Anda di halaman 1dari 8

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang akan


mengkaji hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
keuangan negara dan keuangan daerah. Karena penelitian ini merupakan penelitian
normatif yang berupa studi pustaka, maka data dalam penelitian ini adalah data
yang diperoleh dari studi pustaka yang akan menghasilkan bahan hukum primer
dan sekunder. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang
terkait
dengan permasalahan yang diteliti, terutama UUD 1945, UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan
dan Tanggungjawab Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan
Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Bahan hukum berupa buku-buku literatur, disertasi, jurnal yang relevan,
risalahrisalah
sidang DPR, tulisan-tulisan ilmiah, hasil-hasil seminar, penelitian terdahulu,
internet, artikel, dan lain-lain. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis.
Pengumpulan bahan
hukum dilakukan melalui studi pustaka. Dalam penelitian ini, bahan-bahan yang
terkumpul akan dianalisis secara kualitatif.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengartikan pemerintah daerah sebagai


kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif
daerah. Daerah otonom menurut undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan negara Republik Indonesia.
Secara yuridis formal, landasan hukum dari penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia adalah Pasal 18 UUD 1945 yang mengamanatkan beberapa hal
yaitu:33 1. Bahwa negara Republik Indonesia terdiri atas daerah propinsi,
daerahpropinsi terdiri atas daerah kabupaten dan kota yang mempunyai
pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang; 2. Pemerintah daerah tersebut baik
propinsi maupun kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; dan 3. Susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Dari segi analisis hukum dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 32


Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, daerah mempunyai
peluang
besar untuk menjabarkannya dalam tatanan operasional. Undang undang tidak
dapat
dilaksanakan tanpa ada peraturan pelaksanaan. Dalam konteks ini otonomi daerah
mempunyai arti kebebasan untuk melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain
daerah mempunyai peluang untuk merumuskan langkah langkah pembangunannya
sejalan dengan kepentingan negara kesatuan serta tidak berbenturan dengan
undang
undang yang berlaku meliputi pengaturan atau perundang undangan sendiri,
pelaksanaan sendiri. Dengan demikian daerah otonom adalah daerah yang berhak
dan berkewajiban mengatur mengurus rumah tangganya sendiri. Salah satunya
adalah pengelolaan keuangan daerah.47

Sementara itu, Lawrence Freidman menyebut lima fungsi dari sistem


hukum. Pertama, sebagai sistem kontrol. Dengan kata lain, sistem hukum berkaitan
dengan perilaku yang mengontrol. Kedua, fungsi hukum sebagai penyelesaian
sengketa (dispute settlement). Dengan kata lain sistem hukum adalah
agen pemecah konflik dan juga agen penyelesaian sengketa. Ketiga, fungsi redistribusi
(redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering).
Fungsi ini mengarahkan penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan
sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah. Keempat, hukum
berfungsi sebagai pemelihara sosial (social maintenance). Kelima, hukum berfungsi
mengawasi penguasa itu sendiri.i

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat selalu berkembang (berubah), karena hal tersebut
merupakan fenomena yang wajar dalam masyarakat. Perubahan sosial hanya bisa diamati,
diketahui, atau dikemukakan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur,
dan institusi suatu perikehidupan tertentu dimasa lalu, dan sekaligus membandingkannya
dengan susunan, struktur, dan institusi suatu perikehidupan di masa kini, tidak ada masyarakat
yang tidak berubah, semua masyarakat bersifat dinamis, hanya laju dinamikanyalah yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, walau dikenal juga masyarakat statis dan
masyarakat dinamis.ii

Perkembangan (perubahan) masyarakat biasanya diidentikkan dengan pembangunan.


Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya
adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan
kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Dengan
pemahaman seperti itu, pembangunan disejajarkan dengan kata “perubahan sosial”.iii

Hukum yang berkembang dalam masyarakat bukanlah hukum yang statis melainkan hukum
yang dinamis. Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata cuma seperangkat aturan statis
melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan
keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat baik masyarakat tradisional
maupun masyarakat modern, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat.
Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakterisitik sosial,
maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu senantiasa produk
konflik.iv

i
Lawrence Friedman, 2001, American Law an Introduction, Second Edition, diterjemahkan
oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa,
Jakarta, hal. 11-18.

ii
Sabian Utsman. Dasar-dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat. Pustaka Pelajar
Yokyakarta. 2009. H. 201. Lihat juga Abdulsyani. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan . Bumi Aksara. Jakarta.
H. 162 yang mengemukakan bahwa perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial dan kehidupan
masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru
iii
Mansour Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan globalisasi. Insist Press. Yokyakarta. 2009. H. 9
iv
Sabian Utsman. Op. Cit. h.188

Perumusan kebijakan tata ruang kota sangat penting untuk dapat menentukan arah pengaturan penggunaan
lahan daerah perkotaan sesuai dengan pendekatan ekonomi yang digunakan untuk masing-masing ukuran
kota optimal. Untuk kota-kota yang pengukuran optimalnya berdasarkan prinsip biaya minimum maka pola
tata guna lahan yang diperlukan harus dilakukan dengan cara sangat efisien agar biaya pengelolaan kota
menjadi minimum. Akan tetapi, untuk kota optimal yang pengukurannya berdasarkan prinsip maksimum
keuntungan bersih maka penggunaan lahan juga harus diarahkan pada perwujudan lingkungan perumahan
dan fasilitas pelayanan sosial yang menyenangkan. Sedangkan untuk kota-kota optimal yang pengukurannya
didasarkan pada prinsip keuntungan masksimum, pola penggunaan lahan yang diperlukan seharusnya sesuai
dengan keperluan bisnis, baik di bidang industri, perdagangan dan jasa. (Analisis Ekonomi Regional dan
Penerapannya di Indoensia; Sjafrizal; Rajawali Pers, Depok; 2018; hal 354)

Tidak dapat disangkal bahwa pembangunan ekonomu kota merupakan unsur penting dalam pembangunan
wilayah. Alasannya jelas karena kota umumnya merupakan pusat kegiatan ekonomi sektor modern, yaitu
industri, perdagangan dan jasa. Kegiatan ini mempunyai kaitan yang erat dengan sektor pertanian, baik
sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar. Ini berarti terdapat kaitan yang erat antara
perekonomian kota dengan wilayah yang umumnya merupakan daerah pertanian. Karena itu, mengikuti
pemikiran Francois Perroux tidak salah kiranya bila banyak literatur ilmu ekonomi regional mengatakan bahwa
kota disamping pusat pelayanan, juga berfungsi sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tertentu (Friedman and alonso, 1976, dan Benjamin Higgins and
Donald J.Savoie, 1995, Bab 6) ((Analisis Ekonomi Regional dan Penerapannya di Indoensia; Sjafrizal; Rajawali
Pers, Depok; 2018; hal 374)
Sama halnya dengan kabupaten dalam era otonomi kota diberikan kewwenangan yang sangat besar untuk
menggali dan mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi kota harus
mengacu kepada fungsinya baik sebagai pusat pertumbuhan ekonomi maupun pusat pelayanan masyarakat,
tidak hanya bagi warga kota, tetapi juga penduduk bagi wilayah sekitarnya. Ini berati bahwa perumusan
kebijaksanaan pembangunan kota perlu disusun secara tekait dan terpadu dengan memperhatikan arah dan
kebijaksanaan pembangunan kabupaten sekitarnya dan provinsi dimana kota itu berada.
Dibandingkan dengan pembangunan kabupaten, aspek tata ruang dan pengaturan penggunaan tanah (land
use) menjadi sangat penting dalam pembangunan kota. Alasannya jelas karena luas tanah yang tersedia di
kota unumunya relatif kecil, sementara jumlah penduduknya cukup besar sehingga kepadatan penduduk
menjadi sangat tinggi. Dalam situasi yang demikian, penataan ruang dan pengaturan penggunaan lahan
menjadi hal yang sangat penting dan strategis. Disampung aspek transportasi, perumahan dan lingkungan
hidup juga merupakan suatu hak cukup serius dalam pembangunan kota. Karena itulah, strategi dan
kebijaksanaan pembangunan kota perlu dibedakan dengan kebijaksanaan pembangunan kabupaten.

