Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Esensi dari Penggunaan Barang Milik Negara (BMN) berupa tanah dan/atau

bangunan adalah untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (K/L),

sehingga dalam Peraturan Menteri Keuangan diatur mekanisme bahwa

Kementerian/Lembaga harus mengajukan Penetapan Status penggunaan atas

tanah/bangunan yang digunakannya kepada Pengelola Barang yakni Direktorat Jenderal

Kekayaan Negara (DJKN).

Sebagai konsekuensinya, tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam

menyelenggarakan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan, BMN tersebut wajib

diserahkan ke Pengelola Barang.

Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam menyelenggarakan tugas dan

fungsi Kementerian/Lembaga (selanjutnya disebut BMN idle) dan telah diserahkan kepada

Pengelola Barang, selanjutnya akan didayagunakan untuk penyelenggaran pemerintahan

negara.

Dilihat dari realitas saat ini, pengelolaan BMN masih belum sepenuhnya mencapai

strategic objective yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, penertiban BMN yang

dilakukan mulai tahun 2007 merupakan lompatan besar menuju tata kelola pemerintahan

yang baik (good governance), khususnya dalam pengelolaan aset negara. Satu hal yang

menjadi perhatian Pemerintah adalah cukup banyak BMN berupa tanah dan/atau bangunan
yang tidak digunakan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) dan dibiarkan terbengkalai dalam

waktu yang lama. Selain mencerminkan ketidakakuratan dalam perencanaan, kondisi

tersebut juga menyedot anggaran yang tidak sedikit, baik pada saat pengadaan aset, maupun

biaya pemeliharaan dan pengamanan aset tersebut.

Sebagai gambaran, Reformasi Birokrasi yang dilakukan di Kementerian Keuangan,

khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mengharuskan dileburnya Kantor Pelayanan

Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB). Hal tersebut

membuat beberapa bangunan KP PBB hanya digunakan untuk gudang, sehingga kurang

memberikan nilai tambah terhadap BMN tersebut. Permasalahan BMN Idle seperti contoh

dimaksud hampir terjadi di seluruh K/L sehingga dapat mengakibatkan potential loss yang

cukup besar.

Dalam kondisi ideal, seharusnya sudah tidak ada lagi BMN yang idle atau dibiarkan

terbengkalai, atau setidaknya, jika terdapat BMN yang idle, jumlahnya sedikit dan

diupayakan untuk dilakukan optimalisasi dalam penggunaannya.

Dalam tataran yuridis, Kementerian/Lembaga dapat dikenakan sanksi apabila tidak

menyerahkan BMN idle dalam waktu yang sudah ditetapkan. Sanski tersebut antara lain

adalah pembekuan dana pemeliharaan atas BMN Idle dimakssud serta penundaan

penyelesaian atas usulan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, atau Penghapusan yang

diajukan oleh Pengguna Barang. Penerapan sanksi pembekuan dana pemeliharaan perlu

mempertimbangkan potensi bila BMN Idle tersebut rusak atau digunakan oleh pihak lain

karena tidak adanya pemeliharaan/pengamanan. Demikian juga dalam menerapkan sanksi


penundaan usulan pengelolaan BMN perlu mempertimbangkan adanya gugatan dari pihak

lain yang merasa dirugikan.

B. Permasalahan

Cakupan permasalahan yang secara mendalam akan dibahas dan dianalisis dalam

Disertasi ini mencakup hal-hal sebagai berikut :

- Mengapa masih banyak Kementerian/Lembaga yang menelantarkan (tidak

terawat) BMN berupa tanah dan/atau bangunan?

- Apakah Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan BMN sudah

memberikan sanksi yang tegas?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian

Beranjak dari identifikasi masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :

- Menganalisis dan mengetahui landasan dan asas hukum yang menjadi faktor

penyebab tidak optimalnya pengelolaan BMN yang tidak digunakan untuk

melaksanakan tugas dan fungsi Kementerian / Lembaga, ditinjau dari hukum

positif yang berlaku.

- Menganalisis dan mengetahui sejauh mana mengikatnya Peraturan Menteri

Keuangan terkait BMN idle, pengawasan dan pengendalian BMN beserta sanksi

yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan tersebut


C.2. Manfaat Penelitian :

1. Aspek Pengembangan Ilmu

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya

pandangan ilmiah dibidang hukum, dalam hal penerapan teori

tentang sanksi terhadap aturan pengelolaan BMN idle sehingga

nantinya diharapkan dengan sanksi yang tegas dalam regulasi

pengelolaan BMN membuat BMN yang tadinya terlantar/idle dapat

digunakan oleh Kementerian/Lembaga lain yang membutuhkan

dan dapat pula dioptimalkan dengan cara pemanfaatan BMN baik

dengan cara Kerja Sama Pemanfaatan, bangun Guna Serah (BGS),

Bangun Serah Guna (BSG), ataupun sewa sehingga dapat

memberikan kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

kepada Negara

2. Aspek Terapan

Diharapkan dapat memberikan masukan tentang sanksi tegas apa

yang nantinya diatur dalam regulasi pengelolaan BMN. Implikasi-

implikasi yang diungkapkan dari hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan feedback bagi optimalisasi pengelolaan BMN.

