1. Definisi Tifoid
Typhoid Abdominalis (demam typhoid, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Typhoid Abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran, disebabkan oleh Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia
(Rampengan, 2007)
Typhoid Abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan
oleh kuman Salmonella typhosa (nugroho, 2011).
Typhoid Abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, dan C (widoyono, 2008) .
Menurut (widoyono, 2008) Sumber penularan penyakit ini adalah melalui airdan
makanan. Kuman Salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum
secara masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya (KLB) kejadian luar
biasa, faktor berupa serangga juga berperan dalam sumber penularan penyakit. Dari
beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Typhoid Abdominalis adalah infeksi
akut yang menyerang pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella
Typhi, yaitu sejenis bakteri gramnegatif yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan
dan terkadang disertaidengan gangguan kesadaran pada klien.
2. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella tyjpi. Sedangkan demam paratifoid di
sebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S.
enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteridis
bioserotipe paratifi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama S. paratyphi A, S.
schottmuelleri, dan S. hirschfeldii.
3. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak (Soegijanto, 2002). Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya
ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemuadian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meningggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat difagosit akan mati,sedangkan yang tidak
difagosit akan tetap hidup dan menyebabkan bakteriemia kedua. Kuman yang masuk ke
aliran darah akan menyebabkan roseola pada kulit dan lidah hiperemia. Selanjutnya kuman
masuk ke dalam usus halus danmenyebabkan peradangan sehingga menimbulkan nausea
dan vomitus serta adanya anorexia masalah tersebut akan menyebabkan intake klien yang
tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang kurang dari tubuh yang bisa menyebabkan diare
sehingga diperlukan bedrest untuk mencegah kondisi klien akan menjadi bertambah buruk.
Selanjutnya kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya
mengeluarkan endotoksin yang akan merusak hepar sehingga terjadi hepatomegali dan
juga mengakibatkan splenomegali yang disertai denganmeningkatnya SGOT/SGPT. Selain
itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamusyang menekan termoregulasi yang
mengakibatkan demam remiten dan hipertermi sehingga klien akan mengalami malaise dan
akhirnya mengganggu aktivitasnya (Muttaqin, 2011).
Di dalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif, maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa
mamediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental
dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan
(S.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, sehingga dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguanorgan lainnya.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Typhoid Abdominalis tergantung dari virulensi dan daya tahan
tubuh. Masa inkubasi rata-rata sekitar 10 hari , pada penderita yang khas dan tidak diobati
dengan antimikroba maka penyakit ini berlangsung selama 4minggu (Mansjoer, 2000).
Dengan tahapan sebagai berikut:
1. Minggu pertama.
Keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,yaitu
demam yang remiten suhu tubuh menurun pada siang hari dan kembali naik pada
malam hari, nyeri kepala, pusing , nyeri otot, anoreksia, nausea danvomitus,
obstipasi atau diare, dan bradikardi (Dermawan & Rahayuningsih,2010).
2. Minggu kedua.
Gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam kontinue, terus-menerus,
bradikardi relatif, lidah coated tongue (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
tremor), delirium, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran
berupa somnolen sampai koma.
3. Minggu ketiga.
Pada minggu ketiga panas suhu tubuh klien mulai berangsur-angsur normal.
Peningkatan uji Widal pada minggu keduan dan ketiga memastikan diagnose pasti
typhoid, diare “pea soup”
4. Minggu keempat.
Fase minggu keempat adalah masa penyembuhan, kembalinya keadaan suhu tubuh
menjadi normal dan menghilangnya gejala-gejala yang terjadi selama masa
inkubasi dari kuman.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia.Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia.Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman s.typhi dengan anti bodi yang disebut
agglutinin. Antigen gen yang digunakan pada uji widal adalah supensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita
demam typoid yaitu:
1) Aglutinin o ( dari tubuh kuman)
2) Agglutinin h ( flagella kuman)
3) Agglutinin Vi ( simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin o dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam typhoid.Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetep tinggi
selama beberapa mingggu. Pada fase akut mula-mula timbul algutinin O masih dapat
dijumpai 4-6 bulan, sedangkan agglutinin h menetap lebih lama antara 9-12 bulan.oleh
karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
1. Pengobatan dini dengan antibiotic
2. Ganguan pembentukan antibody, dan pemberian kartikosteroid
3. Waktu pengambilan darah
4. Daerah endemic atau non-endemik
5. Riwayat vaksinasi
6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7. Factor teknik pemeriksaan laboratorium,akibat aglutinasi silang, dan strain
salmonella yang digunakan untuk supensi antigen
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic utuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja ,
hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium
setempat
c. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan deman tifoid, akan tetapi hasil negative
tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan oleh beberapa hal sebagai
berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik, bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotik pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negative
2. Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative.darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukan ke dalam media cair empedu ( oxgall) untuk
pertumbuhan kuman;
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di massa lampau menimbulkan antibody dalam darah
pasien. Antibody ( agglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negative.