Agenda nasional tentang pebenahan pengelolaan aset negara ini, yang akan elahirkan dan berhubungan
dengan berbagai produk UU, harus didasarkan pada landasan filosofis yang sama, yaitu tiga ayat pertama dari
Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan; ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Idealnya, dari pasal 33 itulah
kemudian diturunkan berbagai produk Undang-Undang di sektor ekonomi dan keuangan tidak boleh
bertentangan dengan spirit yang terkandung di dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam konteks agenda nasional pembenahan pengelolaan kekayaan negara, maka dari Pasal 33 UUD 1945
tersebut dapat diturunkan tiga paket UU bary, masing-masing adalah UU tentang Kekayaan Negara, UU
tentang Pertanahan, dan UU tentang Penilai. Kenapa harus ada tiga paket UU tersebut? Pertama, UU Kekayaan
Negara diperlukan karena selama ini memang belum ada payung hukum yang mengatur masalah kekayaan
negara dan pengelolaannya. Selain itu pengaturan masalah kekayaan negara masih tersebar di berbagai
produk UU yang satu sama lain bisa berbeda atau bertentangan. Sementara itu, dengan aset dan kekayaan
yang demikian besar, Indonesai belum memiliki sistem pengelolaan kekayaan negara yang baik dan utuh,
mulai dari masalah inventarisasi seluruh potensi aset, administrasi aset, hingga pemanfaatannya. Dengan
demikian, sangat banyak aset atau kekayaan negara yang tidak bertuan, entah berada dimana, entah dikuasai
siapa, entah dimanfaatkan siapa.
Kedua, UU Pertanahan diperlukan karena semua aset atau kekayaan negara secara langsung maupun tidak
langsung berhubungan dengan masalah tanah. Dan selama ini, Indonesia juga belum memiliki sistem yang baik
di bidang pengelolaan tanah sebagai aset negara. Upaya pengadministrasian dan pemanfaatan tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, misalnya, tidak akan pernah beres sebelum ada UU Pertanahan yang
merupakan amanat dari Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Ketiga, UU Penilai diperlukn karena ia akan menjadi landasan hukum bagi kegiatan penilaian terhadap seluruh
aset atau kekayaan negara. Selama ini, kita masih buta perihal seberapa besar sebenarnya kekayaan bangsa
Indoensia. Bagaimana kita akan melakukan penilaian terhadapa seluruh kekayaan negara yang tersebar
diseluruh penjuru negeri. Semua potensi aset yang dimiliki bangsa Indonesia tidak akan bisa dimanfaatkan
secara maksimal tanpa terlebih dulu dilakukan penilaian secara benar. Itulah pentingnya negara ini memeiliki
UU Penilai.
Ketiga paket UU tersebut dapat menjadi landasan dan dasar hukum pembenahan dan pengaturan pengelolaan
aset negara. Namun, baik dalam proses penyusunannya maupun setelahnya, harus dilakukan review,
harmonisasi atau sinkronisasi dengan UU lain, terutama UU untuk bidang ekonomi dan keuangan. Dengan
demikian, tidak menutup kemungkinan akan ada sejumlah revisi atau amandemen terhadap UU yang tidak
sinkron. Sebagai contoh, mesti ada harmonisasi atau sinkronisasi anatar UU Kekayaan Negara dengan UU
BUMN, UU BPK atau UU Keuanagan Negara. (hal 74, transformasi perusahaan negara kelas dunia, Sinergi
Manajemen Aset (SIMA), Januari 2016, Doli D.Siregar)

