Anda di halaman 1dari 92

Edisi Nomor 12 | Media Kekayaan Negara | 33

Kolom BMN
Dalam beberapa tahun terakhir ini, negara-negara sedang
berkembang termasuk Indonesia dituntut untuk memperbaiki kinerja
pemerintahannya sesuai prinsip ”good governance” sebagaimana
dipromosikan oleh World Bank, United Nations Development Programme
(UNDP) dan beberapa agen internasional lainnya. Visi institusi yang jelas,
bekerja efisien dan efektif, transparan dalam pengambilan keputusan,
akuntabel dalam berbagai tindakan dan keputusan, menghormati hak
asasi manusia, dan lain sebagainya, merupakan nilai-nilai utama yang
perlu mendapatkan perhatian segera (Keban, 2000:2).
Upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik hanya
dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran tiga pilar yaitu
pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat yang menjalankan
perannya masing-masing. Pemerintah memainkan peran menjalankan
dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi
unsur-unsur lain dalam governance. Dunia usaha swasta berperan
dalam menciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat
berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik. Ketiga
unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus
sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
tata pemerintahan yang baik (Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (2007:06).
Menurut (Krina, 2003:7), paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap
sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu
(1) akuntabilitas, (2) transparansi, dan (3) partisipasi masyarakat. Menurut
George C. Edwards III, ada 4 (empat) hal penting yang berhubungan
satu sama lain dalam bekerja secara simultan dan berkaitan satu sama
lain guna mencapai tujuan implementasi kebijakan yaitu komunikasi,
sumber daya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi.
Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di tahap ini
masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul di
lapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi
(Nugroho, 2008 : 436). Melalui implementasi dapat diketahui, apakah
suatu kebijakan tepat sasaran atau tidak. Sebagaimana diungkapkan
Udoji “the execution of policies is an important if not more important than
policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless
they are implemented” (Wahab, 2008:59).
Demikian pula yang terjadi dalam implementasi kebijakan pemanfaatan
Barang Milik Negara (BMN) saat ini, walaupun beberapa peraturan yang
mendukung implementasi kebijakan pemanfaatan BMN telah lama
dikeluarkan, namun masih banyak pemanfaatan BMN yang belum
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada.
Sesuai peraturan yang berlaku, untuk melaksanakan pemanfaatan
BMN harus terlebih dulu ada penetapan status penggunaan barang
yang diajukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan
pemanfaatan BMN tentu tidak bisa lepas dari peran aktif pengguna
barang/kuasa pengguna barang, karena inisiatif untuk melaksanakan
pemanfaatan BMN berawal dari pengguna barang/kuasa pengguna
barang yang paling mengetahui terhadap aset yang dikuasainya.
adanya keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh pengelola barang
untuk memberikan sanksi terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam pemanfaatan BMN, maka prinsip-prinsip utama good
governance yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat
perlu untuk ditingkatkan, karena bisa menjadi pendukung utama
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pemanfaatan BMN.
Selama ini, pengguna barang/kuasa pengguna barang kurang begitu
tanggap jika ada surat permintaan konfirmasi pemanfaatan BMN dari
pengelola barang, namun mereka akan langsung bereaksi secara cepat
jika terdapat temuan dari pemeriksa eksternal (BPK dan BPKP) dan
pemeriksa internal (Itjen). Menurut penulis, setelah dilaksanakannya
inventarisasi dan penilaian oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

pada tahun 2007 sampai dengan


2009, setidaknya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara di daerah telah
memiliki gambaran awal tentang aset negara mana saja yang belum/
tidak digunakan secara optimal.
Implementasi kebijakan tentang pemanfaatan BMN akan efektif
apabila ada transparansi tentang kebijakan, baik dari pembuat
kebijakan maupun pelaksana kebijakan kepada masyarakat. Penerapan
transparansi akan mendorong partisipasi dari masyarakat untuk ikut
serta maupun melakukan pengawasan terhadap kebijakan, sehingga
implementasinya lebih akuntabel. Keterbukaan dalam implementasi
kebijakan memudahkan bagi pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan
maupun masyarakat untuk saling berinteraksi ataupun melakukan
sosialisasi. Perlu dibuat aturan yang mewajibkan pengguna barang/
kuasa pengguna barang untuk mengumumkan secara terbuka kepada
masyarakat melalui media cetak ataupun elektronik mengenai BMN
yang bisa disewa beserta tarif sewanya. Dan jika diperlukan, khusus
untuk aset yang terletak di lokasi yang strategis bisa dilakukan dengan
cara lelang untuk menetapkan penyewa dengan tarif sewa tertinggi,
sehingga dapat dihasilkan penerimaan negara yang lebih optimal.
Transparansi dan akuntabilitas adalah dua hal yang saling terkait,
jika implementasi kebijakan pemanfaatan BMN dilaksanakan secara
transparan, maka secara otomatis implementasi akan berjalan lebih
akuntabel. Transparannya pemanfaatan BMN akan mendorong
masyarakat untuk ikut serta mengawasi
proses pemanfaatan BMN, sehingga mendorong bagi pengelola barang
maupun pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk bekerja lebih
akuntabel. Akuntabilitas dalam implementasi kebijakan pemanfaatan
BMN menuntut adanya keterbukaan yang akan mendorong adanya
partisipasi dan berakibat pada kejelasan transmisi informasi komunikasi
mengenai kebijakan yang dijalankan.
Partisipasi dapat membangun komunikasi yang baik, karena kebijakan
akan dapat diimplementasikan secara efektif ketika pelaksana kebijakan
mengerti dan memahami terhadap suatu kebijakan. Ketika partisipasi
berjalan dengan baik maka tuntutan masyarakat agar kebijakan
berjalan secara efektif akan berpengaruh langsung maupun tidak
langsung kepada struktur birokrasi untuk bisa memberikan pelayanan
yang lebih baik. Demikian pula dengan penerapan akuntabilitas dalam
pelaksanaan kebijakan, akan berdampak pada perbaikan organisasi
untuk lebih efektif dalam bekerja dengan pertanggungjawaban yang
jelas baik kepada pembuat kebijakan maupun kepada mayarakat.
* versi pendek artikel pemenang lomba menulis DJKN tahun 2012
**Pegawai pada KPKNL Jember

Good
Governance
Latar blk
Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam semua aspek
kehidupan, baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik, budaya, pendidikan dan
yang cukup penting adalah fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam
kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi
yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber
ekonomi dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-
sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi. Namun demikian berdasarkan pengalaman umat
manusia sendiri, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif
dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak
mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir dan berkreasi. Karenanya diperlukan
berbagai bentuk aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa melaksanakan
kegiatannya dengan aman, tidak saling mengganggu atau bahkan saling menghancurkan
sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Dengan
demikian diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk melindungi, mengatur dan
merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan
kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat
membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga memberi kesempatan bahkan mendorong
masyarakat untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerakkan kegiatan
perekonomian suatu negara.
Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu
praktis dengan menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu dengan alasan karena
sifatnya sebagai ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri. Obyek telaahannya
juga berkenaan dengan tuntutan berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak
sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat
dipaksakan oleh kekuatan publik.2 Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu
bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas,
jika kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah
untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara efektif,
maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi.
2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007,
hlm.16

Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam
konstitusinya sebagai negara hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia
menghendaki dua hal; Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan
hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi politik hukum acapkali pembentukan
hukum, khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan harapan-harapan tersebut.
Sebagai faktor yang menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena banyak
kepentingan yang berkembang di seputar pembentukan hukum. Politik hukum yang
berkembang berupa adanya tarik menarik antara kepentingan nasional dan asing, sehingga
hukum yang dapat dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan menjadi sia-sia karena
yang dikedepankan justru kepentingan asing yang dominan.
Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi di dunia internasional sedikit
banyak telah menggambarkan adanya polarisasi dalam artian substansi permasalahan di
bidang hubungan ekonomi sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan oleh
Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-negara maju. Upaya pengaturan baik secara
global melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat dengan WTO), regional
melalui berbagai kerjasama sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama bilateral
ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai penyimpangan dari norma-norma yang telah
disepakati.
Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala merumuskan suatu peraturan
perundang-undangannya senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan nasional
(national interests). Untuk dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan
sangat menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran ini menjadi sarana yang cukup
efektif.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan politik hukum dalam konteks hukum
sangat memegang peranan yang sangat strategis. Melalui pendekatan politik hukum, hukum
yang dibentuk pun setidaknya akan banyak Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi
Diane Zaini) 933
memperhatikan kepada kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional bukan berarti
dimaknai dalam arti yang sempit, namun kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam
upaya memasuki dunia global.
Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah selanjutnya mengambil langkah strategis dalam
upaya meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi tersebut dapat dirasakan oleh bangsa
Indonesia sendiri bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari pembentukan hukum
tersebut. Dengan kenyataan tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam
menjalankan orientasi politik hukum lebih mengedepankan pembentukan instrumen-
instrumen hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam
pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara
umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi /pengaturan sistem dan pelaksanaan
kegiatan perekonomian di Indonesia sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sistem
perekonomian di Indonesia akan berkorelasi pula dengan Hukum Ekonomi secara
keseluruhan. Karena, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia menyangkut pemikiran
hukum dan kaidah-kaidah hukum dalam sistem ekonomi Indonesia yang terarah
(Verwaltungswirtschaft), sedangkan Hukum Ekonomi Sosial Indonesia menyangkut
pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum yang memikirkan bagaimana dapat
meningkatkan kesejahteraan Warga Negara Indonesia sebagai perseorangan, dan tetap
memelihara harkat dan martabat kemanusiaan manusia Indonesia, serta tetap menjunjung
tinggi hak-hak hidup yang sama dari pihak yang lemah dalam sistem ekonomi yang terarah
tersebut.
Dengan demikian, konsep dasar pemikiran Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia adalah
Ekonomi Indonesia dalam arti pembangunan dan peningkatan ketahanan ekonomi nasional
secara makro, sedangkan dasar pemikiran Hukum Ekonomi Sosial adalah kehidupan
Ekonomi Indonesia yang berperikemanusiaan dan pemerataan pendapatan, dimana setiap
Warga Negara Indonesia berhak atas kehidupan dan pekerjaan yang layak. 934 Jurnal
Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Dalam hubungan tersebut, maka segala usaha pembangunan ekonomi Indonesia bertujuan
untuk menciptakan kesejahteraan tiap-tiap dan masing-masing Warga Negara Indonesia,
sehingga pembangunan ekonomi Indonesia harus menjunjung tinggi hak-hak hidup manusia
yang asasi.3

3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung,
1988, hlm. 50.
NEGARA HUKUM

6 Lili
Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1993, hlm. 127. 7 Ibid. 8 Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum
Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan
Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta,
2008. hlm. 4-5. 9 Endang Sutrisno, Opcit, hlm. 104-105.

Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the rule of law), sebagaimana yang telah
ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4) bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum. Sebagaimana diketahui bahwa ide dasar negara hukum Indonesia tidaklah
terlepas dari ide dasar tentang „rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut oleh Belanda
yang meletakkan dasar perlindungan hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua
harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus dibentuk secara sadar.8
Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan perundang-undangan bukanlah hanya
memberikan bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat,
dan Undang-Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara di bidang pengaturan.
Selanjutnya, peraturan perundang-undangan adalah salah satu metoda dan instrumen ampuh yang
tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang
diharapkan. Dalam praktik memang demikian yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,
karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang adalah terutama memberikan arah dan
menunjukkan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya.9

10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 7. 11 Ibid. 12 Khusus dalam hal ekonomi diperjelas lagi dalam Pasal 27
ayat (2) berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Sedangkan Pasal 33 berbunyi;
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasasi oleh Negara;

Sistem ekonomi di Indonesia adalah Sistem Ekonomi Pancasila yang lahir dalam jantung
bangsa yakni Pancasila dan UUD-45 beserta tafsirannya. Karena itu, sistem ekonomi
Pancasila bersumber langsung dari Pancasila khususnya sila kelima, yaitu : Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat Pasal 27 ayat (2), Pasal 33-34 UUD-45
(Amandemen ke 4). Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan
bernegara, politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya, adalah dijiwai semangat keadilan
menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.12 Dengan
3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional;
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam
Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008, hlm. 189. 14 Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum
Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008, hlm. 23.
demikian, keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai
landasan idiilnya dan UUD1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Dalam pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap tujuan
yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional. Selanjutnya, pembinaan hukum
nasional diarahkan untuk mencapai tujuan terbentuk dan berfungsinya sistem hukum
nasional,13 demikian pula yang terdapat dalam pengaturan hukum ekonomi khususnya yang
berkaitan dengan pengaturan semua kegiatan perekonomian di Indonesia.
Dalam pembangunan ekonomi akan sangat berpengaruh pada perkembangan Hukum dan
Perkembangan bidang ekonomi yang keduanya tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa
dilandasi oleh Peraturan Perundangan-undangan yang baik. Pengaturan hukum berkaitan erat
dengan pembangunan pada umumnya dan khususnya bagi pembangunan ekonomi.14
Di Indonesia konsepsi pembaharuan hukum yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan dalam
pembangunan masyarakat (Mohtar Kusumaatmadja, yang diilhami oleh konsep “law as a
tool of social engineering” Roscoe Pound) telah memberikan peran penting kepada hukum
dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Konsepsi hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat, hukum harus tampil di depan dan memberi arah
dalam pembaharuan dan pembangunan. Pembangunan hukum harus dapat mengantisipasi
pembangunan masyarakat 938 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012 ke depan.
Dengan demikian pembaharuan hukum dan pembentukan hukum harus melihat ke depan,
pembentukan hukum tidak boleh hanya untuk kepentingan hari ini tetapi harus memprediksi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk waktu yang akan datang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan teknologi.15 Dalam perkembangannya Hukum Ekonomi
Indonesia kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Hukum perdagangan
internasional yang merupakan bidang hukum yang berkembang dengan cepat, dan ruang
lingkupnya pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang
atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan dan sejenisnya), hingga hubungan atau
transaksi perdagangan yang kompleks.
15 Ibid, hlm. 24 16 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1. 17 Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam
Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm. 60.
Kompleksnya hubungan atau transaksi perdagangan internasional disebabkan oleh adanya
jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin
berlangsung dengan cepat, hal tersebut tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang
disebut dengan e-commerce. 16
Untuk memahami kegiatan ekonomi sebagai suatu rangkaian pembangunan ekonomi
Indonesia, selain dilihat dari kajian normatif, juga dapat dikaji secara filosofis agar dapat
memberikan penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang terjadi atas dasar
pengaturan hukum yang telah dirumuskan dan ditetapkan. Dapat dijelaskan misalnya,
jatuhnya batu, bukan lagi dijelaskan karena hakikat batu yang memang cenderung dan
seharusnya menyatu dengan asalnya yaitu bumi, locus naturalis, melainkan melalui teori-teori
gravitasi yang dibangun dari hukum-hukum yang menguraikan keteraturan-keteraturan dalam
berbagai gejala alam.17 Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 939.
Cara pandang demikian yang kemudian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum
secara legalistik. Apa dan bagaimana hukum tersebut seharusnya berlaku, dapat dirumuskan
dengan tingkat keakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai landasan
Pembangunan Ekonomi. Namun demikian, untuk dapat memahami hakekat hukum yang
semaksimal mungkin dibutuhkan alat penafsiran yang menggunakan metode ilmiah
(scientific method).18
18 Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard
University Press, Cambridge, 1993, hlm. 229. 19 Richard A. Posner, Economic Analysis of
Law, Little Brown Co, Boston, 1983, hlm. 120. 20 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4 21 Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi Pengetahuan, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 18.
Menurut Richard Posner, dari keseluruhan ilmu sosial yang metodenya pernah digunakan
untuk menjelaskan hukum, ilmu ekonomilah yang paling menjanjikan, karena universalitas
dan karena ketepatannya, dan dengan menggunakan disiplin ekonomi maka konsep-konsep
hukum dapat dijelaskan secara kualitatif sehingga memiliki akurasi yang lebih maksimal.19
Secara umum keseluruhan yang menjelaskan keterkaitan diantara beberapa konsep dalam
ilmu pengetahuan yang berkembang akan dikembalikan pada pola berfikir yang bertumpu
secara filosofi. Dapat dijelaskan bahwa filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya, sebab keduanya saling melengkapi serta terkait erat. Ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat eksistensi filsafat.20 Hubungan antara
filsafat dengan ilmu bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri
tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Adapun ciri-ciri
keilmuan tersebut didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan
pokok, yaitu : 21
a. Apakah yang ingin kita ketahui? ;
b. Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?;
c. Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
940 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Dapat dianalisis bahwa filsafat mempelajari masalah-masalah tersebut di atas dengan
sedalam-dalamnya dan hasil dari pengkajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu.
Ketiga pertanyaan mendasar tersebut akhirnya berujung pada masalah ontologi yang
membahas mengenai apa yang ingin kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian
bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai objek tersebut ? dan untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan epistimologi yakni teori
pengetahuan. Akhirnya dalam menjawab pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan dan nilai
pengetahuan tersebut maka digunakan pendekatan axiologi yakni teori tentang nilai.22 Jadi
setiap bentuk pemikiran manuia pada dasarnya dapat dikembalikan dalam dasar-dasar
ontologi, epistimologi serta axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan
dengan mendasarkan diri pada ketiga landasan tersebut akhirnya dapat membawa pada
hakikat pemikiran manusia, sehingga akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang
sama guna memperoleh deskripsi yang sedalam-dalamnya.
22 Ibid, hlm. 22-23 23 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 4 24 Tim Dosen Filsafat Ilmu-Fakultas Filsafat UGM,
Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007,
hlm.7.
Dari sudut gambaran filsafat ilmu terhadap ilmu hukum dapat diketahui bahwa sebagai ilmu
dan dari landasan axiologi, ilmu hukum juga memiliki kemanfaatan untuk kepentingan umat
manusia. Filsafat memiliki banyak makna, akan tetapi filsafat juga dapat diartikan sebagai
suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, serta mengupas sesuatu sedalam-
dalamnya.23
Tidak ada satupun dalam hidup ini terlepas dari pengamatan kefalsafahan, sehingga tidak
ada satu pernyataanpun sekalipun sederhana yang diterima begitu saja tanpa pengkajian
secara seksama. Fislsafat mempertanyakan dan mengkaji segala sesuatu dari kegiatan
berfikir dari awal hingga akhir secara mendalam hingga menyentuh pada suatu hal yang
paling hakiki tentang sesuatu.24 Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 941
Filsafat juga dapat berarti pandangan hidup. Sebagai ilmu, filsafat merupakan suatu proses
yang terus bergulir dan tidak pernah mengenal kata selesai. Sebaliknya, Filsafat sebagai
pandangan hidup merupakan suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang diyakini
kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman berprilaku oleh suatu individu atau
masyarakat.25 Filsafat Ilmu sendiri merupakan bagian dari cabang filsafat secara
keseluruhan, melalui filsaf ilmu dapat dilakukan telaahan secara filosofi yang berkehendak
untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang hakikat ilmu.26 Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah).27
25 Ibid. 26 The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Ke-Dua Diperbaharui), Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 2000, hlm.9 27 Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 33. 28 Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum,
Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sdharta), Refika Aditama,
Bandung, 2007, hlm. 55.
Suatu kajian yang mendasarkan pada karakteristik dan kepribadianya, maka Ilmu Hukum
yang memiliki karakter yang khas merupakan Ilmu tersendiri (sui generis). Ilmu Hukum yang
merupakan kajian dogmatik memiliki suatu karakteristik sendiri yang tidak dapat
dibandingkan (diukur dan dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun. Ilmu Hukum
memiliki berbagi ciri sebagai berikut :28
a) Ilmu Hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal, yang berarti bahwa ia

memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari Hukum yang
berlaku;
b) Ilmu Hukum mensistematisasi gejala-gekala hukum yang dipaparkan dan

dianalisis;
c) Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku;
d) Ilmu Hukum menilai hukum yang berlaku (relatif bersifat normatif). Hal tersebut
mengandung arti bahwa tidak hanya objeknya terdiri atas kaidah-kaidah, akan tetapi Ilmu
hukum memiliki suatu dimensi pengkaidahan (menetapkan norma). Jadi, dogmatika hukum
bebas nilai, dan secara langsung berkaitan dengan ide hukum (cita hukum), dengan
perwujudan “tujuan” dari hukum. Ilmu Hukum Dogmatik dalam penilaian-penilaian dan
keputusan-keputusannya mau memberikan sumbangan pada realisasi dari tujuan ilmu
hukum yakni keadilan dan kebebasan;
942 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
e) Berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik, berkaitan erat dengan dimensi
normatif.

Ilmu Hukum sebagai ilmu yang sui generis (tersendiri) dengan kualitas keilmiahannya, cukup
sulit jika dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu, baik cabang ilmu
pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial maupun cabang ilmu pengetahuan
humaniora. Namun demikian, berdasarkan karakteristik keilmuan, maka menurut Bernard
Arief Sidharta, Ilmu Hukum pada akhirnya termasuk dalam kelompok ilmu praktis yaitu
praktis normologis sebagai Ilmu Normatif.29
29 Ibid,
hlm. 113. 30 Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Opcit, hlm. 4. 31 Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 14.
Selanjutnya, juga dijelaskan oleh Lili Rasjidi, bahwa salah satu pengaruh yang paling
menonjol dari perkembangan Ilmu Hukum adalah dominasi pendekatan mekanis analitis
dalam epistimologi Ilmu Hukum.30 Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam kajian
Ilmu Hukum akibatnya adalah dominannya teori-teori hukum normatif di dalam khasanah
dan ruang lingkup bidang Ilmu Hukum secara keseluruhan.
Sebagai suatu sistem ajaran, disiplin hukum mencakup antara lain : ajaran yang
menentukan apakah yang seharusnya dilakukan (preskriptif); dan ajaran yang senyatanya
dilakukan (deskriptif) di dalam hidup. Selanjutnya unsur-unsur hukum mencakup: unsur Idiil
serta unsur riil, yang keduanya mencakup hasrat susila dan rasio manusia, hasrat susila
menghasilkan asas-asas hukum (rechtsbeginzelen), misalnya : tidak ada hukuman tanpa
kesalahan. Kemudian rasio manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum
(rechtsbegrippen) misalnya : subjek hukum, hak dan kewajiban.31

B. PERSPEKTIF HUKUM SEBAGAI LANDASAN PEMBANGUNAN EKONOMI


INDONESIA (SEBUAH PENDEKATAN FILSAFAT)

1. Refleksi Pendekatan Filsafat Ilmu Terhadap Ilmu Hukum Dalam Perwujudan Nilai-Nilai
Keadilan Dan Kepastian Dalam Masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum, karenanya
kebenaran hukum yang hendak diungkapkan harus didasarkan pada sifat-sifat yang melekat
pada hakekat hukum itu sendiri. Untuk menjelaskan keilmuan hukum secara utuh dan
menyeluruh maka dapat dilihat pada metode kajiannya, yaitu : Pendekatan dari sudut filsafat
ilmu dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum, yang dapat diuraikan sebagai berikut
: a. Pendekatan dari sudut Filsafat Ilmu : Filsafat ilmu membedakan ilmu dari 2 (dua)
sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan
normatif yang melahirkan ilmu normatif. Dengan demikian, Ilmu Hukum memiliki 2 (dua) sisi
dan memfokuskan pada kajian yang berbeda. Pada satu sisi Ilmu Hukum dengan karakter
aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lainnya Ilmu Hukum mempunyai segi-segi
empiris. Adapun sisi empiris tersebut yang menjadi kajian Ilmu Hukum Empiris seperti
Sociological Jurisprudence dan Socio-Legal Jurisprudence.
b. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum :

Ilmu Hukum dibagi atas 3 (tiga) lapisan utama yaitu : dogmatik hukum, teori hukum (dalam
arti sempit) dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan
pada praktik hukum, yang masing-masing mempunyai karakter dan metode yang khas.
Persoalan tentang metode dalam Ilmu Hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam
arti sempit).
Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk memberikan rasa
keadilan, kepastian dan kegunaan, dimana dari ketiga nilai tersebut selalu terjadi
pertentangan.32 Oleh karena itu untuk mewujudkan
32 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 162.
Selanjutnya, menurut Gustav Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan pada tiga aspek
yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang
pertama adalah : Keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di
depan Pengadilan. 944 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Aspek yang kedua adalah tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi
hukum harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga adalah kepastian hukum
atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus
ditaati. 33 Meuwissen, (terjemahan B. Arief Sidharta), Opcit, hlm. 8. 34 Satjipto Rahardjo, Sosiologi
Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1998, hlm. 69.
hukum yang benar harus saling melengkapi dan tidak saling mengecualikan. Pengutamaan
satu diantara yang lain dan nilai dasar hukum tersebut akan berakibat pada timbulnya
ketidak cocokan diantara nilai-nilai hukum tersebut. Berdasarkan pada landasan axiologinya
yaitu teori tentang nilai, sebagai nilai dari Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Hukum selalu
mengacu pada nilai-nilai keadilan dan kepastian, karena keduanya disamping sebagai salah
satu tujuan hukum yang paling banyak dikaji dan diperdebatkan, juga sebagai sasaran
utama yang hendak dicapai oleh manusia melalui pelaksanaan hukum yang semakin lama
semakin kompleks. Nilai-nilai tersebut pada akhirnya dapat mempengaruhi proses
pengembangan hukum yang memiliki makna kegiatan manusia berkenaan dengan adanya
dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan sebagai nilai-nilai
dasar mengenai apa yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan hukum.33
Hukum dengan nilai-nilainya hendak mewujudkan bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks
tersebut, nilai-nilai dasar dari hukum dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum
tersebut bernilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan keadilan dalam
masyarakat.
Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, namun demikian
dalam hukum biasanya nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berpasangan, akan tetapi
tidak jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut, misalnya : ketertiban dan ketentraman,
kepastian hukum dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan individu.34
Dengan demikian, tidak adanya keserasian dan harmonisasi Perspektif Hukum sebagai
Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 945
diantara nilai-nilai tersebut yang terdeskripsikan dalam masyarakat akan mengganggu
tujuan dan jalannya proses penegakkan hukum. Fokus utama dari pertentangan sebenarnya
terletak pada persoalan bagaimana hukum positif dengan jaminan kepastiannya dapat
mewujudkan nilai-nilai moral, khususnya keadilan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan
bentuk keadilan apakah yang diharapkan dan atau seharusnya menjadi landasan dalam
hukum buatan manusia tersebut yang khususnya terdapat dalam hukum positif. Hak
mempunyai hubungan dengan kewajiban sebagai refleksi keseimbangan dalam hidup
bermasyarakat, keseimbangan tersebut yang dapat mewujudkan perpaduan antara keadilan
hukum, keadilan sosial dan keadilan moral terwujud. Jadi keadilan merupakan bagian utama
dari cita hukum.
Pandangan tentang keadilan menurut konsep Aristoteles35 , dibedakan antara keadilan
distributif yakni : mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi atau
menebar keadilan kepada orang-orang sesuai dengan kedudukannya, sedangkan keadilan
komutatif merupakan keadilan yang tidak membedakan posisi atau kedudukan orang
perorang untuk mendapatkan perlakukan hukum yang sama. Dimana, kedua bentuk
keadilan tersebut tetap harus mengikuti azas persamaan.
35 Ibid. 36 John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005, hlm. 50-51.
John Rawls mengkonsepsikan keadilan sebagai fairness, yang mengandung azas-azas
bahwa orang yang merdeka dan rasional yang berkeinginan untuk mengembangkan
kepentingan-kepentingan hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat
akan memulainya dan itu merupakan syarat-syarat yang fundamental bagi masyarakat.36
Dengan demikian, keadilan menjadi fairness (wajar, alamiah) apabila tatanan yang ada
dapat diterima oleh semua orang secara adil, melalui penerimaan dengan ikhlas dari semua
unsur golongan, kelompok, ras, etnik, agama tanpa tekanan, yang dapat menciptakan
masyarakat yang berkeadilan. 946 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Tanpa kelengkapan instrumen hukum dengan cita-cita luhur, keadilan akan menjadi sulit
tercapai. Oleh karenanya hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang melekat pada
hukum pada hakikatnya merupakan komitmen hukum dalam melindungi kepentingan orang
per orang. 2. Peranan Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia.
Pada era global pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan
pasar yang dewasa ini semakin mengglobal. Dalam kondisi semacam itu, produk-produk
hukum yang dibentuk lebih banyak bertumpu pada keinginan pemerintah, karena tuntutan
pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu menimbulkan perubahan-perubahan yang
amat fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik dan budaya yang mapu
melampaui pranata-pranata hokum yang ada. Produk hukum yang ada lebih meangarah
pada upaya untuk memberi arahan dalam rangka menyelesaikan konflik yang berkembang
dalam kehidupan ekonomi.37 Pembangunan hukum yang tertuju pada kehidupan
perekonomian saat ini harus mampu mengarah dan memfokuskan pada aturan-aturan
hukum yang diharapkan mampu memperlancar roda dinamika ekonomi dan pembangunan
yang tidak melepaskan diri dari sistem demokrasi ekonomi dengan mengindahkan akses
rakyat untuk mencapai efisiensi dan perlindungan masyarakat golongan kecil.
37 Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001, hlm 9. 38 R.L. Meek, D.D.
Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982, hlm. 9.
Adam Smith (1723-1790) melahirkan ajaran mengenai Keadilan (justice), yang menyatakan
bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure
from injury).38 Ajaran Smith tersebut menjadi dasar hubungan yang tidak dapat dipisahkan
antara hukum dan ekonomi, dan antara ekonomi dengan politik mempunyai hubungan yang
Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 947
erat, dan kemudian dikenal dengan istilah ekonomi-politik (political economy).39 Adapun
salah satu tujuan dari ekonomi-politik adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau
pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik, dimana
ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan
pemerintah sekaligus. Dalam era global eksistensi hukum dipandang penting, karena
perubahan di berbagai bidang menuntut adanya norma atau rule of law dapat memberikan
arahan pada cita-cita mulia sebagaimana pertama kali ide liberalisasi perdagangan lahir
yang menghendaki adanya pemerataan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat dunia
yang selama ini dianggap tidak adil akibat praktik kolonialisme.
39 Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London,
1979, hlm. 397. 40 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report : Law and Economic
Development : Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School,
April 13-14 2003, hlm. 1. 41 Ibid.
David M. Trubek (Guru Besar dari University of Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of
law” merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan
dampak yang luas bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia, yang berdasarkan
pada teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam
perubahan ekonomi.40
Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan
hukum dalam pembangunan ekonomi tidak lain karena secara umum pelaku ekonomi dalam
memandang kegiatan perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja, hal tersebut
dapat dilihat pada kebijakan yang diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan
Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak
terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.41 Liberalisasi pasar keuangan tanpa
disertai peraturan hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan terjadinya
instabilitas ekonomi dan dapat memicu suku 948 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
bunga tinggi yang pada gilirannya akan menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi
menengah ke bawah.
Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada saat ini setiap negara membutuhkan
suatu upaya yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara hukum, sosial, ekonomi
dan politik, jika tidak bisa dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan koherensi, akan
berdampak pada terjadinya krisis hukum (crisis of law).42
42 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and
Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2. 43 Kartharina Pistor dan
Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian
Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001, hlm. 25. 44 Soerjanto
Poespowardojo, Opcit, hlm. 85
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, jika dikaitkan dengan dengan kondisi di Indonesia,
landasan hukum yang digunakan dalam pembangunan ekonomi perlu dikaji kembali, dimana
dalam memerankan hukum untuk pembangunan ekonomi Indonesia ke depan hukum tidak
saja bersifat formalis akan tetapi hukum harus dibuat secara sistematis dan komprehensif (in
concert) agar mempunyai arah dan tujuan yang jelas sesuai dengan apa yang akan dicapai
dan instrumen yang digunakan untuk dapat mencapainya. Hal tersebut sejalan dengan
analisis The European Bank for Reconstruction and Development (EBRD)43 berkenaan
dengan infrastruktur hukum pada negara-negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia serta transition economies yang menunjukkan korelasi cukup signifikan antara
efektifitas sistem hukum dan pertumbuhan ekonomi. Dalam analisis dan kajian EBRD
tersebut memperlihatkan pula keberhasilan reformasi perekonomian tergantung pada
berfungsinya sistem hukum dengan baik.
Burg’s menyatakan bahwa ada 2 (dua) unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar
sistem ekonomi dapat berfungsi dengan maksimal, yakni :44
a. Stabilitas (stability), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 949
b. Meramalkan/Memprediksi (predictability), berfungsi untuk memprediksi akibat dari suatu
langkah-langkah yang diambil khususnya akan menjadi sangat penting bagi negara yang
sebagian besar rakyatnya memasuki hubungan-hubungan ekonomi yang melampaui
lingkungan sosial dan tradisional.