D. Keaslian/Orisinalitas Penelitian

Dengan ini saya menyatakan bahwa Karya Tulis/Penelitian/Disertasi ini asli dan

belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Doktor), baik di


Universitas Sriwijaya maupun perguruan tinggi lainnya. Bahwa penelitian ini murni

gagasan, rumusan dan penelitian yang saya buat sendiri tanpa adanya bantuan dari

pihak lain.

E. Kerangka Teori/Konsep

E.1. Kerangka Teori


E.1.1. Regulasi Pengelolaan BMN idle

Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan lainnya yang sah meliputi:

a. Barang yang diperoleh dari hibah/ sumbangan atau yang sejenis;

b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian / kontrak;

c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang – undang; atau

d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Pengelolaan BMN adalah rangkaian kegiatan meliputi: perencanaan kebutuhan dan

penganggaran; pengadaan; penggunan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan;

penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan; dan pembinaan, pengawasan

dan pengendalian.

Untuk tercapainya tertib administrasi dan tertib pengelolaan BMN, maka

pelaksanaan pengelolaan BMN harus memenuhi azas-azas pengelolaan. Diantara azas

tersebut adalah azas fungsional, yakni bahwa Pengelola, maupun Pengguna / Kuasa

Pengguna melaksanakan kewenangan dan tanggung jawabnya sesuai fungsi yang telah
ditentukan pada peraturan perundangan yang berlaku. Sesuai PP nomor 27 tahun 2014

sebagai pengganti PP nomor 6 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan

BMN/D ditentukan bahwa Pengelola Barang bertanggungjawab dan berwenang untuk:

1) merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan barang milik

negara;

2) meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik negara;

3) menetapkan status penguasaan dan penggunaan barang milik negara;

4) mengajukan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan

yang memerlukan persetujuan DPR;

5) memberikan keutusan atas usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan

bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan

Menteri Keuangan;

6) memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan barang milik

negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR dalam

batas kewenangan Presiden;

7) memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik

negara selain tanah dan bangunan sesuai batas kewenangannya;

8) memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan barang milik

negara selain tanah dan bangunan kepada Presiden atau DPR;

9) menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan bangunan;

10)memberikan keputusan atas usul pemanfaatan barang milik negara selain tanah dan

bangunan;
11)melakukan koordinasi dalam plaksanaan inventarisasi barang milik negara serta

menghimpun hasil inventarisasi;

12)melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik negara;

13)Menyusun dan mempersiapkan Lporan Rekapitulasi barang milik negara kepada

Presiden sewaktu diperlukan.

Prinsip dasar penggunaan Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan

adalah untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, sehingga diatur

mekanisme bahwa Kementerian/Lembaga mengajukan penetapan status penggunaan atas

tanah/bangunan yang digunakannya kepada Pengelola Barang. Sebagai konsekwensinya,

tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam menyelenggaraan tugas dan fungsi

instansi yang bersangkutan, wajib diserahkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

(DJKN) selaku Pengelola Barang.

Tanah dan atau bangunan yang tidak digunakan dalam menyelanggarakan tugas

dan fungsi Kementerian/Lembaga (selanjutnya disebut BMN idle) dan telah diserahkan

kepada Pengelola Barang, selanjutnya akan didayagunakan untuk penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Hasil pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian menggambarkan bahwa terdapat

Satuan Kerja yang masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga namun terdapat juga

Satuan Kerja yang memiliki tanah dan/atau bangunan yang berlebih dan tidak digunakan.

Untuk hal semacam ini, Pengelola Barang harus menempatkan posisinya untuk
mengalokasikan BMN idle kepada K/L yang membutuhkan dan meminta BMN yang tidak

digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari Pengguna Barang.

