Anda di halaman 1dari 3

The Ideal System of Economic

Maudy Miya Andini (14010413130076)

Liberalisme atau kapitalisme bukanlah sistem perekonomian yang terbaik yang pernah
ada. Sistem perekonomian kapitalisme hanya menguntungkan satu pihak dimana yang berkuasa
ialah yang paling banyak memiliki keuntungan. Kapitalis murni tidak bisa digunakan oleh semua
negara. Sistem ekonomi nasionalis juga kurang cocok dijadikan sistem perekonomian yang ideal.
Sistem ekonomi nasionalis adalah sistem ekonomi yang jika memiliki keuntungan maka ia akan
memaksimalkan kekuatan militernya. Sistem ekonomi nasionalis memiliki prinsip zero sum
game dimana setiap negara akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungannya. Sistem ini,
menurut saya, akan menjadi sumber permasalahan yang baru. Optimalisasi militer bukanlah hal
yang baik di era modern seperti saat ini. Hal tersebut akan menjadi pemicu konflik negara-negara
lain sehingga nantinya akan terjadi arms race.

Sistem perekonomian yang hampir ideal menurut saya adalah sistem campuran dengan
Nordic Model. Nordic Model atau bisa dikatakan sebagai Nordic Sosial Demokrasi adalah sistem
perekonomian yang dianut oleh negara-negara Nordic seperti Swedia, Denmark, Finlandia,
Iceland, dan Greenland. Nordic model merupakan sistem percampuran antara sosialis,
demokrasi, dan juga liberalis. Nordic model menawarkan sistem mengenai reformasi terhadap
sektor publik sehingga membuat peran negara lebih efisien dan cepat tanggap (economist.com,
2013).

Nordic model memiliki tiga prinsip utama, yaitu stateness, equality, dan universalism
(Alestalo, Matti dkk, 2009:4). Prinsip stateness adalah prinsip yang mengutamakan
kesejahteraan. Peran negara terlihat dalam keterlibatan pelayanan masyarakat, perekrutan dalam
sektor publik, juga dalam perpajakan. Selain itu, pelayanan sosial sebagian besar
diselenggarakan ditingkat lokal oleh berbagai kota kecil yang menyediakan interaksi antara
pembuat keputusan dan masyarakatnya. Kedua adalah prinsip universalism. Di negara-negara
penganut prinsip Nordic, hak-hak sosial meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Pelayanan dan
pemanfaatan fasilitas tidak hanya ditargetkan untuk orang yang tidak mampu, tetapi juga untuk
kalangan menengah. Ketiga adalah prinsip equality. Prinsip ini merupakan “surga” bagi setiap
wanita karena negara-negara Nordic menganut prinsip equality gender. Tidak ada perbedaan
bagi wanita dan pria dalam mendapatkan hak-haknya.

Negara-negara Nordic sangat bangga terhadap prinsip kejujuran dan transparansinya di


dalam pemerintahan. Contohnya saja, di Swedia, semua orang memiliki akses terhadap data
resmi. Dalam hal pelayanan masyarakat, negara-negara Nordic memiliki pandangan yang
pragmatis. Selama pelayanan masyarakat berjalan dengan baik, pemerintah tidak
mempermasalahkan siapa yang memilikinya. Contohnya di Denmark dan Norwegia, mereka
memperbolehkan sektor privat untuk mengelola rumah sakit publik.
Mereka juga tidak melindungi perusahaan-perusahaan ikonik dunia seperti Volvo yang dibiarkan
bangkrut oleh Swedia, Denmark yang memiliki sistem “flexicurity” yang mempermudah
pengusaha untuk memecat karyawannya tetapi juga memberikan pelatihan bagi mereka yang
tidak bekerja, dan Finlandia yang menyediakan jaringan modal usaha (economist.com, 2013).