Berdasarkan konsep tersebut di atas, yakni diantara kedua unsur tersebut harus
diperhatikan juga aspek yang paling penting yaitu “aspek keadilan” (“fairness”) seperti
perlakukan yang sama dan standart pola tingkah laku pemerintah, yang diperlukan untuk
menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.
Setiap Negara membutuhkan landasan filosofis berbangsa dan bernegara. Atas landasan
filosofis tersebut disusunlah visi misi dan tujuan Negara. Bagi Indonesia sendiri, landasan
filosofis negara adalah Pancasila. Untuk itu Pancasila harus dilihat secara utuh sebagai
suatu national guideness serta national standard, norm and principles yang di dalamnya
juga memuat sekaligus human rights dan human responsibility, yang pada sisi lain Pancasila
juga berguna sebagai margin of appreciation45, sebagaimana yang juga harus
diimplementasikan dalam pelaksanaan Hukum Ekonomi di Indonesia. Dengan demikian
Hukum Ekonomi di Indonesa dalam wujud Margin of Appreciation dijadikan tolak ukur bagi
pembenaran terhadap norma-norma hukum yang diberlakukan sehingga nilai utama
Pancasila sebagai Ideologi bangsa yaitu kebersamaan dengan bentuk ideal kebersamaan
hidup bermasyarakat, adalah masyarakat kekeluargaan, sehingga dalam bidang ekonomi,
ideologi Pancasila menghendaki kebersamaan (kekeluargaan Demokrasi Ekonomi Pasal 33
UUD 1945), yang diwujudkan melalui Negara Kesejahteraan.
45 Muladi,
Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Seminar Nasional Dalam
Rangka Dies Natalis ke- 40 Universitas Pancasila), Jakarta 7 Desember 2006, hlm. 11-12.
Dalam dunia yang makin menempatkan liberalisme sebagai arus utama pemikiran untuk
mendatangkan kesejahteraan, Indonesia bergerak semakin jauh dari cita-cita membangun
Negara Kesejahteraan, di dunia ini sekarang 950 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
dan kedepan liberalisme ekonomi dengan cirri ekonomi pasar bebas digunakan semakin
luas. Namun dalam Negara kesejahteraan meskipun prinsi-prinsip ekonomi pasar
diberlakukan kesejahteraan menjadi unsur penting tujuan bernegara. Hal tersebutlah yang
membedakan dengan Negara yang menganut ekonomi pasar murni, dimana kesejahteraan
bersama sekedar menjadi hasil sampingan, bukan tujuan.
Penekanan yang harus mendapatkan perhatian adalah bahwa pengembangan dalam ilmu
hukum Indonesia, pada akhirnya tidak hanya sekedar alih pengetahuan tentang hukum dan
bukan pula sekedar pelatihan ketrampilan untuk menjalankan hukum tetapi juga termasuk di
dalamnya pendidikan nilai-nilai yang menjadi basis sistem hukum nasional yang hendak
dibangun dan bagi Indonesia nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai Pancasila.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan
strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik
dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi
tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan
sosial. Amanah Pancasila akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan
ekonomi dan pengembangan hukum sebagai landasan pembagunan ekonomi. Nilai-nilai
Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah sila terakhir, yakni keadilan sosial. Roda
kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Ada
kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak
membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
Semangat nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi
terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Demokrasi konomi
berdasar kerakyatan dan kekeluargaan, serta usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku
ekonomi perorangan dan masyarakat. Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 951
Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan
desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana terjadi pemerintah
Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola
“konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir
mengabaikan pemerataan. Hal inilah yang merupakan strategi yang berakibat pada
“terjadinya krisis moneter” yang terjadi pada Tahun 1997 saat awal reformasi politik,
ekonomi, sosial, dan moral.
Sebagaimana yang dihadapi dunia saat ini, dimana dengan adanya krisis keuangan global
saat ini telah mengakibatkan sistem hukum ekonomi di beberapa negara tidak dapat
menjalankan fungsi dan perannya secara efektif. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan mengancam
kesinambungan perekonomian nasional. Krisis keuangan secara global yang saat ini terjadi
di wilayah Amerika, Eropa maupun Asia pada dasarnya secara khusus bersumber dari
masih lemahnya kualitas sistem keuangan yang ada di secara global di dunia.
Reformasi keuangan yang terjadi pada awal Tahun 1980 an ternyata hanya memberikan
peningkatan kuantitas lembaga-lembaga keuangan dan kuantitas aliran modal yang masuk
(capital inflow) ke suatu Negara. Kondisi seperti ini, juga dilakukan oleh Indonesia pada saat
itu, khususnya jika dikaitkan dengan liberalisasi perbankan yang berawal pada Tahun 1988
dimana kondisi tersebut merupakan salah satu faktor pemicu lemahnya sistem keuangan,
khususnya pada sektor Lembaga Perbankan. Terjadinya gejolak di pasar uang, pasar valas
dan pasar modal serta meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dapat mengabikatkan
semakin memburuknya kinerja Lembaga Keuangan yang pada gilirannya dapat
mengakibatkan runtuhnya kestabilan sektor keuangan.
Secara keseluruhan jika kondisi krisis global yang terjadi pada saat ini tidak segera
diantisipasi dan ditangani secara serius dan komprehensif oleh Pemerintah Indonesia maka
akan berdampak pada krisis keuangan yang 952 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
semakin mendalam. Selanjutnya, kondisi tersebut tidak saja berdampak pada buruknya
aspek likuiditas perbankan, akan tetapi juga pada solvabilitas dan rentabilitas dari lembaga
perbankan secara nasional, mengingat lembaga perbankan merupakan pasar yang sangat
dominan dalam industri keuangan di Indonesia46, maka secara sistematis sektor keuangan
dapat mengalami kelumpuhan kembali sebagaimana kondisi yang terjadi kurun waktu Tahun
1997-1998 yang lalu. Mepertimbangkan dari dampak dan kerugian yang demikian besar
terhadap kondisi perekonomian suatu Negara sebagai akibat dari instabilitas sistem
keuangan tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga
membutuhkan waktu cukup lama, maka sudah saatnya stabilitas sistem keuangan fungsinya
dioptimalkan dan perlunya kordinasi yang efektif dan komprehensif baik dari pihak
pemerintah dan Bank Sentral sebagai pengambil kebijakan publik di setiap belahan negara-
negara di dunia pada saat ini, termasuk di Indonesia pasca krisis keuangan dan perbankan
Tahun 1997-1998. Akan tetapi, kondisi yang ada pada saat ini khususnya di Indonesia,
belum maksimalnya konsep-konsep pemikiran secara yuridis maupun institusional (legal and
institutional framework) dari masing-masing instutisi yang bertanggung jawab secara
menyeluruh dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut. Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional
terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan
bahwa keterkaitan antara regulasi / pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan berkorelasi pula dengan peranan
Hukum dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan. Syarat mutlak berjalannya
sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang hukum dan
politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
46 Mengutip pendapat Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H., bahwa Lembaga Perbankan merupakan jantungnya perekonomian di Indonesia. Perspektif
Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 953.
Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi
melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan
di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat
lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat
ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat
pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi
mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan
tertinggal.
C. PENUTUP

1. Kesimpulan.
a. Ilmu sebagai proses berfikir dapat memberikan arah yang jelas untuk mengkaji hakikat
keilmuan dari ilmu hukum dan ilmu hukum merupakan ilmu yang mempunyai ciri khas
tersendiri (sui generis). Pendekatan terhadap ilmu hukum dapat dilakukan dengan
pendekatan filsafat ilmu yakni dari aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi. Karena
pendekatan filsafat ilmu dapat memberikan pencerahan dalam menjawab pertanyaan bahwa
ilmu hukum adalah suatu ilmu. Ilmu hukum juga mempunyai nilai kegunaan dan
kemanfaatan yang luas baik secara teoritis maupun praktis berdasarkan dinamika
perkembangannya maupun fenomena dan fakta-fakta yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan merupakan kebutuhan
masyarakat yang sangat fundamental serta harapan akan hukum yang adil dapat terpenuhi.
Oleha karena itu untuk mewujudkan hukum yang baik dalam masyarakat, maka prinsip
keadilan merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi, sehingga keberadaan hukum secara
sederhana dapat diartikan disamping pasti juga adil.
954 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
b. Pembangunan ekonomi di suatu negara, secara khusus di Indonesia, bahwa hukum
memiliki peranan yang besar untuk memberi peluang pembangunan ekonomi. Pelaksanaan
roda pemerintahan yang demokratis, dengan menggunakan hukum sebagai instrumen yang
efektif dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif,
akan membawa negara menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-
citakan. Bagi Indonesia menciptakan persatuan, menggalakkan pembangunan dan
mewujudkan kesejahteraan harus di lakukan secara bersamaan. Kondisi tersebut, dapat
memberi peluang dalam terciptanya keharmonisan dalam pencapaian tujuan pembangunan
ekonomi. Pada pelaksanaan pembangunan ekonomi harus sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sehingga dapat memberi pengaruh bagi warga
negara untuk bekerja lebih giat lagi, karena prestasi mereka dilindungi dan di jamin oleh
hukum, sehingga dengan sendirinya hasil kerja tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

2. Saran.
Bagi seluruh pejabat publik, aparat penegak hukum, serta pihak-pihak lainnya yang
berkaitan dengan jalannya pemerintahan di Indonesia dapat memaknai dan menerapkan
konsep rule of law secara keseluruhan dan tidak sepotong-potong serta dilaksanakan dalam
waktu bersamaan, sebab pengecualian dan penangguhan dari salah satu unsurnya dapat
merusak keseluruhan sistem hukum yang ada dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi.
Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 955
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku :
Adam Smith, 1979, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin
Book, London.
Ady Kusnadi, 2008, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam
Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional), FH-UNPAD.
Ahmad Tafsir, 2007, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Anthony T. Kronman, 1993, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard
University Press, Cambridge.
CFG. Sunaryati Hartono, 1988, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta,
Bandung.
Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Djuhaendah Hasan, 2008, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung.
Endang Sutrisno, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta.
Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
John Rawls, 2005, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
----------------, 1984, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI,
Jakarta.
Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, 2001, Asian Development Bank, The Rule of
Law and Legal Institutions in Asian Economic Development 1960-2000, Oxford University
Press, New York. 956 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Meuwissen, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
Dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung.
Moh. Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
----------------, 2001, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, 1996, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum, Alumni, Bandung.
Richard A. Posner, 1983, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston.
Richard B. Mc. Kenzie dan Gordon Tullock, 1988, Modern Political Economy, An
Introduction to Economics, Mc Graw-Hill, Inc, New York.
R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, 1982, Lectures on Jurisprudence, Liberty
Fund, Indianapolis.
Satjipto Rahardjo, 1998, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama,
Bandung.
Soerjanto Poespowardojo, 1998, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah
Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta.
The Liang Gie, 2000, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Ke-Dua Diperbaharui), Penerbit Liberty,
Yogyakarta.
Tim Dosen Filsafat Ilmu – Fakultas Filsafat UGM, 2007, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Perspektif Hukum sebagai
Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 957
B. Makalah, Jurnal dan Artikel Ilmiah :
Anwar Nasution, 2004, Makalah tentang Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi
Hukum dan Agenda Ke Depan, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII –
BPHN.
Chairijah, 2008, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-
Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta.
David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report : Law and Economic Development :
Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-
14 Tahun 2003.
----------------, “Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and
Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000).
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah, Jakarta, 2004
1. Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Makalah) (Seminar
Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke- 40 Universitas Pancasila), Jakarta 7 Desember 2006.

Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3)
menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5); Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Sebagai pengingat sederet catatan-catatan terkait ketimpangan pemerataan ekonomi di Negeri ini
tidak kunjung henti hinggap dan datang silih berganti tanpa ada kontrol terus menjadi biang
persoalan. Pertama, pengerukan dan kerusakan sumber daya alam dalam hal ini eksploitasi tanpa
melihat aspek keberlanjutan dari nasib alam dan lingkungan serta manusianya. Pembukaan lahan
secara besar-besaran berpengaruh pada (hutan dan satwa-satwa), hutan semakin menipis dan
habitat hidup satwa kian menyempit dan terjepit, belum lagi ditambah dengan lemahnya
pengawasan dan tata kelola yang mengabaikan arti penting fungsi dan manfaat lingkungan bagi
kehidupan makhluk hidup. Pencemaran, semakin seringnya bencana terjadi membuat semakin
sulitnya bertahan hidup. Kedua, Semakin meluasnya laju kerusakan lingkungan dan investasi dari
investor (pemilik modal dan pelaku pasar) secara tidak sengaja dan tidak terkendali berimbas
kepada hak-hak masyarakat yang terabaikan. Keadilan dan pembiaran akan berbagai sumber
konflik terjadi, perebutan lahan, pembagian hasil yang sedikit banyak menimbulkan pengaruh
sosial dan ekonomi masyarakat. Kesenjangan terjadi, ketimpangan ekonomi masyarakat menyulut
aksi dan berakhir pada sebuah dilema baru bernama Kejelasan pedoman atau aturan yang
terabaikan. Ketiga, Pengelolaan SDA tidak terkontrol. Pengelolaan SDA yang dimaksud adalah
minimnya fungsi pengawasan, hukuman, tata kelola dan kebijakan menyangkut persoalan-
persoalan lingkungan, sehingga menjadi bias keberadaan ketersediaan kekayaan alam yang kian
memprihatinkan. Sampai saat ini fungsi pengawasan dan regulasi hanya sebatas syarat tanpa
adanya penetapan. Keempat, Kewajiban dan tanggungjawab dari perusahaan-perusahaan untuk
mentati Amdal, membuat kawasan sebagai area hijau dan area konservasi bagi satwa dan
tumbuh-tumbuhan dilindungi sepertinya banyak diantara perusahaan enggan menerapkannya.
Hal ini tentu saja menjadi sangat rancu ketika hanya sebatas wacana dan seelogan belaka. Kelima,
pasal 33 ayat (4) menyebutkan, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. Namun, kemakmuran bagi seluruh rakyat berbalik menjadi penguasaan bagi seluruh
rakyat. Kebersamaan berubah menjadi monopoli yang cenderung mengabaikan kemajuan dan
berpotensi memancing isu-isu perpecahan di beberapa daerah. Mengingat keadilan, kesetaraan,
penghargaan hak-hak masyarakat dan kemakmuran tergolong terabaikan. Sumber daya alam
terkuras dan derita semakin parah, kemiskinan kian bertambah.

Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Dasar 1945, secara jelas menyiratkan bahwa
penguasaan perekonomian terkait hasil kekayaan alam harus berpatok kepada kepentingan
bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berasaskan kepada keadilan. Angin segar tentang
Raperdatentang Pengelolaan SDA berbasis pemulihan lingkungan sebagai sebuah keharusan untuk
segera di tetapkan dalam suatu daerah atau wilayah untuk dijadikan sebagai sebuah jawaban
dengan semakin kompleksnya pesoalan-persoalan kekinian lingkungan dan hak-hak masyarakat
tidak kunjung usai saat ini.

Bulan lalu, tepatnya tanggal 27 februari 2013, Gubernur Kalimantan Barat melalui wakilnya
Gubernur Christiandy Sanjaya, dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi, Cornelis mengatakan: “Hal-
hal yang bersifat teknis terkait Rancangan Peraturan Daerah Tentang rancangan peraturan daerah
tentang pengelolaan sumber daya alam berbasis pemuliaan lingkungan akan dibahas bersama
oleh panitia khusus yang dibentuk dan tim eksekutif secara lebih luas dan lebih mendalam pada
tingkat-tingkat pembahasan lebih lanjut, sehingga perda-perda tersebut menjadi berkualitas dan
bermamfaat bagi kemajuan daerah Kalimantan Barat”.

Selain raperda Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Pemulihan Lingkungan, juga disusun
raperda lainnya, seperti; Penyelenggaraan Pelayanan kesehatan reproduksi, Pencegahan dan
Penanggulangan Pornografi dan Pornoaksi, serta rancangan peraturan daerah tentang penyidik
pegawai negeri sipil juga menjadi perhatian bersama, mengingat sama pentingnya jika melihat
peran, fungsi dan acuan yang dapat dijadikan payung dalam masyarakat.

Besar harapan, inisiatif DPRD Provinsi Kalimantan Barat membuat Raperda terkait Pengelolaan
Sumber Daya Alam Berbasis Pemulihan Lingkungan, mudah-mudahan dapat terwujud dan dapat
dijadikan pedoman sebagai regulasi dan kejelasan bagi khalayak. Peraturan daerah menjadi
penting dan sama halnya dengan pasal 33, mengingat pasal 33 memberikan gambaran tentang
sebuah amanah dari UUD 1945 bagi rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Semoga….
penjelasan dari pasal 33 ayat 1 uud 1945
"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" penjelasan
dari bunyi pasal 33 ayat 1 ini adalah secara tegas mengamanatkan agar “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Karena perekonomian
secara keseluruhan diamanatkan untuk disusun berdasarkan asas kekeluargaan, maka seluruh
lini dan bagian dalam perekonomian Indonesia seharusnya juga disusun dengan asas tersebut.
Artinya, pada tingkat dunia usaha, asas kekeluargaan seharusnya diamalkan pula oleh seluruh
pelaku usaha di Indonesia. Menurut Bung Hatta, “Asas kekeluargaan itu ialah koperasi. Asas
kekeluargaan itu adalah istilah dari Taman Siswa untuk menunjukkan bagaimana guru dan
murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu keluarga. Itu pulalah hendaknya corak
koperasi Indonesia,” (Hatta, 1977).

penjelasan dari pasal 33 ayat 2 uud 1945


"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara" penjelasan dari bunyi pasal 33 ayat 2 ini adalah

Cabang produksi yang penting bagi Negara adalah “Kegiatan produksi strategis yang berkaitan
dengan keadilan, keamanan dan kestabilan nasional yang memberikan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat, Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah “ produksi
barang dan jasa yang vital seperti air, energi dan transportasi umum” dan “produksi barang dan
jasa yang dirasakan vital bagi kehidupan manusia dalam kurun waktu tertentu, Dikuasai oleh
Negara adalah “ berarti tidak harus dimiliki oleh Negara, kecuali untuk menjamin fungsi
penguasaan oleh Negara dalam rangka memajukan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian,
seharusnya, pemahaman wewenang Negara (dalam hal ini seringkali melalui BUMN sebagai
operatornya) untuk menguasai hajat hidup orang banyak adalah sebatas Hak Kuasa atas
kekayaan nasional /kekayaan milik rakyat, dengan kata lain, sebetulnya Hak Milik tetap pada
pihak seluruh rakyat Indonesia sebagai warga Negara Republik Indonesia.

penjelasan dari pasal 33 ayat 3 uud 1945


"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" penjelasan dari bunyi pasal 33 ayat 3 ini
sebenarnya sudah sangat jelas yaitu bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya seperti; emas, perak, gas alam, minyak bumi dan lainny dikuasai dan dikelola oleh
negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat, tetapi apakah pada
kenyataannya sekarang ini sudah sesuai dengan amanat undang - undang ini? silahkan
direnungkan baik - baik.
penjelasan dari pasal 33 ayat 4 uud 1945
"Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional" penjelasan dari
pasal 33 ayat 4 ini adalah prinsip perekonomian nasional dimaksudkan sebagai rambu-rambu
yang sangat penting dalam upaya mewujudkan demokrasi -ekonomi di Indonesia. Hal tersebut
dipandang sangat penting agar seluruh sumber daya ekonomi nasional digunakan sebaik-
baiknya sesuai dengan paham demokrasi ekonomi sehingga mendatangkan manfaat optimal
bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia. Dengan demikian, sumber-sumber yang
ada harus dialokasikan secara efisien untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara
sehat dan sekaligus untuk mencapai keadilan. Kemajuan ekonomi di seluruh wilayah tanah air
harus diperhatikan keseimbangannya dan dalam pelaksanaan otonomi daerah harus pula dijaga
kesatuan ekonomi nasional.

penjelasan dari pasal 33 ayat 5 uud 1945


"Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang"
penjelasan dari bunyi pasal 33 ayat 5 ini adalah bahwa dalam pengaturan tentang pelaksanaan
kebijakan yang ada dalam pasal 33 ini secara detail diatur dengan undang - undang.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/11677/Percepatan-Menuju-DJKN-Sebagai-Revenue-
Center.html

Percepatan Menuju DJKN Sebagai Revenue Center


Kamis, 24 November 2016 pukul 11:22:32 | 726 kali

Penulis : Tri Wibowo

Pelaksana Seksi PKN KPKNL Jambi

DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara) telah mendeklarasikan diri sebagai Asset
Manager dengan menitikberatkan pada peran utama sebagai Revenue Center untuk
menunjang fungsi fiskal Kementerian Keuangan. Sebagai bentuk komitmennya, DJKN
mencanangkan "Gerakan Optimalisasi Aset Negara" dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
DJKN pada Rabu, 2 November 2016 lalu. Ada beberapa hal yang dapat dioptimalkan oleh
DJKN pada kondisi saat ini, antara lain :

• Data BMN (Barang Milik Negara) di setiap K/L. Melalui aplikasi SIMAN (Sistem
Manajemen Aset Negara) yang telah digunakan oleh semua unit kerja/satuan kerja, kita dapat
mengetahui data BMN yang berada dalam penguasaan satuan kerja. Yang perlu menjadi
perhatian DJKN selaku Pengelola Barang adalah data mengenai pengelolaan BMN
khususnya pemanfaatan. Data mengenai pemanfaatan BMN tersebut dapat digunakan oleh
DJKN untuk melakukan monitoring terhadap ijin/persetujuan pemanfaatan yang telah
diterbitkan dan berjalan hingga digunakan untuk melakukan penggalian potensi pemanfaatan
terhadap BMN yang berada dalam penguasaan masing-masing satuan kerja.
• Inventarisasi BMN Idle. BMN idle merupakan BMN yang berada dalam penguasaan
Pengguna Barang ataupun Kuasa Pengguna Barang yang tidak digunakan untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. BMN idle memiliki potensi
pemanfaatan yang beragam tergantung pada kondisi dan lokasi BMN tersebut. Permasalahan
yang dihadapai saat ini terkait BMN idle antara lain adalah kesadaran Kementerian/Lembaga
untuk menyerahkan BMN idle tersebut kepada Pengelola Barang dan keterbatasan kantor
vertikal dalam mengidentifikasi BMN idle pada masing-masing satuan kerja. Perlu
digarisbawahi bahwa potensi BMN idle ini cukup besar sehingga perlu mendapat perhatian
lebih mulai dari identifikasi (identifikasi ini meliputi verifikasi kebenaran pencatatan BMN,
kondisi aktual BMN, status hukum BMN hingga potensi pemanfaatan ataupun potensi
konflik) hingga pada kemudahan proses penetapan sebagai BMN idle serta perumusan
metode pemanfaatan BMN tersebut.
• Program Percepatan Sertipikasi Tanah BMN. Program ini merupakan program rutin
tahunan kerjasama antara DJKN dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional. Rutinitas penetapan target sampai dengan terbitnya sertipikat tanah,
terkadang membuat kita terlena akan potensi dari informasi mengenai data tanah pada
masing-masing satuan kerja khusunya yang terlibat dalam program tahun tersebut. Hingga
saat ini, salah satu BMN yang memiliki potensi pemanfaaatan terbesar adalah tanah, maka
perlu kita lakukan analisa potensi pemanfaatan tanah dalam data tersebut. Ditinjau dari segi
kepastian hukum, tanah yang telah terbit sertipikat (bersertipikat) akan lebih aman untuk
proses pemanfaatannya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mensukseskan gerakan percepatan revenue
Center, antara lain :
• Integritas. Integritas merupakan syarat mutlak. Sejalan dengan penuturan Ibu Sri Mulyani,
Menteri Keuangan RI dalam Rakernas DJKN tahun 2016 yang lalu, bahwa integritas adalah
modal utama sebagai manajer aset yang kredibel selain profesionalitas dan kemampuan
melihat peluang untuk mengoptimalkan aset agar bermanfaat bagi masyarakat dan
perekonomian nasional. Kinerja profesional dengan didukung integritas yang tinggi akan
menjamin keakurasian data hingga tegasnya penerapan aturan di lapangan.
• Garis Komando dan Komitmen. Garis komando yang dimaksud adalah kepastian akan
kesamaan visi dan misi mulai instansi pusat hingga instansi vertikal yang langsung
berhubungan dengan stakeholder di setiap daerah. Setiap kebijakan yang diambil oleh
instansi pusat harus benar-benar dapat diimplementasikan oleh setiap kantor vertikal sebagai
eksekutor dan pada masing-masing kantor vertikal harus mempunyai gerakan bersama mulai
dari pimpinan puncak hingga seluruh staff untuk menjalankan komitmen dalam upaya
mewujudkan visi dan misai tersebut.
• Penilai. Penilai memegang peranan penting dalam memberikan taksiran ataupun
rekomendasi nilai terkait pemanfaatan Barang Milik Negara, untuk itu perlu terus dilakukan
evaluasi kinerja penilai sebagai profesional dan peningkatan kualitas penilai baik dalam hal
teknis penilaian hingga pemahaman terhadap aturan dalam pengelolaan Barang Milik Negara.
• Nilai. Aktifitas pemanfaatan hingga saat ini didominasi dalam bentuk sewa dimana
penentuan nilai wajar sewa mayoritas menggunakan metode perhitungan pendekatan nilai
pasar. Hal ini menyebabkan nilai sewa Barang Milik Negara relatif sama denga harga sewa
aset sejenis di lingkungan yang berdekatan/serupa. Agar lebih agresif, ada baiknya bila DJKN
mempunyai kebijakan yang memberikan kelonggaran agar nilai sewa Barang Milik Negara
bisa lebih rendah daripada harga di pasar, dengan tetap memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan khusus yang tidak merugikan negara. Pertimbangan-pertimbangan khusus
tersebut antara lain bentuk kegiatan bisnis dengan memperhatikan latar belakang kegiatan
bisnis tersebut, pihak penyewa, tujuan kegiatan sewa dan manfaat dari kegiatan sewa bagi
stakeholder. Hal ini diharapkan mampu menambah nilai jual Barang Milik Negara dalam
pemanfaatan dan memberikan ruang bagi pemerintah dalam pelayanan publik dengan
optimalisasi Barang Milik Negara. Namun hal ini perlu didukung dengan payung hukum
yang jelas yang melindungi profesi penilai.
• Regulasi. Dari sisi pengelolaan Barang Milik Negara, peraturan mengenai kegiatan
pemanfaatan Barang Milik Negara perlu lebih dipertegas dan detail. Misalkan, bagaimana
kalau Barang Milik Negara sudah terlanjur disewakan tapi tidak memiliki ijin dari Pengelola
Barang dan tidak menyetor ke Kas Negara? Bagaimana jika yang disetor ke Kas Negara lebih
rendah dari nilai yang ditetapkan, dsb. Perlu diatur mengenai sanksi yang
implementatif namun menimbulkan efek perbaikan dan adanya penghargaan bagi satuan
kerja yang berhasil mengoptimalkan Barang Milik Negara yag berada dalam penguasaaanya.
• Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat. DJKN baik secara langsung maupun melalui setiap
kantor vertikal harus aktif memasarkan diri sebagai instansi pengelola asset yang profesional.
Dimulai dengan memperkenalkan diri pada setiap lapisan masyarakat yang kemudian dapat
memanfaatkan masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan Barang Milik Negara. Hal ini
juga dapat mengurangi potensi pendudukan/penguasaan Barang Milik Negara oleh
masyarakat secara illegal. Bila masyarakat sudah memahami mengenai manfaat pengelolaan
Barang Milik Negara dan mengenal instansi DJKN sebagai pihak yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan Barang Milik Negara, DJKN dapat semakin agresif dalam kegiatan
optimalisasi asset dan sekaligus kegiatan pengamanannya. Pada tahap ini, membuat
standarisasi visualisasi -membuat suatu tanda/simbol/peringatan khusus berlaku nasional
yang berisi informasi mengenai asset- menjadi penting untuk dapat terus menjaga kesadaran
dan komunikasi dengan masyarakat. Standarisasi visualisasi akan mengkomunikasikan
kepada masyarakat mengenai status kepemilikan asset, status pemanfaatan hingga pemasaran
asset jika memungkinkan. Kemudahan masyarakat untuk berkomunikasi dengan DJKN juga
perlu ditingkatkan agar keterlibatan semakin mudah dan baik.

Artikel DJKN

Akselerasi BMN Sebagai Revenue Center Dan


Optimalisasi Penggunaan Dalam Pengelolaan BMN
Selasa, 31 Mei 2016 pukul 12:06:19 | 2164 kali

Oleh:
Thot Pardamaian

Staf pada Subdit III, Direktorat BMN, DJKN

Dalam rangka perbaikan proses bisnis organisasi yang diperlukan secara terus menerus
untuk memberikan kontribusi nyata mewujudkan kesejahteraan rakyat, diperlukan
akselerasi/percepatan menciptakan konsep mekanisme meningkatkan Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang dapat beriringan dengan bisnis proses pengelolaan Barang Milik
Negara (BMN) sehubungan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga Negara
(K/L) selaku pengguna BMN dibawah kebijakan dan binaan, pengawasan dan pengendalian
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang. Konsep akselerasi
peningkatan PNBP ini diangkat dari realisasi BMN berupa tanah dan bangunan yang terdapat
pada seluruh satuan kerja K/L. Realisasi nilai BMN tanah dan bangunan sampai dengan T.A.
2015 yang tersebar pada seluruh satuan kerja K/L antara lain:

a. Nilai BMN berupa tanah Rp991.833.154.707.820,00;


b. Nilai BMN berupa bangunan gedung negara Rp225.466.842.313.708,00.
(sumber: LBMN 2015)

Terhadap BMN tanah dan/atau bangunan tersebut secara umum dan BMN yang
menghasilkan PNBP tersebut, telah dilakukan pengelolaan dengan baik dan mempunyai
dasar hukum yang memadai, dalam konteks ini adalah terkait penggunaan BMN yang efektif
dan efisien menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.06/2016 tentang
Tata Cara Pengelolaan BMN Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan
Fungsi K/L, dan BMN yang dapat menghasilkan PNBP melalui pelaksanaan ketentuan
pemanfaatan BMN misalnya terkait sewa BMN dalam PMK Nomor 57/PMK.06/2016.
Kontrol terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN sehubungan pelaksanaan tugas dan
fungsi pemerintahan oleh K/L, terkait PMK tersebut dititikberatkan pada BMN yang
dilakukan pemanfaatan karena tidak digunakan untuk operasional dan/atau BMN Idle yakni
“BMN tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan menyelenggarakan tugas dan fungsi
K/L” dan “BMN tanah dan/atau bangunan yang digunakan tidak sesuai tugas dan fungsi
K/L”. BMN idle berasal dari BMN terindikasi idle yang diketahui saat diterbitkan Surat
Permintaan Klarifikasi Tertulis dari Pengelola Barang kepada Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang mengenai adanya BMN terindikasi idle. Surat dimaksud bergantung pada
pada adanya sumber informasi BMN terindikasi idle sebagaimana ditentukan PMK tersebut
Pasal 7 yaitu “laporan pengawasan dan pengendalian (wasdal), informasi tertulis/laporan
semesteran dan tahunan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, laporan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan hasil pengawasan oleh Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP), informasi dari media masa, dan laporan masyarakat”.
Terhadap BMN Idle dimaksud dapat dioptimalkan dengan cara penggunaan oleh K/L lain
atau dilakukan pemanfaatan untuk menambah PNBP (misal sewa BMN).

Sejalan dengan semangat pengelolaan dalam uraian diatas, konsep akselerasi ini mempunyai
kesamaan semangat yang berorientasi pada optimalisasi BMN, akan tetapi ada perbedaan
sangat esensial dan teknis terkait tujuan, yaitu mendayagunakan BMN sebagai trigger
optimalisasi BMN khususnya peningkatan PNBP yang perlu disesuaikan dalam suatu
kebijakan pengelolaan BMN untuk menuju DJKN sebagai “Revenue Center” sebagaimana
amanat Menteri Keuangan Bambang P. S. Brodjonegoro dalam sambutannya pada
pembukaan Roadshow Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan, tanggal
20 Maret 2016 di Gedung Keuangan Negara Bandung (sumber: Berita DJKN
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/detail/menkeu--djkn-harus-menjadi-revenue-center),
dan dalam sambutannya pada pembukaan Rapat Kerja Nasional DJKN Tahun 2016 di
Jakarta, tanggal 25 Mei 2016 (sumber :
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/detail/menjadi-manager-asset-yang-berjiwa-
enterpreneur). Selain itu maksud dari konsep akselerasi peningkatan PNBP ini dapat dapat
mendorong penggunaan BMN yang lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan penggunaan
BMN secara ideal.

Konsep “Menuju DJKN Revenue Center”


Bagian dari mekanisme pengelolaan BMN dalam uraian diatas (PMK 71/PMK.06/2016)
sehubungan dengan tujuan akselerasi dimaksud, perlu dilengkapi dengan kemampuan
menyajikan data informasi penggunaan BMN yang telah sesuai standardisasi, kurang dari
standardisasi, dan melebihi standardisasi, oleh karena itu diperlukan mekanisme yang mampu
memberikan kepastian tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan BMN oleh seluruh K/L
guna memberikan pertimbangan memadai bagi stakeholder dalam mengambil kebijakan yang
tepat dalam rangka peningkatan PNBP. Standardisasi dimaksud telah ada dan diatur dalam
PMK Nomor 248/PMK.06/2016 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK)
BMN Berupa Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor
7/PMK.06/2016 tanggal 26 Januari 2016.

Ketentuan standardisasi dalam SBSK tersebut telah diterapkan dalam proses Perencanaan
Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN) yang pertama kali disusun pada Semester II
2015 oleh 20 (dua puluh) K/L tertentu sebagai pilot project RKBMN untuk digunakan
sebagai dasar penyusunan anggaran pemeliharaan dan pengadaan BMN Tahun Anggaran
2017. Berdasarkan data RKBMN pemeliharaan dan pengadaan, dapat ditelusuri existing
BMN tanah dan/atau bangunan pada masing-masing K/L dan berdasarkan SBSK yang
berlaku dan dapat dilakukan analisis atas rencana pengadaan tanah dan/atau bangunan apakah
dapat disetujui, atau tidak dapat disetujui karena terdapat existing BMN yang dapat
dioptimalkan dalam penggunaan. RKBMN mempunyai keandalan dalam data informasi
tersebut, akan tetapi sehubungan tujuan “Akselerasi BMN sebagai alat menuju Revenue
Center”, keandalan tersebut sangat perlu ditingkatkan (dikembangkan) untuk kepentingan
peningkatan PNBP demi kemajuan DJKN dalam pengelolan BMN. Kepentingan Peningkatan
PNBP dimaksud yakni menggunakan data existing penggunaan BMN tanah dan/atau
bangunan yang melebihi standar dalam SBSK.

SBSK BMN berupa tanah dan/atau bangunan mengatur standar tanah yang dimaksudkan
untuk mendirikan bangunan gedung negara, dan bangunan gedung negara yang
dikelompokkan menjadi gedung perkantoran dan rumah negara dengan klasifikasi tertentu.
Ketentuan SBSK tersebut mengatur luas tanah dan bangunan yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing K/L dengan melakukan penyesuaian tingkat
jabatan organisasi dan jumlah pegawai terhadap:
1. Standar gedung perkantoran melitpui:
- Standar ketinggian bangunan;
- Standar kebutuhan unit kantor;
- Standar luas bangunan;
- Standar luas tanah;
- Standar luas ruang kerja;
2. Standar tanah dan bangunan rumah negara meliputi:
- Standar kebutuhan unit;
- Standar luas tanah;
- Standar luas bangunan.

Bahwa penerapan ketentuan SBSK dimaksud hanya terbatas pada kepentingan


penyusunan/penelaahan RKBMN, dan tidak dimaksimalkan secara langsung digunakan untuk
menyajikan data informasi penggunaan BMN tanah dan/atau bangunan yang telah sesuai
standar, kurang dari standar, dan melebihi standar (telah/kurang/melebihi standar) diluar
kepentingan penyusunan/penelaahan RKBMN pengadaan dan pemeliharaan. Hal ini
sebagaimana diatur PMK Nomor 7/PMK.06/2016 Pasal I angka 1 perubahan Pasal 2 huruf b
yang mengatur bahwa “SBSK BMN berupa tanah dan/atau bangunan berfungsi sebagai
pedoman bagi Pengelola Barang dalam menelaah RKBMN dalam bentuk pengadaan tanah
dan/atau bangunan yang disusun oleh Pengguna Barang”, sehingga SBSK tersebut belum
dapat diterapkan mewujudkan kepentingan peningkatan PNBP.

Bahwa dengan semangat menuju DJKN sebagai “Revenue Center” sebagaimana amanat
Menteri Keuangan (dapat diartikan sebagai organisasi yang aktif meningkatkan kontribusi
PNBP), SBSK dimaksud kiranya perlu dikembangkan dengan pengaturan SBSK yang baru
dan tegas memberikan kepastian hukum sebagai dasar melakukan kegiatan
mengidentifikasi/menelusuri dan mengukur (tracking and measurement) keberadaan BMN
berupa tanah dan/atau bangunan melebihi standar dan potensial menghasilkan PNBP. Namun
demikian disisi lain sesuai ketentuan PMK Nomor 246/PMK.06/2014 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan BMN, Pasal 3 bahwa “Penggunaan BMN dibatasi hanya untuk
menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan oleh K/L”, dapat ditafsirkan bahwa BMN
yang melebihi standar didahulukan untuk optimalisasi penggunaan oleh K/L lain sebelum
dilakukan pemanfaatan.

Berdasarkan “SBSK yang baru dimaksud diatas” dapat ditindaklanjuti dengan melakukan
evaluasi tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan dan keberadaan BMN tanah dan/atau
bangunan pada seluruh K/L secara terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
evaluasi dimaksud dapat dilakukan verifikasi dan identifikasi alokasi penggunaan BMN tanah
dan/atau bangunan dengan tujuan menemukan posisi BMN potensial untuk dilakukan
pemanfaatan yang dapat menambah kontribusi PNBP.
“SBSK yang baru dimaksud” harus mampu menyajikan pengukuran yang tepat/akurat,
efisien dan efektif untuk diterapkan dalam standardisasi yang sesuai kebutuhan penggunaan
BMN secara ideal, sehingga tidak terdapat ruang tanah dan/atau bangunan yang kurang atau
berlebih dalam penyelenggaran tugas dan fungsi K/L. Oleh karena itu “SBSK yang baru
dimaksud” harus dapat menjadi alat untuk melakukan penelusuran dan pengukuran (tracking
and measurement) apakah keberadaan dan penggunaan BMN:
a. Telah sesuai standar barang dan kebutuhan secara ideal;
b. Kurang dari standar barang dan kebutuhan secara ideal;
c. Melebihi standar barang dan kebutuhan secara ideal.

Langkah awal tracking and measurement tersebut dapat dilakukan menggunakan alat “SBSK
dimaksud” untuk mengolah data RKBMN pengadaan dan pemeliharaan khususnya tanah
dan/atau bangunan yang diajukan oleh dua puluh K/L pilot project dimaksud diatas. Dalam
RKBMN pengadaan, secara ideal existing BMN tanah dan/bangunan masih kurang dari
standar barang dan kebutuhan sehingga perlu upaya optimalisasi penggunaan BMN tanah
dan/atau bangunan yang melebihi standar pada K/L lain atau dilakukan pengadaan baru.
Dalam RKBMN pemeliharaan dan merupakan yang pertama kali, dapat diasumsikan ada
potensi BMN yang melebihi standar barang dan kebutuhan sehingga perlu dilakukan tracking
and measurement untuk menyajikan data BMN tanah dan/atau bangunan yang
telah/kurang/melebihi standar secara ideal. Hasil tracking and measurement RKBMN
pemeliharaan dimaksud khusus untuk BMN tanah dan/atau bangunan yang melebihi standard
dan kebutuhan, dapat dilakukan pemanfaatan (setelah upaya optimalisasi penggunaan oleh
K/L lain). Pemanfaatan dimaksud harus dilakukan dianalisis terlebih dahulu dan dapat
menggunakan metode menurut kegunaan terbaik dan tertinggi (highest and best use) dari
tanah dan/atau bangunan sehingga dapat ditentukan bentuk pemanfaatan yang paling tepat
menghasilkan PNBP tertinggi diantara bentuk pemanfaatan seperti sewa, kerja sama
pemanfaatan, BGS/BSG, dan kerja sama penyediaan infrastruktur. Secara bertahap,
berkelanjutan, dan berulang, langkah tracking and measurement jika dilakukan terhadap
BMN tanah dan/atau bangunan yang tersebar pada seluruh K/L dapat menciptakan
penggunaan BMN yang sesuai standar kebutuhan, dan dapat memberdayakan BMN yang
berlebih melalui pemanfaatan (setelah upaya optimalisasi penggunaan oleh K/L lain).

Sebagaimana uraian-uraian tersebut diatas, diperlukan pengaturan tegas bahwa Pengelola


Barang perlu dan dapat melakukan tracking and measurement BMN tanah dan/atau bangunan
menggunakan alat SBSK dimaksud, sehingga dapat disajikan data informasi BMN yang
telah/kurang/melebihi standar SBSK (disajikan dalam daftar tersendiri). Data informasi
tersebut dapat ditindaklanjuti dengan kebijakan, misalnya didayagunakan sesuai kegunaan
terbaik dan tertinggi (highest and best use) dalam bentuk pemanfaatan BMN untuk
menghasilkan peningkatan PNBP misalnya sewa BMN (baik sebagian atau keseluruhan
satuan unit tanah dan/atau bangunan, setelah upaya optimalisasi penggunaan BMN oleh K/L
lain). Dengan demikian, peningkatan PNBP mempunyai harapan gemilang dalam pencapaian
untuk mendukung DJKN sebagai “Revenue Center” maupun upaya DJKN sebagai
“Managing of Manager Aset”. Konsep tersebut secara logis dapat diterapkan, akan tetapi
bukanlah perkara mudah, dan membutuhkan dukungan nyata dari berbagai pihak.

Ilustrasi Ringan & Singkat:


Tracking and measurement dilakukan pada satuan kerja K/L A yang menggunakan tanah dan
gedung kantor bertingkat 5 (lima) lantai. Setelah memperhitungkan kesesuaian jenis jabatan
dan jumlah pegawai terhadap kebutuhan gedung kantor, berdasarkan SBSK secara ideal K/L
A cukup menggunakan 3 (tiga) lantai saja dari 5 (lima) lantai gedung kantor tersebut,
sehingga perlu dilakukan penataan ulang ruang kantor. Terhadap 2 (dua) lantai dari 5 (lima)
lantai gedung kantor tersebut dapat dianalisa 2 (dua) lantai manakah menurut kegunaan
terbaik dan tertinggi untuk dilakukan pemanfaatan yang tepat, misalnya sewa (setelah upaya
optimalisasi penggunaan oleh K/L lain).