Kriteria BMN idle adalah BMN yang sedang tidak digunakan dalam

penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga; atau BMN yang digunakan tetapi

tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. Dalam hal K/L telah

memiliki/ menyusun perencanaan untuk menggunakan/memanfaatkan BMN yang sedang

tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi K/L tersebut maka tidak termasuk

sebagai BMN idle. Perencanaan penggunaan tersebut telah ada sebelum berakhirnya tahun

ketiga terhitung sejak BMN terindikasi sebagai BMN idle. Sedangkan perencanaan

pemanfaatan tersebut telah ada sebelum berakhirnya tahun kedua terhitung sejak BMN

terindikasi sebagai BMN idle.

Pengecualian tersebut perlu diatur mengingat tidak semua lahan/bangunan yang

tidak digunakan pada saat ini adalah BMN idle, terdapat kemungkinan bahwa Pengguna

Barang telah memiliki rencana penggunaan sebagaimana diungkap dalam Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian /Lembaga

(RKAKL) atau Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN). Demikian pula jika

Pengguna Barang menyatakan telah memiliki rencana untuk memanfaatkan BMN tersebut,

dibuktikan dengan adanya surat menyurat dengan calon mitra maupun usulan kepada

Pengelola Barang atau tercantum dalam Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara.

Terhadap perencanaan tersebut akan dilakukan pemantauan oleh Pengelola.

Prosedur penetapan BMN idle dimulai dari adanya informasi indikasi BMN idle.

Sesuai ketentuan tersebut, Pengelola Barang harus menindaklanjuti atas informasi terkait
indikasi BMN idle yang diterimanya. Pengelola Barang memproses dengan melakukan

konfirmasi tertulis, pemantauan, penelitian dan bila perlu melakukan investigasi.

Berdasarkan hasil penelitian, dilakukan penetapan BMN sebagai BMN idle dan serah

terima BMN antara Pengguna Barang dengan Pengelola Barang. Dalam hal hasil penelitian

menyimpulkan bahwa BMN tersebut bukan dikategorikan sebagai BMN idle maka harus

disampaikan kepada Pengguna Barang terkait.

Pengelola Barang wajib melakukan pemeliharaan dan pengamanan BMN idle

yang telah diserahterimakan dari Pengguna Barang. Biaya untuk melakukan pengamanan

administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum dan pemeliharaan BMN idle berasal

dari APBN. Dalam rangka pengamanan, Pengelola Barang dalam lima tahun sekali

melakukan inventarisasi atas BMN idle yang ada dalam penguasaannya

Pada prinsipnya Pengelola Barang harus mengelola BMN idle yang telah

diserahkan oleh Pengguna Barang dengan merujuk kepada PMK Nomor 96/PMK.06/2007

tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan

Pemindahtanganan Barang Milik Negara. BMN idle diprioritaskan untuk memenuhi

kebutuhan Kementerian/Lembaga dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya. Dalam hal

diperlukan untuk perolehan penerimaan negara dan/atau kemanfaatan umum, Pengelola

Barang dapat melakukan Pemanfaatan atau Pemindahtanganan BMN idle.

Pengguna Barang yang membutuhkan tanah dan/atau bangunan dalam

penyelanggaraan tugas dan fungsinya dapat mengajukan kepada Pengelola Barang. Alokasi

BMN idle kepada Pengguna Barang yang membutuhkan merupakan kegiatan Pengelola

Barang dalam penelitian pengajuan Rencana Kebutuhan BMN yang diajukan oleh
Pengguna Barang sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 226/PMK.06/2011 tentang

Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara.

Kementerian/Lembaga dapat dikenakan sanksi apabila tidak menyerahkan BMN

idle dalam waktu yang sudah ditetapkan. Sanksi tersebut diantaranya adalah pembekuan

dana pemeliharaan atas BMN idle dimaksud serta penundaan penyelesaian atas usulan

Pemanfaatan, Pemindahtangan atau Penghapusan yang diajukan oleh Pengguna Barang.

Penerapan sanksi pembekuan dana pemeliharaan perlu mempertimbangkan potensi bila

BMN idle tersebut, rusak atau digunakan oleh pihak lain karena tidak adanya

pemeliharaan/pengamanan. Demikian juga dalam menerapkan sanksi penundaan usulan

pengelolaan BMN perlu mempertimbangkan adanya gugatan dari Pihak lain yang merasa

dirugikan.

Penerapan peraturan ini masih membutuhkan dukungan dari sisi regulasi,

pendelegasian kewenangan, pengembangan aplikasi, pengalokasian dana pemeliharaan dan

pengamanan serta pemberian sanksi bagi Kementerian/Lembaga yang tidak mnyampaikan

BMN idle nya kepada Pengelola. Selain itu peraturan ini tidak akan efektif menjaring BMN

idle tanpa didukung pengaturan mengenai pengawasan dan pengendalian BMN yang benar-

benar mengikat dan memiliki sanksi bagi K/L yang tidak melaksanakannya.