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
6. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam typoid yaitu:
1. Pemberian antibiotic; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan :
a) Kloranfenikol; dosis hari pertama 4x250 mg,hari ke dua 4x 500 mg, diberikan
selama demam, dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam ,kemudian dosis
diturunkan menjadi 4x250 mg selam 5 hari kemudian. Penelitian terakhir (
Nelwan,dkk. Di RSUP persahabatan),penggunaan kloranfenikol masih
memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru
dari jenis kuinolon
b) Ampisilin/Amoksisilin;dosis 50-150 mg/kb BB, diberikan selama 2 minggu.
c) Kotrimokazol; 2x2 tablet ( 1 tablt mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg
trimetropin, diberikan selama 2 minggu pula
d) Sefalosporin generasi II dan III. Di Subbagian penyakit tropic dan Infeksi
FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam typhoid
dengan baik. Demam pada umumnya mengalamimereda pada hari ke-3 atau
menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai adalah:
Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari
Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
Oflaksasin 600 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
2. Istirahat dan perawatan professional; bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolute sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
hygiene perseorangan, kebersihan tempat tidur,pakaian,dan peralatan yang dipakai
oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu
diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
3. Diet dan terapi penunjang ( simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet ubur saring,kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukan bahwa
pemberian makanan padat ini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (
pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan
pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum
pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, system imun
akan tetep berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal septic diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi
parenteral total.Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja
secara sinergis dapat dipertimbangkan.Kartikosteroid selalu perlu diberikan pada
renjatan septic.Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan diatas.
8. Pencegahan
Pencegahan demam Tifoid dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu :
a. Preventif dan Kontrol penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus
luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banayak aspek, mulai dari segi kuman
Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor host serta faktor lingkungan.
b. Indentifikasi dan Eradikasi S.Typhi pada Pasien Tifoid Asimtomatik, Karier dan
Akut.
Tindakan identifikas atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup sulit
dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala
nasional.Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun
pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta.
c. Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita Terinfeksi S.Typhi
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun dirumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui penginap kuman S.typhi.
d. Proteksi pada Orang yang Beresiko Tinggi Tertular Dan Terinfeksi.
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di
daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya
endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat
hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko,
yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.
e. Vaksinasi
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas
vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88 % (WHO) dan
sebesar 67% ( Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu
proteksi bila terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah
lain. Indikasi vaksinasi adalah bila,
a. Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid semakin
tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)
b. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid,
c. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Adapun jenis vaksin yang digunakan yaitu : Vaksin oral Ty21a (vivotif Berna)
belum beredar di Indonesia dan Vaksin Parenteral ViCPS (Typhim Vi/Pasteur
Merieux), vaksin kapsul polisakarida.
9. Asuhan Keperawatan Teoritis
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan menggunakan teknik diantaranya teknik wawancara, observasi,
pemeriksaan medis, melalui catatan medis, dan pemeriksaan penunjang. Adapun data subjektif dan
objektif yang dapat di temukan pada pasien Demam Typoid antara lain :
1) Data Subjektif
Pasien mengatakan badannya panas sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit, Panas dirasakan mucul saat sore hingga malam
Pasien mengatakan meriang sejak 6 hari yang lalu
Pasien mengatakan ada mual dan muntah
Pasien mengatakan pusing
Pasien mengatakan perutnya terasa nyeri
2) Data Objektif
Klien tampak lemas dan pucat
Klien tampak memegangi perutnya
Klien sering berkeringat di malam hari
Bibir klien tampak kering
b. Diagnosa keperawatan
Menurut Mutaqin & Kumala (2011), diagnose keperawatan yang dapat muncul pada penyakit
demam thypoid adalah:
a. Ketidak efektifan termoregulasi berhubungan dengan infeksi.
b. Nyeri akut berhubungan dengan saluran gastrointestinal.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kekurangan asupan nutrisi.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
e. Diare berhubungan dengan proses infeksi.
f. Konstipasi berhubungan dengan asupan cairan yang tidak mencukupi.
g. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, mis intepretasi informasi.
h. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi
informasi,kurang pajanan,kurang minat dan belajar.
c. Intervensi
2. Psikologis:
‐ Antidepresan, garam
bismuth, diuretic, antasida
mengandung aluminium,
kalsium karbonat.
4. Mekanis :
‐ Ketidakseimbangan
elektrolit, kemoroid,
obesitas, kehamilan,
pembesaran prostat, fisura
anak rectal, rektokel,
tumor.