Rekomendasi

1. SBSK dikembangkan/disempurnakan dan tidak terbatas sebagai pedoman penyusunan dan


penelaahan RKBMN dimaksud, tetapi tegas memberikan dasar hukum bahwa SBSK dapat
digunakan sebagai alat untuk tracking and measurement BMN tanah dan/atau bangunan
secara ideal telah/kurang/melebihi standar, dalam rangka menyediakan informasi memadai
untuk pengambilan kebijakan peningkatan PNBP melalui pemanfaatan BMN.
2. Selain dasar hukum SBSK dimaksud, perlu diatur tata cara tracking and measurement BMN
berupa tanah dan/atau bangunan menggunakan alat SBSK dimaksud.
3. Tracking and measurement dimaksud dapat dilakukan secara bertahap dan menggunakan
atau mengolah data hasil penyusunan RKBMN yang telah ditelaah oleh Pengelola Barang
bersama dengan Pengguna Barang.
4. Hasil tracking and measurement dimaksud khusus untuk BMN tanah dan/atau bangunan
yang melebihi standar SBSK harus dilakukan analisa untuk menentukan bentuk pemanfaatan
yang tepat dalam rangka menghasilkan nilai PNBP yang besar (setelah upaya optimalisasi
penggunaan oleh K/L lain).
5. Hasil evaluasi BMN tanah dan/atau bangunan berdasarkan alat SBSK dimaksud, dalam hal
dilakukan pemanfaatan misalnya sewa, diperlukan pengaturan pihak yang akan
melaksanakan sewa apakah sewa sesuai PMK 57/PMK.06/2016 yaitu perikatan sewa
dilakukan oleh Pengguna Barang dengan penyewa (dalam hal BMN berada pada Pengguna
Barang), atau khusus dalam rangka peningkatan PNBP maka terkait hasil tracking and
measurement tersebut semua perikatan dari bentuk pemanfaatan dilakukan oleh Pengelola
Barang dengan pihak yang berminat sebagai mitra pemanfaatan.

‘’
Pengelolaan BMN Idle: Ringankan Beban Belanja
Negara
Rabu, 04 April 2012 pukul 10:41:29 | 5315 kali

Pada tanggal 28 Desember 2011, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri


Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara
Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian
Negara/Lembaga. Peraturan tersebut merupakan jawaban dari banyaknya aset negara berupa
tanah dan/atau bangunan yang tidak atau belum digunakan secara optimal.

Barang Milik Negara (BMN) idle menurut peraturan ini adalah BMN berupa tanah dan/atau
bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga (K/L). Adapun kriteria dari BMN idle, meliputi:

1. BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi K/L dalam
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun sejak terindikasi idle.

2. BMN yang digunakan, tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi K/L.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku pelaksana fungsional atas kewenangan
dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN dapat membantu
meringankan beban belanja negara sekaligus menambah pendapatan negara bukan pajak
(PNBP) dari pengelolaan BMN idle tersebut.

Penggunaan BMN idle oleh K/L yang membutuhkan tanah dan/atau bangunan merupakan
salah satu cara meringankan beban belanja negara. Sebagai contoh, di wilayah kerja suatu
KPKNL terdapat aset yang terindikasi idle karena tidak digunakan dalam penyelenggaran
tugas dan fungsi dengan nilai sebesar Rp10 milyar. Sedangkan menurut data LBMN-KD,
pada suatu KPKNL terdapat mutasi tambah pada akun tanah adalah sebesar Rp100 milyar.
Bila proses pengelolaan BMN idle tersebut dilaksanakan dengan tertib, pengeluaran belanja
modal untuk penambahan tanah dapat dihemat sebesar nilai BMN idle pada daerah tersebut
sehingga negara hanya perlu mengalokasikan dana sebesar Rp90 milyar.

BMN idle yang telah diserahkan kepada Pengelola Barang dapat memberikan kontribusi
pendapatan negara dari PNBP melalui mekanisme pemanfaatan BMN. DJKN yang memiliki
instansi vertikal dapat menambah pendapatan negara dengan cara memasang tanda
penguasaan atas tanah yang berisi informasi Kanwil DJKN/KPKNL yang menguasai tanah
idle tersebut dan tanda yang berisi peluang untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Dengan
cara itu, tanah yang menganggur tersebut tidak akan membebani APBN dengan biaya
pengamanan dan pemeliharaannya sekaligus memberikan kontribusi Pendapatan Negara
Bukan Pajak.

Pada peraturan ini diatur juga mengenai sanksi bagi Pengguna Barang yang tidak
menyerahkan BMN yang ditetapkan sebagai BMN idle berupa:
1. Pembekuan dana pemeliharaan BMN atas tanah dan/atau bangunan yang telah ditetapkan
sebagai BMN idle.

Ketentuan ini perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bersama antara DJKN selaku
Pengelola Barang dan DJPBN selaku Pengelola Anggaran sehingga dapat diimplementasikan
oleh KPKNL dan KPPN selaku Kuasa Pengelola Barang/Anggaran.

2. Penundaan penyelesaian atas usulan pemanfaatan, pemindahtanganan, atau penghapusan


BMN yang diajukan oleh Pengguna Barang.

Di samping peraturan mengenai pembekuan dana pemeliharaan BMN, diperlukan juga


keseragaman prosedur kerja dan bentuk surat yang berkaitan dengan pengelolaan BMN idle
seperti Laporan Pelaksanaan Investigasi atau Penelitian. Selain itu, untuk efisiensi
pelaksanaan peraturan ini, wewenang dan tanggung jawab dari Pengelolaan BMN idle yang
dipegang oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara dapat didelegasikan kepada instansi
vertikal, berdasarkan wilayah kerja maupun berdasar nilai BMN yang terindikasi idle, seperti
memberikan kewenangan pengelolaan BMN idle sampai dengan lima milyar rupiah ke
KPKNL, sampai dengan sepuluh milyar rupiah ke Kanwil DJKN.

Dengan demikian, Pengelolaan BMN idle secara tepat, efektif, dan optimal untuk
penyelenggaran tugas dan fungsi K/L, dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat melalui penghematan belanja negara dan memberikan kontribusi
pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Oleh : M. Eko Agus Y. – KPKNL Jember.

Perbaikan tata kelola aset melalui program tertib administrasi, tertib fisik, dan tertib hukum merupakan
standar minimal yang harus dilakukan (the minimum standard of state asset management). Oleh karena itu,
simultan dengan pelaksanaan program tersebut, hal selanjutnya yang harus dilakukan oleh Kementerian
Keuangan adalah memastikan bahwa aset negara telah digunakan secara optimal. Indikator kinerja “rasio
utilisasi aset terhadap total aset tetap” merupakan indikator yang dipilih untuk memantau
utilisasi/penggunaan atas aset negara. Selain bertujuan untuk memastikan tertib administrasi/pencatatan
aset, indikator ini juga dapat memberikan informasi tentang seberapa nilai aset yang digunakan untuk
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, nilai aset yang under capacity sehingga
dapat dimanfaatkan/dikerjasamakan dengan pihak ketiga, nilai aset yang diserahkan kepada pihak lain
dalam rangka pelaksanaan progam pemerintah (hibah), atau nilai aset yang digunakan sebagai penyertaan
modal negara. Artinya, melalui indikator ini, pertumbuhan portofolio nilai aset berikut utilisasinya
senantiasa dipantau.
Dalam perkembangannya, pengelolaan aset mengalami pergeseran paradima, dari asset administrator
menjadi asset manager. Oleh karena itu, pada tahun 2017, Kementerian Keuangan mulai mengukur kinerja
pengelolaan aset ditinjau dari seberapa besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan aset
negara. Manfaat ekonomi tersebut diukur dari nilai penerimaan negara dan nilai penghematan belanja yang
dihasilkan dari kegiatan pengelolaan aset. Melalui pengukuran ini, diharapkan aset yang dimiliki oleh
negara tidak hanya sebatas pada penggunaan, namun juga dikelola secara optimal dan profesional sehingga
nantinya juga berkontribusi dalam mendukung kapasitas keuangan negara. Pola optimalisasi penerimaan
negara melalui pengelolaan aset dapat dilakukan melalui skema sewa, kerja sama pemanfaatan,
bangun guna serah, bangun serah guna, dan lainnya. Sementara pola optimalisasi penghematan
belanja dapat dilakukan dengan skema pengalihan aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga
kepada instansi lain yang membutuhkan baik untuk pelaksanaan tugas dan fungsi maupun
mendukung program prioritas pemerintah. Contoh dukungan aset terhadap program prioritas
pemerintah pada tahun 2016 adalah penyediaan aset di Lampung, Batam, Padang, dan Gowa untuk
program sejuta rumah.
Selain hal tersebut, pada tahun 2016, Kementerian Keuangan juga telah membentuk Lembaga
Manajemen Aset Negara (LMAN), sebagai salah satu unit yang bertugas secara khusus
melakukan optimalisasi atas aset-aset idle yang berada di bawah pengelolaan Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara (BUN). Selain sebagai operator aset idle, LMAN juga diberikan mandat oleh
pemerintah untuk melaksanakan fungsi special land bank, yang berperan dalam penyediaan dan pendanaan
lahan untuk proyek strategis nasional.
Pengelolaan aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara serius sedang berupaya
untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak lagi dipandang sebagai sumber
daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan
masyarakat. Strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan
melakukan pembangunan basis data aset yang aktual dan akurat, serta menjalankan strategi
pengelolaan aset berbasis prinsip the highest and best use. Harapannya, setiap nilai aset yang
dimiliki oleh negara ini dapat memberikan imbal balik/return yang positif sesuai dengan potensi
terbaik atas aset tersebut.
(Ditulis untuk memenuhi bahan masukan Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun
2016)Editor: Andar Ristabet HesdaDiolah dari berbagai sumber

Perbaikan tata kelola aset melalui program tertib administrasi, tertib fisik, dan tertib hukum merupakan
standar minimal yang harus dilakukan (the minimum standard of state asset management). Oleh karena itu,
simultan dengan pelaksanaan program tersebut, hal selanjutnya yang harus dilakukan oleh Kementerian
Keuangan adalah memastikan bahwa aset negara telah digunakan secara optimal. Indikator kinerja
“rasio utilisasi aset terhadap total aset tetap” merupakan indikator yang dipilih untuk memantau
utilisasi/penggunaan atas aset negara. Selain bertujuan untuk memastikan tertib
administrasi/pencatatan aset, indikator ini juga dapat memberikan informasi tentang seberapa nilai
aset yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, nilai
aset yang under capacity sehingga dapat dimanfaatkan/dikerjasamakan dengan pihak ketiga, nilai
aset yang diserahkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan progam pemerintah (hibah),
atau nilai aset yang digunakan sebagai penyertaan modal negara. Artinya, melalui indikator ini,
pertumbuhan portofolio nilai aset berikut utilisasinya senantiasa dipantau.
Dalam perkembangannya, pengelolaan aset mengalami pergeseran paradima, dari asset administrator
menjadi asset manager. Oleh karena itu, pada tahun 2017, Kementerian Keuangan mulai mengukur
kinerja pengelolaan aset ditinjau dari seberapa besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari
pengelolaan aset negara. Manfaat ekonomi tersebut diukur dari nilai penerimaan negara dan nilai
penghematan belanja yang dihasilkan dari kegiatan pengelolaan aset. Melalui pengukuran ini,
diharapkan aset yang dimiliki oleh negara tidak hanya sebatas pada penggunaan, namun juga
dikelola secara optimal dan profesional sehingga nantinya juga berkontribusi dalam mendukung
kapasitas keuangan negara. Pola optimalisasi penerimaan negara melalui pengelolaan aset dapat
dilakukan melalui skema sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna,
dan lainnya. Sementara pola optimalisasi penghematan belanja dapat dilakukan dengan skema
pengalihan aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga kepada instansi lain yang membutuhkan
baik untuk pelaksanaan tugas dan fungsi maupun mendukung program prioritas pemerintah.
Contoh dukungan aset terhadap program prioritas pemerintah pada tahun 2016 adalah penyediaan aset di
Lampung, Batam, Padang, dan Gowa untuk program sejuta rumah.
Selain hal tersebut, pada tahun 2016, Kementerian Keuangan juga telah membentuk Lembaga
Manajemen Aset Negara (LMAN), sebagai salah satu unit yang bertugas secara khusus
melakukan optimalisasi atas aset-aset idle yang berada di bawah pengelolaan Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara (BUN). Selain sebagai operator aset idle, LMAN juga diberikan mandat oleh
pemerintah untuk melaksanakan fungsi special land bank, yang berperan dalam penyediaan dan pendanaan
lahan untuk proyek strategis nasional.
Pengelolaan aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara serius sedang berupaya
untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak lagi dipandang sebagai sumber
daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan
masyarakat. Strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan
melakukan pembangunan basis data aset yang aktual dan akurat, serta menjalankan strategi
pengelolaan aset berbasis prinsip the highest and best use. Harapannya, setiap nilai aset yang
dimiliki oleh negara ini dapat memberikan imbal balik/return yang positif sesuai dengan potensi
terbaik atas aset tersebut.
(Ditulis untuk memenuhi bahan masukan Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2016)Editor:
Andar Ristabet HesdaDiolah dari berbagai sumber

aset bersejarah dikarenakan kepentingan budaya, lingkungan, dan


sejarah.67

Secara yuridis-normatif, Barang Milik Negara terbagi atas tiga, yaitu: 1.


Yang dikelola sendiri oleh pemerintah disebut Barang Milik Negara,
misalnya tanah dan bangunan Kementerian/Lembaga, mobil milik
Kementerian/Lembaga. 2. Dikelola pihak lain disebut kekayaan negara
dipisahkan, misalnya penyertaan modal negara berupa saham di BUMN,
atau kekayaan awal di berbagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
yang dinyatakan sebagai kekayaan terpisah berdasarkan
UUpendiriannya. 3. Dikuasai negara berupa kekayaan potensial terkait
dengan bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya yang dikuasai negara selaku organisasi tertinggi, misalnya,
tambang, batu bara, minyak, panas bumi, aset nasionalisasi eks asing,
dan cagar budaya. 2. Pengelolaan Barang Milik Negara Era baru dalam
pengelolaan Barang Milik Negara mulai nampak antara lain setelah
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan 67
.Peraturan Menteri Keuangan No.171/PMK.05/2007. Tentang Sistem Akuntansi Dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat

Barang Milik Negara dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor


27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara, yang diiringi
dengan dibentuknya unit kerja baru yakni Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) yang khusus menangani pengelolaan Barang Milik
Negara di bawah kendali Kementerian Keuangan Republok Indonesia,
sehingga dalam rangka menjamin terlaksananya tertib administrasi dan
tertib pengelolaan Barang Milik negara diperlukan adanya kesamaan
persepsi dan langkah secara integral dan menyeluruh dari unsur-unsur
yang terkait dalam pengelolaan Barang Milik Negara. Oleh karena itu,
pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam PP. No.27
Tahun 2014 Pasal (3), dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagai
berikut: 681. Asas Fungsional Pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah-masalah di bidang pengelolaan Barang Milik Negara
dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna Barang Milik Negara
sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. 2. Asas
Kepastian hukum Pengelolaan Barang Milik Negara harus dilaksanakan
berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan serta asas
kepatutan dan keadilan. 3. Asas Transparansi 68 . Pasal 3 ayat (1) PP.No.27
Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.

61 menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan


yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang
akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektifitas
pengelolaan Barang Milik Negara. Hasil perencanaan kebutuhan
tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan neraca
anggaran pada kementerian/ lembaga. Perencanaan anggaran yang
mencerminkan kebutuhan riil Barang Milik Negara selanjutnya
menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang di perlukan
dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.
Menurut Pasal 9 PP.No.27 Tahun 201471, perencanaan kebutuhan
Barang Milik Negara disusun dalam neraca kerja dan anggaran
kementerian negara/ lembaga/ satuan kerja setelah memperhatikan
ketersediaan barang milik negara yang ada dengan berpedoman pada
standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga yang ditetapkan
oleh pengelola barang setelah berkordinasi dengan instansi atau dinas
tekhnis terkait. Sedangkan dalam Pasal 10 PP.No.27 Tahun 201472
mengatur bahwa pengguna barang menghimpun usul rencana
kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang
berada dibawah lingkungannya, dan selanjutnya menyampaikan usul
rencana kebutuhan barang milik negara kepada pengelola barang.
Pengelola barang beserta pengguna barang membahas usul tersebut
dengan memperhatikan data 71 .ibid 72 .ibid
62 barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk
ditetapkan sebagai rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN).
b. Pengadaan Berdasarkan Pasal 12 PP .No. 27 Tahun 201473,
pengadaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif,
transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Dalam peraturan tersebut, ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pelaksanaan pengadaan Barang Milik Negara diatur dengan Peraturan
Presiden. Menurut Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Pasal 1 ayat
(1) Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah
dengan Peraturan Presiden No.4 Tahun 2015 Tentang Perubahan
keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 Tentang pengadaan Barang/
Jasa Pemerinta74, yang dimaksud dengan pengadaan barang/ jasa
pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/ jasa oleh
kementerian/ lembaga/ satuan kerja perangkat daerah/ institusi lainnya
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Pasal
3 Perppres No. 54 Tahun 2010 yang telah diubah dengan Perppres
No.4 Tahun 2015 mengatur bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa
dapat dilakukan melalui:7573 .ibid 74. Pasal 1 Ayat (1) Perppres.No.54 Tahun 2010
Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa, yang telah diubah dengan Perppres No.4 Tahun
2015 Tentang Perubahan keempat atas Perppres No.54 Tahun 2010 75 .Ibid.
63 1. Swakelola, adalah pengadaan barang/ jasa dimana pekerjaannya
direncanakan, dikerjakan, dan/ atau diawasi sendiri oleh Kementerian/
Lembaga/ Departemen/ Instansi/ sebagai. penanggungjawab anggaran,
instansi pemerintah lain dan/ atau kelompok masyarakat. 2. Pemilihan
penyedia barang/ jasa, dilakukan dengan cara: a. Pelelangan yang
terdiri atas pelelangan umum dan pelelangan sederhana. b.
Penunjukan/ pemilihan langsung. c. Pengadaan langsung. d. Kontes/
sayembara Selanjutnya, Pasal 36 ayat (1) Perpres No.54 Tahun 2010
yang telah diubah dengan Perpres No.4 Tahun 2015 mengatur bahwa
pemilihan penyedia barang pada prinsipnya di lakukan melalui metode
pelelangan umum dengan pascakualifikasi. Pelelangan umum dengan
pascakualifikasi adalah metode pelelangan umum dimana proses
penilaian kualifikasi dilakukan setelah pemasukan penawaran.
Pelelangan umum dilakukan apabila pengadaan penyedia barang/
pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya bersifat kompleks dan bernilai lebih
dari Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sedangkan pengadaan
penyedia barang/pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya yang tidak kompleks
dan bernilai paling tinggi Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dapat dilakukan melalui pelelangan sederhana untuk pengadaan
barang/ jasa
64 lainnya atau penunjukan langsung untuk pengadaan pekerjaan
konstruksi.76 Pengadaan langsung dapat dilakukan terhadap pengadaan
barang/pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya yang bernilai paling tinggi
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan sayembara
digunakan untuk pengadaan jasa yang memiliki karakteristik sesuai
dengan Pasal 40 ayat (1), yaitu: 1. Merupakan proses dan hasil dari
gagasan, kreatifitas, inovasi, budaya, dan metode pelaksanaan tertentu;
dan 2. Tidak dapat ditetapkan berdasarkan harga satuan. Pasal 57 huruf
c Perpres No. 54 Tahun 2015 mengatur bahwa pelelangan umum untuk
pemilihan penyedia barang/ pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya dengan
Pascakualifikasi meliputi kegiatan: 1. Pengumuman 2. Pendaftaran dan
pengambilan dokumen pengadaan 3. Pemberian penjelasan 4.
Pemasukan dokumen penawaran 5. Pembukaan dokumen penawaran
6. Evaluasi penawaran 7. Evaluasi kualifikasi 8. Pembuktian kualifikasi
9. Pembuatan berita acara hasil pelelangan 76 .ibid
65 10. Penetapan pemenang 11. Pengumuman pemenang 12.
Sanggahan 13. Sanggahan banding (apabila diperlukan); dan 14.
Penunjukan penyedia barang/ jasa. C. PenggunaanBerdasarkan Pasal 1
PP. No. 27 Tahun 2014, yang dimaksud dengan Penggunaan adalah;
Kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan
menatausahakan Barang Milik Negara sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi instansi yang bersangkutan. Tata cara penggunaan Barang Milik
Negara diatur dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.
06/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan dan pemindahtanganan BMN. Ketentuan pokok
Penggunaan Barang Milik Negara adalah Sebagai berikut: 1. BMN
berupa tanah dan/ atau bangunan harus ditetapkan status
penggunaannya oleh Pengelola Barang. 2. BMN selain tanah dan
bangunan yang harus ditetapkan status penggunaannya oleh Pengelola
Barang, yaitu: a. Barang-barang yang mempunyai bukti kepemilikan,
seperti sepeda, motor, mobil,kapal, pesawat terbang. b. Barang-barang
dengan nilai perolehan di atas Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta)
per unit/ satuan.
66 3. BMN selain tanah dan/ atau bangunan dengan nilai perolehan
sampai dengan Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) per unit/
satuan ditetapkan status penggunaannya oleh pengguna barang. 4.
BMN pada TNI dan Polri yang merupakan alat utama sistem
persenjataan, tidak memerlukan penetapan status penggunaan dari
Pengelola Barang. 5. Pencatatan BMN diatur sebagai berikut: a.
Pencatatan oleh Pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan
dalam daftar barang pengguna/kuasa pengguna barang untuk seluruh
BMN yang berada dalam penguasaan/kuasa pengguna barang. b.
Pencatatan oleh pengelola barang dilakukan dalam daftar BMN untuk
tanah dan/ atau bangunan, dan barang lainnya sebagaimana dimaksud
pada angka 2 di atas. 6. BMN yang dari awal pengadaannya
direncanakan untuk penyertaan modal pemerintah pusat atau di
hibahkan harus di tetapkan status penggunaannya oleh pengelola
barang dengan terlebih dahulu di audit oleh aparat pengawas
fungsional. 7. BMN yang telah di tetapkan status penggunaannya pada
pengguna barang, dapat digunakan sementara oleh pengguna barang
lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status
67 penggunaan BMN tersebut setelah terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan Pengelola Barang. 8. Pengguna barang/ kuasa pengguna
barang wajib menyerahkan BMN berupa tanah dan/ atau bangunan
yang tidak di gunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsinya kepada Pengelola Barang. 9. Pengelola Barang menetapkan
BMN berupa tanah dan/ atau bangunan yang harus diserahkan oleh
pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga yang bersangkutan. 10.
Dalam rangka optimalisasi BMN sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
pengguna barang, Pengelola barang dapat mengalihkan status
penggunaan BMN dari suatu pengguna barang kepada pengguna
barang lainnya. 11. Dalam hal BMN berupa bangunan di bangun di atas
tanah pihak lain, usulan penetapan status penggunaan bangunan
tersebut harus disertai perjanjian antara pengguna barang dengan pihak
lain tersebut yang memuat jangka waktu dan kewajiban para pihak.77d.
PemanfaatanPemanfaatan Barang Milik Negara menurut Pasal 1 PP. No.
27 Tahun 2014 adalah; Pendayagunaan Barang Milik Negara/ Daerah
yang tidak dipergunakan untuk penyelernggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/ 77 .Permenkeu No.78/PMK. 06/2014

68 Lembaga/ Satuan kerja perangkat daerah dan/ atau optimalisasi


Barang Milik Negara/Daerah dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Bentuk pemanfaatan Barang Milik Negara berdasarkan
Pasal 27 PP. No. 27 Tahun 2014 adalah berupa:781. Sewa 2. Pinjam
Pakai 3. Kerja sama Pemanfaatan 4. Bangun guna serah/bangun serah
guna;atau 5. Kerja sama penyediaan infrastruktur Kriteria pemanfaatan
Barang Milik Negara adalah sebagai berikut:791. Pemanfaatan Barang
Milik Negara berupa tanah dan/ atau bangunan dilaksanakan oleh
Pengelola Barang. 2. Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah
dan/ atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi Kementerian/ Lembaga dilakukan oleh
Pengguna Barang dengan persetujuan pengelola Barang3.
Pemanfaatan Barang Milik Negara selain tanah dan/ atau bangunan di
laksanakan oleh Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola
Barang. e. Pengamanan dan Pemeliharaan. Pengamanan adalah kegiatan
atau tindakan pengendalian dan penertiban dalam pengelolaan BMN.
Pasal 32 PP. No. 27 Tahun 2014

70 Pemeliharaan Barang (DKPB) dan biaya pemeliharaannya di


bebankan pada Anggaran dan Belanja Negara (APBN).80f . Penilaian
Berdasarkan Pasal 37 PP. No. 27 Tahun 2014 penilaian BMN di
perlukan dalam rangka mendapatkan nilai wajar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Nilai wajar atas BMN yang di peroleh dari
penilaian ini merupakan unsur penting dalam rangka penyusunan
neraca pemerintah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN. Hasil
penilaian BMN di tetapkan oleh Pengguna Barang. g. Penghapusan
Penghapusan menurut PP. No. 27 Tahun 2014 adalah tindakan
menghapus Barang Milik Negara dari daftar barang dengan menerbitkan
keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna
Barang dan/atau kuasa Pengguna Barang dan/ atau Pengelola Barang
dari tanggung jawab administrasi dan fisik barang yang berada dalam
penguasaannya. Persyaratan yang harus di penuhi dalam melakukan
penghapusan adalah sebagai berikut:811. Memenuhi persyaratan tekhnis
a. Secara pisik barang tidak dapat di gunakan karena rusak, dan tidak
ekonomis apabila di perbaiki. 80 . Media Kekayaan Negara Edisi No.10 Tahun
III/2012.81 . ibid
71 b. Secara teknis barang tidak dapat digunakan lagi akibat
modernisasi c. Barang telah melampaui batas waktu kegunaannya/
kadaluarsa. d. Berkurangnya barang dalam timbangan/ ukuran
disebabkan penggunaan/ kusut dalam penyimpanan/ pengangkutan. e.
Barang mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan
seperti terkikis, aus, dan lain sejenisnya. 2. Memenuhi persyaratan
ekonomis, yaitu lebih menguntungkan bagi negara apabila barang di
hapus, karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar
dari manfaat yang diperoleh. Permenkeu Nomor 78/PMK. 06/2014
mengatur bahwa tata cara penghapusan BMN atas BMN yang berada
pada pengelola barang meliputi:821. Tahap pesiapan penghapusan
Petugas yang bertanggung jawab menangani penghapusan BMN,
menyampaikan usulan penghapusan barang yang berada pada
pengurusannya kepada pengelola barang dengan di lengkapi data: 1.
Identitas dan kondisi barang 2. Tempat/lokasi barang 3. Harga
perolehan barang yang bersangkutan 4. Alasan usulan pengkapusan 82
.Permenkeu.No.78/PMK.06/2014
72 2. Tahapan pelaksanaan penghapusan 1. Pengelola barang
menerbitkan keputusan penghapusan BMN yang berada dalam
kewenangannya. 2. Berdasarkan keputusan penghapusan pengelola
Barang melakukan tindak lanjut penghapusan sesuai ketentuan
peraturan dan dituangkan dalam berita acara. 3. Berdasarkan berita
acara tersebut, Pengelola Barang melakukan penghapusan dari daftar
Barang Milik Negara. 3. Tahap pelaporan hasil pelaksanaan
penghapusan Pelaksanaan penghapusan dari daftar BMN di cantumkan
dalam laporan Semesteran dan Tahunan. 3. Pengertian Pemanfaatan
Barang Milik Negara Pemanfaatan sebagaimana yang diatur dalam PP.
No. 27 Tahun 2014 adalah pendayagunaan BMN/D yang tidak
digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementrian/lembaga dan/atau optimalisasi barang milik negara dengan
tidak mengubah status kepemilikan. Istilah pendayagunaan barang milik
negara terkandung makna bahwa tujuan pemanfaatan barang milik
negara adalah optimalisasi pemanfaatan barang milik negara guna
mendorong peningkatan peningkatan penerimaan negara83.
Pemanfaatan yang dimaksud harus sesuai dengan kriteria pemanfaatan
sebagaimana yang 83 .Andi Prasetiawan Hamzah dan Arvan Carlo
Djohansjah.2010. Modul Pemanfatan Barang Milik Negara. Departemen Keuangan RI,
Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Kekayaan Negara Dan
Perimbangan Keuangan, Jakarta. Hlm.5
73 disebutkan dalam Pasal 26 PP. No .27 Tahun 2014 adalah sebagai
berikut:841. Pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan
oleh: a. Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada
dalam penguasaannya; b. Pengelola Barang dengan persetujuan
Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah yang berada
dalam penguasaan Pengelola Barang; c. Pengguna Barang dengan
persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada
dalam penguasaan Pengguna barang; d. Pengguna Barang dengan
persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Daerah berupa
sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh
Pengguna Barang, dan selain tanah dan/atau banguan. 2. Pemanfaatan
Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan
tekhnis dengan memperhatikan kepentingan negara/ daerah dan
kepentingan umum. Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik
negara/daerah dapat dilakukan dengan cara85: 84 .PP.No.27 Tahun 2014
op.cit Pasal 26 85 .Pemanfaatan Barang Milik Negara diperoleh dari http//barang-milik-
negara.blogspot.com/2012/04/pemanfaatan-barang-milik-negara html#.UexIW7 diakses
pada tanggal 20 juli 2013
74 1. Sewa, yaitu pemanfaatan BMN/BMD oleh pihak lain dalam jangka
waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai. 2. Pinjam Pakai,
yaitu penyerahan penggunaan barang antara Pemerintah pusat dengan
Pemerintah Daerah dan antarPemerintah daerah dalam jangka waktu
tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut
berakhir di serahkan kembali kepada Pengelola Barang. 3. Kerjasama
Pemanfaatan, yaitu pendayagunaan BMN/BMD oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan Negara
bukan pajak. 4. Bangun Guna Serah, yaitu pemanfaatan BMN/BMD
berupa tanah ke pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya, kemudian di dayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah di sepakati, untuk
selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. 5. Bangun
Serah Guna, yaitu pemanfaatan BMN/BMD berupa tanah oleh pihak lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya,
dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk di dayagunakan
oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah di
sepakati. Pemanfaatan Barang milik negara melalui sewa dilaksanakan
terhadap Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola Barang,
75 Pengguna Barang, dan Barang Milik Negara yang sudah di serahkan
oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang. Pertimbangan untuk
menyewakan barang milik negara adalah untuk mengoptimalkan
pemanfaatan barang milik negara yang belum/tidak dipergunakan dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan,
menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga,
atau mencegah penggunaan barang milik negara oleh pihak lain secara
tidak sah. Ketentuan mengenai penyewaan barang milik negara
sebagaimana yang dijelaskan dalam Rapat Kordinasi Nasional
(RAKORNAS) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berlangsung
di Jakarta, pada tanggal 10 sampai 14 Me1 2011 adalah sebagai
berikut:861. Barang milik negara yang dapat disewakan adalah barang
milik negara yang dalam kondisi belum atau tidak digunakan oleh
pengguna barang atau pengelola barang. 2. Jangka waktu sewa barang
milik negara paling lama 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya
perjanjian, dan dapat diperpanjang. 3. Perpanjangan waktu sewa barang
milik negara dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk sewa
yang dilakukan oleh Pengelola barang,perpanjangan dilakukan setelah
dilakukan evaluasi oleh Pengelola barang. 86 .Hasil Rakornas Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara di Jakarta. Tanggal 10-14 Mei 2011
76 b. Untuk sewa yang dilakukan oleh Pengguna barang, perpanjangan
dilakukan setelah dievaluasi oleh Pengguna barang dan disetujui oleh
Pengelola barang. 4. Penghitungan besaran sewa minimum didasarkan
pada formula tarif sewa. 5. Penghitungan nilai barang milik negara
dalam rangka penentuan besaran sewa minimum dilakukan sebagai
berikut: a. Penghitungan nilai barang milik negara berupa tanah dan/
atau bangunan yang berada pada Pengelola barang dilakukan oleh
penilai yang ditugaskan oleh Pengelola barang. b. Penghitungan nilai
barang milik negara untuk sebagian tanah dan/ atau bangunan yang
berada pada Pengguna barangdilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
Pengguna barang dan dapat melibatkan instansi tekhnis terkait dan
/atau penilai. c. Penghitungan nilai barang milik negara selain tanah dan/
atau bangunan, dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna
barang dan dapat melibatkan instansi tekhnis terkait dan/atau penilai. 6.
Penetapan besaran sewa a. Besaran sewa atas barang milik negara
berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengelola barang
ditetapkan oleh pengelola barang berdasarkan hasil perhitungan penilai.

77 b. Besaran sewa atas barang milik negara sebagian tanah dan/atau


bangunan yang berada pada pengguna barang, dan barang milik negara
selain tanah dan/atau bangunan, ditetapkan oleh Pengguna barang
setelah mendapat persetujuan pengelola barang. 7. Pembayaran uang
sewa dilakukan secara sekaligus paling lambat pada saat
penandatangan kontrak 8. Selama masa sewa, pihak penyewa atas
persetujuan pengelola barang, hanya dapat mengubah bentuk barang
milik negara tanpa mengubah konstruksi dasar bangunan dengan
ketentuan bagian yang ditambahkan pada bangunan tersebut menjadi
barang milik negara. 9. Seluruh biaya yang timbul dalam rangka
penilaian, dibebankan pada APBN. 10. Rumah negara golongan I dan
golongan II yang disewakan kepada pejabat negara/ pegawai negeri,
pelaksanaannya berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai
rumah negara

4. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Sewa Barang Milik Negara. Para pihak


dalam perjanjian sewa menyewa Barang Milik Negara ada dua (2) yaitu,
pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Yang dimaksud dengan
pihak yang menyewakan adalah; orang atau badan hukum yang
memberikan kenikmatan dari suatu barang selama jangka waktu
tertentu kepada pihak penyewa, atas prestasi itu ia berhak untuk
78 memperoleh harga sewa dari penyewa.87 Pihak yang dapat
menyewakan Barang Milik Negara adalah; Pengelola Barang untuk
tanah dan/ atau bangunan yang berada pada pengelola barang, dan
Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang untuk
sebagian tanah dan/atau bangunan yang status penggunaannya ada
pada pengguna barang serta Barang Milik Negara selain tanah dan/atau
bangunan.88 Sementara yang dimaksud dengan pihak penyewa adalah;
orang atau badan hukum yang mendapatkan kenikmatan atas suatu
barang selama jangka waktu tertentu dan untuk itu ia berkewajiban
untuk membayar harga sewa,89 karena dalam perjanjian sewa
menyewa, pihak yang menyewakan hanya menyerahkan pemakaian
dan pemungutan hasil dari barang kepada penyewa sedangkan hak
milik tetap berada pada pihak yang menyewakan. Adapun pihak yang
dapat menyewa Barang Milik Negara meliputi:90a. Badan Usaha Milik
Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Swasta; d. Unit penunjang
Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan/ negara; e. atau badan hukum
lainnya. 87 .Lampiran II Permenkeu No. 78/PMK. 06/2014 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemanfaatan Barang milik Negara 88 .Pasal 5 ayat (1) Permenkeu No.
57/PMK.06/2016 89 .Op.Cit . Lampiran II Permenkeu No. 78/PMK.06/201490 .Pasal 5
ayat (2) Permenkeu N0. 57/PMK.06/2016.
79 5. Tata Cara Pelaksanaan Perjanjian Sewa Barang Milik Negara Abdulkadir
Muhammad91, memberikan definisi Perjanjian sebagai hubungan hukum
antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan
atas kesepakatan kedua belah pihak mengenai harta benda yang
menimbulkan hak dan kewajiban yang harus disetujui oleh kedua belah
pihak yang membuatnya. Terjadinya suatu perjanjian membuat para
pihak merasa diikat satu sama lain, sehingga menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak untuk memenuhi janji tersebut.
Hak dalam perjanjian adalah hak untuk menuntut sesuatu yang
diperjanjikan, sedangkan kewajiban dalam perjanjian adalah suatu
kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Adapun perbuatan yang
dapat dituntut dinamakan prestasi yang dalam Undang-Undang dapat
berupa: a. Menyerahkan suatu barang b. Melakukan suatu perbuatan c.
Tidak melakukan suatu perbuatan. Agar perjanjian tersebut membawa
akibat hukum yang sah bagi kedua belah pihak, maka harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 1320 BW mengenai syarat sahnya perjanjian
yaitu: 91 . Abdulkadir Muhammad. 1986. Hukum Perjanjain Alumni,Bandung.hlm.98
80 1. Kesepakatan 2. Kecakapan 3. Sesuatu hal tertentu 4. Sebab yang
halal92Selain harus memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana yang
disebutkan diatas, maka suatu perjanjian tidak boleh juga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya agar tidak cacat hukum,
yang mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum, serta tidak
mengandung adanya cacat kehendak seperti kekhilafan, penipuan dan
paksaan yang dapat memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan
pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian
tersebut.93Pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1321 BW, bahwa:
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Selanjutnya Pasal 1449 BW mengatur bahwa: “Perikatan-perikatan yang
dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu
tuntutan untuk membatalkannya”. Selain cacat kehendak yang dimaksud
dalam Pasal 1321 BW tersebut, di dalam praktik yurisprudensi dikenal
pula bentuk cacat kehendak yang keempat, yaitu penyalahgunaan
keadan (misbruik van omstandigheden).9492 . Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum
Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil).Kencana Prenada Media
Group.Jakarta.hlm156. 93 . Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan
Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm .14 94. Ridwan Khairandy, 2013, Hukum
Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press::
Yogyakarta. Hlm. 167-168
81 Ketiga jenis cacat kehendak tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa
kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang
diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam
keadaan keliru. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan
kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang
dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi
adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan. Penipuan
terjadi jika salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak lain
sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau
melepaskan sesuatu. Penyalahgunaan keadaan terjadi jika yang
memiliki posisi tawar yang kuat dari segi ekonomi maupun psikologi
menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal
yang memberatkan baginya.95 Sementara dalam Nieuw Burgerlijk
Wetboek selanjutnya disingkat NBW, yang berlaku di Belanda saat ini,
ketentuan tentang alasan-alasan pembatalan perjanjian diatur dalam
Buku 3 Pasal 44 ayat (1) dan Buku 6 Pasal 228 ayat ( 1) dan (2).96
Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam bentuk sewa menyewa
merupakan suatu jenis perjanjian khusus, artinya, selain berlakau
ketentuan dalam Buku III BW sebagai Lex Generalis, juga berlaku
ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
mengenai tata cara pelaksanaan sewa menyewa barang milik negara 95
.Ahmadi Miru, 2007, Op.Cit, hlm. 18. 96 ..H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan
Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan
perjanjian, Liberty, Yogyakarta, hlm.39
82 sebagai Lex Specialis, dimana perjanjian sewa menyewa barang milik
negara ini melibatkan negara yang diwakili oleh pemerintah sebagai
subjek yang dapat melakukan penyewaan terhadap Barang Milik
Negara, sehingga dalam hal keabsahan perjanjian tersebut, selain
berlaku syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Pasal 1320 BW,
juga harus sesuai dengan PMK.No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara. Pasal 29 Peraturan Menteri
Keuangan No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa; “calon penyewa
mengajukan permohonan sewa kepada Pengelola Barang dengan
disertai:97a. Data usulan sewa, antara lain: 1. latar belakang
permohonan; 2. jangka waktu penyewaan, termasuk periodesitas sewa;
dan 3. Peruntukan sewa. b. Data BMN yang diajukan untuk dilakukan
sewa; c. Data calon penyewa, antara lain: 1. nama; 2. alamat; 3. Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP); 4. Surat permohonan Sewa dari calon
penyewa;dan 97 .Pasal 29 Permenkeu. No.57/PMK.06/2016.
83 5. Bentuk kelembagaan, jenis kegiatan usaha, fotokopi Surat Izin
Usaha/ Tanda Izin Usaha atau yang sejenis untuk calon penyewa yang
berbentuk badan hukum/ badan usaha. d. Surat pernyataan/
persetujuan, antara lain: 1. Pernyataan/ persetujuan dari pemilik/
pengurus, perwakilan pemilik/ pengurus, atau kuasa pemilik/ pengurus
dalam hal calon penyewa berbentuk badan hukum/ badan usaha; dan 2.
Pernyataan kesediaan dari calon penyewa untuk menjaga dan
memelihara BMN serta mengikuti ketentuan yang berlaku selama jangka
waktu sewa. Selanjutnya dalam Pasal 11 PMK.No.57/PMK.06/2016
mengatur bahwa;981. perjanjian sewa dalam penyewaan BMN
dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh penyewa dan: a.
Pengelola Barang untuk BMN berupa tanah dan/atau bangunan; b.
Pengguna Barang, untuk BMN berupa: 1. Sebagian tanah dan/atau
bangunan;dan 2. Selain tanah dan/atau bangunan, Yang status
penggunaannya berada pada Pengguna Barang, setelah mendapat
persetujuan dari Pengelola Barang.2. Perjanjian sewa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: 98 .ibid.hlm.9

84 a. Dasar perjanjian; b. Para pihak yang terikat dalam perjanjian; c.