Aset Desa
Doli, D. Siregar (2004), mengemukakan bahwa aset adalah sesuatu yang mempuyai nilai tukar,
modal atau kekayaan. Dalam hal ini, pengertian aset desa sama maknanya dengan konsep
kekayaan.
Dalam persepektif pembangunan berkelanjutan aset yakni;
1. Sumber daya alam, adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
2. Sumber daya manusia, adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti pikiran, seni,
keterampilan, dan sebagainya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bagi dirinya
sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya.
3. Infrastruktur, adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk
kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam dan sumber
daya manusia dengan semaksimalnya, bik untuk saat ini maupun keberlanjutan dimasa yang
akan.
Menurut Dodi, D. Siregar (2004), pengelolaan aset merupakan suatu proses perencanaan,
pengadaan, pengelolaan dan perawatan, hingga penghapusan suatu sumber daya yang dimilki
individu atau organisasi secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan individu atau
organisasi tersebut.
Menurut Nurcholis, (2011:94) pengelolaan kekayaan desa dilaksanakan berdasarkan asas
fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai.
Pengelolaan kekayaan desa harus berdayaguna dan berhasilguna untuk meningkatkan pendapatan
desa. Pengelolaan kekayaan desa harus mendapatkan persetujuan dari BPD. Biaya pengelolaan
kekayaan desa dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja desa. Kekayaan desa dikelola
oleh pemerintah desa dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat desa.
Lalu Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 Bab II Pengelolaan Pasal 7, menyebutkan bahwa
Pengelolaan aset Desa meliputi: perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan,
penilaian, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

Kesejahteraan
Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah sebuah hubungan yang tidak dapat dipisahkan karna
saling berkaitan. Yang dimana tingkat kepuasan merujuk kepada individu atau kelompok, yang
mana pada tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan kelompok masyarakat luas.
Kesejahteraan adalah kondisi agrerat dari kepuasan individu – individu.
Menurut Suud (2006), kondisi sejahtera biasanya merujuk kepada kondisi social, sebagai kondisi
terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Berdasarkan definisi kesejahteraan dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu kesejahteraan social sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sebagai
suatu kegiatan atau pelayanan dan kesejahteraan sebagai ilmu.

Optimalisasi pemanfaatan aset desa merupakan optimalisasi terhadap penggunaan aset


disamping meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menghasilkan pendapatan dalam
bentuk uang dan juga dapat mensejahterakan masyrakat. Pemanfaatan aset dalam struktur
pendapatan desa termasuk dalam rincian objek hasil pemanfaatan atau pendayagunaan
kekayaan desa yang tidak dipisahkan. Dalam pemanfaatan atau pendayaagunaan aset – aset
yang ada di Desa Krayan Bahagia tersebut belum dikatakan maksimal. Karena dalam hal ini
kurang dimanfaatkannya aset – aset desa yang ada, kurang ada pembinaan secara khusus
kepada aparat desa yang bertugas untuk mendampingi masyrakatnya. Jika dapat dilihat secara
kasat mata, manfaat dari tanah kas desa ini dapat mendapatkan pendapatan desa dan dapat
membantu perekonomian masyarakat desa. Dan pemerintah desa juga tidak melakukan sebuah
pembinaan terhadap masyarakat – masyarakat di desa untuk mengatahui apa saja aset desa.
Sehingga pemerintah desa dan masyarakat desa bisa saling berkesinambungan untuk bekerja
sama dalam pemanfaatan aset desa tersebut guna untuk menambah pendapat di desa yang
bertujuan untuk menunjung kebutuhan desa.