E.1.2. Hukum dan Sanksi

Seorang filosof Yunani,Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah zoon

politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat. Sejak lahir
hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan melakukan hubungan

dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang dengan orang-orang lain mungkin

bersifat langsung ataupun tidak langsung. Hubungan itu menyebabkan kehidupan

bermasyarakat antara manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan

dapat sama dengan satu yang lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan.

Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan kekacauan

di dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang mengatur yaitu tata

tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang bertentangan tersebut, sehingga

timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup

yang merupakan hukum yang berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain

perkataan hukum berarti tertib sosial.

Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh Soeroso dalam bukunya yang

berjudul Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum merupakan himpunan

petunjuk hidup (perintah-perintah) dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib dalam

sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh anggota masyarakat itu. Oleh karena itu,

pelanggaran petunjuk tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap

masyarakat itu.

Menurut P. Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau

perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan

bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan. Pelaksanaan peraturan hukum

itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan

hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-rugi bagi yang menderita.


Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum berkaitan

dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu memiliki sifat

mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur, terdapat larangan-

larangan.Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat menimbulkan sanksi.

Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa tertib itu akan bereaksi

terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap merugikan masyarakat sebagai akibat

dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan cara memaksa, maka suatu penderitaan

dikenakan terhadap seseorang dengan paksa walaupun yang bersangkutan tidak

menghendakinya.

Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or coercive

measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for

discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang dihasilkan dari

kegagalan untuk mematuhi undang-undang.1

Sedangkan pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan

tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau

menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya);

tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu negara;Hukum, a

imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b

imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum.

1
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa, Visimedia Pustaka,
Jakarta, h. 191
Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku manusia

dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial mungkin

memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa memberikan akibat

tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib sosial dapat pula

memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan imbalan atau

hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi, namun lazimnya hanya

hukuman yang disebut sebagai sanksi.

Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif masyarakat atas

tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu masyarakat. Setiap sistem norma

dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi. Esensi dari hukum adalah

organisasi dari kekuatan, dan hukum bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk

menjaga tingkah laku sosial tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan

untuk menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal

tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu

harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.2

E.1.3. Jenis-Jenis Sanksi

a. Sanksi Pidana

Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan dengan

pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum administrasi. Pendekatan

2
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 84.
yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan

melalui hukum pidana dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana.Menurut

Roeslan Saleh, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi,

mengemukakan pendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu

nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yang dapat

dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang). Hukum

pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu dalam

prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.3

b. Sanksi Perdata

Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti

misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda,

kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum

perdata dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya

suatu keadaan hukum, diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk

putusan yang dijatuhkan hakim dapat berupa :

1. Putusan Constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan

menciptakan hukum baru,contohnya adalah putusan perceraian suatu ikatan perkawinan;

3
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 192.
2. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan

untuk memenuhi kewajibannya, contohnya adalah putusan hukum untuk wajib membayar

kerugian pihak tertentu;

3. Putusan Declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah

menurut hukum, menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata,

contohnya adalah putusan sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.

c. Sanksi Administratif

Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku administrasi negara

untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap administrasi negara,

serta melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh

perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur

dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang

memberikan landasan tersebut dinamakan hukum administrasi negara.

Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat hukum publik

yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap

kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi

ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan

(machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah

(overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).4

4
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, h. 315
d. Sanksi Pidana Administratif

Bidang hukum administratif dikatakan sangat luas karena hukum administratif menurut

Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya

Kapita Selekta Hukum Pidana mengemukakan bahwa, hukum administrasi merupakan

seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undang-

undang, peraturan-peraturan, perintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan

kekuasaan dan tugas-tugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.

Bertolak dari pengertian diatas, maka hukum pidana administrasi dapat dikatakan sebagai

“hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi”. Oleh karena itu,

Black Law Dictionary menyatakan bahwa “kejahatan/tindak pidana administrasi”

(“administrative crime”) dinyatakan sebagai “An offence consisting of violation of an

administrative rule or regulation and carrying with it a criminal sanction”.

E.2. Konsep Operasional

1. Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan lainnya yang sah meliputi:

a. Barang yang diperoleh dari hibah/ sumbangan atau yang sejenis;

b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian / kontrak;

c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang – undang; atau

d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

2. Dalam perlakuan akuntansi, PP.24 tahun 2005 membagi BMN menjadi aset lancar, aset
tak berwujud, aset lainnya, dan aset bersejarah.

a. Dikategorikan sebagai aset lancar apabila BMN tersebut diadakan dengan tujuan

segera dipakai atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak

tanggal perolehan. BMN yang memenuhi kriteria ini diperlakukan sebagai Persediaan.

b. Dikategorikan sebagai aset tetap apabila BMN mempunyai masa manfaat lebih dari

12 (duabelas) bulan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal Kuasa

Pengguna Barang, dan diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.