Jenis, luas atau jumlah barang yang disewakan; d. Besaran dan jangka
waktu Sewa, termasuk periodesitas sewa; e. Peruntukan sewa,
termasuk kelompok jenis kegiatan usaha dan kategori bentuk
kelembagaan penyewa; f. Tanggung jawab penyewa atas biaya
operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan; g. Hak
dan kewajiban para pihak; dan h. Hal lain yang diatur dalam persetujuan
Pengelola Barang dan keputusan Pengguna Barang. 3.
Penandatanganan perjanjian sewa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dikertas bermaterai cukup sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. 4. Salinan perjanjian sewa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada Pengelola Barang
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak ditandatanganinya
perjanjian sewa. 5. Seluruh biaya yang timbul dalam rangka pembuatan
perjanjian Sewa ditanggung oleh penyewa.

86 Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK. 06/2016,


mengatur bahwa99: 1. Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang
memiliki kewenangan dan tanggung jawab sebagai berikut: a.
memberikan persetujuan atas usulan dari Pengguna Barang yang
meliputi: 1. usulan Sewa BMN; 2. usulan perpanjangan jangka waktu
Sewa BMN b. memberikan persetujuan atas permohonan Sewa dari
calon penyewa untuk BMN berupa Tanah atau bangunan; c.
menetapkan BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang akan
disewakan; d. memberikan persetujuan atas usulan formula tarif sewa
BMN selain tanah dan/atau bangunan dari Pengguna Barang; e.
menetapkan faktor variabel sewa dalam formula tarif sewa; f.
menetapkan besaran faktor penyesuai Sewa dalam formula tarif sewa;
g. menetapkan besaran sewa BMN berupa tanah dan/atau bangunan; h.
menandatangani perjanjian Sewa BMN berupa tanah dan/atau
bangunan yang berada dalam penguasaannya; 99 .Ibid Permenkeu
87 i. melakukan pembunaan, pengawasan, dan pengendalian
pelaksanaan sewa BMN; j. melakukan penatausahaan BMN yang
disewakan; k. melakukan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen
pelaksanaan sewa. l. Menetapkan denda dan ganti rugi yang timbul
dalam pelaksanaan Sewa BMN berupa tanah dan/atau bangunan;dan
m. Melakukan penatausahaan atas hasil dari sewa BMN. Selanjutnya,
Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK. 06/2016
mengatur bahwa:1001. Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku Pengguna
Barang memiliki kewenangan dan tanggung jawab: a. mengajukan
permohonan persetujuan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/ atau
bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan kepada Pengelola
Barang; b. menerbitkan keputusan pelaksanaan Sewa BMN berupa
sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau
bangunan, setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang; c.
melakukan Sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau
BMN selain tanah dan/ atau bangunan, setelah mendapat persetujuan
Pengelola Barang; 100 .Ibid hlm.7
88 d. menandatangani perjanjian Sewa BMN berupa sebagian tanah
dan/atau bangunan atau Bmn selain tanah dan/ atau bangunan setelah
mendapat persetujuan dari Pengelola Barang;e. melakukan pembinaan,
pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan Sewa BMN berupa
sebagian tanah dan/ataubangunan atau BMN selain tanah dan/ atau
bangunan; f. melakukan penatausahaan BMN yang disewakan; g.
melakukan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen pelaksanaan
sewa; h. menetapkan ganti rugi dan denda yang timbul dalam
pelaksanaan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/ataubangunan atau
selain tanah dan/atau bangunan; i. melakukan penatausahaan atas hasil
dari sewa BMN. 7. Pejabat Pengelola Barang dan Pengguna Barang Milik
Negara Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah
pengelola barang milik negara berwenang dan bertanggung jawab:101a.
Merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman
pengelolaan barang milik negara; b. Meneliti dan menyetujui rencana
kebutuhan barang milik negara; c. Menetapkan status penguasaan dan
penggunaan barang milik negara; d. Mengajukan usul
pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan atau
bangunan yang memerlukan persetujuan DPR; 101 .PP.No,27 Tahun 2014 op.
Cit Pasal 4
89 e. Memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan barang milik
negara pada pengelola barang yang tidak memerlukan persetujuan DPR
sepanjang dalam batas kewenangan Menteri Keuangan; f. Memberikan
pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan barang milik
negara yang tidak memerlukan persetujuan DPR kepada Presiden; g.
Memberikan persetujuan atas usul pemindahtanganan barang milik
negara yang berada pada pengguna barang yang tidak memerlukan
persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Menteri
Keuangan; h. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan, atau
pemindahtanganan barang milik negara yang berada pada pengelola
barang; i. Memberikan persetujuan atas usul pemanfaatan barang milik
negara yang berada pada pengguna barang; j. Memberikan persetujuan
atas usul pemusnahan dan penghapusan barang milik negara; k.
Melakukan kordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi barang milik
negara dan menghimpun hasil inventarisasi; l. Menyusun laporan
barang milik negara; m. Melakukan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian atas pengelolaan barang milik negara;dan n. Menyusun
dan mempersiapkan laporan rekapitulasi barang milik negara kepada
Presiden jika diperlukan.
90 Pengelola barang milik negara dapat mendelegasikan kewenangan
dan tanggung jawab tertentu kepada pengguna barang/ kuasa
pengguna barang. Pengguna barang adalah pejabat pemegang
kewenangan penggunaan barang milik negara. Sedangkan kuasa
pengguna barang adalah kepala kantor dalam lingkungan Kementerian/
Lembaga yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan
barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya102.
Pengguna barang sebagai pejabat pemegang kewenangan penggunaan
barang milik negara berwenang dan bertanggung jawab untuk:1031.
Menetapkan kuasa pengguna barang dan menunjuk pejabat yang
mengurus dan menyimpan barang milik negara; 2. Mengajukan rencana
kebutuhan dan penganggaran barang milik negara untuk Kementerian/
Lembaga yang dipimpinnya;3. Melaksanakan pengadaan barang milik
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 4.
Mengajukan permohonan penetapan status penggunaan barang milik
negara yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang;
5. Menggunakan barang milik negara yang berada dalam
penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/ Lembaga; 102 .ibid Pasal 4 PP.No.27 Tahun 2014. 103 .Pasal 6
PP.No.27 tahun 2014.
91 6. Mengamankan dan memelihara barang barang milik negara yang
berada dalam penguasaannya; 7. Mengajukan usul pemanfaatan
barang milik negara yang berada dalam penguasaannya kepada
pengelola barang; 8. Mengajukan usul pemindahtanganan barang milik
negara yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang;
9. Menyerahkan barang milik negara yang tidak digunakan untuk
kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga
dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain kepada pengelola barang; 10.
Mengajukan usul pemusnahan dan penghapusan barang milik negara
yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang; 11.
Melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas
penggunaan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya;
12. Melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik negara yang
berada dalam penguasaannya; dan 13. Menyusun dan menyampaikan
laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang pengguna
tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang;
Pengguna barang milik negara dapat mendelegasikan kewenangan dan
tanggung jawab tertentu kepada kuasa pengguna barang. Kewenangan
dan tanggung jawab tertentu yang dapat didelegasikan dan tata cara
pendelegasiannya diatur oleh pengguna barang dengan
92 berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan barang milik negara. Kuasa pengguna barang adalah
kepala satuan kerja untuk barang milik daerah, atau kepala kantor
dalam lingkungan Kementerian/ Lembaga untuk barang milik negara,
atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan
barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Kuasa pengguna barang milik negara/daerah berwenang dan
bertanggung jawab untuk:104a. Mengajukan rencana kebutuhan barang
milik negara untuk lingkungan kantor yang dipimpinnya kepada
pengguna barang; b. Mengajukan permohonan penetapan status
penggunaan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya
kepada pengguna barang; c. Melakukan pencatatan dan inventarisasi
barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; d.
Menggunakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya
untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kantor yang
dipimpinnya; e. Mengamankan dan memelihara barang milik negara
yang berada dalam penguasaannya; 104 .Pasal 7 PP.No.27 Tahun 2014.
93 f. Mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan barang
milik negara yang berada dalam penguasaannya kepada pengguna
barang; g. Menyerahkan barang milik negara yang tidak digunakan
untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kantor yang
dipimpinnya dan sedang tidak dimanfaatkan pihak lain, kepada
pengguna barang; h. Mengajukan usul pemusnahan dan penghapusan
barang milik negara yang berada dalam penguasaannya kepada
pengguna barang; i. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas
penggunaan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya;
dan j. Menyusun dan menyampaikan laporan barang kuasa pengguna
semesteran dan laporan barang kuasa pengguna tahunan yang berada
dalam penguasaannya kepada pengguna barang; 8. Perbuatan Hukum
Pemerintah Terhadap Pemafaatan Barang Milik Negara dalam Bentuk Sewa
Terdapat dua hal yang perlu dipahamai dalam perbuatan hukum
pemerintah yaitu: 1. Apa yang dimaksud dengan pemerintah, dan 2. Apa
yang dimaksud dengan perbuatan hukum pemerintah. Pemerintah
adalah organ/ alat yang menjalankan pemerintahan. Pemerintah
sebagai alat kelengkapan negara dapat diberi pengertian 95 Pendapat
yang pertama bahwa administrasi negara dalam menjalankan stugas
pemerintahan tidak dapat menggunakan hukum privat dengan alasan
sifat hukum privat itu mengatur hubungan hukum berdasarkan kehendak
dua belah pihak dan bersifat perorangan. Sedangkan hukum
administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik. Pendapat
yang kedua yaitu administrasi negara dalam menjalankan tugasnya
dalam beberapa hal dapat juga menggunakan hukum privat sebagai
suatu instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hukum privat
yang utama digunakan adalah melakukan perjanjian atau perikatan
dengan pihak ketiga seperti perjanjian sewa menyewa dalam hal
pemanfaatan Barang Milik Negara. 2). Perbuatan Hukum Menurut
Hukum Publik. Perbuatan hukum menurut hukum publik terbagi atas 2
(dua) yakni: a. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu. Salah satu
perbuatan hukum publik yang bersegi satu adalah keputusan
(beschikking).E. Utrecht106 menyebut perbuatan hukum publik yang
bersegi satu ini sebagai “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirjo107
menyebutnya dengan penetapan. E. Utrech, Prins, dan Van der Pot
menjelaskan 106 . Paulus Efendi Lotulung,1994,Perbandingan Hukum Administrasi
Negara, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Aditya Citra
Bakti, Bandung. Hlm.165. 107 .P aulus E.Lotulung,ibid. Hlm.167

96 bahwa108beschikking merupakan perbuatan hukum publik bersegi satu


atau merupakan perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan
merupakan hasil persetujuan dua belah pihak. Beberapa sarjana seperti
S.Sybenga109 hanya mengakui adanya perbuatan hukum publik yang
bersegi satu, artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak satu
pihak saja yaitu pemerintah. Menurutnya tidak ada perbuatan hukum
publik yang bersegi dua, karena didalam hukum publik tidak mengenal
adanya perjanjian, jika ada perjanjian dengan pihak swasta maka
perjanjian itu diatur oleh hukum privat berdasarkan kehendak kedua
belah pihak, sementara hubungan hukum yang diatur dalam hukum
publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara
menentukannya dengan kehendak sendiri. b. Perbuatan hukum publik
yang bersegi dua. Van der Pot, Kranenberg, Vegting, Wiarda dan
Donner mengakui adanya hukum publik yang bersegi dua atau adanya
perjanjian menurut hukum publik.110 Mereka memberi contoh dengan
adanya perjanjian kerja jangka pendek yang diadakan seorang swasta
sebagai pekerja dengan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi
pekerjaan. 108 .ibid.hlm.169. 109 .H.A.Muin Fahmal.2008. Peran Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih.Kreasi Total
Media. Yogyakarta. hlm.36 110 .ibid.hlm.38
97 Perbuatan hukum pemerintah terhadap pemanfaatan Barang Milik
Negara menggunakan instrumen hukum privat (Hukum Keperdataan)
yang meletakkan kedudukan pemerintah setara dengan pihak lain.
Kedudukan pemerintah dalam hal ini seperti halnya suatu badan hukum
yang dapat melakukan perbuatan hukum privat atas objek berupa tanah
dan bangunan milik negara yang dilakukan dalam bentuk sewa
menyewa dengan pihak ketiga yang didasarkan dan diatur serta tunduk
pada ketentuan yang terdapat dalam hukum perdata, oleh karena itu,
apabila dalam sebuah tindakan atau perbuatan hukum pemerintahan
telah lalai dalam melakukan prestasi kepada pihak ketiga, maka
pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan hukum wanpestasi
dan dapat dituntut serta digugat untuk membayar sejumlah ganti rugi di
muka peradilan umum. Dengan kata lain, bahwa negara sebagai badan
hukum publik adalah juga pemikul hak dan kewajiban yang diatur dalam
hukum perdata sehingga dapat terlibat dalam lalu lintas pergaulan
hukum biasa dan secara prinsip sama kedudukannya dengan orang
atau badan hukum. 9. Kewenangan Pemerintah atas Pemanfaatan Barang
Milik Negara. Dalam negara hukum dikehendaki bahwa semua tindakan
administrasi harus berdasar pada undang-undang.111 Konsepsi negara
hukum memunculkan asas legalitas, yang mengajarkan bahwa setiap
aktifitas dan tindakan pemerintah harus didasarkan pada ketentuan
undang-111 . Sri Soemantri, 1987, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi,Alumni,
Bandung, hlm.2-3
98 undang baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
apabila tindakan administrasi telah sah menurut undang-undang, maka
dianggap tindakan pemerintah tersebut telah memenuhi syarat.112
Menurut bahasa, kewenangan atau wewenang berasal dari kata
“wenang” mengandung arti hak dan kekuasaan untuk bertindak;
kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang lain.113 Dalam Black’s Law Dictionary
terdapat banyak arti yang diberikan terhadap kata authority diantaranya
sebagai berikut: “the rightor permission to act legally on another”s
behalf;esp.,the power of one person to affect another”s legal relation by act
done in accordance with the other’s manifestations of assent; the power
delegated by a principal to an agent; also termed power over other person; b)
governmental power or jurisdiction; a governmental agen y or corporation that
adminsters a public enterprise. Also termed public authority”.114(hak atau izin
untuk bertindak secara hukum atas nama pihak lain, terutama
kekuasaan seseorang untuk mempengaruhi hubungan hukum pihak lain
dengan tindakan yang dilakukan sesuai dengan manifestasi persetujuan
pihak lain;kekuasaan yang didelegasikan oleh seorang pejabat kepada
wakilnya, juga disebut kekuasaan atas orang lain; b,kekuasaan atau
yurisdiksi pemerintah, sebuah badan pemerintah, atau korporasi yang
mengelola suatu perusahaan publik juga disebut otoritas publik).
Kewenangan menurut P.Nicolai dan kawan-kawan
adalah115“kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu
tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum,
dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum”. 112
.ibid.hlm 4. 113 .Kamus Besar Bahasa Indonesia,1994. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.1128 114 .Bryan A.Garner, Blacks Law
Dictionary, Eight Edition, Thomson west, USA, hlm 142-143. 115 .P.Nicolai, et.al., 1994,
Bestuursrecht, Amsterdam, hlm.4.
99 Sedangkan menurut H.D.Stoud,116 memberikan pengertian
kewenangan sebagai berikut: “Keseluruhan aturan-aturan yang
berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan
oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum privat.” Ada dua
unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan
sebagaimana yang di kemukakan oleh H.D Staud117, yaitu: 1. Adanya
aturan-aturan hukum; dan 2. Sifat hubungan hukum. Sebelum
kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya,
maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan, apakah dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah
maupun aturan yang lebih rendah tingkatannya, sedangkan sifat
hubungan hukum adalah sifat yang berkaitan dan mempunyai sangkut
paut atau ikatan atau berkaitan dengan hukum. Hubungan hukumnya
ada yang bersifat publik dan privat. Sementara itu, Ateng Syafruddin,118
mengemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam kewenangan
meliputi: 1. Adanya kekuasaan formal; dan 2. Kekuasaan diberikan oleh
undang-undang Kewenangan menurut Salim HS,119 adalah kekuasaan
dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya baik dalam
lapangan 116 Ridwan HR.op.Cit.hlm.110 117 .ibid 118 .Salim HS.op.cit. hlm.184.
100 hukum publik maupun hukum privat. Oleh karena itu, fokus
kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari
pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam
hubungannya dengan hukum publik maupun dalam hubungannya
dengan hukum privat. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wewenang pemerintahan
adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang diberikan kepada organ
pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan hukum pemerintahan
yakni tindakan-tindakan yang menimbulkan akibat hukum di bidang
pemerintahan. Sesuai dengan asas legalitas dalam negara hukum yang
mendasari setiap tindakan hukum pemerintah dalam bidang publik,
maka wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-
undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
perundang-undangan. Kewenangan pemerintah yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
atribusi, delegasi, dan mandat. Secara sederhana H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:1201. atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang
kepada organ pemerintah; 2. delegasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan yang lain, artinya organ pemerintahan yang menyerahkan
kewenangan kehilangan119 Ibid.hlm 186. 120 .H.D.Van Wijk/willem Konijnenbelt,
1995. Hoofdstukken Van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV.Utrecht, hlm.162.
101 wewenangnya. Dengan demikian, apabila timbul sengketa karena
penyalahgunaan wewenang oleh penerima wewenang, yang dapat
digugat adalah penerima wewenang dan bukan pemberi wewenang. 3.
mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya, artinya tidak ada pengalihan
wewenang. Dengan demikian pemberi mandat (mandans) bertanggung
jawab sepenuhnya atas pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh
penerima mandat. Berdasarkan definisi tersebut di atas, tampak bahwa
wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal
dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ
pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi
pasal tertentu dalam suatu perundang-undangan. Selanjutnya dalam hal
atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab
interen dan eksteren pelaksanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang. Sedangkan pada
delegasi tidak ada penciptaan wewenang yang ada hanya pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya.
Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi, tetapi
beralih pada penerima delegasi. Sementara pada mandat, penerima
mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil
mandataris tetap berada pada mandans.

102 Penerapan asas legalitas, menurut Indroharto,121 akan menunjang


berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Selanjutnya
Indroharto menyatakan bahwa kesamaan perlakuan terjadi karena
setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang ditentukan dalam
ketentuan undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat
seperti apa yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Sedangkan
kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat
semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan
atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-
peraturan yang berlaku, maka pada asasnya dapat dilihat atau
diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang
bersangkutan. Dengan demikian, warga masyarakat dapat
menyesuaikan dengan keadaan tersebut.122 Meskipun demikian,
penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada asas legalitas
dalam praktik kurang memadai di tengah masyarakat yang memiliki
tingkat dinamika yang tinggi, disebabkan karena hukum tertulis
senantiasa mengandung kelemahan-kelemahan, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Bagir Manan bahwa hukum tertulis memiliki berbagai
cacat bawaan dan cacat buatan.123 Kesulitan yang dihadapi oleh hukum
tertulis, menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar yaitu pertama,
hukum sebagai bagian dari kehidupan masyatrakat mencakup semua
aspek kehidupan yang sangat luas dan kompleks, 121 . Indroharto,1993,
Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hlm.83 122 .Indroharto, ibid, hlm.84. 123 .Bagir Manan,
1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, hlm.44.

104 kemudian; jika kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut


dapat digugat di pengadilan; 5. Moralitas, adalah salah satu syarat yang
paling diperhatikan oleh masyarakat; moral dan ethik umum maupun
kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar,
tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib
dihindarkan; 6. Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan
biaya dan produktivitas wajib diusahakan setinggi-tinnginya; 7. Tekhnik
dan tekhnologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-
baiknya.125 Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, namun ia
tetap menjadi prinsip utama dalam setiap negara hukum, karena asas
legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan
dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian,
substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk
melakukan tindalkan-tindakan hukum tertentu. Terkait dengan
kewenangan atas pemanfaatan barang milik negara dengan cara sewa
menyewa, Pasal 4 dan Pasal 6 PP.No. 27 Tahun 2014 jo Pasal 7 dan
Pasal 8 PMK.No.57/PMK.06/2016 telah memberi 125 .Prajudi
Atmosudirjo,1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta ,hlm.79-80.
105 kewenangan kepada Menteri Keuangan selain sebagai bendahara
umum negara juga sebagai pejabat pengelola barang milik negara, dan
Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pejabat pengguna barang milik
negara, Kewenangan pengelola barang sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 4 huruf h PP.No.27 Tahun 2014 mengatur
bahwa;”pengelola barang milik negara berwenang menetapkan
penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan barang milik
negara yang berada pada pengelola barang”. Selanjutnya Pasal 4 huruf
i PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;”pengelola barang milik negara
memberikan persetujuan atas usul pemanfaatan barang milik negara
yang berada pada pengguna barang. Sedangkan kewenangan
pengguna barang milik negara sebagaimana yang diaturdalam Pasal 6
huruf g PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa; “pengguna barang milik
negara berwenang mengajukan usul pemanfaatan barang milik negara
yang berada dalam penguasaannya. Kewenangan pengelola barang
dan pengguna barang sebagaimana yang tersimpul dalam PP.No.27
Tahun 2014 diatur kembali dalam PMK.No.57/PMK.06/2016 Tentang
Tata Cara Sewa Menyewa Barang Milik Negara. Pasal 7 ayat (1)
PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa; (1) Menteri Keuangan
selaku Pengelola Barang memiliki kewenangan:126a. memberikan
persetujuan atas usulan dari pengguna barang yang meliputi: 1. usulan
sewa BMN 2. usulan perpanjangan jangka waktu sewaBMN 126 .Pasal 7
ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Sewa Barang Milik Negara
106 b. memberikan persetujuan atas permohonan sewa dari calon
penyewa untuk BMN berupa tanah dan/ atau bangunan; c. menetapkan
BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang akan disewakan; d.
menetapkan besaran sewa BMN berupa tanah dan/atau bangunan; e.
menandatangani perjanjian sewa BMN berupa tanah dan/atau
bangunan yang berada dalam penguasaannya; Selanjutnya,
kewenangan Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang
disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) PMK.No.57/PMK. 06/2016 yang
mengatur bahwa:127 (1) Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku pengguna
barang memiliki kewenangan: a. mengajukan permohonan persetujuan
sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan kepada
pengelola barang; b. menerbitkan keputusan pelaksanaan sewa BMN
berupa sebagian tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat
persetujuan dari pengelola barang; c. melakukan sewa BMN berupa
sebagian tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan
pengelola barang; d. menandatangani perjanjian sewa BMN berupa
sebagian tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan
pengelola barang; Kewenangan Menteri Keuangan selaku pengelola
barang, dalam pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara
didelegasikan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)
dalam hal ini Direktur Jenderal. Dasar hukum pendelegasian tersebut
adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan No.218/KM.6/2013
Tentang Pelimpahan sebagian wewenang Menteri Keuangan yang
Telah Dilimpahkan Kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kepada
Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Untuk dan
Atas Nama Menteri Keuangan. 127 .Pasal 8 ayat.(1) PMK.No.57/PMK.06/2016
Tentang Tata Cara Sewa Barang Milik Negara
107 Sehingga berdasarkan surat keputusan tersebut, maka pejabat yang
mempunyai kewenangan atas pemanfaatan barang milik negara dengan
kapasitas sebagai pengelola barang milik negara adalah Direktur
Jenderal (DIRJEN), Kepala Kantor Wilayah (KA.KANWIL), Kepala
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KA.KPKNL) di
Lingkungan Direktorat Jenderal kekayaan Negara (DJKN). Selanjutnya
berdasarkan Pasal 4 ayat (3) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;
“pengelola barang dapat juga mendelegasikan kewenangan dan
tanggung jawab tertentu kepada pengguna barang/kuasa pengguna
barang. Yang dimaksud pengguna barang dalam Pasal 1 ayat (4)
PP.No.27 Tahun 2014 adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan barang milik negara, jadi yang termasuk sebagai pengguna
barang adalah Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku Pimpinan
Kementerian/Lembaga. Berdasarkan pendelegasian tersebut, maka
terdapat beberapa pejabat baik sebagai pengelola barang maupun
sebagai pengguna barang/kuasa pengguna barang yang mempunyai
kewenangan atas dasar delegasi untuk melakukan persetujuan atau
penolakan usulan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa
untuk barang milik negara berupa tanah/ bangunan dengan nilai barang
milik negara yang akan disewakan dihitung secara proporsional dari nilai
baku barang milik negara per usulan lebih dari 5 miliar sampai dengan
10 miliar.128128 .LAMPIRAN I. Keputusan Menteri Keuangan
RI.No.218/KM.6/2013.Tentang Pelimpahan Sebagian Wewenang Menteri keuangan
Yang Telah Dilimpahkan Kepada Direktur Jenderal
108 10. Penyalahgunaan Kewenangan atas Pemanfaatan Barang Milik Negara
dalam Bentuk Sewa. Negara merupakan suatu organisasi yang
mempunyai otoritas atau kewenangan mutlak untuk mengatur
warganya, sebagaimana negara mempunyai fungsi untuk melindungi,
mensejahterakan, menghormati, dan menjamin hak-hak dari warganya.
Namun dalam praktik seringkali kewenangan tersebut disalahgunakan
oleh oknum penyelenggara negara dalam bentuk perlakuan maupun
pembiaran, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk melindungi
dan memulihkannya Konsep penyalahgunaan wewenang berkaitan erat
dengan organ pemerintah yang diberi wewenang, kemudian
menggunakan wewenangnya untuk tujuan yang tidak sesuai dengan
tujuan diberikannya wewenang tersebut. Jadi penyalahgunaan
wewenang hanya dilakukan oleh organ pemerintah atau pejabat
administrasi negara yang diberikan kewenangan berdasarkan undang-
undang, apakah sumberkewenangannya itu berasal dari atribusi
ataupun delegasi. Perbuatan penyelenggara negara yang
menyalahgunakan kewenangan terjadi jika perbuatan penyelenggara
negara tersebut tidak didasarkan pada wewenang atau bertindak tanpa
memiliki wewenang yang mengakibatkan tindakan tersebut tidak
memiliki legitimasi, atau menurut H.D.van Wijk/ Willem Konijnenbelt
sebagai cacat wewenang (bevoegdheidsgebreken), yakni ketika organ
pemerintah tidak memiliki Kekayaan Negara Kepada pejabat Di Lingkungan
Direktorat Jenderal kekayaan Negara Untuk Dan Atas Nama Menteri Keuangan.
109 wewenang dalam melakukan tindakan hukum.129 Oleh karena itu,
agar setiap tindakan hukum penyelenggara negara dianggap sah maka
harus berdasarkan wewenang, dan parameter untuk menguji apakah
tindakan hukum penyelenggara negara itu sah atau tidak sah adalah
asas legalitas. Sedangkan Philiphus M. Hadjon mengemukakan bahwa
cacat yuridis keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara
negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur
kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, apabila ketiga unsur
tersebut cacat, maka tindakan pemerintah/ penyelenggara negara
menjadi cacat secara yuridus. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi
hakikat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.130 Indriyanto Seno Adji
yang mengutip pendapat dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk
mengukur penyalahgunaan kewenangan, maka digunakan parameter
sebagai berikut: 1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada
tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas
kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Kriteria dan parameternya
bersifat alternatif. 2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu
kebijakan. Ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun asas
kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan
peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada
kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.131 Dalam hukum
administrasi, suatu perbuatan administrasi negara harus dilihat dari tiga
aspek sehingga dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan
kewenangan. Pertama, penyalahgunaan kewenangan 129 .H.D.van
Wijk/Willem Konijnenbelt, op Cit, hlm.541. 130 .Philipus M,Hadjon,1985, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Disertasi .hlm. 139. 131 .ibid. hlm.35.
110 yang berhubungan dengan tidak adanya wewenang bagi pejabat
yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua,
penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tidak
dipenuhinya prosedur untuk sampai kepada pengambilan keputusan
melakukan suatu perbuatan administrasi negara tertentu.
Ketiga,penyalahgunaan kewenangan yang timbul karena substansi dari
perbuatan administrasi negara dalam hal ini pejabat yang bersangkutan
melanggar peraturan perundang-undangan.132 Adapun yang menjadi
karakter atau ciri penyalahgunaan kewenangan adalah sebagai berikut:
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan. Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau
kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan tujuan dan
maksud atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan
kewenangan itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud diberikannya
kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu
badan atau pejabat administrasi negara yang tidak sesuai dengan tujuan
dan maksud dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi
negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan. 2.
Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas
legalitas. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, artinya
bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. 3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam
kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas ini
harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis yang harus
senantiasa ditaati oleh pemerintah. 133132 .http://huda-
drchairulhudashmh.blogspot.co.id/2014/03/perbuatan- melawan- hukum-dan html. 133
.https://parismanalush.blogspot.com

111 Pengertian penyalahgunaan kewenangan menurut Jean Rivero dan


Waline,134 mengemukakan tiga wujud penyalahgunaan kewenangan
dalam hukum administrsi, yaitu: 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan
umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan
pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpan dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
undang-undang atau peraturan pemerintah lain; 3. Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan
prosedur lain agar terlaksana. Pendapat Jean Rivero dan Waline135 di
atas, mencampur adukkan antara penyalahgunaan kewenangan dengan
cacat prosedur, padahal antara konsep penyalahgunaan kewenangan
dengan konsep cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda.
Kesalahan prosedur terjadi tidak selalu identikdengan penyalahgunaan
kewenangan. Cacat prosedur yang identik dengan penyalahgunaan
kewenangan jika pelaksanaan kewenangan tersebut menyimpang dari
tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam
hal pemanfaatan barang milik negara dengan cara sewa menyewa
sebagaimana yang diatur dalam PMKNo.57/PMK.06/2016 Tentang Tata
Cara Sewa Menyewa Barang Milik Negara, mensyaratkan bahwa pada
prinsipnya pemanfaatan barang milik negara dengan cara sewa
dilakukan oleh pengguna barang yang ada dalam penguasaannya.
Dalam contoh tersebut nampak adanya cacat 134 Indriyanto Seno Adji,
Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara, Makalah, hlm.8 135 . Ibid. Hlm.10
prosedur karena dalam peraturan dinyatakan bahwa; pemanfaatan
barang milik negara melalui cara sewa menyewa yang dilakukan oleh
pengguna barang harus terlebih dahulu ada izin dari pengelola
barang.136 Adanya cacat prosedur tidak serta merta terjadi
penyalahgunaan kewenangan, cacat prosedur mempunyai implikasi
pada penyalahgunaan kewenangan jika penggunaan wewenang
tersebut menyimpang atau bertentangan dalam peraturan perundang-
undangan dan bertentangan dengan tujuan diberikannya wewenang
tersebut. Seperti pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan oleh
pengguna barang tanpa izin dari pengelola barang dengan tujuan
memperkaya diri sendiri karena hasil dari pemanfaatan tersebut tidak
masuk ke kas negara, maka di situ sudah ada penyalahgunaan
kewenangan di samping cacat prosedur, sehingga perbuatan tersebut
sudah dapat diklasifikasikan sebagai penyalahgunaan kewenangan
yang mempunyai implikasi korupsi. Penyalahgunaan kewenangan
dalam kekuasaan atau jabatan dapat dipandang sebagai perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dalam bidang perdata dan jika
perbuatan itu dilakukan oleh pemerintah, digunakan istilah onrechtmatige
overheidsdaad, sedangkan perbuatan melawan hukum
(wederrechtelijkheid) digunakan dalam bidang hukum pidana. Perbuatan
melanggar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW
adalah;”Tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian 136
.Pasal 5 ayat (1) huruf b PMK.No.57/PMK.06/2016

pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan


kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.137 Pasal 1365 KUHPerdata
mengalami pergeseran makna sebelum dan setelah 1919. Sebelum
1919 Pasal 1365 BW ditafsirkan secara sempit, dengan unsur-unsur:
pertama, perbuatan melawab hukum, kedua,timbulnya kerugian, ketiga
hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian,
keempat, kesalahan pada pelaku. Setelah tahun 1919 atau persisnya
setelah ada Drukkers Arres dalam perkara Cohen vLindenbaum, kriteria
perbuatan melawab hukum ditafsirkan secara luas dengan unsur-unsur
sebagai berikut: pertama, mengganggu hak orang lain, kedua,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, ketiga bertentangan
dengan kesusilaan, keempat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian,
dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan
sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain.138 Meskipun
kriteria perbuatan melanggar hukum setelah tahun 1919 menjadi
perdebatan di kalangan sarjana, karena memasukkan hukum tidak
tertulis sebagai salah satu unsur untuk menilai tindakan pemerintah di
bidang perdata, namun dalam perkembangannya telah diakui secara
umum bahwa pemerintah dalam melakukan tindakan harus
memperhatikan hukum tidak tertulis termasuk dalam melakukan
tindakan di bidang publik yakni memperhatikan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB).139137 .Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. 138 .Agustina Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta hlm.6-7 139 .ibid hlm.10
114 Sedangkan konsep perbuatan melawan hukum oleh pemerintah
dalam bidang perdata didasarkan pada kedudukan hukum pemerintah
sebagai wakil dari badan hukum publik dan dapat melakukan tindakan
hukum dalam bidang perdata, sehingga ketika pemerintah bertindak
dalam lapangan keperdataan, maka kedudukan pemerintah sama
dengan orang biasa. Konsekuensi logis kedudukan pemerintah selaku
wakil badan hukum publik dan bertindak dalam bidang perdata adalah
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma hukum
perdata, yang menimbulkan hak gugat bagi pihak yang dirugikan.
Merujuk pada ciri ataupun karakter dari penyalahgunaan kewenangan
sebagaimana telah dikemukakan di atas, penulis sepakat bahwa inti
penyalahgunaan kewenangan adalah; pertama, tidak adanya wewenang
dari pejabat yang melakukan tindakan atau perbuatan, kedua tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya wewenang tersebut,
ketigakewenangan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan penyalahgunaan kewenangan atas pemanfaatan barang
milik negara dalam bentuk sewa menyewa, pada umumnya terjadi
karena pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang
tidak memenuhi ketiga kriteria sebagaimana yang disebutkan di atas.
Pasal 4 ayat (2) huruf h PP.No.27 Tahun 2014mengatu;”pengelola
barang milik negara berwenang dan bertanggung jawab menetapkan
penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan barang milik
negara yang berada pada pengelola barang” dan Pasal 6 ayat (2) huruf
g
115 mengatur;”pengguna barang milik negara berwenang dan
bertanggung jawab mengajukan usul pemanfaatan barang milik negara
yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang”. Adapun
bentuk pemanfaatan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 27
PP.No.27 Tahun 2014 salah satunya adalah sewa menyewa barang
milik negara, dan tujuan dari penyewaan barang milik negara
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
PMK.No.57/PMK.06/2016 adalah “mengoptimalkan pemanfaatan barang
milik negara yang belum/tidak dipergunakan dalam pelaksanaan tugas
dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara”, dan huruf c
menyatakan bahwa; “penyewaan BMN dilakukan dengan tujuan
mencegah penggunaan BMN oleh pihak lain secara tidak sah”.
Selanjutnya pada Pasal 4 ayat (2) PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur
bahwa; “Penyewaan BMN dilakukan sepanjang tidak merugikan negara
dan tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan negara. Intinya adalah PP.No.27 Tahun 2014 dan
PMK.No.33/PMK.06 telah jelas mengatur kewenangan dan tanggung
jawab serta tujuan diberikannya kewenangan kepada pengelola barang
dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam hal pemanfaatan
barang milik negara. Oleh karena pengelola barang dan pengguna
barang/kuasa pengguna barang diindikasikan telah menyalahgunakan
kewenangan yang diberikan, maka parameter yang digunakan untuk
menguji ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
pengelola barang dan pengguna barang/kuasa

116 pengguna barang sebagai pejabat yang diberi wewenang adalah


Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, khususnya asas larangan
penyalahgunaan kewenangan, sehingga apabila terbukti ada
penyalahgunaan kewenangan maka pejabat yang bersangkutan
bertanggung jawab secara pribadi.