5. Fisiologis :
Energy Management
‐ Observasi adanya pembatasan
klien dalam melakukan aktivitas
‐ Dorong anal untuk
mengungkapkan perasaan
terhadap keterbatasan
‐ Kaji adanya factor yang
menyebabkan kelelahan
‐ Monitor nutrisi dan sumber
energi tangadekuat
‐ Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
‐ Monitor respon kardivaskuler
terhadap aktivitas
‐ Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
8 Ansietas NOC : NIC:
Definisi : Perasaan tidak nyaman ‐ Anxiety control Anxiety Reduction (penurunan
atau kekhawatiran yang samar ‐ Anxiety Level kecemasan)
disertai respon autonom (sumber ‐ Coping ‐ Gunakan pendekatan yang
seringkali tidak spesifik atau menenangkan
tidak diketahui oleh individu). ‐ Kriteria Hasil : ‐ Nyatakan dengan jelas harapan
Perasaan takut yang desebabkan ‐ Klien mampu terhadap pelaku pasien
oleh antisipasi terhadap bahaya. mengidentifikasi dan ‐ Jelaskan semua prosedur dan apa
Hal ini merupakan isyarat mengungkapkan gejala yang dirasakan selama prosedur
kewaspadaan yang cemas ‐ Temani pasien untuk
memperingatkan individu akan ‐ Mengidentifikasi, memberikan keamanan dan
adanya bahaya dan memberi mengungkapkan dan mengurangi takut
kemampuan individu untuk menunjukkan tehnik untuk ‐ Berikan informasi faktual
bertindak menghadapi ancaman. mengontol cemas mengenai diagnosis, tindakan
‐ Vital sign dalam batas prognosis
Batasan Karakteristik: normal ‐ Dorong keluarga untuk
‐ Perilaku: ‐ Postur tubuh, ekspresi menemani anak
‐ Penurunan produktivitas wajah, bahasa tubuh dan ‐ Lakukan back / neck rub
‐ Gerakan yang ireleven tingkat aktivitas ‐ Dengarkan dengan penuh
‐ Gelisah menunjukkan perhatian
‐ Melihat sepintas berkurangnya kecemasan ‐ Identifikasi tingkat kecemasan
‐ Insomnia ‐ Bantu pasien mengenal situasi
‐ Kontak mata yang buruk yang menimbulkan kecemasan
‐ Affektif ‐ Dorong pasien untuk
‐ Fisiologis mengungkapkan perasaan,
‐ Simpatik ketakutan, persepsi
‐ Parasimpatik ‐ Instruksikan pasien
‐ Kognitif menggunakan teknik relaksasi
‐ Berikan obat untuk mengurangi
Faktor yang berhubungan: kecemasan
‐ Perubahan dalam (status
ekonomi, lingkungan,
kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, status peran)
‐ Pemajanan toksin
‐ Terkait keluarga
‐ Herediter
‐ Infeksi / kontaminan
interpersonal
‐ Penularan penyakit
interpersonal
‐ Kirisis situasional, krisis
maturasi
‐ Stress, ancaman kematian
‐ Penyalahgunaan zat
‐ Ancaman pada(status
ekonomi, lingkungan,
kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, status peran,
konsep diri)
‐ Konflik tidak disadari
mengenai tujuan penting
hidup
‐ Konflik tidak disadari
mengenai nilai yang
esensial/penting
‐ Kebutuhan yang tidak
dipenuhi
9 Diare NOC NIC
Definisi : ‐ Bowel elimination Diarhea Management
Pasase feses yang lunak dan ‐ Fluid Balance ‐ Evaluasi efek samping
tidak berbentuk ‐ Hydration pengobatan terhadap
- Electrolyte and Acid base gastrointestinal
Batasan karakteristik Balance ‐ Ajarkan pasien untuk
- Nyeri abdomen sedikitnya tiga menggunakan obat antidiare
kali defekasi per hari Kriteria Hasil : ‐ Instruksikan pasien / keluarga
- Kram ‐ Feses berbentuk, BAB untuk mencatat warna, jumlah,
- Bising usus hiperaktif sehari sekali tiga hari frekuensi dan konsistensi dari
- Ada dorongan ‐ Menjaga daerah sekitar feses
rectal dari iritasi ‐ Evaluasi intake makanan yang
Faktor Yang Berhubungan : ‐ Tidak mengalami diare masuk
Psikologis ‐ Menjelaskan penyebab diare ‐ Identifikasi faktor penyebab dari
- Ansietas dan rasional tindakan diare
- Tingkat stres tinggi ‐ Mempertahankan turgor ‐ Monitor tanda dan gejala diare
Situasional kulit
- Efek samping obat
- PenyaIah gunaan alkohol
- Kontaminan
- Penyalahgunaan laksatif
- Radiasi, Toksin
- Melakukan perjalanan
- Slang makan
Fisiologis
- Proses infeksi dan parasit
- Inflamasi dan Iritasi
- Malabsorbsi
WOC
Demam Thypoid
Anoreksia
Nyeri akut
Peningkatan Diare mual muntah
metabolisme
Penurunan tonus otot
Ketidakseimbangan
Kehilangan cairan nutrisi kurang dari
tubuh dehidrasi Kelemahan fisik kebutuhan
Bedrest total
Intoleransi aktifitas
Defisiensi pengetahuan
Dampak hospitalisasi
Ansietas