Salah satu tujuan Negara Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran lebih lanjut dari
tujuan tersebut ditegaskan alam pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 adalah sendi utama
bagi tata ekonomi Indonesia yang pada hakekatnya merupakan tata ekonomi yang bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ardinal, N. T. (2005). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana.
Gomes, F. C. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Jimung, M. (2005). Politik Lokal dan Pemerintah Daerah Dalam Prespektif Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Mohammad, N. (1980). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Patton. (2002). Ketrampilan Kepemimpinan. Jakarta: Mitra Media.
Siregar, D. D. (2004). Manajemen Aset. Jakarta: PT Kresna Prima Persada.
Subagyo, J. P. (1997). Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
e-Book
Pelatihan, H. M. (2013). Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kemenkeu RI Direktorat Jendral
Perimbangan Keuangan .
Jurnal
Arvan, A. P. (2010). Pemanfaatan Barang Milik Daerah. Pusdiklat Kekayaan Negara dan
Perimbangan Keuangan, 6.
Departemen, Dalam. Negeri. (2007). Pemanfaatan Aset/Barang Milik Daerah. Modul 6 Diklat
Teknis Manajemen Aset Daerah , 7.
Departemen, Dalam. Negeri. (2007). Inventarisasi dan Pelaporan Aset/Barang Milik Daerah.
Modul 5 Diklat Teknis Manajemen Aset Daerah .
Departemen, Dalam. Negeri. (2007). Pelaksanaan Pengadaan dan Pemeliharaan Aset/Barang
Milik Daerah. Modul 3 Diklat Teknis Manajemen Aset Daerah , 5.
Departemen, Dalam. Negeri. (2007). Verifikasi, Penerimaan, Penyimpanan, Pendistribusian dan
Pengamanan Barang/Aset. Modul 4 Diklat Teknis Manajemen Aset Daerah , 2.
Efendi, M. S. (1989). Metodologi Penelitian Survey. LP3S, 37.
Gumilar, S. R. (2005). Memahami Metode Kualitatif. Jurnal Makara, 64.
Hasfi, N. d. (2013). Pengelolaan Barang Milik Daerah di DPKAD Kab. Sintang Tahun 2013.
Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSIAN-2013, 2.
Homer, Y. d. (2014). Inventarisasi dan Legalisasi Aset Tetap Tanah dan Bangunan Milik
Pemerintah Daerah Provinsi Papua di Kota Jayapura Tahun 2012. Diss. Universitas Gajah Mada,
2.
Mas'ud, M. (1989). Disiplin dan Metodologi. LP3S, 216.
Negara, E. I. (2007). Manajemen Aset Daerah (Asset Management Pyscal). Diktat Teknis, 2.
Pangaribuan, S. d. (2010). Penggunaan, Pengamanan dan Pemeliharaan BMD. DTTS Pengeloaan
Barang Milik Daerah, 13.
Rahmawati, D. E. (2011). Diktat Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Diktat Mata Kuliah.
Singarimbun, M. (1992). Metodologi Penelitian Survey. LP3S.
Sumini, O. E. (2010). Pokok-Pokok Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pusdiklat Kekayaan
Negara dan Perimbangan Keuangan , 30.
Sutaryo. (2010). Manajemen Aset Daerah. Ak-Jurusan Akuntansi FE UNS , 6.
Winata, C. (2012). Kerangka Pemikiran Teoritik. Modul 4 UMBY-FE, 1.
Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 dan Permendagri 19 Tahun 2016
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Koran
Berguru Soal Pengelolaan Aset ke Sleman.2015. Yogyakarta: Berau Post.
Pelaporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah.2015. Yogyakarta: Buletin
Teknis.
Linangkung, E. (2015). Aset Senilai Rp 10,2 Miliar Bermasalah. Bantul: Sindo News.
Website
dppkad.bantulkab.go.id (Diakses Tanggal 6 Juni 2016, Jam 23.01 WIB)
pu.bantulkab.go.id (Diakses Tanggal 6 Juni 2016, Jam 22.43 WIB)
www.bantul.go.id (Diakses Tanggal 6 Juni 2016, Jam 21.25 WIB)
KEADILAN

DEMOKRASI

Anda mungkin juga menyukai