C.Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Pikir Bertitik tolak dari rumusan


masalah,tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan
pada bagian terdahulu, maka berikut ini akan diuraikan secara
sistematis kerangka pemikiran. Negara dalam menjalankan fungsinya
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan berperan
sebagai aparat pemerintah, sangatlah memerlukan sarana dan
prasarana dalam berbagai aktivitas demi menunjang terlaksananya roda
pemerintahan. Sarana dan prasarana yang dimaksudkan salah satunya
adalah gedung perkantoran, karena dari situlah segala aktivitas
pemerintahan dalam rangka pemberian pelayanan pada masyarakat
dilakukan mulai dari membuat perencanaan program kerja sampai
kepada pertanggungjawaban kenerja yang telah dilakukannya. Namun
tidak semua Kementrrian/ Lembaga tersebut mempunyai gedung
perkantoran tetap sehingga terkadang Kementerian /Lembaga tersebut
terpaksa harus menyewa atau menumpang pada instansi lain.
117 Mengantisipasi hal tersebut, Kementerian/ Lembaga diperkenankan
untuk mengusulkan pembangunan gedung perkantoran kepada
pemerintah melalui Kementerian/lembaga masing-masing. Dan apabila
disetujui, langkah selanjutnya adalah mengajukan proposal dengan
Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang dibuat oleh konsultan perencanaan
dan diketahui oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebagai unsur tekhnis
yang mengerti dan mengetahui tentang seluk beluk suatu perencanaan
pembangunan. Pengadaan sarana perkantoran untuk
Kementerian/Lembaga dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan
masing-masing, karena tidak sedikit kantor yang sudah terbangun
dengan biaya yang cukup tinggi namun pada kenyataannya tidak
dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
Kementrrian/Lembaga, hal ini terjadi karena adanya perencanaan yang
kurang matang dan boleh jadi akibat adanya rasionalisasi pegawai dan
bahkan merger (penggabungan) dua kantor menjadi satu, sehingga
apabila pengadaan sarana perkantoran tersebut tidak tepat sasaran dan
tidak dilakukan secara hati-hati serta tidak memperhatikan tingakat
kebutuhan masing-masing Kementerian/lembaga maka akan menjadi
mubadzir dan pada akhirnya akan membebani APBN baik dari segi
pengadaannya maupun pada segi pemeliharaannya. Karena
pembangunan sarana dan prasarana perkantoran dilakukan dengan
menggunakan dana APBN, maka hal tersebut dikategorikan sebagai
Barang Milik Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 10
118 UU.No.1 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 1 PP.No.27 Tahun 2014
yang berada di bawah penguasaan negara dan dikelola oleh pemerintah
melalui Kementerian/Lembaga. Namun karena sarana dan prasarana
perkantoran tersebut belum atau tidak dipergunakan dalam rangka
tugas pokok Kementerian/ Lembaga maka dapat dimanfaatkan baik oleh
Kementrian/ Lembaga yang bersangkutan maupun pihak ketiga dalam
bentuk sewa. Pemanfaatan yang dimaksud adalah pendayagunaan
Barang Milik Negara (BMN) yang belum atau tidak digunakan untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementerian/ Lembaga atau
optimalisasi Barang Milik Negara dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Salah satu bentuk pemanfaatan yang dimaksud adalah
dengan cara sewa menyewa yaitu pemanfaatan Barang Milik Negara
oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang
tunai. Peraturan hukum yang mengatur mengenai pemanfaatan Barang
Milik Negara adalah UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara jo PP. No. 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah sebagai petunjuk pelaksana, dan sebagai petunjuk
tekhnis Menteri Keuangan sebagai Pejabat yang berwenang dalam
melakukan pengelolaan terhadap Barang Milik Negara menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara, dan Peraturan Menteri
Keuangan No. 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan
Barang
119 Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan
Tugas Dan Fungsi Kementerian/ Lembaga. Pasal 4 PP.No.27 Tahun
2014, memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan selain menjadi
Bendahara Umum Negara juga sebagai Pengelola Barang Milik Negara,
yang berwenang dan bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan,
mengatur dan menetapkan pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara,
namun kewenangan dan tanggung jawab tersebut sebagian di
delegasikan kepada Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang.
sehingga segala kebijakan yang menyangkut pemanfaatan Barang Milik
Negara ada pada Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Kuasa
Pengguna Barang, dan secara tekhnis di laksanakan oleh kantor
operasional Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, terdapat sejumlah variabel yang
berpengaruh terhadap Pemanfaatan Barang Milik Negara melalui Sewa.
Variabel-variabel tersebut perlu diketahui dan ditata sedemikian rupa
sehingga jelas substansinya. Dari penataan itu dapat diketahui berbagai
variabel yang ada seperti variabel bebas (independent variabel) dan
variabel terikat (dependent variabel). Sejumlah variabel bebas memiliki
pengaruh secara langsung terhadap variabel terikat, yakni terwujudnya
pemanfaatan Barang Milik Negara yang transparan dan akuntabel. Oleh
karena itu, semua variabel bebas perlu diuraikan secara tegas dalam
penelitian ini, sebagai berikut:
120 1. Hakikat pemberian kesempatan kepada pengguna barang atas
rencana pemanfaatan Barang Milik Negara idle sebelum 3 tahun sejak
dinyatakan terindikasi idle, sebagai variabel bebas pertama dalam
penelitian ini, di latar belakangi oleh suatu pemikiran bahwa tujuan
pemanfaatan Barang Milik Negara melalui sewa dilakukan untuk
mengoptimalisasi pemanfaatan Barang Milik Negara yang belum atau
tidak di pergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi
Kementerian/lembaga, memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam
rangka menunjang tugas dan fungsi instansi pengguna barang, dan
mencegah penggunaan barang milik negara oleh pihak lain secara tidak
sah. Akan tetapi tujuan tersebut di batasi oleh Pasal 3 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan
Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan
Tugas Dan Fungsi (Idle) Kementerian/Lembaga yang mengatur bahwa;
“meskipun BMN telah masuk dalam kriteria idle namun belum dapat di
serahkan kepada Pengelola Barang sebelum 3 tahun sejak terindikasi
idle. Hal inilah yang mengakibatkan Barang Milik Negara berpotensi
untuk di salahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
untuk memanfaatkan Barang Milik Negara di luar dari tujuan yang
sebenarnya, sehingga berakibat pada kerugian negara. Indikator
pemberian kesempatan kepada pengguna barang adalah efektivitas
pemanfaatan barang milik
121 negara, efisiensi pengeluaran keuangan negara, dan optimalisasi
penerimaan keuangan negara. 2. Bentuk pengawasan terhadap
pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa.
Variabel bebas kedua yang memiliki peranan yang cukup menentukan
dalam Pemanfaatan Barng Milik Negara idle adalah bentuk pengawasan
terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara idle. Bentuk
pengawasan yang dilakukan terhadap pemanfaatan barang milik negara
dalam bentuk sewa adalah pengawasan internal, yaitu pengawasan
yang dilakukan oleh pejabat yang berada dalam organisasi itu sendiri
dalam arti eksekutif. Artinya yang melakukan pengawasan terhadap
pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa adalah pengelola
barang, pengguna barang/kuasa pengguna barang. Oleh karena
pengelola barang, pengguna barang/ kuasa pengguna barang juga
pengguna barang milik negara, maka objektifitasnya sangat diragukan,
sehingga keberadaan pengawas eksternal sangat diharapkan. Indikator
bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara adalah
pengawasan internal, pengawasan eksternal dan strategi pengawasan
terhadap pemanfaatan barang milik negara. 3. Tanggung jawab
pengguna barang dan pengelola barang terhadap indikasi
penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara idleyang dapat
merugikan keuangan negara, ditempatkan sebagai

122 variabel bebas ketiga dengan pertimbangan bahwa barang milik


negara adalah barang yang diperoleh atas biaya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) sehingga harus dikelola dan dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, karena hasil dari pemanfaatan tersebut
merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh karena itu,
apabila terjadi penyimpangan atas pemanfaatan tersebut yang berakibat
pada kerugian negara maka seharusnyapenyimpangan tersebut
dipertanggungjawabkan. Indikator tanggung jawab pengguna barang
dan pengelola barang atas indikasi penyimpangan pemanfaatan barang
milik negara adalah tanggung jawab menurut hukum Administrasi,
tanggung jawab menurut Hukum Perdata, dan tanggung jawab menurut
hukum Pidana. 4. Terwujudnya Pemanfaatan BMN yang transparan dan
akuntabel. Mengenai hubungan variabel secara keseluruhan dapat
dilihat dalam bagan kerangka fikir sebagai berikut: Terwujudnya
pemanfaatan Barang Milik Negara yang transparan dan akuntabel
ditempatkan sebagai variabel terikat. Hal ini dilandasi oleh pemikiran
bahwa apabila pemanfaatan Barang dapat dilaksanakan dengan baik
maka tentunya dapat mewujudkan pemanfaatan Barang Milik negara
yang transparan dan akuntabel.

134 mengalokasikan BMN Idle kepada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan dan meminta kepada
pengguna barang agar BMN yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/ lembaga
untuk segera diserahkan kepada pengelola barang.142 Sebagai contoh, di wilayah kerja Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terdapat BMN yang terindikasi idle karena tidak digunakan dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dengan nilai Rp.10 milyar, sedangkan menurut Data
Laporan Barang Milik Negara (LBMN) di wilayah KPKNL yang lain terdapat kebutuhan pengadaan
tanah/bangunan sebesar Rp.100 milyar. Apabila proses pemanfaatan BMN idle tersebut dilaksanakan dengan
tertib, maka pengeluaran belanja modal untuk pengadaan tanah/bangunan dapat dihemat sebesar nilai BMN idle
pada daerah tersebut sehingga negara hanya perlu mengalokasikan dana sebesar Rp.90 milyar. 143 Demikian
pula jika BMN idle tersebut dimanfaatkan dengan cara disewakan kepada pihak ketiga, maka negara dapat
diuntungkan dalam dua hal yaitu; mendapatkan hasil sewa sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dan penghematan biaya karena negara tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk pemeliharaan terhadap
gedung/bangunan yang sudah ada.144Disinilah peran dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku pejabat
yang diberi mandat oleh presiden selain sebagai bendahara umum negara 142 . Hasil Penelitian pada Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang Makassar, tanggal 18 Mei 2016. 143 .Hasil wawancara dengan KASI Pengelolaan Kekayaan Negara,
KPKNL Makassar, tanggal 12 Mei 2016 144 .Ibid Profil DJKN...
135 juga sebagai pengelola Barang Milik Negara yang berwenang dan bertanggung jawab untuk merumuskan
kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang Milik Negara, yang dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun
2006 Tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi Dan
Tugas Eselon I Kementerian Keuangan Republik Indonesi yang memberikan tugas kepada Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
kekayaan negara, piutang negara dan lelang. Tugas tersebut merupakan pelimpahan sebagian kewenangan
Menteri Keuangan selaku pengelola barang kepada Direktoran Jenderal Kekayaan Negara sebagai unit
organisasi yang khusus menangani Barang Milik Negara dibawah kendali Kementerian keuangan. 145 Kriteria
BMN idle sebagaimana diatur dalam PMK .No. 250/PMK .06/2011 adalah BMN yang sedang tidak digunakan
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau BMN yang digunakan tetapi tidak sesuai
dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, dan BMN yang termasuk dalm kriteria idle inilah yang dapat
dimanfaatkan oleh pengelola barang untukKementerian/Lembaga yang belum mempunyai tanah dan bangunan
dalam rangka menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya maupun 145 .Media kekayaan Negara, Pengelolaan BMN
Idle, Edisi No.07 Tahun III/2012.hal.20
136 dimanfaatkan oleh pihak ketiga dalam bentuk sewa. Namun apabila Kementerian/ Lembaga telah memiliki
atau menyusun perencanaan untuk menggunakan atau memanfaatkan BMN yang sedang tidak digunakan
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (idle)sebelum berakhirnya tahun ketiga dan
perencanaan pemanfaatannya telah ada sebelum berakhirnya tahun kedua terhitung sejak BMN terindikasi
sebagai BMN idle maka BMN tersebut tidak termasuk sebagai BMN idle, dan kepada pengelola barang harus
memberikan kesempatan kepada pengguna barang untuk memanfaatkan BMN tersebut sebelum berakhirnya
tahun ketiga sejak BMN tersebut dinyatakan idle.146Hakikat pemberian kesempatan kepada pengguna barang
untuk memanfaatkan Barang Milik Negara idle dimaksudkan agar dapat: 1. mengefektifkan pemanfaatan Barang
Milik Negara dalam arti seluruh BMN idle digunakan sepenuhnya untuk mendukung pelayanan pemerintah
kepada masyarakat; 2. mengefisiensi pengeluaran keuangan negara baik dari biaya pengadaan maupun biaya
pemeliharaan serta pengamanan; 3. mengoptimalisasi penerimaan keuangan negara dari pemanfaatan BMN idle
dalam bentuk sewa. Hal ini sangat diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara maksimal dengan menekan biaya-biaya yang timbul seminimal mungkin, sehingga
pemanfaatan barang milik negara tersebut dapat 146 .PMK.No.250/PMK.06/2011, Pasal.3
137 memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksud
tersebut di atas didukung oleh Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 Tentang pengelolaan
Barang Milik Negara yang mengatur bahwa; “pengelolaan Barang Milik Negara meliputi perencanaan kebutuhan
dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, dan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian, yang dilaksanakan ber dasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi,
akuntabilitas dan kepastian nilai”. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pengguna barang wajib melaporkan
dan menyerahkan Barang Milik Negara idle kepada pengelola barang agar pengelola barang dapat
memanfaatkan Barang Milik Negara tersebut untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang
membutuhkan atau memanfaatkannya dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga.147 Kewajiban pengguna barang
untuk menyerahkan Barang Milik Negara idle dikecualikan apabila pengguna barang mempunyai rencana untuk
menggunakan BMN idle tersebut sebelum berakhirnya tahun ketiga dan dinyatakan melalui permohonan tertulis
yang diajukan oleh pengguna 147.PMK.No.250/PMK.06/2011.Pasal 2
138 barang kepada pengelola barang terhitung sejak BMN tersebut terindikasi sebagai BMN idle.148Pengecualian
tersebut perlu diatur mengingat bahwa tidak semua tanah/bangunan yang tidak digunakan pada saat ini adalah
BMN idle, ada kemungkinan bahwa pengguna barang karena telah memiliki rencana pemanfaatan atas BMN
tersebut maka BMN yang sebenarnya idle ikemudian dinyatakan oleh pengguna barang sebagai BMN tidak idle
dan mengusulkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga atau
memasukkannya dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dengan tujuan agar tetap
memperoleh anggaran pemeliharaan dari pemerintah ataupun karena kewenangannya pengguna barang tidak
melaporkan adanya BMN idle di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga pengguna barang dapat
bebas memanfaatkan BMN tersebut dengan cara menyewakannya kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan
pengelola barang. Kondisi tersebut di atas, sebagaimana yang dkemukakan oleh Nur Huseng 149 (Kepala seksii
Pengelolaan BMN Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta IV) bahwa: “Meskipun Menteri
Keuangan bertanggung jawab atas pengelolaan Barang Milik Negara, namun penatapan status BMN pada
Kementerian/Lembaga apakah termasuk kategori idle atau bukan merupakan kewenangan pengguna barang
atas BMN di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga ada kemungkinan karena telah direncanakan
untuk dimanfaatkan maka BMN tersebut dinyatakn idle oleh pengguna barang, meskipun sebenarnya tidak idle”.
148 ,ibid PMK.No.250/PMK.06/2011.Pasal 3 (2). 149.Hasil wawancara pada tanggal 8 Februari 2016.
139 Oleh karena Kementerian Keuangan selaku pengelola barang tidak mempunyai kewenangan untuk
menetapkan status BMN pada Kementerian/Lembaga apakah termasuk dalam kategori idle atau bukan, dengan
alasan bahwa tidak ada peraturan yang mengaturnya, maka sebagai pengelola barang yang bertanggung jawab
atas pengelolaan Barang Milik Negara tidak mampu berbuat banyak apabila pengguna barang tidak melaporkan
bahwa di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya terdapat BMN dalam kategori idle, sehingga pengguna
barang dapat dengan bebas memanfaatkan BMN idle tersebut, padahal dalam Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 250/PMK. 06/2011 jelas diatur bahwa pengguna barang wajib menyerahkan barang milik
negara idle kepada pengelola barang. Artinya, barang milik negara idle hanya boleh dimanfaatkan oleh pengguna
barang setelah diserahkan atau dilaporkan kepada pengelola barang. Salah satu alasan yang menyebabkan
pengguna barang tidak melaporkan dan menyerahkan BMN idle tersebut kepada pengelola barang,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Nur, (Kepala bidang Tata Usaha Kementerian Agama
Provinsi Sulawesi Selatan150adalah: “Karena pengguna barang pada saat sekarang belum membutuhkan
penggunaan BMN idle dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, namun akan menggunakan BMN idle
tersebut dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dimasa yang akan datang, sehingga apabila dilaporkan
atau diserahkan ke pengelola barang maka status penggunaan 150 . Hasil wawancara, tanggal 2 Mei 2017
140 akan dialihkan ke pengguna barang lain atau dimanfaatkan dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga, dan
ditakutkan di masa depan akan sulit untuk mengadakan barang yang dibutuhkan”. Pernyataan serupa
dikemukakan oleh Hamdan, (Kasubag Umum Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan) 151 bahwa; “jika
pengguna barang melaporkan atau menyerahkan BMN idle kepada pengelola barang, maka pengguna barang
akan kehilangan kesempatan untuk menggunakan sendiri BMN idle tersebut jika sewaktu-waktu akan
digunakan”. Banyaknya jumlah BMN yang teridikasi idle namun tidak diserahkan kepada pengelola barang
dinyatakan oleh Sigit (staf Pengelolaan Barang Milik Negara, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
Jakarta IV) bahwa:152“Terdapat banyak BMN idle namun tidak dilaporkan oleh pengguna barang, sehingga
pengelola barang tidak dapat memanfaatkan BMN tersebut baik terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga maupun dimanfaatkan oleh pihak ketiga dalam bentuk sewa, karena BMN yang dapat
dimanfaatkan adalah BMN idleyang telah diserahkan kepada pengelola barang”. Data mengenai BMN idle yang
tidak dilaporkan kepada pengelola barang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. 151 . Hasil wawancara, tanggal 11 Mei
2017 152 .Hasil wawancara, tanggal 9 Februari 2016

141 Tabel 1 : Data BMN Idle yang tidak dilaporkan kepada pengelola barang Pada 5 (lima)
Kementerian/Lembaga.153NOKementerian/ Lembaga Jenis BMN IDLE Luas 1 Kemen.Pendidikan dan
Kebudayaan 4 bidangTanah 20.874 m2 2 Mahkamah Agung 2 bidangTanah/bgn 14.287 m 2/ 8 3
Kemen.Perum.Rakyat 6 bidangTanah 32.572 m2 4 Kemen.Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi. 3 bidangTanah 18.427 m2 5 Badan Pengkajian dan penerapan Tekhnologi 6 bidang Tanah/bgn 42,81
m2/ 6 Sumber : Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga Tahun 2010-2015,
diolah oleh Kementerian Keuangan Data pada tabel tersebut di atas, menunjukkan bahwa BMN idlemenurut
Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lemabag, sebanyak 15 bidang tanah seluas
128.97 m2 dan 14 unit bangunan, dan semuanya belum dilaporkan kepada pengelola barang. Data tersebut
belum termasuk BMN yang terindikasi idle pada aplikasi Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Terpadu
(SIMANTAP) sebanyak 554 bidang tanah, dan yang tidak diinput statusnya sampai dengan 31 Desember 2016
sebanyak 5.263 bidang tanah seluas 298.444.199,00 m2.154 BMN idle yang sudah tercatat dalam Laporan
Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga, seharusnya sudah dimanfaatkan oleh
pengelola barang untuk Kementerian/Lembaga yang 153 .Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima)
Kementerian/Lembaga Tahun 2010-2015. 154 .Data diperoleh dari Hasil Penelitian pada Kantor Pusat DJKN Jakarta, tanggal 16 Februar

143 yang dimilikinya untuk memanfaatkan BMN idle berdasarkan peraturan yang telah ada, sepertidari hasil
inventarisasi dan identifikasi BMN idle yang meliputi hasil pelaksanaan pengawasan dan pengendalian oleh
pengelola barang, laporan dari pengguna barang/kuasa pengguna barang, hasil penertiban BMN, laporan
barang pengguna/kuasa pengguna semesteran dan tahunan, laporan rekapitulasi hasil inventarisasi dari
Kementerian/Lembaga, laporan hasil audit aparat pengawas fungsional pemerintah, informasi dari media massa,
baik cetak maupun elektronik, dan/atau laporan masyarakat,156 namun demikian, kewenangan tersebut belum
dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengelola barang untuk menetapkan adanya BMN idle, karena selama ini DJKN
sebagai pelaksana fungsional atas sebagian kewenangan Menteri Keuangan dalam pengelolaan BMN baru
menggunakan laporan pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk menetapkan status BMN idle, sehingga
tidak mengetahui apakah semua pengguna barang telah melaporkan BMN idle kepada pengelola barang.157 Agar
kewenangan tersebut di atas, dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengelola barang dalam menetapkan
adanya BMN idle, maka menurut hemat penulis seharusnya pengelola barang menindaklanjutinya dengan
melakukan konfirmasi tertulis, pemantauan, penelitian, dan apabila diperlukan dapat melakukan investigasi.
Apabila hasil konfirmasi menunjukkan bahwa BMN tersebut benar adalah BMN idle maka 156 .Op. Cit. PMK.
250/PMK.06/2011. Pasal 6 157 . Hasil Penelitian Pada Kanwil DJKN Sulselbartra, tanggal 4 April 2016
144 dilakukan penetapan yang ditindaklanjuti dengan serah terima BMN antara pengguna barang dan pengelola
barang, namun apabila hasil konfirmasi menyimpulkan bahwa BMN tersebut bukan dikategorikan sebagai BMN
idle, maka harus disampaikan kepada pengguna barang. Prosedur tersebut di atas juga telah diatur dalam Pasal
4 (2) PMK No .250/PMK .06/2011, yang memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada pengelola barang
untuk menindaklanjutu segala sumber informasi terkait BMN idle dalam hal: 158a. meminta klarifikasi tertulis
terhadap pengguna barang/kuasa pengguna barang. b. melakukan investigasi terhadap penggunaan dan
pemanfaatan BMN yang terindikasi sebagai BMN idle. c. melakukan penelitian terhadap informasi dan klarifikasi
tertulis pengguna barang/kuasa pengguna barang d. menetapkan BMN sebagai BMN idle. e. melakukan
pengecekan administratif dan pengecekan fisik atas BMN idle yang akan diserahkan oleh pengguna barang. f.
mengenakan dan mencabut sanksi kepada pengguna barang. g. melakukan penatausahaan BMN idle h.
melakukan pengawasan, pengendalian, pengamanan dan pemeliharaan terhadap BMN idle yang telah
diserahkan oleh pengguna barang. i. menyusun dan mengelola anggaran pengamanan dan pemeliharaan BMN
idle. j. melakukan penetapan status penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan atas BMN idle;dan k.
melakukan penghapusan BMN idle. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian penulis, kewenangan dan
tanggung jawab pengelola barang terhadap BMN idle belum terlaksana dengan baik, karena selain belum
memanfaatkan segala sumber informasi yang ada terkait adanya BMN idle, pengelola barang 158
.OP.Cit.PMK.N0.250/PMK.06/2011.Pasal 4 (2)
145 seringkali tidak menindaklanjuti adanya laporan dari pengguna barang mengenai adanya BMN idle.
Alasannya adalahi tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas pengelola barang untuk lebih proaktif dalam
mengidentifikasi BMN idle. Selain itu belum ada ketentuan yang mengatur pengguna barang untuk melakukan
inventarisasi BMN idle, belum ada monitoring dari pengelola barang, demikian pula sampai saat ini tidak pernah
diberlakukan sanksi bagi pengguna barang apabila tidak melaporkan adanya BMN idle pada
Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, padahal Pasal 27 PMK No. 250/PMK. 06/2011 dengan jelas mengatur
mengenai sanksi bagi pengguna barang yang tidak menyerahkan BMN yang ditetapkan sebagai BMN idle
berupa:1591. Pembekuan dana pemeliharaan BMN atas tanah dan/atau bangunan yang telah ditetapkan sebagi
BMN idle. 2. Penundaan penyelesaian atas usul pemanfaatan BMN yang diajukan oleh pengguna barang.
Kenyataan tersebut di atas, menurut hemat penulis menunjukkan bahwa Kementerian Keuangan sebagai
pengelola barang hanya pasif dalam hal pemanfaatan Barang Milik Negara idle sehingga ada kecenderungan
pemanfaatan Barang Milik Negara tidak efektif, hal ini nampak terhadap banyaknya jumlah BMN idle yang tidak
diserahkan oleh Kementerian/Lembaga kepada pengelola barang seperti yang diuraikan 159.op.cit,
PMK.No.250/PMK.06/2011. Pasal 27
146 pada tabel 1 (satu) di atas. Kondisi tersebut dipertegas oleh Hariyanto, (Kasi Penilaian BMN, KPKNL
Makassar) bahwa;160” “Pemanfaatan BMN idle belum efektif dilaksanakan, karena selain adanya kewenangan
yang begitu luas bagi pengguna barang untuk menentukan sendiri status BMN yang ada dalam penguasaannya,
juga jumlah BMN yang terlalu banyak, sementara Kementerian Keuangan selaku pengelola barang belum
merampungkan inventarisasi seluruh jumlah BMN yang ada di seluruh Kementerian/Lembaga”. Padahal sebagai
pengelola barang Menteri Keuangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PP. No. 27 Tahun 2014
berwenang dan bertanggung jawab dalam hal :161a. Merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan
pedoman pengelolaan Barang Milik Negara; b. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik negara;
c. Menetapkan status penguasaan dan penggunaan Barang Milik Negara; d. Mengajukan usul
pemindahtanganan Brang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang memerlukan persetujuan Dewan
perwakilan Rakyat. e. Memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada
pada pengelola Barang yang tidakmemerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang dalam batas
kewenangan menteri Keuangan. f. Memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan Barang
Milik Negara yang tidak memerlukan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat kepada Presiden; g. Memberikan
persetujuan atas usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada pada pengelola barang yang
tidakmemerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang dalam batas kewenangan Menteri
Keuangan; h. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan Barang Milik Negara yang
berada pada pengelola barang; 160 . Hasil wawancara, Tanggal 2 April 2016 161 .Op.Cit.PP.No.27 Tahun 2014.
147 i. Memberikan persetujuan atas usul pemanfaatan Barang Milik Negara yang berada pada pengguna barang;
j. Memberikan persetujuan atas usul pemusnahan dan penghapusan Barang Milik Negara; k. Melakukan
kordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi Barang Milk Negara dan menghimpun hasil Inventarisasi; l. Menyusun
laporan Barang Milik Negara; m. Melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan
Barang Milik Negara, dan n. Menyusun dan mempersiapkan laporan rekapitulasi Barang Milik Negara/Daerah
kepada presiden. Kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada Menteri Keuangan, ternyata tidak
membawa dampak yang signifikan terhadap pemanfaatan BMN idle khususnya pemanfaatan yang berupa sewa
menyewa, karena dalam pelaksanaannya pemanfaatan BMN idle berupa tanah dan bangunan bagi
Kementerian/Lembaga yang membutuhkan baru sekitar 10% dari total BMN idle dan BMN yang teridentifikasi idle
dan telah diserahkan kepada pengelola barang.162 Demikian pula dalam hal pemanfaatan BMN idle dalam bentuk
sewa, dalam berbagai kasus seringkali mengabaikan prosedur sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam
PMK. No.57/PMK.06/2016.. Kondisi tersebut menurut hemat penulis mengharuskan PP. No. 27 Taun 2014 Jo
Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK .06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Idle
didukung dari sisi kebijakan dengan tidak memberikan kewenangan yang begitu luas kepada pengguna barang
untuk memanfaatkan sendiri BMN yang berada dalam penguasaannya, 162 . Hasil Penelitian Pada Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Makassar, tanggal 10 April 2016
148 melainkan menjadi suatu keharusan bagi pengguna barang untuk segera memberi laporan secara tertulis
mengenai adanya BMNidle kepada pengelola barang. Sebaliknya pengelola barang harus lebih aktif
memonitoring dan menginventarisir seluruh BMN yang ada pada Kementerian/Lembaga, dengan demikian
keberadan BMN idle lebih mudah diketahui oleh pengelola barang. 2.Efisiensi Pengeluaran Keuangan Negara. Dalam
rangka akuntabilitas penataan keuangan negara, maka penyusunan keuangan negara harus mengacu pada
norma dan prinsip efisiensi pengeluaran keuangan negara. Efisiensi pengeluaran keuangan negara dimaknai
bahwa dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. 163 Pengertian efisiensi menurut
Mulyamah dalam Arifin P.Soeria Atmadja,164 adalah merupakan suatu ukuran dalam membandingkan rencana
penggunaan masukan dengan penggunaan yang direalisasikan. Sedangkan menurut SP.Hasibuan, 165efisiensi
adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan dengan sumber-
sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber yang
terbatas. 163 .www.stialan.ac.id > artikel.Akuntabilitas Keuangan Negara- STIA LAN Jakarta. 164 .Arifin P.Soeria Atmadja.(2013).
Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.3 165 .ibid.Arifin P.Soeria Atmadja, hal.5
149 Sedangkan pengertian efisiensi yang penulis maksudkan dalam desertasi ini adalah tidak untuk
membandingkan antara input dan output, akan tetapi lebih pada berkurangnya atau ditiadakannya alokasi atau
realisasi pembiayaan negara melalui APBN, namun seluruh kegiatan tersebut tetap dapat direalisasikan, artinya
efisiensi pembiayaan yang semula dibebankan kepada negara melalui APBN menjadi beban pihak lain, seperti
dalam pemanfaatan BMN idle yang tidak dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga kemudian dialihkan kepada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan sehingga dapat
mengurangi anggaran pada pos-pos pengeluaran APBN, seperti pada biaya pengadaan BMN baru. Demikian
pula efisiensi terhadap biaya pemeliharaan dan biaya pengamanan BMN dialihkan kepada pihak ketiga selaku
mitra pemerintah melalui bentuk-bentuk pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa, sehingga pemerintah tidak
perlu lagi menganggarkan dana untuk biaya pemeliharaan, biaya pengamanan, maupun biaya renovasi karena
biaya-biaya itu sudah menjadi tanggung jawab pihak ketiga sebagai penyewa. Prinsif efisiensi pengeluaran
keuangan negara harus mempertimbangkan dua hal yaitu:1661. Accountability, akuntabilitas pengeluaran
keuangan negara adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban, 166.Mc Kinney, Jerome
B.1986. Effektive Financial Management In Public an Non Profit Agencia A Pratical and Integrated Approach. Connecticut:Greenwood
Press Inc.hlm.224
150 menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait atas penggunaan uang publik kepada
pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (DPR dan masyarakat
luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh para manajer pemerintah adalah:a) Aspek legalitas
pengeluaran negara yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya; b)
Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran negara yang baik, perlindungan aset fisik dan finansial, mencegah
terjadinya pemborosan dan salah urus. Adapun prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran negara adalah: 1)
Adanya sistem akuntansi dan sistem kemampuan negara yang dapat menjamin bahwa pengeluaran negara
dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Pengeluaran negara
yang dilakukan dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; dan, 3)
Pengeluaran negara yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan
diperoleh. 2. Value for Money, pengeluaran negara harus berdasarkan konsep value for maney, yaitu: a) Ekonomi,
adalah praktek pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang
memungkinkan. Sesuatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat menghilangkan atau mengurangi
biaya yang dianggap tidak perlu; b) Efisiensi, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan
terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara efisien apabila
suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-
rendahnya; dan, c) efektivitas. Yaitu merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat
pertanggungjawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Efektivitas dalam pemerintahan dapat
diartikan penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia. Kedua prinsip
tersebut di atas menurut hemat penulis berkaitan erat dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP.
No .27 Tahun 2014 bahwa; “Pengelolaan Barang Milik Negara dilaksanakan berdasarkan asas fungsional,
kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai. Artinya, bahwa setiap pengadaan
barang milik negara sudah pasti akan menyerap anggaran yang begitu besar, dan tentunya anggaran tersebut
berasal dari APBN, sehingga pengadaan tersebut harus jelas peruntukannya, transparan dari segi
pengadaannya serta mempunyai aspek legalitas dari segi hukum. Demikian pula terhadap aspek ekonomis atas
pengadaan barang milik negara tentunya harus tetap diperhatikan agar jangan sampai membebani keuangan
negara. Misalnya, gedung atau bangunan yang telah dibangun seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk tugas pokok Kementerian/ Lembaga, dan jika tidak digunakan oleh Kementerian/Lembaga yang
bersangkutan maka seharusnya dialihkan untuk Kementerian/Lembaga 153 yang tidak dikelola secara
profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta, sehingga ada keinginan untuk memasukkan
kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme,
transparansi, dan economic of scalemenjadi kerangka kerja utmanya Setiap tahun trilyunan rupiah disediakan
untuk pengadaan barang dan jasa yang akan digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga.168 Namun berapa BMN hasil dari pengadaan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan
secara efisien dan efektif, serta apakah BMN tersebut sudah bermanfaat atau tidak dalam rangka menunjang
pelaksanaan tugas pokok Kementerian/Lembaga.169 Pertanyaan tersebut di atas merupakan gambaran umum
yang ada pada Kementerian/Lembaga yang kurang memerhatikan dan menganalisis kemanfaatan dari suatu
pengadaan Barang Milik Negara, padahal Barang Milik Negara yang kurang maksimal dalam penggunaannya
akan menjadi suatu pemborosan karena membebani negara baik dari segi pengadaan maupun pemeliharaan.
Kondisi tersebut semakin terasa ketika negara melakukan penghematan di berbagai bidang untuk membiayai
roda pemerintahan yang membutuhkan anggaran yang besar dari tahun ke tahun. Untuk menghindari
pemborosan perlu diadakan pembatasan-pembatasan kebutuhan terhadap pengadaan barang dan jasa dengan
menentukan secara tepat mengenai tipe dan spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan oleh 168 .Media
Keuangan Negara, Transparansi Informasi Kebijaka Fiskal, Voume VIII No. 71/ Juli 2013, Hal.10 169 .Ibid

154 suatu Kementerian/Lembaga melalui suatu perencanaan kebutuhan dan penganggaran, disamping
mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara yang teridikasi idle. Perencanaan kebutuhan dan
penganggaran sebagai salah satu siklus pengelolaan Barang Milik Negara yang memegang peranan penting
dalam rangka menghindari pemborosan keuangan negara adalah: 170 kegiatan merumuskan rincian kebutuhan
Barang Milik Negara untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang
berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan
efektifitas pengelolaan Barang Milik Negara. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar
dalam penyusunan neraca anggaran pada kementerian /lembaga. Perencanaan anggaran yang mencerminkan
kebutuhan riil Barang Milik Negara selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang
diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah 171. Pasal 9 ayat (1) PP.No.27
Tahun 2014 mengatur bahwa;172” Perencanaan kebutuhan Barang Milik Negara disusun dalam neraca kerja dan
anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara
yang ada dengan berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga 170 .Op.Cit. PP.No 27
Tahun 2014, Pasal 1 Ayat (8) 171 .Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara. 172 .Pasal 9 ayat (1) PP .No. 27 Tahun 2014
155 yang ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkordinasi dengan instansi atau dinas tekhnis terkait”.
Sedangkan dalam Pasal 10 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa; 173 “Pengguna barang menghimpun
usul rencana kebutuhanbarang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah
lingkungannya, dan selanjutnya menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara kepada pengelola
barang”. Selanjutnya Pasal 10 ayat (2) PP. No. 27 Tahun 2014 mengatur bahwa; 174 “Pengelola barang beserta
pengguna barang membahas usul tersebut dengan memerhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau
pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN). Perencanaan
kebutuhan dan penganggaran BMN merupakan hal yang sangat penting, karena perencanaan ini memungkinkan
Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi belanja pemeliharaan dan belanja modal serta optimalisasi
penerimaan melalui identifikasi potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan dan
pemindahtanganan BMN idle. Namun DJKN yang merupakan salah satu unit eselon satu pada Kementerian
Keuangan yang diberi wewenang untuk mengelola Barang Milik Negara baru memulai perannya sebagai
pengelola barang pada lingkup penggunaan Barang Milik Negara, sementara dalam lingkup perencanaan
kebutuhan dan penganggaran, serta pengadaan, sampai saat ini DJKN tidak diberi wewenang apapun 173. Pasal
10 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 174 . Pasal 10 ayat (2) PP. No.27 Tahun 2014
156 untuk intervensi. Hal ini berarti DJKN sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan
penganggaran barang milik negara yang mengakibatkan DJKN tidak mengetahui berapa barang milik negara
yang dibutuhkan oleh kementerian/lembaga, dan berapa jumlah barang milik negara yang telah dimanfaatkan
oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan pemborosan keuangan
negara baik dari segi pengadaan maupun pemeliharaan. Proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran
Barang Milik Negara selama ini dirumuskan sendiri oleh pengguna barang (dalam hal ini adalah
Kementerian/Lembaga masing-masing), dan persetujuan penganggarannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan. Implikasinya, tidak ada mekanisme kontrol yang memadai terhadap
Kementerian/ Lembaga dalam merumuskan barang apa saja yang memang benar-benar Kementerian/ Lembaga
itu butuhkan. Kondisi ini mengakibatkan adanya Kementerian/ Lembaga yang memiliki tanah/bangunan yang
berlebih (idle) dan tidak digunakan untuk tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga, sementara terdapat pula
Kementerian/ Lembaga yang masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga. Hal ini tentu saja akan
berdampak pada terjadinya inefektivitas, inefisiensi, dan tidak optimalnya pengelolaan Barang Milik Negara.
Alokasi anggaran dan realisasi belanja modal dan belanja barang mengalami peningkatan selama kurung waktu
5 (lima) tahun terakhir. Belanja modal mengalami peningkatan dari Rp.29,17 (11,10%) triliun pada
157 tahun anggaran 2010 menjadi Rp. 75,87 (28,88%) trilyun pada tahun anggaran 2015. Sedangkan belanja
barang juga menunjukkan peningkatan dari Rp. 32.89 (10,76%) trilyun pada tahun anggaran 2010 menjadi Rp.
80,67 (26,40%) trilyun pada tahun anggaran 2015. Peningkatan tersebut mengharuskan Kementerian/Lembaga
melakukan efisiensi angaran pemeliharaan dan pengadaan BMN, dengan mengoptimalkan potensi penerimaan
negara melalui pemanfaatan BMN idle yang ada pada pengguna barang.175 Pemanfaatan Barang Milik Negara
sebagai cara lain untuk mengefisiensi pengeluaran negara dilakukan terhadap Barang Milik Negara idle.
Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan cara menyewakannya kepada pihak ketiga atau dimanfaatkan
oleh Kementerian/Lembaga yang membutuhkan, karena pada faktanya terdapat Kementerian/Lembaga yang
mempunyai BMN berlebih (idle), namun terdapat pula Kementerian/Lembaga yang masih menyewa ruang kerja
kepada pihak ketiga. Untuk hal ini, pengelola barang harus menempatkan posisinya dalam mengalokasikan BMN
idle kepada Kementerian/ Lembaga yang membutuhkan, sehingga Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan
tidak perlu mengalokasikan dana untuk pembangunan gedung baru. Hal ini tentu saja dapat berdampak
terhadap efisiensi pengeluaran, karena selain mengurangi biaya pemeliharaan juga dapat meminimalisir
pembangunan gedung baru. 175 .Hasil Penelitian Pada Kantor Pusat DJKN Jakarta, Tanggal 11 Februari 2016.
158 Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal penelitian ini
menunjukkan bahwa meskipun pengelola barang telah mengetahui mengenai adanya BMN idle, namun
pengelola barang belum dapat memanfaatkan BMN idle tersebut baik dalam bentuk sewa maupun
memberikannya pada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan karena pengguna barang belum
melaporkannya sebagai BMN idle, atau pengguna barang telah melaporkan kepada pengelola barang namun
karena pengguna barang sudah mempunyai rencana pemanfaatan terhadap BMN idle tersebut sebelum
berakhirnya tahun ketiga sejak dinyatakan terindikasi idle, maka pengelola barang harus memberikan
kesempatan tersebut kepada pengguna barang. Kondisi ini tentu saja belum bisa mengefisiensi pengeluaran
negara karena selain BMN idle tersebut masih membutuhkan biaya pemeliharaan, juga alokasi anggaran untuk
pembangunan gedung baru tidak dapat dihindarkan. Menurut Marwan Hamdal (Kasi Pengelolaan BMN, Kantor
Pelayanan Kekayan Negara Dan Lelang Makassar) bahwa:176“Seandainya pengguna barang tidak mempunyai
rencanapemanfaatan terhadap BMN idle, maka pengelola barang dapat memanfaatkan BMN tersebut untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang membutuhkan, sehingga dari pemanfaatan
tersebut negara dapat menghemat biaya pemeliharaan dan belanja modal untuk pembangunan gedung baru.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Edi Sugianto, (Kepala Seksi Penilaian, KPKNL Makassar) bahwa: 177176 .Hasil
wawancara ,Tanggal 11 Maret 2016. 177 .Hasil wawancara , Tanggal 13 Maret 2016.
159 “ Pengguna barang yang telah mempunyai rencana pemanfaatan BMN idle seharusnya mengoptimalkan
pemanfaatan BMN tersebut agar dapat menghemat anggaran pemeliharaan dan belanja modal untuk
pembangunan gedung baru bagi Kementerian/Lembaga yang status masih menyewa”. Data mengenai BMN idle
berupa tanah dan bangunan yang sudah dilaporkan oleh pengguna barang yang ada pada 5
Kementerian/lembaga namun tidak dimanfaatkan untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
Kementerian/Lembaga, dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini: 178Tabel 2: Data BMN Idle yang telah dilaporkan oleh
Pengguna Barang kepada pengelola barang pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga NoK./L Jns Bmn idle Letak
Lokasi Luas/ Unit Nilai dlm RP 1 Pertahanan (AU) Tanah Jl.U.Sumiharjao 50.000 m 2 5 M 2 Hkm & Ham Tnh/Bgn
L.P Kls I Mks/ Jl.S.Alauddin 30.000 m2/52.4M/1.5M 3 Kesehatan Tnh/Bgn RS.Haji/ JL.A.Kadir 15.000
m2/31.2M/900.Jt 4 Agama Tnh/Bgn Kanwil Kemen. Agama 500 m 2/2 1M/300 Jt 5 Perhubungan (Perhub Darat)
Tanah/BgnJl.P.Kemerdekaan1000 m2/3 2 M/300 Jt Total 96.500 m2/1311.6M2/ 2.9 M Sumber: LBMN 5
Kementerian 2012-2015, diolah oleh Kementerian Keuangan Data pada tabel 2 (dua) tersebut di atas
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun hanya ada 5 Kementerian yang telah melaporkan adanya BMN
idle, masing-masing Kementerian Pertahanan (Angkatan 178 .Sumber data, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) Makassar.