Negara-negara tersebut bisa dikatakan populer bukan karena mereka negara yang besar,
tetapi karena sistem yang mereka gunakan berjalan dengan baik. Sebagai hasilnya, tiga negara
Nordic, yaitu Swedia, Norwegia, dan Finlandia berhasil menduduki empat besar peringkat
negara yang memiliki sustainable society index tertinggi di dunia (eoearth.org, 2014). Koefisien
gini yang dimiliki Swedia juga menurun sebesar 0.18 dan menjadikan negara tersebut sebagai
negara yang stabil fiskalnya (economist.com, 2013). Tentu saja, model Nordic ini memiliki
kekurangan seperti GDP yang tidak meningkat. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan
menggunakan pendapatan negara sangat banyak, seperti pemberian berbagai pelatihan untuk
para pengangguran dan pemberian fasilitas edukasi yang gratis walaupun sekolah tersebut
dikelola oleh sektor privat. Hal tersebut tentu akan berdampak pada persentase GDP.

Namun, menurut saya, suatu negara bisa dikatakan sukses atau tidak, tidak bisa hanya
diukur dengan menggunakan GDP saja. Banyaknya permasalahan ekonomi yang terjadi
memunculkan perdebatan apakah GDP tetap bisa dijadikan faktor utama kemakmuran suatu
negara karena kenyataannya, walaupun GDP suatu negara meningkat, tidak semua orang
terpenuhi kebutuhannya (globalreboot.org, 2010). Meningkatnya GDP tidak berarti semua
masyarakat sejahtera karena tidak ada jaminan bahwa GDP tersebut bisa terdistribusi dengan
baik. Jika pemerintah hanya berfokus pada kenaikan GDP, eksploitasi buruh dan sumber daya
alam akan lebih banyak terjadi. Koefisien gininya juga bisa saja meningkat karena semakin
jauhnya gap antara golongan elit dan golongan bawah. Alasan saya memilih model Nordic
sebagai model sistem campuran yang hampir ideal untuk sistem perekonomian adalah karena
negara-negara Nordic memiliki sustainable society index yang tinggi. Menurut saya, suatu
negara bisa dikatakan besar jika sudah tidak ada perbedaan antar golongan dan semua
masyarakat bisa menikmati fasilitas yang mereka miliki dengan baik.

Kesimpulannya, menurut saya sistem campuran dengan model Nordic adalah sistem yang
mendekati ideal. Selain membuka perdagangan bebas, negara-negara Nordic juga tetap
mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya dan melindungi sumber daya alam seperti hutan.
Untuk memaksimalkan sistem tersebut, pemerintah harus benar-benar bisa menjadi aktor yang
memantau jalannya distribusi, mulai dari pra-produksi hingga pasca produksi. Pemerintah juga
harus membuat sistem administrasi dan regulasi yang tidak terlalu sulit, karena jika terlalu sulit
bisa terjadi penyalahgunaan seperti korupsi dan illegal trafficking.
Sumber :

Alestalo, Matti dkk (2009) ‘The Nordic Model: Conditions, Origins, Outcomes, Lessons’, 41
Hertie School of Governance-Working Papers.

Anonymous (2012) ‘A Bit More Unequal, A Lot More Efficient’, The Economist, 11 October
<http://www.economist.com/ >.

Anonymous (2013) ‘The Next Supermodel Politicians from Both Right and Left Could Learn from the
Nordic Countries’, The Economist, 31 January <http://www.economist.com/>.

Global Reboot (2010) ‘Gross Domestic “Problem”: Are We Entering a Post GDP Era?’, 4 June
<http://globalreboot.org/>.

Milne, Richard (2014) ‘Concern Rises as Cracks Appear in Nordic Model’, Financial Times, 20
November <http://www.ft.com/>.

Van de Kerk, Geurt dan Manuel, Arthur R. (2014) ‘Sustainable Society Index’, 31 July
<http://www.eoearth.org/view/article/156362/>.

Anda mungkin juga menyukai