Termasuk dalam kategori aset tetap adalah: Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan

Bangunan, Jalan, Irigasi, Jembatan dan Aset Tetap Lainnya.

3. Pengelolaan BMN adalah rangkaian kegiatan perencanaan, pengadaan ,penggunaan,

pemeliharaan dan pengamanan, pemanfaatan, penilaian, sampai dengan penghapusan

4. BMN dan tindaklanjutnya berupa pemindahtanganan yang seluruh kegiatannya

ditatausahakan serta dilakukan dengn pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

5. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan

kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara.

6. Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik

negara.

7. Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara yang tidak dipergunkan sesuai

dengan tugas pokok dan fungsi kementrian/lembaga dalam bentuk sewa, pinjam pakai,

kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak

mengubah status kepemilikan.

8. Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara oleh pihak lain
dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak

dan sumber pembiayaan lainnya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif/doctrinal

research dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute

Approach), sedangkan dilihat dari sifatnya adalah diskriptif analitis.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini mengenai Tinjauan Yuridis Terkait Pengelolaan BMN Idle

atau BMN yang tidak digunakan untuk melaksanakan tugas dan fungsi oleh

Kementerian Lembaga.

3. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data dan sumber data yang digunakan adalah

data sekunder yang berasal dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-

undangan tentang Keuangan Negara, Kekayaan Negara/ Barang Milik Negara

serta berasal dari bahan hukum skunder diantaranya adalah buku-buku literatur

yang ada, majalah, surat kabar dan Buletin Kementerian Keuangan.


4. Analisis data

Data yang disampaikan oleh penulis disini merupakan analisis dengan cara

mendiskripsikan / menggambarkan kemudian membandingkan antara data

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Sistematika Penulisan

Pada penulisan penelitian disampaikan mengenai latar belakang masalah, masalah

pokok, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, konsep operasional dan

metode penelitian, sistematika penulisan dan rencana kegiatan penelitian.

H. Rencana Kegiatan Penelitian

Yang menjadi objek penelitian ini adalah Barang Milik Negara (BMN) berupa tanah

dan/atau bangunan yang tidak digunakan oleh Kementerian/Lembaga/satker untuk

melaksanakan tugas dan fungsinya. Adapun locus penelitian adalah Kota

Palembang dimana didaerah ini masih terdapat satker yang menelantarkan tanah

dan/atau bangunan.

Adapun rencana kegiatan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan koordinasi dengan Bidang

Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) Kanwil DJKN Sumsel, Jambi dan Babel

beserta Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Palembang


2. Meminta catatan BMN (SIMAK BMN) kepada satker untuk mengetahui BMN

Tanah dan/atau bangunan mana yang tidak digunakan untuk tugas dan fungsinya

(idle)

3. Melakukan investigasi terhadap BMN idle tersebut

4. Melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) dengan Bidang Pengelolaan

Kekayaan Negara dan satker-satker yang memiliki BMN idle.

5. Mengadakan rapat dengan Direktorat Barang Milik Negara DJKN, Direktorat

Hukum dan Humas DJKN tentang sanksi yang tepat untuk selanjutnya

dilakukan revisi regulasi yang berkaitan dengan BMN Idle.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

 Doli D Siregar, Transformasi Perusahaan Negara Kelas Dunia, Sinergi Manajemen

Aset, Jakarta, 2016

 Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2002

 Doli D Siregar, Harta Kekayaan Negara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2007

 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Unair, Surabaya, 2005.

 Airlangga Hartarto, Merajut Asa , Gramedia, Jakarta, 2016.

 Riduwan, Metode dan teknik Menyusun Proposan Penelitian, Alfabeta, Bandung,

2009.

 Soeria Atmadja, The Practice of Social Research, Wadsworth Publishing Company,

California, 1992.

 Emi Emilia, Menulis Tesis dan Disertasi, Alfabeta, Bandung, 2009


B. Artikel dan Jurnal

 Kementerian Keuangan RI, Media Keuangan, Jakarta, 2016.

 Kementerian Keuangan RI, Media Kekayaan Negara, DJKN, Jakarta, 2016.

C. Peraturan Perundang-Undangan

 Undang-Undang Dasar 1945

 Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

 Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN

Anda mungkin juga menyukai