160 Udara) yang memiliki BMN idle berupa tanah dengan nilai Rp 5 miliar, Kementerian Hukum Dan HAM
memiliki BMN idle berupa tanah/bangunan dengan nilai Rp. 3,9 miliar, Kementerian Kesehatan memiliki BMN idle
berupa tanah/bangunan dengan nilai Rp. 2,1 miliar, Kementerian Agama yang memiliki BMN idle dengan nilai
Rp.1,3 miliar, Kementerian Perhubungan (Perhub.Darat) memiliki BMN idle dengan nilai Rp.2,3 miliar. Total BMN
idle berupa tanah yang ada pada 5 Kementerian adalah 96,500 m2 dengan nilai Rp.11,6 miliar, dan BMN idle
berupa bangunan sebanyak 13 unit dengan nilai Rp. 2,9 miliar. Keseluruhan BMN idle tersebut masih dikuasai
oleh pengguna barang, karena meskipun telah dilaporkan idle namun pengguna barang telah mempunyai
rencana pemanfaatan atas BMN idle tersebut, sehingga dengan rencana itu pengelola barang tidak
memasukkannya sebagai kriteria BMN idle dan memberi kesempatan kepada pengguna barang untuk
memanfaatkannya sampai berakhirnya tahun ketiga sejak dinyatakan idle oleh pengguna barang dan
perencanaan itu sudah ada 1 Tahun sejak dinyatakan idle. Rencana pemanfaatan yang dimaksudkan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Didin Ardiansyah, (Kasubag Umum Dinas Perhubungan Darat
Kementerian Perhubungan)179 adalah untuk kebutuhan kantin dan koperasi bagi pegawai Kementerian
Perhubungan.

162 Kondisi tersebut di atas sebenarnya tidak perlu terjadi, apabila DJKN sebagai pelaksana fungsional atas
sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku pengelola barang melaksanakan wewenang dan tanggung
jawabnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b PMK No. 250/PMK. 06/2011 bahwa; 182
“Pengelola barang berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan investigasi terhadap penggunaan dan
pemanfaatan BMN yang terindikasi sebagai BMN idle.” Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) PMK .No. 250/PMK. 06/2011
mengatur bahwa:183 “Pengelola barang melakukan pemantauan terhadap realisasi pelaksanaan perencanaan
pemanfaatan sesuai klarifikasi tertulis pengguna barang/kuasa pengguna barang”. Pemantauan sebagaimana
yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) PMK. NO. 250/PMK. 06/2011, lebih lanjut diatur pada ayat (2) huruf a dan
b bahwa;184 pemantauan antara lain dilakukan melalui cara: a. Meminta laporan perkembagan realisasi
pelaksanaan perencanaan, termasuk dokumen terkait yang diperlukan. b. Melakukan pemantauan secara
langsung dalam bentuk peninjauan lapangan. Faktanya adalah, pengelola barang telah memberikan
kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan BMN idle
yang dilaporkan oleh pengguna barang, sehingga dengan kewenangan tersebut pengguna barang seolah-olah
memiliki 182 .Op.Cit.PMK No.250/PMK.06/2011. Pasal 4 Ayat (2) huruf b 183 .Ibid.Pasal 9 Ayat (1). 184 .Ibid.ayat (2) huruf a dan b.
163 kekuasan penuh atas pemanfaatan BMN idle yang ada pada Kementerian/Lembaga bersangkutan,
sementara monitoring dan pengawasan dari pengelola barang tidak berjalan sebagaimana mestinya, serta tidak
ada peraturan yang mengatur mengenai keharusan bagi pengguna barang untuk melaporkan segala hal yang
menyangkut pemanfaatan BMN idle, sehingga rencana pemanfaatan BMN idle banyak disalahgunakan oleh
pengguna barang seperti:185 (1) Menyewakan BMN idle tersebut kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan
pengelola barang. Misalnya, BMN idle berupa tanah dengan luas 20.000 m 2 milik Kementerian Pertahanan (AU)
yang letaknya di JL Perintis kemerdekaan 18 Makassar,di sewakan kepada pedagang kaki lima 186. Demikian
pula BMN idle berupa tanah dan bangunan di lingkungan eks Asrama Haji Kanwil Kementerian Agama Jl.
Perintis Kemerdekaan 16 Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, disewakan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam
Al-Furqan milik Kementerian Agama.187 (2) Menetapkan tarif sewa yang jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah
dari tarif yang ditetapkan dalam prosedur sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam PMK .No. 57/PMK.
06/2016 Tentang Tata Cara Sewa Menyewa Barang Milik Negara, misalnya, tarif sewa BMN ditetapkan sebesar
Rp. 42.000.000,00, sementara tarif sewa berupa tanah yang ada di lokasi penyewaan BMN tersebut sekitar 50-
55 juta pertahun dengan luas yang sama. Artinya tarif BMN yang ditetapkan jauh lebih rendah dari harga pasar,
sehingga 185 .Hasil Penelitian Pada Kantor KPKNL, Makassar Tanggal 12 Mei 2016 186 .Hasil Penelitian Pada Kantor Kementerian
Pertahanan (AU), Tanggal 14 Mei 2017 187 .Hasil Penelitian Pada Kantor Kementerian Agama Tanggal 20 Mei 2017
164 potensi kerugian negara sangat mungkin terjadi karena penetapan harga sewa yang rendah. Atau
sebaliknya menetapkan harga sewa yang jauh lebih tinggi dari harga pasar, seperti harga sewa BMN ditetapkan
sebesar Rp. 100.000.000, sementara harga pasaran yang ada di lokasi penyewaan BMN tersebut sekitar 70-80
juta pertahun dengan luas yang sama, sehingga potensi kerugian negara sangat mungkin terjadi, dimana tidak
ada orang yang akan menyewa karena harga sewanya jauh lebih tinggi dari harga pasar. 188 Idealnya adalah
penetapan tarif sewa seharusnya menggunakan data pasar sebagai data pembanding, dengan tetap
memperhatikan situasi dan kondisi daerah, serta kelayakan BMN yang akan disewakan. (3) Menggunakan biaya
pemeliharaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga BMN idle yang rusak berat dibiarkan tanpa
dilakukan perbaikan. Misalnya ada biaya pemeliharaan yang dianggarkan untuk BMN idle pada
Kementerian/Lembaga, tetapi biaya pemeliharaan tersebut direvisi atau dipergunakan untuk kepentingan lain,
seperti belanja barang atau belanja tak terduga lainnya 189. Kondisii tersebut menyebabkan kerugian negara yang
sangat besar, karena selain BMN tersebut tidak dapat berkontribusi pada penerimaan negara bukan pajak, juga
tidak mampu mengefisiensi pengeluaran keuangan negara, bahkan BMN idle tersebut tetap membebani negara
dari segi pemeliharaan. 188 . Hasil penelitian pada Kantor KPKNL Makassar, tanggal 19 Maret 2017 189 . Hasil wawancara dengan
Marwan Hamdal, Kasi pengelolaan BMN, KPKNL Makassar, Tanggal 20 Maret 2017.
165 Menurut hemat penulis, seharusnya pengelola barang tidak lagi memberi kesempatan kepada pengguna
barang untuk merencanakan sendiri pemanfaatan BMN idle yang telah dilaporkannya, akan tetapi pengelola
barang mengambil alih BMN idle tersebut untuk dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya seperti
mengalihkan BMN idle kepada Kementerian/ Lembaga yang membutuhkan, ataumemanfaatkan dalam bentuk
sewa kepada pihak ketiga, karena apabila pengguna barang masih diberi kesempatan untuk merencanakan
sendiri atas pemanfaatan BMN idle maka pengelola barang akan kesulitan dalam melakukan kontrol terhadap
BMN idle tersebut, hal ini disebabkan pengguna barang tidak transparan dalam melakukan pemanfaatan BMN
idle, demikian pula jika BMN idle tersebut di sewakan kepada pihak ketiga hasilnya tidak dimasukkan ke kas
negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan juga apabila BMN idle telah habis masa perencanaannya,
ada kecenderungan pengelola barang kurang tegas untuk menarik kembali BMN idle tersebut. 3. Optimalisasi
Penerimaan Keuangan Negara Pengertian optimal dalam disertasi ini dimaksudkan, semakin banyaknya
penerimaan negara yang dapat dihasilkan dari pengelolaan BMN sebagai implikasi dari optimalisasi
pemanfaatan BMN yang tidak digunakan atau sedang tidak digunakan untuk pelaksanaan pelayanan tugas dan
fungsi suatu Kementerian/Lembaga. Namun demikian, tidak
166 berarti bahwa negara secara nyata mengkomersialisasi BMN, melainkan mengoptimalkan penggunaan BMN
yang sudah ada dan sedang tidak digunakan dalam pelaksanaan pelayanan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga dengan sekaligus mengurangi beban negara dalam memelihara dan mengamankan
BMN, karena pada dasarnya efisiensi pengeluaran maupun optimalisasi penerimaan negara yang dihasilkan
dalam pengelolaan BMN merupakan refleksi dari pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi budgeter pengelolaan
BMN. Pemanfaatan BMN idle sebagai bagian dari pengelolaan BMN sebagaimana yang diatur dalamt PP .No.
27 Tahun 2014 dimaknai sebagai pendayagunaan BMN yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas dan
fungsi Kementerian/Lembaga, baik dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun serah
guna, dan bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Hal penting yang perlu diketahui
dalam definisi tersebut adalah terbukanya suatu opsi bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian/Lembaga
selaku pengguna barang untuk dapat meningkatkan potensi penerimaan negara melalui salah satu bentuk
pemanfaatan BMN tersebut. Sewa menyewa BMN sebagai salah satu bentuk pemanfaatan BMN yang akan
memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara merupakan suatu model dalam pelaksanaan kemitraan
bisnis antara pemerintah dengan pihak swasta. Kemitraan ini ditinjau dari aspek ekonomi akan menguntungkan
negara, selain berkurangnya biaya
167 pemeliharaan atas BMN, pemerintah juga diuntungkan dengan adanya kontribusi dalam bentuk sewa, juga
kontribusi dalam bentuk fasilitas sebagai hasil dari pelaksanaan sewa menyewa. Keuntungan pemerintah apabila
BMN disewakan kepada pihak ketiga selain adanya pemasukan negara dalam bentuk penerimaan negara bukan
pajak, juga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya pemeliharaan atas BMN yang bersangkutan karena
seluruh biaya pemeliharaan dan pengamanan BMN akan ditanggung oleh pihak penyewa, hal ini telah diatur
dalam Pasal 9 huruf c PMK.No.57/PMK.06/2016 bahwa; “Penyewa/ calon penyewa memiliki tanggung jawab
untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang disewa selama jangka waktu sewa.” Selanjutnya
Pasal 45 ayat (3) PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa;” Seluruh biaya pemeliharan termasuk biaya yang
timbul dari pemakaian dan pemanfaatan BMN menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pihak penyewa.”
Demikian pula adanya keuntungan bagi pemerintah dari segi kontribusi yang diberikan oleh penyewa berupa
fasilitas sebagai hasil dari pelaksanaan sewa BMN, karena tidak menutup kemungkinan penyewa mengubah
bentuk atau menambah bangunan BMN yang disewa sesuai dengan selera atau keinginan penyewa, sehingga
BMN yang semula bentuknya sangat sederhana bisa menjadi lebih mewah, dan tentunya nilai ekonomis dari
BMN tersebut akan bertambah, dan perubahan atau tambahan bangunan yang dilakukan oleh penyewa menjadi
BMN.
168 Ketentuan mengena hal tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) PMK. No. 57/PMK. 06/2016 bahwa 190;
“Selama jangka waktu sewa, penyewa atas persetujuan pengelola barang/ pengguna barang dapat mengubah
bentuk BMN tanpa mengubah konstruksi dasar bangunan, dengan ketentuan bagian yang ditambahkan pada
bangunan tersebut menjadi BMN.” Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) PMK. No.57/PMK .06/2016 mengatur bahwa191;
“ Dalam hal pengubahan bentuk BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan adanya
penambahan, bagian yang ditambahkan tersebut disertakan dalam Berita Acara Serah Terima pada akhir sewa
untuk ditetapkan menjadi BMN.” Pemberian kesempatan atas pemanfaatan BMN idle kepada Kementerian/
Lembaga sebelum berakhirnya 3 tahun sejak dinyatakan idle, bertujuan agar Kementerian/Lembaga sebagai
pengguna barang dapat mengoptimalkan pemanfaatan BMN idle tersebut, karena hasil dari pemanfaatan
tersebut akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun pada saat ini, optimalisasi penerimaan
negara melalui pemanfaatan BMN idle belum menjadi perhatian utama bagi Kementerian/ Lembaga,
penyebabnya tidak terlepas dari belum adanya keinginan dari para pengurus BMN di tingkat
Kementerian/Lembaga untuk melakukan penataan BMN idle melalui pengajuan permohonan persetujuan atas
pemanfaatan BMN idle yang ada di lingkungannya kepada Menteri Keuangan dalam hal ini DJKN selaku
pengelola baran.192190 .Op.Cit.Pasal 46 ayat (1) 191 .Ibid.Pasal 46 ayat (2) 192 .. Hasil Penelitian Pada Kantor KPKNL Makassar,
Tanggal 8 Juli 2016

169 Kondisi tersebut di atas dikuatkan oleh Andi Rifai (Kasi Pengelolaan Barang Milik Negara, KPKNL Makassar)
bahwa: 193“Tidak optimalnya penerimaan negara bukan pajak dari hasi sewa BMN, disebabkan eksistensi DJKN
sebagai pengelola barang milik negara masih relatif baru yang memulai perannya sebagai pengelola barang milik
negara masih dalam tahap inventarisasi dan penilaian terhadap barang milik negara yang ada pada Kementerian
atau lembaga.” Demikian pula mekanisme penetapan BMN idle dan upaya pemanfaatannya masih belum
optimal, penyebabnya adalah BMN idleharus diserahkan kepada pengelola barang untuk dilakukan upaya
pengelolaan lebih lanjut. Namun, tidak semua Kementerian/Lembaga mematuhi ketentuan ini. Seringkali terdapat
BMN yang secara de facto memang idle, namun oleh Kementerian/Lembaga diklaim masih dibutuhkan untuk
kegiatan operasional.194 Akibatnya tentu saja BMN yang sesungguhnya idle terpaksa tidak didayagunakan oleh
pengelola barang secara optimal dalam bentuk apapun. Bahkan dengan adanya pemanfaatan BMN idle justru
dapat menimbulkan masalah bagi Kementrian/Lembaga yang telah melakukan pemanfaatan BMN idle tanpa
persetujuan DJKN selaku pengelola barang, karena dinilai tidak memberikan kontribusi yang maksimal bagi
negara serta tidak adanya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dibidang pengelolaan
BMN.195193 . Hasil wawancara, tanggal 1 Maret 2017 194 .Op. Cit. Hasil Penelitian 195 Ibid. Hasil Penelitian

171 Tabel 5 : Realisasi PNBP dari hasil sewa No Kementrian / lembaga Realisasi PNBP 1 Pekerjaan umum 29. 193.
634. 142 2 Pertahanan 54. 693. 973. 837 3 Agama 7. 953. 723. 293 4 Kepolisian 21. 680. 464. 105 5
Perhubungan 5. 687. 294. 999 Sumber : DJKN Cq. Direktorat Jenderal PKNSI Berdasarkan tabel 3, 4, dan 5 di
atas diketahui bahwa rata-rata Kementerian/Lembaga memiliki realisasi PNBP pemanfaatan BMN-nya tidak
konkruen dengan total aset tanah dan bangunan yang dimiliki, bahkan cenderung realisasi PNBP-nya kecil
padahal aset tanah dan gedungnya besar. Rendahnya keuntungan yang secara langsung diperoleh dari
pemanfaatan BMN idle oleh pemerintah menunjukkan bahwa pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa belum
dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap penerimaan negara bukan pajak. Belum optimalnya PNBP
dari aktivitas pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa menurut Chaeriyah (Kepala Kantor KPKNL Makassar)
bahwa196; “Kementerian/Lembaga tidak taat terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena
seringkali Kementrrian/Lembaga menyewakan BMN idle dengan tarif atau prosedur yang tidak semestinya. Serta
DJKN selaku pengelola barang terkesan bersifat menunggu permohonan”. 196 . Hasil wawancara, Tanggal 15 April 2016
172 Hal serupa dikemukakan pula oleh Ngakan Putu Tagel, Ka. Kanwil DJKN SULSELBARTRA bahwa, 197 “Salah
satu hambatan utama dalam pemanfaatan BMN idle adalah tidak koperatifnya Kementerian/Lembaga untuk
menyerahkan BMN idlekepada pengelola barang. Kementerian/Lembaga seringkali berupaya untuk menahan
aset idle tersebut agar tetap berada dalam penguasaannya, dampaknya peluang untuk dilakukannya upaya
pemanfaatan menjadi kecil, karena Kementerian/Lembaga dalam praktek memiliki kontrol yang amat besar
terhadap pemanfaatan BMN yang ada dalam kekuasaannya, sementara pengelola barang bersifat cenderung
pasif yakni baru akan bertindak apabila ada permohonan dari Kementerian/lembaga.” Dominannya Kewenangan
Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang dalam pemanfaatan BMN idle membutuhkan kontrol dan
pengawasan yang memadai dari pengelola barang. Dalam mengendalikan sistem tersebut, maka salah satu
alternatif agar kontrol dan pengawasan dapat berjalan adalah melalui upaya pemeriksaan secara rutin dan
kontinyu, karena dari semua tahap dalam siklus pengelolaan BMN, tahap pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian merupakan hal yang paling tepat untuk menjaga agar Kementerian/Lembaga benar-benar
mengoptimalkan BMN yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu, agar dapat mengoptimalisasi
penerimaan negara, pemanfaatan BMN tidak cukup apabila hanya mengedepankan aspek tertib hukum, tertib
administrasi, dan tertib fisik saja, tetapi harus mampu menunjang APBN, 198 artinya BMN yang ada mampu
memberikan pendapatan sehingga berkontribusi pada pos penerimaan dalam APBN. 197 .Hasil wawancara, Tanggal
25 April 2016 198 .Media Kekayaan Negara, Mengukur Kinerja BMN Bangunan dan Gedung, Edisi No.06 Tahun II/2015. Hlm.22.
173 Peraturan tentang pemanfaatan BMN memang telah mengakomodir beberapa alternatif pemanfaatan aset
seperti sewa, bangun guna serah, bangun serah guna, dan kerjasama pemanfaatan. Namun demikian, alternatif
itu masih belum dilakukan secara optimal karena DJKN selaku pengelola barang terkesan bersifat menunggu
permohonan.199 Hal yang sangat diharapkan adalah meningkatkan keuntungan dari pemanfaatan BMN idle,
paling tidak, keuntungan tersebut tidak terlalu tertinggal dari sektor komersil. Misalkan saja keuntungan dapat
ditingkatkan menjadi 0,5%, maka dengan besarnya aset tetap netto pemerintah yang saat ini mencapai lebih dari
Rp. 1.709 triliun, PNBP yang dapat disumbang mencapai Rp.8,545 triliun.200 Oleh karena itu, menurut hemat
penulis langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan PNBP adalah; pertama memastikan agar
Kementerian/lembaga aktif dan secara patuh mendayagunakan BMN yang dimilikinya secara optimal melalui
kegiatan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian oleh DJKN. Kedua, intensifikasi fungsi pengelolaan
terhadap BMN idle, dimana DJKN rutin melakukan pemeriksaan dokumen dan fisik BMN sehingga mempertajam
perannya dalam menetapkan BMN idle. Selain itu, hal lain yang perlu dilakukan adalah komersialisasi BMN idle
yang memiliki manfaat ekonomi, seperti dengan menerbitkan portofolio BMN yang akan disewa, merumuskan
target PNBP dari pemanfaatan BMN yang juga dapat menjadi acuan 199 . Ibid hlm. 24 200 .Media Kekayaan
Negara,Menuju Efisiensi Dan Optimalisasi APBN, Edisi No.10 Tahun IV/2014.hlm.20.
174 Kementerian/Lembaga dalam penetapan indikator kinerja pengelolaan BMN, serta secara aktif berupaya
mendayagunakan BMN, seperti membuat papan iklan atau pengumuman untuk BMN yang akan dimanfaatkan.
Keempat penghapusan BMN yang tak lagi memiliki nilai guna melalui pemindahtanganan atau pemusnahan.
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian tersebut di atas, maka teori kebijakan publik yang dikemukakan
oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai sebuah pilihan yang diambil oleh
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, menurut hemat penulis tidak dapat
dijadikan sebagai pisau analisis dalam memecahkan rumusan masalah pertama, karena teori kebijakan publik
yang dikemukakan oleh Thomas Dye seolah-olah memberi kesan keraguan dan ketidakseriusan pemerintah
dalam melaksanakan pemanfaatan terhadap barang milik negara, dimana pemerintah masih diberi pilihan untuk
mengambil kebijakan atau tidak mengambil kebijakan, sementara dalam faktanya peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan barang milik negara belum mampu mengakomodir segala
persoalan yang muncul di lapangan, sehingga mengharuskan pemerintah untuk segera mengambil kebijakan
dalam mengatasi persoalan yang ada karena barang milik negara merupakan salah satu sektor yang sangat
potensial dalam menyumbang APBN, sehingga pemerintah harus mempunyai kesungguhan, ketegasan dan
keyakinan dalam mengurusnya. Akan tetapi apabila teori kebijakan publik
175 beriorentasi pada sebuah keputusan dari berbagai aktor yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan
sebagaimana yang dikemukakan oleh William Jenkins, maka menurut hemat penulis teori tersebut tepat untuk
dijadikan sebagai pisau analisis, karena Kementerian Keuangan selaku pengeloa barang dan pimpinan
Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang seharusnya mempunyai misi dan visi yang sama dalam
melaksanakan pemanfaatan terhadap barang milik negara, dimana hasil dari pemanfaatan barang milik negara
tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan pajak yang dapat disumbangkan kedalam APBN. B. Bentuk
pengawasan Terhadap Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Bentuk Sewa Menyewa. 1. Pengawasan
Intenal Salah satu kegiatan pengelolaan barang milik negara adalah pemanfaatan barang milik negara yang
berkaitan erat dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga maupun
Laporan Keuangan pemerintah pusat dan juga daerah, sehingga aspek-aspek yang terkait dalam pengelolaan
barang milik negara sudah seharusnya menjadi perhatian penting baik bagi instansi pemerintah pusat maupun
instansi pemerintah daerah.201 Terkait dengan hal tersebut, aspek pengawasan terhadap pemanfaatan barang
milik negara sebagai salah satu siklus dalam pengelolaan barang milik negara memegang fungsi 201 . Makalah
Pengelolaan Barang Milik Negara, disampaikan dalam RAKERNAS Ke-2 Kementerian Keuangan RI, Di Bali Tanggal 25-29 Januari
2016.hlm.4
176 strategis dan urgen dalam mengoptimalisasi pemanfaatan barang milik negara sebagai bagian dari
keuangan negara.202 Pasal 3 PP.N0.27 Tahun 2014 Tentang pengelolaan Barang Milik Negara mengatur bahwa
kegiatan pengelolaan barang milik negara meliputi kegiatan perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan dan
pengawasan. Dari berbagai kegiatan tersebut beberapa kegiatan sudah memiliki aturan pelaksanaan atau aturan
tekhnis yang disusun oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan. Aturan tekhnis tersebut
berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memiliki lingkup mengatur instansi Pemerintah Pusat.
Khusus mengenai pengawasan pemanfaatan barang milik negara diatur dalam PMK. Nomor 244/PMK.06/2012
Tentang Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik negara, yang merupakan penjabaran dari Pasal 90
sampai dengan Pasal 95 PP. No .27 Tahun 2014 yang mengatur masalah pengawasan dan pengendalian
barang milik negara. Arti dari kegiatan pengawasan tidak bisa didapatkan dari Peraturan Menteri Keuangan
tersebut, sehingga arti kata pengawasan hanya dapat diketahui dari beberapa referensi terkait dengan
pengelolaan keuangan maupun pengelolaan barang milik negara. Pengawasan barang milik negara
mengandung pengertian proses penetapan ukuran keberhasilan dan pengambilan tindakan yang 202 . ibid.
Pengelolaan Barang Milik Negara.hlm.6
177 mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan
aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya manajemen aset yang baik. 203 Intinya adalah bahwa kegiatan
pengawasan merupakan proses untuk menetapkan ukuran kinerja dan mengambil tindakan yang dapat
mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang yang telah ditetapkan. 204 Pengertian
pengawasan barang milik negara sebagaimana yang dikemukakan di atas mengandung dua hal penting yakni
sasaran pengawasan BMN dan substansi dari tujuan pengawasan BMN. Sasaran pengawasan BMN yaitu
“proses penetapan ukuran keberhasilan BMN serta pengambilan tindakan yang mendukung pencapaian hasil
yang diharapkan”, sedangkan substansi dari tujuan pengawasan BMN yaitu “tercapainya tujuan pengelolaan
BMN yang telah ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya manajemen aset”. 205
Kegiatan pelaksanaan pengawasan barang milik negara berdasarkan PMK.Nomor 244/PMK .06/2012
dilaksanakan terhadap pengelolaan barang milik negara dan terhadap pejabat/pegawai yang melakukan
pengelolaan/pengurusan barang milik negara,206 sehingga di dalam PMK ini dibedakan menjadi dua garis besar
terkait pelaksanaan pengawasan, yaitu pelaksanaan pengawasan dalam lingkup wewenang pengelola 203
.Manajemen Pengawasan, BPKP, 2007, hal 1 204 .ibid. Manajemen Pengawasan, BPKP,2007, hal.1. 205 .Ibid hlm.4 206 .Pasal 2 ayat (1),
PMK. NO.244/PMK.06/2012.

178 barang, serta pelaksanaan pengawasan dalam lingkup wewenang dan kewajiban sebagai pengguna
barang/kuasa pengguna barang,207 Kedua pelaksanaan pengawasan inilah yang dimaksud dalam disertasi ini
sebagai bentuk pengawasan internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri,
dalam hal pemanfaatan barang milik negara maka pengelola barang/ dan pengguna barang/kuasa pengguna
barang sebagai pihak pengawas internal yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang
milik negara, serta pengawas internal pemerintah yang berasal dari Inspektorat Jenderal (IRJEN) masing-masing
Kementerian/lembaga. a. Pengawasan oleh Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang Pengguna barang adalah
pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik Negara.208 Menteri/Pimpinan lembaga selaku
pimpinan Kementerian/Lembaga adalah pengguna barang milik negara berwenang dan bertanggung jawab
untuk melakukan pengawasan atas penggunaan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya. 209
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk
menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.210dan selanjutnya disebut
sebagai pengawas internal dalam hal pemanfaatan barang milik negara. 207 .Pasal 2 ayat (2), PMK.No 244/
PMK.06/2012. 208 .Pasal 1 PP.No.27 Tahun 2014 209 .0p.Cit.Pasal 6 PP.No.27 Tahun 2014 210 Op.Cit.Pasal 1 angka 5 PP.No.27 tahun
2014

180 dilakukan terhadap barang milik negara yang digunakan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang
milik negara dan yang digunakan sementara oleh pengguna barang lainnya, serta barang milik negara yang
dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi pengguna
barang. Pelaksanaan pemantauan atas pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan pengguna
barang/kuasa penguna barang setelah mendapatkan persetujuan dari pengelola barang, serta telah
dilaksanakan sesuai dengan persetujuan dari pengelola barang. Sedangan kegiatan penertiban barang milik
negara yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang merupakan tindakan lanjutan dari
kegiatan pemantauan apabila diketahui adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan pemantauan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, serta adanya surat permintaan penertiban barang milik negara dari
pengelola barang, terkait dengan kondisi dan situasi yang didapati dalam setiap kegiatan pemanfaatan barang
milik negara. Apabila saat pemantauan pengguna barang/kuasa pengguna barang mendapati kondisi-kondisi
yang mengharuskan untuk melakukan tindakan yang diperlukan, maka sesegera mungkin pengguna
barang/kuasa pengguna barang melaksanakan tindakan lanjutan dari pemantauan tersebut, yaitu melakukan
tindakan penertiban atas kondisi yang ditemukan. Misalnya, apabila pengguna barang/kuasa pengguna barang
dalam pelaksanaan pemantauan atas pemanfaatan barang milik
181 negara menemukan kondisi seperti; bentuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan persetujuan pengelola
barang, jenis usaha untuk sewa tidak sesuai dengan keputusan pengguna barang atau tidak sesuai dengan
kontrak yang dilakukan oleh pihak ketiga, atau apabila pengguna barang menemukan bahwa pemanfaatan yang
dilakukan belum mendapat persetujuan pengelola barang, maka hasil pemantauan tersebut, pengguna barang
diharuskan untuk melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, dengan kata lain
bahwa kegiatan penertiban dilaksanakan apabila pengguna barang mendapatkan ketidaksesuaian antara
kegiatan pemanfatan barang milik negara dengan peraturan yang ada saat kegiatan pemantauan. Ada 4 (empat)
tujuan utama penertiban barang milik negara, yaitu:(1) melakukan pemutakhiran pembukuan barang milik negara
pada Sistem informasi Manajemen Keuangan Barang Milik Negara (SIMAK BMN), (2) mewujudkan
penatausahaan Barang Milik Negara di seluruh satuan kerja (Satker) instansi Pemerintah Pusat, (3) menyajikan
koreksi nilai aset tetap pada laporan keuanagan Kementerian/Lembaga, dan (4) melakukan tindak lanjut
penatausahan dan pengelolaan Barang Milik Negara yang tertib dan optimal.213 Termasuk dalam objek
penertiban barang milik negara saat ini adalah aset yang dikuasai oleh Kementerian/Lembaga, termasuk yang
berada pada satker Badan Layanan Umum (BLU), seperti aset yang berasal dari 213
.http://dedoubleyou.wordpress.com/2013/02/15/strategi-pengelolaan-barang-milik-negara-iii/
182 dana Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan, aset eks BPPN, aset Bank dalam Likuidasi, aset bekas milik
asing/Cina, aset eks Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), dan aset lain yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan ditetapkan sebagai barang milik negara, 214 Arah penertiban barang milik negara adalah
agar pemanfaatan barang milik negara di setiap pengguna barang menjadi lebih akuntabel dan transparan,
sehingga barang milik negara tersebut mampu dioptimalkan pemanfaatannya untuk menunjang fungsi pelayanan
kepada masyarakat, dan dimungkinkan fungsi budgeter dalam pemanfaatan barang milik negara agar dapat
memberikan kontribusi bagi penerimaan keuangan negara. 215. Oleh karena itu, pemanfaatan barang milik negara
harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi salah urus, kehilangan dan tidak termanfaatkan,
sehingga untuk meningkatkan fungsi pengawasan tersebut peran pengawas interen pemerintah sangat penting.
Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang atas hasil pemantauan dan
penertiban adalah meminta aparat pengawasan interen pemerintah dalam hal ini Inspektorat Jenderal (IRJEN)
masing-masing Kementerian/Lembaga sebagai pengguna barang atau Badan Pengawas Keuangan Dan
Pembangunan(BPKP) untuk melakukan audit atas hasil pemantauan dan penertiban berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku jika ditemukan adanya 214 .ibid 215 . Modul Pemanfaatan Barang Milik Negara,2010,
Kebijakan Pemanfaatan Barang milik Negara,Badan Pendidikan Dan pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
Jakarta, hlm 4.
183 penyimpangan dalam hal pemanfaatan barng milik negara, dan bahkan bisa melakukan upaya hukum
apabila hasil audit terbukti terdapat penyimpangan yang melibatkan pengguna barang/kuasa pengguna barang
dan pengelola barang serta pihak ketiga.216b. Pengawasan oleh Pengelola Barang. Pengawasan barang milik negara
oleh pengelola barang yang selanjutnya juga disebut sebagai pengawas internal atas pemanfaatan barang milik
negara dilaksankan oleh Direktur jenderal, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayan Negara (Kanwil
DJKN), dan Kepala Kantor Pelayanan Kekayan Negara dan lelang (KPKNL) Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan
dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara. 217 Apabila pelaksanaan pengawasan barang
milik negara yang ada pada ranah pengguna barang lebih bertumpu pada kuasa pengguna barang, maka
pengawasan dalam lingkup pengelola barang, peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
sangat besar, karena KPKNL merupakan unit pengelola barang yang dalam pelaksanaan tugasnya berinteraksi
langsung dengan kuasa pengguna barang masing-masing Kementerian/lembaga. Khusus untuk pemanfaatan
barang milik negara, yang telah mendapatkan surat penetapan/persetujuan/keputusan dari pengelola barang,
maka 216 . Pasal 66 Ayat (3) PMK.No.33/PMK.06/2012 217 .Op.Cit. Pasal.1 angka 3 PP.No.27 Tahun 2014.
184 pengawasan dilakukan oleh pihak pengelola barang yang mengeluarkan surat
penetapan/persetujuan/keputusan dimaksud. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengawasan yang
dilakukan oleh pengelola barang atas pemanfaatan barang milik negara berupa pemantauan dan investigasi.
Pemantauan oleh pengelola barang atas pemanfaatan barang milik negara terdiri atas pemantauan priodik yang
dilaksanakan minimal 1 tahun sekali, serta pemantauan insidentil yang dilaksanakan sewaktu-waktu paling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterima laporan tertulis dari masyarakat atau informasi dari media massa. 218
Investigasi dapat dilakukan oleh pengelola barang, apabila dari hasil pemantauan terdapat indikasi adanya
penyimpangan, investigasi tersebut dilakukan untuk mengumpulkan barang bukti atau informasi yang dapat
membuat terang dan jelas mengenai suatu permasalahan untuk dilakukan penyelesaian dan penertiban, dan
apabila dari hasil investigasi terdapat indikasi kerugian negara, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri
Keuangan dapat meminta aparat pengawas interen Pemerintah untuk melakukan audit. Mekanisme pengawasan
mengenai pemanfaatan barang milik negara sebagaimana yang diatur PP. No.27 Tahun 2014 jo
PMK.No.244/PMK.06/2012 bahwa pengelola barang, pengguna barang/ kuasa pengguna barang adalah pihak
yang berwenang melakukan 218 .http://dglengu.blogspot.co.id/2014/02/pengawasan-dan-pengendalian-bmn.html.
185 pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang ada pada kementerian/ lembaga yang
dipimpinnya, dan kedua peraturan tersebut jelas mengatur mengenai kewenangan masing-masing dalam hal
melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara. Akan tetapi pengawasan yang dimaksud
dalam kedua peraturan tersebut hanya pengawasan internal dan bukan pengawasan eksternal, yakni
pengawasan yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang, namun
sepertinya pengawasan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang
sebagai pengawas internal terhadap pemanfaatan barang milik negara tidak efektif. Tidak efektifnya pengawasan
terhadap pemanfaatan barang milik negara melalui sewa dapat disimak dalam contoh kasus sebagaimana yang
dilansir oleh Koran Kompas dengan judul “Karut Marut Mengurus Aset Negara”, Kamis, 17 April 2014, 219
berdasarkan hasil temuan BPK terhadap pemanfaatan gedung eks Markas besar TNI Angkatan Udara di Jakarta
Selatan seluas 2,94 hektar, yang dimanfaatkan swasta untuk kepentingan komersial dengan tarif sewa rendah,
sehingga merugikan negara Rp.99,48 miliar. Demikian pula hasil sewa yang memanfaatkan BMN di lima
Kementerian/Lembaga, yakni Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Tenaga Keraja, Kementerian
Koperas dan pelayanan usaha Kecil Menengah, Lembaga Kepolisian, Badan Kordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), berupa tanah, gedung, 219 .Karut Marut Mengurus Aset Negara, Kompas, 17 April 2014
186 dan bangunan, juga belum disetorkan ke kantor Kas Negara senilai 176,3 miliar. 220 Terungkap pula Kasus
terbaru atas pemanfaatan BMN dengan cara sewa terjadi atas tanah dan bangunan eks aset bank likuidasi yang
disewakan oleh oknum pejabat Kementerian Keuangan pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 dengan
nilai sewa sebesar 2 miliar/tahun, tanpa sepengetahuan pengelola barang, dan hasilnya tidak masuk ke Kas
negara, sehingga negara dirugikan sebesar 13 miliar. 221 Kasus tersebut di atas, hanya merupakan sebagian kecil
dari sekian banyak kasus pemanfaatan barang milik negara yang diselewengkan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab yang melihat peluang bahwa barang milik negara tidak diurus dengan baik oleh negara.
Pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang sebenarnya merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab atas pengawasan pemanfaatan barang milik negara, karena merekalah yang paling dekat
dan paling mengetahui mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan barang milik negara yang ada pada
Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga dengan alasan itu pula undang-undang memberi
kewenangan kepada pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk melakukan
pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan oleh pengelola 220 Ibid Kompas 17
April 2014. 221 Informan tidak disebutkan namanya (sementara dalam proses Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat).

