasus.12 Tidak ditemukan adanya perbedaan prognosis

yang signifikan, baik pada CMML dengan gambaran displastik maupun dengan

yang proliferatif.5

17
BAB III

RINGKASAN

Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) merupakan salah satu dari

manifestasi klinis MD-MPN. Chronic Myelomonocytic Leukemia memiliki karakteristik

menyerupai gambaran suatu leukemia myeloid kronik, namun dibedakan dengan adanya

proliferasi pada mieloid, terutama monositik dan ditemukan adanya displasia pada seri

eritroid dan megakariosit. Penanganan pada kasus CMML menjadi sulit karena rata-

rata kasus terjadi pada pasien dengan usia lanjut (median umur 65-70 tahun),

disertai dengan penyakit komorbid non hematologi yang lain, relatif tidak dapat

menoleransi terapi yang diberikan, dan memiliki prognosis yang buruk.

Laboratorium dalam hal ini, memiliki peranan terutama dalam membantu klinisi

menegakkan diagnosis dan follow up terapi.

18
SUMMARY

Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) is one of the clinical manifestations

of the MD-MPN. Chronic myelomonocytic leukemia has characteristics

resembling of a chronic myeloid leukemia, but is distinguished by the proliferation

of myeloid, mainly monocytic and the finding of dysplasia in the erythroid series

and megakaryocytes . Handling of CMML case can be difficult because the average

cases occurred in patients with advanced age (with median age 65-70 years) ,

accompanied by other comorbid non- hematological diseases, relatively can not

tolerate any therapy that is given , and having a poor prognosis.

Laboratories in this case, has a role particularly in helping clinicians make the

diagnosis and follow-up therapy.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Hyjek E, Vardiman JW. Myelodysplastic/myeloproliferative neoplasms.

Seminars in Diagnostic Pathology. 2011 01-11-2011;28(4):283 - 97.

2. Jaffe ES, Harris NL, Vardiman JW, Campo E, Arber DA.

Myelodysplastic/Myeloproliferative Neoplasms. Hematopathology.

Philadelphia: Saunder / Elsevier; 2011. hlm. 733-56.

3. Goldman L, Schafer AI. The Chronic Leukemias. Goldman's Cecil

Medicine Edisi ke-24. Philadelphia: Elsevier; 2012. hlm. 1209-18.

4. Vardiman JW, Thiele J, Arber DA, Brunning RD, Borowitz MJ, Porwit A,

et al. The 2008 revision of the World Health Organization (WHO)

classification of myeloid neoplasms and acute leukemia: rationale and

important changes. Blood. 2009;114(5):937-51.

5. Itzkson R, Fenaux P, Solary E. Chronic myelomonocytic leukemia:

Myelodysplastic or myeloproliferative? Clinical Haematology. 2013 01-12-

2013;26(4):387-400.

6. Niederhuber JE, Armitage JO, Doroshow JH, Kastan MB, Shingleton WW,

Tepper JE. Myelodysplastic Syndromes. Abeloff's Clinical Oncology. Edisi

ke-5. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2014. hlm. 1907-28.

7. Parikh SA. Chronic myelomonocytic leukemia: 2012 update on diagnosis,

risk stratification, and management. American Journal of Hematology.

2012:611 - 9.

20
8. Aster JC, Pozdnyakova O, Kutok JL. Chronic Myelomonocytic Leukemia.

Hematopathology: A Volume in the High Yield Pathology Series.

Philadelphia: Saunders; 2013. hlm. 231-.

9. Rodak BF. Myelodysplastic Syndromes. Haematology Clinical Principles

and Applications. St Louis: Saunders; 2012. hlm. 539-49.

10. Harmening DM. Myelodysplastic Syndromes. Dalam: D'Angelo G, Mollica

L, Hebert J, Busque L, editor. Clinical Hematology and Fundamentals of

Hemostasis. Philadelphia: F.A Davis Company; 2009. hlm. 423-4.

11. Hoffbrand AV, Pettit JE, BM PV. Chronic myeloid (Myelogenous)

Leukemias and Myelodysplastic / Myeloproliferatife Neoplasm Color Atlas

of Clinical Hematology. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009.

hlm. 233-46.

12. Emanuel PD. Juvenile myelomonocytic leukemia and chronic

myelomonocytic leukemia. Leukemia. 2008 12-06-2008(22):1335-42.

13. Gelsi-Boyer V, Trouplin V, Adélaïde J, Aceto N, Remy V, Pinson S, et al.

Genome profiling of chronic myelomonocytic leukemia: frequent

alterations of RAS and RUNX1 genes. BMC Cancer. 2008(8):299.

14. Hoffman R, Benz EJ, Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, Anastasi J.

Myelodysplastic Syndromes. Hematology: Basic Principles and Practice.

Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 2013. hlm. 882-903.

15. Goldman L, Schafer AI. Chronic Leukemia. Goldman's Cecil Medicine.

Edisi ke-24. New York: Elsevier; 2012. hlm. 1209-18.

16. NCCN Guidelines for Myelodysplastic Syndromes, (2014).

21
17. Onida F, Barosi G, Leone G, Malcovati L, Morra E, Santini V, et al.

Management recommendations for chronic myelomonocytic leukemia:

consensus statements from the SIE, SIES, GITMO groups. Haematologica.

2013;10:1343-9.

22

Anda mungkin juga menyukai