187 barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang tidak efektif, oleh karena pengguna barang
sebagaimana yang diatur dalam PMK 244/PMK.06/2012 hanya sebatas melakukan pemantauan dan penertiban
terhadap pemanfaatan barang milik negara, sementara pengelola barang hanya berwenang melakukan
investigasi atas hasil pemantauan dan penertiban yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna
barang tanpa adanya sanksi dan alur pertanggung jawaban yang jelas apabila hasil investigasi tersebut ternyata
merugikan keuangan negara, apalagi keduanya merupakan pengguna barang milik negara sekaligus sebagai
pengawas dalam pelaksanaan pengawasan atas pemanfatan barang milik negara, dimana objektivitas keduanya
sangat sulit untuk dipertanggunjawabkan. Terkait dengan hal tersebut, Arifin P.Soeria Atmadja menyatakan
bahwa;222“apabila dilihat dari perspektif prinsip akuntansi yang harus berpegang teguh pada asas inkompatible ,
maka fungsi pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab dalam satu instansi atau lembaga akan
berdampak negatif dan kontra produktif terhadap objektivitas dan efektivitas hasil pemeriksaan yang dapat
mengarah pada Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (KKN)”. Kelemahan lain terkait dengan pelaksanaan
pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara menurut Andi Rivai (Kasi Pengelolaan Kekayaan
Negara KPKNL Makassar) adalah:223“Kelemahan dalam Pengawasan dan Pengendalian pemanfaatan barang
milik negara disebabkan oleh dua hal yaitu; (1) belum adanya Surat Keputusan (SK) bagi pengawas pengelola
BMN yang didukung oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) pembukuan BMN, dan standar 222 .Arifin P.Soeria
Atmadja. 2000. Kedudukan Dan Fungsi BEPEKA Dalam Struktur Ketatanegaraan RI,PEMERIKSA,Majalah Triwulan BEPEKA,Jakarta,
Maret 2000 No.46 hlm 11. 223 .Hasil Wawancara, Tanggal 20 Juni 2016

operasional prosedur pemanfaatan BMN. (2) alur pertanggung jawaban tidak memberikan kepastian karena
laporan hasil pemantauan dan penertiban yang dilakukan pengguna barang serta laporan hasil pemantauan dan
investigasi yang dilakukan oleh pengelola barang pada akhirnya dilaporkan kepada Menteri Keuangan selaku
pengelola barang, dimana Menteri Keuangan tidak lain adalah sebagai pengguna barang sekaligus sebagai
pengelola barang, dan juga sebagai pengawas atas pemanfaatan barang milik negara.” Sementara itu, Ngakan
Putu Tagel, Ka.Kanwil DJKN SULSELBARTRA menyatakan bahwa;224“Selama ini memang pengawasan
terhadap pemanfaatan barang milik negara belum sepenuhnya berjalan, karena DJKN masih fokus terhadap
Inventarisasi dan Penilaian barang milik negara, pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara
sepenuhnya diserahkan kepada pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pengguna barang milik
negara di Kementerian/Lembaga masing-masing dan hasilnya akan dilaporkan kepada Menteri Keuangan”.
Sedangkan bagi pengguna barang, pelaksanaan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara juga
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut dikemkakan oleh Ahmad Syaukani (Kasubag TU
Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan) bahwa;225“Kementerian Agama belum pernah membentuk tim
pengawas untuk melakukan pemantauan dan penertiban atas pemanfaatan barang milik negara, karena jika ada
barang milik negara yang hendak dimanfaatkan maka Kementerian Agama sebagai pengguna barang langsung
melaporkannya kepada Kementerian keuangan sebagai pengelola barang”. Kondisi yang sama dikemukakan
pula oleh Surahman (Kabag Umum Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan bahwa 226: 224. Hasil wawancara,
Tanggal 20 Mei 2016. 225 .Hasil wawancara, tanggal 16 Mei 2017. 226 .Wawancara, Tanggal 28 Mei 2017

197 hanya ditempatkan setara dengan eselon I di Kementerian 244. Oleh sebab itu, dapat saja pimpinan unit
pemerintahan yang diperiksa BPKP tidak memberikan respon positif terhadap hasil pemeriksaannya. Dengan
demikian jika kedudukan BPKP dalam struktur pemerintahan tidak ditingkatkan, maka BPKP tidak dapat menjadi
pengawas yang sifatnya independen terhadap pemanfaatan barang milik negara yang sepenuhnya diharapkan
dapat melakukan pekerjaan yang mandiri dan menghasilkan pekerjaan yang objektif245. Alternatif lain yang dapat
ditempuh agar pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara berjalan secara efektif adalah dengan
menerapkan model pengawasan berjenjang246. Tujuan dari penerapan model pengawasan berjenjang ini adalah
untuk menghilangkan segala bentuk ine fisiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaan pengawasan, karena
pemeriksaan yang terlalu luas menimbulkan rentang kendali yang terlalu sulit dijangkau, meskipun dilengkapi
dengan sumber daya manusia yang andal dan profesional. Akibatnya, pengawasan dan pertanggungjawabannya
kemungkinan besar akan tidak efektif apalagi optimal.247 Selanjutnya kelebihan penerapan mekanisme
pengawasan berjenjang adalah: 1. menjadikan pengawasan lebih efektif dan efisien 244 . Ibid Arifin P Soeria Atmadja.
Hlm.217 245 . Ibid. Hlm.219. 246 . Ibid. Hlm.235 247 .Arifin P.Soeria Atmadja. Op.Cit.hlm.283

199 Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan
penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai, melalui pengawasan diharapkan dapat
membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan
secara efektif dan efisien. Bahkan melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan
penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan dapat juga
mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi
dalam pelaksanaan kerja tersebut. Oleh karena itu teoriPengawasan sebagaimana yang dikemukakan oleh
George R Tery yang menyatakan pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai, dan apa yang
sedang dilakukan untuk perbaikan dalam pelaksanaan pekerjaan agar selaras dengan standar dapat dijadikan
sebagai pisau analisis dalam membantu mengkaji permasalahan mengenai bentuk pengawasan terhadap
pemanfaatan barang milik negara, karena pengawasan sesungguhnya bertujuan untuk mengetahui apakah
suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan dan apa kesulitan serta kelemahan-kelemahan
dalam bekerja, kemudian mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya. Kegiatan pengawasan pada umumnya
dilaksanakan oleh pimpinan secara terus menerus atau berkala dalam rangka melakukan pemantauan,
pemeriksaan, penilaian dan perbaikan agar bawahan dapat bekerja secara efektif, efisien, dan sesuai dengan
200 prosedur yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pelaksanaan pengawasan
tentunya dibutuhkan suatu tekhnik yang benar. Adapaun tekhnik pengawasan yang dapat dilakukan meliputi: 248
(1) pemantauan, (2) pemeriksaan, (3) penilaian, (4) perbaikan. Hasilnya harus dapat menunjukkan sampai
dimana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan barang milik negara, pengawasan merupakan salah satu cara untuk
menjaga agar barang milik negara dapat dimanfaatkan secara efektif, efisien dan optimal sehingga tidak terjadi
pemborosan keuangan negara. Peran pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam
melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara sangat menentukan karena keduanya yang
paling dekat dan sangat mengetahui mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemanfaatan barang milik
negara, namun karena posisi keduanya selain sebagai pengawas juga sebagai pengguna barang milik negara,
sehingga objektifitas dan independensinya tidak dapat menjamin untuk dapat melakukan pengawasan secara
optimal. Harapan satu-satunya yang masih dapat dijamin objektifitas dan independensinya adalah pengawas
eksternal. Namun karena BPK merupakan satu-satunya pengawas eksternal pemerintah yang melakukan
pemeriksaan terhadap tanggung jawab dan pengelolaan keuangan negara yang mempunyai jangkauan dan
wewenang yang begitu luas, maka 248 .www. teori pengawasan.unicom.ac.id
201 menurut hemat penulis tidak mungkin akan menghasilkan pemeriksaan atau pengawasan yang efektif dan
efisien, meskipun BPK dilengkapi sumber daya manusia yang begitu banyak. Dan sejatinya pengawasan pada
dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari penyelewenagan dan penyimpangan atas tujuan yang ingin
dicapai akan sangat sulit untuk dilaksanakan. C. Tanggung Jawab Pengelola Barang dan Pengguna Barang atas Indikasi
Penyimpangan Terhadap Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Bentuk Sewa Menyewa Tanggung Jawab yang akan
dibahas dalam disertasi ini adalah tanggung jawab pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna
barang atas indikasi penyimpangan yang dilakukan terhadap pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk
sewa menyewa. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa untuk menguji apakah ada atau tidak penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang adalah
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik terutama larangan penyalahgunaan kewenangan. Pengelola barang
dan pengguna barang/kuasa pengguna barang adalah pejabat yang diberi kewenangan berdasarkan delegasi
untuk melakukan pengelolaan barang milik negara dengan cara pemanfaatan dalam bentuk sewa menyewa,
sehingga dengan kewenangan yang diberikan, pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna
202 barang dibebani tanggung jawab, baik berupa tanggung jawab jabatan maupun tanggung jawab pribadi
apabila dalam melaksanakan kewenangannya ternyata menimbulkan kerugian terhadap pihak lain termasuk
kerugian pada negara. Adanya tanggung jawab jabatan disebabkan jabatan dilekati fungsi, tugas, dan
kewenangan, sehingga dengan fungsi, tugas, dan kewenangan tersebut, maka pemikul tanggung jawab adalah
jabatan (instansi) dan bukan pejabat. Pejabat berdasarkan ketentuan hukum hanya menjalankan tugas dan
wewenang, dan atas dasar wewenang yang diberikan, pejabat tersebut dapat melakukan tindakan hukum, yakni
tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. 249Sedangkan tanggung
jawab pribadi dimungkinkan apabila tindakan hukum pejabat itu mengandung unsur penyalahgunaan wewenang
atau sewenang-wenang sehingga akibat hukum yang timbul dari tindakan hukum tersebut merugikan pihak lain
atau subjek hukum lain, atas dasar itu maka kepada pejabat yang merugikan pihak lain dibebani tanggung
jawab.250 Selanjutnya, asas yang mendasari tanggung jawab pemerintah adalah bahwa negara dan pemerintah
berkewajiban menjamin dan melindungi hak-hak warga negara, sedangkan asas yang mendasari pemberian
ganti rugi oleh pemerintah adalah bahwa pemerintah tidak 249 .ibid.hlm.9-10. 250 .ibid.hlm.10.
203 boleh melakukan tindakan yang merugikan warga negara. Pengecualian dari asas ganti rugi ini adalah misi
publik yang diemban pemerintah, dalam arti pemerintah tidak dibebani kewajiban memberikan ganti rugi ketika
tindakan yang dilakukan itu dalam rangka melaksanakan tugas-tugas publik atau kepentingan umum yang
didalamnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pemberian ganti rugi dalam
pelaksanaan tugas-tugas tersebut.251 Sedangkan tanggung jawab pribadi dimungkinkan ketika pejabat yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas dan wewenang jabatan menyimpang atau bertentangan dengan
norma hukum tertulis atau norma hukum tidak tertulis, atau bahkan secara sadar telah melakukan perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) karena dipengaruhi oleh berbagai faktor dan kepentingan baik
kepentingan sendiri, keluarga, korporasi, maupun kepentingan lainnya yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara atau pihak lain, sehingga atas dasar perbuatan melanggar hukum itu menimbulkan hak gugat bagi pihak
yang dirugikan. Dalam hal pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa, pengelola barang
dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pejabat yang diberi kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan diindkaskan telah menyalahgunakan kewenangannya dalam melakukan pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang mengakibatkan kerugian keuangan 251 .ibid.hlm.197
204 negara. Adanya kerugian negara sebagai akibat penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik
negara tampak jelas bahwa yang dimanfaatkan adalah barang milik negara yang perolehannya berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan yang melakukan pemanfaatan adalah pejabat negara
dalam hal ini adalah pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai wakil pemerintah
yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. Sedangkan kerugian
negara itu sendiri sebagaimana yang diaturi Pasal 1 angka 22 UU .No. 1 Tahun 2004 adalah;”kekurangan uang,
surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai”.252 Oleh karena itu, apabila pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna
barang melakukan penyalahgunaan kewenangan dan bertindak secara subjektif dengan maksud
menguntungkan diri sendiri, kelompok atau golongan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka
kepadanya dibebankan tanggung jawab pribadi karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum seperti
yang diatur dalam Pasal 1365 BW bahwa;”Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan 252 . Pasal 1 angka 22 UU.No.1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara.
205 kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”253Bahkan dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) PP.No.27 Tahun 2014
mengatur bahwa;254(1) Setiap kerugian negara akibat kelalaian, penyalahgunaan atau pelanggaran hukum atas
pengelolaan barang milik negara diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) terhadap
laporan hasil pemeriksaan atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa Tahun
Anggaran 2010 sampai dengan semester 1 Tahun 2014, ditemukan Indikasi penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dalam pelaksanaan pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa dengan kasus sebagai berikut: 2551. Pemanfaatan barang milik
negara dalam bentuk sewa menyewa atas aset tetap yang telah dicatat oleh Sekertaris Jenderal Kementerian
Agama (Setjen Kemenag) berupa bangunan koperasi seluas 144 m2 senilai Rp.38.200.000,00,- dan bangunan
kantin seluas Rp.606.000.000,00,- yang terletak di JL. Inspeksi kali Ciliwung dan bukan merupakan aset
Kementerian Agama. Kedua bangunan tersebut telah dimanfaatkan untuk kegiatan usaha, yaitu koperasi dan 253 .
Pasal 1365 BW. 254 .Pasal 99 ayat (1) dan (2) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. 255 . Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Tahun Anggaran 2010-2014.
206 kantin, namun tidak dilengkapi dengan perjanjian sewa menyewa atas pemanfaatan barang milik negara
tersebut. Hasil pemanfaatan atas biaya sewa bangunan ditarik oleh Koperasi Pegawai Kementerian Agama dari
pihak-pihak penyewa dan tidak disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 2.
Pemanfaatan barang milik negara melalui sewa menyewa atas aset tetap berupa gedung/bangunan tahun 2014
milik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syarif Hidayatullah) pada 16 lokasi untuk keperluan
kantin, cafetaria, koperasi, dan usaha foto copy. Pemanfaatan barang milik negara tersebut diikat dengan surat
perjanjian sewa yang berlaku Januari sampai dengan Desember 2013. Hasil cek fisik tanggal 11 September
2014 menunjukkan bahwa dari 16 lokasi yang disewakan, 15 lokasi yang belum didukung surat perpanjangan
perjanjian sewa tahun 2014 dengan nilai sewa pertahun sebesar Rp.45.000.000,00,- dan diantaranya terdapat
13 lokasi yang biaya sewanya belum dibayar oleh penyewa sehingga belum disetorkan ke kas negara sebagai
PNBP. 3. Perjanjian sewa tanah untuk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) BNI seluas 92 m2 pada Kantor
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Makassar, Sulawesi Selatan dengan nilai sewa per tahun senilai
Rp.45.000.000,-. Perjanjian sewa tersebut tidak di dukung dengan perjanjian sewa antara pengguna barang
dalam hal ini Kementerian 208 terlalu rendah, PNPB dari pemanfaatan tidak disetor ke Kas Umum Negara.
Sehingga total kerugian negara mencapai Rp.109,33 miliar. 7. Hasil Pemanfaatan terhadap Gedung Balai
Sudirman yang terletak di JL.Dr.Saharjo Jakarta Selatan dan Lapangan Golf oleh Denma Mabes TNI-Ad tidak
disetor ke Kas Umum Negara sebagai PNBP 8. Pemanfaatan barang milik negara berupa sewa terhadap tanah
seluas 316 m2 untuk usaha futsal oleh Mabes TNI Jl.Warung Buncit Raya No.301 Jakarta Selatan yang tidak
didukung dengan perjanjian sewa, dan hasil sewa tidak masuk ke Kas Umum Negara sebagai PNBP.
Rekomendasi BPK kepada pengguna barang atau pengelola barang atas hasil temuannya adalah sebaga
berikut: 1. BPK memerintahkan agar pengguna barang dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung
jawabnya dalam pengajuan permohonan penyewaan barang milik negara kepada Menteri Keuangan melalui
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Dan penerbitan keputusan pelaksanaan sewa barang milik negara setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan selaku pengelola barang. 2. BPK memerintahkan para petugas
yang ditunjuk oleh pengguna barang dalam pemanfaatan barang milik negara supaya memedomani ketentuan
tentang pemanfaatan barang milik negara, termasuk dalam pemanfaatan PNBP hasil penyewaan barang milik
negara yang digunakan langsung oleh pengelola barang sebesar Rp.2.271.966.612,00,- miliar serta memungut
dan menyetorkan PNBP sebesar Rp.388.558.000,00,- ke Kas Umum Negara. Hasil temuan BPK, kemudian
diikuti dengan pemberian rekomendasi oleh BPK kepada pengelola barang atau pengguna barang, karena
kondisi tersebut di atas sangat tidak sesuai dengan PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara khususnya Pasal 4,6, dan 7

209 yang mengatur tentang tanggung jawab dan kewenangan pengelola barang dan pengguna barang/kuasa
pengguna barang. Juga kejadian tersebut di atas, telah melanggar Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 57/PMK.06/16 Tentang Tata Cara Sewa Barang Miik Negara antara lain Pasal 8 yang
mengatur tentang kewenangan dan tanggung jawab Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang.
Selain itu, pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang dilakukan oleh Menteri/
Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang, juga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor
250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk
Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/ Lembaga. Adanya pelanggaran terhadap ketiga peraturan
tersebut di atas, Jika diklasifikasi maka setidaknya ada 4 jenis temuan yang menjadi pelanggaran yang dilakukan
oleh pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. Pelanggaran tersebut
adalah sebagai berikut: 1. Kesalahan dalam melakukan pencatatan barang milik negara.Kementerian Agama melalui
Sekertaris Jenderal Kementerian Agama sebagai pengguna barang, telah mencatat aset yang diakui miliknya
dalam daftar inventaris barang berupa bangunan koperasi seluas 144 m 2 dengan nilai Rp. 38.200.000,00,- dan
bangunan kantin seluas 300 m2 senilai Rp. 606.000.000,00,-. Namun ternyata aset tersebut bukan
210 aset dari Kementerian Agama berdasarkan hasil investigasi dari Kementerian Keuangan selaku pengelola
barang melalui bidang pengelolaan Barang Milik Negara.256Kondisi tersebut diakui oleh Kepala Seksi
Pengelolaan Barang Milik Negara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV Sigit
Wibowo yang menyatakan bahwa; ”Kesalahan yang sering terjadi pada Kementerian/Lembaga terhadap
pencatatan barang milik negara dalam daftar inventarisasi barang, karena adanya informasi yang salah
mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara. 257 Kondisi tersebut, juga menyebabkan para Menteri/
Pimpinan Lembaga sering salah dalam mengambil keputusan dan perlakuan yang menyimpang. Menurut
Suryanto, mantan Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistim Informasi (PKNSI), sebagaimana dilansir
oleh Koran tempo,19 Juli 2015 menyatakan;258“Pengambilan keputusan yang salah terjadi karena
Menteri/Pimpinan Lembaga menerima informasi yang tidak akurat mengenai barang milik negara yang berada
dalam penguasaannya sehingga menimbulkan proses pengambilan keputusan menjadi tidak tepat. Ketidak
akuratan informasi tersebut bisa bersumber dari bottom level management dimana informasi yang diberikan kepada
top level management tidak benar, informasi yang tidak benar itu dapat menyangkut jenis, jumlah, dan status aset.
Sedangkan perlakuan menyimpang muncul karena keinginan menguasai barang milik negara untuk dijadikan
milik pribadi. Informasi atas barang milik negara dibuat tidak benar dengan cara merekayasa informasi seperti
barang milik negara yang tidak tercatat atau tercatat tapi status dan kondisinya dilaporkan tidak benar, sehingga
membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk mengambil alih barang milik negara tersebut. Kondisi ini
bisa lebih diperparah jika pimpinan tidak mengambil langkah-langkah strategis dan tepat dalam pengamanan
barang milik negara, lebih ironis lagi jika oknum pimpinan ikut terliabt di dalamnya”. 256 .Hasil Penelitian Pada Kantor
KPKNL Jakarta, tanggal, 10 Februari 2016 257 .ibid.Hasil Penelitian 258 .Koran Tempo,19 Juli 2015
211 Pemberian informasi yang salah mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara, sebenarnya tidak
perlu terjadi apabila pengguna barang taat pada ketentuan mengenai pengelolaan barang milik negara, seperti
yang diatur dalam Pasal 84 ayat (2) PP.No 27 Tahun 2014 bahwa; 259“Pengguna barang/kuasa pengguna barang
harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara yang status penggunaannya berada pada
pengguna barang/ kuasa pengguna barang ke dalam daftar barang pengguna/daftar barang kuasa pengguna
menurut penggolongan dan kodefikasi barang.” Selanjutnya dalam Pasal 85 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014
diatur bahwa; “pengguna barang melakukan Inventarisasi barang Milik Negara paling sedikit 1 (kali) dalam 5
(lima) tahun”. Sementara ayat (2)mengatur bahwa; “ pengguna barang menyampaikan laporan hasil Inventarisasi
kepada pengelola barang paling lama 3 (tiga) bulan setelah selesainya inventarisasi”. 260 Jadi tujuan dilakukannya
pendaftaran dan inventarisasi adalah, agar pengguna barang/kuasa pengguna barang mengetahui jenis, jumlah,
dan status barang milik negara terutama yang menjadi kewenangan dan penguasaannya. Oleh sebab itu,
menurut Sigit Wibowo (Kasi Pengelolaan Barang Milik Negara KPKNL Jakarta IV) bahwa 261; ”agar tidak terjadi
kesalahan informasi, maka setiap pengguna barang/kuasa pengguna barang hendaknya selalui memperbaharui
data mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara yang berada dalam penguasaannya, karena jika
terjadi kesalahan data, akibatnya akan 259 . Pasal 84 ayat (2) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
i260 .Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) PP.No.27 Tahun 2014. 261 .Hasil wawancara, tanggal 27 April 2015
212 berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk apapun”.
2. Barang Milik Negara yang dimanfaatkan dalam bentuk sewa tidak termasuk dalam kriteria barang milik negara idle. Yang
dimaksud barang milik negara idle menurut Pasal 1 angka 2 PMK.No.250/PMK.06/2011 adalah; Barang Milik
Negara yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang berupa
tanah dan/ atau bangunan.262Selanjutnya kriteria barang milik negara idle sebagaimana yang diatur oleh Pasal 3
PMK.No.250/PMK.06/2011 adalah; barang milik negara yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau barang milik negara yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, sehingga apabila dalam suatu Kementerian/Lembaga terdapat barang
milik negara yang masuk dalam kriteria barang milik negara idle,sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3
tersebut di atas, maka pengguna barang wajib menyerahkan barang milik negara idle tersebut kepada pengelola
barang untuk ditetapkan mengenai status penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan atas barang milik
negara idle tersebut. Jadi barang yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk sewa adalah barang milik negara yang
termasuk dalam kriteria barang milik 262 .Pasal 1 angka 2 PMK.No.250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang
Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/Lembaga.
213 negara idle, dan telah diserahkan kepada pengelola barang. Adapun terhadap barang milik negara yang
telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh pengguna barang, menurut Sigit Wibowo (Kepala Seksi
Pengelolaan Barang Milik Negara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta IV), bahwa; 263“jika
memang barang milik negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh pengguna barang masuk dalam
kriteria idle, maka sudah pasti tercatat dalam laporan rekapitulasi hasil inventarisasi dari Kementerian/Lembaga
yang disampaikan kepada pengelola barang, akan tetapi hasil temuan BPK tersebut setelah dilakukan
pemantauan dan investigasi oleh pengelola barang, diketahui belum tercatat pada laporan rekapitulasi hasil
inventarisasi pengelola barang, dan juga belum ada bukti berita acara serah terima antara pengelola barang dan
pengguna barang mengenai barang milik negara yang telah dimanfaatkan oleh Kementerian yang
bersangkutan”. Jadi barang milik negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh Kementerian
berdasarkan hasil temuan BPK, bukan termasuk kriteria barang milik negara idle, dan tidak seharusnya
dimanfaatkan oleh pengguna barang dalam bentuk apapun seperti sewa menyewa, kerja sama pemanfaatan,
bangun guna serah dan bangun serah guna. 3. Pengguna barang telah melakukan pemanfaatan barang milik negara
dalam bentuk sewa tanpa persetujuan pengelola barang. Barang milik negara yang akan dimanfaatkan oleh pengguna
barang dalam bentuk sewa harus dengan persetujuan pengelola barang. Oleh karena itu, apabila pengguna
barang hendak melakukan pemanfaatan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya, maka harus 263
.Op. Cit. Hasil wawancara.
214 memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Sewa Barang Milik
Negara bahwa:264(1) Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang memiliki kewenangan dan tanggung
jawab: a. mengajukan permohonan persetujuan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan kepada pengelola barang; b. menerbitkan keputusan pelaksanaan sewa
BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat
persetujuan dari pengelola barang; c. melakukan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang; d. menandatangani
perjanjian sewa BMN berupa sebagian tanah dan/ atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan, setelah
mendapat persetujuan pengelola barang; e. melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas
pelaksanaan sewa berupa sebagian tanah dan/ atau bangunan atau selain tanah dan/ atau bangunan; f.
melakukan penatausahaan BMN yang disewakan; g. melakukan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen
pelaksanaan sewa; h. menetapkan ganti rugi dan denda yang timbul dalam pelaksanaan sewa BMN berupa
sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan; i. melakukan penatausahaan
atas hasil dari sewa BMN; Fakta dari hasil temuan BPK menunjukkan bahwa ternyata pengguna barang dalam
melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk 264 .Op.Cit. Pasal 8

215 sewa belum mendapat persetujuan dari pengelola barang. Hal ini dapat dibuktikan adanya kejanggalan yang
terjadi di lapangan seperti, pelaksanaan sewa yang tidak didukung dengan perjanjian sewa secara tertulis antara
pengguna barang dan pihak penyewa, padahal dalam Pasal 11 ayat (1 ) huruf b PMK.No.57/PMK.06/2016
mengatur bahwa;265”penyewaan barang milik negara dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh
penyewa dan pengguna barang untuk BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang status
penggunaannya berada pada pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang”.
Selanjutnya dalam Pasal 29 ayat (8) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara mengatur
bahwa;266’Sewa barang milik negara dilaksanakan berdasarkan perjanjian, yang sekurang-kurangnya memuat: a.
Para pihak yang terikat dalam perjanjian; b. Jenis, luas, atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; c.
Tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa; d. Hak dan
kewajiban para pihak. Selain itu, uang sewa tidak dibayarkan sekaligus oleh penyewa kepada pengguna barang
sebagai pihak penyewa, melainkan diangsur sesuai dengan kesepakatan, padahal dalam Pasal 12 ayat (1) PMK.
No.57/PMK.06/2016 jelas mengatur mengenai pembayaran sewa 265 .Pasal 11 ayat (1) huruf b PMK.NO.57/PMK.06/2016
266 .Pasal 29 ayat (8) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara

bahwa;”pembayaran uang sewa dilakukan secara sekaligus paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum
penandatanganan perjanjian”.267 Artinya, uang sewa tidak boleh diangsur dan harus langsung di setor ke kas
umum negara. 4. Hasil Pembayaran uang sewa tidak disetorkan ke Kas Umum Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Pasal 29 ayat (9) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa; 268”Hasil sewa barang milik negara
merupakan penerimaan negara dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening Kas Umum Negara”. Selanjutnya
Pasal 29 ayat (10) PP. No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa; 269”Penyetoran uang sewa harus dilakukan sekaligus
secara tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum ditandatanganinya perjanjian sewa barang milik
negara”.Artinya ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi oleh pihak penyewa sebelum menandatangani perjanjian
sewa, yaitu” (1) menyetor uang sewa sekaligus secara tunai ke Kas umum negara, (2) penyetoran uang tersebut
dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan perjanjian sewa. Keharusan untuk
menyetorkan uang sewa tersebut ke Kas Umum Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur pula
dalam UU.No.20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 4 bahwa;270“ Seluruh Penerimaan
Negara 267 .Pasal 12 ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016. 268268 .Pasal 29 ayat (9) PP.No.27 Tahun 2014 269 .ibid ayat (9) 270 .Pasal 4
UU.No.20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukann Pajak.
217 Bukan Pajak wajib disetor ke Kas Negara.” Jadi ada 2 (dua) pelanggaran dalam pelaksanaan pemanfaatan
barang milik negara yang dilakukan oleh pengguna barang, yaitu tidak menyetorkan hasil sewa barang milik
negara ke Kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak dan menerima hasil sewa tidak sekaligus secara
tunai dari penyewa. Adanya temuan BPK terhadap indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna barang
dalam memanfaatkan barang milik negara dalam bentuk sewa apabila ditinjau dari norma pemerintahan dan
norma perilaku aparat mengandung cacat hukum. Cacat hukum apabila ditinjau dari norma pemerintahan karena
tidak sesuai dengan prosedur, dimana tindakan yang dilakukan oleh pengguna barang melanggar berbagai
peraturan perundang-undangan berkenaan dengan pemanfaatan barang milik negara. Sedangkan cacat hukum
apabila ditinjau dari norma prilaku aparat karena mengandung unsur maladministrasi yang berupa
penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir), mencakup diskriminasi yang tidak adil, tindak kekerasan,
menyesatkan warga masyarakat mengenai hak-haknya, tidak memberitahukan secara layak tentang hak-haknya
atau tidak menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keputusan, kesewenang-wenangan, dan penyalahgunaan
kewenangan”.271 Sedangkan cacat hukum karena tidak sesuai dengan prosedur dapat diartikan sebagai suatu
ketidaksempurnaan atau 271 .S.A De.Smith.1973 Constitutional And Administrative Law, Second Edition, Penguin Education,
England. Hlm.629.
218 ketidaklengkapan hukum, baik suatu peraturan, perjanjian, kebijakan atau suatu hal lainnya.272 Oleh karena
itu menurut hemat penulis, tindakan atau perbuatan pemerintah yang mengandung cacat hukum karena
kesalahan prosedur sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ataupun cacat hukum
karena mengandung unsur maladministrasi berupa penyalahguaan kewenangan membawa konsekuensi
tanggung jawab pribadi yang dapat melahirkan hak gugat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Secara hukum,
Terdapat 3 (tiga) bentuk tanggung jawab pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang atas
dugaan penyimpangan yang dilakukan dalam melaksanakan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk
sewa menyewa yang diindikasikan sebagai kerugian pada keuangan negara. Tanggung Jawab tersebut adalah;
Tanggung Jawab menurut hukum administrasi, Tanggung Jawab menurut hukum perdata, dan Tanggung Jawab
menurut hukum pidana. 1. Tanggung Jawab menurut Hukum Administrasi Pemanfaatan barang milik negara adalah
pendayagunaan barang milik negara yang tidak digunakan untuk penyelenggaran tugas dan fungsi
Kementerian/lembaga atau optimalisasi barang milik negar dengan tidak mengubah status kepemilikan. Salah
satu bentuk pemanfaatan barang 272 . Yahya Harahap.2006, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.16
219 milik negara adalah dalam bentuk sewa, yaitu, pemanfaatan barang milik negara oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.273 Pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk
sewa hanya dapat dilakukan terhadap barang milik negara idle, yaitu barang milik negara yang sedang tidak
digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau barang milik negara yang
digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerin/Lembaga. 274 Kegiatan pemanfaatan barang
milik negara idledalam bentuk sewa yang terkait langsung dengan bidang hukum administrasi adalah mengenai
prosedur dan tata cara pelaksanaan sewa barang milik negara yang intinya mengatur tugas pengelola barang
dan pengguna barang selaku pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang
milik negara, serta hak dan kewajiban pihak penyewa. Oleh karena prosedur dan tata cara sewa melibatkan dua
pihak, yakni pengelola barang/ pengguna barang dan pihak penyewa, maka hukum administrasi negara
mengatur hubungan hukum keduanya mulai dari proses pengajuan sewa oleh penyewa kepada pengelola
barang dan pengguna barang/kuasa pengguan barang sampai dengan menetapkan keputusan pelaksanaan
penyewaan oleh pengelola barang. Dalam proses tersebut, pengelola barang dan pengguna barang bertindak
sebagai pejabat negara yang mewakili negara sebagai badan hukum, dan bukan mewakili negara sebagai
individu atau 273 .Pasal 1 ayat (10) dan (11) PP.No 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. 274 .Pasal 3
PMK.No.250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan
Tugas Dan Fungsi Kementerian/Lembaga.
220 pribadi, sehingga semua keputusan yang dikeluarkan dalam proses tersebut merupakan keputusan pejabat
negara atau publik. Mengingat bahwa keputusan pengelola barang dan pengguna barang merupakan keputusan
pejabat negara, maka apabila ada pihak yang dirugikan seperti pihak penyewa atau masyarakat, akibat
dikeluarkannya keputusan tersebut, maka dapat mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan
tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau
rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata
Usaha negara, yaitu: “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi”. Jadi apabila mengacu pada Pasal 53 UU.No.9 Tahun 2004, pihak
yang memikul tanggung gugat terhadap gugatan atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pengelola
barang dan pengguna barang sebagai pejabat negara dalam kapasitas selaku wakil badan hukum ditujukan
pada badan hukumnya, yaitu badan hukum pemerintah. Dengan kata lain, badan hukum dibebani tanggung
gugat atas hal yang dilakukan organ-organnya, bilamana organ dalam kedudukannya sebagai organ itu telah
melakukan perbuatannya demi menunaikan tugas yang diberikan
221 kepadanya, atau dalam lingkungan formil dari wewenangnya.275Akan tetapi organ yang melakukan
perbuatan yang melanggar hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi, bilamana organ tersebut telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan statuta atau peraturan rumah tangga badan hukum, atau
perbuatan yang tidak sesuai dengan sikap kecermatan yang seharusnya dilakukan terhadap pihak yang
dirugikan.276 Terhadap temuan BPK yang mengandung indikasi kerugian negara yang dilakukan oleh pengelola
barang dan pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa, secara
administrasi dapat mengacu pada UU.No.15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan UU.No 15
Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 10 ayat (1)
UU.No.15 Tahun 2006 mengatur bahwa; “Badan Pemeriksa Keuangan menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan
oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
keuangan negara”. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa; “penilaian kerugian keuangan negara
dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan BPK”. Sedangkan Pasal 10 ayat (3) 275 .Ridwan HR,2014, Diskresi Dan Tanggung Jawab
Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.170 276. Ibid Ridwan HR, hlm 171
223 rekomendasi yang telah ditindaklanjuti tersebut, tentunya BPK tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan
investigatif untuk mengungkap lebih jauh adanya unsur pidana di dalamnya, dan tentunya BPK tidak perlu lagi
melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan. 277 Kecuali dalam waktu
60 hari ternyata rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian negara oleh para
pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, Maka berlaku Pasal 64 ayat (1) UU.No.1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan; ”Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara dan
pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara dapat dikenakan sanksi adminstratif
dan/atau sanksi pidana”. Berarti jika lewat batas waktu 60 hari tidak selesai ditindak lanjuti maka BPK akan
melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya dilaporkan kepada penegak hukum. 2. Tanggung Jawab menurut
Hukum Perdata Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara pengguna barang dengan pihak penyewa
sejak penandatanganan surat perjanjian sewa sampai dengan berakhirnya perjanjian sewa. Dalam proses ini
pihak yang menyewakan barang milik negara adalah negara yang diwakili oleh pemerintah dalam hal ini
pengguna barang atau pengelola barang, sedangkan pihak penyewa adalah; Badan Usaha Milik Negara, Badan
277 . Pasal 8 ayat (3),(4) UU.No.15 Tahun 2006 Tentang BPK.
224 Usaha Milik Daerah, Swasta, Unit penunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan/negara, dan Badan
Hukum lainnya. Pengertian sewa menyewa berdasarkan Pasal 1548 BW adalah; “Suatu persetujuan, dengan
mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain
selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.”
Sedangkan sewa barang milik negara menurut Pasal 1 angka 11 PP.No.27 Tahun 2014 dan Pasal 1 angka 7
PMK.No.57/PMK.06/2016 adalah;”pemanfaatan barang milik negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu
dan menerima imbalan uang tunai”. Berdasarkan definisi tersebut, maka jelas terlihat adanya konsensus antara
pihak-pihak, dimana pihak yang satu dan pihak yang lainnya setuju untuk melaksanakan sesuatu seperti yang
telah diperjanjikan. Atas dasar perjanjian itu pula, membuat para pihak merasa diikat satu sama lain, sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk memenuhi janji tersebut. Apabila mencermati
prosedur dan tata cara sewa barang milik negara sebagaimana yang diatur dalam PP.No. 27 Tahun 2014 dan
PMK.No.57/PMK.06/2016, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara sewa barang milik negara
dengan sewa menyewa pada umumnya, karena sewa menyewa pada umumnya para pihak bebas menentukan
kehendakanya, sedangkan pada sewa menyewa barang milik negara terdapat prosedur baku yang akan
menentukan sah
225 atau tidaknya perjanjian yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna dengan pihak penyewa, dan
syarat baku itu harus ditaati oleh keduanya, seperti pada penyewaan barang milik negara yang ada pada
pengelola barang, penyewaan baru dapat dilaksanakan apabila pengelola barang telah melakukan penelitian
mengenai kemungkinan penyewaan barang milik negara yang ada dalam pengelolaannya yang didasarkan pada
kebutuhan pengelola barang untuk melakukan penyewaan, dan kemungkinan kelayakan penyewaan
berdasarkan permintaan pihak penyewa. Sedangkan penyewaan barang milik negara yang ada pada pengguna
barang baru dapat dilaksanakan apabila telah diketahui dan disetujui oleh pengelola barang. Demikian pula
terhadap penyewa, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti; membayar uang sewa secara sekaligus paling
lambat 2 hari kerja sebelum ditandatanganinya surat perjanjian sewa, membayar seluruh biaya-biaya yang timbul
dari perjanjian termasuk biaya pemeliharaan, biaya yang timbul dari pemakaian dan pemanfaatan, serta
penyewa bersedia untuk tidak menggunakan barang milik negara yang disewakan untuk peruntukan selain dari
yang telah ditetapkan pengelola barang atau pengguna barang sesuai dengan perjanjian sewa. Yang pasti
adalah bahwa keduanya harus tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai sewa menyewa barang milik
negara, dan keduanya harus mengetahui dan memahami mengenai syarat-syarat baku yang telah ditetapkan,
sehingga keduanya pun tidak salah dalam melakukan kesepakatan, karena tujuan
226 dilakukannya penyewaan adalah tidak lain hanya untuk mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara
yang belum atau tidak dipergunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan
negara, serta mencegah penggunaan barang milik negara oleh pihak lain secara tidak sah. Oleh karena itu,
penyewaan barang milik negara dilakukan sepanjang tidak merugikan negara dan tidak mengganggu
pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi intinya adalah, baik pengguna
barang atau pengelola barang sebagai pihak yang menyewakan maupun siapa saja yang bertindak sebagai
pihak penyewa wajib melakukan pengamanan dan pemeliharaan terhadap barang milik negara yang disewakan
agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pemanfaatan maupun penggunaan barang milik negara.
Selain syarat baku yang telah disebutkan di atas, kedua belah pihak yakni pengelola barang atau pengguna
barang sebagai pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, juga harus memperhatikan ketentuan Pasal
1320 BW yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yang intinya harus memuat mengenai adanya
kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Khusus syarat kesepakatan yang merupakan
penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, maka tidak
terjadi perjanjian. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat
kemungkinan bahwa kesepakatan yang
227 telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak sehingga
memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian
tersebut.278 Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum bagi
pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut, akibat hukum yang dimaksud adalah hak dan
kewajiban antara keduanya, atau dengan kata lain apa yang menjadi hak bagi penyewa akan menjadi kewajiban
bagi yang menyewakan, demikian pula sebaliknya apa yang menjadi kewajiban penyewa tentunya akan menjadi
hak bagi pihak yang menyewakan. Oleh karena itu, agar hak dan kewajiban tersebut dapat diakui secara hukum,
maka harus pula dilaksanakan sesuai dengan hukum. Terkait dengan fakta dari hasil temuan BPK atas
pelaksanaan sewa menyewa barang milik negara, apabila hendak mengetahui mengenai pihak yang
bertanggung jawab apabila ada kerugian negara, dan apakah penyewa mempunyai hak untuk menggugat atas
kerugian yang dideritanya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata atau dengan alasan onrechtmatige overheidsdaad
yang dilakukan oleh pengguna barang selaku pihak yang menyewakan jika tiba-tiba dilakukan pemutusan
perjanjian. Untuk mengetahui hal itu, maka yang pertama harus dinilai adalah apakah ketika dilakukan perjanjian
pengguna barang bersama dengan pihak penyewa telah melaksanakan standar baku yang berlaku atas
penyewaan barang milik negara, dan 278 .Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontarak, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.17
228 apakah keduanya telah mematuhi syarat sah perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1320
BW. Jika menganalisis fakta dari hasil temuan BPK sebagaimana yang telah diuraikan di atas, nampak bahwa
pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa tidak mematuhi
prosedur dan tata cara sewa barang milik negara sebagaimana yang diatur dalam PP.No.27 Tahun 2014 dan
PMK.No.57/PMK.06/2016. Terhadap penyewaan tersebut, selain melanggar prosedur dan tata cara sewa barang
milik negara, juga telah melanggar Pasal 1320 BW tentang syarat sah perjanjian khususnya pada syarat objektif,
dan sebagai konsekuensinya pelaksanaan perjanjian yang dilakukan oleh pengguna barang dengan pihak
penyewa menjadi batal demi hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dengan demikian pihak
penyewa tidak dapat menuntut pengguna barang sebagai pihak yang menyewakan atas kerugian yang
dideritanya, baik dalam kapasitas pengguna barang sebagai wakil dari badan hukum maupun dalam
kapasitasnya sebagai pribadi. Akan tetapi tuntutan ganti rugi terhadap pengguna barang atas penyimpangan
yang dilakukan tetap harus diproses, dan jika terbukti melakukan kesalahan maka pengguna barang harus
bertanggung jawab untuk mengembalikan seluruh kerugian negara berdasarkan Pasal 1365 BW. Selain tuntutan
ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 BW, Penyelesaian kerugian negara diatur pula dalam
Pasal 59 ayat (2)
229 dan (3) UU. No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 59 ayat (2) mengatur; “bendahara,
pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat laian yang karena perbuatannya melanggar hukum atau
melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib
mengganti kerugian tersebut” Selanjutnya, Pasal 52 ayat (3) mengatur; Setiap pimpinan kementerian negara/
lembaga/ kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui
bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian
akibat perbuatan dari pihak manapun. Pengaturan mengenai penyelesaian ganti kerugian tersebut diatur lebih
lanjut oleh Pasal 62 ayat (1), dan Pasal 63 UU.No1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 62 ayat
(1) mengatur; pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, dan Pasal 63 mengatur; pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan
bendahara ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. 3. Tanggung Jawab menurut
Hukum Pidana. Dalam hukum pidana, parameter tanggung jawab pidana adalah asas kesalahan, yaitu tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld).279 Dalam doktrin, untuk adanya kesalahan harus
melakukan perbuatan hukum, mampu bertanggung jawab, perbuatan itu 279 .Amiruddin,2010, Korupsi Dalam Pengadaan
Barang Dan jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.94.

230 dilakukan dengan sengaja atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. 280Namun dalam praktik, khususnya
yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa konstruksi, parameter ini tidak mutlak
harus terpenuhi semua, seperti unsur mampu bertanggung jawab. Oleh sebab itu, parameter untuk adanya
tanggung jawab pidana dalam pengadaan barang dan jasa adalah melakukan perbuatan melawan hukum dan
melakukan penyalahgunaan wewenang, dan penyalahgunaan wewenang ini hanya dapat dilakukan oleh pejabat
atau badan pemerintah.281 Paket undang-undang tentang keuangan negara, yaitu UU. No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara dan UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, serta UU.No.15 Tahun
2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara, mengatur dengan jelas
mengenai sanksi pidana terhadap penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pasal 34
ayat (1) dan (2) UU.No.17 Tahun 2003 mengatur: (1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang
terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai ketentuan undang-
undang. (2) Pimpinan unit organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat daerah yang
terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang 280 . ibid., hlm
96 281 .Russel Butarbutar,2015, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa
Pemerintah,Gramata Publishing, Bekasi, hlm.174.

232 menegaskan; ”apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi,
ketentuan tersebut disyaratkan adanya terlebih dahulu pemeriksaan investigatif oleh BPK yang menemukan
adanya indikasi pidana terhadap perbuatan yang merugikan keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 13 UU.No.15 Tahun 2004, dan terhadap ketentuan Pasal 13 tersebut terdapat pertentangan dengan Pasal
8 ayat (3) UU.No.15 Tahun 2006 Tentang BPK, yang mengatur bahwa; “dalam hal pemeriksaan ditemukan unsur
pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui
adanya unsur pidana tersebut, dan ayat (4) mengatur, laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh
pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya tidak diperlukan
pemeriksaan lain berupa pemeriksaan investigatif jika ternyata hasil pemeriksaan BPK ditemukan adanya
indikasi pidana terhadap kerugian keuangan negara, karena pemeriksaan investigatif dilakukan berkenaan
adanya dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas UU. No. 31 Tahun 1999. Adanya pertentangan dari bunyi pasal kedua undang-undang tersebut
di atas, berdampak pada kebijakan yang berkaitan dengan
233 pengembalian kerugian negara. Hal ini diakui oleh Ngakan Putu Tagel, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara Sulawesi Selatan, Barat, Dan Tenggara (KANWIL DJKN SULSEBARTRA),
berdasarkan hasil wawancara, Tanggal 4 April 2016 mengatakan; 283“selama ini yang ditempuh oleh DJKN dalam
menyikapi laporan hasil pemeriksaan BPK apabila ada indikasi kerugian negara akibat adanya penyimpangan
yang dilakukan oleh pengguna barang maupun pengelola barang adalah fokus pada pengembalian kerugian
negara, disamping pemberian hukuman disiplin berat yaitu pemberhentian, dan untuk sanksi pidana, sampai saat
ini belum ada yang diproses ke pengadilan. salah satu alasannya adalah adanya multitafsir dalam UU.No.1
Tahun 2004, UU.No.15 Tahun 2004, dan UU,No,15 Tahun 2006 dalam hal pemberian sanksi. Selain ketiga paket
undang-undang tentang keuangan negara yang disebutkan di atas, tanggung jawab pidana terhadap kerugian
keuangan negara juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya Pasal 423 KUHP
mengatur; “Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Selanjutnya dalam Pasal 345 KUHP mengatur; “Seorang
pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam pemborongan, penyerahan
atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan untuk
mengurus dan mengawasinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak delapan belas ribu rupiah”. 283 .Hasil wawancara dengan Ka.Kanwil Sulselbartara, Tanggal 4 April 2016
234 Masih terkait dengan sanksi pidana atas kerugian negara sebagai akibat dari penyimpangan yang dilakukan
oleh pengelola barang atau pengguna barang atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa
berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 TentangTindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR), BAB II Pasal 2
ayat (1) mengatur;284”setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya Pasal 3 UU. No. 31 Tahun 1999 mengatur; 285“Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 4
UU. No .31 Tahun 1999 mengatur; ”pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3. Adanya
berbagai aturan yang mengatur mengenai sanksi pidana atas kerugian negara sebagai akibat adanya indikasi
penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang, dapat dijadikan 284 .Pasal 2 Ayat (1)
UU.No.31 Tahun 1999. Tentang Tindak Pidana Koripsi 285 .Pasal 3 UU.No.31 Tahun 1999
235 sebagai pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan bebagai tindakan baik berupa
pengamanan, pengusutan, maupun penyelidikan atas adanya indikasi penyimpangan terhadap pemanfaatan
barang milik negara. Ketiga bentuk pertanggungjawaban yang telah dikemukakan di atas, apabila dikaitkan
dengan tanggung jawab pengelola barang dan pengguna barang atas indikasi penyimpangan terhadap
pemanfaatan barang milik negara pada faktanya cenderung tidak terlaksana dengan baik terutama dalam hal
tanggung jawab pidan, karena sampai saat ini Indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan
pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara dalam bentuk sewa belum ada
yang diproses sampai ke pengadilan. Hal ini disebabkan kewajiban administrasi pengelola barang dan pengguna
barang yang diindikasikan melakukan penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa
dianggap sudah selesai apabila yang bersangkutan telah menindaklanjuti rekomendasi dari laporan hasil
pemeriksaan BPK berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Demikian pula terhadap
pertanggungjawaban perdata, jika pengelola barang telah mengembalikan seluruh kerugian keuangan negara
akibat penyimpangan yang dilakukan berdasarkan Pasal 1365 BW, Pasal 59 ayat (2) dan (3) UU. No. 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara, maka dianggap pertanggung jawaban perdatanya telah selesai,
sehingga dengan terlaksananya kedua
236 pertanggungjawaban tersebut, maka kepada pengelola barang dan pengguna barang tidak perlu lagi
dilaporkan atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Jika mengacu pada 3 paket undang-undang tentang
keuangan Negara, yakni UU. No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU. No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU. No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan tanggung Jawab
keuangan Negara, serta peraturan lain seperti Pasal 345, dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU .No. 31 Tahun 1999, maka tidak ada alasan bagi aparat penegak
hukum untuk tidak memproses secara pidana terhadap indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola
barang dan pengguna barang atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa, karena dalam praktek
yang dilakukan selama ini adalah jika yang bersangkutan telah mengembalikan kerugian keuangan negara,
maka kewajibannya dianggap telah selesai, dan kepada yang bersangkutan tidak dilaporkan lagi kepada pihak
yang berwenang (aparat Penegak hukum). Padahal pengembalian keuangan negara merupakan pintu masuk
bagi aparat penegak hukum untuk memproses lebih lanjut mengenai ada atau tidaknya tindak pidana yang
dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang sebagai pejabat yang diberi kewenangan untuk
melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa.
237 Teori tanggung jawab hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kesediaan dari subjek
hukum atau pelaku tindak pidana untuk memikul biaya atau kerugian atau melaksanakan pidana atas
kesalahannya maupun karena kealpaannya. Teori ini dikembangkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa
seorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab
hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan. Teori tanggung
jawab hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam membahas rumusan masalah ketiga dalam disertasi ini,
atas dasar pembagian tanggung jawab yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori tradisionalnya yang
membagi pertanggung jawaban menjadi dua yaitu pertanggung jawaban individu dan pertanggung jawaban
kolektif. Menurut Hans Kelsen pertanggung jawaban individu adalah pertanggung jawaban terhadap pelanggaran
yang dilakukan sendiri, sedangkan pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Terhadap pembagian pertanggungjawaban seperti
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori tradisionalnya, jika dikaitkan dengan pertanggung jawaban atas
penyimpangan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang dapat merugikan keuangan negara dapat
dibebankan kepada pengguna barang dan pengelola barang secara pribadi dalam kapasitasnya sebagai pejabat
negara yang diberi kewenangan untuk
238 melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara jika dalam pelaksanaan pemanfaatan barang milik
negara tersebut telah melakukan tindakan diluar dari kewenangannya. Akan tetapi tindakan pengelola barang
dan pengguna barang dapat dipertanggungjawabkan oleh jabatannya jika telah melakukan tindakan sesuai
dengan kewenangan yang diberikan.
239 BAB VPENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian kesempatan kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan BMN idle sebelum 3 (tiga) tahun
sejak dinyatakan terindikasi idle belum efektif, efisien, dan optimal, sehingga belum dapat berkontribusi terhadap
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal tersebut disebabkan oleh karena pengelola barang memberikan
kewenangan penuh atas rencana pemanfaatan barang milik negara idle kepada pengguna barang, sehingga
dengan kewenangan tersebut pengguna barang memiliki kekuasaan penuh atas barang milik negara yang ada
pada Kementerian/ Lembaga yang dipimpinnya, disamping itu tidak ada peraturan yang mengatur mengenai
keharusan bagi pengguna barang untuk melaporkan adanya barang milik negara idle, karena sampai saat ini
Kementerian Keuangan selaku pengelola barang masih fokus pada inventarisasi barang milik negara sehingga
terkesan mengabaikan pemanfaatannya. Teori kebijakan publik tidak dapat dijadikan sebagai pisau analisis
dalam memecahkan rumusan masalah pertama, karena 241 sebagai pisau analisis dalam membantu mengkaji
permasalahan mengenai bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara, karena pengawasan
sesungguhnya bertujuan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana yang
digariskan dan apa kesulitan serta kelemahan-kelemahan dalam bekerja, kemudian mencari jalan keluar untuk
menyelesaikannya 3. Paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan berbagai peraturan perundang-
undangan lainnya telah cukup untuk memproses pengguna barang dan pengelola barang terhadap indikasi
penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara idle yang dapat merugikan keuangan negara, sehingga
tanggung jawab keduanya dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu; tanggung jawab menurut hukum
administrasi, tanggung jawab menurut hukum perdata, dan tanggung jawab menurut hukum pidana. Teori
tanggung jawab hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam membahas rumusan masalah ketiga dalam
disertasi ini, atas dasar pembagian tanggung jawab yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori
tradisionalnya yang membagi pertanggung jawaban menjadi dua yaitu pertanggung jawaban individu dan
pertanggung jawaban kolektif B. Saran 1. Agar pemanfaatan barang milik negara idle dapat efektif, efisien, dan
optimal, hendaknya kewenangan pengguna barang atas

242 rencana pemanfatan BMN idle dibatasi, karena dengan kewenangan tersebut pengguna barang memiliki
kekuasaan penuh atas pemanfaatan barang milik negara, mengakibatkanKementerian Keuangan sebagai
pengelola barang kehilangan fungsinya untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. 2. Oleh
karena luasnya jangkauan dan kewenangan yang dimiliki BPK dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan
terhadappemanfaatan BMN sebagai bagian dari tanggung jawab pemeriksaan dan pengelolaan keuangan
negara, Hendaknya BPKP dan IRJEN diberi kewenangan khusus sebagai pengawas eksternal yang independen
dalam melakukan pengawasan terhadappemanfaatan BMN. 3. Hendaknya aparat penegak hukum lebih aktif
menindak pejabat yang diduga melakukan penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara, karena paket
Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan peraturan perundang-undangan lainnya telah cukup dijadikan
sebagai payung hukum untuk memproses adanya indikasi penyimpangan atas pemanfaatan barang milik
negara.
243 DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad. 2001. Etika Profesi Hukum. Citra Aditya Bhakti: Bandung.
___________. 1986. Hukum Perjanjian. Alumni: Bandung._____________. 2000. Hukum Perdata Indonesia. PT.Citra
Aditya: Bandung. Abdul Manan. 2005. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Abdul Latief. 2005. Hukum dan peraturan Kebijaksanaan (belseidsregel) Pada Pemerintahan Daerah. UII Pers: Jogjakarta
Adrian Sutedi. 2010. Hukum Keuangan Negara. Sinar Grafika: Jakarta. Agus Yudha Hernoko. 2010.Hukum
Perjanjian, Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Agustina Rosa.
2003. Perbuatan Melawan Hukum. Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Ahmadi Miru. 2007.
Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Aminuddin Ilmar. 2013 . Hukum Tata
Pemerintahan. Identitas .Unhas: Makassar. Amiruddin. 2010. Korupsi dalam pengadaan Barang dan Jasa. Genta
Publishing: Jogyakarta. Anton M.Moelino,dkk, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Anonim. 2005. Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia. Arifin P.
Soeria Atmadja. 2013. Keuangan Publik dalam Persfektif Hukum, Teori, Praktik, dan Kritik, Edisi Ketiga.
PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta
244 ___________. 2004. Kedudukan dan Fungsi BEPEKA dalam Struktur Ketatanegaraan RI. Pemeriksa Majelis
Triwulan BEPEKA: JakartaBagir Manan. 1994. Asas Tata Cara dan Tekhnik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan Peraturan Kebijakan. Departemen Pertambangan dan Energi: Jakarta. _________. 1992. Dasar-Dasar
Perundang-Undangan Indonesia. Ind-Hil.Co: Jakarta. __________. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Suatu Negara. Mandar: Bandung. Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1987. Peranan Peraturan Perundang-Undangan
dalam Pembinaan Hukum Nasional. Armico: Bandung. C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil. 2008. Hukum
Keuangan & Perbendaharaan Negara. PT.Pradnya Paramita: Jakarta. E. Suherman. 1979. Masalah Tanggung
Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan beberapa Masalah Lain dalam Bidang penerbangan, Cetakan ke 2.
Aumni: Bandung. Fred N.Kerlinger. 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta . Gunawan Widjaja. 2002. Pengelolaan Harta Kekayaan Negara. PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Hans Kelsen. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. 2013. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Nusa Media:
Bandung. Hatta Ali. 2014. Sistem pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. H.P.
Panggabean. 2010. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan
Perjanian, Liberty, Yogyakarta. Herri Waloejo. 2011. Penggunaan dan Pemanfaatan BMN. Mitra Wacana Media:
Jakarta. H.D.Van Wijk Willem Konijnenbelt. 1995. Hoofdstukken van Administratief Recht. Uitgeverij Lemma BV.
Utrecht.
245 Indroharto. 1993. Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negraa, Buku I. Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta. Jan Gijssel And Mark Van Hoecke. 1982. Wat Is Rechtsteorie?. Kluwer: Antwerpen. J. Satrio.
1995. Hukum Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. Buku II. PT.Citra Aditya Bakti: Bandung. ________. 1992. Hukum
Perjanjian ( Perjanjian Pada Umumnya). PT.Citra Aditya Bakti: Bandung. Juhaya S. Praja. 2011. Teori Hukum dan
Aplikasinya. Pustaka Setia: Bandung. Koesnadi Hardjosoemantri. 1998. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada
University, Press: Yogyakarta. Lili Rasjidi dan I.B.Wyasa Putra.1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja
Rosdakarya: Bandung. Maria S.W Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.
Kompas: Jakarta. Masyhur Efendi. 1994. Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum
Internasional. Ghalia Indonesia: Jakarta. Michael Howlett and Ramesh. 1995. Studying Public Policy : Policy Cycles
And Policy Subsystem. Oxford University Press: Toronto. M.Irfan Islami. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan
Negara.PT.Bumi Aksara: Jakarta. M. Solli Lubis. 2007. Kebijakan Publik. Mandar Maju: Bandung. M. Yahya
Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika: Jakarta. Mc. Kinney, Jerome.B.
1986. Effektive Financial Management In Public an Non Profit Agencia A Praticaland Integrated Approach. Connecticut:
Grenwood Press Inc. Muh.Hatta. 1977. Penjabaran Pasal 33 UUD 1945. Mutiara: Jakarta
246 Muin Fahmal. H.A. 2008. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Bersih. Kreasi Total Media: Yogyakarta Mukmin Zakie. 2013.Kewenangan Negara dalam pengadaan Tanah.
Buku Litera: Yogyakarta Munir Fuadi. 2013. Teori-Teori Besara (Grand Theory) dalam Hukum.Kencana
Prenadamedia Group: Jakarta Muladi. 1991. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. STIH: Bandung.
Paulus Efendi Lotulung. 1994. Perbandingan Hukum Administrasi Negara, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik.Aditya Citra Bakti: Bandung. Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum.
Kencana Prenada Media Group: Jakarta. . ___________. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media
Group: Jakarta. Philipus M.Hadjon. 2010. Hukum Administrasi dan Good Governance. Universitas Trisakti: Jakarta
_____________, dkk. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative
Law). Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. _____________. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di
Indonesia.Bina Ilmu: Surabaya. P. Nicolai, et.al. 1994. Bestuursrecht. Amsterdam. Prajudi Atmosudirjo. 1981.
Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia: Jakarta. Purwahid Patrik. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan.
Mandar Maju: Bandung. ______________.1986. Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian.Undip: Semarang
R. Setiawan. 1992. Hukum Perjanjian. Aditya Bakti: Bandung.
247 _________. 1992. Aneka Perjanjian. Aditya Bakti: Bandung _________.1987. Pokok-Pokok Hukum Perikatan.
Bina Cipta: Bandung. ________. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa: Jakarta. Ridwan HR. 2006.
Hukum Administrasi. PT.RajaGrafindo: Persada. Jakarta. Ridwan Khairandy. 2013. Hukum Kontrak Indonesia dalam
Persfektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press: Yogyakarta __________. 2004. Diskresi dan Tanggung Jawab
Pemerintah. FH, UI, Press: Yogyakarta. Riant Nugroho Dwijowijoto. 2006. Kebijaksanaan Publik Untuk Negara-
Negara Berkembang.PT. Elex Media Komputindo: Jakarta Russel Butarbutar. 2015. Pertanggungjawaban Korporasi
dalam Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Gramata Publishing: Bekasi. S.A.De. Smith.
1973. Constitutional And Administrative Law. Secon Edition, Penguin Edukation: England. Salim HS. 2003. Hukum
Kontrak, Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak.Sinar Grafika: Jakarta. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani 2014.
Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi.(Buku Kedua). PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta.
___________.2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. (Cetakan Kesatu) PT. RajaGrafindo
Persada: Jakarta. Satjipto Raharjo. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia.Kompas: Jakarta. _________.
1980. Hukum dan Masyarakat. Angkasa: Bandung. Setyo Pamungkas, dkk. 2010. Tipikorasi Kontrak Kerja
Konstruksi- Tinjauan Normatif Atas Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi dengan Menggunakan Hukum Pidana.
Universitas Kristen, Setya Wacana. Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen. Edisi Revisi, Gramedia
Widiasarana Indonesia: Jakarta.
248 S.F. Marbun. Dkk. 2001. Hukum Administrasi/Dimensi-Dimensi Pemikiran. UII Pers: Jogjakarta . Soebarsono.
2010. Analisis Kebijakan Public : Konsep, Teori, dan Aplikasi. Pustaka pelajar: Yogyakarta. Soerjono Soekanto. 1987.
Pengantar Penelitian Hukum. UI Press: Jakarta. Soehino. 1998. Ilmu Negara. Liberti: Yogyakarta. Soetandyo
Wignjosoebroto. 1980. Hukum dan Metode-Metode Kajiannya(Makalah). BPHN: Jakarta. Sony Keraf. 1998. Etika
Bisnis Tuntunan dan Relevansinya. Kanisius: Yogyakarta. Sri Soemantri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi, Alumni: Bandung. Sunaryati Hartono. 2003. Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia, Komisi
Ombudsman Nasional: Jakarta. Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Grafiti Press:
Jakarta. Supriyadi. 2010. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah. PT. Prestasi Pustakarata: Jakarta. Wolfgang Friedman.
1990. Teori dan Filsafat Hukum. Telaah Kritis atas Teori Hukum.Diterjemahkan oleh Muh.Arifin: Rajawali. Yahya
Harahap. 2006.Hukum Acara Perdata. Sinar Garafika: Jakarta. Yuli Indrawati. 2013. Reposisi dan Refungsionalisis
Aparatur Pengawas Internal Pemerintah. PT. RajaGrafindo Persada. Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara. Perpres Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang dan jasa. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara. Paraturan Menteri
Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak/Belum
Dipergunakan untuk Tugas Pokok Kementerian /Lembaga. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/ PMK.05/2007 Tentang Sistim Akuntansi Dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah. Lampiran I Keputusan Menteri Keuangan Nomor 218/KM.6/2013 Tentang Pelimpahan
Sebagian Wewenang Menteri Keuangan Yang Telah Dilimpahkan Kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Kepada Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Untuk Dan Atas nama Menteri Keuangan.
Majalah, Jurnal, Makalah, Artikel, Dan karya Ilmiah Lainnya. Media Kekayaan Negara, Era Baru Pengelolaan Barang
Milik Negara.Edisi No.02 Tahun/2010. __________, Public-Private Partnership. Edisi No.17 Tahun V/2014.

250 ___________, Refleksi Dan Apresiasi Pengelolaan Barang Milik Negara Pada Kementerian/Lembaga. Edisi No.11
Tahun III/2014. __________, Integrasi Perencanaan Dan penganggaran Barang MilikNegara Menuju Efisiensi Dan
Optimalisasi APBN. Edisi No.04 Tahun II/2014. ___________, Mewujudkan Kordinasi Terintegrasi Untuk
Penyelamatan Barang Milik Negara. Edisi No. 10 Tahun III/2012. ___________, Peranan KPKNL Dalam Penetapan Dan
pengelolaan BMN Idle, Edisi. No.07 Tahun III/2012 Media Keuangan Negara, Transparansi Informasi Kebijakan
Fiskal, Volume VIII No. 71/ Juli 2013. Kompas, 17 April 2014. Karut Marut Mengurus Aset Negara. Arifin P soeria
Atmadja, 14 September 2000. Pemberdayaan Lembaga Pengawas Internal Menuju Good Governance, Makalah,
Disampaikan dalam Seminar Yang Diselenggarakan olehForum Indonesia Satu. Jakarta, 14 September 2000.
Indriyanto Seno Adji, 02 Desember 2010. Korupsi: Kebijakan Aparatur Negara?, Makalah Pada Rakernas Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Jakarta. Rani Vebrianti, 2009. Analisis pengusahaan Pertambangan
Oleh Badan Usaha Milik Negara, Thesis: UI. Tatiek Sri Djatmiati, 24 November 2007. Perizinan Sebagai Instrumen
Yuridis dalam Pelayanan Publik, Pidato Disampaikan Pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum
Administrasi Pada Fakultas Hukum Unair. Surabaya. Makalah, 25-29 Januari 2016. Pengelolaan Barang Milik
Negara,Disampaikan Pada Rakernas Ke-2 Kementerian KeuanganRI. Bali. Modul Pemanfaatan Barang Milik
Negara, 2010. Kebijakan Pemanfaatan Barang Milik Negara, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
Kementerian Keuangan RI: Jakarta.
251 Kamus Andi Hamzah, 1986. Kamus Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta. Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary,
Eight Edition. Thomson West: USA. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1989.Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. W.J.S. Poerwadarminta. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia,Edisi Ketiga. Balai
Pustaka. Jakarta. Website Arif Setiadi, Artikel, Sudah Sepatutnya Korporasi Dimintai Pertanggungjawaban
Pidana, 2013. http:// News. Okezone.com/read/2013/07/30/339/844616 diakses pada tanggal 09 Januari 2016.
Antarnews. http:// Antarnews. Com. http:// Idtesis.com/ teori-kebijakan-publik/ diakses pada tanggal 27 Mei 2015.
http:// tarbiyahpujangga.blogspot.co.id // konsep dasar-pengawas diakses tanggal 9 Agustus 2015.
http://ebooking.com/pdf/pengawasan-dan-pengendalian-barang-milik negara diakses pada tanggal 6 Februari
2014. http://dedoubeyou.wordpress.com/2013/02/15/strategi pengelolaan-barang-milik-negara-iii/ diakses tanggal
10 Maret 2014. http://dglengu.blogspot.ci.id/2014/02/pengawasan dan pengendalian-bmn-html diakses pada
tanggal 5 Februari 2014. http://huda-drchairulhudasshmh.blogspot.co.id/2014/03perbuatan-melawan-hukum-html
diakses pada tanggal 20 Februari 2015. http://parismanalush.blogspot.com diakses pada tangga 5 Juni 2013.
http://www.Stialan.ac.id>artikel.Akuntabilitas-keuangan-negara STIALAN.Jakarta diakses pada tanggal 9
September 2015. http://muhammadahsanthamrin.blokspot.co.id/2016/02/tindak-lanjut-temuan-kerugian-
negara.html diakses pada tanggal 1 Maret 2016.

252 Pemanfaatan Barang Milik Negara Diperoleh Dari http:// barang-milik-negara.blogspot.com/ 2012/04//
pemanfaatan-barang-milik-negara html#UexIw7 diakses pada tanggal 20 Juli 2013 . Laporan penilaian Barang
Milik Negara kepolisian Negara RI, 2013. Biro Sarpras Polda, Sulawesi-Selatan Profil DJKN (Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara) Jeihan’s blog http// Jeihanyudanto 1992.wordpress.com. diakses pada tanggal 12 Maret
2012. www.bapenas.go.id.”Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah”. Sebuah Tinjauan diakses pada
tanggal 11 November 2015. www.teori Pengawasan.Unicom.ac.id. diakses pada tanggal 2 November 2013.
Sumber Lain. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Tahun Anggaran 2010-2015, diolah kementerian
keuangan Republik Indonesia. ___________,Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sewa Barang Milik Negara,
Audited 2015, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. __________, Penerimaan Negara Bukan Pajak Sewa
Barang Milik Negara 5 (Lima) Tahun Terakhir, Audited 2010-2015. Kementerian keuangan Republik Indonesi
Sri Mulyani Minta Barang Milik Negara Menganggur Dimanfaatkan Menteri Keuangan Sri
Mulyani berbincang dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sebelum
rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin
(23/10/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A. Menteri Keuangan Sri Mulyani
berbincang dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sebelum rapat
kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin
(23/10/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A. Oleh: Abdul Aziz - 2 November 2017
Dibaca Normal 1 menit Sri Mulyani menyebut, BMN yang selama ini tidak digunakan
dengan baik akan memberikan kerugian riil maupun materiil. tirto.id - Menteri Keuangan
(Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta kepada kementerian dan lembaga negara untuk
mendorong optimalisasi pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) agar tidak menganggur
dan bisa memberikan nilai tambah. Pernyataan Sri Mulyani tersebut sebagai respons atas data
yang dipaparkan Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Isa Rachmatarwata yang mengatakan
dari sekitar 408.000 unit BMN yang direvaluasi pada 2017, sebanyak 1.000 aset tersebut
tidak berfungsi secara optimal atau menganggur. “Saya minta kepada seluruh pengelola BMN
untuk terus memanfaatkan barang milik negara yang masih idle, tidak tergunakan atau tidak
termanfaatkan,” kata Sri Mulyani dalam acara refleksi dan apresiasi pengelolaan BMN pada
kementerian dan lembaga di Jakarta, seperti dikutip Antara, Kamis (2/11/2017). Sri Mulyani
berkata, BMN yang selama ini tidak digunakan dengan baik akan memberikan kerugian riil
maupun materiil, karena barang tersebut tidak mempunyai nilai lebih untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. “Kalau idle maka dia memberikan kerugian banyak, yakni
kerugian pemeliharaan setiap tahun, kemudian kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan
BMN bagi kegiatan ekonomi dan memajukan kesejahteraan rakyat,” kata Sri Mulyani.
Padahal, kata Menkeu, pemanfaatan BMN secara optimal juga dapat berguna untuk
menambah penerimaan negara bagi sektor penerimaan negara bukan pajak, asalkan
penggunaannya dilakukan sesuai tata kelola. Saat ini, kata Sri Mulyani, masih banyak
kementerian lembaga yang beranggapan tidak penting menggunakan BMN, asalkan aset
tersebut telah tercatat dalam pembukuan, sehingga mengurangi makna atas pemanfaatan
BMN. “Mohon untuk seluruh KL jangan berpikir ego-nya KL sendiri-sendiri, karena ini
mengurangi makna kita atas pengelolaan BMN secara optimal,” kata mantan Direktur
Pelaksana Bank Dunia ini. Untuk itu, Sri Mulyani meminta Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara untuk memperbaiki proses bisnis kementerian lembaga agar tidak ada lagi BMN yang
"menganggur" dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum. “DJKN harus memperbaiki
agar BMN bisa menghasilkan penerimaan langsung melalui PNBP, apakah disewakan,
digunakan, guna pakai, dan lainnya. Ini program prioritas DJKN untuk memonitor
inventarisasi dengan baik,” kata Sri Mulyani. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara mencatat jumlah nilai BMN yang dibiayai melalui APBN hingga 31 Desember 2016
telah mencapai Rp2.188 triliun atau sekitar 40,1 persen dari keseluruhan total aset negara
sebesar Rp5.456 triliun. Baca juga artikel terkait KEKAYAAN NEGARA atau tulisan
menarik lainnya Abdul Aziz (tirto.id - Ekonomi)

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "Sri Mulyani Minta Barang Milik Negara
Menganggur Dimanfaatkan", https://tirto.id/sri-mulyani-minta-barang-milik-negara-
menganggur-dimanfaatkan-cztB.

Follow kami di Instagram: tirtoid | Twitter: tirto.id

https://tirto.id/sri-mulyani-minta-barang-milik-negara-menganggur-dimanfaatkan-cztB

Anda mungkin juga menyukai